SlideShare a Scribd company logo
1 of 99
I.

URAIAN UMUM
JUDUL PENELITIAN

:

Monitoring Tingkat Resiko
Penurunan Kualitas Air Akibat
Pola Managemen Lahan
Pertanian Daerah
Aliran/Catchment Area Waduk
Selorejo.

PENANGGUNG JAWAB PROGRAM

:

Nama

:

Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE

Tempat/ tanggal lahir

:

Blitar, 12 Juni 1947

Alamat Tempat Tinggal

:

Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No.
Telp. (0341) 493 612

'

No.

HP

08123314983
Pangkat Dan Jabatan Akademik :
a.

Pangkat

: Pembina Utama Muda/ IVc

b.

Jabatan Akademik

: Lektor Kepala

6. Bidang Keahlian Utama

: Pengembangan Sumber Daya Air

7. Bidang Keahlian Penunjang:
a.

Environment Hydraulic

b.

Transportasi Sedimen

c.

Waduk, Bendungan

Unit Kerja

:

Teknik Pengairan, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya

Alamat surat

:

Jl MT Haryono 167 Malang

Telepon

:

0341 575954

Fax

:

0341 575954

Email

:

a_masrevani@yahoo.com

Nama

:

Bambang Pari P ST

Bidang Keahlian

:

Analisa Hidrologi Pemodelan

Anggota Peneliti

1
Instansi

:

Program Studi Teknik Sumber Daya
Air

Pasca

Sarjana

Universitas

Brawijaya
Alamat surat

:

Jl MT Haryono 167 Malang

Telepon

:

0341 575954

Fax

:

0341 575954

Email

:

goparipung@yahoo.com

2
SUBYEK PENELITIAN
Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point
Source yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran
Sungai Waduk Selorejo, dan secara khusus sebagai hasil akhir adalah
terfokus pada kondisi kualitas air waduk Selorejo.

Periode Pelaksanaan :
Jumlah Biaya Yang Di Usulkan : Rp. 9.725.000,00 ( Sembilan Juta Tujuh
Ratus

Dua

Puluh

Lima

Ribu

Rupiah)
Lokasi Penelitian

:

Daerah Pengaliran Sungai /Cactment
Area Waduk Selorejo yaitu Masuk
Wilayah

Administrasi

Malang

Mencakup

Ngantang

desa

Kaumrejo,

Kabupaten
Kecamatan,

:

Waturejo,

Pagersari,
Jombok,

Tulungrejo, Banturejo, Sumberagung,
Sumberagung, Mulyorejo, Purworejo,
Sidodadi, Pagersari, Agantru , dan
Daerah Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur

Kecamatan Pujon, Desa : Madiredo,
Bendosari, Sukomulyo, Pujonkidul,
Pujon

Lor,

Pandesari,

Wiyurejo,

Tawangsari, Ngabab.
SUBBASIN
1 Kewayangan Sub Basin
Konto Sub Basin

2 (Up Stream)

3 Konto Sub Basin
(Down Stream)

4 Penjal Sub Basin

4
Gambar 1.1 Lokasi Studi, Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo

3
Perguruan Tinggi Pengusul

:

Universitas Brawijaya

Instansi Lain Yang Terlibat

:

PERUM JASA TIRTA I

Keterangan Lain Yang Dianggap Perlu : -

II.

ABSTRAK RENCANA PENELITIAN :
Latar Belakang : Baru-baru ini Polutan Non Point Sources (NPS) telah

menjadi suatu perhatian khusus pada bidang kualitas air dan manajemen
pengolahan DAS, dimana yang menjadi salah satu parameter dari besar NPS
tersebut adalah pertanian dan urban run off. Nitrogen (N) dan Phospour adalah
bagian yang penting dalam ekosistem air, namun kandungan yang berlebih
dapat menyebabkan alga booms dan mempercepat proses eutropikasi dimana
salah satu penyebab kemunduran nilai kualitas air.
Daerah Aliran Sungai, DAS/Watershed adalah satu ekosistem yang terdiri
dari kumpulan daratan yang berbeda dalam penggunaan lahan dan terhubung
oleh jaringan-jaringan sungai. Oleh sebab itu benar bahwa kondisi sungai
sangat

ditentukan

oleh

proses

yang

terjadi

pada

lahan

areal

tangkapannya/DAS. Dimana suatu jaringan sungai mengalir mengarah pada
satu tampungan yang besar, dimana kondisi kualitas air pada tampungan
waduk tersebut dipengarui secara langsung dari kondisi proses yang terjadi
pada lahan DAS.
Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point Source
yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran Sungai Waduk
Selorejo, dimana secara tidak langsung akan sangat mempengarui kondisi
kualitas air di Waduk Sengguruh itu sendiri. Sejalan dengan perkembangan
pembangunan, teknologi dan jaman, pengembangan aktifitas pertanian dan
perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau fungsi
lainnya seperti pemukiman, akan terus ditingkatkan. Hal tersebut akan dapat
menyebabkan suatu dampak kondisi perubahan kandungan dan jumlah
konsentrasi Polutan Nutrient dan sediment di waduk selorejo.
Identifikasi Masalah : Secara umum limbah yang masuk kesungai dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah
domestik

merupakan

limbah

yang

berasal

dari

daerah

pemukiman,

4
perkantoran, kelembagaan dan pertanian. Sedangkan limbah industri berasal
dari kawasan industri.
Limbah pertanian adalah limbah yang berasal dari lahan pertanian. Seperti
yang telah diketahui aliran sungai Waduk Selorejo berada pada kawasan
algiculture area, Lahan Pertanian dan dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan irigasi pertanian, Kandungan kualitas air sebelum masuk areal
pertanian dan sesudahnya barang tentu akan berbeda, karena adanya
bermacam-macam proses yang terjadi di lahan pertanian. Pengaruh pupuk
pada lahan pertanian merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran.
Pupuk pada umumnya mengandung unsur Nitrogen (N) dan Phospour (P).
Kedua unsur ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Pembawa limbah pertanian ke dalam sungai adalah hujan dan limpasan
permukaan. Untuk menentukan besarnya polutan, harus ditentukan juga
limpasan permukaan dan aliran sungai yang diakibatkan hujan pada DASnya.
Proses transpor polutan di atas akan bermuara pada suatu tampungan dimana
semua aliran sungai akan berkumpul dan tertampung.
Sebagai contoh kondisi yang pernah terjadi yaitu di Waduk Sutami di desa
Karangkates, bagian DAS Brantas hulu. Pencemaran terakhir yang terjadi di
Waduk Sutami adalah pada tahun 2004 atau tepatnya pada tanggal 4
September 2004, dan terjadi 3 kali pada tahun tersebut. Pencemaran ini
diakibatkan pembuangan limbah cair dari sejumlah industri langsung ke anakanak Sungai Brantas, sehingga mengakibatkan dampak matinya ikan-ikan di
Waduk Sutami yang diakibatkan menurunya derajat kadar Oksigen Demand
(DO) dari tingkat normal 3 ml/liter menjadi 0.9 ml/liter serta terjadinya blooming
algae yang muncul kepermukaan air dan adanya penurunan pH (derajad
keasaman air), serta bau yang menyengat hingga mengganggu kegiatan dan
hidup masyarakat.
Beberapa usaha yang dilakukan pasca pencemaran tersebut diantaranya
adalah dilakukan penebaran bibit ikan nila, dengan harapan bahwa pada saat
musim kemarau nanti ikan-ikan ini sudah besar dan mampu menghambat
pertumbuhan algae yang umumnya berkembang pesat pada musim kemarau.
Beberapa contoh lain yang sudah dilakukan studi tentang monitoring kualitas
air, yaitu Danau Tondano Profinsi Sulawesi Utara, Kota Manado yang memberi

5
satu kesimpulan sebagai berikut : “Perairan Danau Tondano menerima beban
pencemaran dari limbah perikanan jaring apung dan limbah penduduk mencapai
Posfat 784,1 kg/hari dan Nitrogen 1715,5kg/hari. Dengan luas Danau Tondano
4800 ha maka beban Posfat yang masuk ke perairan danau mencapai 0,163
kg/ha/hari, berarti masih dibawah toleransi beban Posfat yang masuk ke
ekosistem perairan lentic (danau, waduk) yaitu 0.367 kg/ha/hari. Sehingga, bila
ditinjau dari beban Posfat tersebut, maka perairan Danau Tondano masih
memungkinkan untuk pengembangan perikanan jala terapung. Namun demikian
lokasi jaring apung harus tersebar merata tidak menumpuk di satu atau dua
lokasi. Tingkat kesuburan Danau Tondano berada dalam klasifikasi mesotrophic
sampai eutrophic, kecuali unsur nitrogen yang seluruhnya masih dalam
klasifikasi

oligotrophic.

pengelolaan

Danau

Untuk

Tondano

menghindari
ibentuk

konflik

kelembagaan

kepentingan
yang

dalam

memerlukan

keterpaduan diantara ”stakeholder” Sehingga diharapkan kebijakan lembaga
pengelola

ini

dapat

memahami

bagaimana

pengelolaan

danau

yang

berkelanjutan serta dapat mengatasi konflik yang muncul diantara stakeholder
tersebut.”
Demikian halnya pada Waduk Selorejo, telah diidentifikasi bahwa kondisi
kandungan polutan semakin meningkat, berdasarkan hasil ukur dilapangan
dengan periode 10 harian. Sehingga kondisi seperti halnya di Waduk Sutami,
kiranya sangat perlu untuk dilakukan satu monitoring dan tindakan antisipasi
secara dini untuk Waduk Selorejo tersebut.

III.

TUJUAN KHUSUS
Waduk selorejo adalah Bendungan multi guna dengan pola operasi

tahunan, dimana kegunaannya adalah untuk PLTA, pemenuhan kebutuhan air
baku, irigasi, dan kebutuhan kegiatan pertanian dan industri lainnya. Tentunya
fungsi dan kegunaan waduk selorejo ini akan sangat dipengarui oleh
kemampuan daya dukung ekosistem daerah alirannya. Seiring dengan
pengembangan wilayah kabupaten malang secara umum dan kedua wilayah
administrasi kecamatan ngantang dan pujon secara kusus,

6
Tujuan studi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah polutan yang bersumber dari
polutan lahan pertanian,
2. Melakukan analisa pola penyebaran polutan lokasi daerah studi, dan
kwantitas beban polutan di Waduk Selorejo,
3. Infentarisasi hasil identifikasi besar polutan sebagai warning system resiko
penurunan kualitas air waduk Selorejo.
Sedangkan maksud dari studi ini adalah untuk memberikan suatu informasi
tentang nilai dan pola penyebaran polutan akibat pengolahan lahan pertanian di
daerah lokasi studi, sebagai referensi khusus terhadap monitoring resiko
penurunan kualitas air Waduk Selorejo, dan untuk alat uji kebenaran
penggunaan paket pemodelan hidrologi dan kualitas air : AVSWAT2000 (Soil
and Water Assessment Tool 2000).

Manfaat Studi
Manfaat studi ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang

aplikasi pemodelan

berbasis SIG AVSWAT2000.
2. Memberikan masukan informasi kondisi kualitas air Daerah Aliran Sungai
Waduk Selorejo.
3. Sebagai suatu sistem pendukung dalam pengambilan keputusan (decision
suport systems) untuk manajemen pengolahan DAS bagi stik holder.

7
IV.

STUDI PUSTAKA
Hidrologi dan Ekosistem DAS
Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya

(cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk di
dalamnya penyebaran, daur, dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya,
serta hubungannya dengan unsur-unsur kehidupan dalam air itu sendiri.
Sedangkan hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sendiri adalah cabang dari
ilmu hidrologi itu sendiri, yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan
lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air,
termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah
hulu dan hilir (Chay Asdak, 2002:4).

4.1.1 Siklus Hidrologi
Siklus air atau hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem.
Secara alamiah daur hidrologi dapat ditunjukkan seperti terlihat pada gambar
4.1, dimana selama berlangsungnya daur hidrologi tersebut air berjalan dari
permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke
laut secara terus menerus, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai,
danau (waduk), dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia
atau makhluk hidup lainnya. Energi panas matahari dan faktor-faktor iklim
lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi
dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses
evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun
datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air
tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan.
Sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan
oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di
permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian airnya
akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau
mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air
hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi
kembali

ke

atmosfer

(dari

tajuk

dan

batang)

selama

dan

setelah

berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai

8
permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration),
dan

sisanya

akan

tertampung

sementara

dalam

cekungan-cekungan

permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas
permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya
masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler
yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah, apabila kelembaban
tanah sudah cukup jenuh maka air hujan tersebut akan bergerak secara lateral
(horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke
permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air hujan
yang masuk ke dalam tanah tersebut dapat pula bergerak vertikal ke tanah
yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (ground water). Air tanah
tersebut pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau,
atau tempat penampungan alamiah lainnya (base flow). Sebagian air infiltrasi
yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) kemudian
diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (soil evaporation) dan
melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration).

Gambar 4.1 Siklus Hidrologi

Pada daur siklus hidrologi inilah, mekanisme transport polutan terjadi, sehingga
berdasarkan siklus tersebut mekanisme polutan dapat di bagi menjadi 2 fase
yaitu :

9
1. Siklus hidrologi pada fase/tahap terjadi di satu luasan lahan, sebagai
kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan pestisida yang akan masuk ke sistim
jaringan sungai.
2. Siklus hidrologi pada fase/tahap pada Aliran Sungai yang dapat
didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, nutrisi dan pestisida melalui
aliran sungai menuju ke outlet masing-masing Sub DAS.
A. Fase Pada Lahan
Siklus hidrologi yang menjadi dasar pepersamaanan persamaan adalah
Water Ballance :

(4.1)
Dengan :
SW1

= kandungan air dalam tanah (mm H2O)

SWo

= kandungan air dalam tanah pada awal periode (mm H2O)

t

= waktu (hari)

R

= besaran hujan yang terjadi pada hari ke i (mm H2O)

Qsurf

= tinggi limpasan permukaan pada periode waktu ke i ((mm H2O)

Ea

= besar evapotranspirasi pada periode waktu ke i (mm H2O)

Wseep = jumlah air yang masuk zona lapisan tanah keras pada periode
waktu ke i (mm H2O)
Wgw

= jumlah air pada aliran air tanah pada periode waktu ke i (mm H2O)

10
Gambar 4.2. Siklus Hidrologi

B. Fase Pada Sungai
Penelusuran/Routing pada sungai-sungai utama dapat dibagi menjadi 4
komponen :
1. Penelusuran Banjir. Seperti aliran pada daerah downstream, besar
kehilangan air yang berkaitan dengan proses evapotranspirasi dan
transmisi melewati dasar sungai atau disebabkan penggunaan air sungai
untuk pertanian dan kebutuhan penduduk. Jumlah air pada sungai dapat
bersumber dari besaran hujan yang jatuh kepermukaan bumi mengalir
kesungai dan atau bersumber dari debit-debit keluaran sumber lain.
Besarnya aliran yang mengalir melewati sungai, dicari

dengan

menggunakan methode Muskingum.
2. Penelusuran Sedimen. Transpor sedimen sungai memiliki 2 proses
yang terkandung yaitu degradasi dan deposisi. Pada model SWAT ini
persamaan yang digunakan lebih simpel, yaitu nilai maksimum sedimen
yang dapat terangkut dari setiap sekmen sungai memakai persamaan
kecepatan puncak yang dapat terjadi pada sungai.
3. Penelusuran Nutrient.
dikontrol

dengan

Transformasi nutrient pada aliran sungai

komponen

kualitas

air

pada

model,

yang

persamaannya mengadopsi dari model QUAL2E. Model penjalaran
nutrient terlarut dalam air sungai dan nutrient yang terkandung dalam
sedimen. Larutan nutrient terangkut dengan air, sementara itu yang

11
terkandung dalam sedimen jumlahnya tetap hingga proses pengendapan
sedimen pada dasar sungai.
4. Penelusuran Pestisida. Sementara Pestisida yang nilainya dalam
jumlah besar, dalam model dimasukan sebagai data input pada input
data HRU (Hidrology Response Units). Seperti nutrient, total pestisida
yang masuk ke sungai adalah yang terlarut dan yang melekat pada
material sedimen.

4.1.2 Ekosistem DAS
Daerah Aliran Sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, karena
ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen
yang saling berintergrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Ekosistem
terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk
suatu kesatuan yang teratur. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu
memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah
satu komponen penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam
menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu
komponen lingkungan, dan dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem
secara keseluruhan. Pada gambar 4.3 menunjukkan adanya hubungan timbal
balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada
salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen
yang lain. Perubahan komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi
keutuhan sistem ekologi di daerah tersebut (Chay Asdak, 2002:15).

12
MATAHARI

Hutan

Sawah/Ladang

Desa
Tumbuhan

Tanah

Manusia

Hewan

Air

Sungai (Debit, Unsur Hara)

Gambar 4.3 Komponen-komponen ekosistem DAS Hulu
Sumber : Chay Asdak, 2002:16

Ekosistem

DAS

hulu

merupakan

bagian

yang

penting

karena

mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan
ini, antara lain dari segi fungsi tata air, sehingga DAS hulu seharusnya menjadi
fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS,
daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
Pada Gambar 4.4 menunjukkan proses yang berlangsung dalam suatu
ekosistem DAS, dimana input berupa curah hujan sedangkan output berupa
debit aliran dan atau muatan sedimen. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan
lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai peranan penting untuk
berlangsungnya proses erosi-sedimentasi.
Input = Curah Hujan

Vegetasi

Tanah

Sungai

Manusia
IPTEK

Output = Debit, Muatan Sedimen

Gambar 4.4 Fungsi Ekosistem DAS

13
Mekanisme Transport Polutan
Sesuai dengan penjelasan tentang siklus hidrologi maka mekanisme transport
polutan dapat di gambarkan seperti pada Gambar 4.5 berikut:

Gambar 4.5 Mekanisme Transport Polutan

Sehingga dalam studi ini akan terbagi menjadi 3 bagian pokok bahasan yang
harus di selesaikan secara berurutan dan sitematis, yaitu :
1. Pola potensi penyebaran polutan dilahan DAS Waduk Selorejo
2. Pola penyebaran Polutan Di Sungai dan Anak Sungai yang bermuara
di waduk Selorejo
3. Kandungan Polutan di Waduk Selorejo

4.2.1 Mekanisme Transport Dilahan DAS Waduk Selorejo
Pada fase ini merupakan sebagai kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi
dan pestisida yang akan masuk ke sistim jaringan sungai. Siklus hidrologi
seperti

yang

disimulasikan

oleh

SWAT

adalah

menjadi

dasar

pepersamaanan persamaan Water Ballance seperti persamaan (4.1):

14
4.2.1.1 Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan merupakan salah satu faktor penting dalam sistem
transport berbagai material yang akan terbawa masuk pengaliran sungai.
Limpasan permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi.
Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan atau depresi pada
permukaan tanah. Setelah pengisian selesai maka air akan mengalir dengan
bebas dipermukaan tanah.
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

limpasan

permukaan

bisa

dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan curah hujan
dan yang berhubungan karateristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan ,
intesitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan
permukaan. Pengaruh DAS terhadap limpasan permukaan adalah melalui
bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tataguna lahan.
Ada banyak metode yang dapat dipakai untuk menganalisa dan
memprediksi besaran limpasan permukaan, dalam studi ini menggunakan
persamaan SCS .
SCS merupakan model empirikal yang telah umum digunakan diberbagai
kawasan dunia, model ini dibangun guna menyediakan estimasi yang konsisten
untuk memperkirakan besarnya limpasan permukaan berdasarkan data tata
guna lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaanya adalah sebagai
berikut :

( P Ia) 2
Pe
P Ia S

(4.2)

dengan:
Ia

= abstraksi awal (initial abstraction) (mm)

Pe

= hujan berlebih (mm)

S

= volume dari total tampungan (mm)

P

= tinggi hujan (mm)
Abstraksi awal adalah air hujan yang terinfiltrasi lebih dahulu ke dalam

tanah sebelum terjadi limpasan permukaan, yang termasuk dalam komponen
abstraksi awal adalah simpanan permukaan (retention), air yang diserap oleh
tumbuhan, evaporasi dan infiltrasi. Abstraksi awal merupakan variabel yang
berhubungan dengan kondisi jenis tanah dan faktor penutup lahan. Pendekatan

15
yang digunakan untuk menghitung laju abstraksi awal adalah dengan
persamaan :
Ia = 0.2 S
Dengan mensubstitusikan 2 persamaan tersebut maka persamaan
pendugaan limpasan akan menjadi :

Pe

( P 0.2S ) 2
P 0.8S

(4.3)

Sedangkan S merupakan deskripsi hubungan antara jenis tanah dan tata
guna lahan dari suatu kawasan yang diperoleh dari bilangan Curve Number
(CN), bilangan CN ini berkisar antara 0 – 100 yang juga merepresentasikan
besar potensi dari air limpasan permukaan yang akan terjadi. S dapat dihitung
dengan persamaan :
S 25 .4

1000
10
CN

(4.4)

Untuk nilai curve number (CN) yang berbeda-beda dapat dilihat pada grafik
pada Gambar 4.6 :

Gambar 4.6. Grafik Hubungan Limpasan Permukaan Dan Curah Hujan
Untuk Menentukan Nilai CN
Debit Puncak
Nilai limpasan puncak atau debit puncak adalah nilai maksimum dari
limpasan yang terjadi karena disebabkan oleh intensitas hujan yang turun. Nilai
ini merupakan indikator dari kekuatan erosi yang dapat ditimbulkan pada lahan
16
dan dapat digunakan untuk memprediksi angkutan sedimen. Perhitungan
SWAT untuk nilai debit puncak ini menggunakan modifikasi metode rasional.
Metode rasional dapat digunakan untuk mendesain saluran dengan
bentang yang lebar dan sistem saluran pengendali banjir. Metode rasional
bedasar pada anggapan bahwa hujan yang jatuh dengan intensitas ‘i’ pada
waktu t = 0 secara kontinu akan terus meningkat sampai pada waktu
konsentrasi t = tconc, anggapan ini dengan melibatkan seluruh daerah
pengaliran yang mengarah pada badan sungai (outlet).
Debit

puncak

dihitung

berdasarkan

persamaan

rasional

yang

dimodifikasi. Persamaan metode rasional adalah sebagai berikut:
Q = 0.278 C . I . A

(4.5)

dengan:
Q = limpasan permukaan (m3/dt)
C = koefisien limpasan
i

= intensitas hujan (mm/jam)

A = luas wilayah DAS (ha)

Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dari titik
terjauh dari DAS menuju pada otlet DAS tersebut. Waktu konsetrasi dihitung
dengan menjumlahkan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di lahan
di tambah dengan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di saluran
sampai pada outlet.

tcon

= tov + tch

tcon

= waktu konsentrasi (jam)

tov

= waktu air melimpas di lahan (jam)

tch

= waktu untuk air melimpas di saluran (jam)

Waktu konsentrasi air melimpas di lahan (overland flow time of concentration)

t ov

Lslp

0.6

x n 0.6

18 x slp 0.3

(4.6)

17
dengan :
tov

= waktu konsentrasi air melimpah di lahan

Lslp

= panjang slope DAS (m)

Slp

= slope DAS

n

= koefisien kekasaran Manning

Waktu konsentrasi air melimpas di saluran (channel flow time of concentration)

t ch

0.62 x L x n 0.75
A0.125 x slpch

0.375

(4.7)

dengan :
tch

= waktu konsentrasi air melimpas di saluran (jam)

L

= panjang saluran

A

= luas DAS (km2)

Slp

= slope saluran

Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah perbandingan laju debit puncak dengan
intensitas hujan. Angka koefisien limpasan merupakan salah satu indikator
untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C
yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi limpasan
permukaan. Angka koefisien C berkisar antara 0 – 1.
C

Q surf
Rday

Qsurf

= debit limpasan permukaan (m3/det)

Rday

(4.8)

= hujan harian (mm)

Intensitas Hujan
Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan
waktu, misalnya mm/menit atau mm/jam untuk berbagai rentang waktu
(duration) curah hujan tertentu. Perkiraan mengenai frekuensi hujan juga
merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Jika tidak ada waktu untuk
mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat
untuk mengamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan
persamaan-persamaan antara lain: Talbot, Sherman, Ishiguro dan Mononobe.

18
Intensitas Hujan dapat dihitung dengan persamaan :
Rtc
t con

i

(4.9)

dengan :
Rtc

= banyaknya hujan yang jatuh pada saat waktu konsentrasi
(mm)

tcon

= waktu konsentrasi

Rtc

=

tc x Rday

dengan :
= bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)

tc

Rday

= hujan harian (mm)

Modifikasi Metode Rasional
Dengan menggabungkan persamaan di atas didapat persamaan metode
rasional modifikasi sebagai berikut :

Q peak

tc

x Qsurf x A
3.6 x t con

(4.10)

dengan :
tc

= bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)

Qsurf

= debit limpasan permukaan (m3/det)

tcon

= waktu konsetrasi

A

= luas DAS (km2)

4.2.1.2 Erosi Dan Sedimentasi Lahan
Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian
tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh
pergerakan air ataupun angin. Proses erosi bermula dengan terjadinya
penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang
mempunyai energi lebih besar daripada daya tahan tanah.
Begitu air hujan mengenai permukaan bumi, maka secara langsung hal
ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini,
penghancuran agregat tanah dipercepat dengan adanya daya penghancuran
dan daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan

19
menyumbat pori-pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi akan berkurang.
Sebagai akibat lebih lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut
sebagai limpasan permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada
permukaan kulit bumi ini mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut
partikel-partikel yang telah hancur, baik oleh air hujan maupun oleh adanya
limpasan permukaan itu sendiri.
Pada studi ini besaran erosi dihitung berdasarkan persamaan Modifikasi
USLE :
sed

= 11.8 (Qsurf x qpeak x A) K x C x P x LS x CFRG

(4.11)

dengan :
sed

= sediment yied (ton)

Qsurf

= volume limpasan permukaan (mm/ha)

Qpeak

= debit puncak (m3/det)

A

= luas DAS (ha)

K

= erodibilitas tanah

C

= faktor tanaman

P

= faktor pengelolaan lahan

LS

= faktor lereng

CFRG

= faktor kekasaran material tanah

4.2.1.3 Nutrients/Pestisida
4.2.1.3.1 Nitrogen
Siklus nitrogen di dalam tanah adalah bagian dari siklus nitrogen global
yang bisa dikatakan sebagai sebuah ringkasan konsep interaksi perubahan N
secara kimia, fisika, dan biologi di dalam tanah.
Tampak pada Gambar 4.7, perubahan N terjadi karena reaksi-reaksi
berikut :
a. siklus perubahan N dalam bentuk organik dan anorganik (mineralization and
immobilization)
b. hilangnya gas N ke atmosfer (ammonia volatilization and denitrification)
c. hilangnya N karena pergerakan air dalam tanah (leaching and erosion)
d. dan Fiksasi N biologis (biological N fixation)

20
Mikro-oganisme di dalam tanah mempunyai peranan penting dalam
banyak proses perubahan reaksi siklus nitrogen dalam tanah.

Gambar 4.7 Siklus Nitrogen

Nitrogen (N) adalah elemen yang paling penting yang dibutuhkan
tanaman dan yang paling sulit diatur dari semua elemen nutrisi tumbuhan
lainnya. Tanaman membutuhkan nitrogen lebih banyak dari elemen-elemen
penting lain yang dibutuhkan oleh suatu tanaman, tidak termasuk karbon,
oksigen, dan hidrogen.
Nitrogen adalah elemen yang sangat dinamis. Ia mampu merubah
dirinya bersenyawa dengan elemen lain dan menghasilkan suatu elemen baru.
Kemampuan merubah diri baik secara biokimia maupun kimia melalui
serangkaian proses disebut dengan Siklus Nitrogen. Perubahan N biasanya
melibatkan proses oksidasi (pengurangan elektron) dan reduksi (penambahan
elektron) oleh atom N.

21
Teroksidasi +5 NO3-

Nitrat

+4 NO2

Nitrogen dioksida

+3 NO2-

Nitrit

+2 NO

Nitrogen monoksida

+1 N2O

Nitrogen oksida

0

Gas N2 atau N Elemental

N2

-1 NH4OH

Hidroxilamin

-2 N2H4

Hidrosin

Terreduksi -3 NH3 /NH4

Gas ammonia atau ammonium

SWAT menunjukkan lima ragam bentuk nitrogen di dalam tanah
(Gambar 4.7). Dua bentuk adalah nitrogen dalam bentuk inorganik (mineral);
NH4+ dan NO3-, dan tiga selebihnya adalah nitrogen dalam bentuk organik.
Nitrogen organik murni dihubungkan dengan residu tanaman dan biomasa
mikro sementara nitrogen organik aktif dan stabil dihubungkan dengan humus
tanah. Nitrogen organik yang dihubungkan dengan humus dibagi menjadi dua
kolom untuk menghitung kemampuan perubahan humus ke mineral (Gambar
4.8).

Gambar 4.8 Bentuk Nitrogen dalam Tanah dan Proses Perubahan Bentuk

4.2.1.3.2 Tingkatan Nitrogen Dalam Tanah
Di dalam aplikasi SWAT, bisa ditentukan jumlah nitrat dan nitrogen
organik yang terkandung di dalam tanah humus pada semua lapisan tanah

22
pada permulaan simulasi.

Jika tidak ditentukan inisial konsentrasi nitrogen,

SWAT akan mengenali tingkat nitrogen pada bentuk-bentuk yang berbeda.
Inisial tingkat nitrogen di dalam tanah di bedakan oleh kedalaman
menggunakan hubungan :
NO3 conc, z

7. exp

z
1000

(4.12)

dimana :
NO3 conc, z = Konsentrasi nitrat di dalam tanah pada kedalaman z (mg/kg atau

ppm)
z

= Kedalaman dari permukaan tanah (mm)
Konsentrasi nitrat dengan kedalaman dihitung dengan persamaan 4.12,

ditampilkan berupa grafik pada Gambar 4.9 di bawah.

Gambar 4.9 Konsentrasi Nitrat dengan Kedalaman

Tingkatan nitrogen organik mengasumsikan bahwa perbandingan C:N
untuk bahan humus adalah 14:1. Konsentrasi humus nitrogen organik pada
suatu lapisan tanah dihitung dengan persamaan :

orgN hum,ly

10 4.

orgCly
14

(4.13)

23
dimana :
orgN hum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan tanah (mg/kg

atau ppm)
= Jumlah karbon organic pada lapisan tanah (%)

orgCly

Organik N humus dibagi menjadi bentuk aktif dan bentuk stabil
menggunakan persamaan berikut :
orgNact,ly = orgNhum,ly . fractN
orgNsta,ly = orgNhum,ly . (1 - fractN )
dimana :
orgNact,ly = Konsentrasi nitrogen pada bentuk organik aktif (mg/kg)
orgNhum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan (mg/kg)
fractN

= Fraksi humus nitrogen dalam bentuk aktif (ditentukan dengan angka
0,02)

orgNsta,ly = Konsentrasi nitrogen dalam bentuk organik stabil (mg/kg)
Nitrogen di dalam bentuk organik baru di set ke angka O pada semua
lapisan kecuali lapisan atas 10 mm dari tanah diset pada 0.15% dari jumlah
inisial residu pada permukaan tanah.
orgNfrsh,surf = 0.0015 . rsdsurf

(4.14)

dimana :
orgNfrsh,surf = Nitrogen organik fresh pada lapisan atas 10 mm dari permukaan
tanah (kgN/ha)
rsdsurf

= Material di dalam bentuk residu untuk lapisan atas 10 mm dari
permukaan tanah (kg/ha)

Ammonium untuk nitrogen tanah, NH4ly, ditunjukkan pada 0 ppm.
Masukan data nutrient sebagai konsentrasi. Untuk mengkonversi konsentrasi
ke satuan umum, konsentrasi dikalikan kepadatan dan kedalaman lapisan
dibagi 100.

24
conc N .

b

.depthly

100

kgN
ha

(4.15)

dimana :
concN

= Konsentrasi nitrogen pada suatu lapisan (mg/kg atau ppm)
= Kepadatan pada lapisan (mg/m3)

b

depthly

= Kedalaman lapisan (mm)

Tabel 4.1SWAT Variabel Input
Nama
Variabel
SOL_NO3

Input

Definisi

File

NO3conc,ly : Initial NO3 concentration in soil
layer (mg/kg or ppm)

SOL_ORGN orgNhum,ly : Initial humic organic nitrogen in
soil layer (mg/kg or ppm)
RSDIN

rsdsurf : Material in the residue pool for the
top 10mm of soil (kg ha-1)

SOL_BD

SOL_CBN

ρb : Bulk density of the layer (mg/m3)

.CHM

.CHM

.HRU

.Sol

orgCly : Amount of organic carbon in the layer
(%)

.SOL

4.2.1.3.3 Pergerakan Nitrat
Nitrat di dalam tanah diangkut ke dalam aliran dan badan air akibat
peristiwa limpasan, aliran lateral atau perkolasi. Untuk menghitung jumlah nitrat
yang terangkut, konsentrasi nitrat di dalam air yang bergerak diperhitungkan.
NO3ly . exp
concNO 3,mobile

1

wmobile

wmobile
e .SATly

(4.16)

25
dimana :
conc NO 3,mobile

= Konsentrasi nitrat dalam air yang bergerak pada lapisan tanah (kg
N/mm H2O)

NO3ly

= Jumlah nitrat pada lapisan tanah (kg N/ha)

wmobile

= Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)

θe

= Fraksi porositas anion

SATly

= Air yang memenuhi lapisan tanah (mm H2O)

Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah adalah jumlah air yang hilang
oleh limpasan, aliran lateral atau perkolasi.
w mobile = Qsurf + Qlat,ly + w perc,ly

(4.17)

untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah
w mobile = Qlat,ly + w perc,ly

(4.18)

untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah.
dimana :
w mobile

= Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)

Qsurf

= Debit air limpasan permukaan (mm H2O)

Qlat,ly

= Debit air pada lapisan tanah oleh aliran lateral (mm H2O)

w perc,ly

= Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)

Nitrat yang terbawa aliran air limpasan permukaan dihitung dengan :
NO3surf = βNO3 . concNO3,mobile . Qsurf

(4.19)

dimana :
NO3surf

= Nitrat yang terbawa aliran air limpasan (kg N/ha)

βNO3

= Koefisien perkolasi nitrat

concNO3,mobile

= Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada
lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)

Qsurf

= Debit limpasan permukaan (mm H2O)

Nitrat yang terbawa aliran air lateral dalam tanah dihitung dengan :
NO3lat,ly

= βNO3 . concNO3,mobile . Qlat,ly

(4.20)

26
untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah
NO3lat,ly

=

concNO3,mobile . Qlat,ly

(4.21)

untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah
dimana :
NO3lat,ly

=

Nitrat yang terbawa aliran air lateral (kg N/ha)

βNO3

=

Koefisien perkolasi nitrat

concNO3,mobile

=

Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada
lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)

Qlat,ly

=

Debit aliran air lateral (mm H2O)

Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi dihitung dengan :
NO3perc,ly

=

concNO3,mobile . Q perc,ly

(4.22)

NO3perc,ly

=

Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi (kg N/ha)

concNO3,mobile

=

Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak (kg

dimana :

N/mm H2O)
Q perc,ly

=

Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)

27
4.2.1.3.4 N Organik Pada Aliran Limpasan Permukaan
N organik pada aliran limpasan permukaan dihitung menggunakan
persamaan yang dikembangkan oleh McElroy et al (1976) dan dimodifikasi oleh
Williams & Hann (1978).
orgN surf

0.001 concorgN

sed
area hru

(4.23)

N :sed

dimana :
orgNsurf

=

Jumlah N organik yang terbawa limpasan (kg N/ha)

concorgN

=

Konsentrasi N organik pada lapisan 10 mm di bawah
permukaan tanah (kg N/metrik ton tanah)

sed

=

Jumlah sedimen (metrik ton)

areahru

=

Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

εN:sed

=

Perbandingan Norganik : sedimen

Konsentrasi N organik pada lapisan permukaan tanah dihitung dengan :

concorgN

100

orgN frsh ,surf

orgN sta ,surf
b

orgN act,surf

depthsurf

(4.24)

dimana :
orgNsurf

=

N organik dalam fresh pool pada lapisan 10 mm di bawah
permukaan tanah (kg N/ha)

concorgN

=

Konsentrasi N organik dalam stable pool pada lapisan 10
mm di bawah permukaan tanah (kg N/ha)

ρb

=

Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)

depthsurf

=

Kedalaman lapisan tanah (10mm)

4.2.1.3.5 Perbandingan Antara konsentrasi N Organik dan Sedimen
Ketika aliran limpasan permukaan mengalir di atas muka tanah,
sebagian energi air digunakan untuk mengangkut partikel-partikel tanah.
Partikel yang kecil lebih mempunyai berat yang ringan dan mudah diangkut
daripada partikiel yang besar. Ketika distribusi ukuran partikel dari sedimen
yang terangkut dibandingkan dengan lapisan tanah permukaan, muatan
sedimen menuju aliran air utama memiliki porsi yang lebih besar dari ukuran
partikel lempung. Dengan kata lain, muatan sedimen diperbesar dalam partikel

28
lempung. N organik dalam tanah disertakan dalam partikel koloid (lempung),
sehingga porsi atau konsentrasi muatan sedimen akan bertambah besar pada
lapisan tanah permukaan.
Perbandingan antara konsentrasi N organik yang terangkut dengan
sedimen pada lapisan tanah permukaan ini dihitung menggunakan persamaan
yang dijelaskan oleh Menzel (1980)

0.78 concsed ,surq

N :sed

0.2468

(4.25)

dimana :
εN:sed

=

Perbandingan Norganik : sedimen

concsed,surq

=

Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan (mg
sed/m3 H2O)

Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan dihitung dengan :
sed
10 area hru Qsurf

concsed , surq

(4.26)

dimana :
sed

=

Sedimen (metrik ton)

areahru

=

Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

Qsurf

=

Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)

4.2.1.4 Pergerakan Phosphor Terlarut
Mekanisme utama dari pergerakan phosphor di dalam tanah adalah
disebabkan oleh difusi. Difusi adalah perpindahan ion dalam jarak pendek (1 –
2mm) dalam larutan tanah sebagai hasil sebuah gradien prosentasi. Mengacu
pada pergerakan phosphor yang lambat, limpasan permukaan hanya akan
berinteraksi dengan kandungan phosphor yang berada pada lapisan tanah 10
mm dibawah permukaan tanah. Jumlah kandungan phosphor yang terangkut
pada limpasan permukaan adalah dihitung dengan persamaan berikut:

P surf

Psolution ,surf Q surf
b

depthsurf k d ,surf

(4.27)

dimana :
Psurf

=

Jumlah phosphor terlarut yang terbawa limpasan (kg P/ha)

29
Psolution, surf

=

Jumlah phosphor pada lapisan tanah 10 mm dibawah
permukaan tanah (kg P/ha)

Qsurf

=

Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)

ρb

=

Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m 3)

depthsurf

=

Kedalaman lapisan tanah (10mm)

kd, surf

=

Koefisien tanah phosphor (m3/mg)

Koefisien tanah phosphor adalah perbandingan dari konsentrasi
phosphor terlarut pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah dengan
konsentrasi phosphor yang terlarut pada alairan limpasan permukaan.

4.2.1.5 P Organik & Mineral Yang Menyertai Sedimen Pada Limpasan
Permukaan
P Organik dan mineral yang menyertai sedimen pada limpasan
permukaan menuju aliran sungai utama untuk phosphor ini dihubungkan
dengan muatan sedimen dari unit respon hidrologi dan perubahan muatan
sedimen akan direfleksikan dalam bentuk muatan phosphor. Jumlah phosphor
yang terangkut sedimen menuju aliran sungai dihitung dengan persamaan
fungsi muatan yang dikembangkan oleh McElroy et al. (1976) dan dimodifikasi
oleh William & Hann (1978).
sedPsurf

0,001 concsedp

sed
area hru

p:sed

(4.28)

dimana :
seDASurf

=

Jumlah phosphor terangkut bersama sedimen menuju
aliran utama dalam limpasan permukaan (kg P/ha)

concsedP

=

Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada
lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah (g P/metrik ton
tanah)

sed

=

Sedimen (metrik ton)

areahru

=

Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

εP:sed

=

Perbandingan P organik : sedimen

30
Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada permukaan tanah dihitung
dengan :

concsedP

100

min Pact,surf

min Phum,surf
b

orgPfish ,surf

depthsurf

(4.29)

dimana :
conc sedP

=

Jumlah phosphor dalam bentuk mineral aktif pada lapisan
10 mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

minP act,surf

=

Jumlah phosphor dalam bentuk aktif mineral pada lapisan
10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

minP sta,surf

=

Jumlah phosphor dalam bentuk stabil mineral pada lapisan
10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

orgP fish,surf

=

Jumlah phosphor dalam bentuk fresh organik pada lapisan
10 mm dibawah permukaan tanah

orgP hum,surf

=

Jumlah phosphor dalam bentuk humus organik pada
lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah

ρb

=

Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m 3)

depth surf

=

Kedalaman lapisan tanah (10mm)

4.2.2 Pola Penyebaran Polutan di Sungai
4.2.2.1

Proses Di Sungai

Aliran air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dapat diklasifikasikan
dalam dua kategori yaitu aliran yang terjadi di lahan (overland flow) dan aliran
yang terjadi di sungai. Perbedaan yang utama dari kedua jenis aliran tersebut
adalah dimana pada proses aliran di sungai mempertimbangkan aliran dasar
(base flow) dan pengaruh dari laju debit. SWAT memodelkan proses aliran di
sungai yang mencakup pergerakan air, sedimen dan konstituen pollutant
(nutrients, pesticides dll) dalam jaringan sungai, siklus nutrisi di sungai (instream nutrient cycling) dan transformasi pestisida di dalam sungai (in-stream
pesticide transformations).

31
4.2.2.2

Penelusuran Debit (Water Routing)

Saluran terbuka adalah saluran dengan aliran yang muka air nya bebas,
seperti aliran pada sungai atau pada pipa yang tidak penuh. SWAT
menggunakan persamaan Manning untuk menghitung debit dan kecepatan
aliran air. Penelusuran debit pada sungai menggunakan pendekatan dengan
metode variable storage routing atau metode Muskingum river routing. Kedua
metode tersebut merupakan variasi dari metode kinematic wave model.

Karakteristik Saluran
SWAT mengasumsikan bentuk penampang saluran sungai dengan
bentuk trapesium seperti Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Penampang Sungai Trapesium
User diharuskan untuk menentukan lebar dan kedalaman dari saluran
ketika penuh sampai permukaan tanggul maupun panjang saluran, kemiringan
sepanjang saluran dan nilai koefisien n dari Manning. SWAT mengasumsikan
bahwa sisi saluran memiliki perbandingan penampang saluran sebesar 2:1 (Zch
= 2). Kemiringan dari sisi saluran adalah ½ atau 0,5. Lebar dasar saluran
dihitung dari lebar dan kedalaman penuh dengan persamaan :
(4.30)
dimana :
Wbtm

=

Lebar dasar saluran (m),

Wbnkfull

=

Lebar atas saluran ketika penuh terisi air (m),

zch

=

Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depthbnkfull

=

Kedalaman air ketika penuh sampai puncak tanggul (m).
Karena diasumsikan bahwa zch = 2, ada kemungkinan
untuk perhitungan lebar dasar dengan persamaan (4.31)
32
menjadi kurang atau sama dengan nol. Jika hal ini terjadi,
model tersebut menetapkan W btm = 0,5. W bnkfull dan
menghitung nilai baru untuk kemiringan sisi saluran dengan
menggunakan persamaan (4.31) untuk zch:
(4.31)

Untuk kedalaman air saluran yang diketahui, lebar saluran pada
permukaan air adalah :
(4.32)
dimana :
W

=

Lebar saluran pada permukaan air (m)

Wbtm

=

Lebar dasar saluran (m)

zch

=

Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depth

=

Kedalaman air pada saluran (m)

Luas penampang melintang aliran dihitung dengan :
(4.33)
dimana :
Ach

=

Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m 2),

Wbtm

=

Lebar dasar saluran (m),

zch

=

Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depth

=

Kedalaman air pada saluran (m).

Perimeter basah dari saluran ditentukan dengan :
(4.34)

dimana :
Pch

=

Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m)

Jari-jari hidrolik dari saluran dihitung dengan :

(4.35)
dimana :
Rch

=

Jari-jari hidrolik untuk kedalaman aliran yang ditentukan,

33
Ach

=

Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m 2),
dan

Pch

=

Perimeter basah untuk kedalaman aliran yang diketahui
(m). Volume air yang ada di dalam saluran adalah :
(4.36)

dimana :
Vch

=

Volume air yang ada dalam saluran (m3),

Lch

=

Panjang saluran (km), dan

Ach

=

Luas penampang melintang aliran di dalam saluran untuk
kedalaman yang ditentukan (m2).

Ketika volume air melampaui jumlah maksimum yang ditampung oleh
saluran, limpahan air akan menyebar ke dataran banjir. Dimensi dataran banjir
yang digunakan oleh SWAT ditunjukkan dalam Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Ilustrasi Dimensi Dataran Banjir

Lebar dasar dari dataran banjir, W btm.fld, adalah W btm.fld = 5 . Wbnkfull.
SWAT mengasumsikan perbandingan penampang saluran dari dataran banjir
adalah 4 : 1 (zfld = 4). Sehingga kemiringan dari dataran banjir adalah ¼ atau
0,25.
Ketika terjadi aliran pada dataran banjir, perhitungan dari kedalaman
aliran, luas penampang melintang aliran dan perimeter basah adalah jumlah
komponen dari saluran dan dataran banjir:
(4.37)
(4.38)
(4.39)

dimana :
depth

=

Kedalaman total (m),

34
depthbnkfull

=

Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak
tanggul (m),

depthfld

=

Kedalaman air pada dataran banjir (m),

Ach

=

Luas penampang melintang saluran untuk kedalaman yang
ditentukan (m2),

Wbtm

=

Lebar dasar saluran (m),

zch

=

Faktor kemiringan penampang saluran,

Wbtm.fld

=

Lebar dasar dataran banjir (m),

zfld

=

Faktor kemiringan dataran banjir,

Pch

=

Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m) dan

wbnkfull

=

Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m).

Tabel 4.2 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Dimensi Saluran
Variabel

Definisi

CH_W(2) wbnkfull : Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m).
depthbnkfull : Kedalaman air dalam saluran ketika penuh

CH_D

sampai puncak tanggul (m),

CH_L(2)

4.2.2.3

Lch : Panjang Sungai Utama (Km)

Nama File
.rte
.rte
.rte

Debit Aliran dan Kecepatan

Persamaan Manning untuk aliran seragam dalam suatu saluran
digunakan untuk menghitung debit dan kecepatan aliran dalam suatu
bentangan pias saluran dengan persamaan berikut :
(4.40)

(4.41)

dimana :
qch

=

Debit aliran dalam saluran (m3/s),

Ach

=

Luas penampang melintang aliran dalam saluran (m 2),

Rch

=

Jari-jari hidrolik untuk suatu kedalaman aliran (m),

slpch = Slope sepanjang saluran (m/m),

35
n

=

Koefisen Manning untuk saluran dan

vc

=

Kecepatan aliran (m/s).

SWAT menelusuri air sebagai suatu volume. Nilai harian pada luas
penampang melintang aliran, Ach, dihitung dengan menyusun persamaan 4.36
untuk menentukan luasannya :

(4.42)

dimana :
Ach

=

Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),

vch

=

Volume air yang ada dalam saluran (m3), dan

Lch

=

Panjang saluran (km). Persamaan 4.33 disusun ulang
untuk menghitung kedalaman aliran untuk waktu tertentu :

(4.43)

dimana :
depth

=

Kedalaman aliran (m),

Ach

=

Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),

Wbtm

=

Lebar dasar saluran (m), dan

zch

=

Faktor penampang saluran.

Persamaan 4.43 hanya bisa digunakan jika seluruh air ada di dalam
saluran. Jika volume air yang ada telah memenuhi kapasitas saluran dan
masuk ke dalam dataran banjir, maka perhitungan kedalamannya adalah :

(4.44)

dimana :
depth

=

Kedalaman aliran (m),

36
depthbnkfull

=

Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak
tanggul (m),

Ach

=

Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),

Ach.bnkfull

=

Luas penampang melintang aliran pada saluran ketika
penuh sampai permukaan tanggul (m2),

Wbtm.fld

=

Lebar dasar dataran banjir (m),

zfld

=

Faktor kemiringan dataran banjir.

Ketika kedalaman sudah diketahui, maka perimeter basah dan jari-jari
hidrolik dapat dihitung dengan persamaan 4.34 (atau 4.39) dan 4.35 Pada point
ini, semua nilai yang dibutuhkan untuk menghitung debit aliran dan kecepatan
aliran sudah diketahui dan persamaan 4.40 dan 4.41 bisa dipecahkan.

Tabel 4.3 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Debit Aliran
Variabel
CH_S(2)

Definisi
slpch : rata-rata Slope sepanjang aluran
(m/m),

Nama File
.rte

CH_N(2)

n : koefisen Manning untuk saluran

.rte

CH_L(2)

Lch : Panjang Sungai Utama (Km)

.rte

4.2.2.4

Metode Penelusuran Variabel Tampungan

Metode penelusuran variabel tampungan dikembangkan oleh Williams
(1969) dan digunakan pada model HYMO (Williams dan Hann,1973) dan ROTO
(Arnold et al., 1995).
Untuk suatu bentangan pias yang diketahui, penelusuran tampungan
didasarkan pada persamaan kontinuitas :
(4.45)
dimana :
Vin

= Volume inflow selama jangka waktu tertentu (m 3 H2O),

Vout

= Volume outflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), dan

Vstored

= Perubahan volume tampungan selama jangka waktu tertentu
(m3 H2O).

37
Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut :

(4.46)

dimana :
t

= Lama jangka waktu (s),

qin,1

= Debit inflow pada awal jangka waktu (m3/s),

qin,2

= Debit inflow pada akhir jangka waktu (m3/s),

qout,1

= Debit outflow pada awal jangka waktu,

qout,2

= Debit outflow pada akhir jangka waktu (m3/s),

Vstored,1

= Volume tampungan pada awal jangka waktu (m 3 H2O), dan

Vstored,2

= Volume tampungan pada akhir jangka waktu (m3 H2O).

Penyusunan ulang dari persamaan 4.46 sehingga semua variabel yang
diketahui berada di sisi kiri dari persamaan tersebut,

(4.47)

dimana :
qin,ave = Debit inflow rata-rata selama jangka waktu tertentu:
Waktu perambatan dihitung dengan membagi volume air pada saluran dengan
debit aliran.

(4.48)

dimana :
TT

= Waktu rambat (s),

Vstored

= Volume tampungan (m3 H2O) dan,

qout

= Debit lepasan (m3/s).

38
Untuk memperoleh hubungan antara pergerakan waktu dan koefisien
tampungan, persamaan 4.47 disubstitusikan ke dalam persamaan 4.48 :
(4.50)

yang disederhanakan menjadi :

(4.50)

Persamaan ini serupa dengan persamaan metode koefisien :
(4.51)
dimana :
SC

= Koefisien tampungan.

Persamaan 4.51 adalah dasar dari metode penelusuran konveks SCS
(SCS, 1964) dan metode Muskingum (Brakensiek,1967; Overton,1966). Dari
persamaan 4.50, koefisien tampungan pada persamaan 4.51 ditentukan
sebagai :

(4.52)
Itu dapat menunjukkan bahwa :
(4.53)
Jika disubstitusikan pada persamaan 4.51 akan menghasilkan :

(4.54)

Untuk menyatakan semua nilai dalam satuan volume, kedua sisi persamaan
dikalikan dengan langkah berikut :
(4.55)

39
4.2.2.5

Metode Penelusuran Muskingum

Metode penelusuran Muskingum memodelkan volume tampungan
sepanjang saluran sebagai kombinasi dari bentuk wedge dan prisma (Gambar
4.12).

Gambar 4.12 Tampungan dalam Bentuk Prisma dan Wedge

Ketika gelombang banjir mendekati suatu bentangan, inflow akan
melebihi outflow dan menghasilkan tampungan wedge. Ketika gelombang banjir
berkurang, outflow akan melampaui inflow pada penampang tersebut dan
wedge negatif terbentuk. Pada penambahan tampungan wedge, bentangan
pias berupa bentuk tampungan prisma dengan suatu volume konstan dari
penampang melintang sepanjang saluran.
Seperti telah ditunjukkan pada persamaan Manning (persamaan 4.40),
luas penampang melintang dari aliran diasumsikan tepat sebanding dengan
debit bentangan pias yang diketahui. Menggunakan asumsi ini, volume dari
tampungan prisma dapat ditunjukkan dengan suatu fungsi debit, K . qout,
dimana K adalah rasio tampungan terhadap debit dan memiliki suatu dimensi
waktu. Dengan cara yang sama, volume dari tampungan wedge dapat dihitung
dengan K . X . (qin – qout), dimana X adalah faktor berat yang mengontrol
hubungan penting dari inflow dan outflow dalam menentukan jangkauan
tampungan. Penjumlahan dari persamaan tersebut di atas memberikan suatu
nilai total tampungan :

40
(4.56)

dimana :
Vstored

= Volume tampungan (m3 H2O),

qin

= Debit inflow (m3/s),

qout

= Debit lepasan (m3/s),

K

= Waktu konstan tampungan jangkauan (s) dan X adalah
faktor berat. Persamaan ini dapat disusun menjadi bentuk :

(4.57)
Bentuk ini serupa dengan persamaan 4.51.
Faktor berat, X, memiliki batas bawah 0,0 dan batas atas 0,5. Faktor ini
adalah suatu fungsi dari tampungan wedge. Untuk tipe tampungan Badan Air,
tidak ada wedge dan X = 0,0. Untuk wedge penuh, X = 0,5. Untuk sungai, X
akan berkisar antara 0,0 sampai 0,3 dengan nilai rata-rata mendekati 0,2.
Definisi dari volume tampungan pada persamaan 4.57 dapat dimasukkan
dalam persamaan kontinuitas (persamaan 4.46) dan disederhanakan menjadi :
(4.58)
dimana :
qin,1

= Debit awal inflow (m3/s),

qin,2

= Debit akhir inflow (m3/s),

qout,1

= Debit awal outflow (m3/s),

qout,2

= Debit akhir outflow (m3/s), dan

(4.59)
(4.60)

(4.61)

41
dimana C1 + C2 + C3 = 1. Untuk menunjukkan semua nilai dalam volume unit,
kedua sisi persamaan 4.58 dikalikan dengan :
(4.62)

Untuk menjaga stabilitas numerik dan menghindari perhitungan outflow
negatif, kondisi berikut ini harus ditemui :
(4.63)
Nilai untuk faktor berat, X, dimasukkan oleh user. Nilai dari konstanta
waktu tampungan dihitung dengan :
(4.64)
dimana :
K

= Konstanta waktu tampungan untuk bentangan pias (s),

coef1 & coef2

= Koefisien berat yang dimasukkan oleh user,

Kbnkfull

= Konstanta

waktu

tampungan

yang

dihitung

untuk

bentangan pias dengan aliran penuh (s), dan
K0.1bnkfull

= Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk seper
sepuluh dari bagian penampang dengan aliran penuh (s).

Untuk menghitung Kbnkfull dan K0.1bnkfull, sebuah persamaan yang dikembangkan
oleh Cunge (1969) dapat digunakan yaitu :

(4.65)
dimana :
K

= Konstanta waktu tampungan (s),

Lch

= Panjang saluran (km), dan

ck

= Kecepatan yang serupa dengan aliran untuk kedalaman
tertentu (m/s). Kecepatan ini adalah suatu kecepatan
dengan suatu variasi debit aliran yang melewati saluran.
Hal itu didefinisikan dengan :

(4.66)

42
Dimana debit aliran, qch, dihitung dengan persamaan Manning. Diferensial dari
persamaan 4.40 mengenai luas penampang melintang memberikan :

(4.67)
dimana :
ck

= Kecepatan (m/s),

Rch

= Jari-jari hidrolik untuk kedalaman tertentu (m),

slpch

= Kemiringan sepanjang saluran (m/m),

n

= Koefisien n Manning untuk saluran, dan

vc

= Kecepatan aliran (m/s).

Tabel 4.4 Variabel yang Dibutuhkan SWAT pada Metode Penelusuran
Muskingum
Variabel

Definisi

Nama File

MSK_X

X ; nilai untuk faktor berat

.bsn

coef1 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh
MSK_CO1

user,

coef2 :
MSK_CO2

4.2.2.6

.bsn

Koefisien berat yang dimasukkan oleh

user,

.bsn

Kapasitas Tampungan

Besarnya jumlah air yang memasuki tampungan dalam satu hari dihitung
dengan :
(4.68)
dimana :
bnkin

= Jumlah air yang memasuki tampungan (m3 H2O),

tloss

= Kehilangan air akibat perpindahan (m3 H2O) dan

frtrns

= Fraksi dari kehilangan air pada bagian akuifer dalam

43
Kapasitas tampungan memberikan aliran pada saluran utama atau
sampai ke sub basin. Aliran tampungan disimulasikan dengan kurva resesi
yang serupa dengan yang digunakan pada air tanah. Volume air yang
memasuki kapasitas tampungan dihitung dengan :
(4.69)
dimana :
Vbnk

= Volume air yang ditambahkan pada pias melalui aliran
kembali dari tampungan (m3 H2O),
= Jumlah total air yang ada pada tampungan (m3 H2O) dan

bnk

= Konstanta

bnk

resesi

aliran

tampungan

atau

konstanta

proporsionality

Air dapat bergerak dari tampungan mendekati zona tidak jenuh. SWAT
memodelkan pergerakan air mendekati zona tak jenuh tersebut sebagai fungsi
dari kebutuhan air untuk evaporasi. Untuk menghindari kerancuan dengan
definisi evaporasi tanah dan transpirasi, proses ini disebut dengan ‘revap’.
Proses ini signifikan dalam DAS dimana zona tak jenuh air tidak begitu jauh di
bawah permukaan atau zona dimana akar dalam tanaman tumbuh. ‘Revap’ dari
tampungan dikontrol dengan koefisien revap air tanah yang dijelaskan pada
HRU terakhir pada subbasin.
Jumlah maksimum dari air yang kemudian akan dipindahkan dari
tampungan melalui ‘revap’ pada satu hari adalah :
(4.70)

dimana :
bnkrevap,mx

=

Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan (m3 H2O),

=

Koefisien revap,

Eo

=

Evaporasi potensial harian (mm H2O),

Lch

=

Panjang saluran (km), dan

W

=

Lebar saluran pada permukaan air (m).

rev

44
Jumlah aktual dari revap yang akan terjadi dalam satu hari diberikan dalam
persamaan berikut :
(4.71)
(4.72)

dimana :
bnkrevap

=

Jumlah air aktual yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O),

bnkrevap,mx

=

Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O), dan

bnk

=

Jumlah total air yang ada pada tampungan pada
permulaan hari i (m3 H2O).

Tabel 4.5 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kapasitas
Tampungan
Variabel
TRNSRCH

Definisi
frtrns ; Fraksi dari kehilangan air pada
bagian akuifer dalam.

Nama File
.bsn

bnk ; Konstanta resesi aliran
ALPHA_BNK

tampungan atau

.rte

konstanta proporsionality.
GW_REVAP

4.2.2.7

rev

; Koefisien revap,

.gw

Keseimbangan Air Saluran

Kapasitas tampungan air pada bentangan di akhir waktu dihitung dengan
:
(4.73)
dimana :
Vstored,2

= Volume air pada bentangan di akhir waktu (m3 H2O),

Vstored,1

= Volume air pada bentangan di awal waktu (m3 H2O),

Vin

= Volume air yang mengalir ke dalam bentangan pias selama
jangka waktu tertentu (m3 H2O),

45
Vout

= Volume air yang mengalir ke luar bentangan pias selama
jangka waktu tertentu (m3 H2O),

tloss

= Volume air yang hilang dari bagian melalui perpindahan di
dasar (m3 H2O),

Ech

= Evaporasi harian (m3 H2O),

div

= Volume air yang ditambahkan atau dipindahkan dari bagian
pada satu hari melalui pengalihan (m3 H2O), dan

Vbnk

= Volume air yang ditambahkan pada bentangan pias melalui
aliran kembali dari tampungan kapasitas (m3 H2O).
SWAT menentukan perhitungan volume outflow dengan persamaan 4.55

atau 4.62 sebagai jumlah bersih air yang dipindahkan dari pias. Seperti halnya
kehilangan akibat perpindahan, evaporasi dan kehilangan air lainnya pada
bagian tersebut dihitung, jumlah outflow pada bagian selanjutnya dikurangi
dengan jumlah kehilangan. Ketika outflow dan semua kehilangan dijumlahkan,
jumlah total akan sama dengan yang diperoleh dari persamaan 4.55 atau 4.62.

4.2.2.8

In-Stream Nutrient Processes/Proses Nutrien Pada Aliran

Parameter yang mempengaruhi kualitas air dan dapat digolongkan
sebagai indikator polusi termasuk nutrien (zat hara), total zat padat, BOD, nitrat,
dan mikroorganisme (Loehr, 1970; Paine, 1973). Parameter penting sekunder
lainnya antara lain bau, rasa dan kekeruhan (Azevedo dan Stout,1974).
Algoritma kualitas air SWAT pada in-stream yang menggabungkan
komponen interaksi dan hubungan digunakan dalam model QUAL2E (Brown
dan Barnwell,1987). Dokumentasi yang digunakan dalam sub bab ini diambil
dari Brown dan Barnwell (1987). Model transformasi nutrient in-stream memiliki
beberapa ciri model SWAT. Untuk menelusuri pemuatan nutrien pada
downstream tanpa mensimulasi perubahan bentuk (transformasi), variabel IWQ
pada file kode kontrol input (.cod) harus diset menjadi 0. Untuk mengaktifkan
simulasi transformasi nutrient in-stream, variabel ini harus diset menjadi 1.

4.2.2.9

ALGA

Pada siang hari, alga meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di
sungai melalui fotosintesis. Pada malam hari, alga mengurangi konsentrasi

46
tersebut melalui respirasi (pernapasan). Ketika alga tumbuh dan berkembang,
mereka membentuk suatu bagian dalam perputaran nutrient in-stream. Sub bab
ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi pertumbuhan
alga pada sungai.

Chlorophyll a
Chlorophyll a diasumsikan persis sebanding dengan konsentrasi dari biomassa
alga phytoplanktonik.
(4.74)

dimana :
chla

= Konsentrasi chlorophyll a ( g chla/L),
= Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga ( g chla/mg alg)

0

dan
algae

= Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).

Pertumbuhan Alga
Pertumbuhan dan pembusukan alga/chlorophyll a dihitung sebagai
fungsi dari laju pertumbuhan, laju respirasi, laju pengendapan dan jumlah alga
yang ada di sungai. Perubahan dari biomassa alga dalam satu hari adalah :

(4.75)

dimana :
algae

= Perubahan konsentrasi biomassa alga (mg alg/L),

a

= Laju pertumbuhan lokal spesifik dari alga (day-1),

1

= Laju pengendapan lokal alga (m/day),

depth

= Kedalaman air pada saluran,

algae

= Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT

= Waktu perambatan pada pias (day). Perhitungan untuk
kedalaman

47
Laju Pertumbuhan Lokal Spesifik Alga
Laju pertumbuhan lokal spesifik alga adalah suatu fungsi dari
ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan, cahaya dan temperatur. SWAT pertamatama menghitung laju pertumbuhan pada suhu 20 C dan menyesuaikan laju
pertumbuhan dengan suhu air. User dapat menggunakan tiga pilihan untuk
menghitung dampak/pengaruh nutrien dan cahaya pada pertumbuhan:
kecenderungan bertambah (multiplikasi), nutrien terbatas, dan rata-rata
harmoni.
Option multiplikasi menggandakan faktor pertumbuhan untuk cahaya,
nitrogen dan fosfor secara bersama-sama untuk menentukan efek bersihnya
pada laju pertumbuhan alga lokal. Option ini memiliki dasar biologis dalam efek
multiplikasi dari proses enzym yang terlibat dalam proses fotosintesis :
(4.76)
dimana :
a,20

=

Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max

=

Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL

=

Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

FP

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Option nutrien terbatas menghitung laju pertumbuhan alga yang dibatasi
oleh cahaya dan baik nitrogen maupun fosfor. Nutrien/efek cahaya adalah
multiplikatif,

sedangkan

nutrien/efek

nutrien

adalah

bergantian.

Laju

pertumbuhan alga dikontrol oleh nutrien dengan faktor batas pertumbuhan yang
lebih kecil. Pendekatan ini menirukan hukum Liebig untuk perhitungan minimum
:
(4.77)
dimana :
a,20

=

Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max

=

Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL

=

Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

48
FP

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Laju pertumbuhan alga dikontrol dengan hubungan multiplikatif antara
cahaya dan nutrien, sementara nutrien/interaksi nutrien dipresentasikan dengan
rata-rata harmonik.

(4.78)
dimana :
a,20

=

Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max

=

Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL

=

Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

FP

=

Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Perhitungan dari faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya, nitrogen
dan fosfor direview dalam section berikutnya.
- Faktor Batas Pertumbuhan Alga terhadap Cahaya.
Angka dari hubungan matematis antara fotosintesis dan cahaya telah
dikembangkan.

Semua

hubungan

menunjukkan

penambahan

tingkat

fotosintesis dengan peningkatan intensitas cahaya sampai batas maksimum
atau nilai kejenuhan. Faktor pembatasan pertumbuhan terhadap cahaya
dihitung menggunakan metode kejenuhan separuh Monod. Pada option ini,
faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya didefinisikan dengan persamaan
Monod :

(4.79)
dimana :
FLz

=

Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada
kedalaman z,

Iphosyn,z

=

Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah
permukaan air (MJ/m2-hr), dan

KL

=

sKoefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr).
49
Intensitas cahaya fotosintesis aktif adalah radiasi dengan panjang
gelombang antara 400 sampai 700 mm. Koefisien kekeruhan separuh untuk
cahaya didefinisikan sebagai intensitas cahaya dimana tingkat pertumbuhan
alga adalah 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. Koefisien kekeruhan
separuh untuk cahaya ditentukan oleh user.
Fotosintesis diasumsikan terjadi di seluruh kedalaman kolom air. Variasi
dari intensitas cahaya dengan kedalaman didefinisikan dengan hukum Beer :
(4.80)
dimana :
Iphosyn,z

=

Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah
permukaan air (MJ/m2-hr),

Iphosyn,hr

=

Radiasi

solar

fotosintesis

aktif

yang

mencapai

tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari
(MJ/m2-hr),
kl

=

Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan

z

=

Kedalaman dari permukaan air (m).

Dengan mensubstitusikan persamaan 4.80 ke dalam persamaan 4.79 dan
menggabungkannya kembali dengan kedalaman aliran didapatkan :

(4.81)

dimana :
FL

=

Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada
kedalaman kolom air,

KL

=

Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m 2-hr),

Iphosyn,hr

=

Radiasi

solar

fotosintesis

aktif

yang

mencapai

tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari
(MJ/m2-hr),
kl

=

Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan

depth

=

Kedalaman air dalam saluran (m).

Radiasi solar fotosintesiss aktif dihitung dengan :
50
(4.82)

dimana :
Ihr

=

Radiasi solar yang mencapai dasar selama jam tertentu pada
hari simulasi (MJ m-2-h-1), dan

frphosyn

=

Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif.

Untuk simulasi harian, nilai rata-rata dari faktor peredaman pertumbuhan
alga terhadap cahaya yang dihitung kembali untuk siang hari harus digunakan.
Ini dihitung menggunakan bentuk modifikasi dari persamaan 4.81 :

(4.83)

dimana :
frDL

=

Fraksi dari jam siang hari,

Iphosyn,hr

=

Intensitas cahaya fotosintesis aktif rata-rata pada siang hari
(MJ/m2-hr)

Fraksi dari jam siang hari dihitung dengan :

(4.84)

Dimana TDL adalah panjang hari (hr). Iphosyn,hr dihitung dengan :

(4.85)

dimana :
frphosyn

=

Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif,

Hday

=

Radiasi solar yang mencapai permukaan air pada hari tertentu
(MJ/m2), dan

TDL

=

Panjang hari (hr).

Koefisien pemadaman cahaya, kl, dihitung sebagai fungsi dari kerapatan
alga menggunakan persamaan nonlinier :

51
(4.86)

dimana :
kl,0

=

Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1),

kl,1

=

Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3),

kl,2

=

Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m -1 ( gchla/L)-2/3),

=

0

Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga ( g chla/mg alg)
dan

algae

=

Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).

Persamaan 4.86 mengijinkan hubungan antara varietas alga, bayangan
sendiri, dan pemadaman cahaya untuk dimodelkan. Jika kl,1 = kl,2 = 0, tidak ada
bayangan sendiri alga yang disimulasikan. Jika kl,1

0 dan kl,2 = 0, model

bayangan sendiri alga adalah linier. Jika kl,1 dan kl,2 diset dengan nilai selain 0,
model bayangan sendiri alga adalah nonlinier. Persaman Riley (Bowie et
al,1985) menentukan kl,1 = 0,0088 m-1 ( g-chla/L)-1 dan kl,2 = 0,054 m-1 ( gchla/L)-1.

- Faktor Batas Pertumbuhan Alga untuk Nitrogen
Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen didefinisikan dengan
pernyataan Monod. Alga diasumsikan menggunakan ammonia dan nitrat
sebagai sumber nitrogen inorganik.

(4.87)

dimana :
FN

=

Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen,

CN03

=

Konsentrasi nitrat pada pias (mg N/L),

CNH4

=

Konsentrasi ammonium pada pias (mg N/L), dan

KN

=

Konstanta

kekeruhan

separuh

Michaelis-Menton

untuk

nitrogen (mg N/L).

52
Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor juga didefinisikan dengan
pernyataan Monod.

(4.88)

dimana :
FP

=

Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor,

CsolP

=

Konsentrasi larutan fosfor pada pias (mg P/L), dan

KP

=

Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor
(mg P/L).

Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen dan
fosfor menentukan konsentrasi dari N atau P dimana pertumbuhan alga dibatasi
sampai dengan 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. User diijinkan untuk
menentukan sendiri nilai-nilai ini. Rentang nilai yang biasa dipergunakan untuk
KN adalah dari 0,01 sampai 0,30 mg N/L sementara KP akan berkisar antara
0,001 sampai 0,05 mg P/L.
Jika laju pertumbuhan alga pada suhu 20 C telah dihitung, koefisien
disesuaikan dengan efek temperatur menggunakan tipe formulasi StreeterPhelps :
(4.89)

dimana :
a

=

Laju pertumbuhan spesifik lokal alga (day-1),

a,20

=

Laju pertumbuhan spesifik lokal alga pada suhu 20 C (day-1),
dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

53
Laju Respirasi Lokal pada Alga
Laju respirasi pada alga menunjukkan efek bersih dari tiga proses:
respirasi alga yang dihasilkan oleh tubuh, konversi dari fosfor alga ke fosfor
organik, dan konversi dari nitrogen alga ke nitrogen organik. User menentukan
laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C. Laju respirasi tersebut ditambahkan
pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.90)
dimana :
a

=

Laju respirasi lokal alga (day-1),

a,20

=

Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Laju Pengendapan Lokal Alga
Laju pengendapan lokal alga dianggap mewakili pemindahan bersih alga
sehubungan dengan proses pengendapan itu sendiri. User menentukan laju
pengendapan lokal alga pada suhu 20

C. Laju pengendapan tersebut

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.91)
dimana :
1

=

Laju pengendapan lokal alga (m/day),

1,20

=

Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

54
Tabel 4.6 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan
Alga
Variabel
AI0
MUMAX
K_L
TFACT
LAMBDA0
LAMBDA1
LAMBDA2
K_N

K_P
RHOQ
RS1

Definisi
0 ; Rasio dari chlorophyll a dan
biomassa alga ( g chla/mg alg)
max ; Laju pertumbuhan alga spesifik
maksimum (day-1),
KL ; Koefisien kekeruhan separuh
untuk cahaya (MJ/m2-hr),
frphosyn ; Fraksi dari radiasi solar
yaitu fotosintesis aktif
kl,0 ; Bagian non-alga dari koefisien
peredaman cahaya (m-1),
kl,1 ; Koefisien linear bayangan sendiri
dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3),
kl,2 ; Koefisien non linear bayangan
sendiri dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3),
KN ; Konstanta kekeruhan separuh
Michaelis-Menton untuk nitrogen (mg
N/L).
KP ; Konstanta kekeruhan separuh
Michaelis-Menton untuk fosfor (mg
P/L).
a,20 ; Laju respirasi lokal alga pada
suhu 20 C (day-1),
= Laju pengendapan lokal alga
1,20
pada suhu 20 C (m/day)

Nama File
.wwq
.wwq
.wwq
.wwq
.wwq
.wwq
.wwq
.wwq

.wwq
.wwq
.swq

4.2.2.10 DAUR NITROGEN
Pada air aerobik, terjadi suatu perubahan bentuk (transformasi) bertahap
dari nitrogen organik menjadi ammonia, menjadi nitrit, dan akhirnya menjadi
nitrat.

Nitrogen

organik

dapat

juga

dipindahkan

dari

sungai

melalui

pengendapan. Sub bab ini merangkum persamaan yang digunakan untuk
mensimulasi daur nitrogen di sungai.
Nitrogen Organik
Besarnya nitrogen organik di sungai dapat meningkat karena konversi
dari nitrogen biomassa alga menjadi nitrogen organik. Konsentrasi nitrogen
organik di sungai dapat berkurang karena konversi dari nitrogen organik
menjadi NH4+ atau pengendapan dari nitrogen organik bersama sedimen.
Perubahan dari nitrogen organik dalam satu hari adalah :

55
(4.92)

dimana :
orgNstr

=

Perubahan konsentrasi nitrogen organik (mg N/L),

1

=

Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg
biomass),

=

Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

N,3

=

Konstanta tingkat hidrolisa dari nitrogen organik menjadi

a

nitrogen ammonia (koefisien laju oksidasi ammnonia) (day-1),
orgNstr

=

Konsentrasi nitrogen organik pada awal hari (mg N/L),

4

=

Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen ditentukan oleh user.
Persamaan 4.90 mendeskripsikan perhitungan dari tingkat respirasi lokal dari
alga.
User menentukan konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi
NH4+ pada suhu 20 C. Laju hidrolisa dari nitrogen organik ditambahkan pada
temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.93)

dimana :
N,3

=

Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+
(day-1),

N,3,20

=

Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi
NH4+ pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

56
User menentukan koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada
suhu 20 C. Laju pengendapan nitrogen organik ditambahkan pada temperatur
air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.94)

dimana :
4

=

Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1),

4,20

=

Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C
(day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Ammonia
Besarnya jumlah ammonia (NH4+) pada sungai dapat meningkat karena
mineralisasi dari nitrogen organik dan difusi dari amonia dari sedimen di dasar
sungai. Konsentrasi amonia di sungai dapat menurun karena konversi dari NH 4+
menjadi NO-2 atau penyerapan NH4+ oleh alga. Perubahan kadar amonia dalam
satu hari dihitung dengan :

(4.95)
dimana :
NH4str

=

Perubahan konsentrasi amonia (mg N/L),

N,3

=

Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+
(day-1),

orgNstr

=

Konsentrasi nitrogen organik di awal hari (mg N/L),

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

=

Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

=

Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),

depth

=

Kedalaman air pada saluran (m),

frNH4

=

Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

1

=

Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg

N,1

NH4str
3

biomass),

57
=

Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

a

Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ dihitung
dengan persamaan 4.93.
Konstanta laju oksidasi biologi nitrogen amonia akan berubah sebagai
fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan temperatur. Konstanta laju
tersebut dihitung dengan :
(4.96)

dimana :
N,1

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

N,1,20

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu
20 C (day-1),

Oxstr

=

Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.96,

, adalah faktor

koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses nitrifikasi pada
konsentrasi oksigen terlarut rendah.
User menentukan laju sumber sedimen amonia pada suhu 20 C. Laju
sumber sedimen nitrogen amonia ditambahkan pada temperatur air lokal
menggunakan hubungan berikut :
(4.97)
dimana :
3

=

Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),

3,20

=

Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C
(mg N/m2-day), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Fraksi nitrogen alga yang terambil dari kolam amonia dihitung dengan :

58
(4.98)

dimana :
frNH4

=

Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

fNH4

=

Faktor kecenderungan nitrogen amonia,

NH4str

=

Konsentrasi amonia di sungai (mg N/L), dan

NO3str

=

Konsentrasi nitrat di sungai (mg N/L).

Nitrit
Besarnya jumlah nitrit (NO-2) di sungai dapat meningkat karena konversi
dari NH4+ menjadi NO-2 dan menurun karena konversi dari NO-2 menjadi NO-3.
Konversi dari NO-2 menjadi NO-3 terjadi lebih cepat dari konversi dari NH4+
menjadi NO-2, sehingga jumlah nitrit yang ada di sungai biasanya sangat kecil.
Perubahan kadar nitrit dalam satu hari dihitung dengan:
(4.99)
dimana :
NO2str

=

Perubahan konsentrasi nitrit (mg N/L),

N,1

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

=

Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2str

=

Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

NH4str
N,2

Konstanta laju oksidasi biologi lokal dari nitrogen amonia dihitung
dengan persamaan 4.96. Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat
akan berubah sebagai fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan
temperatur. Konstanta laju tersebut dihitung dengan :
(4.100)

dimana :
N,2

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

59
=

N,2,20

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada
suhu 20 C (day-1),

Oxstr

=

Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.100,

,

adalah faktor koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses
nitrifikasi pada konsentrasi oksigen terlarut rendah.

Nitrat
Besarnya jumlah nitrat di sungai dapat meningkat karena oksidasi NO -2.
Konsentrasi nitrat di sungai dapat berkurang karena pengambilan NO -3 oleh
alga. Perubahan kadar nitrat dalam satu hari dihitung dengan :
(4.101)

dimana :
NO3str

=

Perubahan konsentrasi nitrat (mg N/L),

N,2

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2str

=

Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L),

frNH4

=

Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

1

=

Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg
biomass),

=

Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

a

60
Tabel 4.7 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan
Alga
Variabel
AI1
RHOQ
BC3

RS4

BC1

RS3
P_N
BC2

Definisi
1; Fraksi dari biomassa alga yaitu
nitrogen (mg N/mg alg
biomass)
a,20 ; Laju respirasi lokal alga pada
suhu 20 C (day-1),
N,3,20 ; Konstanta laju hidrolisa
lokal dari nitrogen organik menjadi
NH4+ pada suhu 20 C (day-1),
4,20;Koefisien laju pengendapan
nitrogen organik pada suhu 20 C
(day-1),
N,1,20 = Konstanta laju oksidasi
biologi dari nitrogen amonia pada
suhu 20 C (day-1),
3,20;Laju benthos/sedimen untuk
nitrogen amonia pada suhu 20 C
(mg N/m2-day),
fNH4 ; Faktor kecenderungan
nitrogen amonia,
N,2,20 ; Konstanta laju oksidasi
biologi dari nitrit menjadi nitrat pada
suhu 20 C (day-1),

Nama File
.wwq
.wwq
.swq

.swq

.swq

.swq
.wwq
.swq

4.2.2.11 Daur Fosfor
Daur

fosfor

serupa

dengan

daur

nitrogen.

Pembusukan

alga

menyebabkan perubahan bentuk (transformasi) dari fosfor alga menjadi fosfor
organik. Fosfor organik dimineralisasi menjadi fosfor terlarut yang tersedia
untuk pengambilan oleh alga. Fosfor organik juga dapat dipindahkan dari
sungai melalui pengendapan. Bagian ini merangkum persamaan yang
digunakan untuk mensimulasi daur fosfor di sungai.

Fosfor Organik
Besarnya jumlah dari fosfor organik di sungai dapat meningkat karena
konversi dari fosfor biomasssa alga menjadi fosfor organik. Konsentrasi fosfor
organik di sungai dapat menurun karena konversi dari fosfor organik menjadi
fosfor inorganik terlarut atau pengendapan dari fosfor organik oleh sedimen.
Perubahan kadar fosfor organik dalam satu hari dihitung dengan :

61
(4.102)
dimana :
orgPstr

=

Perubahan konsentrasi fosfor (mg N/L),

2

=

Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg N/mg alg biomass),

a

=

Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

P,4

=

Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

=

Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),

5

=

Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

orgPstr

User diharuskan untuk menentukan konstanta laju mineralisasi lokal dari
fosfor organik pada suhu 20 C. Laju mineralisasi fosfor organik ditambahkan
pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.103)

dimana :
P,4

=

Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

P,4,20

=

Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik pada suhu 20 C
(day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

User diharuskan untuk menentukan konstanta laju pengendapan lokal
dari fosfor organik pada suhu 20

C. Laju pengendapan fosfor organik

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.104)
dimana :
5

=

Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1),

5,20

=

Koefisien laju pengendapan fosfor organik pada suhu 20 C
(day-1),

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

62
Inorganik/Fosfor Terlarut
Besarnya jumlah dari fosfor inorganik terlarut di sungai dapat meningkat
karena mineralisasi fosfor organik dan difusi dari fosfor inorganik dari sedimen
di dasar sungai. Konsentrasi dari fosfor terlarut dapat berkurang karena
pengambilan P inorganik oleh alga. Perubahan dari kadar fosfor terlarut dalam
satu hari dihitung dengan :

(4.105)

dimana :
solPstr

=

Perubahan konsentrasi fosfor terlarut (mg N/L),

P,4

=

Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

=

Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),

=

Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m 2-day),

=

Kedalaman air di saluran (m),

2

=

Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg P/mg alg biomass),

a

=

Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

orgPstr
2

depth

. User diharuskan untuk menentukan konstanta sumber sedimen untuk P
terlarut pada suhu 20

C. Konstanta sumber sedimen untuk P terlarut

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.106)

dimana :
2

=

Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day),

2,20

=

Laju sumber sedimen untuk P terlarut terlarut pada suhu 20 C
(mg P/m2-day), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

63
Tabel 4.8

Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Perubahan
Konsentrasi Fosfor

4.2.2.12 Carbonaceous Biological Oxygen Demand
Carbonaceous oxygen demand (CBOD) dari air adalah besarnya
oksigen yang dibutuhkan untuk menyusun ulang material organik dalam air.
CBOD ditambahkan di sungai bersama dengan pemuatan dari limpasan
permukaan atau ujung sumber. Di dalam sungai, dua proses dimodelkan yang
mempengaruhi level CBOD, yang keduanya berfungsi untuk mengurangi
carbonaceous oxygen demand ketika air bergerak menuju downstream.
Perubahan kadar CBOD di dalam sungai dalam satu hari dihitung dengan :
(4.107)
dimana :
cbod

=

Perubahan kadar konsentrasi CBOD (mg CBOD/L),

k1

=

Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

cbod

=

Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),

k3

=

Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

User diharuskan untuk menentukan laju deoksigenasi carbonaceous
pada suhu 20 C. Laju deoksigenasi CBOD ditambahkan pada temperatur air
lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.108)

64
dimana :
k1

=

Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

k1,20

=

Laju deoksigenasi CBOD pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

User diharuskan untuk menentukan laju kehilangan akibat pengendapan
dari CBOD pada suhu 20

C. Laju kehilangan akibat pengendapan

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.109)

dimana :
k3

=

Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1),

k3,20

=

Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD pada suhu
20 C (day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Tabel 4.9 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung

Kadar

Konsentrasi CBOD

4.2.2.13 Oksigen
Konsentrasi oksigen terlarut yang cukup adalah suatu kebutuhan
mendasar untuk ekosistem akuatik yang sehat. Konsentrasi oksigen terlarut di
sungai adalah suatu fungsi dari reareasi atmosfir, fotosintesis, respirasi
tanaman dan hewan, kebutuhan sedimen, BOD, nitrifikasi, salinitas dan
temperatur. Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut dalam satu hari
dihitung dengan :

65
(4.110)

dimana :
Oxstr

=

Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),

k2

=

Laju aerasi untuk difusi Fickian (day-1),

Oxsat

=

Konsentrasi oksigen saturasi (mg O2/L),

Oxstr

=

Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L),

=

Laju produksi oksigen per unit dari fotosintesa alga (mg O2/mg

3

alg),
=

Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae

=

Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

k1

=

Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

cbod

=

Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),

k4

=

Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),

depth

=

Kedalaman air dalam saluran (m),

=

Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NH4 + (mg

a

5

O2/mg N),
N,1

NH4str
6

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

=

Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

=

Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2 (mg O2/mg
N),

=

Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2st

=

Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan

TT

=

Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

N,2

User menentukan laju produksi oksigen per unit fotosintesa alga, laju
oksigen yang ditangkap respirasi alga per unit, laju oksigen yang ditangkap per
unit oksidasi NH4+, laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2.
Konstanta laju oksidasi biologi dari NH4+ dihitung dengan persamaan
4.96 sedangkan konstanta laju oksidasi NO-2 dihitung dengan persamaan
4.100. Laju deoksigenasi CBOD dihitung dengan persamaan 4.108.

66
User diharuskan untuk menentukan kebutuhan oksigen sedimen pada
suhu 20 C. Kebutuhan oksigen sedimen ditambahkan pada temperatur air
lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.111)
dimana :
k4

=

Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),

k4,20

=

Laju

kebutuhan

oksigen

sedimen

pada

suhu

20

C

(mg O2/(m2.day)), dan
Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Konsentrasi Kejenuhan Oksigen
Besarnya jumlah dari oksigen yang dapat larut dalam air adalah fungsi
dari temperatur, konsentrasi zat padat terlarut, dan tekanan atmosfir. Suatu
persamaan

yang

dikembangkan

oleh

APHA

(1985)

digunakan

untuk

menghitung konsentrasi kejenuhan oksigen terlarut:

(4.112)

dimana :
Oxsat

=

Konsentrasi kejenuhan oksigen seimbang pada 1,00 atm (mg
O2/L),

Twat,K

=

Temperatur air dalam Kelvin (273,15 + C).

Reaerasi
Reaerasi terjadi dari difusi oksigen dari atmosfir ke dalam sungai dan
oleh pencampuran air dan udara yang terjadi selama aliran turbulen.

Reaerasi oleh Difusi Fickian
Pengguna menentukan laju reaerasi pada suhu 20 C. Laju reaerasi
ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

67
(4.113)
dimana :
k2

=

Laju reaerasi (day-1),

k2,20

=

Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Metode numerus telah dikembangkan untuk menghitung laju reaerasi pada
suhu 20 C, k2,20. Beberapa metode diantaranya ada di bawah ini. Brown dan
Barnwell (1987) memberikan beberapa metode tambahan.
Dengan menggunakan pengukuran, Churchill, Elmore dan Buckingham
(1962) menjabarkan hubungan berikut :
(4.114)

dimana :
k2,20

=

Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

vc

=

Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth

=

Kedalaman rata-rata sungai (m).

O’Connor dan Dobbins (1958) mengembangkan karakteristik aliran
sungai turbulen menjadi suatu persamaan. Untuk sungai dengan kecepatan
aliran rendah dan kondisi isotropik, berlaku

(4.115)

dimana :
k2,20

=

Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

Dm

=

Koefisien difusi molekuler (m2/day),

vc

=

Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth

=

Kedalaman rata-rata sungai (m).

Untuk sungai dengan kecepatan aliran tinggi dan kondisi non isotropik
berlaku:

(4.116)
68
dimana :
k2,20

=

Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

Dm

=

Koefisien difusi molekuler (m2/day),

slp

=

Kemiringan dasar sungai (m/m), dan

depth

=

Kedalaman rata-rata sungai (m).

Koefisien difusi molekuler dihitung dengan persamaan:
(4.117)

dimana :
Dm

=

Koefisien difusi molekuler (m2/day), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata ( C).

Owens et al. (1964) mengembangkan suatu persamaan untuk
menentukan laju aerasi daerah dangkal, aliran bergerak cepat dimana
kedalaman sungai adalah antara 0,1 sampai 3,4 m dan kecepatannya berkisar
antara 0,03 sampai 1,5 m/s.

(4.118)

dimana :
k2,20

=

Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

vc

=

Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth

=

Kedalaman rata-rata sungai (m).

Reaerasi Oleh Aliran Turbulen Pada Dam
Reaerasi akan terjadi jika air jatuh melewati suatu dam, bendung atau
struktur bangunan lain di sungai. Untuk mensimulasi bentuk reaerasi ini,
sebuah ‘struktur’ garis perintah ditambahkan pada file konfigurasi watershed
(.fig) pada setiap titik sepanjang sungai dimana aliran melewati suatu bangunan
terjadi.
Besarnya jumlah dari reaerasi yang terjadi adalah fungsi dari defisit
oksigen di atas struktur bangunan dan koefisien reaerasi:

69
(4.119)

dimana :
Oxstr

=

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),

Da

=

Defisit oksigen di atas bangunan (mg O2/L),

Db

=

Defisit oksigen di bawah bangunan (mg O2/L), dan

rea

=

Koefisien reaerasi.

Defisit oksigen di atas bangunan, Da dihitung dengan:
(4.120)

dimana :
Oxsat

=

Konsentrasi oksigen jenuh seimbang (mg O2/L), dan

Oxstr

=

Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L).

Butts dan Evans (1983) mendokumentasikan hubungan berikut yang
dapat digunakan untuk menentukan koefisien reaerasi:
(4.121)

dimana :
rea

=

Koefisien reaerasi,

coefa

=

Faktor empiris kualitas air,

coefb

=

Koefisien aerasi dam empiris,

hfall

=

Tinggi air jatuh (m), dan

Twater

=

Temperatur air rata-rata ( C).

Faktor empiris kualitas air ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan
pada kondisi sungai:
coefa

=

1,80 pada air bersih

coefa

=

1,60 pada air terpolusi sebagian

coefa

=

1,00 pada air terpolusi sedang

coefa

=

0,65 pada air terpolusi berat

Koefisien aerasi dam empiris ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan
pada kondisi sungai:
70
coefb

=

0,70 sampai 0,90 untuk bidang puncak bendung datar

coefb

=

1,05 untuk puncak bendung tajam dengan kemiringan
permukaan lurus

coefb

=

0,80 untuk puncak bendung tajam dengan permukaan vertikal

coefb

=

0,05 untuk sluice gate dengan debit tenggelam

Tabel 4.10 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung

Konsentrasi

Oksigen

4.2.3 Pola Penyebaran Polutan di Waduk
4.2.3.1 Nutrients In Water Bodies
SWAT

menggunakan

suatu

model

empiris

sederhana

untuk

memprediksikan status tropis dari badan air. Untuk studi yang membutuhkan
model detail dari kualitas air danau, SWAT telah dihubungkan untuk
mendistribusikan model kualitas air danau seperti WASP.
SWAT menentukan empat tipe badan air yang berbeda: kolam, daerah
basah, Badan Air dan pothole. Proses nutrien yang dimodelkan di dalam kolam,
daerah basah, dan Badan Air adalah serupa. Proses nutrien belum dapat
dimodelkan di dalam potholes.
4.2.3.2 Transformasi Nutrien
Ketika menghitung transformasi nutrien di dalam badan air, SWAT
mengasumsikan sistem

sebagai sistem campuran. Dalam suatu sistem

campuran, ketika sedimen memasuki badan air maka akan secara langsung
terdistribusi di seluruh volume. Asumsi dari suatu sistem campuran komleks
tersebut mengabaikan stratifikasi danau dan intensifikasi dari phytoplankton di
dalam epilimnion.
71
Jumlah nitrogen dan fosfor mula-mula dalam badan air dalam satu hari
dihitung dengan menjumlahkan massa nutrien yang masuk ke dalam badan air
pada hari tersebut dengan massa nutrien yang sudah ada di dalam badan air.
(4.122)

dimana :
Minitial

=

Massa nutrien mula-mula dalam badan air pada satu hari (kg),

Mstored

=

Massa nutrien dalam badan air pada akhir hari sebelumnya
(kg),

Mflowin

=

Massa nutrien yang ditambahkan dalam badan air pada hari
tersebut (kg).

Dengan cara yang sama, volume air mula-mula dalam badan air dihitung
dengan menjumlahkan volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari
tersebut dengan volume yang telah ada di dalam badan air sebelumnya.
(4.123)

dimana :
Vinitial

=

Volume air mula-mula dalam badan air pada satu hari (m3
H2O),

Vstored

=

Volume air dalam badan air pada akhir hari sebelumnya (m 3
H2O),

Vflowin

=

Volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut
(m3 H2O).

Konsentrasi nurien mula-mula dalam badan air dihitung dengan
membagi massa nutrien mula-mula dengan volume air mula-mula.
Transformasi nutrien yang disimulasikan pada kolam, daerah basah dan
Badan

Air

dibatasi

pada

perpindahan

nutrien

Transformasi antara kolam nutrien (contohnya NO3

karena

pengendapan.

NO2

NH4) dianggap

diabaikan.
Kehilangan karena pengendapan dalam badan air dapat ditunjukkan
sebagai suatu fluks dari massa memanjang area permukaan dari pengaruh
sedimen-air (Gambar 4.13) (Chapra, 1997).

72
Gambar 4.13 Kehilangan karena Pengendapan dalam Badan Air sebagai
suatu Fluks dari Massa Memanjang Area Permukaan dari Pengaruh
Sedimen-Air
Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dihitung dengan
mengalikan fluks pada area permukaan air-sedimen.
(4.124)
dimana :
Msettling

=

Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dalam satu
hari (kg),

v

=

Kecepatan pengendapan nyata (m/day),

As

=

Area dari permukaan air-sedimen (m2),

c

=

Konsentrasi nutrien mula-mula dalam air (kg/m3 H2O), dan

dt

=

Panjang jangka waktu ( 1 day).

Kecepatan pengendapan disebut ‘nyata’ karena mewakili efek bersih dari
proses berbeda yang membawa nutrien ke dalam sedimen dari badan air.
Badan air diasumsikan memiliki kedalaman air seragam dan area dari
permukaan air-sedimen adalah ekuivalen dengan area permukaan dari badan
air.
Kecepatan pengendapan nyata biasanya paling banyak ditulis dalam
satuan m/tahun dan inilah caranya nilai dimasukkan ke dalam model. Untuk
danau

natural,

kecepatan

pengendapan

fosfor

terukur

paling

banyak

berfrekuensi jatuh antara 5 sampai 20 m/tahun meskipun nilainya kurang dari
1m/tahun sampai lebih dari 200 m/tahun sudah pernah ditulis (Chapra,1997).
Panuska dan Robertson (1999) mencatat bahwa rentangan nilai kecepatan
pengendapan nyata untuk Badan Air buatan manusia cenderung secara
signifikan lebih besar daripada danau natural. Higgins dan Kim (1981) menulis

73
bahwa kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -90 sampai 269
m/tahun untuk 18 Badan Air di Tennessee dengan nilai tengah 42,2 m/tahun.
Untuk 27 Badan Air Midwestern, Walker dan Kiihner (1978) menulis bahwa
kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -1 sampai 125 m/tahun
dengan nilai rata-rata 12,7 m/tahun. Kecepatan pengendapan negatif
mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan Air adalah sumber dari N atau P;
kecepatan pengendapan positif mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan
Air adalah endapan dari N atau P.
Angka inflow dan properti bendungan lainnya mempengaruhi kecepatan
pengendapan nyata pada badan air. Faktor penting utama termasuk bentuk
fosfor di dalam inflow (terlarut atau terurai) dan fraksi terurai dari kecepatan
pengendapan. Di dalam bendungan, kedalaman rata-rata, pelepasan potensial
untuk resuspensi sedimen dan fosfor dari sedimen akan mempengaruhi
kecepatan pengendapan nyata (Panuska dan Robertson, 1999). Badan air
dengan pelepasan fosfor internal tinggi cenderung memiliki daya tahan fosfor
lebih lemah dan kecepatan pengendapan nyata fosfor yang lebih rendah
daripada badan air dengan pelepasan fosfor internal rendah (Nurnberg,1984).
Tabel 4.11 meringkas kisaran ciri-ciri kecepatan pengendapan fosfor untuk
sistem-sistem yang berbeda.
Tabel 4.11 Rekomendasi Nilai Kecepatan Pengendapan Nyata untuk Fosfor

SWAT memasukkan variabel yang berkenaan dengan pengendapan
nutrien pada pond, daerah basah dan Badan Air seperti dalam tabel 4.11.
Model tersebut mengijinkan user untuk menentukan dua laju pengendapan
untuk setiap nutrien dan waktu selama sepanjang tahun dimana laju
pengendapan yang digunakan. Laju pengendapan yang bervariasi juga diijinkan
sehingga efek dari temperatur dan faktor musim lainnya dapat dihitung dalam
model dari pengendapan nutrien. Untuk menggunakan hanya satu laju
pengendapan selama sepanjang tahun, kedua variabel untuk nutrien dapat
diset pada angka yang sama. Membuat semua variabel menjadi angka nol akan
74
menyebabkan model tersebut mengabaikn pengendapan nutrien dalam badan
air.
Setelah kehilangan nutrien dalam badan air ditemukan, konsentrasi akhir
dari nutrien dalam badan air dapat dihitung dengan membagi massa akhir
nutrien dengan volume air mula-mula. Konsentrasi nutrien pada outflow dari
badan air adalah ekuivalen dengan konsentrasi akhir dari nutrien pada badan
air pada hari tersebut. Massa nutrien pada outflow dihitung dengan mengalikan
konsentrasi nutrien dalam badan air dengan volume air yang meninggalkan
badan air pada hari tersebut.

75
Tabel 4.12 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk mengontrol Pengendapan
pada Kolam, Daerah Basah dan Badan Air

4.2.3.3 Keseimbangan Total
Dengan mengasumsikan bahwa volume air pada badan air adalah tetap
sepanjang waktu, proses yang telah dijelaskan di atas (inflow, pengendapan,
outflow) dapat dikombinasikan ke dalam persamaan massa seimbang berikut
untuk badan air tercampur:
(4.125)
dimana :
V

=

Volume sistem (m3 H2O),

c

=

Konsentrasi nutrien dalam sistem (kg/m3 H2O),

dt

=

Panjang jangka waktu (1 day),

76
W(t)

=

Jumlah nutrien yang masuk ke dalam badan air sepanjang hari
(kg/day),

Q

=

Debit aliran air yang keluar dari badan air (m3 H2O/day),

v

=

Kecepatan pengendapan nyata (m/day), dan As adalah luas
area dari permukaan sedimen-air (m2)

4.2.3.4 Eutrofikasi
Di bawah kondisi cahaya dan temperatur yang menguntungkan, jumlah
berlebih dari nutrien dalam air akan dapat meningkatkan pertumbuhan alga dan
tanaman lainnya. Akibat dari pertumbuhan ini adalah peningkatan dari laju
eutrofikasi, yang merupakan proses ekologi alami dari perubahan lingkungan
minim-nutrien menjadi kaya-nutrien. Eutrofikasi didefinisikan sebagai proses
dimana suatu badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut (seperti phospat)
yang menstimulasi pertumbuhan dari kehidupan tanaman akuatik, biasanya
menyebabkan menipisnya oksigen terlarut (Merriam-Webster,Inc., 1996).
Pengayaan nutrien dari air bergerak dan danau adalah suatu akibat
normal dari pelapukan tanah dan proses erosi. Evolusi bertahap dari danau Ice
Age menjadi rawa, dan akhirnya tanah organik adalah suatu hasil dari
eutrofikasi. Bagaimanapun juga, proses ini dapat dipercepat oleh debit buangan
yang mengandung nutrien berlevel tinggi di dalam danau atau sungai. Salah
satu contoh adalah danau Erie, yang diperkirakan memiliki umur ekuivalen 150
tahun alami dalam 15-tahun rentangan percepatan eutrofikasi.
Pertumbuhan tanaman berlebih yang disebabkan oleh eutrofikasi yang
dipercepat dapat membuat kemunduran air. Kemunduran ini disebabkan oleh
peningkatan BOD oleh pembusukan tanaman sisa. Akibat dari peningkatan
BOD

ini

adalah

kecenderungan

terhadap

kondisi

anaerobik

dan

ketidakmampuan dari badan air untuk mendukung ikan dan organisme aerobik
lainnya.

Nitrogen,

karbon

dan

fosfor

merupakan

faktor

penting

dalam

pertumbuhan biota akuatik. Mengingat kesulitan dari mengontrol perubahan
nitrogen dan karbon di antara atmosfir dan air dan fiksasi dari nitrogen atmosfir
oleh sekelompok alga biru-hijau, dicoba untuk mengurangi eutrofikasi fokus

77
pada input fosfor. Dalam suatu sistem air bersih, fosfor seringkali merupakan
elemen tak hingga. Dengan mengontrol penambahan fosfor, percepatan
eutrofikasi pada air danau dapat dikurangi.
Di dalam sistem dimana fosfor adalah unsur penting, kontrol batas
nutrien dalam eutrofikasi badan air, jumlah fosfor yang ada dalam badan air
dapat digunakan untuk menentukan jumlah eutrofikasi yang ada dalam badan
air.

Korelasi Fosfor/Chlorophyll
Suatu hasil persamaan bilangan empiris telah dikembangkan untuk
menghitung level chlorophyl a sebagai suatu fungsi dari konsentrasi fosfor total.
SWAT menggunakan suatu persamaan yang dikembangkan oleh Rast dan Lee
(1978) untuk menghitung konsentrasi chlorophyl a dalam badan air.
(4.126)
dimana :
Chla

= Konsentrasi chlorophyl a ( g/L), dan
= Konsentrasi total fosfor ( g/L).
Persamaan tersebut telah dimodifikasi untuk memasukkan koefisien

yang ditentukan oleh user:
(4.127)

Koefisien yang ditentukan user, Chlaco, ditambahkan untuk membiarkan
user menyesuaikan prediksi konsentrasi chlorophyl a untuk batas nutrien yang
berbeda dengan fosfor. Ketika Chlaco diset menjadi 1,00, Persamaan 4.127
adalah ekuivalen dengan Persamaan 4.126. Untuk sebagian besar badan air,
persamaan aslinya sudah mencukupi.

Korelasi Chlorophyll /Secchi-Disk
Kedalaman secchi-disk adalah ukuran lain dari status tropis pada badan
air. Kedalaman secchi-disk menentukan kejernihan air, suatu atribut yang

78
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek
Monitoring t ingkat mari njeglek

More Related Content

What's hot

Makalah s umber daya air
Makalah s umber daya airMakalah s umber daya air
Makalah s umber daya airYadhi Muqsith
 
Indah sari 06 juni 2012
Indah sari 06 juni 2012Indah sari 06 juni 2012
Indah sari 06 juni 2012Arman Ammank
 
krisis air bersih di kota besar di indonesia
krisis air bersih di kota besar di indonesiakrisis air bersih di kota besar di indonesia
krisis air bersih di kota besar di indonesiaDhytha Asyidiq
 
Tps50 tgs2-leonardo-waduk
Tps50 tgs2-leonardo-wadukTps50 tgs2-leonardo-waduk
Tps50 tgs2-leonardo-wadukWiina Parmana
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Luhur Moekti Prayogo
 
Ketersediaan Sumber Daya Air
Ketersediaan Sumber Daya AirKetersediaan Sumber Daya Air
Ketersediaan Sumber Daya Airafifahfitri
 
Faktor penyebab defisit air bersih
Faktor penyebab defisit air bersih Faktor penyebab defisit air bersih
Faktor penyebab defisit air bersih qistyafifah
 
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan RawaMuhammadTeguh8
 
Permasalahan Sumber Daya Air
Permasalahan Sumber Daya AirPermasalahan Sumber Daya Air
Permasalahan Sumber Daya AirYahya M Aji
 
Krisis air bersih di indonesia
Krisis air bersih di indonesiaKrisis air bersih di indonesia
Krisis air bersih di indonesiaHeru Prasetya
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Luhur Moekti Prayogo
 
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPB
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPBJurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPB
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPBM Maksum
 
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Riza Magfirah
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Luhur Moekti Prayogo
 

What's hot (20)

Makalah s umber daya air
Makalah s umber daya airMakalah s umber daya air
Makalah s umber daya air
 
Lks
LksLks
Lks
 
SDA (Air) Presentasi
SDA (Air) PresentasiSDA (Air) Presentasi
SDA (Air) Presentasi
 
Indah sari 06 juni 2012
Indah sari 06 juni 2012Indah sari 06 juni 2012
Indah sari 06 juni 2012
 
Pengelolaan Kawasan Perairan
Pengelolaan Kawasan PerairanPengelolaan Kawasan Perairan
Pengelolaan Kawasan Perairan
 
krisis air bersih di kota besar di indonesia
krisis air bersih di kota besar di indonesiakrisis air bersih di kota besar di indonesia
krisis air bersih di kota besar di indonesia
 
Tps50 tgs2-leonardo-waduk
Tps50 tgs2-leonardo-wadukTps50 tgs2-leonardo-waduk
Tps50 tgs2-leonardo-waduk
 
Analisa Bozem Moro Krembangan Surabaya
Analisa Bozem Moro Krembangan SurabayaAnalisa Bozem Moro Krembangan Surabaya
Analisa Bozem Moro Krembangan Surabaya
 
Hermono: Pengendalian Kerusakan Sungai
Hermono: Pengendalian Kerusakan Sungai Hermono: Pengendalian Kerusakan Sungai
Hermono: Pengendalian Kerusakan Sungai
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
 
Ketersediaan Sumber Daya Air
Ketersediaan Sumber Daya AirKetersediaan Sumber Daya Air
Ketersediaan Sumber Daya Air
 
Faktor penyebab defisit air bersih
Faktor penyebab defisit air bersih Faktor penyebab defisit air bersih
Faktor penyebab defisit air bersih
 
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa
[New Upload] Kelompok 1 Tugas Pelestarian Sumber Daya Lahan Rawa
 
Lingkungan perikanan
Lingkungan perikananLingkungan perikanan
Lingkungan perikanan
 
Permasalahan Sumber Daya Air
Permasalahan Sumber Daya AirPermasalahan Sumber Daya Air
Permasalahan Sumber Daya Air
 
Krisis air bersih di indonesia
Krisis air bersih di indonesiaKrisis air bersih di indonesia
Krisis air bersih di indonesia
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
 
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPB
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPBJurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPB
Jurnal Ekonomi Lingkungan vol.17 no.1 IPB
 
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
 

Similar to Monitoring t ingkat mari njeglek

MAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxMAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxTIRASBALYO
 
MAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxMAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxTIRASBALYO
 
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdfMuammar39
 
Penentuan status kualitas perairan sungai
Penentuan status kualitas perairan sungaiPenentuan status kualitas perairan sungai
Penentuan status kualitas perairan sungaiAnjas Asmara, S.Si
 
Restorasi sungai jangkok 2013
Restorasi sungai jangkok 2013Restorasi sungai jangkok 2013
Restorasi sungai jangkok 2013alokasiair
 
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakarta
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakartaKeragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakarta
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakartaAnjas Asmara, S.Si
 
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan copy
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan   copyDampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan   copy
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan copyandika anjas
 
Erlanggaipbbab1
Erlanggaipbbab1Erlanggaipbbab1
Erlanggaipbbab1Dewi Abiz
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalahcevo
 
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docx
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docxBAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docx
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docxAbdullahFaqih26
 
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdf
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdfARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdf
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdfDianora Didi
 
Makalah limbah
Makalah limbahMakalah limbah
Makalah limbahembek19
 
Laporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaLaporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaiankurniawan019
 
Laporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaLaporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaiankurniawan019
 
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaestimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaPT. SASA
 

Similar to Monitoring t ingkat mari njeglek (20)

MAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxMAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docx
 
MAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docxMAKALAH BARU.docx
MAKALAH BARU.docx
 
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
 
Penentuan status kualitas perairan sungai
Penentuan status kualitas perairan sungaiPenentuan status kualitas perairan sungai
Penentuan status kualitas perairan sungai
 
Restorasi sungai jangkok 2013
Restorasi sungai jangkok 2013Restorasi sungai jangkok 2013
Restorasi sungai jangkok 2013
 
Sumber
SumberSumber
Sumber
 
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakarta
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakartaKeragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakarta
Keragaman plankton sebagai indikator kualitas sungai di kota surakarta
 
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan copy
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan   copyDampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan   copy
Dampak pembangkit listrik tenaga air terhadap lingkungan copy
 
Erlanggaipbbab1
Erlanggaipbbab1Erlanggaipbbab1
Erlanggaipbbab1
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Putri Wi...
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Makalh pengambilan sampel air
Makalh pengambilan sampel airMakalh pengambilan sampel air
Makalh pengambilan sampel air
 
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docx
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docxBAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docx
BAB I & II KUALITAS AIR Kel 9 (1).docx
 
Nugroho, galih adi
Nugroho, galih adiNugroho, galih adi
Nugroho, galih adi
 
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdf
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdfARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdf
ARTIKEL PUBLIKASI PEMANTAUAN KUALITAS AIR PERMUKAAN TAHUN 2021.pdf
 
Makalah limbah
Makalah limbahMakalah limbah
Makalah limbah
 
Laporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaLaporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajaya
 
Laporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajayaLaporan akhir pkm sukajaya
Laporan akhir pkm sukajaya
 
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaestimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
 
Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Valuasi Ekonomi Hutan MangroveValuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
 

Monitoring t ingkat mari njeglek

  • 1. I. URAIAN UMUM JUDUL PENELITIAN : Monitoring Tingkat Resiko Penurunan Kualitas Air Akibat Pola Managemen Lahan Pertanian Daerah Aliran/Catchment Area Waduk Selorejo. PENANGGUNG JAWAB PROGRAM : Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947 Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No. Telp. (0341) 493 612 ' No. HP 08123314983 Pangkat Dan Jabatan Akademik : a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala 6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air 7. Bidang Keahlian Penunjang: a. Environment Hydraulic b. Transportasi Sedimen c. Waduk, Bendungan Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang Telepon : 0341 575954 Fax : 0341 575954 Email : a_masrevani@yahoo.com Nama : Bambang Pari P ST Bidang Keahlian : Analisa Hidrologi Pemodelan Anggota Peneliti 1
  • 2. Instansi : Program Studi Teknik Sumber Daya Air Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang Telepon : 0341 575954 Fax : 0341 575954 Email : goparipung@yahoo.com 2
  • 3. SUBYEK PENELITIAN Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point Source yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo, dan secara khusus sebagai hasil akhir adalah terfokus pada kondisi kualitas air waduk Selorejo. Periode Pelaksanaan : Jumlah Biaya Yang Di Usulkan : Rp. 9.725.000,00 ( Sembilan Juta Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) Lokasi Penelitian : Daerah Pengaliran Sungai /Cactment Area Waduk Selorejo yaitu Masuk Wilayah Administrasi Malang Mencakup Ngantang desa Kaumrejo, Kabupaten Kecamatan, : Waturejo, Pagersari, Jombok, Tulungrejo, Banturejo, Sumberagung, Sumberagung, Mulyorejo, Purworejo, Sidodadi, Pagersari, Agantru , dan Daerah Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur Kecamatan Pujon, Desa : Madiredo, Bendosari, Sukomulyo, Pujonkidul, Pujon Lor, Pandesari, Wiyurejo, Tawangsari, Ngabab. SUBBASIN 1 Kewayangan Sub Basin Konto Sub Basin 2 (Up Stream) 3 Konto Sub Basin (Down Stream) 4 Penjal Sub Basin 4 Gambar 1.1 Lokasi Studi, Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo 3
  • 4. Perguruan Tinggi Pengusul : Universitas Brawijaya Instansi Lain Yang Terlibat : PERUM JASA TIRTA I Keterangan Lain Yang Dianggap Perlu : - II. ABSTRAK RENCANA PENELITIAN : Latar Belakang : Baru-baru ini Polutan Non Point Sources (NPS) telah menjadi suatu perhatian khusus pada bidang kualitas air dan manajemen pengolahan DAS, dimana yang menjadi salah satu parameter dari besar NPS tersebut adalah pertanian dan urban run off. Nitrogen (N) dan Phospour adalah bagian yang penting dalam ekosistem air, namun kandungan yang berlebih dapat menyebabkan alga booms dan mempercepat proses eutropikasi dimana salah satu penyebab kemunduran nilai kualitas air. Daerah Aliran Sungai, DAS/Watershed adalah satu ekosistem yang terdiri dari kumpulan daratan yang berbeda dalam penggunaan lahan dan terhubung oleh jaringan-jaringan sungai. Oleh sebab itu benar bahwa kondisi sungai sangat ditentukan oleh proses yang terjadi pada lahan areal tangkapannya/DAS. Dimana suatu jaringan sungai mengalir mengarah pada satu tampungan yang besar, dimana kondisi kualitas air pada tampungan waduk tersebut dipengarui secara langsung dari kondisi proses yang terjadi pada lahan DAS. Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point Source yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo, dimana secara tidak langsung akan sangat mempengarui kondisi kualitas air di Waduk Sengguruh itu sendiri. Sejalan dengan perkembangan pembangunan, teknologi dan jaman, pengembangan aktifitas pertanian dan perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau fungsi lainnya seperti pemukiman, akan terus ditingkatkan. Hal tersebut akan dapat menyebabkan suatu dampak kondisi perubahan kandungan dan jumlah konsentrasi Polutan Nutrient dan sediment di waduk selorejo. Identifikasi Masalah : Secara umum limbah yang masuk kesungai dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah domestik merupakan limbah yang berasal dari daerah pemukiman, 4
  • 5. perkantoran, kelembagaan dan pertanian. Sedangkan limbah industri berasal dari kawasan industri. Limbah pertanian adalah limbah yang berasal dari lahan pertanian. Seperti yang telah diketahui aliran sungai Waduk Selorejo berada pada kawasan algiculture area, Lahan Pertanian dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian, Kandungan kualitas air sebelum masuk areal pertanian dan sesudahnya barang tentu akan berbeda, karena adanya bermacam-macam proses yang terjadi di lahan pertanian. Pengaruh pupuk pada lahan pertanian merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran. Pupuk pada umumnya mengandung unsur Nitrogen (N) dan Phospour (P). Kedua unsur ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman. Pembawa limbah pertanian ke dalam sungai adalah hujan dan limpasan permukaan. Untuk menentukan besarnya polutan, harus ditentukan juga limpasan permukaan dan aliran sungai yang diakibatkan hujan pada DASnya. Proses transpor polutan di atas akan bermuara pada suatu tampungan dimana semua aliran sungai akan berkumpul dan tertampung. Sebagai contoh kondisi yang pernah terjadi yaitu di Waduk Sutami di desa Karangkates, bagian DAS Brantas hulu. Pencemaran terakhir yang terjadi di Waduk Sutami adalah pada tahun 2004 atau tepatnya pada tanggal 4 September 2004, dan terjadi 3 kali pada tahun tersebut. Pencemaran ini diakibatkan pembuangan limbah cair dari sejumlah industri langsung ke anakanak Sungai Brantas, sehingga mengakibatkan dampak matinya ikan-ikan di Waduk Sutami yang diakibatkan menurunya derajat kadar Oksigen Demand (DO) dari tingkat normal 3 ml/liter menjadi 0.9 ml/liter serta terjadinya blooming algae yang muncul kepermukaan air dan adanya penurunan pH (derajad keasaman air), serta bau yang menyengat hingga mengganggu kegiatan dan hidup masyarakat. Beberapa usaha yang dilakukan pasca pencemaran tersebut diantaranya adalah dilakukan penebaran bibit ikan nila, dengan harapan bahwa pada saat musim kemarau nanti ikan-ikan ini sudah besar dan mampu menghambat pertumbuhan algae yang umumnya berkembang pesat pada musim kemarau. Beberapa contoh lain yang sudah dilakukan studi tentang monitoring kualitas air, yaitu Danau Tondano Profinsi Sulawesi Utara, Kota Manado yang memberi 5
  • 6. satu kesimpulan sebagai berikut : “Perairan Danau Tondano menerima beban pencemaran dari limbah perikanan jaring apung dan limbah penduduk mencapai Posfat 784,1 kg/hari dan Nitrogen 1715,5kg/hari. Dengan luas Danau Tondano 4800 ha maka beban Posfat yang masuk ke perairan danau mencapai 0,163 kg/ha/hari, berarti masih dibawah toleransi beban Posfat yang masuk ke ekosistem perairan lentic (danau, waduk) yaitu 0.367 kg/ha/hari. Sehingga, bila ditinjau dari beban Posfat tersebut, maka perairan Danau Tondano masih memungkinkan untuk pengembangan perikanan jala terapung. Namun demikian lokasi jaring apung harus tersebar merata tidak menumpuk di satu atau dua lokasi. Tingkat kesuburan Danau Tondano berada dalam klasifikasi mesotrophic sampai eutrophic, kecuali unsur nitrogen yang seluruhnya masih dalam klasifikasi oligotrophic. pengelolaan Danau Untuk Tondano menghindari ibentuk konflik kelembagaan kepentingan yang dalam memerlukan keterpaduan diantara ”stakeholder” Sehingga diharapkan kebijakan lembaga pengelola ini dapat memahami bagaimana pengelolaan danau yang berkelanjutan serta dapat mengatasi konflik yang muncul diantara stakeholder tersebut.” Demikian halnya pada Waduk Selorejo, telah diidentifikasi bahwa kondisi kandungan polutan semakin meningkat, berdasarkan hasil ukur dilapangan dengan periode 10 harian. Sehingga kondisi seperti halnya di Waduk Sutami, kiranya sangat perlu untuk dilakukan satu monitoring dan tindakan antisipasi secara dini untuk Waduk Selorejo tersebut. III. TUJUAN KHUSUS Waduk selorejo adalah Bendungan multi guna dengan pola operasi tahunan, dimana kegunaannya adalah untuk PLTA, pemenuhan kebutuhan air baku, irigasi, dan kebutuhan kegiatan pertanian dan industri lainnya. Tentunya fungsi dan kegunaan waduk selorejo ini akan sangat dipengarui oleh kemampuan daya dukung ekosistem daerah alirannya. Seiring dengan pengembangan wilayah kabupaten malang secara umum dan kedua wilayah administrasi kecamatan ngantang dan pujon secara kusus, 6
  • 7. Tujuan studi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah polutan yang bersumber dari polutan lahan pertanian, 2. Melakukan analisa pola penyebaran polutan lokasi daerah studi, dan kwantitas beban polutan di Waduk Selorejo, 3. Infentarisasi hasil identifikasi besar polutan sebagai warning system resiko penurunan kualitas air waduk Selorejo. Sedangkan maksud dari studi ini adalah untuk memberikan suatu informasi tentang nilai dan pola penyebaran polutan akibat pengolahan lahan pertanian di daerah lokasi studi, sebagai referensi khusus terhadap monitoring resiko penurunan kualitas air Waduk Selorejo, dan untuk alat uji kebenaran penggunaan paket pemodelan hidrologi dan kualitas air : AVSWAT2000 (Soil and Water Assessment Tool 2000). Manfaat Studi Manfaat studi ini adalah sebagai berikut : 1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang aplikasi pemodelan berbasis SIG AVSWAT2000. 2. Memberikan masukan informasi kondisi kualitas air Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo. 3. Sebagai suatu sistem pendukung dalam pengambilan keputusan (decision suport systems) untuk manajemen pengolahan DAS bagi stik holder. 7
  • 8. IV. STUDI PUSTAKA Hidrologi dan Ekosistem DAS Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya penyebaran, daur, dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya dengan unsur-unsur kehidupan dalam air itu sendiri. Sedangkan hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sendiri adalah cabang dari ilmu hidrologi itu sendiri, yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir (Chay Asdak, 2002:4). 4.1.1 Siklus Hidrologi Siklus air atau hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem. Secara alamiah daur hidrologi dapat ditunjukkan seperti terlihat pada gambar 4.1, dimana selama berlangsungnya daur hidrologi tersebut air berjalan dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut secara terus menerus, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau (waduk), dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya. Energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian airnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai 8
  • 9. permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration), dan sisanya akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah, apabila kelembaban tanah sudah cukup jenuh maka air hujan tersebut akan bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air hujan yang masuk ke dalam tanah tersebut dapat pula bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (ground water). Air tanah tersebut pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau, atau tempat penampungan alamiah lainnya (base flow). Sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (soil evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration). Gambar 4.1 Siklus Hidrologi Pada daur siklus hidrologi inilah, mekanisme transport polutan terjadi, sehingga berdasarkan siklus tersebut mekanisme polutan dapat di bagi menjadi 2 fase yaitu : 9
  • 10. 1. Siklus hidrologi pada fase/tahap terjadi di satu luasan lahan, sebagai kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan pestisida yang akan masuk ke sistim jaringan sungai. 2. Siklus hidrologi pada fase/tahap pada Aliran Sungai yang dapat didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, nutrisi dan pestisida melalui aliran sungai menuju ke outlet masing-masing Sub DAS. A. Fase Pada Lahan Siklus hidrologi yang menjadi dasar pepersamaanan persamaan adalah Water Ballance : (4.1) Dengan : SW1 = kandungan air dalam tanah (mm H2O) SWo = kandungan air dalam tanah pada awal periode (mm H2O) t = waktu (hari) R = besaran hujan yang terjadi pada hari ke i (mm H2O) Qsurf = tinggi limpasan permukaan pada periode waktu ke i ((mm H2O) Ea = besar evapotranspirasi pada periode waktu ke i (mm H2O) Wseep = jumlah air yang masuk zona lapisan tanah keras pada periode waktu ke i (mm H2O) Wgw = jumlah air pada aliran air tanah pada periode waktu ke i (mm H2O) 10
  • 11. Gambar 4.2. Siklus Hidrologi B. Fase Pada Sungai Penelusuran/Routing pada sungai-sungai utama dapat dibagi menjadi 4 komponen : 1. Penelusuran Banjir. Seperti aliran pada daerah downstream, besar kehilangan air yang berkaitan dengan proses evapotranspirasi dan transmisi melewati dasar sungai atau disebabkan penggunaan air sungai untuk pertanian dan kebutuhan penduduk. Jumlah air pada sungai dapat bersumber dari besaran hujan yang jatuh kepermukaan bumi mengalir kesungai dan atau bersumber dari debit-debit keluaran sumber lain. Besarnya aliran yang mengalir melewati sungai, dicari dengan menggunakan methode Muskingum. 2. Penelusuran Sedimen. Transpor sedimen sungai memiliki 2 proses yang terkandung yaitu degradasi dan deposisi. Pada model SWAT ini persamaan yang digunakan lebih simpel, yaitu nilai maksimum sedimen yang dapat terangkut dari setiap sekmen sungai memakai persamaan kecepatan puncak yang dapat terjadi pada sungai. 3. Penelusuran Nutrient. dikontrol dengan Transformasi nutrient pada aliran sungai komponen kualitas air pada model, yang persamaannya mengadopsi dari model QUAL2E. Model penjalaran nutrient terlarut dalam air sungai dan nutrient yang terkandung dalam sedimen. Larutan nutrient terangkut dengan air, sementara itu yang 11
  • 12. terkandung dalam sedimen jumlahnya tetap hingga proses pengendapan sedimen pada dasar sungai. 4. Penelusuran Pestisida. Sementara Pestisida yang nilainya dalam jumlah besar, dalam model dimasukan sebagai data input pada input data HRU (Hidrology Response Units). Seperti nutrient, total pestisida yang masuk ke sungai adalah yang terlarut dan yang melekat pada material sedimen. 4.1.2 Ekosistem DAS Daerah Aliran Sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, karena ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintergrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Pada gambar 4.3 menunjukkan adanya hubungan timbal balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain. Perubahan komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi keutuhan sistem ekologi di daerah tersebut (Chay Asdak, 2002:15). 12
  • 13. MATAHARI Hutan Sawah/Ladang Desa Tumbuhan Tanah Manusia Hewan Air Sungai (Debit, Unsur Hara) Gambar 4.3 Komponen-komponen ekosistem DAS Hulu Sumber : Chay Asdak, 2002:16 Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air, sehingga DAS hulu seharusnya menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Pada Gambar 4.4 menunjukkan proses yang berlangsung dalam suatu ekosistem DAS, dimana input berupa curah hujan sedangkan output berupa debit aliran dan atau muatan sedimen. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai peranan penting untuk berlangsungnya proses erosi-sedimentasi. Input = Curah Hujan Vegetasi Tanah Sungai Manusia IPTEK Output = Debit, Muatan Sedimen Gambar 4.4 Fungsi Ekosistem DAS 13
  • 14. Mekanisme Transport Polutan Sesuai dengan penjelasan tentang siklus hidrologi maka mekanisme transport polutan dapat di gambarkan seperti pada Gambar 4.5 berikut: Gambar 4.5 Mekanisme Transport Polutan Sehingga dalam studi ini akan terbagi menjadi 3 bagian pokok bahasan yang harus di selesaikan secara berurutan dan sitematis, yaitu : 1. Pola potensi penyebaran polutan dilahan DAS Waduk Selorejo 2. Pola penyebaran Polutan Di Sungai dan Anak Sungai yang bermuara di waduk Selorejo 3. Kandungan Polutan di Waduk Selorejo 4.2.1 Mekanisme Transport Dilahan DAS Waduk Selorejo Pada fase ini merupakan sebagai kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan pestisida yang akan masuk ke sistim jaringan sungai. Siklus hidrologi seperti yang disimulasikan oleh SWAT adalah menjadi dasar pepersamaanan persamaan Water Ballance seperti persamaan (4.1): 14
  • 15. 4.2.1.1 Limpasan Permukaan Limpasan permukaan merupakan salah satu faktor penting dalam sistem transport berbagai material yang akan terbawa masuk pengaliran sungai. Limpasan permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan atau depresi pada permukaan tanah. Setelah pengisian selesai maka air akan mengalir dengan bebas dipermukaan tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan bisa dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan curah hujan dan yang berhubungan karateristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan , intesitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan permukaan. Pengaruh DAS terhadap limpasan permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tataguna lahan. Ada banyak metode yang dapat dipakai untuk menganalisa dan memprediksi besaran limpasan permukaan, dalam studi ini menggunakan persamaan SCS . SCS merupakan model empirikal yang telah umum digunakan diberbagai kawasan dunia, model ini dibangun guna menyediakan estimasi yang konsisten untuk memperkirakan besarnya limpasan permukaan berdasarkan data tata guna lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaanya adalah sebagai berikut : ( P Ia) 2 Pe P Ia S (4.2) dengan: Ia = abstraksi awal (initial abstraction) (mm) Pe = hujan berlebih (mm) S = volume dari total tampungan (mm) P = tinggi hujan (mm) Abstraksi awal adalah air hujan yang terinfiltrasi lebih dahulu ke dalam tanah sebelum terjadi limpasan permukaan, yang termasuk dalam komponen abstraksi awal adalah simpanan permukaan (retention), air yang diserap oleh tumbuhan, evaporasi dan infiltrasi. Abstraksi awal merupakan variabel yang berhubungan dengan kondisi jenis tanah dan faktor penutup lahan. Pendekatan 15
  • 16. yang digunakan untuk menghitung laju abstraksi awal adalah dengan persamaan : Ia = 0.2 S Dengan mensubstitusikan 2 persamaan tersebut maka persamaan pendugaan limpasan akan menjadi : Pe ( P 0.2S ) 2 P 0.8S (4.3) Sedangkan S merupakan deskripsi hubungan antara jenis tanah dan tata guna lahan dari suatu kawasan yang diperoleh dari bilangan Curve Number (CN), bilangan CN ini berkisar antara 0 – 100 yang juga merepresentasikan besar potensi dari air limpasan permukaan yang akan terjadi. S dapat dihitung dengan persamaan : S 25 .4 1000 10 CN (4.4) Untuk nilai curve number (CN) yang berbeda-beda dapat dilihat pada grafik pada Gambar 4.6 : Gambar 4.6. Grafik Hubungan Limpasan Permukaan Dan Curah Hujan Untuk Menentukan Nilai CN Debit Puncak Nilai limpasan puncak atau debit puncak adalah nilai maksimum dari limpasan yang terjadi karena disebabkan oleh intensitas hujan yang turun. Nilai ini merupakan indikator dari kekuatan erosi yang dapat ditimbulkan pada lahan 16
  • 17. dan dapat digunakan untuk memprediksi angkutan sedimen. Perhitungan SWAT untuk nilai debit puncak ini menggunakan modifikasi metode rasional. Metode rasional dapat digunakan untuk mendesain saluran dengan bentang yang lebar dan sistem saluran pengendali banjir. Metode rasional bedasar pada anggapan bahwa hujan yang jatuh dengan intensitas ‘i’ pada waktu t = 0 secara kontinu akan terus meningkat sampai pada waktu konsentrasi t = tconc, anggapan ini dengan melibatkan seluruh daerah pengaliran yang mengarah pada badan sungai (outlet). Debit puncak dihitung berdasarkan persamaan rasional yang dimodifikasi. Persamaan metode rasional adalah sebagai berikut: Q = 0.278 C . I . A (4.5) dengan: Q = limpasan permukaan (m3/dt) C = koefisien limpasan i = intensitas hujan (mm/jam) A = luas wilayah DAS (ha) Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dari titik terjauh dari DAS menuju pada otlet DAS tersebut. Waktu konsetrasi dihitung dengan menjumlahkan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di lahan di tambah dengan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di saluran sampai pada outlet. tcon = tov + tch tcon = waktu konsentrasi (jam) tov = waktu air melimpas di lahan (jam) tch = waktu untuk air melimpas di saluran (jam) Waktu konsentrasi air melimpas di lahan (overland flow time of concentration) t ov Lslp 0.6 x n 0.6 18 x slp 0.3 (4.6) 17
  • 18. dengan : tov = waktu konsentrasi air melimpah di lahan Lslp = panjang slope DAS (m) Slp = slope DAS n = koefisien kekasaran Manning Waktu konsentrasi air melimpas di saluran (channel flow time of concentration) t ch 0.62 x L x n 0.75 A0.125 x slpch 0.375 (4.7) dengan : tch = waktu konsentrasi air melimpas di saluran (jam) L = panjang saluran A = luas DAS (km2) Slp = slope saluran Koefisien Pengaliran Koefisien pengaliran adalah perbandingan laju debit puncak dengan intensitas hujan. Angka koefisien limpasan merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi limpasan permukaan. Angka koefisien C berkisar antara 0 – 1. C Q surf Rday Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det) Rday (4.8) = hujan harian (mm) Intensitas Hujan Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan waktu, misalnya mm/menit atau mm/jam untuk berbagai rentang waktu (duration) curah hujan tertentu. Perkiraan mengenai frekuensi hujan juga merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Jika tidak ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat untuk mengamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan persamaan-persamaan antara lain: Talbot, Sherman, Ishiguro dan Mononobe. 18
  • 19. Intensitas Hujan dapat dihitung dengan persamaan : Rtc t con i (4.9) dengan : Rtc = banyaknya hujan yang jatuh pada saat waktu konsentrasi (mm) tcon = waktu konsentrasi Rtc = tc x Rday dengan : = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm) tc Rday = hujan harian (mm) Modifikasi Metode Rasional Dengan menggabungkan persamaan di atas didapat persamaan metode rasional modifikasi sebagai berikut : Q peak tc x Qsurf x A 3.6 x t con (4.10) dengan : tc = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm) Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det) tcon = waktu konsetrasi A = luas DAS (km2) 4.2.1.2 Erosi Dan Sedimentasi Lahan Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air ataupun angin. Proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar daripada daya tahan tanah. Begitu air hujan mengenai permukaan bumi, maka secara langsung hal ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini, penghancuran agregat tanah dipercepat dengan adanya daya penghancuran dan daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan 19
  • 20. menyumbat pori-pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi akan berkurang. Sebagai akibat lebih lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut sebagai limpasan permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada permukaan kulit bumi ini mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut partikel-partikel yang telah hancur, baik oleh air hujan maupun oleh adanya limpasan permukaan itu sendiri. Pada studi ini besaran erosi dihitung berdasarkan persamaan Modifikasi USLE : sed = 11.8 (Qsurf x qpeak x A) K x C x P x LS x CFRG (4.11) dengan : sed = sediment yied (ton) Qsurf = volume limpasan permukaan (mm/ha) Qpeak = debit puncak (m3/det) A = luas DAS (ha) K = erodibilitas tanah C = faktor tanaman P = faktor pengelolaan lahan LS = faktor lereng CFRG = faktor kekasaran material tanah 4.2.1.3 Nutrients/Pestisida 4.2.1.3.1 Nitrogen Siklus nitrogen di dalam tanah adalah bagian dari siklus nitrogen global yang bisa dikatakan sebagai sebuah ringkasan konsep interaksi perubahan N secara kimia, fisika, dan biologi di dalam tanah. Tampak pada Gambar 4.7, perubahan N terjadi karena reaksi-reaksi berikut : a. siklus perubahan N dalam bentuk organik dan anorganik (mineralization and immobilization) b. hilangnya gas N ke atmosfer (ammonia volatilization and denitrification) c. hilangnya N karena pergerakan air dalam tanah (leaching and erosion) d. dan Fiksasi N biologis (biological N fixation) 20
  • 21. Mikro-oganisme di dalam tanah mempunyai peranan penting dalam banyak proses perubahan reaksi siklus nitrogen dalam tanah. Gambar 4.7 Siklus Nitrogen Nitrogen (N) adalah elemen yang paling penting yang dibutuhkan tanaman dan yang paling sulit diatur dari semua elemen nutrisi tumbuhan lainnya. Tanaman membutuhkan nitrogen lebih banyak dari elemen-elemen penting lain yang dibutuhkan oleh suatu tanaman, tidak termasuk karbon, oksigen, dan hidrogen. Nitrogen adalah elemen yang sangat dinamis. Ia mampu merubah dirinya bersenyawa dengan elemen lain dan menghasilkan suatu elemen baru. Kemampuan merubah diri baik secara biokimia maupun kimia melalui serangkaian proses disebut dengan Siklus Nitrogen. Perubahan N biasanya melibatkan proses oksidasi (pengurangan elektron) dan reduksi (penambahan elektron) oleh atom N. 21
  • 22. Teroksidasi +5 NO3- Nitrat +4 NO2 Nitrogen dioksida +3 NO2- Nitrit +2 NO Nitrogen monoksida +1 N2O Nitrogen oksida 0 Gas N2 atau N Elemental N2 -1 NH4OH Hidroxilamin -2 N2H4 Hidrosin Terreduksi -3 NH3 /NH4 Gas ammonia atau ammonium SWAT menunjukkan lima ragam bentuk nitrogen di dalam tanah (Gambar 4.7). Dua bentuk adalah nitrogen dalam bentuk inorganik (mineral); NH4+ dan NO3-, dan tiga selebihnya adalah nitrogen dalam bentuk organik. Nitrogen organik murni dihubungkan dengan residu tanaman dan biomasa mikro sementara nitrogen organik aktif dan stabil dihubungkan dengan humus tanah. Nitrogen organik yang dihubungkan dengan humus dibagi menjadi dua kolom untuk menghitung kemampuan perubahan humus ke mineral (Gambar 4.8). Gambar 4.8 Bentuk Nitrogen dalam Tanah dan Proses Perubahan Bentuk 4.2.1.3.2 Tingkatan Nitrogen Dalam Tanah Di dalam aplikasi SWAT, bisa ditentukan jumlah nitrat dan nitrogen organik yang terkandung di dalam tanah humus pada semua lapisan tanah 22
  • 23. pada permulaan simulasi. Jika tidak ditentukan inisial konsentrasi nitrogen, SWAT akan mengenali tingkat nitrogen pada bentuk-bentuk yang berbeda. Inisial tingkat nitrogen di dalam tanah di bedakan oleh kedalaman menggunakan hubungan : NO3 conc, z 7. exp z 1000 (4.12) dimana : NO3 conc, z = Konsentrasi nitrat di dalam tanah pada kedalaman z (mg/kg atau ppm) z = Kedalaman dari permukaan tanah (mm) Konsentrasi nitrat dengan kedalaman dihitung dengan persamaan 4.12, ditampilkan berupa grafik pada Gambar 4.9 di bawah. Gambar 4.9 Konsentrasi Nitrat dengan Kedalaman Tingkatan nitrogen organik mengasumsikan bahwa perbandingan C:N untuk bahan humus adalah 14:1. Konsentrasi humus nitrogen organik pada suatu lapisan tanah dihitung dengan persamaan : orgN hum,ly 10 4. orgCly 14 (4.13) 23
  • 24. dimana : orgN hum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan tanah (mg/kg atau ppm) = Jumlah karbon organic pada lapisan tanah (%) orgCly Organik N humus dibagi menjadi bentuk aktif dan bentuk stabil menggunakan persamaan berikut : orgNact,ly = orgNhum,ly . fractN orgNsta,ly = orgNhum,ly . (1 - fractN ) dimana : orgNact,ly = Konsentrasi nitrogen pada bentuk organik aktif (mg/kg) orgNhum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan (mg/kg) fractN = Fraksi humus nitrogen dalam bentuk aktif (ditentukan dengan angka 0,02) orgNsta,ly = Konsentrasi nitrogen dalam bentuk organik stabil (mg/kg) Nitrogen di dalam bentuk organik baru di set ke angka O pada semua lapisan kecuali lapisan atas 10 mm dari tanah diset pada 0.15% dari jumlah inisial residu pada permukaan tanah. orgNfrsh,surf = 0.0015 . rsdsurf (4.14) dimana : orgNfrsh,surf = Nitrogen organik fresh pada lapisan atas 10 mm dari permukaan tanah (kgN/ha) rsdsurf = Material di dalam bentuk residu untuk lapisan atas 10 mm dari permukaan tanah (kg/ha) Ammonium untuk nitrogen tanah, NH4ly, ditunjukkan pada 0 ppm. Masukan data nutrient sebagai konsentrasi. Untuk mengkonversi konsentrasi ke satuan umum, konsentrasi dikalikan kepadatan dan kedalaman lapisan dibagi 100. 24
  • 25. conc N . b .depthly 100 kgN ha (4.15) dimana : concN = Konsentrasi nitrogen pada suatu lapisan (mg/kg atau ppm) = Kepadatan pada lapisan (mg/m3) b depthly = Kedalaman lapisan (mm) Tabel 4.1SWAT Variabel Input Nama Variabel SOL_NO3 Input Definisi File NO3conc,ly : Initial NO3 concentration in soil layer (mg/kg or ppm) SOL_ORGN orgNhum,ly : Initial humic organic nitrogen in soil layer (mg/kg or ppm) RSDIN rsdsurf : Material in the residue pool for the top 10mm of soil (kg ha-1) SOL_BD SOL_CBN ρb : Bulk density of the layer (mg/m3) .CHM .CHM .HRU .Sol orgCly : Amount of organic carbon in the layer (%) .SOL 4.2.1.3.3 Pergerakan Nitrat Nitrat di dalam tanah diangkut ke dalam aliran dan badan air akibat peristiwa limpasan, aliran lateral atau perkolasi. Untuk menghitung jumlah nitrat yang terangkut, konsentrasi nitrat di dalam air yang bergerak diperhitungkan. NO3ly . exp concNO 3,mobile 1 wmobile wmobile e .SATly (4.16) 25
  • 26. dimana : conc NO 3,mobile = Konsentrasi nitrat dalam air yang bergerak pada lapisan tanah (kg N/mm H2O) NO3ly = Jumlah nitrat pada lapisan tanah (kg N/ha) wmobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O) θe = Fraksi porositas anion SATly = Air yang memenuhi lapisan tanah (mm H2O) Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah adalah jumlah air yang hilang oleh limpasan, aliran lateral atau perkolasi. w mobile = Qsurf + Qlat,ly + w perc,ly (4.17) untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah w mobile = Qlat,ly + w perc,ly (4.18) untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah. dimana : w mobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O) Qsurf = Debit air limpasan permukaan (mm H2O) Qlat,ly = Debit air pada lapisan tanah oleh aliran lateral (mm H2O) w perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O) Nitrat yang terbawa aliran air limpasan permukaan dihitung dengan : NO3surf = βNO3 . concNO3,mobile . Qsurf (4.19) dimana : NO3surf = Nitrat yang terbawa aliran air limpasan (kg N/ha) βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O) Qsurf = Debit limpasan permukaan (mm H2O) Nitrat yang terbawa aliran air lateral dalam tanah dihitung dengan : NO3lat,ly = βNO3 . concNO3,mobile . Qlat,ly (4.20) 26
  • 27. untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah NO3lat,ly = concNO3,mobile . Qlat,ly (4.21) untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah dimana : NO3lat,ly = Nitrat yang terbawa aliran air lateral (kg N/ha) βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O) Qlat,ly = Debit aliran air lateral (mm H2O) Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi dihitung dengan : NO3perc,ly = concNO3,mobile . Q perc,ly (4.22) NO3perc,ly = Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi (kg N/ha) concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak (kg dimana : N/mm H2O) Q perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O) 27
  • 28. 4.2.1.3.4 N Organik Pada Aliran Limpasan Permukaan N organik pada aliran limpasan permukaan dihitung menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh McElroy et al (1976) dan dimodifikasi oleh Williams & Hann (1978). orgN surf 0.001 concorgN sed area hru (4.23) N :sed dimana : orgNsurf = Jumlah N organik yang terbawa limpasan (kg N/ha) concorgN = Konsentrasi N organik pada lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/metrik ton tanah) sed = Jumlah sedimen (metrik ton) areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha) εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen Konsentrasi N organik pada lapisan permukaan tanah dihitung dengan : concorgN 100 orgN frsh ,surf orgN sta ,surf b orgN act,surf depthsurf (4.24) dimana : orgNsurf = N organik dalam fresh pool pada lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/ha) concorgN = Konsentrasi N organik dalam stable pool pada lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/ha) ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3) depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm) 4.2.1.3.5 Perbandingan Antara konsentrasi N Organik dan Sedimen Ketika aliran limpasan permukaan mengalir di atas muka tanah, sebagian energi air digunakan untuk mengangkut partikel-partikel tanah. Partikel yang kecil lebih mempunyai berat yang ringan dan mudah diangkut daripada partikiel yang besar. Ketika distribusi ukuran partikel dari sedimen yang terangkut dibandingkan dengan lapisan tanah permukaan, muatan sedimen menuju aliran air utama memiliki porsi yang lebih besar dari ukuran partikel lempung. Dengan kata lain, muatan sedimen diperbesar dalam partikel 28
  • 29. lempung. N organik dalam tanah disertakan dalam partikel koloid (lempung), sehingga porsi atau konsentrasi muatan sedimen akan bertambah besar pada lapisan tanah permukaan. Perbandingan antara konsentrasi N organik yang terangkut dengan sedimen pada lapisan tanah permukaan ini dihitung menggunakan persamaan yang dijelaskan oleh Menzel (1980) 0.78 concsed ,surq N :sed 0.2468 (4.25) dimana : εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen concsed,surq = Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan (mg sed/m3 H2O) Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan dihitung dengan : sed 10 area hru Qsurf concsed , surq (4.26) dimana : sed = Sedimen (metrik ton) areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha) Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O) 4.2.1.4 Pergerakan Phosphor Terlarut Mekanisme utama dari pergerakan phosphor di dalam tanah adalah disebabkan oleh difusi. Difusi adalah perpindahan ion dalam jarak pendek (1 – 2mm) dalam larutan tanah sebagai hasil sebuah gradien prosentasi. Mengacu pada pergerakan phosphor yang lambat, limpasan permukaan hanya akan berinteraksi dengan kandungan phosphor yang berada pada lapisan tanah 10 mm dibawah permukaan tanah. Jumlah kandungan phosphor yang terangkut pada limpasan permukaan adalah dihitung dengan persamaan berikut: P surf Psolution ,surf Q surf b depthsurf k d ,surf (4.27) dimana : Psurf = Jumlah phosphor terlarut yang terbawa limpasan (kg P/ha) 29
  • 30. Psolution, surf = Jumlah phosphor pada lapisan tanah 10 mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha) Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O) ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m 3) depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm) kd, surf = Koefisien tanah phosphor (m3/mg) Koefisien tanah phosphor adalah perbandingan dari konsentrasi phosphor terlarut pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah dengan konsentrasi phosphor yang terlarut pada alairan limpasan permukaan. 4.2.1.5 P Organik & Mineral Yang Menyertai Sedimen Pada Limpasan Permukaan P Organik dan mineral yang menyertai sedimen pada limpasan permukaan menuju aliran sungai utama untuk phosphor ini dihubungkan dengan muatan sedimen dari unit respon hidrologi dan perubahan muatan sedimen akan direfleksikan dalam bentuk muatan phosphor. Jumlah phosphor yang terangkut sedimen menuju aliran sungai dihitung dengan persamaan fungsi muatan yang dikembangkan oleh McElroy et al. (1976) dan dimodifikasi oleh William & Hann (1978). sedPsurf 0,001 concsedp sed area hru p:sed (4.28) dimana : seDASurf = Jumlah phosphor terangkut bersama sedimen menuju aliran utama dalam limpasan permukaan (kg P/ha) concsedP = Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah (g P/metrik ton tanah) sed = Sedimen (metrik ton) areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha) εP:sed = Perbandingan P organik : sedimen 30
  • 31. Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada permukaan tanah dihitung dengan : concsedP 100 min Pact,surf min Phum,surf b orgPfish ,surf depthsurf (4.29) dimana : conc sedP = Jumlah phosphor dalam bentuk mineral aktif pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha) minP act,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk aktif mineral pada lapisan 10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha) minP sta,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk stabil mineral pada lapisan 10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha) orgP fish,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk fresh organik pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah orgP hum,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk humus organik pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m 3) depth surf = Kedalaman lapisan tanah (10mm) 4.2.2 Pola Penyebaran Polutan di Sungai 4.2.2.1 Proses Di Sungai Aliran air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dapat diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu aliran yang terjadi di lahan (overland flow) dan aliran yang terjadi di sungai. Perbedaan yang utama dari kedua jenis aliran tersebut adalah dimana pada proses aliran di sungai mempertimbangkan aliran dasar (base flow) dan pengaruh dari laju debit. SWAT memodelkan proses aliran di sungai yang mencakup pergerakan air, sedimen dan konstituen pollutant (nutrients, pesticides dll) dalam jaringan sungai, siklus nutrisi di sungai (instream nutrient cycling) dan transformasi pestisida di dalam sungai (in-stream pesticide transformations). 31
  • 32. 4.2.2.2 Penelusuran Debit (Water Routing) Saluran terbuka adalah saluran dengan aliran yang muka air nya bebas, seperti aliran pada sungai atau pada pipa yang tidak penuh. SWAT menggunakan persamaan Manning untuk menghitung debit dan kecepatan aliran air. Penelusuran debit pada sungai menggunakan pendekatan dengan metode variable storage routing atau metode Muskingum river routing. Kedua metode tersebut merupakan variasi dari metode kinematic wave model. Karakteristik Saluran SWAT mengasumsikan bentuk penampang saluran sungai dengan bentuk trapesium seperti Gambar 4.10. Gambar 4.10 Penampang Sungai Trapesium User diharuskan untuk menentukan lebar dan kedalaman dari saluran ketika penuh sampai permukaan tanggul maupun panjang saluran, kemiringan sepanjang saluran dan nilai koefisien n dari Manning. SWAT mengasumsikan bahwa sisi saluran memiliki perbandingan penampang saluran sebesar 2:1 (Zch = 2). Kemiringan dari sisi saluran adalah ½ atau 0,5. Lebar dasar saluran dihitung dari lebar dan kedalaman penuh dengan persamaan : (4.30) dimana : Wbtm = Lebar dasar saluran (m), Wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh terisi air (m), zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan depthbnkfull = Kedalaman air ketika penuh sampai puncak tanggul (m). Karena diasumsikan bahwa zch = 2, ada kemungkinan untuk perhitungan lebar dasar dengan persamaan (4.31) 32
  • 33. menjadi kurang atau sama dengan nol. Jika hal ini terjadi, model tersebut menetapkan W btm = 0,5. W bnkfull dan menghitung nilai baru untuk kemiringan sisi saluran dengan menggunakan persamaan (4.31) untuk zch: (4.31) Untuk kedalaman air saluran yang diketahui, lebar saluran pada permukaan air adalah : (4.32) dimana : W = Lebar saluran pada permukaan air (m) Wbtm = Lebar dasar saluran (m) zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan depth = Kedalaman air pada saluran (m) Luas penampang melintang aliran dihitung dengan : (4.33) dimana : Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m 2), Wbtm = Lebar dasar saluran (m), zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan depth = Kedalaman air pada saluran (m). Perimeter basah dari saluran ditentukan dengan : (4.34) dimana : Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m) Jari-jari hidrolik dari saluran dihitung dengan : (4.35) dimana : Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman aliran yang ditentukan, 33
  • 34. Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m 2), dan Pch = Perimeter basah untuk kedalaman aliran yang diketahui (m). Volume air yang ada di dalam saluran adalah : (4.36) dimana : Vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3), Lch = Panjang saluran (km), dan Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran untuk kedalaman yang ditentukan (m2). Ketika volume air melampaui jumlah maksimum yang ditampung oleh saluran, limpahan air akan menyebar ke dataran banjir. Dimensi dataran banjir yang digunakan oleh SWAT ditunjukkan dalam Gambar 4.11. Gambar 4.11 Ilustrasi Dimensi Dataran Banjir Lebar dasar dari dataran banjir, W btm.fld, adalah W btm.fld = 5 . Wbnkfull. SWAT mengasumsikan perbandingan penampang saluran dari dataran banjir adalah 4 : 1 (zfld = 4). Sehingga kemiringan dari dataran banjir adalah ¼ atau 0,25. Ketika terjadi aliran pada dataran banjir, perhitungan dari kedalaman aliran, luas penampang melintang aliran dan perimeter basah adalah jumlah komponen dari saluran dan dataran banjir: (4.37) (4.38) (4.39) dimana : depth = Kedalaman total (m), 34
  • 35. depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak tanggul (m), depthfld = Kedalaman air pada dataran banjir (m), Ach = Luas penampang melintang saluran untuk kedalaman yang ditentukan (m2), Wbtm = Lebar dasar saluran (m), zch = Faktor kemiringan penampang saluran, Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m), zfld = Faktor kemiringan dataran banjir, Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m) dan wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m). Tabel 4.2 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Dimensi Saluran Variabel Definisi CH_W(2) wbnkfull : Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m). depthbnkfull : Kedalaman air dalam saluran ketika penuh CH_D sampai puncak tanggul (m), CH_L(2) 4.2.2.3 Lch : Panjang Sungai Utama (Km) Nama File .rte .rte .rte Debit Aliran dan Kecepatan Persamaan Manning untuk aliran seragam dalam suatu saluran digunakan untuk menghitung debit dan kecepatan aliran dalam suatu bentangan pias saluran dengan persamaan berikut : (4.40) (4.41) dimana : qch = Debit aliran dalam saluran (m3/s), Ach = Luas penampang melintang aliran dalam saluran (m 2), Rch = Jari-jari hidrolik untuk suatu kedalaman aliran (m), slpch = Slope sepanjang saluran (m/m), 35
  • 36. n = Koefisen Manning untuk saluran dan vc = Kecepatan aliran (m/s). SWAT menelusuri air sebagai suatu volume. Nilai harian pada luas penampang melintang aliran, Ach, dihitung dengan menyusun persamaan 4.36 untuk menentukan luasannya : (4.42) dimana : Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan kedalaman tertentu (m2), vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3), dan Lch = Panjang saluran (km). Persamaan 4.33 disusun ulang untuk menghitung kedalaman aliran untuk waktu tertentu : (4.43) dimana : depth = Kedalaman aliran (m), Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan kedalaman tertentu (m2), Wbtm = Lebar dasar saluran (m), dan zch = Faktor penampang saluran. Persamaan 4.43 hanya bisa digunakan jika seluruh air ada di dalam saluran. Jika volume air yang ada telah memenuhi kapasitas saluran dan masuk ke dalam dataran banjir, maka perhitungan kedalamannya adalah : (4.44) dimana : depth = Kedalaman aliran (m), 36
  • 37. depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak tanggul (m), Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan kedalaman tertentu (m2), Ach.bnkfull = Luas penampang melintang aliran pada saluran ketika penuh sampai permukaan tanggul (m2), Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m), zfld = Faktor kemiringan dataran banjir. Ketika kedalaman sudah diketahui, maka perimeter basah dan jari-jari hidrolik dapat dihitung dengan persamaan 4.34 (atau 4.39) dan 4.35 Pada point ini, semua nilai yang dibutuhkan untuk menghitung debit aliran dan kecepatan aliran sudah diketahui dan persamaan 4.40 dan 4.41 bisa dipecahkan. Tabel 4.3 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Debit Aliran Variabel CH_S(2) Definisi slpch : rata-rata Slope sepanjang aluran (m/m), Nama File .rte CH_N(2) n : koefisen Manning untuk saluran .rte CH_L(2) Lch : Panjang Sungai Utama (Km) .rte 4.2.2.4 Metode Penelusuran Variabel Tampungan Metode penelusuran variabel tampungan dikembangkan oleh Williams (1969) dan digunakan pada model HYMO (Williams dan Hann,1973) dan ROTO (Arnold et al., 1995). Untuk suatu bentangan pias yang diketahui, penelusuran tampungan didasarkan pada persamaan kontinuitas : (4.45) dimana : Vin = Volume inflow selama jangka waktu tertentu (m 3 H2O), Vout = Volume outflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), dan Vstored = Perubahan volume tampungan selama jangka waktu tertentu (m3 H2O). 37
  • 38. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut : (4.46) dimana : t = Lama jangka waktu (s), qin,1 = Debit inflow pada awal jangka waktu (m3/s), qin,2 = Debit inflow pada akhir jangka waktu (m3/s), qout,1 = Debit outflow pada awal jangka waktu, qout,2 = Debit outflow pada akhir jangka waktu (m3/s), Vstored,1 = Volume tampungan pada awal jangka waktu (m 3 H2O), dan Vstored,2 = Volume tampungan pada akhir jangka waktu (m3 H2O). Penyusunan ulang dari persamaan 4.46 sehingga semua variabel yang diketahui berada di sisi kiri dari persamaan tersebut, (4.47) dimana : qin,ave = Debit inflow rata-rata selama jangka waktu tertentu: Waktu perambatan dihitung dengan membagi volume air pada saluran dengan debit aliran. (4.48) dimana : TT = Waktu rambat (s), Vstored = Volume tampungan (m3 H2O) dan, qout = Debit lepasan (m3/s). 38
  • 39. Untuk memperoleh hubungan antara pergerakan waktu dan koefisien tampungan, persamaan 4.47 disubstitusikan ke dalam persamaan 4.48 : (4.50) yang disederhanakan menjadi : (4.50) Persamaan ini serupa dengan persamaan metode koefisien : (4.51) dimana : SC = Koefisien tampungan. Persamaan 4.51 adalah dasar dari metode penelusuran konveks SCS (SCS, 1964) dan metode Muskingum (Brakensiek,1967; Overton,1966). Dari persamaan 4.50, koefisien tampungan pada persamaan 4.51 ditentukan sebagai : (4.52) Itu dapat menunjukkan bahwa : (4.53) Jika disubstitusikan pada persamaan 4.51 akan menghasilkan : (4.54) Untuk menyatakan semua nilai dalam satuan volume, kedua sisi persamaan dikalikan dengan langkah berikut : (4.55) 39
  • 40. 4.2.2.5 Metode Penelusuran Muskingum Metode penelusuran Muskingum memodelkan volume tampungan sepanjang saluran sebagai kombinasi dari bentuk wedge dan prisma (Gambar 4.12). Gambar 4.12 Tampungan dalam Bentuk Prisma dan Wedge Ketika gelombang banjir mendekati suatu bentangan, inflow akan melebihi outflow dan menghasilkan tampungan wedge. Ketika gelombang banjir berkurang, outflow akan melampaui inflow pada penampang tersebut dan wedge negatif terbentuk. Pada penambahan tampungan wedge, bentangan pias berupa bentuk tampungan prisma dengan suatu volume konstan dari penampang melintang sepanjang saluran. Seperti telah ditunjukkan pada persamaan Manning (persamaan 4.40), luas penampang melintang dari aliran diasumsikan tepat sebanding dengan debit bentangan pias yang diketahui. Menggunakan asumsi ini, volume dari tampungan prisma dapat ditunjukkan dengan suatu fungsi debit, K . qout, dimana K adalah rasio tampungan terhadap debit dan memiliki suatu dimensi waktu. Dengan cara yang sama, volume dari tampungan wedge dapat dihitung dengan K . X . (qin – qout), dimana X adalah faktor berat yang mengontrol hubungan penting dari inflow dan outflow dalam menentukan jangkauan tampungan. Penjumlahan dari persamaan tersebut di atas memberikan suatu nilai total tampungan : 40
  • 41. (4.56) dimana : Vstored = Volume tampungan (m3 H2O), qin = Debit inflow (m3/s), qout = Debit lepasan (m3/s), K = Waktu konstan tampungan jangkauan (s) dan X adalah faktor berat. Persamaan ini dapat disusun menjadi bentuk : (4.57) Bentuk ini serupa dengan persamaan 4.51. Faktor berat, X, memiliki batas bawah 0,0 dan batas atas 0,5. Faktor ini adalah suatu fungsi dari tampungan wedge. Untuk tipe tampungan Badan Air, tidak ada wedge dan X = 0,0. Untuk wedge penuh, X = 0,5. Untuk sungai, X akan berkisar antara 0,0 sampai 0,3 dengan nilai rata-rata mendekati 0,2. Definisi dari volume tampungan pada persamaan 4.57 dapat dimasukkan dalam persamaan kontinuitas (persamaan 4.46) dan disederhanakan menjadi : (4.58) dimana : qin,1 = Debit awal inflow (m3/s), qin,2 = Debit akhir inflow (m3/s), qout,1 = Debit awal outflow (m3/s), qout,2 = Debit akhir outflow (m3/s), dan (4.59) (4.60) (4.61) 41
  • 42. dimana C1 + C2 + C3 = 1. Untuk menunjukkan semua nilai dalam volume unit, kedua sisi persamaan 4.58 dikalikan dengan : (4.62) Untuk menjaga stabilitas numerik dan menghindari perhitungan outflow negatif, kondisi berikut ini harus ditemui : (4.63) Nilai untuk faktor berat, X, dimasukkan oleh user. Nilai dari konstanta waktu tampungan dihitung dengan : (4.64) dimana : K = Konstanta waktu tampungan untuk bentangan pias (s), coef1 & coef2 = Koefisien berat yang dimasukkan oleh user, Kbnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk bentangan pias dengan aliran penuh (s), dan K0.1bnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk seper sepuluh dari bagian penampang dengan aliran penuh (s). Untuk menghitung Kbnkfull dan K0.1bnkfull, sebuah persamaan yang dikembangkan oleh Cunge (1969) dapat digunakan yaitu : (4.65) dimana : K = Konstanta waktu tampungan (s), Lch = Panjang saluran (km), dan ck = Kecepatan yang serupa dengan aliran untuk kedalaman tertentu (m/s). Kecepatan ini adalah suatu kecepatan dengan suatu variasi debit aliran yang melewati saluran. Hal itu didefinisikan dengan : (4.66) 42
  • 43. Dimana debit aliran, qch, dihitung dengan persamaan Manning. Diferensial dari persamaan 4.40 mengenai luas penampang melintang memberikan : (4.67) dimana : ck = Kecepatan (m/s), Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman tertentu (m), slpch = Kemiringan sepanjang saluran (m/m), n = Koefisien n Manning untuk saluran, dan vc = Kecepatan aliran (m/s). Tabel 4.4 Variabel yang Dibutuhkan SWAT pada Metode Penelusuran Muskingum Variabel Definisi Nama File MSK_X X ; nilai untuk faktor berat .bsn coef1 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh MSK_CO1 user, coef2 : MSK_CO2 4.2.2.6 .bsn Koefisien berat yang dimasukkan oleh user, .bsn Kapasitas Tampungan Besarnya jumlah air yang memasuki tampungan dalam satu hari dihitung dengan : (4.68) dimana : bnkin = Jumlah air yang memasuki tampungan (m3 H2O), tloss = Kehilangan air akibat perpindahan (m3 H2O) dan frtrns = Fraksi dari kehilangan air pada bagian akuifer dalam 43
  • 44. Kapasitas tampungan memberikan aliran pada saluran utama atau sampai ke sub basin. Aliran tampungan disimulasikan dengan kurva resesi yang serupa dengan yang digunakan pada air tanah. Volume air yang memasuki kapasitas tampungan dihitung dengan : (4.69) dimana : Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada pias melalui aliran kembali dari tampungan (m3 H2O), = Jumlah total air yang ada pada tampungan (m3 H2O) dan bnk = Konstanta bnk resesi aliran tampungan atau konstanta proporsionality Air dapat bergerak dari tampungan mendekati zona tidak jenuh. SWAT memodelkan pergerakan air mendekati zona tak jenuh tersebut sebagai fungsi dari kebutuhan air untuk evaporasi. Untuk menghindari kerancuan dengan definisi evaporasi tanah dan transpirasi, proses ini disebut dengan ‘revap’. Proses ini signifikan dalam DAS dimana zona tak jenuh air tidak begitu jauh di bawah permukaan atau zona dimana akar dalam tanaman tumbuh. ‘Revap’ dari tampungan dikontrol dengan koefisien revap air tanah yang dijelaskan pada HRU terakhir pada subbasin. Jumlah maksimum dari air yang kemudian akan dipindahkan dari tampungan melalui ‘revap’ pada satu hari adalah : (4.70) dimana : bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak jenuh untuk mengganti kekurangan (m3 H2O), = Koefisien revap, Eo = Evaporasi potensial harian (mm H2O), Lch = Panjang saluran (km), dan W = Lebar saluran pada permukaan air (m). rev 44
  • 45. Jumlah aktual dari revap yang akan terjadi dalam satu hari diberikan dalam persamaan berikut : (4.71) (4.72) dimana : bnkrevap = Jumlah air aktual yang dipindahkan ke dalam zona tak jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O), bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O), dan bnk = Jumlah total air yang ada pada tampungan pada permulaan hari i (m3 H2O). Tabel 4.5 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kapasitas Tampungan Variabel TRNSRCH Definisi frtrns ; Fraksi dari kehilangan air pada bagian akuifer dalam. Nama File .bsn bnk ; Konstanta resesi aliran ALPHA_BNK tampungan atau .rte konstanta proporsionality. GW_REVAP 4.2.2.7 rev ; Koefisien revap, .gw Keseimbangan Air Saluran Kapasitas tampungan air pada bentangan di akhir waktu dihitung dengan : (4.73) dimana : Vstored,2 = Volume air pada bentangan di akhir waktu (m3 H2O), Vstored,1 = Volume air pada bentangan di awal waktu (m3 H2O), Vin = Volume air yang mengalir ke dalam bentangan pias selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), 45
  • 46. Vout = Volume air yang mengalir ke luar bentangan pias selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), tloss = Volume air yang hilang dari bagian melalui perpindahan di dasar (m3 H2O), Ech = Evaporasi harian (m3 H2O), div = Volume air yang ditambahkan atau dipindahkan dari bagian pada satu hari melalui pengalihan (m3 H2O), dan Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada bentangan pias melalui aliran kembali dari tampungan kapasitas (m3 H2O). SWAT menentukan perhitungan volume outflow dengan persamaan 4.55 atau 4.62 sebagai jumlah bersih air yang dipindahkan dari pias. Seperti halnya kehilangan akibat perpindahan, evaporasi dan kehilangan air lainnya pada bagian tersebut dihitung, jumlah outflow pada bagian selanjutnya dikurangi dengan jumlah kehilangan. Ketika outflow dan semua kehilangan dijumlahkan, jumlah total akan sama dengan yang diperoleh dari persamaan 4.55 atau 4.62. 4.2.2.8 In-Stream Nutrient Processes/Proses Nutrien Pada Aliran Parameter yang mempengaruhi kualitas air dan dapat digolongkan sebagai indikator polusi termasuk nutrien (zat hara), total zat padat, BOD, nitrat, dan mikroorganisme (Loehr, 1970; Paine, 1973). Parameter penting sekunder lainnya antara lain bau, rasa dan kekeruhan (Azevedo dan Stout,1974). Algoritma kualitas air SWAT pada in-stream yang menggabungkan komponen interaksi dan hubungan digunakan dalam model QUAL2E (Brown dan Barnwell,1987). Dokumentasi yang digunakan dalam sub bab ini diambil dari Brown dan Barnwell (1987). Model transformasi nutrient in-stream memiliki beberapa ciri model SWAT. Untuk menelusuri pemuatan nutrien pada downstream tanpa mensimulasi perubahan bentuk (transformasi), variabel IWQ pada file kode kontrol input (.cod) harus diset menjadi 0. Untuk mengaktifkan simulasi transformasi nutrient in-stream, variabel ini harus diset menjadi 1. 4.2.2.9 ALGA Pada siang hari, alga meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di sungai melalui fotosintesis. Pada malam hari, alga mengurangi konsentrasi 46
  • 47. tersebut melalui respirasi (pernapasan). Ketika alga tumbuh dan berkembang, mereka membentuk suatu bagian dalam perputaran nutrient in-stream. Sub bab ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi pertumbuhan alga pada sungai. Chlorophyll a Chlorophyll a diasumsikan persis sebanding dengan konsentrasi dari biomassa alga phytoplanktonik. (4.74) dimana : chla = Konsentrasi chlorophyll a ( g chla/L), = Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga ( g chla/mg alg) 0 dan algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L). Pertumbuhan Alga Pertumbuhan dan pembusukan alga/chlorophyll a dihitung sebagai fungsi dari laju pertumbuhan, laju respirasi, laju pengendapan dan jumlah alga yang ada di sungai. Perubahan dari biomassa alga dalam satu hari adalah : (4.75) dimana : algae = Perubahan konsentrasi biomassa alga (mg alg/L), a = Laju pertumbuhan lokal spesifik dari alga (day-1), 1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day), depth = Kedalaman air pada saluran, algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan TT = Waktu perambatan pada pias (day). Perhitungan untuk kedalaman 47
  • 48. Laju Pertumbuhan Lokal Spesifik Alga Laju pertumbuhan lokal spesifik alga adalah suatu fungsi dari ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan, cahaya dan temperatur. SWAT pertamatama menghitung laju pertumbuhan pada suhu 20 C dan menyesuaikan laju pertumbuhan dengan suhu air. User dapat menggunakan tiga pilihan untuk menghitung dampak/pengaruh nutrien dan cahaya pada pertumbuhan: kecenderungan bertambah (multiplikasi), nutrien terbatas, dan rata-rata harmoni. Option multiplikasi menggandakan faktor pertumbuhan untuk cahaya, nitrogen dan fosfor secara bersama-sama untuk menentukan efek bersihnya pada laju pertumbuhan alga lokal. Option ini memiliki dasar biologis dalam efek multiplikasi dari proses enzym yang terlibat dalam proses fotosintesis : (4.76) dimana : a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1), max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1), FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya, FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor. Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user. Option nutrien terbatas menghitung laju pertumbuhan alga yang dibatasi oleh cahaya dan baik nitrogen maupun fosfor. Nutrien/efek cahaya adalah multiplikatif, sedangkan nutrien/efek nutrien adalah bergantian. Laju pertumbuhan alga dikontrol oleh nutrien dengan faktor batas pertumbuhan yang lebih kecil. Pendekatan ini menirukan hukum Liebig untuk perhitungan minimum : (4.77) dimana : a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1), max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1), FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya, FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan 48
  • 49. FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor. Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user. Laju pertumbuhan alga dikontrol dengan hubungan multiplikatif antara cahaya dan nutrien, sementara nutrien/interaksi nutrien dipresentasikan dengan rata-rata harmonik. (4.78) dimana : a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1), max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1), FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya, FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor. Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user. Perhitungan dari faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya, nitrogen dan fosfor direview dalam section berikutnya. - Faktor Batas Pertumbuhan Alga terhadap Cahaya. Angka dari hubungan matematis antara fotosintesis dan cahaya telah dikembangkan. Semua hubungan menunjukkan penambahan tingkat fotosintesis dengan peningkatan intensitas cahaya sampai batas maksimum atau nilai kejenuhan. Faktor pembatasan pertumbuhan terhadap cahaya dihitung menggunakan metode kejenuhan separuh Monod. Pada option ini, faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya didefinisikan dengan persamaan Monod : (4.79) dimana : FLz = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada kedalaman z, Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah permukaan air (MJ/m2-hr), dan KL = sKoefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr). 49
  • 50. Intensitas cahaya fotosintesis aktif adalah radiasi dengan panjang gelombang antara 400 sampai 700 mm. Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya didefinisikan sebagai intensitas cahaya dimana tingkat pertumbuhan alga adalah 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya ditentukan oleh user. Fotosintesis diasumsikan terjadi di seluruh kedalaman kolom air. Variasi dari intensitas cahaya dengan kedalaman didefinisikan dengan hukum Beer : (4.80) dimana : Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah permukaan air (MJ/m2-hr), Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari (MJ/m2-hr), kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan z = Kedalaman dari permukaan air (m). Dengan mensubstitusikan persamaan 4.80 ke dalam persamaan 4.79 dan menggabungkannya kembali dengan kedalaman aliran didapatkan : (4.81) dimana : FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada kedalaman kolom air, KL = Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m 2-hr), Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari (MJ/m2-hr), kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan depth = Kedalaman air dalam saluran (m). Radiasi solar fotosintesiss aktif dihitung dengan : 50
  • 51. (4.82) dimana : Ihr = Radiasi solar yang mencapai dasar selama jam tertentu pada hari simulasi (MJ m-2-h-1), dan frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif. Untuk simulasi harian, nilai rata-rata dari faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya yang dihitung kembali untuk siang hari harus digunakan. Ini dihitung menggunakan bentuk modifikasi dari persamaan 4.81 : (4.83) dimana : frDL = Fraksi dari jam siang hari, Iphosyn,hr = Intensitas cahaya fotosintesis aktif rata-rata pada siang hari (MJ/m2-hr) Fraksi dari jam siang hari dihitung dengan : (4.84) Dimana TDL adalah panjang hari (hr). Iphosyn,hr dihitung dengan : (4.85) dimana : frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif, Hday = Radiasi solar yang mencapai permukaan air pada hari tertentu (MJ/m2), dan TDL = Panjang hari (hr). Koefisien pemadaman cahaya, kl, dihitung sebagai fungsi dari kerapatan alga menggunakan persamaan nonlinier : 51
  • 52. (4.86) dimana : kl,0 = Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1), kl,1 = Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3), kl,2 = Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m -1 ( gchla/L)-2/3), = 0 Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga ( g chla/mg alg) dan algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L). Persamaan 4.86 mengijinkan hubungan antara varietas alga, bayangan sendiri, dan pemadaman cahaya untuk dimodelkan. Jika kl,1 = kl,2 = 0, tidak ada bayangan sendiri alga yang disimulasikan. Jika kl,1 0 dan kl,2 = 0, model bayangan sendiri alga adalah linier. Jika kl,1 dan kl,2 diset dengan nilai selain 0, model bayangan sendiri alga adalah nonlinier. Persaman Riley (Bowie et al,1985) menentukan kl,1 = 0,0088 m-1 ( g-chla/L)-1 dan kl,2 = 0,054 m-1 ( gchla/L)-1. - Faktor Batas Pertumbuhan Alga untuk Nitrogen Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen didefinisikan dengan pernyataan Monod. Alga diasumsikan menggunakan ammonia dan nitrat sebagai sumber nitrogen inorganik. (4.87) dimana : FN = Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen, CN03 = Konsentrasi nitrat pada pias (mg N/L), CNH4 = Konsentrasi ammonium pada pias (mg N/L), dan KN = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen (mg N/L). 52
  • 53. Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor juga didefinisikan dengan pernyataan Monod. (4.88) dimana : FP = Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor, CsolP = Konsentrasi larutan fosfor pada pias (mg P/L), dan KP = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor (mg P/L). Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen dan fosfor menentukan konsentrasi dari N atau P dimana pertumbuhan alga dibatasi sampai dengan 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. User diijinkan untuk menentukan sendiri nilai-nilai ini. Rentang nilai yang biasa dipergunakan untuk KN adalah dari 0,01 sampai 0,30 mg N/L sementara KP akan berkisar antara 0,001 sampai 0,05 mg P/L. Jika laju pertumbuhan alga pada suhu 20 C telah dihitung, koefisien disesuaikan dengan efek temperatur menggunakan tipe formulasi StreeterPhelps : (4.89) dimana : a = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga (day-1), a,20 = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). 53
  • 54. Laju Respirasi Lokal pada Alga Laju respirasi pada alga menunjukkan efek bersih dari tiga proses: respirasi alga yang dihasilkan oleh tubuh, konversi dari fosfor alga ke fosfor organik, dan konversi dari nitrogen alga ke nitrogen organik. User menentukan laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C. Laju respirasi tersebut ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.90) dimana : a = Laju respirasi lokal alga (day-1), a,20 = Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Laju Pengendapan Lokal Alga Laju pengendapan lokal alga dianggap mewakili pemindahan bersih alga sehubungan dengan proses pengendapan itu sendiri. User menentukan laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C. Laju pengendapan tersebut ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.91) dimana : 1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day), 1,20 = Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). 54
  • 55. Tabel 4.6 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga Variabel AI0 MUMAX K_L TFACT LAMBDA0 LAMBDA1 LAMBDA2 K_N K_P RHOQ RS1 Definisi 0 ; Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga ( g chla/mg alg) max ; Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1), KL ; Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr), frphosyn ; Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif kl,0 ; Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1), kl,1 ; Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3), kl,2 ; Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m-1 ( g-chla/L)-2/3), KN ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen (mg N/L). KP ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor (mg P/L). a,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), = Laju pengendapan lokal alga 1,20 pada suhu 20 C (m/day) Nama File .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .wwq .swq 4.2.2.10 DAUR NITROGEN Pada air aerobik, terjadi suatu perubahan bentuk (transformasi) bertahap dari nitrogen organik menjadi ammonia, menjadi nitrit, dan akhirnya menjadi nitrat. Nitrogen organik dapat juga dipindahkan dari sungai melalui pengendapan. Sub bab ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi daur nitrogen di sungai. Nitrogen Organik Besarnya nitrogen organik di sungai dapat meningkat karena konversi dari nitrogen biomassa alga menjadi nitrogen organik. Konsentrasi nitrogen organik di sungai dapat berkurang karena konversi dari nitrogen organik menjadi NH4+ atau pengendapan dari nitrogen organik bersama sedimen. Perubahan dari nitrogen organik dalam satu hari adalah : 55
  • 56. (4.92) dimana : orgNstr = Perubahan konsentrasi nitrogen organik (mg N/L), 1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg biomass), = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), N,3 = Konstanta tingkat hidrolisa dari nitrogen organik menjadi a nitrogen ammonia (koefisien laju oksidasi ammnonia) (day-1), orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik pada awal hari (mg N/L), 4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen ditentukan oleh user. Persamaan 4.90 mendeskripsikan perhitungan dari tingkat respirasi lokal dari alga. User menentukan konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ pada suhu 20 C. Laju hidrolisa dari nitrogen organik ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.93) dimana : N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ (day-1), N,3,20 = Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi NH4+ pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). 56
  • 57. User menentukan koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C. Laju pengendapan nitrogen organik ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.94) dimana : 4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1), 4,20 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Ammonia Besarnya jumlah ammonia (NH4+) pada sungai dapat meningkat karena mineralisasi dari nitrogen organik dan difusi dari amonia dari sedimen di dasar sungai. Konsentrasi amonia di sungai dapat menurun karena konversi dari NH 4+ menjadi NO-2 atau penyerapan NH4+ oleh alga. Perubahan kadar amonia dalam satu hari dihitung dengan : (4.95) dimana : NH4str = Perubahan konsentrasi amonia (mg N/L), N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ (day-1), orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik di awal hari (mg N/L), = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1), = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L), = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day), depth = Kedalaman air pada saluran (m), frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia, 1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg N,1 NH4str 3 biomass), 57
  • 58. = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). a Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ dihitung dengan persamaan 4.93. Konstanta laju oksidasi biologi nitrogen amonia akan berubah sebagai fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan temperatur. Konstanta laju tersebut dihitung dengan : (4.96) dimana : N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1), N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu 20 C (day-1), Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.96, , adalah faktor koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses nitrifikasi pada konsentrasi oksigen terlarut rendah. User menentukan laju sumber sedimen amonia pada suhu 20 C. Laju sumber sedimen nitrogen amonia ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.97) dimana : 3 = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day), 3,20 = Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C (mg N/m2-day), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Fraksi nitrogen alga yang terambil dari kolam amonia dihitung dengan : 58
  • 59. (4.98) dimana : frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia, fNH4 = Faktor kecenderungan nitrogen amonia, NH4str = Konsentrasi amonia di sungai (mg N/L), dan NO3str = Konsentrasi nitrat di sungai (mg N/L). Nitrit Besarnya jumlah nitrit (NO-2) di sungai dapat meningkat karena konversi dari NH4+ menjadi NO-2 dan menurun karena konversi dari NO-2 menjadi NO-3. Konversi dari NO-2 menjadi NO-3 terjadi lebih cepat dari konversi dari NH4+ menjadi NO-2, sehingga jumlah nitrit yang ada di sungai biasanya sangat kecil. Perubahan kadar nitrit dalam satu hari dihitung dengan: (4.99) dimana : NO2str = Perubahan konsentrasi nitrit (mg N/L), N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1), = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L), = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1), NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). NH4str N,2 Konstanta laju oksidasi biologi lokal dari nitrogen amonia dihitung dengan persamaan 4.96. Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat akan berubah sebagai fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan temperatur. Konstanta laju tersebut dihitung dengan : (4.100) dimana : N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1), 59
  • 60. = N,2,20 Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada suhu 20 C (day-1), Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.100, , adalah faktor koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses nitrifikasi pada konsentrasi oksigen terlarut rendah. Nitrat Besarnya jumlah nitrat di sungai dapat meningkat karena oksidasi NO -2. Konsentrasi nitrat di sungai dapat berkurang karena pengambilan NO -3 oleh alga. Perubahan kadar nitrat dalam satu hari dihitung dengan : (4.101) dimana : NO3str = Perubahan konsentrasi nitrat (mg N/L), N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1), NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia, 1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg biomass), = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). a 60
  • 61. Tabel 4.7 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga Variabel AI1 RHOQ BC3 RS4 BC1 RS3 P_N BC2 Definisi 1; Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg biomass) a,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), N,3,20 ; Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi NH4+ pada suhu 20 C (day-1), 4,20;Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C (day-1), N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu 20 C (day-1), 3,20;Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C (mg N/m2-day), fNH4 ; Faktor kecenderungan nitrogen amonia, N,2,20 ; Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada suhu 20 C (day-1), Nama File .wwq .wwq .swq .swq .swq .swq .wwq .swq 4.2.2.11 Daur Fosfor Daur fosfor serupa dengan daur nitrogen. Pembusukan alga menyebabkan perubahan bentuk (transformasi) dari fosfor alga menjadi fosfor organik. Fosfor organik dimineralisasi menjadi fosfor terlarut yang tersedia untuk pengambilan oleh alga. Fosfor organik juga dapat dipindahkan dari sungai melalui pengendapan. Bagian ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi daur fosfor di sungai. Fosfor Organik Besarnya jumlah dari fosfor organik di sungai dapat meningkat karena konversi dari fosfor biomasssa alga menjadi fosfor organik. Konsentrasi fosfor organik di sungai dapat menurun karena konversi dari fosfor organik menjadi fosfor inorganik terlarut atau pengendapan dari fosfor organik oleh sedimen. Perubahan kadar fosfor organik dalam satu hari dihitung dengan : 61
  • 62. (4.102) dimana : orgPstr = Perubahan konsentrasi fosfor (mg N/L), 2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg N/mg alg biomass), a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1), = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L), 5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). orgPstr User diharuskan untuk menentukan konstanta laju mineralisasi lokal dari fosfor organik pada suhu 20 C. Laju mineralisasi fosfor organik ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.103) dimana : P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1), P,4,20 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). User diharuskan untuk menentukan konstanta laju pengendapan lokal dari fosfor organik pada suhu 20 C. Laju pengendapan fosfor organik ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.104) dimana : 5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1), 5,20 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik pada suhu 20 C (day-1), TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). 62
  • 63. Inorganik/Fosfor Terlarut Besarnya jumlah dari fosfor inorganik terlarut di sungai dapat meningkat karena mineralisasi fosfor organik dan difusi dari fosfor inorganik dari sedimen di dasar sungai. Konsentrasi dari fosfor terlarut dapat berkurang karena pengambilan P inorganik oleh alga. Perubahan dari kadar fosfor terlarut dalam satu hari dihitung dengan : (4.105) dimana : solPstr = Perubahan konsentrasi fosfor terlarut (mg N/L), P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1), = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L), = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m 2-day), = Kedalaman air di saluran (m), 2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg P/mg alg biomass), a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). orgPstr 2 depth . User diharuskan untuk menentukan konstanta sumber sedimen untuk P terlarut pada suhu 20 C. Konstanta sumber sedimen untuk P terlarut ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.106) dimana : 2 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day), 2,20 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut terlarut pada suhu 20 C (mg P/m2-day), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). 63
  • 64. Tabel 4.8 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Perubahan Konsentrasi Fosfor 4.2.2.12 Carbonaceous Biological Oxygen Demand Carbonaceous oxygen demand (CBOD) dari air adalah besarnya oksigen yang dibutuhkan untuk menyusun ulang material organik dalam air. CBOD ditambahkan di sungai bersama dengan pemuatan dari limpasan permukaan atau ujung sumber. Di dalam sungai, dua proses dimodelkan yang mempengaruhi level CBOD, yang keduanya berfungsi untuk mengurangi carbonaceous oxygen demand ketika air bergerak menuju downstream. Perubahan kadar CBOD di dalam sungai dalam satu hari dihitung dengan : (4.107) dimana : cbod = Perubahan kadar konsentrasi CBOD (mg CBOD/L), k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1), cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L), k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). User diharuskan untuk menentukan laju deoksigenasi carbonaceous pada suhu 20 C. Laju deoksigenasi CBOD ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.108) 64
  • 65. dimana : k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1), k1,20 = Laju deoksigenasi CBOD pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). User diharuskan untuk menentukan laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD pada suhu 20 C. Laju kehilangan akibat pengendapan ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.109) dimana : k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1), k3,20 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Tabel 4.9 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kadar Konsentrasi CBOD 4.2.2.13 Oksigen Konsentrasi oksigen terlarut yang cukup adalah suatu kebutuhan mendasar untuk ekosistem akuatik yang sehat. Konsentrasi oksigen terlarut di sungai adalah suatu fungsi dari reareasi atmosfir, fotosintesis, respirasi tanaman dan hewan, kebutuhan sedimen, BOD, nitrifikasi, salinitas dan temperatur. Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut dalam satu hari dihitung dengan : 65
  • 66. (4.110) dimana : Oxstr = Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L), k2 = Laju aerasi untuk difusi Fickian (day-1), Oxsat = Konsentrasi oksigen saturasi (mg O2/L), Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), = Laju produksi oksigen per unit dari fotosintesa alga (mg O2/mg 3 alg), = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1), algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1), cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L), k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)), depth = Kedalaman air dalam saluran (m), = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NH4 + (mg a 5 O2/mg N), N,1 NH4str 6 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1), = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L), = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2 (mg O2/mg N), = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1), NO2st = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day). N,2 User menentukan laju produksi oksigen per unit fotosintesa alga, laju oksigen yang ditangkap respirasi alga per unit, laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NH4+, laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2. Konstanta laju oksidasi biologi dari NH4+ dihitung dengan persamaan 4.96 sedangkan konstanta laju oksidasi NO-2 dihitung dengan persamaan 4.100. Laju deoksigenasi CBOD dihitung dengan persamaan 4.108. 66
  • 67. User diharuskan untuk menentukan kebutuhan oksigen sedimen pada suhu 20 C. Kebutuhan oksigen sedimen ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : (4.111) dimana : k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)), k4,20 = Laju kebutuhan oksigen sedimen pada suhu 20 C (mg O2/(m2.day)), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Konsentrasi Kejenuhan Oksigen Besarnya jumlah dari oksigen yang dapat larut dalam air adalah fungsi dari temperatur, konsentrasi zat padat terlarut, dan tekanan atmosfir. Suatu persamaan yang dikembangkan oleh APHA (1985) digunakan untuk menghitung konsentrasi kejenuhan oksigen terlarut: (4.112) dimana : Oxsat = Konsentrasi kejenuhan oksigen seimbang pada 1,00 atm (mg O2/L), Twat,K = Temperatur air dalam Kelvin (273,15 + C). Reaerasi Reaerasi terjadi dari difusi oksigen dari atmosfir ke dalam sungai dan oleh pencampuran air dan udara yang terjadi selama aliran turbulen. Reaerasi oleh Difusi Fickian Pengguna menentukan laju reaerasi pada suhu 20 C. Laju reaerasi ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut : 67
  • 68. (4.113) dimana : k2 = Laju reaerasi (day-1), k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), dan Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C). Metode numerus telah dikembangkan untuk menghitung laju reaerasi pada suhu 20 C, k2,20. Beberapa metode diantaranya ada di bawah ini. Brown dan Barnwell (1987) memberikan beberapa metode tambahan. Dengan menggunakan pengukuran, Churchill, Elmore dan Buckingham (1962) menjabarkan hubungan berikut : (4.114) dimana : k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan depth = Kedalaman rata-rata sungai (m). O’Connor dan Dobbins (1958) mengembangkan karakteristik aliran sungai turbulen menjadi suatu persamaan. Untuk sungai dengan kecepatan aliran rendah dan kondisi isotropik, berlaku (4.115) dimana : k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day), vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan depth = Kedalaman rata-rata sungai (m). Untuk sungai dengan kecepatan aliran tinggi dan kondisi non isotropik berlaku: (4.116) 68
  • 69. dimana : k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day), slp = Kemiringan dasar sungai (m/m), dan depth = Kedalaman rata-rata sungai (m). Koefisien difusi molekuler dihitung dengan persamaan: (4.117) dimana : Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day), dan Twater = Temperatur air rata-rata ( C). Owens et al. (1964) mengembangkan suatu persamaan untuk menentukan laju aerasi daerah dangkal, aliran bergerak cepat dimana kedalaman sungai adalah antara 0,1 sampai 3,4 m dan kecepatannya berkisar antara 0,03 sampai 1,5 m/s. (4.118) dimana : k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan depth = Kedalaman rata-rata sungai (m). Reaerasi Oleh Aliran Turbulen Pada Dam Reaerasi akan terjadi jika air jatuh melewati suatu dam, bendung atau struktur bangunan lain di sungai. Untuk mensimulasi bentuk reaerasi ini, sebuah ‘struktur’ garis perintah ditambahkan pada file konfigurasi watershed (.fig) pada setiap titik sepanjang sungai dimana aliran melewati suatu bangunan terjadi. Besarnya jumlah dari reaerasi yang terjadi adalah fungsi dari defisit oksigen di atas struktur bangunan dan koefisien reaerasi: 69
  • 70. (4.119) dimana : Oxstr = Perubahan konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L), Da = Defisit oksigen di atas bangunan (mg O2/L), Db = Defisit oksigen di bawah bangunan (mg O2/L), dan rea = Koefisien reaerasi. Defisit oksigen di atas bangunan, Da dihitung dengan: (4.120) dimana : Oxsat = Konsentrasi oksigen jenuh seimbang (mg O2/L), dan Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L). Butts dan Evans (1983) mendokumentasikan hubungan berikut yang dapat digunakan untuk menentukan koefisien reaerasi: (4.121) dimana : rea = Koefisien reaerasi, coefa = Faktor empiris kualitas air, coefb = Koefisien aerasi dam empiris, hfall = Tinggi air jatuh (m), dan Twater = Temperatur air rata-rata ( C). Faktor empiris kualitas air ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan pada kondisi sungai: coefa = 1,80 pada air bersih coefa = 1,60 pada air terpolusi sebagian coefa = 1,00 pada air terpolusi sedang coefa = 0,65 pada air terpolusi berat Koefisien aerasi dam empiris ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan pada kondisi sungai: 70
  • 71. coefb = 0,70 sampai 0,90 untuk bidang puncak bendung datar coefb = 1,05 untuk puncak bendung tajam dengan kemiringan permukaan lurus coefb = 0,80 untuk puncak bendung tajam dengan permukaan vertikal coefb = 0,05 untuk sluice gate dengan debit tenggelam Tabel 4.10 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Konsentrasi Oksigen 4.2.3 Pola Penyebaran Polutan di Waduk 4.2.3.1 Nutrients In Water Bodies SWAT menggunakan suatu model empiris sederhana untuk memprediksikan status tropis dari badan air. Untuk studi yang membutuhkan model detail dari kualitas air danau, SWAT telah dihubungkan untuk mendistribusikan model kualitas air danau seperti WASP. SWAT menentukan empat tipe badan air yang berbeda: kolam, daerah basah, Badan Air dan pothole. Proses nutrien yang dimodelkan di dalam kolam, daerah basah, dan Badan Air adalah serupa. Proses nutrien belum dapat dimodelkan di dalam potholes. 4.2.3.2 Transformasi Nutrien Ketika menghitung transformasi nutrien di dalam badan air, SWAT mengasumsikan sistem sebagai sistem campuran. Dalam suatu sistem campuran, ketika sedimen memasuki badan air maka akan secara langsung terdistribusi di seluruh volume. Asumsi dari suatu sistem campuran komleks tersebut mengabaikan stratifikasi danau dan intensifikasi dari phytoplankton di dalam epilimnion. 71
  • 72. Jumlah nitrogen dan fosfor mula-mula dalam badan air dalam satu hari dihitung dengan menjumlahkan massa nutrien yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut dengan massa nutrien yang sudah ada di dalam badan air. (4.122) dimana : Minitial = Massa nutrien mula-mula dalam badan air pada satu hari (kg), Mstored = Massa nutrien dalam badan air pada akhir hari sebelumnya (kg), Mflowin = Massa nutrien yang ditambahkan dalam badan air pada hari tersebut (kg). Dengan cara yang sama, volume air mula-mula dalam badan air dihitung dengan menjumlahkan volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut dengan volume yang telah ada di dalam badan air sebelumnya. (4.123) dimana : Vinitial = Volume air mula-mula dalam badan air pada satu hari (m3 H2O), Vstored = Volume air dalam badan air pada akhir hari sebelumnya (m 3 H2O), Vflowin = Volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut (m3 H2O). Konsentrasi nurien mula-mula dalam badan air dihitung dengan membagi massa nutrien mula-mula dengan volume air mula-mula. Transformasi nutrien yang disimulasikan pada kolam, daerah basah dan Badan Air dibatasi pada perpindahan nutrien Transformasi antara kolam nutrien (contohnya NO3 karena pengendapan. NO2 NH4) dianggap diabaikan. Kehilangan karena pengendapan dalam badan air dapat ditunjukkan sebagai suatu fluks dari massa memanjang area permukaan dari pengaruh sedimen-air (Gambar 4.13) (Chapra, 1997). 72
  • 73. Gambar 4.13 Kehilangan karena Pengendapan dalam Badan Air sebagai suatu Fluks dari Massa Memanjang Area Permukaan dari Pengaruh Sedimen-Air Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dihitung dengan mengalikan fluks pada area permukaan air-sedimen. (4.124) dimana : Msettling = Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dalam satu hari (kg), v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day), As = Area dari permukaan air-sedimen (m2), c = Konsentrasi nutrien mula-mula dalam air (kg/m3 H2O), dan dt = Panjang jangka waktu ( 1 day). Kecepatan pengendapan disebut ‘nyata’ karena mewakili efek bersih dari proses berbeda yang membawa nutrien ke dalam sedimen dari badan air. Badan air diasumsikan memiliki kedalaman air seragam dan area dari permukaan air-sedimen adalah ekuivalen dengan area permukaan dari badan air. Kecepatan pengendapan nyata biasanya paling banyak ditulis dalam satuan m/tahun dan inilah caranya nilai dimasukkan ke dalam model. Untuk danau natural, kecepatan pengendapan fosfor terukur paling banyak berfrekuensi jatuh antara 5 sampai 20 m/tahun meskipun nilainya kurang dari 1m/tahun sampai lebih dari 200 m/tahun sudah pernah ditulis (Chapra,1997). Panuska dan Robertson (1999) mencatat bahwa rentangan nilai kecepatan pengendapan nyata untuk Badan Air buatan manusia cenderung secara signifikan lebih besar daripada danau natural. Higgins dan Kim (1981) menulis 73
  • 74. bahwa kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -90 sampai 269 m/tahun untuk 18 Badan Air di Tennessee dengan nilai tengah 42,2 m/tahun. Untuk 27 Badan Air Midwestern, Walker dan Kiihner (1978) menulis bahwa kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -1 sampai 125 m/tahun dengan nilai rata-rata 12,7 m/tahun. Kecepatan pengendapan negatif mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan Air adalah sumber dari N atau P; kecepatan pengendapan positif mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan Air adalah endapan dari N atau P. Angka inflow dan properti bendungan lainnya mempengaruhi kecepatan pengendapan nyata pada badan air. Faktor penting utama termasuk bentuk fosfor di dalam inflow (terlarut atau terurai) dan fraksi terurai dari kecepatan pengendapan. Di dalam bendungan, kedalaman rata-rata, pelepasan potensial untuk resuspensi sedimen dan fosfor dari sedimen akan mempengaruhi kecepatan pengendapan nyata (Panuska dan Robertson, 1999). Badan air dengan pelepasan fosfor internal tinggi cenderung memiliki daya tahan fosfor lebih lemah dan kecepatan pengendapan nyata fosfor yang lebih rendah daripada badan air dengan pelepasan fosfor internal rendah (Nurnberg,1984). Tabel 4.11 meringkas kisaran ciri-ciri kecepatan pengendapan fosfor untuk sistem-sistem yang berbeda. Tabel 4.11 Rekomendasi Nilai Kecepatan Pengendapan Nyata untuk Fosfor SWAT memasukkan variabel yang berkenaan dengan pengendapan nutrien pada pond, daerah basah dan Badan Air seperti dalam tabel 4.11. Model tersebut mengijinkan user untuk menentukan dua laju pengendapan untuk setiap nutrien dan waktu selama sepanjang tahun dimana laju pengendapan yang digunakan. Laju pengendapan yang bervariasi juga diijinkan sehingga efek dari temperatur dan faktor musim lainnya dapat dihitung dalam model dari pengendapan nutrien. Untuk menggunakan hanya satu laju pengendapan selama sepanjang tahun, kedua variabel untuk nutrien dapat diset pada angka yang sama. Membuat semua variabel menjadi angka nol akan 74
  • 75. menyebabkan model tersebut mengabaikn pengendapan nutrien dalam badan air. Setelah kehilangan nutrien dalam badan air ditemukan, konsentrasi akhir dari nutrien dalam badan air dapat dihitung dengan membagi massa akhir nutrien dengan volume air mula-mula. Konsentrasi nutrien pada outflow dari badan air adalah ekuivalen dengan konsentrasi akhir dari nutrien pada badan air pada hari tersebut. Massa nutrien pada outflow dihitung dengan mengalikan konsentrasi nutrien dalam badan air dengan volume air yang meninggalkan badan air pada hari tersebut. 75
  • 76. Tabel 4.12 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk mengontrol Pengendapan pada Kolam, Daerah Basah dan Badan Air 4.2.3.3 Keseimbangan Total Dengan mengasumsikan bahwa volume air pada badan air adalah tetap sepanjang waktu, proses yang telah dijelaskan di atas (inflow, pengendapan, outflow) dapat dikombinasikan ke dalam persamaan massa seimbang berikut untuk badan air tercampur: (4.125) dimana : V = Volume sistem (m3 H2O), c = Konsentrasi nutrien dalam sistem (kg/m3 H2O), dt = Panjang jangka waktu (1 day), 76
  • 77. W(t) = Jumlah nutrien yang masuk ke dalam badan air sepanjang hari (kg/day), Q = Debit aliran air yang keluar dari badan air (m3 H2O/day), v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day), dan As adalah luas area dari permukaan sedimen-air (m2) 4.2.3.4 Eutrofikasi Di bawah kondisi cahaya dan temperatur yang menguntungkan, jumlah berlebih dari nutrien dalam air akan dapat meningkatkan pertumbuhan alga dan tanaman lainnya. Akibat dari pertumbuhan ini adalah peningkatan dari laju eutrofikasi, yang merupakan proses ekologi alami dari perubahan lingkungan minim-nutrien menjadi kaya-nutrien. Eutrofikasi didefinisikan sebagai proses dimana suatu badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut (seperti phospat) yang menstimulasi pertumbuhan dari kehidupan tanaman akuatik, biasanya menyebabkan menipisnya oksigen terlarut (Merriam-Webster,Inc., 1996). Pengayaan nutrien dari air bergerak dan danau adalah suatu akibat normal dari pelapukan tanah dan proses erosi. Evolusi bertahap dari danau Ice Age menjadi rawa, dan akhirnya tanah organik adalah suatu hasil dari eutrofikasi. Bagaimanapun juga, proses ini dapat dipercepat oleh debit buangan yang mengandung nutrien berlevel tinggi di dalam danau atau sungai. Salah satu contoh adalah danau Erie, yang diperkirakan memiliki umur ekuivalen 150 tahun alami dalam 15-tahun rentangan percepatan eutrofikasi. Pertumbuhan tanaman berlebih yang disebabkan oleh eutrofikasi yang dipercepat dapat membuat kemunduran air. Kemunduran ini disebabkan oleh peningkatan BOD oleh pembusukan tanaman sisa. Akibat dari peningkatan BOD ini adalah kecenderungan terhadap kondisi anaerobik dan ketidakmampuan dari badan air untuk mendukung ikan dan organisme aerobik lainnya. Nitrogen, karbon dan fosfor merupakan faktor penting dalam pertumbuhan biota akuatik. Mengingat kesulitan dari mengontrol perubahan nitrogen dan karbon di antara atmosfir dan air dan fiksasi dari nitrogen atmosfir oleh sekelompok alga biru-hijau, dicoba untuk mengurangi eutrofikasi fokus 77
  • 78. pada input fosfor. Dalam suatu sistem air bersih, fosfor seringkali merupakan elemen tak hingga. Dengan mengontrol penambahan fosfor, percepatan eutrofikasi pada air danau dapat dikurangi. Di dalam sistem dimana fosfor adalah unsur penting, kontrol batas nutrien dalam eutrofikasi badan air, jumlah fosfor yang ada dalam badan air dapat digunakan untuk menentukan jumlah eutrofikasi yang ada dalam badan air. Korelasi Fosfor/Chlorophyll Suatu hasil persamaan bilangan empiris telah dikembangkan untuk menghitung level chlorophyl a sebagai suatu fungsi dari konsentrasi fosfor total. SWAT menggunakan suatu persamaan yang dikembangkan oleh Rast dan Lee (1978) untuk menghitung konsentrasi chlorophyl a dalam badan air. (4.126) dimana : Chla = Konsentrasi chlorophyl a ( g/L), dan = Konsentrasi total fosfor ( g/L). Persamaan tersebut telah dimodifikasi untuk memasukkan koefisien yang ditentukan oleh user: (4.127) Koefisien yang ditentukan user, Chlaco, ditambahkan untuk membiarkan user menyesuaikan prediksi konsentrasi chlorophyl a untuk batas nutrien yang berbeda dengan fosfor. Ketika Chlaco diset menjadi 1,00, Persamaan 4.127 adalah ekuivalen dengan Persamaan 4.126. Untuk sebagian besar badan air, persamaan aslinya sudah mencukupi. Korelasi Chlorophyll /Secchi-Disk Kedalaman secchi-disk adalah ukuran lain dari status tropis pada badan air. Kedalaman secchi-disk menentukan kejernihan air, suatu atribut yang 78