SlideShare a Scribd company logo
PEDOMAN PELAKSANAAN
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS
DARI IBU KE ANAK
BAGI TENAGA KESEHATAN
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta
2014
PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
ii
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV
Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014
ISBN 978-602-235-502-1
1. Judul 	 I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
II. SYPHILIS III. BACTERIAL INFECTIONS
IV. MOTHER CHILD RELATION
616.979 2
Ind
p
PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan
rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini
melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi
profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan .
Buku disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan dalam pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada
perempuan usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. Dengan adanya buku ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait dalam
upaya pencegahan penularan infeksi HIV baru pada bayi baru lahir dan eliminasi
sifilis kongenital di Indonesia.
Dalam kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi serta UNICEF
yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan buku ini.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Bina Kesehatan Ibu
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
dr. Gita Maya Koemara Sakti.MHA
NIP. 195706221985012001
PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
iv
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana
diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas
merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah
cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai
95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil
masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan
adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap
kesehatan ibu dan janinnya.
Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan
sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama
kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun
kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis,
sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV
sebesar 3-5 kali.
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi
antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan
pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui
pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar
pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV
dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.
Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada,
disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi
dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan
layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan
kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi
tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan
layanan sehari-hari yang terintegrasi.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman
tatalaksana ini dan semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA
Dr. Anung Sugihantono, M.Kes
NIP. 196003201985021002
PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
v
REP
UBLIK INDON
E
SIA
KEMEN
TERIAN KESE
HATAN
Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan
SAMBUTAN
Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar
500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis
dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis
menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV,
penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS,
adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan
dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin
lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan
degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan
(AIDS) dalam 10-15 tahun.
Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat
di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan
seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan
penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja
hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi
darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi.
Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia,
sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk
IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas
hidup dan umur harapan hidup penderitanya.
Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan
generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan
memadukanberbagaiupayakesehatansecarakomprehensifdanberkesinambungan,
makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah
Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis
untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib
serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah
ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah
bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014
Direktur Jenderal PP dan PL,
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama,
NIP. 195509031980121001
PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar	 iii
Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA	 iv
Sambutan Direktur Jenderal P2PL	 v
Daftar Isi 	 vi
Daftar Bagan	 viii
Daftar Tabel	 ix
Daftar Boks	 x
Daftar Singkatan	 xi
I.	Pendahuluan	 1
	 1.1	 Latar Belakang	 1
	1.2	 Kebijakan	 2
	1.3	 Tujuan	 4
	1.4	 Sasaran	 4
	1.5	 Target	 5
II.	 Informasi Dasar tentang HIV dan Sifilis	 6
	2.1	 HIV	 6
		 2.1.1 Pengertian	 6
		 2.1.2 Penularan HIV	 7
		 2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV	 9
	 2. 2	 Sifilis	 10
		 2.2.1 Pengertian	 10
		 2.2.2 Penularan Sifilis	 11
		 2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis	 11
III.	 Kegiatan Komprehensif Pencegahan Penularan
	 HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak	 13
	 3.1	 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi	 13
	 3.1.1 	 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan 		
Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV	 13
	 3.1.2	 Tes HIV dan Konseling	 13
	 3.1.3	 Pencegahan Kehamilan yang Tidak
		 Direncanakan pada Perempuan dengan HIV	 19
	 3.1.4	 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan
		 Infeksi HIV	 20
	 3.1.5	 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu
		 dengan HIV	 22
	 3.1.6	 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV	 23
	 3.1.7	 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol
		 Profilaksis pada Bayi	 24
	 3.1.8	 Diagnosis HIV pada Bayi	 25
	 3.1.9	 Pelayanan Imunisasi	 26
	 3.1.10	 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu
		 dengan HIV	 27
PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
vii
		3.2	 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi	 28
	 3.2.1	 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil	 28
	 3.2.2	 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil 	 32
	 3.2.3	 Diagnosis Sifilis Kongenital	 33
	 3.2.4	 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital	 34
		3.3	 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan	 36
	 3.3.1	 Pencegahan Umum	 36
	 3.3.2	 Tatalaksana Pasca Pajanan	 36
IV.	 Jejaring, Alur Pelayanan, Peran dan Sistem Rujukan
	 PPIA dan Sifilis	 40
	 4.1	 Peran Tiap Pihak dalam Jejaring Pelayanan	 40
	 4.2	 Sistem Rujukan	 43
V.	 Pencatatan dan Pelaporan	 45
Daftar Pustaka	 49
Lampiran 1 		 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan
	 Konseling (TIPK) 	 51
Lampiran 2 		 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV	 54
Lampiran 3 		 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia	 55
Lampiran 4 		 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI	 56
Lampiran 5 		 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan
	 Penanganan Syok Anafilaksis	 58
Lampiran 6 		 Formulir Registrasi IMS	 61
Lampiran 7 		 Formulir Registrasi Layanan TIPK	 63
Lampiran 8 		 Surat Pernyataan TIPK	 64
Lampiran 9 		 Formulir Registrasi Layanan PPIA	 65
Lampiran 10 		 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan	 67
Lampiran 11 		 Kartu Ibu	 68
Lampiran 12 		 Kohort Antenatal Care	 70
Daftar Penyusun	 71 	
			
	 	
	
PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
viii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1	 Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
Bagan 2	 Alur Layanan KIE tentang HIV dan Sifilis pada Wanita Usia Subur
Bagan 3	 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Bagan 4	 Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan “Strategi Tiga Serial”
Bagan 5	 Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
Bagan 6	 Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Bagan 7	 Alur Tes Serologis Sifilis Bila Tes Treponema dan Non Treponema
Tersedia
Bagan 8	 Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil Bila Hanya Tersedia TP Rapid
Bagan 9	 Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
Bagan 10	 Alur Rujukan Vertikal dan Horizontal Timbal-balik
Bagan 11	 Alur Pelaporan
PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1	 Penentuan Status Epidemi HIV
Tabel 2	 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Tabel 3	 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Tabel 4	 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Tabel 5	 Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Tabel 6	 Pemberian Obat ARV pada Berbagai Situasi Klinis Ibu Hamil
Tabel 7	 Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
Tabel 8	 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Tabel 9 	 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Tabel 10	 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Tabel 11	 Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan
Tabel 12	 Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis
Kongenital
	
PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
x
DAFTAR BOKS
Boks 1	 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan
HIV
Boks 2 	 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI
Boks 3	 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI
PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
xi
Daftar Singkatan
	 AIDS		 Acquired Immune Deficiency Syndrome
	 ANC		 Antenatal Care
	 ARV		 Antiretroviral
	 ASI		 Air Susu Ibu
	 AZT/ZDV 		 Zidovudin
	 BPM		 Bidan Praktek Mandiri
	 CD4		 Cluster of Differentiation 4
	 d4T		 Stavudin
	 ddI			Didanosin
	 EFV 		 Efavirens
	 Fasyankes		 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
	 FTC		 Emtricitabin
	 HIV		Human Immunodeficiency Virus
	 IMS		 Infeksi Menular Seksual
	 KDS		 Kelompok Dukungan Sebaya
	 KTS		 Konseling dan Tes Secara Sukarela
	 KIA		 Kesehatan Ibu dan Anak
	 KIE		 Komunikasi, Informasi dan Edukasi
	 LKB		 Layanan Komprehensif Berkesinambungan
	 LPV/r		 Lopinavir/ritonavir
	 LSM		 Lembaga Swadaya Masyarakat
	 NNRTI		 Non NRTI
	 NRTI 		 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
	 NVF		 Nelfinavir
	 NVP		 Nevirapin
	 ODHA		 Orang dengan HIV/AIDS
	 PBK		 Perawatan Berbasis Komunitas
	 PBR		 Perawatan Berbasis Rumah
	 PCR 		 Polymerase Chain Reaction
	 PDP		 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
	 Penasun		 Pengguna Narkoba Suntik
PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
xii
	 PI			Protease Inhibitor
	 PMTCT		 Prevention of Mother to Child Transmission
	 Polindes		 Pondok Bersalin Desa
	 Posyandes		 Pondok Pelayanan Desa
	 PPIA		 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
	 PPP		 Profilaksis Pasca Pajanan
	 Pustu		 Puskesmas Pembantu
	 SQV		 Saquinavir
	 TB 		 Tuberkulosis
	 3TC		 Lamivudin
	 TDF		 Tenovofir
	 TIPK		 Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan 		
			 Kesehatan dan Konseling
	 TPHA		 Treponema Pallidum Hemaglutination Antigen
	 WHO		 World Health Organization
	
PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1	 Latar Belakang
Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan
tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/
kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah
mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang
57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%)
terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada
tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%)
yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012
pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1.329
(3,05%) ibu dengan infeksi HIV.
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa
pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan
kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV.
Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko
tertular HIV. Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi
HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat
meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi
sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan
abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi
dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu
yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Secara umum upaya tersebut sangat efektif,
bahkan di daerah dengan prevalensi HIV yang sangat rendah.
Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis
dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten
dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut
dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal,
dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data
rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%)
di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil
dengan infeksi sifilis.
Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis
pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan
antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan
Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi
PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
2
ganda HIV dan sifilis congenital. Upaya ini dilakukan melalui skrining pada ibu
hamil melalui tes HIV dan tes sifilis yang diikuti dengan pengobatan bila hasilnya
positif.
Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih
sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan
layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di
Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk
skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1
.
Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA
dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan
dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para
petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV-
AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut.
1.2 Kebijakan
PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan
utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari
HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan
dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta
kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan
yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu
kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia
subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi,
khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.
Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan
epidemi, yaitu:
1.	 Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi
umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2.	 Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di
kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL),
pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai
prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi
umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%.
3.	 Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar
luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada
sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan
pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan
di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.
1 Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
3
Tabel 1 menampilkan ringkasan untuk penentuan status epidemi HIV.
Tabel 1. Penentuan Status Epidemi HIV
Prevalensi kasus HV
pada populasi umum
atau ibu hamil
Prevalensi kasus
HV pada populasi
risiko tinggi
Status epidemi HIV
< 1% < 5% Rendah
< 1% > 5% Terkonsentrasi
> 1% (Biasanya > 5%) Meluas
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut
dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun
mengikuti kebijakan yang sama.
1.	 Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk
semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan
antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga
menjelang persalinan.
2.	 Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan
indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi
oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada
layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1)
hingga menjelang persalinan.
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal
berikut.
1.	 Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan
berlangsung sehat.
2.	 Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
(termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3.	 Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4.	 Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika
terjadi komplikasi.
5.	 Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila
diperlukan.
6.	 Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan
dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/
komplikasi.
Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:
1.	 Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2.	 Ukur tekanan darah.
3.	 Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4.	 Ukur tinggi fundus uteri.
5.	 Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6.	 Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila
diperlukan.
7.	 Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8.	 Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah;
ii) kadar Hb; iii) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); iv)
PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
4
tes sifilis; v) tes HIV; vi) malaria (di daerah endemis malaria); vii) protein dalam
urin; viii) BTA (untuk tuberkulosis).
9.	 Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.
10.	Konseling.
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV
secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong)
sebagai berikut.
1.	 Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular
HIV.
2.	 Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan
pengidap HIV.
3.	 Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
4.	 Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis
kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1.	 Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2.	 Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan
antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining
sebelumnya.
3.	 Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil
tes positif.
4.	 Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5.	 Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
6.	 Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7.	 Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari
ibu yang positif sifilis.
Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan
rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan
melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat.
1.3 Tujuan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan
penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.
1.4 Sasaran
Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan
rujukan. Tenaga kesehatan tersebut termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter
spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak serta tenaga kesehatan
terkait di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
5
1.5 Target
Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai
berikut.
1.	 Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes
HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2.	 Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku
berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan
tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang
persalinan.
3.	 Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4.	 Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan
dan terapi.
PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
6
BAB II. INFORMASI DASAR TENTANG HIV DAN SIFILIS
2.1	 HIV
2.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik
menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan
tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga
dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda
klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan
sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas
tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai
virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara
lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga
mungkin timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi
pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi
AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan.
Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor,
berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow
progressor, lebih dari 15 tahun.
Sel limfosit, CD4 dan Viral Load
Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast.
Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan
jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses
di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B
adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi
produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D
dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui
kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya,
seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T
berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki
kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik
terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh.
CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus pada dinding
limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan
koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan
petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya
limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya
menurun drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan
berkembangnya infeksi oportunistik.
PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
7
Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral
load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR (polymerase
chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin besar
pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.
2.1.2	 Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.
i)	 Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah
virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika
disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat
menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
ii)	 Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit)
dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril
iii)	 Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang
dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun
bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke
anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.
Tabel 2. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Selama kehamilan 5-10 %
Saat persalinan 10-20 %
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Sumber: De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
i)	 Faktor ibu.
a.	 Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya,
semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang
persalinan dan masa menyusui bayi.
b.	 KadarCD4:ibudengankadarCD4yangrendah,khususnyabilajumlahselCD4
di bawah 350 sel/mm3
, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena
banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding
terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan
pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi
anti-retrovirus (ARV).
PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
8
c.	 Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d.	 Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi,
malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu,
sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e.	 Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara
akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
ii)	 Faktor bayi.
a.	 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b.	 Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c.	 Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
iii)	Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan
lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a.	 Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan
banyak risiko lainnya untuk ibu.
b.	 Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/
lendir ibu semakin lama.
c.	 Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat
jam.
d.	 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Tabel 3. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik
1.	 Kadar HIV/viral load
dalam darah
2.	 Kadar CD4
3.	 Status gizi selama
kehamilan
4.	 Penyakit infeksi selama
kehamilan
5.	 Masalah payudara, jika
menyusui
1.	 Prematuritas dan
berat lahir rendah
2.	 Lama menyusu, bila
tanpa pengobatan
3.	 Luka pada mulut
bayi, jika bayi
menyusu
1.	 Jenis persalinan
2.	 Lama persalinan
3.	 Ketuban pecah dini
4.	 Tindakan
episiotomi,
ekstraksi vakum
dan forsep
PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
9
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.
i)	 Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun
pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada
masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan
sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang
lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri
tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit
kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan
sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat
serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi
primer HIV.
ii)	 Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3
tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8
tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang-
timbul walaupun diobati.
iii)	 Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh
yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut,
kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ
lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan
sampai lebih dari 10% dari berat awal.
Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi
sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral load
mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil, namun
limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan viral load makin
tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya
tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral
candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), cytomegalovirus
(CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium avium (MAC).
Bagan 1. Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
  
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
  
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
10
Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Stadium 1
Asimptomatik
Stadium 2
Sakit ringan
Stadium 3
Sakit sedang
Stadium 4
Sakit berat (AIDS)
Berat
badan
(BB)
Tidak ada
penurunan BB
Penurunan BB
5-10%
Penurunan BB >
10%
Sindroma wasting HIV
Gejala Tidak ada gejala
atau hanya :
•	Limfadenopati
generalisata
persisten
•	 Luka di sekitar
bibir (keilitis
angularis)
•	 Ruam kulit yang
gatal (seboroik
atau prurigo)
•	 Herpes zoster
dalam 5 tahun
terakhir
•	 Kandidiasis oral
atau vaginal
•	 Oral hairy
leukoplakia
•	 Diare, demam
yang tidak
diketahui
penyebabnya
lebih dari satu
bulan
•	Kandidiasis
esophageal
•	Herpes simpleks
ulseratif lebih dari satu
bulan
•	Limfoma
•	Sarkoma kaposi
•	Kanker serviks invasif
•	Retinitis
cytomegalovirus
•	 ISPA berulang,
misalnya
sinusitis atau
otitis
•	 Ulkus mulut
berulang
•	 Infeksi bakterial
yang berat
(pneumoni,
piomiositis, dll)
•	 TB paru dalam
satu tahun
terakhir
•	 TB
limfadenopati
•	 Gingivitis/
periodontitis
ulseratif
nekrotika akut
•	Pneumonia
pnemosistis
•	TB ekstra-paru
•	Abses otak
toksoplasmosis
•	Meningitis kriptokokus
•	Encefalopati HIV
•	Gangguan fungsi
neurologis dan tidak
oleh penyebab lain,
sering kali membaik
dengan ART
2.2 	 Sifilis
2.2.1 Pengertian
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri
spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi
lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic
syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika
Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital
(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/
akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.
PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
11
2.2.2	 Penularan Sifilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan
dari ibu ke bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih
kurang sama seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa
kehamilan, kontak saat persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan.
Walaupun penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan,
namun biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis
pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas,
bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.
Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak
Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
i)	 Faktor ibu.
a.	 Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll),
infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko
penularan sifilis.
b.	 Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.
ii)	 Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke
anak, risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan
risiko pada saat persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah
plasenta.
2.2.3	 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis
Sejak terinfeksi sifilis pertama kali, tubuh mengaktivasi sistem kekebalan sehingga
timbul antibodi anti-sifilis dalam 10-45 hari. Dengan demikian, window period
berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Gejala fisik pertama infeksi sifilis dapat
diketahui 10-90 hari setelah terinfeksi, dengan rerata 21 hari. Munculnya lesi tunggal
(chancre) pertama kali menunjukkan mulainya stadium primer infeksi sifilis. Lesi/
luka tersebut biasanya kenyal keras, bulat, dengan dasar bersih dan tidak terasa
nyeri. Lesi bertahan selama 3-6 minggu dan sembuh sendiri dengan atau tanpa
diobati. Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat maka infeksi
akan berlanjut ke stadium sekunder.
Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau
lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai
bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian
tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh
penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening,
radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan
berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan
sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan
berlanjut menjadi stadium laten/akhir.
Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa
pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis
apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap
sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi
PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
12
pertama. Gejala stadium akhir sifilis meliputi kesulitan koordinasi gerakan otot,
kelumpuhan, mati rasa dan rasa tebal, kebutaan bertahap dan demensia. Akhirnya
bakteri akan merusak organ-organ dalam seperti otak, jaringan saraf, mata, jantung,
pembuluh darah, hati, tulang dan persendian sehingga dapat mengakibatkan
kematian. Tabel 5 menampilkan rangkuman manifestasi klinis infeksi sifilis.
Tabel 5. Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Sifilis didapat
Stadium Manifestasi klinis Durasi
Primer Chancre/ulcus atau luka/
tukak, bersifat soliter, tidak
nyeri dengan batas yang tegas
dan adanya indurasi dengan
pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenopati) regional.
3 minggu
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di
telapak tangan/kaki, lesi mukokutan,
demam, malaise, limfadenopati
generalisata, kondiloma lata, patchy
alopecia, meningitis, sakit kepala,
uveitis, retinitis.
2-12 minggu
Laten dini
dan
laten lanjut
Asimtomatik. Dini: <1
tahun;
Lanjut: ≥ 1
tahun
Tersier
- Gumma
- Sifilis
kardio-
vaskuler
-
Neurosifilis
•	 Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi.
•	 Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum.
•	 Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo,
perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll
Robertson.
1–46 tahun
10–30 tahun
2–20 tahun
Sifilis kongenital
Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan
tersebar, lesi mukokutaneous, osteokondritis,
anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis.
Dari lahir sampai < 2 tahun
Lanjut Keratitis interstisial, limfadenopati,
hepatosplenomegali, kerusakan tulang,
anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.
Persisten > 2 tahun setelah
kelahiran
PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
13
BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN
SIFILIS DARI IBU KE ANAK
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi
dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan
untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
3.1 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi
3.1.1 	Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang
Pencegahan Infeksi HIV dan Sifilis
Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan
infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE
dengan sasaran wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja
dan pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan
kesehatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang pencegahan penularan
HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja, kelas
ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi
(Bagan 2).
Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur
	
   Wanita usia subur
Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital
Poli KIA Poli IMS/TBPoli KB Konseling remaja Kelas Ibu hamilPoli Gizi
3.1.2 Tes HIV dan Konseling
Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK)
TIPK adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling
kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan
sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasyankes. TIPK dilaksanakan dengan
memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R
(recording-reporting dan referral).
Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal
atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak
untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia diminta untuk menyatakan ketidak-
setujuannya secara tertulis .Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan
tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan
ulang seperti biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan ulang
tentang pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama
PEDOMAN PPIA.indd 13 7/4/14 8:41 AM
14
di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV-AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum
bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti konseling yang lebih intensif
pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. (Surat penolakan TIPK
dapat dilihat dilampiran 8)
Langkah-langkah TIPK (lihat Bagan 3 dan Lampiran 1) meliputi:
i)	 pemberian informasi sebelum tes;
ii)	 pengambilan darah;
iii)	 penyampaian hasil tes ; dan
iv)	 konseling.
Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
	
  
Ruang
bersalin
Bidan/dokter/klinik
praktek swasta
Puskesmas, rumah
sakit
Polindes/Posksdes/
Pustu
Poliklinik, BP,
IMS, TB
	
  
	
  
Ibu Hamil
Tidak setuju
Tawarkan kembali pada saat
kunjungan ulang ANC
Rujuk ke Laboratorium
Setuju
Pelayanan ANC terpadu
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan:
 Tinggi berat badan
 Ukur tekanan darah
Ukur lingkaran lengan
atas
 Ukur tinggi fundus uteri
 Denyut jantung janin
 Imunisasi TT
 Tablet Fe 90 tablet
 Tes lab: Hb, gol darah,
proteinuria, HIV ,sifilis dll
 Tata laksanan kasus
 Temu wicara dan
konseling
3. Tatalaksana kasus
Kunjungan antenatal
Penawaran tes HIV dan sifilis
bersamaan dengan pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya (TIPK)
Tetap menolak
Perkenalkan KTS
Poli KIA
Sifilis
Negatif
Sifilis
Positif
Konseling	
  
setelah	
  tes	
  
Tes HIV dan Sifilis
HIV
negatif
HIV
Positif
Konseling	
  
setelah	
  tes	
  
Konseling	
  
setelah	
  tes	
  
Konseling
setelah tes
• Terapi sifilis
• Anjuran terapi
bagi pasangan
Rujuk Ibu
hamil untuk
mendapatkan
ARV
Rujuk Ke Poli
IMS/BP
i)	 Pemberian Informasi Sebelum Tes
Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu,
termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang
meliputi hal-hal berikut.
PEDOMAN PPIA.indd 14 7/4/14 8:41 AM
15
•	 Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria, hepatitis HIV
dan sifilis , dari ibu kepada bayinya selama kehamilan, saat persalinan dan
masa menyusui.
•	 Keuntungan diagnosis dini penyakit -penyakit tersebut atau penyakit lainnya
seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada kehamilan bagi ibu dan
bayi yang akan dilahirkan. .
•	 Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya positif,.
•	 Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial; dan tidak akan
diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas kesehatan
yang terkait langsung dengan perawatan pasien.
•	 Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin. Tes
akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, kecuali pasien
menggunakan hak tolaknya tersebut. Bila menolak, pasien perlu membuat
pernyataan tertulis.
•	 Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan mempengaruhi
layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil.
•	 Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan kepada
petugas kesehatan.
ii)	 Pengambilan Darah dan Tes HIV
Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan
4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda
sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan
darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga
medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/
atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih)
dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur
standar.
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme
Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan
virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan
jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2.
PEDOMAN PPIA.indd 15 7/4/14 8:41 AM
16
Bagan 4. Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial"
A1	
  (+)	
  
A2	
  (+)	
  
A3	
  (+)	
  
A1	
  (+)	
  
A2	
  (-­‐)	
  
A3	
  (+)	
  
A1	
  (+)	
  
A2	
  (+)	
  
A3	
  (-­‐)	
  
A1	
  (NR)	
  
A2	
  (+)	
  
A3	
  (+)	
  
A1	
  (NR)	
  
A2	
  (R)	
  
A3	
  (NR)	
  
A1	
  (R)	
  
A2	
  (NR)	
  
A3	
  (NR)	
  
	
  
A1	
  (NR)	
  
A2	
  (NR)	
  
A1	
  non	
  
reaktif	
  
Reaktif	
  Nonreaktif	
  
HIV	
  Negatif	
  
Berisiko	
  
Tidak	
  	
   Ya	
  	
  
Indeterminate	
  
HIV	
  Positif	
  
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
   	
   	
   	
   	
   	
  
	
   	
  Keputusan	
  klinis	
  
Lapo
Bersedia	
  di	
  tes	
  HIV	
  
Tes	
  Antibodi	
  HIV	
  	
  	
  A1	
  
Reaktif	
  Nonreaktif	
  
Tes	
  Antibodi	
  HIV	
  	
  A2	
  
Reaktif	
  Nonreaktif	
  
Ulang	
  tes	
  HIV	
  
A1	
  dan	
  A2	
  
Hasil	
  
pengulangan	
  
Keduanya	
  
Nonreaktif	
  
Keduanya	
  
Reaktif	
  
Salah	
  satu	
  
Reaktif	
  
Tes	
  antibodi	
  HIV	
  
A3	
  
	
  
	
  
	
  
	
  
La
po
ra
n	
  
la
bo
rat
ori
u
m	
  
Lapo	
  
Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”
	
  
Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok populasi
kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki sek dengan lelaki, waria) dan
Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga
Binaan Pemasyarakatan
PEDOMAN PPIA.indd 16 7/4/14 8:41 AM
17
  
Hasil Positif:
• Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
Hasil Negatif:
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non
reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil Indeterminate:
• Bila dua hasil tes reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
  
  
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV
Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV
Tindak lanjut hasil positif:
• Rujuk ke Pengobatan HIV
Tindak lanjut hasil negatif:
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang
minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan
pertama sampai satu tahun.
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup
sehat
Tindak lanjut hasil indeterminate:
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua
minggu dari pemeriksaan yang pertama.
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan
PCR.
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes
diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang
pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan
faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif.
	
  	
  
iii)	 Penyampaian Hasil Tes HIV
Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum
disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian
semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari nilai
hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan
sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam
medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien,
sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut
dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien.
PEDOMAN PPIA.indd 17 7/4/14 8:41 AM
18
Pasien perlu diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana
yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami
hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk.
iv)	 Konseling
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa
spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara
tatap muka individual.
Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
i.	 Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
•	 penjelasan tentang masa jendela/window period;
•	 pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari;
•	 risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
•	 konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan
tes HIV.
ii.	 Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
•	 Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
•	 penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapiARV,
kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat;
•	 pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
•	 rencana pilihan persalinan
•	 rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan
pilihannya;
•	 konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
•	 tes HIV bagi bayi
•	 tes HIV bagi pasangan;
•	 informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA
yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan
ODHA;
•	 rujukan bila perlu;
•	 kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan;
iii.	 Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan
spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila
sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil
dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada
penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif.
Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau
marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling
khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan
mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk
pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada psikolog
atau konselor lain.
PEDOMAN PPIA.indd 18 7/4/14 8:41 AM
19
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan
dengan HIV
Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada
perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati-
hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya.
Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan
AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus
digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV
positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan
yang tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan
HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan
(perlindungan ganda).
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
i)	 pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling
dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan
ii)	 perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.
i)	 Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV
Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan
HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas
untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut.
1.	 Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi,
bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan
kontrasepsi mantap.
2.	 Kontrasepsi jangka panjang:
a.	 Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko
IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan
dilakukansegerasetelahplasentalahir,walaupuntidaktertutupkemungkinan
dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti
standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping,
seperti nyeri dan perdarahan.
b.	 Hormonal (lihat Tabel 6):
i.	 Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan
enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi.
ii.	 Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progesteron.
iii.	 Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi
perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas
kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan
tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
iv.	 Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat
efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi
obat ARV.
PEDOMAN PPIA.indd 19 7/4/14 8:41 AM
20
Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron
mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap
diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan
tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian
juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.
ii)	 Perencanaan Kehamilan
Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak,
maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek
medis dan aspek sosial sebagai berikut.
Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.
i.	 Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii.	 Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3
: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda
bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar
CD4 kurang dari 350 sel/mm3
maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder
yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i.	 Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii.	 Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.
Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.
i.	 Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak
untuk hamil.
ii.	 Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa
kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii.	 Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan
disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama
sanggama.
Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:
i.	 Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
ii.	 Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk
mengetahui risiko penularan.
iii.	 Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada
masa subur pasangan.
iv.	 Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3
, maka
sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.
3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV
Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena
PEDOMAN PPIA.indd 20 7/4/14 8:41 AM
21
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur
hidup (lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan –
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
Bagan 5. Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
  
HIV reaktifHIV non-reaktif
Mulai terapi ARV tanpa memandang
umur kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis
Klinik	
  Swasta	
  
dan	
  stadiu	
  
	
  kl	
  
nis.    
Ibu hamil
Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
i)	 persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV;
ii)	 bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan
stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
iii)	Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4 <
200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia, diare)
dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
iv)	pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua
bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu
sebagai berikut.
1.	 Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2.	 Adherence: kepatuhan minum obat.
3.	 Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4.	 Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5.	 Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.
Boks1. Protokolpemberianterapiantiretroviral(ARV)untukibuhamildenganHIV
	Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan
“triple nuke” (3 NRTI).
	Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC): TDF
(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).
	Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan
ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang sama seperti saat
sebelum hamil.
	Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikanARV tanpa
melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.
	Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera diberikan
ARV. Pilihan Paduan obatARV sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya. Informasi
lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8, serta Lampiran 3.
PEDOMAN PPIA.indd 21 7/4/14 8:41 AM
22
Tabel 6. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil
No Kondisi Rekomendasi pengobatan
1 •	ODHA hamil, segera
terapi ARV
•	ODHA datang pada
masa persalinan dan
belum mendapat
terapi ARV, lakukan
tes, bila hasil reaktif
berikan ARV
•	TDF(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg)
Alternatif:
•	AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
(1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
•	TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
•	AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV
(1x600mg)
2 ODHA sedang
menggunakan ARV dan
kemudian hamil
•	Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
sesudah persalinan
3 ODHA hamil dengan
hepatitis B yang
memerlukan terapi
•	TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) +
EFV (1x600mg) atau
•	TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
4 ODHA hamil dengan
tuberkulosis aktif
•	Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila
belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian ARV.
•	Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF + 3TC + EFV
Keterangan:AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin;
EFV: efavirens; TDF: tenovofir
Tabel 7. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
Nama
obat
Efek samping/efek toksik Kontraindikasi
AZT •	Anemia (makin lama pajanan makin berat,
namun reversibel)
•	Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia
•	Alergi obat
•	Hb < 7 g/dL
•	Netropenia (<750
sel/mm3
)
•	Disfungsi hati dan
ginjal berat
NVP •	Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam
12 minggu pertama)
•	Ruam kulit
•	Alergi terhadap
benzodiazepin
•	Disfungsi hati
TDF •	Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6
bulan pertama)
•	Disfungsi ginjal
3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV
Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien
lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap
PEDOMAN PPIA.indd 22 7/4/14 8:41 AM
23
bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko penularan pada persalinan per
vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama
setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3
pada minggu ke-
36. Tabel 8 menampilkan keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan.
Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Metode
persalinan
Keuntungan Kerugian
Per
vaginam
1.	 Mudah dilakukan di sarana
kesehatan yang terbatas
2.	 Masa pemulihan pasca
persalinan singkat
3.	 Biaya rendah
Risiko penularan pada bayi relatif
tinggi 10-20% , kecuali ibu telah
minum ARV teratur ≥ 6 bulan atau
diketahui kadar viral load < 1000
kopi/mm3
pada minggu ke-36
Seksio
sesarea
elektif
1.	 Risiko penularan yang
rendah (2-4%) atau
dapat mengurangi risiko
penularan sampai 50-66%
2.	 Terencana pada minggu
ke-38
1.	 Lama perawatan bagi ibu lebih
panjang.
2.	 Perlu sarana dan fasilitas
pendukung yang lebih memadai
3.	 Risiko komplikasi selama operasi
dan pasca operasi lebih tinggi
4.	 Ada risiko komplikasi anestesi
5.	 Biaya lebih mahal
Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang
optimal pada ibu
dengan HIV.
1.	 Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam,
perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2.	 Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio
sesarea.
3.	 Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun
seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk
semua persalinan.
Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea dapat
dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung
diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.
3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV
Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas
pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan.
•	 Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi ASI.
•	 Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di samping
tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan
edukasi nutrisi.
•	 Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan
yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.
PEDOMAN PPIA.indd 23 7/4/14 8:41 AM
24
•	 Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi menimbulkan
infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.
3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi
Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak (2013). Sejak ARV
dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan pemberian obat setiap hari, karena
ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan. Persiapan
amat penting dilakukan sebelum memulai pemberianARV, yaitu persiapan pengasuh
bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam
minggu.
Dosis zidovudin/AZT:
•	 Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.
•	 Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu.
•	 Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu pertama,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4 mg/kg BB/12
jam selama dua minggu.
Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka
diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai
dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV.
Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV
sesudah dipastikan TIDAK  tertular  HIV (setelah  ada  hasil  laboratorium
baik PCR  maupun antibodi pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun
yang terinfeksi HIV, cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25%.
PEDOMAN PPIA.indd 24 7/4/14 8:41 AM
25
Bagan 6. Pemberian Kotrimoksasol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Tidak tersedia
Tersedia
   Bayi dari ibu dengan HIV
  
Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB, 1x/hari pada usia 6
minggu dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan
    
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu
    
Hentikan kotrimoksasol,
kecuali bila mendapat ASI
    
Positif
  
Konse
ling  
HIV  
positif  
KKons
eling  
HIV  
positif
onseli
ng  
HIV  
positif  
Negatif
  
Konse
ling  
HIV  
positi
f  
KKon
seling  
HIV  
positi
fonsel
ing  
HIV  
positi
f  
Lanjutkan kotrimoksasol
hingga usia 12 bulan; atau
hentikan bila diagnosis HIV
dengan cara lain
menunjukkan hasil negatif
    
Tata laksana HIV
pada bayi/anak
3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi
Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu – termasuk antibodi terhadap
HIV – ditransfer secara pasif kepada janin, dan dapat terdeteksi sampai anak
berumur  18 bulan. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari
18 bulan dapat menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV.
Diagnosis HIV pada bayi dan anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi.
Uji Virologi
Uji virologi digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya dilakukan
setelah bayi berumur enam minggu dan dianjurkan untuk mendiagnosis bayi
berumur kurang dari 18 bulan.
1.	 Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap (whole
blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA (viral load) pada plasma.
2.	 Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin.
3.	 Pada  bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yanghasilnya positif, maka terapi
ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi
kedua harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam
empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan di mulainya
terapi ARV
PEDOMAN PPIA.indd 25 7/4/14 8:41 AM
26
Uji Serologi
Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan digunakan sebagai uji untuk
menentukan adanya paparan/pajanan HIV selama kehamilan dan persalinan,
sedangkan pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
1.	 Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi pada umur sembilan bulan. Bila
hasilnya positif, maka harus segera diikuti uji virologi untuk identifikasi kasus
yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif dan uji virologi belum
tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologi ulang pada
usia 18 bulan.
2.	 Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji serologi harus
dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi.
3.	 Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV, namun uji virologi tidak dapat dilakukan,  maka diagnosis ditegakkan dengan
menggunakan algoritme diagnosis presumtif.
4.	 Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
5.	 Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk anak yang masih mendapat ASI
pada usia ini, karena tes HIV baru dapat ditafsirkan dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama lebih dari enam minggu. Pada usia lebih dari 18 bulan, ASI
bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta
untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan tindakan untuk diagnosis HIV.
•	 Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan,
yang biasanya dimulai setelah bayi berumur enam minggu.
•	 Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
•	 Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa.
3.1.9 Pelayanan Imunisasi
Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk
memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala
klinis infeksi HIV. Jadwal pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru. Tidak
boleh ada pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan. Tabel 9
merangkum jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV positif.
Tabel 9. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Keterangan 6-48
jam
(KN1)
3-7
hari
(KN2)
8-28
hari
(KN3)
6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12
bln
18
bln
Evaluasi klinis V V V V V V V V V V V
Berat badan V V V V V V V V V V V
Panjang badan V V V V V V V V V
PEDOMAN PPIA.indd 26 7/4/14 8:41 AM
27
Keterangan 6-48
jam
(KN1)
3-7
hari
(KN2)
8-28
hari
(KN3)
6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12
bln
18
bln
Pemberian
makanan
SF/ ASI SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/
ASI
SF/ASI+
Makan-
an
padat
SF/
ASI+
Makan-
an
padat
Makanan
keluarga
ARV profilaksis V V V V
Profilaksis
PCP dengan
kotrimoksasol
V V V V V V V
Imunisasi Hep B OPV
BCG
DPT-
HB
- Hib
OPV
DPT-
HB-
Hib
OPV
DPT-
HB
- Hib
OPV
Camp
ak
DPT-
HB -
Hib
LABORATORIUM
Hb dan leukosit V V
CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV
PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu 
Serologi HIV V V
3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV
Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya
sebagai berikut.
1.	 Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV diberikan
sejak sebelum persalinan.
2.	 Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang
ibu haruslah didukung.
3.	 Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan
mixed feeding).
4.	 Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula,
karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada
bayi. Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan
perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang
ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5.	 Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV
negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS
(affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan
syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan masyarakat yang
memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik; ii) ibu atau
keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak; iii) ibu atau keluarganya
mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang
cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi; iv) ibu atau
keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus
PEDOMAN PPIA.indd 27 7/4/14 8:41 AM
28
sampai bayi berusia 6 bulan; v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya.
6.	 Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan
dengan cara penyiapan yang baik (lihat Lampiran 4). Di negara berkembang,
syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI,
yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan
benar.
7.	 Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi)
bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan
terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI,
untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan
frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI
perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8.	 Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada Butir 5
belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah dan
dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau
gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi mulai mendapat
makanan pendamping seperti biasa (lihat Lampiran 4). Pada usia 12 bulan
ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi
utama.
Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi diberikan
makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua
tahun.
3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi
Tatalaksana sifilis pada ibu hamil sebagai berikut.
i)	 Setiap ibu hamil wajib mendapat pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan
pedoman.
ii)	 Pada kunjungan pertama pelayanan antenatal terpadu dilakukan tes darah
secara inklusif, termasuk tes HIV dan sifilis yang sebaiknya dilakukan sebelum
usia kehamilan 16 minggu.
iii)	 Skrining tetap dilakukan sekalipun kunjungan pertama melewati 16 minggu, dan
dilakukan tata sesuai dengan pedoman.
iv)	 Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metode apapun) harus diterapi
untuk mencegah sifilis kongenital
v)	 Obati pasangan seksual perempuan/ibu hamil seropositif tersebut.
3.2.1	 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil
Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema.
Umumnya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam dua langkah. Pertama, tes non-
treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau VDLR (venereal diseases
research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya dilakukan konfirmasi
dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay),
TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent
treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum).
PEDOMAN PPIA.indd 28 7/4/14 8:41 AM
29
Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap
bahan-bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul
sebagai reaksi terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai
kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis
(misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa
menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi
dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes
non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini
sering dipakai untuk skrining. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif (positif),
selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan tes spesifik treponema.
Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi
yang bersifat spesifik terhadap Treponema, karena itu jarang memberikan hasil positif
palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun
terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal
hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak
dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif.
Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema
yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan
sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus.
Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat
(10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini
berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak
hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di
tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan
untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan
infeksi yang telah diterapi adekuat.
Idealnya pemeriksaan non treponema harus diikuti dengan pemeriksaan spesifik
treponema, akan tetapi tidak semua tes ini tersedia di fasilitas kesehatan, mungkin hanya
tersedia RPR saja, atau TP rapid saja, atau TPHA saja. Karena ada risiko penularan
pada bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil
dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif harus segera diobati.
Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid
dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil . Jika mengunakan TP Rapid dan
hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan
laboratorium yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan
maka terapi sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin
penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan
tes lain, misalnya RPR dan TPHA.
Seperti halnya tes HIV, tes sifilis juga mempunyai awal masa jendela, sehingga
hasil negatif pada tes sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis.
Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan
terutama ibu hamil didaerah prevanlesi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi
IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya
pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes
sebelumnya.
PEDOMAN PPIA.indd 29 7/4/14 8:41 AM
30
Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes
treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini
Bagan 7. Alur Tes Serologis Sifilis bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia
	
  
RPR titer
Non-reaktifReaktif
TP rapid
Non-reaktifReaktif
RPR/VDRL
Ulangi RPR dan TP rapid 1 bulan kemudian
1:2 atau 1:4 ≥1:8
RPR (+)
TP rapid (+)
RPR (+)
TP rapid (-)
Lanjut
Dini
Positif palsu Bukan sifilis
n	
  	
  
ifi	
  
is	
  
Evaluasi bulan ke: 3, 6, 9, 12, 18, 24
Aktif/dini
Terapi
RPR (-)
TP rapid (-)
Serum Plasma
Bukan sifilis
Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai
empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3
bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL
negatif.
Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid.
•	 Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
•	 Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
PEDOMAN PPIA.indd 30 7/4/14 8:41 AM
31
kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif
atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan.
•	 Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak
perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga bulan kemudian.
-	 Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga
bulan kemudian
-	 Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan
sembuh
-	 Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif
•	 Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir bila:
-	 Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai
sifilis laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.
-	 Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan
dievaluasi tiga bulan kemudian
Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi:
-	 Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,
terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama
dan setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.
-	 Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan
reinfeksi atau sifilis laten.
Bagan 8. Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil bila Hanya Tersedia TP Rapid
  
TP Rapid
Reaktif Non Reaktif
Darah
lengkap
Pernah diterapi atau Sifilis aktif
Tidak perlu
TerapiTerapi Benzatin Penisiliin
Bukan
sifilis
Darah lengkap
Bukan Sifilis
Pada fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai peralatan laboratorium lengkap,
pemeriksaan sifilis pada ibu hamil dapat mengunakan TP rapid.
Hasil TP rapid :
•	 reaktif : seperti telah disebutkan di atas tes treponema tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah
diterapi secara adekuat. Namun risiko penularan pada bayi yang dapat
PEDOMAN PPIA.indd 31 7/4/14 8:41 AM
32
bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil TP
rapid positif harus segera diobati.
•	 Non reaktif : tidak perlu terapi
Konseling setelah tes
Seperti halnya tes HIV, pemberian konseling setelah tes diberikan pada ibu hamil,
berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
1.	 Hasil tes sifilis “non-reaktif” atau negatif:
•	 penjelasan tentang masa jendela/window period
•	 pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari
2.	 Hasil tes sifilis “reaktif” atau positif:
•	 Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
•	 penjelasan tentang rencana pemberian obat benzatin benzyl penisilin
•	 pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
•	 konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
•	 pemberian informasi bahwa pasangan harus diobati
•	 kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan
Pada Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serologi yang
lengkap, jika salah satu hasil tes sifilis positif (baik dengan RPR atau TPHA atau
TP rapid), ibu dapat langsung diobati dengan Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM dosis tunggal tanpa perlu konfirmasi dengan tes lain.
3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal
diobati dengan suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila
memungkinkan diberikan 3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis
total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Terapi sifilis pada ibu hamil
Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi
penisilin
Sifilis
primer dan
sekunder
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM dosis tunggal
Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
selama 30 hari
Sifilis laten
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM, satu kali/minggu
selama 3 minggu berturut-turut.
Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari
minimal selama 30 hari.
Catatan:
•	 Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl
penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis
PEDOMAN PPIA.indd 32 7/4/14 8:41 AM
33
dosis Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari
berturut turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU.
•	 Sebaiknya mengunakan injeksi benzathin benzylpenicillin, karena prokain
benzyl penicillin bersifat short acting (24 Jam) dan penyuntikan selama
minimal 30 hari berturut turut dapat menyebabkan drop out pengobatan.
•	 Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu
dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi
terhadap penisilin.
•	 azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis
karena meningkatkan resistensi
•	 Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan
obat lain
3.2.3	 Diagnosis Sifilis Kongenital
Untuk mendiagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidak mudah.
Tes serologi dengan dasar Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif
antibodi ibu. Tes treponema tidak dianjurkan. Sifilis kongenital kemungkinan
asimtomatis pada lebih dari 50 % kasus, terutama pada minggu pertama kehidupan.
Biasanya gejala muncul pada bulan pertama tetapi manifestasi klinis baru terlihat
sampai tahun kedua kehidupan. Karena itu, definisi alternatif yang disarankan untuk
mendiagnosis kasus sifilis kongenital sebagai berikut.
1.	 Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali
lebih tinggi dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir.
Bila titer negatif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor. Pada ibu yang
terinfeksi sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan
tulang dan fungsi hati janin saat di dalam kandungan.
2.	 Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya
dua manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak
diketahui status serologisnya. Manifestasi klinisnya pembengkakan sendi, pilek,
bula/gelembung di kulit, hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan
radiologis tulang panjang.
3.	 Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat,
meliputi:
•	 tidak ada dokumentasi tentang pengobatan;
•	 diobati kurang dari empat minggu sebelum persalinan;
•	 tidak mengunakan penisilin untuk pengobatan;
•	 tidak menyesuaikan pengobatan sesuai dengan tahapan sifilis.
PEDOMAN PPIA.indd 33 7/4/14 8:41 AM
34
Bagan 9 merangkum alur kegiatan PPIA komprehensif untuk ibu dan bayi.
Bagan 9. Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
  
HIV dan sifilis positif HIV dan sifilis negatif
Perempuan HIV dan sifilis positif
Cegah kehamilan tak dikehendaki dan perencanaan
kehamilan: kontrasepsi dan ARV  
Hamil Tidak hamil
Perempuan hamil HIV dan sifilis
positif Cegah penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke bayi:
Layanan ANC terpadu, terapi ARV ibu, persalinan aman,
pemberian nutrisi pada bayi, terapi ARV dan kotrimoksazol
profilaksis pada bayi, pemeriksaan HIV dan sifilis pada
bayi, terapi sifilis pada ibu dan bayi   
Bayi HIV dan sifilis
positif
Bayi HIV dan sifilis
negatif  
Dukungan psikososial dan keperawatan bagi
ibu, bayi dan keluarga
Perempuan usia reproduktif
Cegah penularan HIV dan sifilis: Informasi, KIE
HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis congenital, tes HIV
dan sifilis  
3.2.4	 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital
Tatalaksana pada bayi dengan sifilis kongenital sebagai berikut.
BAYI dengan KLINIS
TERBUKTI/KEMUNGKI
NAN
BESAR sifilis congenital
dan:
Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi
-	 Pemeriksaan fisis
sesuai sifilis kongenital
-	 Titer serologi
n o n t r e p o n e m a
kuantitati lebih tinggi
sampai 4X lipat titer ibu
-	 Hasil positif pada
p e m e r i k s a a n
mikroskopis lapangan
gelap dari cairan tubuh
-	 Anjuran terapi: Aqueous
crystalline penicillin G 100.000-
150.000 unit /Kg/hari, injeksi IV
50.000 unit/kg/dosis IV setiap
12 jam dalam 7 hari pertama
dilanjutkan dengan setiap 8 jam
selama total 10 hari atau;
-	 Procain penicillin G 50,000 unit/
kg/dosis, injeksi IM sekali suntik
perhari selama 10 hari
Catatan : Bila ada pengobatan yang
tidak diberikan lebih dari satu hari,
maka pengobatan diulang dari awal.
-	 Analisis cairan
s e r e b r o s p i n a l :
VDRL,protein,dan
hitung sel
-	 C o m p l e t e b l o o d
count, differential
count, platelet count
-	 Tes lain sesuai
indikasi klinis:
Ro tulang panjang,
Ro toraks
Tes fungsi hati, USG
cranial, Pemeriksaan
oftalmologi, Respons
pendengaran
PEDOMAN PPIA.indd 34 7/4/14 8:41 AM
35
BAYI dengan KLINIS
NORMAL dan titer
Serologi nontreponema
kuantitatif SAMA Atau
tidak melebihi 4X lipat
titer ibu
Anjuran terapi Anjuran Evaluasi
-	 Ibu belum
diobati,pengobatan
tidak adekuat, tidak
ada catatan pernah di
obati
-	 Ibu diobati dengan
eritromisin atau obat
bukan penisilin lain
-	 Ibu di obati kurang
dari 4minggu sebelum
partus
-	 Aqueous crystalline
penicillin G 100,000–150,000
unit/kg/hari,injeksi IV 50,000
unit/kg/dosisIV setiap 12 jam
dalam usia 7 haripertama days
dilanjutkan degan setiap 8 jam
selama total 10 hari ATAU
-	 Procaine penicillin G 50,000
unit/kg/dosis, injeksi IM
sekali suntik
per hari selama 10 hari
-	 Benzathine penicillin G
50,000 unit/kg/dosis IM
sekali suntik
-	 Analisis cairan
serebro spinal:
VDRL,protein,dan
hitun gsel
-	 Complete blood
count, differential
count, Platelet count
-	 Ro tulang panjang
BAYI dengan KLINIS
NORMAL dan titer Serologi
nontreponema kuantitatif
SAMA Atau tidak melebihi
4X lipat titer ibu
Anjuran terapi Anjuran Evaluasi
-	 IBU sudah diobati saat
hamil,pengobatan adekuat
sesuai stadium,diobati
lebih dari 4 minggu
sebelum partus
-	 Tidak ada bukti ibu
mengalami relaps atau
reinfeksi
-	 Benzathine penicillin
G 50,000 unit/kg/
dosis IM sekali suntik
-	 Pendapat lain:
Tidak mengobati bayi,
tetapi pengamatan
ketat serologi bayi
bila si ibu titer serologi
n o n t r e p o n e m a
menurun 4X lipat
sesudah terapi
adekuat untuk sifilis
dini atau tetap stabil
atau rendah pada sifilis
lanjut
-	 Tidak ada
-	 IBU pengobatan adekuat
sebelum hamil
-	 IBU titer serologi
nontreponema tetap
rendah dan stabil,
sebelum dan selama
kehamilanatausaatpartus
(VDRL<1:2;RPR<1:4)
-	 Tidak perlu terapi
-	 Dapat diberikan terapi
benzathine penicillin
G 50,000 units/kg/
dosis IM sekali suntik,
terutama bila follow-up
meragukan
-	 Tidak ada
PEDOMAN PPIA.indd 35 7/4/14 8:41 AM
36
3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan
3.3.1 Pencegahan Umum
Tindakan pencegahan umum adalah upaya penerapan prosedur standar untuk
pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan dengan fokus mengurangi
risiko infeksi pada petugas kesehatan, pasien dan masyarakat.
Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Standar pelayanan kesehatan adalah
memutus mata rantai transmisi infeksi. Kewaspadaan standar meliputi :
1.	 Kebersihan tangan
2.	 Pemakaian alat pelindung diri
3.	 Pengelolaan limbah dan benda tajam
4.	 Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
5.	 Pengelolaan lingkungan
6.	 Pengelolaan Linen
7.	 Penempatan pasien
8.	 Etika Batuk/ Kebersihan pernafasan
9.	 Praktek Penyuntikan yang aman
10.	Praktek Pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi
11.	 Perlindungan dan kesehatan karyawan	
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan
Risiko terpajan infeksi HIV melalui tusukan jarum atau cara lainnya dapat terjadi
pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi
HIV cukup tinggi. Tatalaksana pasca pajanan dan ketersediaan profilaksis pasca
pajanan (PPP) dapat mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas
kesehatan dan dapat meningkatkan motivasi petugas kesehatan untuk bekerja
dengan orang yang terinfeksi HIV.
Pertolongan Pertama Pasca Pajanan
Tujuan pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan
darah,cairantubuhdarisumberpajanandanuntukmembersihkandandekontaminasi
tempat pajanan.
Jika terjadi luka pada kulit setelah pajanan dengan jarum atau benda tajam,
dianjurkan untuk mengikuti petunjuk berikut:
i.	 Jangan memijat, memencet atau menggosok daerah luka.
ii.	 Cuci segera dengan sabun atau larutan disinfektan ringan yang tidak mengiritasi
kulit, yaitu chlorhexidine gluconat.
iii.	 Jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah luka dengan gel atau larutan
pembersih tangan lainnya.
iv.	 Jangan menggunakan larutan disinfektan yang sangat kuat, seperti iodium,
untuk membersihkan daerah luka karena dapat mengiritasi dan memperburuk
daerah luka.
Jika terkena percikan darah atau cairan tubuh, dianjurkan untuk mengikuti petunjuk
berikut.
i.	 Jika percikan mengenai kulit yang utuh:
•	 cucilah segera daerah yang terpajan dengan air mengalir;
•	 jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah tersebut dengan gel atau
PEDOMAN PPIA.indd 36 7/4/14 8:41 AM
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email
Pedoman ppia email

More Related Content

What's hot

151226855 pemeriksaan-iva
151226855 pemeriksaan-iva151226855 pemeriksaan-iva
151226855 pemeriksaan-iva
Yulli Utami
 
60 langkah apn
60 langkah apn60 langkah apn
60 langkah apn
arfadin
 
PPT kanker serviks
PPT kanker serviksPPT kanker serviks
PPT kanker serviks
Dea Fahmi
 
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
Tini Wartini
 
Fetal distress dan asfiksia neonatorum
Fetal distress dan asfiksia neonatorumFetal distress dan asfiksia neonatorum
Fetal distress dan asfiksia neonatorum
Fadel Muhammad Garishah
 
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
Ainil Radiah
 
Penilaian kinerja puskesmas
Penilaian kinerja puskesmasPenilaian kinerja puskesmas
Penilaian kinerja puskesmasJoni Iswanto
 
86345062 makalah-plasenta-previa
86345062 makalah-plasenta-previa86345062 makalah-plasenta-previa
86345062 makalah-plasenta-previa
Warnet Raha
 
Rumus Johnson Toshack Converted
Rumus Johnson Toshack ConvertedRumus Johnson Toshack Converted
Rumus Johnson Toshack Converted
dr. Bobby Ahmad
 
03 distosia bahu
03 distosia bahu03 distosia bahu
03 distosia bahu
Joni Iswanto
 
Malpresentasi dan malposisi
Malpresentasi dan malposisiMalpresentasi dan malposisi
Malpresentasi dan malposisi
Griselda Fredelina AlflorenZa
 
Contoh askeb persalinan normal
Contoh askeb persalinan normalContoh askeb persalinan normal
Contoh askeb persalinan normal
Warnet Raha
 
Preeklampsia berat
Preeklampsia beratPreeklampsia berat
Preeklampsia berat
Gilang Rizki Al Farizi
 
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 finalPelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
SelfiNice
 
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
Kehamilan dengan sifilis
Kehamilan dengan sifilisKehamilan dengan sifilis
Kehamilan dengan sifilis
Sigit Pamungkas
 
10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsiaJoni Iswanto
 
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluargaKasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Yarah Azzilzah
 
Imunisasi LENGKAP
Imunisasi LENGKAPImunisasi LENGKAP
Imunisasi LENGKAP
Zakiah dr
 

What's hot (20)

151226855 pemeriksaan-iva
151226855 pemeriksaan-iva151226855 pemeriksaan-iva
151226855 pemeriksaan-iva
 
P4 k
P4 kP4 k
P4 k
 
60 langkah apn
60 langkah apn60 langkah apn
60 langkah apn
 
PPT kanker serviks
PPT kanker serviksPPT kanker serviks
PPT kanker serviks
 
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
Buku panduan pelaksanaan pispk masa pandemi covid 19 serta adaptasi kebiasaan...
 
Fetal distress dan asfiksia neonatorum
Fetal distress dan asfiksia neonatorumFetal distress dan asfiksia neonatorum
Fetal distress dan asfiksia neonatorum
 
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
59532001 leaflet-kanker-serviks (2)
 
Penilaian kinerja puskesmas
Penilaian kinerja puskesmasPenilaian kinerja puskesmas
Penilaian kinerja puskesmas
 
86345062 makalah-plasenta-previa
86345062 makalah-plasenta-previa86345062 makalah-plasenta-previa
86345062 makalah-plasenta-previa
 
Rumus Johnson Toshack Converted
Rumus Johnson Toshack ConvertedRumus Johnson Toshack Converted
Rumus Johnson Toshack Converted
 
03 distosia bahu
03 distosia bahu03 distosia bahu
03 distosia bahu
 
Malpresentasi dan malposisi
Malpresentasi dan malposisiMalpresentasi dan malposisi
Malpresentasi dan malposisi
 
Contoh askeb persalinan normal
Contoh askeb persalinan normalContoh askeb persalinan normal
Contoh askeb persalinan normal
 
Preeklampsia berat
Preeklampsia beratPreeklampsia berat
Preeklampsia berat
 
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 finalPelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
Pelayanan antenatal terpadu edisi ke 3 261120 final
 
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
 
Kehamilan dengan sifilis
Kehamilan dengan sifilisKehamilan dengan sifilis
Kehamilan dengan sifilis
 
10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia10 preeklampsia eklampsia
10 preeklampsia eklampsia
 
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluargaKasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
 
Imunisasi LENGKAP
Imunisasi LENGKAPImunisasi LENGKAP
Imunisasi LENGKAP
 

Viewers also liked

Pedoman ppia 2012 final
Pedoman ppia 2012 finalPedoman ppia 2012 final
Pedoman ppia 2012 final
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon
 
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamil
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamilDiagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamil
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamilSofie Krisnadi
 
Juknis HIV: Pedoman PITC
Juknis HIV: Pedoman PITCJuknis HIV: Pedoman PITC
Juknis HIV: Pedoman PITCIrene Susilo
 
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
Indah Triayu
 
Lapkas obstet pp
Lapkas obstet ppLapkas obstet pp
Lapkas obstet pp
Denny Suwanto
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraEpidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Rinaa Anggraini
 
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tbPedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tbrieogiq
 
Dr endang
Dr endangDr endang
Dr endang
andreei
 
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
Ditya Permana Adi
 
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02rentini Joentak
 
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
Operator Warnet Vast Raha
 
Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011
Indonesia AIDS Coalition
 
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut whoKlasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
Operator Warnet Vast Raha
 
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutan
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutanPengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutan
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutanPeny Ariani
 
Standar Pendidikan Bidan
Standar Pendidikan BidanStandar Pendidikan Bidan
Standar Pendidikan Bidan
pjj_kemenkes
 
Peningkatan kinerja bidan
Peningkatan kinerja bidanPeningkatan kinerja bidan
Peningkatan kinerja bidan
risdiana21
 
Manajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
Manajemen Kesehatan Gigi Pada KehamilanManajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
Manajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
guest2735210a
 
Integrasi ims anc terpadu 1
Integrasi ims anc terpadu 1Integrasi ims anc terpadu 1
Integrasi ims anc terpadu 1
Dokter Tekno
 
Pedoman PMTCT Nasional
Pedoman PMTCT NasionalPedoman PMTCT Nasional
Pedoman PMTCT Nasional
Indonesia AIDS Coalition
 

Viewers also liked (20)

Pedoman ppia 2012 final
Pedoman ppia 2012 finalPedoman ppia 2012 final
Pedoman ppia 2012 final
 
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamil
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamilDiagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamil
Diagnosis dan manajemen toksoplasmosis pada ibu hamil
 
Juknis HIV: Pedoman PITC
Juknis HIV: Pedoman PITCJuknis HIV: Pedoman PITC
Juknis HIV: Pedoman PITC
 
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
HIV DALAM KEHAMILAN & PENATALAKSANAANNYA (WHO 2013)
 
Lapkas obstet pp
Lapkas obstet ppLapkas obstet pp
Lapkas obstet pp
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraEpidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
 
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tbPedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
 
Dr endang
Dr endangDr endang
Dr endang
 
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART)
 
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02
Asuhankeperawatanpadapenyakitpaget 121019130433-phpapp02
 
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
249658892 leaflet-hiv-gung-dadi
 
Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011
 
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut whoKlasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
Klasifikasi stadium klinis hiv aids menurut who
 
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutan
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutanPengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutan
Pengembangan profesi bidan melalui pendidikan berkelanjutan
 
Standar Pendidikan Bidan
Standar Pendidikan BidanStandar Pendidikan Bidan
Standar Pendidikan Bidan
 
Peningkatan kinerja bidan
Peningkatan kinerja bidanPeningkatan kinerja bidan
Peningkatan kinerja bidan
 
Manajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
Manajemen Kesehatan Gigi Pada KehamilanManajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
Manajemen Kesehatan Gigi Pada Kehamilan
 
Integrasi ims anc terpadu 1
Integrasi ims anc terpadu 1Integrasi ims anc terpadu 1
Integrasi ims anc terpadu 1
 
Kelompok 11
Kelompok 11Kelompok 11
Kelompok 11
 
Pedoman PMTCT Nasional
Pedoman PMTCT NasionalPedoman PMTCT Nasional
Pedoman PMTCT Nasional
 

Similar to Pedoman ppia email

Pedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIAPedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIA
Michael Sihombing
 
Pedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIAPedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIA
Michael Sihombing
 
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdfPedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
ElytaSuartika
 
Pedoman Internal KIA
Pedoman Internal KIAPedoman Internal KIA
Pedoman Internal KIA
EraPancaSaktiningtya
 
Makalah HIV Aids pada Anak.pdf
Makalah HIV Aids pada Anak.pdfMakalah HIV Aids pada Anak.pdf
Makalah HIV Aids pada Anak.pdf
INyomanMurjana
 
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptxbaru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
AbarhamMartadiansyah1
 
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
PkmSbaru
 
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdfPPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
AkunAlissa
 
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidananPPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
devi Narti
 
Pemberdayaan preempuan tugas kia
Pemberdayaan preempuan tugas kiaPemberdayaan preempuan tugas kia
Pemberdayaan preempuan tugas kia
feniforev
 
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptxKEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
ssuser9c651e2
 
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdfPEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
hengky212
 
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptxKebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
Janita33
 
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
Firman Dariyansyah
 
Imunisasi Masyarakat contoh materii ppt
Imunisasi Masyarakat  contoh materii pptImunisasi Masyarakat  contoh materii ppt
Imunisasi Masyarakat contoh materii ppt
AZIZATUZZAHRA2
 
imunisasi 1.doc
imunisasi 1.docimunisasi 1.doc
imunisasi 1.doc
DonyKurniaRamadhan
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Proposal &amp; thesis
Proposal &amp; thesisProposal &amp; thesis
Proposal &amp; thesis
Ade Nurhasanah Amir Adek
 
BAB I.docx
BAB I.docxBAB I.docx
BAB I.docx
FendiDoank
 
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docxKERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
BudimanSetiawan5
 

Similar to Pedoman ppia email (20)

Pedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIAPedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIA
 
Pedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIAPedoman Manajemen PPIA
Pedoman Manajemen PPIA
 
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdfPedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
 
Pedoman Internal KIA
Pedoman Internal KIAPedoman Internal KIA
Pedoman Internal KIA
 
Makalah HIV Aids pada Anak.pdf
Makalah HIV Aids pada Anak.pdfMakalah HIV Aids pada Anak.pdf
Makalah HIV Aids pada Anak.pdf
 
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptxbaru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
baru ab - Pencegahan HIV, Sifilis, Hepatitis B.pptx
 
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
1_Kebijakan Imunisasi RV DAN HPV di Indonesia_21 _24 Juli 23 (2).pptx
 
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdfPPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
PPT Kel.8_Imunisasi Dasar Lengkap.pdf
 
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidananPPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
PPT Proposal.pptx ppt proposal tentang kesehatan dan kebidanan
 
Pemberdayaan preempuan tugas kia
Pemberdayaan preempuan tugas kiaPemberdayaan preempuan tugas kia
Pemberdayaan preempuan tugas kia
 
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptxKEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI PCV.pptx
 
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdfPEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
PEDOMAN_TATALAKSANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok-1.pdf
 
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptxKebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
Kebijakan Imunisasi Antigen Baru_Sultra.pptx
 
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
2 3-2-1-upaya-penurunan-aki-dan-akb
 
Imunisasi Masyarakat contoh materii ppt
Imunisasi Masyarakat  contoh materii pptImunisasi Masyarakat  contoh materii ppt
Imunisasi Masyarakat contoh materii ppt
 
imunisasi 1.doc
imunisasi 1.docimunisasi 1.doc
imunisasi 1.doc
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Proposal &amp; thesis
Proposal &amp; thesisProposal &amp; thesis
Proposal &amp; thesis
 
BAB I.docx
BAB I.docxBAB I.docx
BAB I.docx
 
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docxKERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
KERANGKA ACUAN KERJA PROGRAM IMUNISASI.docx
 

More from Dokter Tekno

Buku Saku Pasien
Buku Saku PasienBuku Saku Pasien
Buku Saku Pasien
Dokter Tekno
 
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PKStrategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
Dokter Tekno
 
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
Dokter Tekno
 
User manual simrs gos versi 2
User manual simrs gos versi 2User manual simrs gos versi 2
User manual simrs gos versi 2
Dokter Tekno
 
Petunjuk teknis siranap v.2.1
Petunjuk teknis siranap v.2.1Petunjuk teknis siranap v.2.1
Petunjuk teknis siranap v.2.1
Dokter Tekno
 
8. triyani kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
8. triyani   kars pengelolaan data asuhan gizi desember 20188. triyani   kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
8. triyani kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
Dokter Tekno
 
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-127. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
Dokter Tekno
 
6. november 2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws dr khalid
6. november  2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws   dr khalid6. november  2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws   dr khalid
6. november 2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws dr khalid
Dokter Tekno
 
5. dr rr tutik pengelolaan askep sirsak desember 2018
5. dr rr tutik   pengelolaan askep sirsak desember 20185. dr rr tutik   pengelolaan askep sirsak desember 2018
5. dr rr tutik pengelolaan askep sirsak desember 2018
Dokter Tekno
 
4. dr diyurman gea materi ws sirsak - des 2018
4. dr  diyurman gea   materi ws sirsak - des 20184. dr  diyurman gea   materi ws sirsak - des 2018
4. dr diyurman gea materi ws sirsak - des 2018
Dokter Tekno
 
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
Dokter Tekno
 
2. dr agus hadian rahim integrasi simrs gos - sirsak
2. dr agus hadian rahim  integrasi simrs gos - sirsak2. dr agus hadian rahim  integrasi simrs gos - sirsak
2. dr agus hadian rahim integrasi simrs gos - sirsak
Dokter Tekno
 
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
Dokter Tekno
 
Skm 2018
Skm 2018Skm 2018
Skm 2018
Dokter Tekno
 
Skm andi
Skm andiSkm andi
Skm andi
Dokter Tekno
 
Contoh kuisioner
Contoh kuisionerContoh kuisioner
Contoh kuisioner
Dokter Tekno
 
Konsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
Konsep dan Implementasi Vedika dan KelengkapannyaKonsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
Konsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
Dokter Tekno
 
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
Dokter Tekno
 
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaimPenatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
Dokter Tekno
 
Overview inacbg
Overview inacbgOverview inacbg
Overview inacbg
Dokter Tekno
 

More from Dokter Tekno (20)

Buku Saku Pasien
Buku Saku PasienBuku Saku Pasien
Buku Saku Pasien
 
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PKStrategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
Strategi Peningkatan IKS Program Indonesia Sehat Dengan PIS PK
 
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
Presentasi Sosialisasi Kantin Sehat
 
User manual simrs gos versi 2
User manual simrs gos versi 2User manual simrs gos versi 2
User manual simrs gos versi 2
 
Petunjuk teknis siranap v.2.1
Petunjuk teknis siranap v.2.1Petunjuk teknis siranap v.2.1
Petunjuk teknis siranap v.2.1
 
8. triyani kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
8. triyani   kars pengelolaan data asuhan gizi desember 20188. triyani   kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
8. triyani kars pengelolaan data asuhan gizi desember 2018
 
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-127. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
7. dr nico sirsak-asuhan medis 2018-12
 
6. november 2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws dr khalid
6. november  2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws   dr khalid6. november  2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws   dr khalid
6. november 2018 penerapan sisrute, siranap dan sirajal di rsws dr khalid
 
5. dr rr tutik pengelolaan askep sirsak desember 2018
5. dr rr tutik   pengelolaan askep sirsak desember 20185. dr rr tutik   pengelolaan askep sirsak desember 2018
5. dr rr tutik pengelolaan askep sirsak desember 2018
 
4. dr diyurman gea materi ws sirsak - des 2018
4. dr  diyurman gea   materi ws sirsak - des 20184. dr  diyurman gea   materi ws sirsak - des 2018
4. dr diyurman gea materi ws sirsak - des 2018
 
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
3. pengelolaan data asuhan kefarmasian ws sirsak 19 des 2018rev
 
2. dr agus hadian rahim integrasi simrs gos - sirsak
2. dr agus hadian rahim  integrasi simrs gos - sirsak2. dr agus hadian rahim  integrasi simrs gos - sirsak
2. dr agus hadian rahim integrasi simrs gos - sirsak
 
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
1.asuhan 4.0 serta peran dan manfaat sirsak bagi rs dan akreditasi
 
Skm 2018
Skm 2018Skm 2018
Skm 2018
 
Skm andi
Skm andiSkm andi
Skm andi
 
Contoh kuisioner
Contoh kuisionerContoh kuisioner
Contoh kuisioner
 
Konsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
Konsep dan Implementasi Vedika dan KelengkapannyaKonsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
Konsep dan Implementasi Vedika dan Kelengkapannya
 
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
Implementasi Aplikasi E-Klaim V5
 
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaimPenatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
Penatalaksanaan penyelesaian dispute klaim
 
Overview inacbg
Overview inacbgOverview inacbg
Overview inacbg
 

Recently uploaded

Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
nurulkarunia4
 
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptxDEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
DamianLoveChannel
 
Supracondyler humerus fracture modul.pdf
Supracondyler humerus fracture modul.pdfSupracondyler humerus fracture modul.pdf
Supracondyler humerus fracture modul.pdf
ortopedifk
 
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTPPetunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
adhiwargamandiriseja
 
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratoriumPengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
SyailaNandaSofiaWell
 
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdfv2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
fritshenukh
 
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic DasarANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
MFCorp
 
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasijejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
lala263132
 
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskularfarmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
MuhammadAuliaKurniaw1
 
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdfPengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
ryskilahmudin
 
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFPRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
ratnawulokt
 
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteranpemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
hadijaul
 
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptxMateri 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
syam586213
 
graves’ disease etiology, pathofisiology
graves’ disease etiology, pathofisiologygraves’ disease etiology, pathofisiology
graves’ disease etiology, pathofisiology
RheginaSalsabila
 
farmakologi antikoagulan presentasi.pptx
farmakologi antikoagulan presentasi.pptxfarmakologi antikoagulan presentasi.pptx
farmakologi antikoagulan presentasi.pptx
MuhammadAuliaKurniaw1
 
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.pptCara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
andiulfahmagefirahra1
 
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
LisnaKhairaniNasutio
 
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.pptGambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
ssusera85899
 
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdfDesain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
arikiskandar
 
PPT RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
PPT  RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMERPPT  RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
PPT RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
sulastri822782
 

Recently uploaded (20)

Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
Hiv DAN AIDS dalam kehamilan-------------
 
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptxDEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
DEFENISI OPERASIONAL (SINDROM) PENYAKIT SKDR.pptx
 
Supracondyler humerus fracture modul.pdf
Supracondyler humerus fracture modul.pdfSupracondyler humerus fracture modul.pdf
Supracondyler humerus fracture modul.pdf
 
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTPPetunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
Petunjuk teknis Aplikasi Indikator Nasional Mutu FKTP
 
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratoriumPengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
Pengendalian Proses.pptx Mata kuliah manajemen mutu laboratorium
 
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdfv2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
v2 Intervensi serentak pencegahan stunting.pdf
 
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic DasarANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
ANTIBIOTIK TOPIKAL Farmakologi Basic Dasar
 
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasijejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
jejaring dan jaringan pkm 2019 presentasi
 
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskularfarmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
farmakologi antikoagulan pada kasus kardiovaskular
 
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdfPengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
Pengertian dan jenis obat antiparasit.pdf
 
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFPRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
 
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteranpemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
pemaparan PPT pneumonia untuk fakultas kedokteran
 
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptxMateri 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
Materi 5. Penjaminan Mutu Labkesmas.pptx
 
graves’ disease etiology, pathofisiology
graves’ disease etiology, pathofisiologygraves’ disease etiology, pathofisiology
graves’ disease etiology, pathofisiology
 
farmakologi antikoagulan presentasi.pptx
farmakologi antikoagulan presentasi.pptxfarmakologi antikoagulan presentasi.pptx
farmakologi antikoagulan presentasi.pptx
 
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.pptCara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik_New.ppt
 
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
 
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.pptGambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
Gambaran Umum asuhan persalinan normal.ppt
 
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdfDesain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
Desain Deskriptif Desain studi pada epidemiology bencana .pdf
 
PPT RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
PPT  RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMERPPT  RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
PPT RAKOR POKJANAL POSYANDU DALAM PENGUATAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER
 

Pedoman ppia email

  • 1. PEDOMAN PELAKSANAAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE ANAK BAGI TENAGA KESEHATAN Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta 2014 PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
  • 2. ii Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014 ISBN 978-602-235-502-1 1. Judul I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS II. SYPHILIS III. BACTERIAL INFECTIONS IV. MOTHER CHILD RELATION 616.979 2 Ind p PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
  • 3. iii KATA PENGANTAR Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan . Buku disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada perempuan usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. Dengan adanya buku ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait dalam upaya pencegahan penularan infeksi HIV baru pada bayi baru lahir dan eliminasi sifilis kongenital di Indonesia. Dalam kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi serta UNICEF yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan buku ini. Jakarta, Februari 2014 Direktur Bina Kesehatan Ibu REP UBLIK INDON E SIA KEMEN TERIAN KESE HATAN Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak dr. Gita Maya Koemara Sakti.MHA NIP. 195706221985012001 PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
  • 4. iv REP UBLIK INDON E SIA KEMEN TERIAN KESE HATAN Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai 95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap kesehatan ibu dan janinnya. Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV sebesar 3-5 kali. Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA. Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada, disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan layanan sehari-hari yang terintegrasi. Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman tatalaksana ini dan semoga bermanfaat. Jakarta, Februari 2014 Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Dr. Anung Sugihantono, M.Kes NIP. 196003201985021002 PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
  • 5. v REP UBLIK INDON E SIA KEMEN TERIAN KESE HATAN Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan SAMBUTAN Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar 500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV, penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS, adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan (AIDS) dalam 10-15 tahun. Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi. Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia, sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas hidup dan umur harapan hidup penderitanya. Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan memadukanberbagaiupayakesehatansecarakomprehensifdanberkesinambungan, makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI. Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat. Jakarta, Februari 2014 Direktur Jenderal PP dan PL, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, NIP. 195509031980121001 PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
  • 6. vi DAFTAR ISI Kata Pengantar iii Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA iv Sambutan Direktur Jenderal P2PL v Daftar Isi vi Daftar Bagan viii Daftar Tabel ix Daftar Boks x Daftar Singkatan xi I. Pendahuluan 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Kebijakan 2 1.3 Tujuan 4 1.4 Sasaran 4 1.5 Target 5 II. Informasi Dasar tentang HIV dan Sifilis 6 2.1 HIV 6 2.1.1 Pengertian 6 2.1.2 Penularan HIV 7 2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV 9 2. 2 Sifilis 10 2.2.1 Pengertian 10 2.2.2 Penularan Sifilis 11 2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis 11 III. Kegiatan Komprehensif Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 13 3.1 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 13 3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV 13 3.1.2 Tes HIV dan Konseling 13 3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV 19 3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV 20 3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV 22 3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV 23 3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi 24 3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi 25 3.1.9 Pelayanan Imunisasi 26 3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV 27 PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
  • 7. vii 3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi 28 3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil 28 3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil 32 3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital 33 3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital 34 3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan 36 3.3.1 Pencegahan Umum 36 3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan 36 IV. Jejaring, Alur Pelayanan, Peran dan Sistem Rujukan PPIA dan Sifilis 40 4.1 Peran Tiap Pihak dalam Jejaring Pelayanan 40 4.2 Sistem Rujukan 43 V. Pencatatan dan Pelaporan 45 Daftar Pustaka 49 Lampiran 1 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) 51 Lampiran 2 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV 54 Lampiran 3 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia 55 Lampiran 4 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI 56 Lampiran 5 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan Penanganan Syok Anafilaksis 58 Lampiran 6 Formulir Registrasi IMS 61 Lampiran 7 Formulir Registrasi Layanan TIPK 63 Lampiran 8 Surat Pernyataan TIPK 64 Lampiran 9 Formulir Registrasi Layanan PPIA 65 Lampiran 10 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan 67 Lampiran 11 Kartu Ibu 68 Lampiran 12 Kohort Antenatal Care 70 Daftar Penyusun 71 PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
  • 8. viii DAFTAR BAGAN Bagan 1 Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS Bagan 2 Alur Layanan KIE tentang HIV dan Sifilis pada Wanita Usia Subur Bagan 3 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling Bagan 4 Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan “Strategi Tiga Serial” Bagan 5 Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil Bagan 6 Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi dari Ibu dengan HIV Bagan 7 Alur Tes Serologis Sifilis Bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia Bagan 8 Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil Bila Hanya Tersedia TP Rapid Bagan 9 Alur Kegiatan PPIA Komprehensif Bagan 10 Alur Rujukan Vertikal dan Horizontal Timbal-balik Bagan 11 Alur Pelaporan PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
  • 9. ix DAFTAR TABEL Tabel 1 Penentuan Status Epidemi HIV Tabel 2 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Tabel 3 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Tabel 4 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO Tabel 5 Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital Tabel 6 Pemberian Obat ARV pada Berbagai Situasi Klinis Ibu Hamil Tabel 7 Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV Tabel 8 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan Tabel 9 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV Tabel 10 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil Tabel 11 Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan Tabel 12 Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis Kongenital PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
  • 10. x DAFTAR BOKS Boks 1 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan HIV Boks 2 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI Boks 3 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
  • 11. xi Daftar Singkatan AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome ANC Antenatal Care ARV Antiretroviral ASI Air Susu Ibu AZT/ZDV Zidovudin BPM Bidan Praktek Mandiri CD4 Cluster of Differentiation 4 d4T Stavudin ddI Didanosin EFV Efavirens Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan FTC Emtricitabin HIV Human Immunodeficiency Virus IMS Infeksi Menular Seksual KDS Kelompok Dukungan Sebaya KTS Konseling dan Tes Secara Sukarela KIA Kesehatan Ibu dan Anak KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan LPV/r Lopinavir/ritonavir LSM Lembaga Swadaya Masyarakat NNRTI Non NRTI NRTI Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NVF Nelfinavir NVP Nevirapin ODHA Orang dengan HIV/AIDS PBK Perawatan Berbasis Komunitas PBR Perawatan Berbasis Rumah PCR Polymerase Chain Reaction PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun Pengguna Narkoba Suntik PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
  • 12. xii PI Protease Inhibitor PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission Polindes Pondok Bersalin Desa Posyandes Pondok Pelayanan Desa PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak PPP Profilaksis Pasca Pajanan Pustu Puskesmas Pembantu SQV Saquinavir TB Tuberkulosis 3TC Lamivudin TDF Tenovofir TIPK Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling TPHA Treponema Pallidum Hemaglutination Antigen WHO World Health Organization PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
  • 13. 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/ kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang 57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%) terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%) yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1.329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV. Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko tertular HIV. Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Secara umum upaya tersebut sangat efektif, bahkan di daerah dengan prevalensi HIV yang sangat rendah. Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal, dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%) di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil dengan infeksi sifilis. Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM
  • 14. 2 ganda HIV dan sifilis congenital. Upaya ini dilakukan melalui skrining pada ibu hamil melalui tes HIV dan tes sifilis yang diikuti dengan pengobatan bila hasilnya positif. Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1 . Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV- AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut. 1.2 Kebijakan PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan epidemi, yaitu: 1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil. 2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL), pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%. 3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan di bawah 5% pada sub-populasi tertentu. 1 Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM
  • 15. 3 Tabel 1 menampilkan ringkasan untuk penentuan status epidemi HIV. Tabel 1. Penentuan Status Epidemi HIV Prevalensi kasus HV pada populasi umum atau ibu hamil Prevalensi kasus HV pada populasi risiko tinggi Status epidemi HIV < 1% < 5% Rendah < 1% > 5% Terkonsentrasi > 1% (Biasanya > 5%) Meluas Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun mengikuti kebijakan yang sama. 1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan. 2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan. Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal berikut. 1. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan berlangsung sehat. 2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan (termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah). 3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman. 4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi. 5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan. 6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/ komplikasi. Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah: 1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan. 2. Ukur tekanan darah. 3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA). 4. Ukur tinggi fundus uteri. 5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin. 6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila diperlukan. 7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi). 8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah; ii) kadar Hb; iii) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); iv) PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM
  • 16. 4 tes sifilis; v) tes HIV; vi) malaria (di daerah endemis malaria); vii) protein dalam urin; viii) BTA (untuk tuberkulosis). 9. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan. 10. Konseling. Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut. 1. Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular HIV. 2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan pengidap HIV. 3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya. 4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya. Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut. 1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil. 2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining sebelumnya. 3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil tes positif. 4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis. 5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang. 6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis. 7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis. Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan. Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat. 1.3 Tujuan Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. 1.4 Sasaran Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan rujukan. Tenaga kesehatan tersebut termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak serta tenaga kesehatan terkait di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM
  • 17. 5 1.5 Target Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai berikut. 1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan. 2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan. 3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi. 4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan dan terapi. PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM
  • 18. 6 BAB II. INFORMASI DASAR TENTANG HIV DAN SIFILIS 2.1 HIV 2.1.1 Pengertian HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin timbul. Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun. Sel limfosit, CD4 dan Viral Load Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast. Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh. CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya menurun drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi oportunistik. PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM
  • 19. 7 Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR (polymerase chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain. 2.1.2 Penularan HIV Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut. i) Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal. ii) Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril iii) Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui. Tabel 2. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Selama kehamilan 5-10 % Saat persalinan 10-20 % Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 % Risiko penularan keseluruhan 20 - 50% Sumber: De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82 Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut. i) Faktor ibu. a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi. b. KadarCD4:ibudengankadarCD4yangrendah,khususnyabilajumlahselCD4 di bawah 350 sel/mm3 , menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV). PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM
  • 20. 8 c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi. d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar. e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI. ii) Faktor bayi. a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik. b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa pengobatan berkisar antara 5-20%. c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI. iii) Faktor tindakan obstetrik. Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut. a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu. b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/ lendir ibu semakin lama. c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam. d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko penularan HIV. Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Tabel 3. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik 1. Kadar HIV/viral load dalam darah 2. Kadar CD4 3. Status gizi selama kehamilan 4. Penyakit infeksi selama kehamilan 5. Masalah payudara, jika menyusui 1. Prematuritas dan berat lahir rendah 2. Lama menyusu, bila tanpa pengobatan 3. Luka pada mulut bayi, jika bayi menyusu 1. Jenis persalinan 2. Lama persalinan 3. Ketuban pecah dini 4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM
  • 21. 9 2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut. i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV. ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang- timbul walaupun diobati. iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal. Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil, namun limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan viral load makin tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), cytomegalovirus (CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium avium (MAC). Bagan 1. Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS   Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013   Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013 PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM
  • 22. 10 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan berkesinambungan (lihat Tabel 4). Tabel 4. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO Stadium 1 Asimptomatik Stadium 2 Sakit ringan Stadium 3 Sakit sedang Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Berat badan (BB) Tidak ada penurunan BB Penurunan BB 5-10% Penurunan BB > 10% Sindroma wasting HIV Gejala Tidak ada gejala atau hanya : • Limfadenopati generalisata persisten • Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) • Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo) • Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir • Kandidiasis oral atau vaginal • Oral hairy leukoplakia • Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari satu bulan • Kandidiasis esophageal • Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan • Limfoma • Sarkoma kaposi • Kanker serviks invasif • Retinitis cytomegalovirus • ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis • Ulkus mulut berulang • Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) • TB paru dalam satu tahun terakhir • TB limfadenopati • Gingivitis/ periodontitis ulseratif nekrotika akut • Pneumonia pnemosistis • TB ekstra-paru • Abses otak toksoplasmosis • Meningitis kriptokokus • Encefalopati HIV • Gangguan fungsi neurologis dan tidak oleh penyebab lain, sering kali membaik dengan ART 2.2 Sifilis 2.2.1 Pengertian Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital (ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/ akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar. PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM
  • 23. 11 2.2.2 Penularan Sifilis Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan dari ibu ke bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih kurang sama seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa kehamilan, kontak saat persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan. Walaupun penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan, namun biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas, bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital. Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut. i) Faktor ibu. a. Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll), infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko penularan sifilis. b. Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak. ii) Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak, risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan risiko pada saat persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah plasenta. 2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis Sejak terinfeksi sifilis pertama kali, tubuh mengaktivasi sistem kekebalan sehingga timbul antibodi anti-sifilis dalam 10-45 hari. Dengan demikian, window period berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Gejala fisik pertama infeksi sifilis dapat diketahui 10-90 hari setelah terinfeksi, dengan rerata 21 hari. Munculnya lesi tunggal (chancre) pertama kali menunjukkan mulainya stadium primer infeksi sifilis. Lesi/ luka tersebut biasanya kenyal keras, bulat, dengan dasar bersih dan tidak terasa nyeri. Lesi bertahan selama 3-6 minggu dan sembuh sendiri dengan atau tanpa diobati. Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat maka infeksi akan berlanjut ke stadium sekunder. Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening, radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan berlanjut menjadi stadium laten/akhir. Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM
  • 24. 12 pertama. Gejala stadium akhir sifilis meliputi kesulitan koordinasi gerakan otot, kelumpuhan, mati rasa dan rasa tebal, kebutaan bertahap dan demensia. Akhirnya bakteri akan merusak organ-organ dalam seperti otak, jaringan saraf, mata, jantung, pembuluh darah, hati, tulang dan persendian sehingga dapat mengakibatkan kematian. Tabel 5 menampilkan rangkuman manifestasi klinis infeksi sifilis. Tabel 5. Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital Sifilis didapat Stadium Manifestasi klinis Durasi Primer Chancre/ulcus atau luka/ tukak, bersifat soliter, tidak nyeri dengan batas yang tegas dan adanya indurasi dengan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) regional. 3 minggu Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan/kaki, lesi mukokutan, demam, malaise, limfadenopati generalisata, kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis, sakit kepala, uveitis, retinitis. 2-12 minggu Laten dini dan laten lanjut Asimtomatik. Dini: <1 tahun; Lanjut: ≥ 1 tahun Tersier - Gumma - Sifilis kardio- vaskuler - Neurosifilis • Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi. • Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum. • Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo, perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll Robertson. 1–46 tahun 10–30 tahun 2–20 tahun Sifilis kongenital Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan tersebar, lesi mukokutaneous, osteokondritis, anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis. Dari lahir sampai < 2 tahun Lanjut Keratitis interstisial, limfadenopati, hepatosplenomegali, kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis. Persisten > 2 tahun setelah kelahiran PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM
  • 25. 13 BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE ANAK Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak. 3.1 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi 3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV dan Sifilis Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE dengan sasaran wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja dan pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan kesehatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang pencegahan penularan HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja, kelas ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi (Bagan 2). Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur   Wanita usia subur Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital Poli KIA Poli IMS/TBPoli KB Konseling remaja Kelas Ibu hamilPoli Gizi 3.1.2 Tes HIV dan Konseling Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK) TIPK adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasyankes. TIPK dilaksanakan dengan memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R (recording-reporting dan referral). Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia diminta untuk menyatakan ketidak- setujuannya secara tertulis .Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan ulang seperti biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan ulang tentang pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama PEDOMAN PPIA.indd 13 7/4/14 8:41 AM
  • 26. 14 di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV-AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti konseling yang lebih intensif pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. (Surat penolakan TIPK dapat dilihat dilampiran 8) Langkah-langkah TIPK (lihat Bagan 3 dan Lampiran 1) meliputi: i) pemberian informasi sebelum tes; ii) pengambilan darah; iii) penyampaian hasil tes ; dan iv) konseling. Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling   Ruang bersalin Bidan/dokter/klinik praktek swasta Puskesmas, rumah sakit Polindes/Posksdes/ Pustu Poliklinik, BP, IMS, TB     Ibu Hamil Tidak setuju Tawarkan kembali pada saat kunjungan ulang ANC Rujuk ke Laboratorium Setuju Pelayanan ANC terpadu 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan:  Tinggi berat badan  Ukur tekanan darah Ukur lingkaran lengan atas  Ukur tinggi fundus uteri  Denyut jantung janin  Imunisasi TT  Tablet Fe 90 tablet  Tes lab: Hb, gol darah, proteinuria, HIV ,sifilis dll  Tata laksanan kasus  Temu wicara dan konseling 3. Tatalaksana kasus Kunjungan antenatal Penawaran tes HIV dan sifilis bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya (TIPK) Tetap menolak Perkenalkan KTS Poli KIA Sifilis Negatif Sifilis Positif Konseling   setelah  tes   Tes HIV dan Sifilis HIV negatif HIV Positif Konseling   setelah  tes   Konseling   setelah  tes   Konseling setelah tes • Terapi sifilis • Anjuran terapi bagi pasangan Rujuk Ibu hamil untuk mendapatkan ARV Rujuk Ke Poli IMS/BP i) Pemberian Informasi Sebelum Tes Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu, termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang meliputi hal-hal berikut. PEDOMAN PPIA.indd 14 7/4/14 8:41 AM
  • 27. 15 • Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria, hepatitis HIV dan sifilis , dari ibu kepada bayinya selama kehamilan, saat persalinan dan masa menyusui. • Keuntungan diagnosis dini penyakit -penyakit tersebut atau penyakit lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada kehamilan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan. . • Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya positif,. • Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial; dan tidak akan diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas kesehatan yang terkait langsung dengan perawatan pasien. • Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin. Tes akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, kecuali pasien menggunakan hak tolaknya tersebut. Bila menolak, pasien perlu membuat pernyataan tertulis. • Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan mempengaruhi layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil. • Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan. ii) Pengambilan Darah dan Tes HIV Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan 4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/ atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih) dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur standar. Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2. PEDOMAN PPIA.indd 15 7/4/14 8:41 AM
  • 28. 16 Bagan 4. Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial" A1  (+)   A2  (+)   A3  (+)   A1  (+)   A2  (-­‐)   A3  (+)   A1  (+)   A2  (+)   A3  (-­‐)   A1  (NR)   A2  (+)   A3  (+)   A1  (NR)   A2  (R)   A3  (NR)   A1  (R)   A2  (NR)   A3  (NR)     A1  (NR)   A2  (NR)   A1  non   reaktif   Reaktif  Nonreaktif   HIV  Negatif   Berisiko   Tidak     Ya     Indeterminate   HIV  Positif                                      Keputusan  klinis   Lapo Bersedia  di  tes  HIV   Tes  Antibodi  HIV      A1   Reaktif  Nonreaktif   Tes  Antibodi  HIV    A2   Reaktif  Nonreaktif   Ulang  tes  HIV   A1  dan  A2   Hasil   pengulangan   Keduanya   Nonreaktif   Keduanya   Reaktif   Salah  satu   Reaktif   Tes  antibodi  HIV   A3           La po ra n   la bo rat ori u m   Lapo   Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”   Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok populasi kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki sek dengan lelaki, waria) dan Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga Binaan Pemasyarakatan PEDOMAN PPIA.indd 16 7/4/14 8:41 AM
  • 29. 17   Hasil Positif: • Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif Hasil Negatif: • Bila hasil A1 non reaktif • Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif • Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko Hasil Indeterminate: • Bila dua hasil tes reaktif • Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko     Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV Tindak lanjut hasil positif: • Rujuk ke Pengobatan HIV Tindak lanjut hasil negatif: • Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun. • Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup sehat Tindak lanjut hasil indeterminate: • Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama. • Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. • Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif.     iii) Penyampaian Hasil Tes HIV Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari nilai hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien, sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien. PEDOMAN PPIA.indd 17 7/4/14 8:41 AM
  • 30. 18 Pasien perlu diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk. iv) Konseling Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara tatap muka individual. Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut. i. Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif: • penjelasan tentang masa jendela/window period; • pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari; • risiko penularan HIV dari ibu ke anak; • konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan tes HIV. ii. Hasil tes HIV “reaktif” atau positif: • Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan • penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapiARV, kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat; • pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan asam folat; • rencana pilihan persalinan • rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya; • konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten); • tes HIV bagi bayi • tes HIV bagi pasangan; • informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan ODHA; • rujukan bila perlu; • kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan; iii. Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif. Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada psikolog atau konselor lain. PEDOMAN PPIA.indd 18 7/4/14 8:41 AM
  • 31. 19 3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati- hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya. Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan yang tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan (perlindungan ganda). Kegiatan yang dilakukan meliputi: i) pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan ii) perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil. i) Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut. 1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan kontrasepsi mantap. 2. Kontrasepsi jangka panjang: a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan dilakukansegerasetelahplasentalahir,walaupuntidaktertutupkemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan. b. Hormonal (lihat Tabel 6): i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi. ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil progesteron. iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu. iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV. PEDOMAN PPIA.indd 19 7/4/14 8:41 AM
  • 32. 20 Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati. ii) Perencanaan Kehamilan Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut. Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut. i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah. ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3 : kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya. Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini. i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan, persalinan dan aspek pengasuhan anak. ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya. Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut. i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak untuk hamil. ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur. iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama sanggama. Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil: i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk hamil. ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk mengetahui risiko penularan. iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada masa subur pasangan. iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 , maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu. 3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV, tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena PEDOMAN PPIA.indd 20 7/4/14 8:41 AM
  • 33. 21 kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup (lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan sebagai acuan untuk memulai terapi. Bagan 5. Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil   HIV reaktifHIV non-reaktif Mulai terapi ARV tanpa memandang umur kehamilan, jumlah CD4 dan stadium klinis Klinik  Swasta   dan  stadiu    kl   nis.     Ibu hamil Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut: i) persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra- pemberian ARV; ii) bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan). iii) Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4 < 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia, diare) dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis; iv) pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV. Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu sebagai berikut. 1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV. 2. Adherence: kepatuhan minum obat. 3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter. 4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi. 5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan. Boks1. Protokolpemberianterapiantiretroviral(ARV)untukibuhamildenganHIV  Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan “triple nuke” (3 NRTI).  Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC): TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).  Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang sama seperti saat sebelum hamil.  Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikanARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.  Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera diberikan ARV. Pilihan Paduan obatARV sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8, serta Lampiran 3. PEDOMAN PPIA.indd 21 7/4/14 8:41 AM
  • 34. 22 Tabel 6. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil No Kondisi Rekomendasi pengobatan 1 • ODHA hamil, segera terapi ARV • ODHA datang pada masa persalinan dan belum mendapat terapi ARV, lakukan tes, bila hasil reaktif berikan ARV • TDF(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg) Alternatif: • AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg) • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg) • AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV (1x600mg) 2 ODHA sedang menggunakan ARV dan kemudian hamil • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan 3 ODHA hamil dengan hepatitis B yang memerlukan terapi • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) + EFV (1x600mg) atau • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg) 4 ODHA hamil dengan tuberkulosis aktif • Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian ARV. • Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan tuberkulosis telah stabil: TDF + 3TC + EFV Keterangan:AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin; EFV: efavirens; TDF: tenovofir Tabel 7. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV Nama obat Efek samping/efek toksik Kontraindikasi AZT • Anemia (makin lama pajanan makin berat, namun reversibel) • Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia • Alergi obat • Hb < 7 g/dL • Netropenia (<750 sel/mm3 ) • Disfungsi hati dan ginjal berat NVP • Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam 12 minggu pertama) • Ruam kulit • Alergi terhadap benzodiazepin • Disfungsi hati TDF • Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6 bulan pertama) • Disfungsi ginjal 3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap PEDOMAN PPIA.indd 22 7/4/14 8:41 AM
  • 35. 23 bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke- 36. Tabel 8 menampilkan keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan. Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan Metode persalinan Keuntungan Kerugian Per vaginam 1. Mudah dilakukan di sarana kesehatan yang terbatas 2. Masa pemulihan pasca persalinan singkat 3. Biaya rendah Risiko penularan pada bayi relatif tinggi 10-20% , kecuali ibu telah minum ARV teratur ≥ 6 bulan atau diketahui kadar viral load < 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36 Seksio sesarea elektif 1. Risiko penularan yang rendah (2-4%) atau dapat mengurangi risiko penularan sampai 50-66% 2. Terencana pada minggu ke-38 1. Lama perawatan bagi ibu lebih panjang. 2. Perlu sarana dan fasilitas pendukung yang lebih memadai 3. Risiko komplikasi selama operasi dan pasca operasi lebih tinggi 4. Ada risiko komplikasi anestesi 5. Biaya lebih mahal Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang optimal pada ibu dengan HIV. 1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam, perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik. 2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio sesarea. 3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk semua persalinan. Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar. 3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan. • Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi ASI. • Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di samping tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan edukasi nutrisi. • Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya. PEDOMAN PPIA.indd 23 7/4/14 8:41 AM
  • 36. 24 • Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi menimbulkan infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah. 3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak (2013). Sejak ARV dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan pemberian obat setiap hari, karena ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan. Persiapan amat penting dilakukan sebelum memulai pemberianARV, yaitu persiapan pengasuh bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam minggu. Dosis zidovudin/AZT: • Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu. • Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat minggu, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu. • Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu pertama, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4 mg/kg BB/12 jam selama dua minggu. Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV. Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV sesudah dipastikan TIDAK  tertular  HIV (setelah  ada  hasil  laboratorium baik PCR  maupun antibodi pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun yang terinfeksi HIV, cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25%. PEDOMAN PPIA.indd 24 7/4/14 8:41 AM
  • 37. 25 Bagan 6. Pemberian Kotrimoksasol pada Bayi dari Ibu dengan HIV Tidak tersedia Tersedia   Bayi dari ibu dengan HIV   Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB, 1x/hari pada usia 6 minggu dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan     Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu     Hentikan kotrimoksasol, kecuali bila mendapat ASI     Positif   Konse ling   HIV   positif   KKons eling   HIV   positif onseli ng   HIV   positif   Negatif   Konse ling   HIV   positi f   KKon seling   HIV   positi fonsel ing   HIV   positi f   Lanjutkan kotrimoksasol hingga usia 12 bulan; atau hentikan bila diagnosis HIV dengan cara lain menunjukkan hasil negatif     Tata laksana HIV pada bayi/anak 3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu – termasuk antibodi terhadap HIV – ditransfer secara pasif kepada janin, dan dapat terdeteksi sampai anak berumur  18 bulan. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari 18 bulan dapat menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV. Diagnosis HIV pada bayi dan anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi. Uji Virologi Uji virologi digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya dilakukan setelah bayi berumur enam minggu dan dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan. 1. Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap (whole blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA (viral load) pada plasma. 2. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin. 3. Pada  bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yanghasilnya positif, maka terapi ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi kedua harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan di mulainya terapi ARV PEDOMAN PPIA.indd 25 7/4/14 8:41 AM
  • 38. 26 Uji Serologi Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan digunakan sebagai uji untuk menentukan adanya paparan/pajanan HIV selama kehamilan dan persalinan, sedangkan pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik. 1. Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi pada umur sembilan bulan. Bila hasilnya positif, maka harus segera diikuti uji virologi untuk identifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif dan uji virologi belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologi ulang pada usia 18 bulan. 2. Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji serologi harus dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi. 3. Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV, namun uji virologi tidak dapat dilakukan,  maka diagnosis ditegakkan dengan menggunakan algoritme diagnosis presumtif. 4. Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI. 5. Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk anak yang masih mendapat ASI pada usia ini, karena tes HIV baru dapat ditafsirkan dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama lebih dari enam minggu. Pada usia lebih dari 18 bulan, ASI bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan tindakan untuk diagnosis HIV. • Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan, yang biasanya dimulai setelah bayi berumur enam minggu. • Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik. • Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang dewasa. 3.1.9 Pelayanan Imunisasi Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV. Jadwal pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru. Tidak boleh ada pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan. Tabel 9 merangkum jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV positif. Tabel 9. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV Keterangan 6-48 jam (KN1) 3-7 hari (KN2) 8-28 hari (KN3) 6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 bln 18 bln Evaluasi klinis V V V V V V V V V V V Berat badan V V V V V V V V V V V Panjang badan V V V V V V V V V PEDOMAN PPIA.indd 26 7/4/14 8:41 AM
  • 39. 27 Keterangan 6-48 jam (KN1) 3-7 hari (KN2) 8-28 hari (KN3) 6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 bln 18 bln Pemberian makanan SF/ ASI SF/ ASI SF/ ASI SF/ ASI SF/ ASI SF/ ASI SF/ ASI SF/ASI+ Makan- an padat SF/ ASI+ Makan- an padat Makanan keluarga ARV profilaksis V V V V Profilaksis PCP dengan kotrimoksasol V V V V V V V Imunisasi Hep B OPV BCG DPT- HB - Hib OPV DPT- HB- Hib OPV DPT- HB - Hib OPV Camp ak DPT- HB - Hib LABORATORIUM Hb dan leukosit V V CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu  Serologi HIV V V 3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya sebagai berikut. 1. Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV diberikan sejak sebelum persalinan. 2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang ibu haruslah didukung. 3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). 4. Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula, karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada bayi. Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi. 5. Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan masyarakat yang memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik; ii) ibu atau keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak; iii) ibu atau keluarganya mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi; iv) ibu atau keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus PEDOMAN PPIA.indd 27 7/4/14 8:41 AM
  • 40. 28 sampai bayi berusia 6 bulan; v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam proses pemberian susu formula yang baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya. 6. Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan dengan cara penyiapan yang baik (lihat Lampiran 4). Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar. 7. Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi) bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI, untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI perah tersebut tidak diberikan kepada bayi. 8. Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada Butir 5 belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah dan dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi mulai mendapat makanan pendamping seperti biasa (lihat Lampiran 4). Pada usia 12 bulan ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi utama. Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun. 3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi Tatalaksana sifilis pada ibu hamil sebagai berikut. i) Setiap ibu hamil wajib mendapat pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan pedoman. ii) Pada kunjungan pertama pelayanan antenatal terpadu dilakukan tes darah secara inklusif, termasuk tes HIV dan sifilis yang sebaiknya dilakukan sebelum usia kehamilan 16 minggu. iii) Skrining tetap dilakukan sekalipun kunjungan pertama melewati 16 minggu, dan dilakukan tata sesuai dengan pedoman. iv) Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metode apapun) harus diterapi untuk mencegah sifilis kongenital v) Obati pasangan seksual perempuan/ibu hamil seropositif tersebut. 3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema. Umumnya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam dua langkah. Pertama, tes non- treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau VDLR (venereal diseases research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum). PEDOMAN PPIA.indd 28 7/4/14 8:41 AM
  • 41. 29 Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif (positif), selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan tes spesifik treponema. Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi yang bersifat spesifik terhadap Treponema, karena itu jarang memberikan hasil positif palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif. Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus. Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi adekuat. Idealnya pemeriksaan non treponema harus diikuti dengan pemeriksaan spesifik treponema, akan tetapi tidak semua tes ini tersedia di fasilitas kesehatan, mungkin hanya tersedia RPR saja, atau TP rapid saja, atau TPHA saja. Karena ada risiko penularan pada bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif harus segera diobati. Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil . Jika mengunakan TP Rapid dan hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan maka terapi sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan tes lain, misalnya RPR dan TPHA. Seperti halnya tes HIV, tes sifilis juga mempunyai awal masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil didaerah prevanlesi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes sebelumnya. PEDOMAN PPIA.indd 29 7/4/14 8:41 AM
  • 42. 30 Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini Bagan 7. Alur Tes Serologis Sifilis bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia   RPR titer Non-reaktifReaktif TP rapid Non-reaktifReaktif RPR/VDRL Ulangi RPR dan TP rapid 1 bulan kemudian 1:2 atau 1:4 ≥1:8 RPR (+) TP rapid (+) RPR (+) TP rapid (-) Lanjut Dini Positif palsu Bukan sifilis n     ifi   is   Evaluasi bulan ke: 3, 6, 9, 12, 18, 24 Aktif/dini Terapi RPR (-) TP rapid (-) Serum Plasma Bukan sifilis Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL negatif. Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid. • Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian. • Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR PEDOMAN PPIA.indd 30 7/4/14 8:41 AM
  • 43. 31 kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan. • Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga bulan kemudian. - Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga bulan kemudian - Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh - Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif • Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir bila: - Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian. - Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan dievaluasi tiga bulan kemudian Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi: - Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih, terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru. - Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi atau sifilis laten. Bagan 8. Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil bila Hanya Tersedia TP Rapid   TP Rapid Reaktif Non Reaktif Darah lengkap Pernah diterapi atau Sifilis aktif Tidak perlu TerapiTerapi Benzatin Penisiliin Bukan sifilis Darah lengkap Bukan Sifilis Pada fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai peralatan laboratorium lengkap, pemeriksaan sifilis pada ibu hamil dapat mengunakan TP rapid. Hasil TP rapid : • reaktif : seperti telah disebutkan di atas tes treponema tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Namun risiko penularan pada bayi yang dapat PEDOMAN PPIA.indd 31 7/4/14 8:41 AM
  • 44. 32 bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil TP rapid positif harus segera diobati. • Non reaktif : tidak perlu terapi Konseling setelah tes Seperti halnya tes HIV, pemberian konseling setelah tes diberikan pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut. 1. Hasil tes sifilis “non-reaktif” atau negatif: • penjelasan tentang masa jendela/window period • pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari 2. Hasil tes sifilis “reaktif” atau positif: • Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan • penjelasan tentang rencana pemberian obat benzatin benzyl penisilin • pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan asam folat; • konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten); • pemberian informasi bahwa pasangan harus diobati • kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan Pada Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serologi yang lengkap, jika salah satu hasil tes sifilis positif (baik dengan RPR atau TPHA atau TP rapid), ibu dapat langsung diobati dengan Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis tunggal tanpa perlu konfirmasi dengan tes lain. 3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal diobati dengan suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila memungkinkan diberikan 3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Terapi sifilis pada ibu hamil Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi penisilin Sifilis primer dan sekunder Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis tunggal Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari selama 30 hari Sifilis laten Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM, satu kali/minggu selama 3 minggu berturut-turut. Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari minimal selama 30 hari. Catatan: • Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis PEDOMAN PPIA.indd 32 7/4/14 8:41 AM
  • 45. 33 dosis Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU. • Sebaiknya mengunakan injeksi benzathin benzylpenicillin, karena prokain benzyl penicillin bersifat short acting (24 Jam) dan penyuntikan selama minimal 30 hari berturut turut dapat menyebabkan drop out pengobatan. • Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi terhadap penisilin. • azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis karena meningkatkan resistensi • Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan obat lain 3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital Untuk mendiagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidak mudah. Tes serologi dengan dasar Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif antibodi ibu. Tes treponema tidak dianjurkan. Sifilis kongenital kemungkinan asimtomatis pada lebih dari 50 % kasus, terutama pada minggu pertama kehidupan. Biasanya gejala muncul pada bulan pertama tetapi manifestasi klinis baru terlihat sampai tahun kedua kehidupan. Karena itu, definisi alternatif yang disarankan untuk mendiagnosis kasus sifilis kongenital sebagai berikut. 1. Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali lebih tinggi dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir. Bila titer negatif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor. Pada ibu yang terinfeksi sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan tulang dan fungsi hati janin saat di dalam kandungan. 2. Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya dua manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak diketahui status serologisnya. Manifestasi klinisnya pembengkakan sendi, pilek, bula/gelembung di kulit, hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan radiologis tulang panjang. 3. Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat, meliputi: • tidak ada dokumentasi tentang pengobatan; • diobati kurang dari empat minggu sebelum persalinan; • tidak mengunakan penisilin untuk pengobatan; • tidak menyesuaikan pengobatan sesuai dengan tahapan sifilis. PEDOMAN PPIA.indd 33 7/4/14 8:41 AM
  • 46. 34 Bagan 9 merangkum alur kegiatan PPIA komprehensif untuk ibu dan bayi. Bagan 9. Alur Kegiatan PPIA Komprehensif   HIV dan sifilis positif HIV dan sifilis negatif Perempuan HIV dan sifilis positif Cegah kehamilan tak dikehendaki dan perencanaan kehamilan: kontrasepsi dan ARV   Hamil Tidak hamil Perempuan hamil HIV dan sifilis positif Cegah penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke bayi: Layanan ANC terpadu, terapi ARV ibu, persalinan aman, pemberian nutrisi pada bayi, terapi ARV dan kotrimoksazol profilaksis pada bayi, pemeriksaan HIV dan sifilis pada bayi, terapi sifilis pada ibu dan bayi   Bayi HIV dan sifilis positif Bayi HIV dan sifilis negatif   Dukungan psikososial dan keperawatan bagi ibu, bayi dan keluarga Perempuan usia reproduktif Cegah penularan HIV dan sifilis: Informasi, KIE HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis congenital, tes HIV dan sifilis   3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital Tatalaksana pada bayi dengan sifilis kongenital sebagai berikut. BAYI dengan KLINIS TERBUKTI/KEMUNGKI NAN BESAR sifilis congenital dan: Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi - Pemeriksaan fisis sesuai sifilis kongenital - Titer serologi n o n t r e p o n e m a kuantitati lebih tinggi sampai 4X lipat titer ibu - Hasil positif pada p e m e r i k s a a n mikroskopis lapangan gelap dari cairan tubuh - Anjuran terapi: Aqueous crystalline penicillin G 100.000- 150.000 unit /Kg/hari, injeksi IV 50.000 unit/kg/dosis IV setiap 12 jam dalam 7 hari pertama dilanjutkan dengan setiap 8 jam selama total 10 hari atau; - Procain penicillin G 50,000 unit/ kg/dosis, injeksi IM sekali suntik perhari selama 10 hari Catatan : Bila ada pengobatan yang tidak diberikan lebih dari satu hari, maka pengobatan diulang dari awal. - Analisis cairan s e r e b r o s p i n a l : VDRL,protein,dan hitung sel - C o m p l e t e b l o o d count, differential count, platelet count - Tes lain sesuai indikasi klinis: Ro tulang panjang, Ro toraks Tes fungsi hati, USG cranial, Pemeriksaan oftalmologi, Respons pendengaran PEDOMAN PPIA.indd 34 7/4/14 8:41 AM
  • 47. 35 BAYI dengan KLINIS NORMAL dan titer Serologi nontreponema kuantitatif SAMA Atau tidak melebihi 4X lipat titer ibu Anjuran terapi Anjuran Evaluasi - Ibu belum diobati,pengobatan tidak adekuat, tidak ada catatan pernah di obati - Ibu diobati dengan eritromisin atau obat bukan penisilin lain - Ibu di obati kurang dari 4minggu sebelum partus - Aqueous crystalline penicillin G 100,000–150,000 unit/kg/hari,injeksi IV 50,000 unit/kg/dosisIV setiap 12 jam dalam usia 7 haripertama days dilanjutkan degan setiap 8 jam selama total 10 hari ATAU - Procaine penicillin G 50,000 unit/kg/dosis, injeksi IM sekali suntik per hari selama 10 hari - Benzathine penicillin G 50,000 unit/kg/dosis IM sekali suntik - Analisis cairan serebro spinal: VDRL,protein,dan hitun gsel - Complete blood count, differential count, Platelet count - Ro tulang panjang BAYI dengan KLINIS NORMAL dan titer Serologi nontreponema kuantitatif SAMA Atau tidak melebihi 4X lipat titer ibu Anjuran terapi Anjuran Evaluasi - IBU sudah diobati saat hamil,pengobatan adekuat sesuai stadium,diobati lebih dari 4 minggu sebelum partus - Tidak ada bukti ibu mengalami relaps atau reinfeksi - Benzathine penicillin G 50,000 unit/kg/ dosis IM sekali suntik - Pendapat lain: Tidak mengobati bayi, tetapi pengamatan ketat serologi bayi bila si ibu titer serologi n o n t r e p o n e m a menurun 4X lipat sesudah terapi adekuat untuk sifilis dini atau tetap stabil atau rendah pada sifilis lanjut - Tidak ada - IBU pengobatan adekuat sebelum hamil - IBU titer serologi nontreponema tetap rendah dan stabil, sebelum dan selama kehamilanatausaatpartus (VDRL<1:2;RPR<1:4) - Tidak perlu terapi - Dapat diberikan terapi benzathine penicillin G 50,000 units/kg/ dosis IM sekali suntik, terutama bila follow-up meragukan - Tidak ada PEDOMAN PPIA.indd 35 7/4/14 8:41 AM
  • 48. 36 3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan 3.3.1 Pencegahan Umum Tindakan pencegahan umum adalah upaya penerapan prosedur standar untuk pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan dengan fokus mengurangi risiko infeksi pada petugas kesehatan, pasien dan masyarakat. Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Standar pelayanan kesehatan adalah memutus mata rantai transmisi infeksi. Kewaspadaan standar meliputi : 1. Kebersihan tangan 2. Pemakaian alat pelindung diri 3. Pengelolaan limbah dan benda tajam 4. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai 5. Pengelolaan lingkungan 6. Pengelolaan Linen 7. Penempatan pasien 8. Etika Batuk/ Kebersihan pernafasan 9. Praktek Penyuntikan yang aman 10. Praktek Pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi 11. Perlindungan dan kesehatan karyawan 3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan Risiko terpajan infeksi HIV melalui tusukan jarum atau cara lainnya dapat terjadi pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi HIV cukup tinggi. Tatalaksana pasca pajanan dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan (PPP) dapat mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas kesehatan dan dapat meningkatkan motivasi petugas kesehatan untuk bekerja dengan orang yang terinfeksi HIV. Pertolongan Pertama Pasca Pajanan Tujuan pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan darah,cairantubuhdarisumberpajanandanuntukmembersihkandandekontaminasi tempat pajanan. Jika terjadi luka pada kulit setelah pajanan dengan jarum atau benda tajam, dianjurkan untuk mengikuti petunjuk berikut: i. Jangan memijat, memencet atau menggosok daerah luka. ii. Cuci segera dengan sabun atau larutan disinfektan ringan yang tidak mengiritasi kulit, yaitu chlorhexidine gluconat. iii. Jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah luka dengan gel atau larutan pembersih tangan lainnya. iv. Jangan menggunakan larutan disinfektan yang sangat kuat, seperti iodium, untuk membersihkan daerah luka karena dapat mengiritasi dan memperburuk daerah luka. Jika terkena percikan darah atau cairan tubuh, dianjurkan untuk mengikuti petunjuk berikut. i. Jika percikan mengenai kulit yang utuh: • cucilah segera daerah yang terpajan dengan air mengalir; • jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah tersebut dengan gel atau PEDOMAN PPIA.indd 36 7/4/14 8:41 AM