Dokumen tersebut membahas sejarah Masjid Al Imam di Majalengka, terutama mengenai asal usul pendiri masjid yaitu Tuanku Datuk Imam Al Malik dari Baghdad yang melakukan dakwah Islam di Majalengka pada abad ke-14. Dokumen ini juga menjelaskan peran penting Syekh Abdurrahman (Pangeran Panjun) dalam memulihkan Masjid Al Imam pada abad ke-15 serta menandai lokasi masjid dengan pahatan "Momolo".
2. MYTHOLOGY OF HISTORY
“MAULA IMAM AL MALIK DAN SOKOGURU IMAMIYAH
P. PANJUN SYEKH ABDURRAHMAN
DI MAJALENGKA”
(mimpi-mimpi suhuf kholwatan fil masajidil imam tsumma aro fi manamih)
Pendahuluan
Perlu dipahami bahwa area ubudiyyah secara historis dalam Islam akan
selalu berdekatan dengan apa yang diamalkan dan diajarkan kepada ummat. Yang
mana bangunan mesjid selalu akan dekat dengan pendidikan melalui maktab
pengajaran ataupun majelis dengan tujuan ukhrowiyah yang pada akhirnya sampai
pula pada pengajaran kematian dimana diadakannya tempat pemakaman Islam.
Areal mesjid Al Imam kini hanya sebagian kecil saja sebagai pondasi utuh yang
harus ditegakan dengan amaliyah kepada Allah SWT sehingga harus dijaga
kesucian dan kelestariannya.
Bila diucapkan dengan istilah Pakauman, maka disanalah ditegakan Qoim
(bhs arab-Qoyyum) yang lalu dialih bahasa dalam penyebutan sehari-hari dengan
Pakoiman-Pakauman sebagai bentuk penegakan terhadap amaliah Sholat dan yang
diiringi sebelumnya dengan kumandang adzan, dan Syariat Islam lainnya.
Tak luput dari itu letak lokasi yang dipakai Sholat di Al Imam dan area
sekelilingnya tidaklah semua utuh areal hidup, karena bila dibuka disana pula
Maula Imam Al Malik dikebumikan dan pen da’i lainnya. Sehingga areal Al
Imam selain kawasan masjid, dahulunya ada sebagian Maqbaroh dari tanah yang
terpijak itu melainkan tak beralas sandal hanya untuk sholat (wallohu A’lam).
Sepenegas ucapan sesepuh dahulu tidak serta menjelaskan secara terperinci,
namun ada perkataan yang terucap yang tertulis di batu nisan yang terkubur
disana bertoreh aksara arab bahasa sunda yang bila dibaca “ Teu aya deui nami nu
sae, iwal ti, Maula Imam Al Malik” (1387).
Dari sini kita jelas, dan dapat dipahami dari mana asal usul penamaan Al
Imam. Yang lalu kemudian gelar Imam tersebut sampai keturunan tonggaknya
diketahui di sekitar 1850 an sampai pada Imamush Shofari yang bermaqom di
3. Desa Cijati untuk kemudian lalu diwaqafkan oleh keturunannya kini untuk ummat
sebagai prasarana public ibadah ummat Islam.
Telisik
1300-1387 Tuanku Datuk Imam Al Malik yang berketurunan Baghdad
Melakukan Syiar Islam melalui perdagangan bersama adiknya sampai di
Indonesia melalui jalur Aceh lalu Ke Pariaman. Adiknya menetap lalu kemudian
mengembangkan Islam di Pagaruyung, sedangkan kakaknya yaitu beliau
melanjutkan perjalanan laut melalui Merak Banten dan bersandar di Karawang.
Lalu kemudian mengembangkan dengan sepetak hutan kosong di Majalengka
yang kini menjadi masjid Al Imam yang dahulu hanya sebuah Tajug, Kobong,
kolam dan Pemakaman serta pemukiman yang hanya sekitar 15 orang saja.
1400 an sepeninggal beliau diteruskan oleh keturunannya, namun area tajug, dan
lainnya nyaris porak poranda, dengan banyaknya perseteruan dan pertempuran
termasuk telah datangnya bangsa portugis yang dipimpin oleh Mr Robert di
kawasan Majalengka.
1500 an seiring dengan datangnya Syarif Hidayatullah ke Cerbon maka syiar
Islam semakin kuat perikatannya dalam ukhuwah Islam dengan Majalengka. Yang
kemudian sampailah Pangeran Panjun (Syekh Abdurrahman) mengembalikan
marwah mesjid Al Imam dengan penandaan Wali Panjun di Momolo Mesjid.
Momolo tersebut terbuat dari tanah liat persis seperti Momolo Mesjid Merah
Kasepuhan Cirebon. Perbedaannya ukuran sekepal kepala orang dewasa bagian
atas mancung keatas seperti sebuah jari, ke bawah berupa kubah melebar bundar
dengan daun telinga simetris yang jumlahnya sekitar 17 buah mengelilingi
lingkaran (kini gambaran momolo tersebut diabadikan menjadi sebuah mesjid di
area tenggara pendopo Taman Bagja Raharja Majalengka)
1800 an Masa Imamush Shofari (lihat sejarah mesjid Al Imam, selengkapnya)
4. Penutup
Dengan penandaan momolo tersebut Syekh Abdurahman (P. Panjun)
dibantu Ki Sendang Duwur (Ki Senjang) dan para santri kobong yang bermuqim
menyepakati Maqom Imam Al Malik dan makam lainnya yang berjajar diratakan
saja untuk menghindari khurafat dan bidah bersatu menjadi tempat sholat
(tepatnya di tempat Imam bersholat/Pangimaman) yang disebelah selatannya di
tanami Pohon Kemenyan yang kemudian dahulu ditebang akibat pembangunan
1985an.
Momolo P.Panjun diganti dahulu pasca mesjid memperoleh pendanaan
pemerintah pusat era Suharto ditandai dengan adanya bangunan menara dan
momolo disimpan disana. Saat pengembangan kedua momolo dipindah tersimpan
gudang Kantor Urusan Agama (KUA). Pasca KUA pindah kantor dan pemugaran,
momolo disimpan di rumah Bapak Muh. Muhsin yang rumahnya depan KUA Kec
Majalengka sekarang seletan Kemenag. 1994-1995 an saat kejadian gempa
dipindahtangankan momolo pada Orang Tua Bapak Mahmud dan Masum Saidi
untuk dipelihara penulis. Saat kejadian penurunan Presiden Suharto dan
kerusuhan pelemparan batu dan perusakan pertokoan di Majalengka 1998,
terdapat sambaran petir berupa bola krtistal yang melintas dan meletus tepat diatas
menara mesjid, maka oleh penulis atas pertanda itu momolo yang terkesan sarang
tawon dihuni ribuan jin maka ditenggelamkan di kolam mesjid dan hancurlah
karena terbuat dari tanah liat. Dengan catatan bila dibutuhkan nanti seingatan
penulis dapat dibuat lagi, karena hafal bentuk dan rupanya dari bahan tanah liat
(tembikar).
Saat pemugaran mushola di ex mapolres penulis resah, karena tiada
pengganti tempat sejenis. Kepada DKM A Suhaeli melalui tulisan lembaran draft
maka dilayangkanlah sepucuk surat kepada ASDA yang kini menjabat sebagai
Ketua DKM, H Ghani. Dalam isi surat secara inti menegaskan tentang ruang
public alun-alun dan pembangunan kembali mushola ex mapolres dengan desain
momolo yang hilang untuk diteruskan kepada Bupati Majalengka.
5. Karena hak cipta bentuk dan rupa tersebut adalah karya P.Panjun mutlak
miliknya, maka merupakan hak ummat muslim, untuk mengkamuflase dan
mereplikasi yang tidak hanya dapat dibangun disana saja tetapi dapat pula yang
serupa sebagai penggandeng contohnya di Jatigede.
Harapan kemudian desain P. Panjun ini terkembang dengan seribu daun
telinga seperti sarang tawon melalui blockade ribuan kubah yang berdiri diatas air
sebagai symbol ummat mendengar panggilan Ilahi sebagai Hak Cipta Ummat
Islam. Beruntunglah hal tersebut yang entah dari sumber mana bahwa Jawa Barat
disingkat Jabar tertuang dalam qosam asmaul husna Al Jabbar pun ditindaklanjuti
secara sigap oleh Gubernur dengan terbentuknya rintisan mesjid Al Jabbar Simbol
kemegahan Islam yang kini viral. Kalau Arsitek pasti Beliau Gubernur H Ridwan
Kamil karena beda bentuk, namun inspirasi yang asasi kembali pada P. Panjunan
Kasepuhan Cirebon Sang Rajawali Pengembang Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa.
Atau tidak mau dikembalikan pada marwahnya? Ya akui saja dan silakan
pertanggungjawabkan sendiri, atanapi peryogi rahayatna, siap dibantos Ang
kangge RI 1. Semua terserah ummat dalam kebebasan berekspresi. Al Muslim
Akhul Muslim, sungguh sesama muslim itu bersaudara. From BrotherMuslim,
amit mundur, hapunten nu kapihatur Wassalam.
PETISI
Tidak Untuk Publikasi
Kecuali Untuk Ummat
Catatan Pribadi Penulis
Sebuah Karya
Shafari, Al Imam Majalengka
(Data : Terasipkan di Slideshare.net/shafari100)
6. CONTOH BUAT MESJID LAIN
TIAP MIQOT TEMPAT ADA PENAMAANNYA
Maqbaroh Qutbu Maula
Imam Al Malik-
Syekh Abdurahman
(P. Panjun)
Gerbang
emas
Hadlrat
Ghazali
Tunas
Wahab
Sirah
Fathmah
Mar’ah
Armilah
Silah
Ahmadi
Pajang
Biru
Azraqi
Osad/Asid
Permata
Putih
Askar
Lima
Urusy
Billah
Babu
Bagdady
Sigat
Panjun