Dokumen tersebut membahas tentang amenorea yang dijelaskan dalam 3 kalimat. Pertama, amenorea didefinisikan sebagai ketiadaan haid pada usia tertentu dengan atau tanpa adanya karakteristik sekunder. Kedua, dibahas penyebab-penyebab amenorea primer dan sekunder serta tahapan evaluasi dan penanganannya. Ketiga, dokumen tersebut memberikan gambaran umum tentang hormon dan obat-obatan yang berkaitan dengan amenorea.
2. DEFINISI
1. No period by age 14 in the absence of growth or development of
secondary sexual characteristics.
2. No period by age 16 regardless of the presence of normal growth and
development with the appearance of secondary sexual characteristics.
3. Woman who has been menstruating, the absence of periods for a
length of time equivalent to a total of at least 3 of the previous cycle
intervals
Amenorea sekunder
Amenorea primer
6. Amenorea sekunder
◦ Perubahan Hormon. Amenorrhea terjadi selama kehamilan, menyusui dan, menopause.
◦ Konsumsi Obat. Obat dapat menyebabkan amenorrhea antara lain: obat kontrasepsi, antipsikotik,
antidepresan, obat tekanan darah, obat kemoterapi kanker dan beberapa obat alergi.
◦ Berat Badan Rendah. Berat badan yang sepuluh persen lebih rendah dari berat badan normal dapat
membuat hormon di dalam tubuh wanita tidak seimbang sehingga menghentikan ovulasi. Jadi mereka yang
mengidap penyakit seperti bulimia dan anoreksia rentan mengalami amenorrhea primer atau amenorrhea
sekunder.
◦ Stres. Akibat stres, maka hal ini mengubah fungsi hipotalamus, yang merupakan daerah yang mengontrol
siklus menstruasi. Hal ini biasanya bersifat sementara dan siklus menstruasi akan kembali bila stres berkurang.
◦ Olahraga Berlebihan. Wanita yang memiliki aktivitas fisik yang berlebihan seperti atlet, penari balet atau
sejenisnya biasanya membutuhkan pelatihan intensif. Akibatnya hal ini dapat mengganggu siklus menstruasi.
◦ Gangguan Ketidakseimbangan Hormon. Kondisi seperti seperti sindrom ovarium polikistik, gangguan
tiroid, tumor hipofisis atau menopause dini diduga menyebabkan seorang wanita mengalami amenorrhea.
7. ◦ The most common cause of primary amenorrhea is primary ovarian failure
resulting from gonadal dysgenesis, most commonly as a result of Turner
syndrome.
◦ The second most common cause of primary amenorrhea is congenital absence of
the uterus and vagina, followed by idiopathic hypogonadotropic hypogonadism.
◦ Another cause of secondary amenorrhea involves eating disorder. The incidences
of eating disorders such as anorexia and bulimia are highest during the adolescent
years.
8. Kompartemen 1 (uterus dan vagina)
a. Perlengketan endometrium: Sindroma Asherman
b. Endometrium resisten terhadap hormon
c. TBC endometrium
d. Atresia Himenalis (Sindroma Rokitansky)
9. Kompartemen 2 (ovarium)
a. Menopause prekoks
b.Sindroma Ovarium Resisten Gonadotropin
c. Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)
d.Hipertikosis ovarium
e. Gangguan Ovarium dengan Penyebab Ekstragonad
10. Kompartemen 3 (hipofisis)
a. Iskemik/nekrotikhipofisis: Sindroma Sheehan
b. Adenoma laktotrop: Amenorea galaktorea / hiperprolaktinemia.
c. Adenoma Basofilik hiper sekresi cortisol Penyakit Cushing
d. Adenoma Asidofilik hipersekresi GH akromegali
e. Psikogenik
13. UJI PROGESTERON
– Dilakukan setelah selesai pemeriksaan
– Berikan progesteron (MPA, noretisteron atau didrogesteron)
10 mg/hari selama 7 hari.
– Perdarahan akan terjadi 2-7 hari setelah obat habis(Uji
positif)
– Uji negatif bila tidak terjadi perdarahan setelah 10 hari obat
habis
14. Uji P positif berarti
◦ Uterus dan endometrium normal
◦ Kemungkinan anovulasi atau defek fase luteal
◦ Perdarahan terjadi karena ada efek estrogen(E) terhadap endometrium (proliferasi). Pemberian progesteron
(P) menyebabkan fase sekresi dan P yang menurun menyebabkan terjadinya perdarahan.
◦ E diproduksi di folikel, berarti pertumbuhan folikel normal
◦ Folikel berkembang karena ada rangsangan FSH dan LH, berarti fungsi hipofisis normal.
◦ Hipofisis memproduksi FSH dan LH karena rangsangan Gn-RH dari hipotalamus, berarti fungsi hipotalamus
normal
◦ FSH, LH, Prolaktin(PRL) normal.
15. Uji P positif berarti
◦ Diagnosis: wanita ini adalah disregulasi hipotalamus-hipofisis.
◦ Penyebab amenorea kemungkinan besar gangguan pada sistim umpan balik
◦ Bila FSH dan PRL normal dengan LH yang tinggi kemungkinan besar menderita Sindroma ovarium
polikistik (SOPK)
◦ Bila tidak ada tumor hipofisis maka diagnosis adalah disregulasi hipotalamus-hipofisis dan kemungkinan
besar gangguan sistem umpan balik
◦ Bila uji P (+) , pasti uji E+P juga psitif
16. Uji Estrogen + Progesteron (Uji E+P)
– E diberikan selama 21 hari: EE 50 ug; E Valeriat 2 mg; E konjugasi 0,03 mg/hari
– Hari ke 12 – 21 : beri P 5-10 mg/hari:
– Boleh berikan Pil KB
– Uji (E+P) positif bila terjadi perdarahan 3 hari setelah obat habis dan negatif bila tidak terjadi
perdarahan.
– Uji E+P (+) hipoestogen --> kelainan hipotalamus/hipofisis
– Uji E+P (-) normogonadotrop defek endometrium
17.
18.
19.
20. WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3
kelas, yaitu:
◦ Kelas 1 : Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin hipogonadism) Karakteristik dari kelas ini
adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10%
dari seluruh kelainan ovulasi.
◦ Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism) Karakteristik dari kelas ini
adalah kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari
seluruh kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah oligomenorea atau amenorea
yang banyak terjadi pada kasus sindrom ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan puluh
persen pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30% akan mengalami amenorea.
◦ Kelas 3 : Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)
Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi
sekitar 4-5% dari seluruh gangguan ovulasi.
◦ Kelas 4 : Hiperprolaktinemia
21. Tatalaksana gangguan ovulasi: (infertilitas hiferi)
WHO kelas I (hipogonadotropin hipogonadism)
◦ Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat badan menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan.
Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG
atau hCG.
◦ Penggunaan kombinasi preparat gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi dibandingkan penggunaan rFSH
saja (Evidence level 2a).
WHO Kelas II (normogonadotropin normogonadism)
◦ Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen
sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan insulin sensitizer
seperti metformin.
◦ Tindakan drilling ovarium per-laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar LH dan androgen adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi
perempuan SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat
WHO Kelas III (hipergonadotropin hipogonadism)
◦ Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup
kuat terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas
III sampai kemungkinan tindakan adopsi anak.
WHO Kelas IV (hiperprolaktinemia)
◦ Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga
gangguan ovulasi dapat teratasi.
26. ◦ The first step in the evaluation of primary amenorrhea (Fig. 4-1) is documentation of the history and a
physical examination. If secondary sexual characteristics are not present, follicle-stimulating hormone (FSH)
and luteinizing hormone (LH) levels should be measured. FSH and LH levels lower than 5 IU/L indicate
hypogonadotropic hypogonadism. If the FSH level exceeds 20 IU/L and the LH level exceeds 40 IU/L,
hypergonadotropic hypogonadism is present; in that case, karyotype analysis is indicated.
◦ If secondary sexual characteristics are present, ultrasonography of the uterus should be performed. If the
uterus is absent or abnormal, karyotype analysis is indicated. If the uterus is present and normal, the patient
should be examined for evidence of an outflow obstruction.