Pedoman ini memberikan panduan bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak melalui layanan kesehatan ibu dan anak yang terintegrasi. Pedoman ini mencakup informasi tentang HIV dan sifilis, kegiatan pencegahan seperti tes, konseling, pemberian obat, diagnosis dan rujukan, serta sistem pencatatan dan pelaporan. Harapannya pedoman ini dapat meningkatkan kualitas layanan pencegahan penularan HIV dan s
Dokumen tersebut merupakan pedoman pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan panduan mengenai kebijakan, strategi, dan kegiatan utama dalam pengendalian ISPA seperti pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan, pelaporan, dan pemantauan program pengendalian ISPA di Indonesia.
merupakan pemeriksaan yang dilakukan pada perut ibu hamil untuk mengetahui apa yang ada d fundus, lateral kanan dan kiri uterus, menentukan sudah masuk pap atau belum dan untuk mengetahui seberapa jauh penurunan kepala
Hipertensi dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan yang serius yang dapat membahayakan ibu dan janin. Terdapat beberapa klasifikasi hipertensi dalam kehamilan seperti hipertensi kronik, hipertensi gestasional, dan preeklampsia. Preeklampsia merupakan kondisi yang paling berbahaya dan dapat memiliki gejala berat seperti gangguan ginjal dan saraf. Pengelolaan dan hasilnya bergantung pada ting
Dokumen tersebut merupakan pedoman pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman ini memberikan panduan mengenai kebijakan, strategi, dan kegiatan utama dalam pengendalian ISPA seperti pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan, pelaporan, dan pemantauan program pengendalian ISPA di Indonesia.
merupakan pemeriksaan yang dilakukan pada perut ibu hamil untuk mengetahui apa yang ada d fundus, lateral kanan dan kiri uterus, menentukan sudah masuk pap atau belum dan untuk mengetahui seberapa jauh penurunan kepala
Hipertensi dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan yang serius yang dapat membahayakan ibu dan janin. Terdapat beberapa klasifikasi hipertensi dalam kehamilan seperti hipertensi kronik, hipertensi gestasional, dan preeklampsia. Preeklampsia merupakan kondisi yang paling berbahaya dan dapat memiliki gejala berat seperti gangguan ginjal dan saraf. Pengelolaan dan hasilnya bergantung pada ting
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan tes sederhana untuk mendeteksi kanker serviks dengan mengoleskan asam asetat pada serviks dan melihat apakah muncul bercak putih. Tes ini mudah dilakukan, murah, dan dapat digunakan untuk skrining awal kanker serviks. Jika hasil positif, perlu dilanjutkan dengan biopsy untuk konfirmasi diagnosis.
Kanker serviks adalah tumor ganas di leher rahim yang dapat menyebar ke organ lain dan menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan merupakan penyebab kematian nomor satu bagi perempuan di Indonesia. Deteksi dini melalui tes IVA setiap 5 tahun dan vaksinasi HPV dapat mencegah kanker serviks.
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...Tini Wartini
Dokumen tersebut merupakan panduan pelaksanaan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) pada masa pandemi COVID-19 dan adaptasi kebiasaan baru. Panduan ini memberikan pedoman bagaimana Puskesmas dapat melakukan penyesuaian dalam pelaksanaan PIS-PK dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan selama pandemi, seperti melakukan kunjungan secara terbatas, mengoptimalkan data hasil kunjungan untuk pencegahan COVID-
Dokumen tersebut membahas tentang fetal distress dan asfiksia neonatorum. Fetal distress terjadi ketika janin mengalami hipoksia intrauterin yang berpotensi menyebabkan asfiksia pada saat kelahiran. Deteksi dini melalui pemantauan detak jantung janin dapat mencegah terjadinya asfiksia neonatorum yang berisiko menyebabkan kematian bayi baru lahir.
Dokumen tersebut membahas tentang manajemen distosia bahu pada persalinan, termasuk faktor risiko, gejala, dan berbagai manuver manual untuk melahirkan bahu bayi seperti manuver McRoberts, manuver anterior disimpaction, manuver "corkscrew", dan ekstraksi vakum. Dokumen juga menjelaskan indikasi dan teknik pelaksanaan ekstraksi vakum.
Dokumen tersebut membahas mengenai berbagai malpresentasi dan malposisi janin selama persalinan, seperti presentasi kepala dengan oksiput posterior, presentasi dahi, presentasi muka, presentasi bokong, presentasi ganda, serta komplikasi yang mungkin terjadi. Dokumen ini juga menjelaskan penanganan dan mekanisme persalinan pada setiap kondisi tersebut, serta merekomendasikan seksio sesarea pada kondisi-kondisi tertentu.
Persalinan normal Ny. I berjalan lancar. Ia mengalami kontraksi dan pelepasan lendir sejak malam sebelumnya. Pemeriksaan menunjukkan persalinan Kala I fase laten dengan pembukaan 2 cm. Selama proses, kondisi ibu dan janin baik. Pembukaan terus bertambah hingga mencapai 10 cm malam harinya, menandakan persalinan akan segera selesai.
Pasien perempuan berusia 31 tahun dirawat di rumah sakit karena gejala preeklampsia berat pada kehamilan minggu ke-37. Diagnosis dokter adalah preeklampsia berat berdasarkan tekanan darah tinggi dan pembengkakan kaki. Bayi lahir secara spontan pada hari kedua perawatan. Pengobatan yang diberikan mencakup magnesium sulfat, nifedipin, misoprostol, oksitosin, asam mefenamat, dan sulfat ferro.
Dokumen tersebut membahas asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan sifilis. Sifilis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum dan dapat menyebabkan komplikasi pada ibu hamil dan janin seperti kematian janin, partus prematur, atau bayi lahir dengan sifilis kongenital. Prinsip penanganannya adalah diagnosis dini dan pengobatan ibu hamil dengan antibiotik seperti penisilin.
Dokumen tersebut membahas tentang imunisasi, yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit dengan memasukkan kuman atau bibit kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubu. Dokumen ini menjelaskan pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya seperti polio, campak, difteri, dan lainnya serta menyoroti tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan
Pedoman ini membahas pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan memberikan informasi tentang penularan HIV, faktor risiko, dan tahapan infeksi. Pedoman ini juga menjelaskan empat pilar (prong) pencegahan yaitu tes HIV pada ibu hamil, pencegahan kehamilan tidak direncanakan, pemberian ARV pada ibu hamil positif HIV, dan dukungan untuk ibu dan anak. Tujuannya adalah menurunkan risiko penularan HIV dari ibu
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan tes sederhana untuk mendeteksi kanker serviks dengan mengoleskan asam asetat pada serviks dan melihat apakah muncul bercak putih. Tes ini mudah dilakukan, murah, dan dapat digunakan untuk skrining awal kanker serviks. Jika hasil positif, perlu dilanjutkan dengan biopsy untuk konfirmasi diagnosis.
Kanker serviks adalah tumor ganas di leher rahim yang dapat menyebar ke organ lain dan menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan merupakan penyebab kematian nomor satu bagi perempuan di Indonesia. Deteksi dini melalui tes IVA setiap 5 tahun dan vaksinasi HPV dapat mencegah kanker serviks.
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...Tini Wartini
Dokumen tersebut merupakan panduan pelaksanaan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) pada masa pandemi COVID-19 dan adaptasi kebiasaan baru. Panduan ini memberikan pedoman bagaimana Puskesmas dapat melakukan penyesuaian dalam pelaksanaan PIS-PK dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan selama pandemi, seperti melakukan kunjungan secara terbatas, mengoptimalkan data hasil kunjungan untuk pencegahan COVID-
Dokumen tersebut membahas tentang fetal distress dan asfiksia neonatorum. Fetal distress terjadi ketika janin mengalami hipoksia intrauterin yang berpotensi menyebabkan asfiksia pada saat kelahiran. Deteksi dini melalui pemantauan detak jantung janin dapat mencegah terjadinya asfiksia neonatorum yang berisiko menyebabkan kematian bayi baru lahir.
Dokumen tersebut membahas tentang manajemen distosia bahu pada persalinan, termasuk faktor risiko, gejala, dan berbagai manuver manual untuk melahirkan bahu bayi seperti manuver McRoberts, manuver anterior disimpaction, manuver "corkscrew", dan ekstraksi vakum. Dokumen juga menjelaskan indikasi dan teknik pelaksanaan ekstraksi vakum.
Dokumen tersebut membahas mengenai berbagai malpresentasi dan malposisi janin selama persalinan, seperti presentasi kepala dengan oksiput posterior, presentasi dahi, presentasi muka, presentasi bokong, presentasi ganda, serta komplikasi yang mungkin terjadi. Dokumen ini juga menjelaskan penanganan dan mekanisme persalinan pada setiap kondisi tersebut, serta merekomendasikan seksio sesarea pada kondisi-kondisi tertentu.
Persalinan normal Ny. I berjalan lancar. Ia mengalami kontraksi dan pelepasan lendir sejak malam sebelumnya. Pemeriksaan menunjukkan persalinan Kala I fase laten dengan pembukaan 2 cm. Selama proses, kondisi ibu dan janin baik. Pembukaan terus bertambah hingga mencapai 10 cm malam harinya, menandakan persalinan akan segera selesai.
Pasien perempuan berusia 31 tahun dirawat di rumah sakit karena gejala preeklampsia berat pada kehamilan minggu ke-37. Diagnosis dokter adalah preeklampsia berat berdasarkan tekanan darah tinggi dan pembengkakan kaki. Bayi lahir secara spontan pada hari kedua perawatan. Pengobatan yang diberikan mencakup magnesium sulfat, nifedipin, misoprostol, oksitosin, asam mefenamat, dan sulfat ferro.
Dokumen tersebut membahas asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan sifilis. Sifilis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum dan dapat menyebabkan komplikasi pada ibu hamil dan janin seperti kematian janin, partus prematur, atau bayi lahir dengan sifilis kongenital. Prinsip penanganannya adalah diagnosis dini dan pengobatan ibu hamil dengan antibiotik seperti penisilin.
Dokumen tersebut membahas tentang imunisasi, yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit dengan memasukkan kuman atau bibit kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubu. Dokumen ini menjelaskan pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya seperti polio, campak, difteri, dan lainnya serta menyoroti tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan
Pedoman ini membahas pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan memberikan informasi tentang penularan HIV, faktor risiko, dan tahapan infeksi. Pedoman ini juga menjelaskan empat pilar (prong) pencegahan yaitu tes HIV pada ibu hamil, pencegahan kehamilan tidak direncanakan, pemberian ARV pada ibu hamil positif HIV, dan dukungan untuk ibu dan anak. Tujuannya adalah menurunkan risiko penularan HIV dari ibu
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)Indah Triayu
Dokumen tersebut membahas tentang HIV/AIDS dalam kehamilan dan penatalaksanaannya. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain bahwa risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi menjadi kurang dari 5% dengan memberikan terapi antiretroviral untuk ibu hamil dan bayi baru lahir, serta menyusui dengan pengganti ASI. WHO merekomendasikan pemberian regimen TDF+3TC(FTC)+EFV untuk semua ibu hamil
This document reports on a case of a 29-year-old woman admitted to the hospital with vaginal bleeding at 35-36 weeks of pregnancy. She was diagnosed with severe preeclampsia, placenta previa totalis, and was at risk of eclampsia. She underwent an emergency cesarean section to deliver a healthy baby girl weighing 2400 grams. Post-operation, the mother received magnesium sulfate and antihypertensive treatment and recovered well.
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi HIV pada bayi dan anak sangat penting untuk menentukan status infeksi dan pemberian terapi HIV
2. Metode diagnosis berbeda antara bayi dan anak di bawah 18 bulan dengan yang di atas 18 bulan
3. Kriteria diagnosis pasti infeksi HIV pada bayi dan anak juga berbeda tergantung usia dan apakah mendapat ASI
Pedoman ini memberikan panduan lengkap tentang tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa dan remaja di Indonesia. Pedoman ini mencakup rekomendasi tentang kapan memulai terapi ARV, paduan obat apa yang dianjurkan untuk lini pertama dan kedua, pemantauan selama terapi, penanganan efek samping dan kegagalan terapi, serta penatalaksanaan infeksi oportunistik berdasarkan pendekatan sindrom. Pedoman ini
Virus HIV dapat menular melalui hubungan seksual tanpa pengaman, berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, transfusi darah terinfeksi, dan dari ibu ke anak. Pencegahan meliputi menghindari berhubungan seks bebas, menggunakan jarum suntik bersih, dan memastikan darah yang ditransfusi bebas dari HIV.
Pedoman ini memberikan panduan mengenai tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa dan remaja. Pedoman ini mencakup rekomendasi mengenai saat memulai terapi ARV, paduan obat yang dianjurkan, pemantauan selama terapi, dan penatalaksanaan populasi khusus seperti ibu hamil dan pasien ko-infeksi."
Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO terdiri dari 4 stadium. Stadium 1 adalah asimtomatik, stadium 2 ringan, stadium 3 sedang, dan stadium 4 berat. Pada anak, stadium klinis meliputi limfadenopati, hepatosplenomegali, dan berbagai infeksi seperti kandidiasis. HIV adalah virus yang menyerang sel kekebalan dan menyebabkan AIDS akibat defisiensi sistem kekebalan.
Dokumen tersebut membahas tentang standar pendidikan bidan di Indonesia, dimulai dari sejarah perkembangan pendidikan bidan dan berbagai program pendidikan bidan yang pernah ada, serta uraian mengenai 9 standar pendidikan bidan yang meliputi lembaga pendidikan, falsafah, organisasi, sumber daya pendidikan, pola pendidikan, kurikulum, tujuan pendidikan, proses pendidikan, dan hasil belajar."
Dokumen tersebut membahas mengenai peningkatan kinerja bidan melalui penggunaan indikator kinerja. Indikator kinerja digunakan untuk mengukur kinerja bidan klinis dan manajerial serta merupakan variabel untuk mengukur perubahan kualitas pelayanan kebidanan. Dokumen ini juga membahas prinsip-prinsip dan strategi peningkatan kinerja bidan.
Manajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilanguest2735210a
Dokumen tersebut membahas manajemen kesehatan gigi pada kehamilan. Ia menjelaskan bahwa kesehatan gigi perlu dijaga selama kehamilan karena gangguan kesehatan mulut dapat mempengaruhi kehamilan dan janin. Dokumen ini juga menjelaskan perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh ibu hamil termasuk yang terjadi pada sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan rongga mulut yang dapat me
Rangkuman dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas upaya pencegahan penularan HIV dan infeksi menular seksual lainnya dari ibu ke anak melalui integrasi layanan antenatal terpadu.
2) Strategi utama meliputi deteksi dini pada ibu hamil, penapisan dan pengobatan pasangan, serta eliminasi sifilis kongenital.
3) Tujuan akhir adalah memberikan layanan antenatal yang lengkap dan berkualitas unt
Pedoman ini membahas pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia, meliputi: (1) epidemiologi HIV di Indonesia dan pentingnya program PMTCT, (2) kebijakan pemerintah mendukung pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, dan (3) kerja sama antar sektor diperlukan untuk meningkatkan cakupan program pencegahan.
Buku pedoman ini membahas program pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, mencakup epidemiologi, strategi pencegahan, pengelolaan program, dan peran berbagai pihak yang terkait. Pedoman ini bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil untuk mencegah penularan penyakit menular langsung dari ibu ke anak.
[Ringkasan]
Pelayanan antenatal terpadu bertujuan untuk memenuhi hak ibu hamil mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas agar dapat menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi sehat. Pelayanan antenatal terpadu mencakup deteksi dini masalah kesehatan ibu hamil, penanganan komplikasi, dan rujukan cepat bila diperlukan guna mengurangi angka kematian ibu dan bayi.
Dokumen tersebut membahas tentang HIV/AIDS pada anak, meliputi proses penularan, diagnosis, pencegahan, dan penatalaksanaannya. Proses penularan HIV pada anak dapat terjadi dari ibu ke anak saat kehamilan atau kelahiran, atau akibat pelecehan seksual. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan darah dua kali sebelum dan sesudah umur 18 bulan. Pencegahannya meliputi pemberian obat pada ibu dan anak
1. Status imunisasi dasar lengkap pada anak dipengaruhi oleh faktor pendukung, pemungkin, dan penguat seperti karakteristik ibu, akses ke fasilitas kesehatan, dan dukungan masyarakat.
2. Cakupan imunisasi dasar lengkap menurun selama pandemi namun pemerintah berupaya meningkatkannya melalui program BIAN.
3. Berbagai tantangan pelaksanaan BIAN antara lain kesadaran masyarak
Laporan ini membahas pelaksanaan kegiatan imunisasi di desa Manjeppu oleh Puskesmas Lau. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada balita di desa tersebut sesuai standar pelayanan kesehatan. Kegiatan dilaksanakan pada 14 Juli 2022 dan melibatkan 5 balita. Hasil evaluasi menunjukkan antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap program imunisasi untuk mencegah penyakit pada anak
Dokumen tersebut membahas mengenai pengertian, penyebab, dan upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Upaya yang dilakukan antara lain program Safe Motherhood dan Rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer dengan pesan kunci setiap persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih dan setiap ibu hamil memiliki akses pelayan
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang masalah tingginya angka penderita ISPA khususnya pada balita di Desa Bejod, tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan sikapnya dalam merawat ISPA di rumah, serta manfaat penelitian bagi puskesmas dan masyarakat.
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PKDokter Tekno
Dokumen tersebut memberikan ringkasan strategi peningkatan program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) di Provinsi Jawa Barat untuk mencapai tujuan Jawa Barat sebagai juara. Ringkasan strateginya meliputi pelaksanaan kunjungan keluarga ke seluruh wilayah, integrasi program kesehatan, dan pencapaian Standar Pelayanan Minimal kesehatan.
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya penyediaan makanan sehat dan aman di kantin sekolah untuk memenuhi gizi anak sekolah. Dokumen tersebut menjelaskan lima kunci penyediaan pangan yang aman yaitu menjaga kebersihan, memisahkan pangan mentah dan matang, memasak dengan benar, menyimpan pangan pada suhu yang aman, serta menggunakan air dan bahan baku yang aman. Dokumen tersebut juga memberikan
Dokumen tersebut merupakan manual sistem informasi manajemen rumah sakit generik open source yang memberikan panduan penggunaan fitur-fitur utama sistem seperti pendaftaran pasien baru dan lama, pendaftaran rawat jalan, rawat inap, dan darurat, serta pelayanan pasien seperti layanan kamar, laboratorium, farmasi, dan konsultasi dokter.
Pedoman ini memberikan panduan implementasi Sistem Informasi Rawat Inap versi 2.1 untuk menyediakan informasi ketersediaan tempat tidur rumah sakit di seluruh Indonesia secara real time melalui aplikasi daring atau mobile. Data dapat dikirim secara terintegrasi melalui SIMRS atau secara manual menggunakan rest client. Pedoman ini diharapkan memudahkan pemantauan ketersediaan tempat tidur rumah sakit.
8. triyani kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018Dokter Tekno
Dokumen tersebut membahas tentang pedoman pelayanan gizi di rumah sakit yang mencakup asuhan gizi rawat jalan, asuhan gizi rawat inap, penyelenggaraan makanan, dan penelitian serta pengembangan gizi."
5. dr rr tutik pengelolaan askep sirsak desember 2018Dokter Tekno
[Ringkasan]
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan asuhan keperawatan, yang mencakup proses asuhan pasien sesuai standar akreditasi, asuhan keperawatan, fenomena asuhan keperawatan, dan pengelolaan asuhan keperawatan dalam sistem informasi rumah sakit.
4. dr diyurman gea materi ws sirsak - des 2018Dokter Tekno
Sistem Informasi RS Ala KARS (SIRSAK) adalah sistem rekam medis elektronik berbasis SNARS yang dikembangkan oleh KARS untuk memudahkan proses pendataan dan pelaporan di rumah sakit. SIRSAK memiliki fitur-fitur seperti pendataan pasien, tenaga medis, asuhan medis, keperawatan, gizi, dan farmasi serta bridging dengan sistem BPJS dan e-klaim.
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018revDokter Tekno
Dra. Yulia Trisna memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas dalam bidang farmasi rumah sakit. Saat ini beliau menjabat sebagai Koordinator Produksi, Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Instalasi Farmasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta menjadi Surveior Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Selama karirnya, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Instalasi Farmasi dan aktif dalam berbagai organisasi ke
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasiDokter Tekno
1. Dokumen tersebut membahas tentang Asuhan Pasien 4.0 dan Sirsak serta peran dan manfaatnya bagi rumah sakit dalam akreditasi SNARS Edisi 1.
2. Asuhan Pasien 4.0 adalah asuhan pasien berbasis PCC dan terintegrasi yang didokumentasikan melalui sistem informasi rumah sakit Sirsak.
3. Sirsak merupakan sistem rekam medis elektronik berbasis SNARS yang mendukung pengelolaan asuhan pasien se
Dokumen ini membahas pedoman pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) di Puskesmas Kabupaten Karawang tahun 2020 sesuai peraturan pemerintah dan kementerian terkait untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan layanan publik berdasarkan masukan masyarakat. Hasil SKM akan digunakan sebagai acuan pembuatan rencana untuk tahun berikutnya.
Konsep dan Implementasi Vedika dan KelengkapannyaDokter Tekno
Dokumen tersebut membahas konsep dan implementasi sistem VEDIKA oleh BPJS Kesehatan untuk meningkatkan proses verifikasi klaim secara digital. Sistem ini dirancang untuk mempercepat proses verifikasi serta meningkatkan kepuasan fasilitas pelayanan kesehatan dan peserta JKN. Sistem VEDIKA menggunakan aplikasi VClaim dan Vidi untuk memverifikasi klaim secara online secara nasional.
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFratnawulokt
Peningkatan status kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu hal prioritas di Indonesia. Status derajat kesehatan ibu dan anak sendiri dapat dinilai dari jumlah AKI dan AKB. Pemerintah berupaya menerapkan program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan harapan dapat menekan AKI dan AKB, tetapi kenyataannya masih tinggi sehingga tujuan dari penyusunan laporan tugas akhir ini untuk memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif dari ibu hamil trimester III sampai KB.
Metode penelitian menggunakan Continuity of Care dengan pendokumentasian SOAP Notes. Subjek penelitian Ny. “H” usia 34 tahun masa kehamilan Trimester III hingga KB di PMB E Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Hasil asuhan selama masa kehamilan trimester III tidak ada komplikasi pada Ny. “E”. Masa persalinan berjalan lancar meskipun terdapat kesenjangan dimana IMD dilakukan kurang dari 1 jam. Kunjungan neonatus hingga nifas normal tidak ada komplikasi, metode kontrasepsi memilih KB implant.
Kesimpulan asuhan pada Ny. “H” ditemukan kesenjangan antara kenyataan dan teori di penatalaksanaan, tetapi dalam pemberian asuhan ini kesenjangan masih dalam batas normal. Asuhan kebidanan ini diberikan untuk membantu mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi pada saat masa kehamilan hingga KB.
PPT RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
Pedoman ppia email
1. PEDOMAN PELAKSANAAN
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS
DARI IBU KE ANAK
BAGI TENAGA KESEHATAN
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta
2014
PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
2. ii
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV
Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014
ISBN 978-602-235-502-1
1. Judul I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
II. SYPHILIS III. BACTERIAL INFECTIONS
IV. MOTHER CHILD RELATION
616.979 2
Ind
p
PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
3. iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan
rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini
melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi
profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan .
Buku disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan dalam pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada
perempuan usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. Dengan adanya buku ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait dalam
upaya pencegahan penularan infeksi HIV baru pada bayi baru lahir dan eliminasi
sifilis kongenital di Indonesia.
Dalam kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi serta UNICEF
yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan buku ini.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Bina Kesehatan Ibu
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
dr. Gita Maya Koemara Sakti.MHA
NIP. 195706221985012001
PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
4. iv
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana
diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas
merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah
cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai
95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil
masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan
adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap
kesehatan ibu dan janinnya.
Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan
sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama
kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun
kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis,
sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV
sebesar 3-5 kali.
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi
antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan
pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui
pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar
pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV
dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.
Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada,
disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi
dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan
layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan
kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi
tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan
layanan sehari-hari yang terintegrasi.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman
tatalaksana ini dan semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA
Dr. Anung Sugihantono, M.Kes
NIP. 196003201985021002
PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
5. v
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan
SAMBUTAN
Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar
500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis
dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis
menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV,
penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS,
adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan
dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin
lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan
degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan
(AIDS) dalam 10-15 tahun.
Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat
di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan
seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan
penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja
hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi
darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi.
Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia,
sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk
IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas
hidup dan umur harapan hidup penderitanya.
Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan
generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan
memadukanberbagaiupayakesehatansecarakomprehensifdanberkesinambungan,
makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah
Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis
untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib
serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah
ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah
bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Jenderal PP dan PL,
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama,
NIP. 195509031980121001
PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
6. vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA iv
Sambutan Direktur Jenderal P2PL v
Daftar Isi vi
Daftar Bagan viii
Daftar Tabel ix
Daftar Boks x
Daftar Singkatan xi
I. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kebijakan 2
1.3 Tujuan 4
1.4 Sasaran 4
1.5 Target 5
II. Informasi Dasar tentang HIV dan Sifilis 6
2.1 HIV 6
2.1.1 Pengertian 6
2.1.2 Penularan HIV 7
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV 9
2. 2 Sifilis 10
2.2.1 Pengertian 10
2.2.2 Penularan Sifilis 11
2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis 11
III. Kegiatan Komprehensif Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 13
3.1 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 13
3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV 13
3.1.2 Tes HIV dan Konseling 13
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak
Direncanakan pada Perempuan dengan HIV 19
3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan
Infeksi HIV 20
3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu
dengan HIV 22
3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV 23
3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol
Profilaksis pada Bayi 24
3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi 25
3.1.9 Pelayanan Imunisasi 26
3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu
dengan HIV 27
PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
7. vii
3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi 28
3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil 28
3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil 32
3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital 33
3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital 34
3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan 36
3.3.1 Pencegahan Umum 36
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan 36
IV. Jejaring, Alur Pelayanan, Peran dan Sistem Rujukan
PPIA dan Sifilis 40
4.1 Peran Tiap Pihak dalam Jejaring Pelayanan 40
4.2 Sistem Rujukan 43
V. Pencatatan dan Pelaporan 45
Daftar Pustaka 49
Lampiran 1 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan
Konseling (TIPK) 51
Lampiran 2 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV 54
Lampiran 3 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia 55
Lampiran 4 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI 56
Lampiran 5 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan
Penanganan Syok Anafilaksis 58
Lampiran 6 Formulir Registrasi IMS 61
Lampiran 7 Formulir Registrasi Layanan TIPK 63
Lampiran 8 Surat Pernyataan TIPK 64
Lampiran 9 Formulir Registrasi Layanan PPIA 65
Lampiran 10 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan 67
Lampiran 11 Kartu Ibu 68
Lampiran 12 Kohort Antenatal Care 70
Daftar Penyusun 71
PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
8. viii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
Bagan 2 Alur Layanan KIE tentang HIV dan Sifilis pada Wanita Usia Subur
Bagan 3 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Bagan 4 Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan “Strategi Tiga Serial”
Bagan 5 Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
Bagan 6 Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Bagan 7 Alur Tes Serologis Sifilis Bila Tes Treponema dan Non Treponema
Tersedia
Bagan 8 Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil Bila Hanya Tersedia TP Rapid
Bagan 9 Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
Bagan 10 Alur Rujukan Vertikal dan Horizontal Timbal-balik
Bagan 11 Alur Pelaporan
PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
9. ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penentuan Status Epidemi HIV
Tabel 2 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Tabel 3 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Tabel 4 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Tabel 5 Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Tabel 6 Pemberian Obat ARV pada Berbagai Situasi Klinis Ibu Hamil
Tabel 7 Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
Tabel 8 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Tabel 9 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Tabel 10 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Tabel 11 Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan
Tabel 12 Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis
Kongenital
PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
10. x
DAFTAR BOKS
Boks 1 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan
HIV
Boks 2 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI
Boks 3 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI
PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
11. xi
Daftar Singkatan
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
ANC Antenatal Care
ARV Antiretroviral
ASI Air Susu Ibu
AZT/ZDV Zidovudin
BPM Bidan Praktek Mandiri
CD4 Cluster of Differentiation 4
d4T Stavudin
ddI Didanosin
EFV Efavirens
Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan
FTC Emtricitabin
HIV Human Immunodeficiency Virus
IMS Infeksi Menular Seksual
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
KTS Konseling dan Tes Secara Sukarela
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan
LPV/r Lopinavir/ritonavir
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
NNRTI Non NRTI
NRTI Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NVF Nelfinavir
NVP Nevirapin
ODHA Orang dengan HIV/AIDS
PBK Perawatan Berbasis Komunitas
PBR Perawatan Berbasis Rumah
PCR Polymerase Chain Reaction
PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
Penasun Pengguna Narkoba Suntik
PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
12. xii
PI Protease Inhibitor
PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission
Polindes Pondok Bersalin Desa
Posyandes Pondok Pelayanan Desa
PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PPP Profilaksis Pasca Pajanan
Pustu Puskesmas Pembantu
SQV Saquinavir
TB Tuberkulosis
3TC Lamivudin
TDF Tenovofir
TIPK Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan
Kesehatan dan Konseling
TPHA Treponema Pallidum Hemaglutination Antigen
WHO World Health Organization
PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
13. 1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan
tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/
kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah
mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang
57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%)
terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada
tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%)
yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012
pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1.329
(3,05%) ibu dengan infeksi HIV.
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa
pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan
kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV.
Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko
tertular HIV. Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi
HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat
meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi
sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan
abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi
dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu
yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Secara umum upaya tersebut sangat efektif,
bahkan di daerah dengan prevalensi HIV yang sangat rendah.
Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis
dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten
dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut
dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal,
dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data
rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%)
di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil
dengan infeksi sifilis.
Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis
pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan
antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan
Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi
PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
14. 2
ganda HIV dan sifilis congenital. Upaya ini dilakukan melalui skrining pada ibu
hamil melalui tes HIV dan tes sifilis yang diikuti dengan pengobatan bila hasilnya
positif.
Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih
sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan
layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di
Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk
skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1
.
Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA
dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan
dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para
petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV-
AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut.
1.2 Kebijakan
PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan
utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari
HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan
dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta
kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan
yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu
kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia
subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi,
khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.
Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan
epidemi, yaitu:
1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi
umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di
kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL),
pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai
prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi
umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%.
3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar
luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada
sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan
pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan
di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.
1 Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
15. 3
Tabel 1 menampilkan ringkasan untuk penentuan status epidemi HIV.
Tabel 1. Penentuan Status Epidemi HIV
Prevalensi kasus HV
pada populasi umum
atau ibu hamil
Prevalensi kasus
HV pada populasi
risiko tinggi
Status epidemi HIV
< 1% < 5% Rendah
< 1% > 5% Terkonsentrasi
> 1% (Biasanya > 5%) Meluas
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut
dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun
mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk
semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan
antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga
menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan
indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi
oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada
layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1)
hingga menjelang persalinan.
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal
berikut.
1. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan
berlangsung sehat.
2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
(termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika
terjadi komplikasi.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila
diperlukan.
6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan
dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/
komplikasi.
Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila
diperlukan.
7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah;
ii) kadar Hb; iii) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); iv)
PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
16. 4
tes sifilis; v) tes HIV; vi) malaria (di daerah endemis malaria); vii) protein dalam
urin; viii) BTA (untuk tuberkulosis).
9. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.
10. Konseling.
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV
secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong)
sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular
HIV.
2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan
pengidap HIV.
3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis
kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan
antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining
sebelumnya.
3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil
tes positif.
4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari
ibu yang positif sifilis.
Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan
rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan
melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat.
1.3 Tujuan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan
penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.
1.4 Sasaran
Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan
rujukan. Tenaga kesehatan tersebut termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter
spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak serta tenaga kesehatan
terkait di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
17. 5
1.5 Target
Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai
berikut.
1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes
HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku
berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan
tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang
persalinan.
3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan
dan terapi.
PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
18. 6
BAB II. INFORMASI DASAR TENTANG HIV DAN SIFILIS
2.1 HIV
2.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik
menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan
tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga
dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda
klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan
sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas
tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai
virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara
lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga
mungkin timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi
pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi
AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan.
Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor,
berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow
progressor, lebih dari 15 tahun.
Sel limfosit, CD4 dan Viral Load
Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast.
Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan
jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses
di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B
adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi
produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D
dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui
kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya,
seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T
berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki
kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik
terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh.
CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus pada dinding
limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan
koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan
petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya
limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya
menurun drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan
berkembangnya infeksi oportunistik.
PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
19. 7
Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral
load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR (polymerase
chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin besar
pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.
2.1.2 Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.
i) Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah
virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika
disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat
menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
ii) Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit)
dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril
iii) Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang
dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun
bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke
anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.
Tabel 2. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Selama kehamilan 5-10 %
Saat persalinan 10-20 %
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Sumber: De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya,
semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang
persalinan dan masa menyusui bayi.
b. KadarCD4:ibudengankadarCD4yangrendah,khususnyabilajumlahselCD4
di bawah 350 sel/mm3
, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena
banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding
terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan
pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi
anti-retrovirus (ARV).
PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
20. 8
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi,
malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu,
sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara
akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
ii) Faktor bayi.
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
iii) Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan
lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan
banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/
lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat
jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Tabel 3. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik
1. Kadar HIV/viral load
dalam darah
2. Kadar CD4
3. Status gizi selama
kehamilan
4. Penyakit infeksi selama
kehamilan
5. Masalah payudara, jika
menyusui
1. Prematuritas dan
berat lahir rendah
2. Lama menyusu, bila
tanpa pengobatan
3. Luka pada mulut
bayi, jika bayi
menyusu
1. Jenis persalinan
2. Lama persalinan
3. Ketuban pecah dini
4. Tindakan
episiotomi,
ekstraksi vakum
dan forsep
PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
21. 9
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.
i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun
pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada
masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan
sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang
lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri
tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit
kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan
sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat
serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi
primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3
tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8
tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang-
timbul walaupun diobati.
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh
yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut,
kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ
lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan
sampai lebih dari 10% dari berat awal.
Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi
sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral load
mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil, namun
limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan viral load makin
tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya
tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral
candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), cytomegalovirus
(CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium avium (MAC).
Bagan 1. Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
22. 10
Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Stadium 1
Asimptomatik
Stadium 2
Sakit ringan
Stadium 3
Sakit sedang
Stadium 4
Sakit berat (AIDS)
Berat
badan
(BB)
Tidak ada
penurunan BB
Penurunan BB
5-10%
Penurunan BB >
10%
Sindroma wasting HIV
Gejala Tidak ada gejala
atau hanya :
• Limfadenopati
generalisata
persisten
• Luka di sekitar
bibir (keilitis
angularis)
• Ruam kulit yang
gatal (seboroik
atau prurigo)
• Herpes zoster
dalam 5 tahun
terakhir
• Kandidiasis oral
atau vaginal
• Oral hairy
leukoplakia
• Diare, demam
yang tidak
diketahui
penyebabnya
lebih dari satu
bulan
• Kandidiasis
esophageal
• Herpes simpleks
ulseratif lebih dari satu
bulan
• Limfoma
• Sarkoma kaposi
• Kanker serviks invasif
• Retinitis
cytomegalovirus
• ISPA berulang,
misalnya
sinusitis atau
otitis
• Ulkus mulut
berulang
• Infeksi bakterial
yang berat
(pneumoni,
piomiositis, dll)
• TB paru dalam
satu tahun
terakhir
• TB
limfadenopati
• Gingivitis/
periodontitis
ulseratif
nekrotika akut
• Pneumonia
pnemosistis
• TB ekstra-paru
• Abses otak
toksoplasmosis
• Meningitis kriptokokus
• Encefalopati HIV
• Gangguan fungsi
neurologis dan tidak
oleh penyebab lain,
sering kali membaik
dengan ART
2.2 Sifilis
2.2.1 Pengertian
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri
spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi
lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic
syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika
Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital
(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/
akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.
PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
23. 11
2.2.2 Penularan Sifilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan
dari ibu ke bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih
kurang sama seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa
kehamilan, kontak saat persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan.
Walaupun penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan,
namun biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis
pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas,
bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.
Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak
Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll),
infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko
penularan sifilis.
b. Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.
ii) Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke
anak, risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan
risiko pada saat persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah
plasenta.
2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis
Sejak terinfeksi sifilis pertama kali, tubuh mengaktivasi sistem kekebalan sehingga
timbul antibodi anti-sifilis dalam 10-45 hari. Dengan demikian, window period
berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Gejala fisik pertama infeksi sifilis dapat
diketahui 10-90 hari setelah terinfeksi, dengan rerata 21 hari. Munculnya lesi tunggal
(chancre) pertama kali menunjukkan mulainya stadium primer infeksi sifilis. Lesi/
luka tersebut biasanya kenyal keras, bulat, dengan dasar bersih dan tidak terasa
nyeri. Lesi bertahan selama 3-6 minggu dan sembuh sendiri dengan atau tanpa
diobati. Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat maka infeksi
akan berlanjut ke stadium sekunder.
Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau
lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai
bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian
tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh
penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening,
radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan
berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan
sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan
berlanjut menjadi stadium laten/akhir.
Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa
pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis
apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap
sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi
PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
24. 12
pertama. Gejala stadium akhir sifilis meliputi kesulitan koordinasi gerakan otot,
kelumpuhan, mati rasa dan rasa tebal, kebutaan bertahap dan demensia. Akhirnya
bakteri akan merusak organ-organ dalam seperti otak, jaringan saraf, mata, jantung,
pembuluh darah, hati, tulang dan persendian sehingga dapat mengakibatkan
kematian. Tabel 5 menampilkan rangkuman manifestasi klinis infeksi sifilis.
Tabel 5. Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Sifilis didapat
Stadium Manifestasi klinis Durasi
Primer Chancre/ulcus atau luka/
tukak, bersifat soliter, tidak
nyeri dengan batas yang tegas
dan adanya indurasi dengan
pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenopati) regional.
3 minggu
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di
telapak tangan/kaki, lesi mukokutan,
demam, malaise, limfadenopati
generalisata, kondiloma lata, patchy
alopecia, meningitis, sakit kepala,
uveitis, retinitis.
2-12 minggu
Laten dini
dan
laten lanjut
Asimtomatik. Dini: <1
tahun;
Lanjut: ≥ 1
tahun
Tersier
- Gumma
- Sifilis
kardio-
vaskuler
-
Neurosifilis
• Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi.
• Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum.
• Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo,
perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll
Robertson.
1–46 tahun
10–30 tahun
2–20 tahun
Sifilis kongenital
Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan
tersebar, lesi mukokutaneous, osteokondritis,
anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis.
Dari lahir sampai < 2 tahun
Lanjut Keratitis interstisial, limfadenopati,
hepatosplenomegali, kerusakan tulang,
anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.
Persisten > 2 tahun setelah
kelahiran
PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
25. 13
BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN
SIFILIS DARI IBU KE ANAK
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi
dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan
untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
3.1 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi
3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang
Pencegahan Infeksi HIV dan Sifilis
Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan
infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE
dengan sasaran wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja
dan pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan
kesehatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang pencegahan penularan
HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja, kelas
ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi
(Bagan 2).
Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur
Wanita usia subur
Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital
Poli KIA Poli IMS/TBPoli KB Konseling remaja Kelas Ibu hamilPoli Gizi
3.1.2 Tes HIV dan Konseling
Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK)
TIPK adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling
kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan
sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasyankes. TIPK dilaksanakan dengan
memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R
(recording-reporting dan referral).
Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal
atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak
untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia diminta untuk menyatakan ketidak-
setujuannya secara tertulis .Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan
tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan
ulang seperti biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan ulang
tentang pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama
PEDOMAN PPIA.indd 13 7/4/14 8:41 AM
26. 14
di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV-AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum
bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti konseling yang lebih intensif
pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. (Surat penolakan TIPK
dapat dilihat dilampiran 8)
Langkah-langkah TIPK (lihat Bagan 3 dan Lampiran 1) meliputi:
i) pemberian informasi sebelum tes;
ii) pengambilan darah;
iii) penyampaian hasil tes ; dan
iv) konseling.
Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Ruang
bersalin
Bidan/dokter/klinik
praktek swasta
Puskesmas, rumah
sakit
Polindes/Posksdes/
Pustu
Poliklinik, BP,
IMS, TB
Ibu Hamil
Tidak setuju
Tawarkan kembali pada saat
kunjungan ulang ANC
Rujuk ke Laboratorium
Setuju
Pelayanan ANC terpadu
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan:
Tinggi berat badan
Ukur tekanan darah
Ukur lingkaran lengan
atas
Ukur tinggi fundus uteri
Denyut jantung janin
Imunisasi TT
Tablet Fe 90 tablet
Tes lab: Hb, gol darah,
proteinuria, HIV ,sifilis dll
Tata laksanan kasus
Temu wicara dan
konseling
3. Tatalaksana kasus
Kunjungan antenatal
Penawaran tes HIV dan sifilis
bersamaan dengan pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya (TIPK)
Tetap menolak
Perkenalkan KTS
Poli KIA
Sifilis
Negatif
Sifilis
Positif
Konseling
setelah
tes
Tes HIV dan Sifilis
HIV
negatif
HIV
Positif
Konseling
setelah
tes
Konseling
setelah
tes
Konseling
setelah tes
• Terapi sifilis
• Anjuran terapi
bagi pasangan
Rujuk Ibu
hamil untuk
mendapatkan
ARV
Rujuk Ke Poli
IMS/BP
i) Pemberian Informasi Sebelum Tes
Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu,
termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang
meliputi hal-hal berikut.
PEDOMAN PPIA.indd 14 7/4/14 8:41 AM
27. 15
• Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria, hepatitis HIV
dan sifilis , dari ibu kepada bayinya selama kehamilan, saat persalinan dan
masa menyusui.
• Keuntungan diagnosis dini penyakit -penyakit tersebut atau penyakit lainnya
seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada kehamilan bagi ibu dan
bayi yang akan dilahirkan. .
• Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya positif,.
• Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial; dan tidak akan
diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas kesehatan
yang terkait langsung dengan perawatan pasien.
• Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin. Tes
akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, kecuali pasien
menggunakan hak tolaknya tersebut. Bila menolak, pasien perlu membuat
pernyataan tertulis.
• Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan mempengaruhi
layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil.
• Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan kepada
petugas kesehatan.
ii) Pengambilan Darah dan Tes HIV
Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan
4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda
sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan
darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga
medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/
atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih)
dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur
standar.
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme
Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan
virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan
jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2.
PEDOMAN PPIA.indd 15 7/4/14 8:41 AM
28. 16
Bagan 4. Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial"
A1
(+)
A2
(+)
A3
(+)
A1
(+)
A2
(-‐)
A3
(+)
A1
(+)
A2
(+)
A3
(-‐)
A1
(NR)
A2
(+)
A3
(+)
A1
(NR)
A2
(R)
A3
(NR)
A1
(R)
A2
(NR)
A3
(NR)
A1
(NR)
A2
(NR)
A1
non
reaktif
Reaktif
Nonreaktif
HIV
Negatif
Berisiko
Tidak
Ya
Indeterminate
HIV
Positif
Keputusan
klinis
Lapo
Bersedia
di
tes
HIV
Tes
Antibodi
HIV
A1
Reaktif
Nonreaktif
Tes
Antibodi
HIV
A2
Reaktif
Nonreaktif
Ulang
tes
HIV
A1
dan
A2
Hasil
pengulangan
Keduanya
Nonreaktif
Keduanya
Reaktif
Salah
satu
Reaktif
Tes
antibodi
HIV
A3
La
po
ra
n
la
bo
rat
ori
u
m
Lapo
Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”
Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok populasi
kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki sek dengan lelaki, waria) dan
Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga
Binaan Pemasyarakatan
PEDOMAN PPIA.indd 16 7/4/14 8:41 AM
29. 17
Hasil Positif:
• Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
Hasil Negatif:
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non
reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil Indeterminate:
• Bila dua hasil tes reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV
Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV
Tindak lanjut hasil positif:
• Rujuk ke Pengobatan HIV
Tindak lanjut hasil negatif:
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang
minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan
pertama sampai satu tahun.
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup
sehat
Tindak lanjut hasil indeterminate:
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua
minggu dari pemeriksaan yang pertama.
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan
PCR.
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes
diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang
pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan
faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif.
iii) Penyampaian Hasil Tes HIV
Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum
disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian
semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari nilai
hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan
sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam
medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien,
sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut
dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien.
PEDOMAN PPIA.indd 17 7/4/14 8:41 AM
30. 18
Pasien perlu diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana
yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami
hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk.
iv) Konseling
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa
spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara
tatap muka individual.
Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
i. Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
• penjelasan tentang masa jendela/window period;
• pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari;
• risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
• konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan
tes HIV.
ii. Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
• Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
• penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapiARV,
kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat;
• pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
• rencana pilihan persalinan
• rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan
pilihannya;
• konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
• tes HIV bagi bayi
• tes HIV bagi pasangan;
• informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA
yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan
ODHA;
• rujukan bila perlu;
• kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan;
iii. Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan
spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila
sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil
dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada
penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif.
Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau
marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling
khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan
mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk
pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada psikolog
atau konselor lain.
PEDOMAN PPIA.indd 18 7/4/14 8:41 AM
31. 19
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan
dengan HIV
Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada
perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati-
hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya.
Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan
AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus
digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV
positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan
yang tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan
HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan
(perlindungan ganda).
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
i) pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling
dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan
ii) perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.
i) Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV
Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan
HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas
untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut.
1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi,
bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan
kontrasepsi mantap.
2. Kontrasepsi jangka panjang:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko
IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan
dilakukansegerasetelahplasentalahir,walaupuntidaktertutupkemungkinan
dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti
standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping,
seperti nyeri dan perdarahan.
b. Hormonal (lihat Tabel 6):
i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan
enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi.
ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progesteron.
iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi
perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas
kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan
tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat
efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi
obat ARV.
PEDOMAN PPIA.indd 19 7/4/14 8:41 AM
32. 20
Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron
mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap
diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan
tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian
juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.
ii) Perencanaan Kehamilan
Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak,
maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek
medis dan aspek sosial sebagai berikut.
Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.
i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3
: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda
bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar
CD4 kurang dari 350 sel/mm3
maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder
yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.
Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.
i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak
untuk hamil.
ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa
kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan
disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama
sanggama.
Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:
i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk
mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada
masa subur pasangan.
iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3
, maka
sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.
3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV
Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena
PEDOMAN PPIA.indd 20 7/4/14 8:41 AM
33. 21
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur
hidup (lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan –
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
Bagan 5. Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
HIV reaktifHIV non-reaktif
Mulai terapi ARV tanpa memandang
umur kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis
Klinik
Swasta
dan
stadiu
kl
nis.
Ibu hamil
Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
i) persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV;
ii) bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan
stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
iii) Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4 <
200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia, diare)
dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
iv) pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua
bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu
sebagai berikut.
1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.
Boks1. Protokolpemberianterapiantiretroviral(ARV)untukibuhamildenganHIV
Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan
“triple nuke” (3 NRTI).
Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC): TDF
(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).
Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan
ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang sama seperti saat
sebelum hamil.
Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikanARV tanpa
melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera diberikan
ARV. Pilihan Paduan obatARV sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya. Informasi
lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8, serta Lampiran 3.
PEDOMAN PPIA.indd 21 7/4/14 8:41 AM
34. 22
Tabel 6. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil
No Kondisi Rekomendasi pengobatan
1 • ODHA hamil, segera
terapi ARV
• ODHA datang pada
masa persalinan dan
belum mendapat
terapi ARV, lakukan
tes, bila hasil reaktif
berikan ARV
• TDF(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg)
Alternatif:
• AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
(1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
• TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
• AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV
(1x600mg)
2 ODHA sedang
menggunakan ARV dan
kemudian hamil
• Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
sesudah persalinan
3 ODHA hamil dengan
hepatitis B yang
memerlukan terapi
• TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) +
EFV (1x600mg) atau
• TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
4 ODHA hamil dengan
tuberkulosis aktif
• Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila
belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian ARV.
• Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF + 3TC + EFV
Keterangan:AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin;
EFV: efavirens; TDF: tenovofir
Tabel 7. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
Nama
obat
Efek samping/efek toksik Kontraindikasi
AZT • Anemia (makin lama pajanan makin berat,
namun reversibel)
• Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia
• Alergi obat
• Hb < 7 g/dL
• Netropenia (<750
sel/mm3
)
• Disfungsi hati dan
ginjal berat
NVP • Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam
12 minggu pertama)
• Ruam kulit
• Alergi terhadap
benzodiazepin
• Disfungsi hati
TDF • Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6
bulan pertama)
• Disfungsi ginjal
3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV
Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien
lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap
PEDOMAN PPIA.indd 22 7/4/14 8:41 AM
35. 23
bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko penularan pada persalinan per
vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama
setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3
pada minggu ke-
36. Tabel 8 menampilkan keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan.
Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Metode
persalinan
Keuntungan Kerugian
Per
vaginam
1. Mudah dilakukan di sarana
kesehatan yang terbatas
2. Masa pemulihan pasca
persalinan singkat
3. Biaya rendah
Risiko penularan pada bayi relatif
tinggi 10-20% , kecuali ibu telah
minum ARV teratur ≥ 6 bulan atau
diketahui kadar viral load < 1000
kopi/mm3
pada minggu ke-36
Seksio
sesarea
elektif
1. Risiko penularan yang
rendah (2-4%) atau
dapat mengurangi risiko
penularan sampai 50-66%
2. Terencana pada minggu
ke-38
1. Lama perawatan bagi ibu lebih
panjang.
2. Perlu sarana dan fasilitas
pendukung yang lebih memadai
3. Risiko komplikasi selama operasi
dan pasca operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi anestesi
5. Biaya lebih mahal
Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang
optimal pada ibu
dengan HIV.
1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam,
perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio
sesarea.
3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun
seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk
semua persalinan.
Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea dapat
dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung
diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.
3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV
Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas
pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan.
• Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi ASI.
• Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di samping
tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan
edukasi nutrisi.
• Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan
yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.
PEDOMAN PPIA.indd 23 7/4/14 8:41 AM
36. 24
• Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi menimbulkan
infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.
3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi
Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak (2013). Sejak ARV
dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan pemberian obat setiap hari, karena
ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan. Persiapan
amat penting dilakukan sebelum memulai pemberianARV, yaitu persiapan pengasuh
bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam
minggu.
Dosis zidovudin/AZT:
• Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.
• Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu.
• Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu pertama,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4 mg/kg BB/12
jam selama dua minggu.
Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka
diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai
dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV.
Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV
sesudah dipastikan TIDAK tertular HIV (setelah ada hasil laboratorium
baik PCR maupun antibodi pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun
yang terinfeksi HIV, cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25%.
PEDOMAN PPIA.indd 24 7/4/14 8:41 AM
37. 25
Bagan 6. Pemberian Kotrimoksasol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Tidak tersedia
Tersedia
Bayi dari ibu dengan HIV
Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB, 1x/hari pada usia 6
minggu dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu
Hentikan kotrimoksasol,
kecuali bila mendapat ASI
Positif
Konse
ling
HIV
positif
KKons
eling
HIV
positif
onseli
ng
HIV
positif
Negatif
Konse
ling
HIV
positi
f
KKon
seling
HIV
positi
fonsel
ing
HIV
positi
f
Lanjutkan kotrimoksasol
hingga usia 12 bulan; atau
hentikan bila diagnosis HIV
dengan cara lain
menunjukkan hasil negatif
Tata laksana HIV
pada bayi/anak
3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi
Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu – termasuk antibodi terhadap
HIV – ditransfer secara pasif kepada janin, dan dapat terdeteksi sampai anak
berumur 18 bulan. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari
18 bulan dapat menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV.
Diagnosis HIV pada bayi dan anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi.
Uji Virologi
Uji virologi digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya dilakukan
setelah bayi berumur enam minggu dan dianjurkan untuk mendiagnosis bayi
berumur kurang dari 18 bulan.
1. Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap (whole
blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA (viral load) pada plasma.
2. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin.
3. Pada bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yanghasilnya positif, maka terapi
ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi
kedua harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam
empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan di mulainya
terapi ARV
PEDOMAN PPIA.indd 25 7/4/14 8:41 AM
38. 26
Uji Serologi
Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan digunakan sebagai uji untuk
menentukan adanya paparan/pajanan HIV selama kehamilan dan persalinan,
sedangkan pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
1. Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi pada umur sembilan bulan. Bila
hasilnya positif, maka harus segera diikuti uji virologi untuk identifikasi kasus
yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif dan uji virologi belum
tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologi ulang pada
usia 18 bulan.
2. Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji serologi harus
dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi.
3. Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV, namun uji virologi tidak dapat dilakukan, maka diagnosis ditegakkan dengan
menggunakan algoritme diagnosis presumtif.
4. Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
5. Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk anak yang masih mendapat ASI
pada usia ini, karena tes HIV baru dapat ditafsirkan dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama lebih dari enam minggu. Pada usia lebih dari 18 bulan, ASI
bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta
untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan tindakan untuk diagnosis HIV.
• Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan,
yang biasanya dimulai setelah bayi berumur enam minggu.
• Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
• Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa.
3.1.9 Pelayanan Imunisasi
Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk
memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala
klinis infeksi HIV. Jadwal pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru. Tidak
boleh ada pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan. Tabel 9
merangkum jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV positif.
Tabel 9. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Keterangan 6-48
jam
(KN1)
3-7
hari
(KN2)
8-28
hari
(KN3)
6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12
bln
18
bln
Evaluasi klinis V V V V V V V V V V V
Berat badan V V V V V V V V V V V
Panjang badan V V V V V V V V V
PEDOMAN PPIA.indd 26 7/4/14 8:41 AM
39. 27
Keterangan 6-48
jam
(KN1)
3-7
hari
(KN2)
8-28
hari
(KN3)
6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12
bln
18
bln
Pemberian
makanan
SF/ ASI SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/ASI+
Makan-
an
padat
SF/
ASI+
Makan-
an
padat
Makanan
keluarga
ARV profilaksis V V V V
Profilaksis
PCP dengan
kotrimoksasol
V V V V V V V
Imunisasi Hep B OPV
BCG
DPT-
HB
- Hib
OPV
DPT-
HB-
Hib
OPV
DPT-
HB
- Hib
OPV
Camp
ak
DPT-
HB -
Hib
LABORATORIUM
Hb dan leukosit V V
CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV
PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu
Serologi HIV V V
3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV
Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya
sebagai berikut.
1. Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV diberikan
sejak sebelum persalinan.
2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang
ibu haruslah didukung.
3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan
mixed feeding).
4. Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula,
karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada
bayi. Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan
perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang
ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5. Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV
negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS
(affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan
syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan masyarakat yang
memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik; ii) ibu atau
keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak; iii) ibu atau keluarganya
mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang
cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi; iv) ibu atau
keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus
PEDOMAN PPIA.indd 27 7/4/14 8:41 AM
40. 28
sampai bayi berusia 6 bulan; v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya.
6. Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan
dengan cara penyiapan yang baik (lihat Lampiran 4). Di negara berkembang,
syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI,
yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan
benar.
7. Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi)
bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan
terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI,
untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan
frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI
perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8. Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada Butir 5
belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah dan
dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau
gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi mulai mendapat
makanan pendamping seperti biasa (lihat Lampiran 4). Pada usia 12 bulan
ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi
utama.
Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi diberikan
makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua
tahun.
3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi
Tatalaksana sifilis pada ibu hamil sebagai berikut.
i) Setiap ibu hamil wajib mendapat pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan
pedoman.
ii) Pada kunjungan pertama pelayanan antenatal terpadu dilakukan tes darah
secara inklusif, termasuk tes HIV dan sifilis yang sebaiknya dilakukan sebelum
usia kehamilan 16 minggu.
iii) Skrining tetap dilakukan sekalipun kunjungan pertama melewati 16 minggu, dan
dilakukan tata sesuai dengan pedoman.
iv) Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metode apapun) harus diterapi
untuk mencegah sifilis kongenital
v) Obati pasangan seksual perempuan/ibu hamil seropositif tersebut.
3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil
Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema.
Umumnya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam dua langkah. Pertama, tes non-
treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau VDLR (venereal diseases
research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya dilakukan konfirmasi
dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay),
TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent
treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum).
PEDOMAN PPIA.indd 28 7/4/14 8:41 AM
41. 29
Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap
bahan-bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul
sebagai reaksi terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai
kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis
(misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa
menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi
dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes
non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini
sering dipakai untuk skrining. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif (positif),
selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan tes spesifik treponema.
Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi
yang bersifat spesifik terhadap Treponema, karena itu jarang memberikan hasil positif
palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun
terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal
hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak
dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif.
Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema
yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan
sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus.
Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat
(10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini
berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak
hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di
tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan
untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan
infeksi yang telah diterapi adekuat.
Idealnya pemeriksaan non treponema harus diikuti dengan pemeriksaan spesifik
treponema, akan tetapi tidak semua tes ini tersedia di fasilitas kesehatan, mungkin hanya
tersedia RPR saja, atau TP rapid saja, atau TPHA saja. Karena ada risiko penularan
pada bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil
dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif harus segera diobati.
Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid
dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil . Jika mengunakan TP Rapid dan
hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan
laboratorium yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan
maka terapi sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin
penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan
tes lain, misalnya RPR dan TPHA.
Seperti halnya tes HIV, tes sifilis juga mempunyai awal masa jendela, sehingga
hasil negatif pada tes sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis.
Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan
terutama ibu hamil didaerah prevanlesi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi
IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya
pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes
sebelumnya.
PEDOMAN PPIA.indd 29 7/4/14 8:41 AM
42. 30
Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes
treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini
Bagan 7. Alur Tes Serologis Sifilis bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia
RPR titer
Non-reaktifReaktif
TP rapid
Non-reaktifReaktif
RPR/VDRL
Ulangi RPR dan TP rapid 1 bulan kemudian
1:2 atau 1:4 ≥1:8
RPR (+)
TP rapid (+)
RPR (+)
TP rapid (-)
Lanjut
Dini
Positif palsu Bukan sifilis
n
ifi
is
Evaluasi bulan ke: 3, 6, 9, 12, 18, 24
Aktif/dini
Terapi
RPR (-)
TP rapid (-)
Serum Plasma
Bukan sifilis
Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai
empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3
bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL
negatif.
Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid.
• Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
• Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
PEDOMAN PPIA.indd 30 7/4/14 8:41 AM
43. 31
kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif
atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan.
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak
perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga bulan kemudian.
- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga
bulan kemudian
- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan
sembuh
- Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir bila:
- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai
sifilis laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.
- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan
dievaluasi tiga bulan kemudian
Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi:
- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,
terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama
dan setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.
- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan
reinfeksi atau sifilis laten.
Bagan 8. Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil bila Hanya Tersedia TP Rapid
TP Rapid
Reaktif Non Reaktif
Darah
lengkap
Pernah diterapi atau Sifilis aktif
Tidak perlu
TerapiTerapi Benzatin Penisiliin
Bukan
sifilis
Darah lengkap
Bukan Sifilis
Pada fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai peralatan laboratorium lengkap,
pemeriksaan sifilis pada ibu hamil dapat mengunakan TP rapid.
Hasil TP rapid :
• reaktif : seperti telah disebutkan di atas tes treponema tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah
diterapi secara adekuat. Namun risiko penularan pada bayi yang dapat
PEDOMAN PPIA.indd 31 7/4/14 8:41 AM
44. 32
bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil TP
rapid positif harus segera diobati.
• Non reaktif : tidak perlu terapi
Konseling setelah tes
Seperti halnya tes HIV, pemberian konseling setelah tes diberikan pada ibu hamil,
berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
1. Hasil tes sifilis “non-reaktif” atau negatif:
• penjelasan tentang masa jendela/window period
• pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari
2. Hasil tes sifilis “reaktif” atau positif:
• Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
• penjelasan tentang rencana pemberian obat benzatin benzyl penisilin
• pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
• konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
• pemberian informasi bahwa pasangan harus diobati
• kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan
Pada Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serologi yang
lengkap, jika salah satu hasil tes sifilis positif (baik dengan RPR atau TPHA atau
TP rapid), ibu dapat langsung diobati dengan Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM dosis tunggal tanpa perlu konfirmasi dengan tes lain.
3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal
diobati dengan suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila
memungkinkan diberikan 3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis
total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Terapi sifilis pada ibu hamil
Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi
penisilin
Sifilis
primer dan
sekunder
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM dosis tunggal
Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
selama 30 hari
Sifilis laten
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM, satu kali/minggu
selama 3 minggu berturut-turut.
Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari
minimal selama 30 hari.
Catatan:
• Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl
penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis
PEDOMAN PPIA.indd 32 7/4/14 8:41 AM
45. 33
dosis Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari
berturut turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU.
• Sebaiknya mengunakan injeksi benzathin benzylpenicillin, karena prokain
benzyl penicillin bersifat short acting (24 Jam) dan penyuntikan selama
minimal 30 hari berturut turut dapat menyebabkan drop out pengobatan.
• Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu
dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi
terhadap penisilin.
• azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis
karena meningkatkan resistensi
• Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan
obat lain
3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital
Untuk mendiagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidak mudah.
Tes serologi dengan dasar Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif
antibodi ibu. Tes treponema tidak dianjurkan. Sifilis kongenital kemungkinan
asimtomatis pada lebih dari 50 % kasus, terutama pada minggu pertama kehidupan.
Biasanya gejala muncul pada bulan pertama tetapi manifestasi klinis baru terlihat
sampai tahun kedua kehidupan. Karena itu, definisi alternatif yang disarankan untuk
mendiagnosis kasus sifilis kongenital sebagai berikut.
1. Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali
lebih tinggi dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir.
Bila titer negatif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor. Pada ibu yang
terinfeksi sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan
tulang dan fungsi hati janin saat di dalam kandungan.
2. Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya
dua manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak
diketahui status serologisnya. Manifestasi klinisnya pembengkakan sendi, pilek,
bula/gelembung di kulit, hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan
radiologis tulang panjang.
3. Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat,
meliputi:
• tidak ada dokumentasi tentang pengobatan;
• diobati kurang dari empat minggu sebelum persalinan;
• tidak mengunakan penisilin untuk pengobatan;
• tidak menyesuaikan pengobatan sesuai dengan tahapan sifilis.
PEDOMAN PPIA.indd 33 7/4/14 8:41 AM
46. 34
Bagan 9 merangkum alur kegiatan PPIA komprehensif untuk ibu dan bayi.
Bagan 9. Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
HIV dan sifilis positif HIV dan sifilis negatif
Perempuan HIV dan sifilis positif
Cegah kehamilan tak dikehendaki dan perencanaan
kehamilan: kontrasepsi dan ARV
Hamil Tidak hamil
Perempuan hamil HIV dan sifilis
positif Cegah penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke bayi:
Layanan ANC terpadu, terapi ARV ibu, persalinan aman,
pemberian nutrisi pada bayi, terapi ARV dan kotrimoksazol
profilaksis pada bayi, pemeriksaan HIV dan sifilis pada
bayi, terapi sifilis pada ibu dan bayi
Bayi HIV dan sifilis
positif
Bayi HIV dan sifilis
negatif
Dukungan psikososial dan keperawatan bagi
ibu, bayi dan keluarga
Perempuan usia reproduktif
Cegah penularan HIV dan sifilis: Informasi, KIE
HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis congenital, tes HIV
dan sifilis
3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital
Tatalaksana pada bayi dengan sifilis kongenital sebagai berikut.
BAYI dengan KLINIS
TERBUKTI/KEMUNGKI
NAN
BESAR sifilis congenital
dan:
Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi
- Pemeriksaan fisis
sesuai sifilis kongenital
- Titer serologi
n o n t r e p o n e m a
kuantitati lebih tinggi
sampai 4X lipat titer ibu
- Hasil positif pada
p e m e r i k s a a n
mikroskopis lapangan
gelap dari cairan tubuh
- Anjuran terapi: Aqueous
crystalline penicillin G 100.000-
150.000 unit /Kg/hari, injeksi IV
50.000 unit/kg/dosis IV setiap
12 jam dalam 7 hari pertama
dilanjutkan dengan setiap 8 jam
selama total 10 hari atau;
- Procain penicillin G 50,000 unit/
kg/dosis, injeksi IM sekali suntik
perhari selama 10 hari
Catatan : Bila ada pengobatan yang
tidak diberikan lebih dari satu hari,
maka pengobatan diulang dari awal.
- Analisis cairan
s e r e b r o s p i n a l :
VDRL,protein,dan
hitung sel
- C o m p l e t e b l o o d
count, differential
count, platelet count
- Tes lain sesuai
indikasi klinis:
Ro tulang panjang,
Ro toraks
Tes fungsi hati, USG
cranial, Pemeriksaan
oftalmologi, Respons
pendengaran
PEDOMAN PPIA.indd 34 7/4/14 8:41 AM
47. 35
BAYI dengan KLINIS
NORMAL dan titer
Serologi nontreponema
kuantitatif SAMA Atau
tidak melebihi 4X lipat
titer ibu
Anjuran terapi Anjuran Evaluasi
- Ibu belum
diobati,pengobatan
tidak adekuat, tidak
ada catatan pernah di
obati
- Ibu diobati dengan
eritromisin atau obat
bukan penisilin lain
- Ibu di obati kurang
dari 4minggu sebelum
partus
- Aqueous crystalline
penicillin G 100,000–150,000
unit/kg/hari,injeksi IV 50,000
unit/kg/dosisIV setiap 12 jam
dalam usia 7 haripertama days
dilanjutkan degan setiap 8 jam
selama total 10 hari ATAU
- Procaine penicillin G 50,000
unit/kg/dosis, injeksi IM
sekali suntik
per hari selama 10 hari
- Benzathine penicillin G
50,000 unit/kg/dosis IM
sekali suntik
- Analisis cairan
serebro spinal:
VDRL,protein,dan
hitun gsel
- Complete blood
count, differential
count, Platelet count
- Ro tulang panjang
BAYI dengan KLINIS
NORMAL dan titer Serologi
nontreponema kuantitatif
SAMA Atau tidak melebihi
4X lipat titer ibu
Anjuran terapi Anjuran Evaluasi
- IBU sudah diobati saat
hamil,pengobatan adekuat
sesuai stadium,diobati
lebih dari 4 minggu
sebelum partus
- Tidak ada bukti ibu
mengalami relaps atau
reinfeksi
- Benzathine penicillin
G 50,000 unit/kg/
dosis IM sekali suntik
- Pendapat lain:
Tidak mengobati bayi,
tetapi pengamatan
ketat serologi bayi
bila si ibu titer serologi
n o n t r e p o n e m a
menurun 4X lipat
sesudah terapi
adekuat untuk sifilis
dini atau tetap stabil
atau rendah pada sifilis
lanjut
- Tidak ada
- IBU pengobatan adekuat
sebelum hamil
- IBU titer serologi
nontreponema tetap
rendah dan stabil,
sebelum dan selama
kehamilanatausaatpartus
(VDRL<1:2;RPR<1:4)
- Tidak perlu terapi
- Dapat diberikan terapi
benzathine penicillin
G 50,000 units/kg/
dosis IM sekali suntik,
terutama bila follow-up
meragukan
- Tidak ada
PEDOMAN PPIA.indd 35 7/4/14 8:41 AM
48. 36
3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan
3.3.1 Pencegahan Umum
Tindakan pencegahan umum adalah upaya penerapan prosedur standar untuk
pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan dengan fokus mengurangi
risiko infeksi pada petugas kesehatan, pasien dan masyarakat.
Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Standar pelayanan kesehatan adalah
memutus mata rantai transmisi infeksi. Kewaspadaan standar meliputi :
1. Kebersihan tangan
2. Pemakaian alat pelindung diri
3. Pengelolaan limbah dan benda tajam
4. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
5. Pengelolaan lingkungan
6. Pengelolaan Linen
7. Penempatan pasien
8. Etika Batuk/ Kebersihan pernafasan
9. Praktek Penyuntikan yang aman
10. Praktek Pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi
11. Perlindungan dan kesehatan karyawan
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan
Risiko terpajan infeksi HIV melalui tusukan jarum atau cara lainnya dapat terjadi
pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi
HIV cukup tinggi. Tatalaksana pasca pajanan dan ketersediaan profilaksis pasca
pajanan (PPP) dapat mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas
kesehatan dan dapat meningkatkan motivasi petugas kesehatan untuk bekerja
dengan orang yang terinfeksi HIV.
Pertolongan Pertama Pasca Pajanan
Tujuan pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan
darah,cairantubuhdarisumberpajanandanuntukmembersihkandandekontaminasi
tempat pajanan.
Jika terjadi luka pada kulit setelah pajanan dengan jarum atau benda tajam,
dianjurkan untuk mengikuti petunjuk berikut:
i. Jangan memijat, memencet atau menggosok daerah luka.
ii. Cuci segera dengan sabun atau larutan disinfektan ringan yang tidak mengiritasi
kulit, yaitu chlorhexidine gluconat.
iii. Jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah luka dengan gel atau larutan
pembersih tangan lainnya.
iv. Jangan menggunakan larutan disinfektan yang sangat kuat, seperti iodium,
untuk membersihkan daerah luka karena dapat mengiritasi dan memperburuk
daerah luka.
Jika terkena percikan darah atau cairan tubuh, dianjurkan untuk mengikuti petunjuk
berikut.
i. Jika percikan mengenai kulit yang utuh:
• cucilah segera daerah yang terpajan dengan air mengalir;
• jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah tersebut dengan gel atau
PEDOMAN PPIA.indd 36 7/4/14 8:41 AM