1. Dokumen membahas pembaruan metodologi hukum Islam (ushul fiqh) dengan memperbarui proses ta'lil al-ahkam dengan melibatkan hikmah dan maslahah sebagai faktor penentu, bukan hanya 'illat.
2. Ada dua pendekatan utama dalam pembaruan ushul fiqh, yakni pendekatan qiyas dan pendekatan maqashid syari'ah. Namun keduanya memiliki kelemahan jika tidak melibatkan hikmah dan
2. PEMBAHARUAN USHUL
FIQH
DENGAN TA’LIL AL-AHKAM
Keberlangsungan hukum Islam (baca: fikih
Islam) paling tidak tergantung pada dua
faktor utama. Pertama, bagaimana
melakukan pembaruan terhadap fikih Kedua,
pembaruan dan pengembangan metodologi
hukum Islam yang tidak lain adalah
pembaruan dan pengembangan ushul fiqh
3. DUA ALIRAN DALAM
PEMBAHARUAN USHUL FIQH
Dalam sejarah ushul fikih, pernah ada
dua kutub besar dalam teori ushul fikih,
yaitu;
1. teori yang menjadikan qiyas dan
proses ta’li>l al-ah}ka>m sebagai
poros dan dasarnya, dan
2. teori yang menjadikan maqa>s}id asy-
syari>’ah sebagai pondasinya
4. QIYAS
Adalah: Menyamakan hukum suatu kejadian yang
belum ada ketentuan hukumnya dengan kejadian lain
yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya
kesamaan ‘illat.
No Peristiwa Yang
ada Nash nya
Dalil dan
Hukumnya
Peristiwa Yang
Belum Ada Nash
nya
‘Illat
1 Khamr Al-Ma’idah: 90;
Haram
Wiski, Vodka,
Ganja, dll
Iskar
2 Jual Beli Saat
Adzan Jum’at
Al-Jumu’ah: 9
Makruh
Sewa Menyewa,
Gadai, dll
Sibuk
dari
Shalat
5. QIYAS
Proses qiyas dengan ta’li>l al-ah}ka>m memang
sangat terbatas, sehingga Qiyas dianggap akan
sulit memecahkan persoalan baru yang tidak
dapat dicarikan kesamaannya dengan
persoalan lama yang mans}u>s dan mencari
kesamaan ‘illatnya.
Oleh karena itulah, banyak kalangan yang
menyuarakan untuk meninggalkan metode
qiyas melalui proses ta’li>l al-ah}ka>m menuju
metode maqa>s}id asy-syari>’ah yang bisa lebih
fleksibel sehingga dapat lebih menjawab
persoalan kontemporer yang semakin
6. MAQASHID ASY-SYARI’AH
Maqashid asy-Syari’ah atau tujuan utama
ditetapkannya syari’at merupakan salah
satu kajian dalam ushul fiqh yang dibahas
sebagai pembahasan mandiri oleh Imam
asy-Syathibi (w. 790 H) dalam karyanya al-
Muwafaqat.
asy-Sya>t}ibi> menjadikan pengetahuan
atas maqa>s}id asy-syari>’ah sebagai salah
satu pra syarat seseorang layak melakukan
ijtihad.
7. Tokoh Sebelum asy-Syathibi
• Ima>m al-H}aramain berupaya
mensistematisasikan konsep maqashid asy-
syari’ah dengan membaginya menjadi tiga
strata: adh-dharu>riya>t (primer),
h}a>jiyya>t (skunder), dan tah}si>niyya>t
(tersier).
• Abu> H{a>mid al-Ghaza>li membagi
maqa>s}id asy-syari’ah dalam lima kategori,
yakni menjaga agama, jiwa, harta,
keturunan dan akal
8. Pasca asy-Syathibi
•Ath-Thahir bin ‘Asyur; menambahkan tiga
poin baru maqa>s}id asy-syari>’ah selain
lima poin yang sudah disampaikan oleh al-
Ghazali, yakni al-musa>wa>h (persamaan),
at-tasa>muh (toleransi)} dan al-h}urriyyah
(kebebasan/kemerdekaan).
• Ia juga membagi Maqa>s}id asy-syari’ah
dalam tiga tingkatan; ‘a>mmah, kha>s}s}ah,
dan juz’iyyah
9. Ta’lil al-Ahkam
Dalam perkembangan saat ini, ada indikasi
maqa>s}id asy-syari>’ah dipahami dan
digunakan secara salah sehingga keluar dari
apa yang ada dalam nash-nash syar’i dan
terlepas dari kaidah-kaidah yang ditetapkan
oleh para penggagasnya.
Oleh karena itu muncul gagasan untuk tetap
menjadikan proses ta’li>l al-ah}ka>m
sebagai sarana untuk mengembangkan
ushul fikih dan juga menjaga fikih tetap
dinamis tanpa harus meninggalkan nash
10. Ta’lil al-Ahkam
Diantaranya adalah dengan memperbarui
proses ta’li>l al-ah}ka>m, tidak sekedar
membatasinya pada ‘illat, akan tetapi
mencoba untuk menjadikan hikmah dan
juga maslahah dan mafsadah sebagai
faktor penentu dalam proses ta’li>l al-
ah}ka>m
Ini memang sebuah perdebatan yang lama
tentang bisa dan tidaknya hikmah sebagai
bagian dari ta’lil al-ahkam
11. Ta’lil al-Ahkam
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan:
والقرآن
وسنة
رسول
هللا
صلى
هللا
عليه
و
سلم
مملوآن
م
ن
تعليل
األحكام
بالحكم
والمصالح
وتعليل
الخلق
بهما
و
التنبيه
على
وجوه
الحكم
التي
ألجلها
شرع
تلك
األحكام
……
Ungkapan Ibn al-Qayyim tersebut paling
tidak menggambarkan bahwa hikmah dan
juga maslahah bisa dijadikan sebagai
alasan penetapan hukum, bukan sekedar
dengan ‘illat fikih yang sudah didefinisikan
dengan sangat terbatas oleh sebagian
besar ulama ushul fikih
12. Ta’lil al-Ahkam
Imam ar-Razi mengatakan:
yang memiliki pengaruh terhadap hukum
(al-muassir) pada hakikatnya adalah
hikmah, dan bukan sifat (‘illat). Sifat atau
‘illat dapat dijadikan sebagai al-muassir
karena adanya hikmah di dalamnya.
Bahkan, selama hukum dapat disandarkan
pada hikmah, maka hukum tidak boleh
disandarkan pada ‘illat. Kebolehan ta’li>l
dengan‘illat hanyalah jika tidak mampu
melakukan proses ta’li>l dengan hikmah.
13. Ta’lil al-Ahkam
Dan yang dimaksud dengan hikmah oleh ar-
Ra>zi> dalam hal ini jalb an-naf’ aw daf’
madharrah, menarik manfaat atau menolak
kerusakan. Artinya, pada dasarnya ar-Ra>zi
menjadikan terwujudnya maslahat dan
hilangnya madharat sebagai faktor utama
dalam menentukan mana yang memiliki
pengaruh terhadap ada dan tidak adanya
hukum. Dan hal itu dapat tercapai jika
hikmahlah yang pertama kali dijadikan
faktor penentunya
14. Ta’lil al-Ahkam
misalnya adanya larangan dari
Rasulullah bagi seorang hakim untuk
memutuskan hukum dalam keadaan
marah karena ada sebuah hikmah yang
terkandung di dalamnya, yaitu tidak
jernihnya pemikiran saat marah. Atas
dasar hikmah itu, hakim yang dalam
keadaan sangat lapar dan haus juga
dilarang membuat keputusan hukum
karena adanya kesamaan hikmah.
15. Ta’lil al-Ahkam
Anak kecil harus berada dalam
perwalian karena hikmah yang
terkandung di dalamnya, yaitu
ketidakmampuannya dalam mengurus
diri sendiri. Orang yang gila dapat
diqiyaskan dalam masalah ini karena
alasan hikmah yang sama.
16. Ta’lil al-Ahkam dengan maslahah
Selain dengan hikmah, sebagian ulama juga
mengemukakan kebolehan melakukan ta’lil al-
ahkam dengan maslahah.
Selama tujuan akhir dari proses ta’li>l al-
ah}ka>m adalah mewujudkan kemaslahatan
atau menghilangkan mafsadah dan kerusakan,
maka proses tersebut sangat layak untuk tetap
dipertahankan
17. Ta’lil al-Ahkam
Proses ta’li>l al-ah}ka>m dengan mas}lah}ah
atau mafsadah mengharuskan pengetahuan
bahwa maslahat yang dikehendaki atau
mafsadah yang hendak dihindari, selain ada
pada as}l juga harus ada pada far’.
Jika selama ini dikenal istilah “al-h}ukmu
yadu>ru ma’a ‘illatihi wuju>dan wa’
adaman”, maka saat ini perlu dilakukan
pembaruan dengan mengatakan “al-h}ukmu
yadu>ru ma’a h}ikmatihi/mas}lah}atihi
wuju>dan wa ‘adaman”.