2. MATERI SYARI’AH ISLAMIYAH
1. STANDAR PERBUATAN MANUSIA
2. PENILAIAN STANDAR PERBUATAN MANUSIA
3. HUKUM SYARI’AH
4. METODE PENARIKAN HUKUM SYARI’AH
5. METODE PENARIKAN HUKUM DARI SUNNAH RASUL
6. METODE IJTIHAD
7. METODE ISTIQRA’I
8. METODE TARJIH
9. METODE TATHBIQUL HUKMI
10. DALIL-DALIL SYARI’AH
11. DALIL-DALIL SYARI’AH YANG DZANNY
12. QAWAID FIQHIYAH
13. FIQH AULAWIYAT
14. KEAGUNGAN HUKUM SYARI’AT
3. PENGANTAR
• Ada dalil-dalil syari’ah yang diperselisihkan oleh jumhur
ulama (mukhtalaf fiihaa baina jumhur al ulama), yaitu:
sebagian ulama menjadikannya sebagai hujjah, namun
sebagian ulama lainnya tidak.
• Dalil-dalil tersebut yang termasyhur ada 7 yaitu:
1. Al Istihsan.
2. Al Mashalih Al Mursalah (Al Istishlah).
3. Madzhab As Shahabi.
4. Syar’u Man Qablana.
5. Al Istish-hab.
6. Al ‘Urf.
7. Adz Dzara`i’ (Al-Washilah).
• (Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh Al Islami, 1/417).
5. PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA
•
ت هللا هاَعَشر التي األحكام هو قبلنا من شرع
عالى
على هاَلأنز و األقوام و ِمَمُاأل من سبقنا لمن
أنبيائه
إبر ِةْعي ِ
َرشك لهم همِغْليبلت لهُسَور
وموسى اهيم
السالم عليهم وعيسى
• “Syar’u man Qablana (syariat sebelum kita) adalah hukum-
hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi berbagai umat
dan kaum yang mendahului kita (sebelum Nabi Muhammad
SAW) yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya
agar mereka menyampaikan kepada kaumnya, contohnya
seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa AS”. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 206).
6. CONTOH
1. Dalam Syariat Nabi Sulaiman AS, kalau binatang seperti
burung berbuat kerusakan, maka binatang tersebut dijatuhi
sanksi. (QS An Naml : 20-21).
2. Dalam Syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara
selama 3 hari. (QS Maryam : 10).
3. Dalam Syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang
yang berkuku, juga lemak dari sapi dan domba (QS Al An’am
: 146).
4. Dalam Syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri
adalah dijadikan budak (QS Yusuf : 75).
5. Dalam Syariat Nabi Ya’kub AS, makanan yang diharamkan
oleh Nabi Ya’kub adalah haram bagi kaumnya (Bani Israil)
(QS Ali ‘Imran : 93).
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 210.
7. 1. Menurut mayoritas ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah, juga sebagian ulama Safi’iyyah, dan
menurut Imam Ahmad dalam salah satu riwayat
darinya, bahwa Syara’ Man Qablana adalah syariat
bagi kita (umat Islam), selama terdapat dalam
Syariat kita (syariat Islam) tanpa dukungan atau
pengingkaran.
• Dalil mereka a.l. QS Al An’am: 90; QS As Syuura: 13
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208.
PANDANGAN ULAMA
8. PANDANGAN ULAMA (lanjutan)
2. Menurut ulama Al Asyaa’irah (penganut Al Asy’ari),
Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Ahmad dalam riwayatnya
yang lain, Imam Ibnu Hazm, sebagian ulama
Hanafiyyah, dan mayoritas ulama Syafi’iyyah (spt
Imam Ghazali, Amidi, Razi), syara’ man qablana
bukanlah syariat untuk kita (umat Muhammad)
meskipun terdapat dalam Al Qur`an.
• Dalil mereka a.l. QS Al Maidah: 48
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209.
9. TARJIH
• Pandangan yang lebih kuat adalah pandangan kedua
bahwa syara’ man qablana bukanlah syariat untuk
kita (umat Muhammad) meskipun terdapat dalam Al
Qur`an.
• Dalilnya karena Allah SWT berfirman :
•
َحْالِب َابَتِكْال َْكيَلِإ َآنْلَنزَأ َو
َي َْنيَب اَمّل ًاقّدَصُم ّق
َنِم ِهْيَد
ِهْيَلَع ًانِْميَهُم َو ِباَتِكْال
• “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan “muhaiminan” terhadap kitab-
kitab yang lain itu.” (QS Al Maidah : 48).
10. TARJIH (lanjutan)
• Imam Syaikh An-Nabhani mengatakan bahwa kata
Muhaiminan dalam ayat QS Al Maidah: 48 itu artinya
adalah Naasikhan, yaitu me-nasakh atau
menghapuskan.
• Walhasil, kitab Al Qur`an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW telah me-nasakh
(menghapus) syariat umat-umat sebelumnya yang
terdapat dalam kitab-kitab nabi sebelumnya.
• (Imam Syaikh An-Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
3/408).
12. MADZHAB SHAHABAT
•
التي الشرعية األحكام مجموع هو الصحابي مذهب
بها وقضى بها فأفتى الصحابي هاُطَبْنِتاس
• “Madzhab shahabat adalah kumpulan hukum-hukum syara’
yang diistinbath oleh seorang shahabat, lalu dia fatwakan dan
dia gunakan untuk memutuskan hukum” (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198).
• Contoh :
1. Memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Abu Bakar as
Shiddiq).
2. Tidak memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Umar bin
Khaththab).
13. CONTOH (lanjutan)
3. Tidak memotong tangan pencuri pada saat
pencurinya kelaparan (pendapat Umar bin
Khaththab).
4. Menjadikan diyat (tebusan) karena kasus
pembunuhan tak sengaja (dalam peperangan)
sebagai tanggungan prajurit-prajurit yang masih
satu kelompok pasukan dengan si pembunuh
(pendapat Umar bin Khaththab).
5. Menjatuhkan talak sebanyak tiga kali, dalam satu
majelis, jatuh talak tiga (bukan talak satu).
(pendapat Umar bin Khaththab).
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 202.
14. PANDANGAN ULAMA
1. Menurut Imam Malik, juga ulama Malikiyyah,
mayoritas ulama Hanafiyyah, Imam Razi, dan Imam
Syatibi, bahwa madzhab shahabat yang merupakan
hasil ijtihad shahabat adalah dalil syar’i (sumber
hukum).
• Dalil mereka a.l. ayat-ayat yang memuji shahabat
seperti QS At Taubah: 100
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198-199.
15. PANDANGAN ULAMA (lanjutan)
2. Menurut Mu’tazilah, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, Imam Amidi, dan Imam Syaukani,
madzhab shahabat bukanlah dalil syar’i
(sumber hukum).
• Alasannya: madzhab shahabat adalah ijtihad
yang bisa salah bisa benar.
• Jadi, tidak bisa dijadikan hujjah (dalil syar’i).
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198-199.
16. TARJIH
• Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang
tidak menjadikan madzhab shahabat sebagai dalil
syar’i.
• Imam Syaikh An-Nabhani berkata madzhab shahabat
tertolak sebagai dalil karena firman Allah SWT:
•
ِإ ُهوّدُرَف ٍءْيَش يِف ْمُتْعََازنَت نِإَف
ِلوُسّالر َو ِ ّ
ّللا ىَل
• “Maka jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka
kembalikanlah itu kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS An
Nisaa`: 59).
17. TARJIH
• Imam Syaikh An Nabhani menjelaskan bahwa
tempat kembali ketika ada perselisihan hanyalah
Allah dan Rasul-Nya saja, maksudnya Al Qur`an dan
As Sunnah saja, bukan yang lain.
• Maka selain Qur`an dan As Sunnah, termasuk
madzhab Shahabat, tidak layak menjadi tempat
kembali, yakni tidak layak menjadi dalil syar’i.
• Imam Syaikh An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
3/416.
18. CATATAN PENTING:
• Meskipun madzhab shahabat tidak mencapai
derajat dalil syar’i (sumber hukum), tetapi hukum-
hukum syara’ yang diistinbath oleh para shahabat
menempati kedudukan tertinggi dalam fiqih Islam.
• Boleh hukumnya mengikuti (ittiba’) dan bertaqlid
kepada ijtihad para shahabat.
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 204.
20. PENGERTIAN ISTIHSAN
• Menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah,
Istihsan ada dua pengertian :
• Pengertian pertama:
•
قي إلى جلي قياس عن ُلُودُعال هو اإلستحسان
اس
،خفي
القياسي اإلستحسان عندهم سمىُي ما وهو
• “Istihsan adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas yang
jelas) menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi)”.
• Itulah yang dinamakan Istihsan Qiyasi menurut mereka
(ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil).
• M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136
21. CONTOH ISTIHSAN QIYASI
• Contoh Istihsan Qiyasi:
• Misalnya, ada dua orang (misal A dan B) membeli
sebuah mobil secara kredit atau utang dari dua orang
(misal C dan D), misalnya dengan harga 100 juta.
• A dan B bersyirkah, sebagaimana C dan D juga
bersyirkah.
• Lalu salah satu penjual, misal C sudah menerima
sebagian harganya (uang cicilan), misalnya 50 juta,
kemudian uang 50 juta ini hilang, siapakah yang
menanggung hilangnya uang ini?
• Apakah yang menanggung C saja? Ataukah C dan D
secara bersama?
22. CONTOH (Lanjutan)…
• Menurut Qiyas Jalli: yakni Qiyas yang shahih,
yang menanggung adalah C dan D secara
bersama.
• Menurut Qiyas Khafi: yang menanggung hanya C
saja, D tidak menanggung kerugian.
• Jadi, istihsan di sini adalah menimpakan
kerugian hanya pada C saja, bukan C dan D,
karena berpindah dari Qiyas Jalli menuju Qiyas
Khafi.
• M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136
23. PENGERTIAN 2
• Pengertian kedua:
•
ٍلأص من ٍةجزئي ٍةمسأل ُءاستثنا هو اإلستحسان
ٍللدلي ٍيكل
َءاإلستثنا هذا يقتضي ُدالمجته إليه ُتطمئن
• “Istihsan adalah mengecualikan masalah parsial
(mas`alah juz`iyyah) dari hukum pokok yang
menyeluruh (al-ashlu al kulliy) menurut dalil yang
dicenderungi mujtahid, yang menuntut adanya
pengecualian itu”.
• M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 137
24. • Misalnya: penjual dan pembeli berselisih mengenai
harga barang setelah barang diserahterimakan
penjual kepada pembeli.
• Contohnya, penjual mengatakan harganya 50 juta,
sementara pembeli mengatakan harganya 40 juta,
bagaimana hukumnya?
• Menurut al-ashlul al-kulli (hukum pokok yang
menyeluruh): Penjual wajib menunjukkan bukti
(misal kuitansi atau daftar harga), sedang pembeli
wajib bersumpah.
CONTOH:
25. • Hukum pokok tersebut didasarkan pada hadits Nabi
SAW:
•
أنكر ْمن على واليمين ادعى ْمن على نةِّيالب
• “Bukti wajib diajukan oleh orang yang menuntut
(mendakwa), sedang sumpah wajib diucapkan oleh orang
yang mengingkari dakwaan itu.” (HR Baihaqi, sahih)
• Mujtahid mengecualikan hukum pokok tersebut, atas
dasar Istihsan, yaitu yang bersumpah adalah penjual
dan pembeli sekaligus (bukan hanya pembeli).
• Pengecualian ini dalilnya adalah hadits Nabi SAW
sebagai berikut:
CONTOH (Lanjutan)…
26. • Sabda Nabi SAW :
•
إذا
ُةَعْلِسال و ِعانِيباَتُمال َاختلف
وال ًةقائم
ماِهِدحِأل ًةَنَّيب
ُفُلتحا
• “Jika berselisih penjual dan pembeli, sedang barang dagangan
masih ada dan tidak ada bukti dari salah satu dari keduanya,
maka hendaklah keduanya bersumpah.” (HR As-habus
Sunnah, dan disahihkan oleh Al Haakim).
• Catatan:
• Hukum yang dianggap Istihsan ini, sebenarnya adalah kembali
kepada Al Hadits, yaitu men-takhsis hukum pokok dengan
hadits, yang memang sah dalam Ushul Fiqih. Jadi, bukan
karena menggunakan dalil istihsan.
CONTOH (Lanjutan)…
27. • Ulama yang menganggap Istihsan sebagai dalil syar’i, dalilnya:
•
َهنأحس بعونَّتَيف َلالقو َستمعونَي الذين
• “Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya.” (QS Az Zumar [39] : 18).
•
كمِبَّر من إليكم ل ِ
نزُأ ما َأحسن واتبعوا
• “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu.” (QS Az Zumar [39] : 55).
• Hadits Nabi SAW :
•
ٌنَسَح هللا عند فهو ٌنَسَح المسلمون رآه ما
• “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka ia di sisi Allah juga
baik.”
KEHUJJAHAN ISTIHSAN
28. • Dalil Istihsan menurut pendapat yang rajih (kuat),
tidak dapat diterima sebagai Dalil Syari’ah.
• Karena hakikatnya adalah meninggalkan dalil dan
menghukumi sesuatu berdasarkan maslahah dan
hawa nafsu (An-Nabhani, Syakhshiyah, 3/425).
• Menurut Syaikh M. Husain Abdullah, mengamalkan
Istihsan (khususnya istihsan qiyasi), tidak dapat
diterima, karena merujuk kepada maslahah, bukan
merujuk kepada Al Kitab dan As Sunnah yang
diperintahkan Al Qur`an (QS 4:59).
TARJIH
30. PENGERTIAN MASHALIH MURSALAH
•
ِم ْد ِ
رَي لم التي ُحالمصال هي ُةالمرسل ُحالمصال
ٌلدلي ِع َِّرشُمال َن
أ ِةَّيِع ْوُرْشَمبال لها ْدشهَي لم و ، بها ٌخاص
المشروعية ُمعد و
.
• “Mashalih mursalah adalah kemaslahatan-
kemaslahatan (mashalih) yang tidak ada dari
Musyarri’ suatu dalil yang khusus tentangnya, dan
tidak memberi kesaksian untuknya apakah
kemaslahatan itu disyariatkan atau tidak
disyariatkan”.
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
152.
31. PENGERTIAN (Lanjutan)
• Mashalih adalah jamak dari mashlahah, yang berarti
memperoleh manfaat dan menolak mafsadat (jalbul
manfa’ah wa daf’ul mafsadah).
• Mashalih ada tiga macam:
1. Mashlahah mu’tabarah: kemashlatan yang diakui
syariah, seperti bolehnya jual beli.
2. Maslahah mulghah: kemaslahatan yang dibatalkan
syariah, seperti riba.
3. Maslahah mursalah: kemaslahatan yang dimutlakkan
(“mursalah”), yakni tidak ada pengakuan (i’tibaar) dan
juga tak ada pembatalan (ilghaa`) dari syariah.
32. • Contoh Mashalih Mursalah sbb :
1. Pengumpulan Al Qur`an dalam satu mushaf
pada zaman Khalifah Abu Bakar Shiddiq.
2. Penggandaan mushaf Al Qur`an oleh Khalifah
Utsman bin Affan dan pembakaran mushaf-
mushaf lainnya.
3. Tindakan Umar bin Khaththab yang
menumpahkan air susu yang dicampur air putih
yang dimiliki oleh seorang pedagang di
Madinah.
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 153.
CONTOH:
33. PANDANGAN ULAMA
1. Sebagian ulama menggunakan Mashalih Mursalah
sebagai dalil syar’i, yaitu Imam Malik, ulama
Malikiyyah, dan ulama Hanabilah.
2. Sementara ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah tidak
menggunakan Mashalih Mursalah sebagai dalil syar’i
tersendiri, namun memasukkannya sebagai bagian
dari Qiyas.
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 155.
• Catatan:
• Imam Malik menetapkan 4 (empat) syarat untuk
kemaslahatan yang akan diambil berdasarkan Mashalih
Mursalah, Sebagai berikut:
34. PANDANGAN ULAMA (lanjutan)
1. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan
Maqashidus Syariah (tujuan-tujuan Syariah), yaitu
menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.
2. Kemaslahatan itu rasional, dalam arti akan diterima
oleh orang yang berakal sehat.
3. Kemaslahatan itu diambil untuk menghilangkan
kesulitan (raf’ul haraj), sesuai QS Al Hajj : 78.
4. Kemaslahatan itu bersifat umum untuk masyarakat
umum, bukan untuk golongan tertentu.
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 157-158
35. DALIL ULAMA’
1. Para shahabat telah menetapkan hukum
berdasarkan maslahah, seperti pengumpulan
mushaf pada masa Abu Bakar, dll.
2. Mengambil kemaslahatan yang sesuai dengan
Maqashidus Syariah, berarti mengambil sesuatu
yang telah diakui Syariah.
3. Karena, jika tidak mengambil Mashalih Mursalah,
yang sesuai syariah, manusia akan mengalami
kesulitan (QS Al Hajj :78; QS Al Baqarah : 185).
• M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 156.
36. TARJIH
• Menurut Syaikh Muhammad Husain Abdullah, Mashalih
Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i dengan 4 alasan sbb:
1. Mereka yang menggunakan dalil Mashalih Mursalah adalah
keliru dalam memposisikan maslahah. Mereka meletakkan
maslahah sebagai illat (alasan) penetapan hukum syara’.
Padahal yang benar, maslahah adalah hasil (natiijah) dari
penerapan hukum syara’.
2. Sesungguhnya tidak tepat jika dikatakan bahwa illat (alasan)
penetapan hukum syara’ secara umum adalah maslahah
(memperoleh manfaat atau menolak mafsadat). Sebab, illat
hukum syara’ bersifat unik (berbeda-beda) untuk setiap
hukum yang berillat syar’iyyah.
37. CONTOHNYA:
• Untuk kasus haramnya jual beli pada saat adzan
Jumat (QS Al Jumu’ah: 9), illatnya adalah karena jual
beli itu dapat melalaikan dari sholat Jumat (al ilha`
an as sholat), bukan karena maslahah.
• Untuk kasus wajibnya qishas, illatnya adalah untuk
menjaga kehidupan masyarakat (QS Al Baqarah:
179), bukan karena maslahah.
• Untuk contoh-contoh yang mereka sebut terjadi pada
masa shahabat, sebenarnya dalilnya bukan
maslahah, melainkan nash.
38. PENJELASANNYA:
• Pada kasus pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar, juga
penggandaan mushaf pada masa Utsman, dalilnya bukan
maslahah, melainkan nash hadits: “laa dharara wa laa
dhiraara” (Tidak boleh ada bahaya bagi diri sendiri maupun
bagi orang lain). (HR Ahmad)
• Pada kasus tindakan Umar menumpahkan susu yang dicampur
air, dalilnya bukan maslahah melainkan nash hadits: “man
ghasysyanaa laisa minna” (barangsiapa menipu kami, dia
bukan golongan kami). (HR Muslim dan Tirmidzi).
• Mengambil Mashalih Mursalah, berarti mengambil sesuatu
yang tidak diberikan Rasulullah SAW, ini jelas tidak boleh
(Lihat QS Al Hasyr: 7).
39. KESIMPULAN:
• Berdasarkan 4 alasan di atas, maka Mashalih Mursalah tidak
memiliki kehujjahan sebagai dalil syar’i (sumber hukum).
• Namun, hukum-hukum yang di-istinbath berdasarkan Mashalih
Mursalah, tetap dianggap sebagai hukum syara’ bagi mujtahidnya,
meskipun tidak mengikat atau berlaku bagi mujtahid yang tidak
menggunakan Mashalih Mursalah sebagai dalil syar’i.
• Bagi muqallid, tetap wajib melakukan tarjih, berdasarkan kaidah:
•
ْالِب ُلَمَعال َو ٌب ِاج َو ِح ِاجَّالرِب ُلَمَعال
ٌعِنَتْمُم ِح ْوُج ْرَم
• “Mengamalkan pendapat yang raajih (kuat) itu wajib,
mengamalkan pendapat marjuh (lemah) itu tidak boleh
(tertolak)”.
40. CONTOH-CONTOH FATWA DI MASA SEKARANG:
1. Kebolehan transaksi spot dalam jual beli mata uang (sharf) di Bursa
Valas, yang ternyata penyerahannya tidak bisa tunai (paling cepat 2
hari). Padahal, hukum asal sharf yang tidak tunai adalah haram.
2. Penggunaan revenue sharing untuk aqad mudharabah dan musyarakah
di Bank Syari’ah, yang hukum asalnya haram. Bagi hasil yang benar
adalah dengan profit sharing.
3. Penerapan agunan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah di
Bank Syari’ah, yang hukum asalnya haram.
4. Kebolehan melakukan repurchase agreement (repo) surat berharga
(SBI, SBSN) oleh Bank Syari’ah, yang hukum asalnya haram.
5. Kebolehan kafalah bil ujrah (bank guarantee/BG) dan hawalah bil ujrah
(letter of credit/LC) di Bank Syari’ah, yang hukum asalnya haram.
6. Kebolehan kredit emas di masa sekarang, yang hukum asalnya haram.
7. Kebolehan BPJS, yang hukum asalnya haram.