1. 1
BAB 9
WAKALAH DAN SHULHU
A. Wakalah
Wakalah Secara bahasa wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Sedang secara istilah syarak, wakalah artinya
menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan dalam hidupnya.
Wakalah berlaku selama yang mewakili masih hidup. Contoh teks wakalah:
Setelah memuji Allah SWT. “Si A telah mewakilkan kepada si B (keduanya
sehat dan berakal sempurna) untuk melakukan sesuatu untuk si A. Si A yang
diwakili menerima wakalah dan mengakuinya setelah disaksikan saksi C dan
si B pada tanggal sekian.” Dasar hukum wakalah adalah sebagai berikut:
Yang artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami- isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-
Nisaa: 35)
b. Sunah Rasulullah SAW
Artinya: “Dari Jabir RA berkata: Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku
datang kepada Rasulullah SAW. Maka beliau bersabda, 'Apabila engkau
datang pada wakilku di Khaibar maka ambillah darinya 15 wasaq'.” (H.R.
Abu Dawud)
1. Rukun Wakalah
Rukun wakil adalah sebagai berikut:
a. Ada yang berwakil dan wakil. Anak kecil yang sudah dapat membedakan
baik buruk dapat mewakilkan, seperti untuk menerima hibah, sedekah atau
wasiat.
2. 2
b. Ada pekerjaan yang diserahkan.
c. Ada lafal yang menunjukkan rida yang berwakil.
2. Syarat-Syarat Wakalah
Syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mewakilkan adalah orang yang sah menurut hukum.
b. Pekerjaan yang diwakilkan harus jelas.
c. Tidak boleh mewakilkan dalam hal ibadah karena ibadah menuntut
dikerjakan secara badaniah dan dilakukan sendiri (ibadah mahdah).
3. Hal-Hal yang Boleh Diwakilkan
Hal-hal yang boleh diwakilkan dalam hal ibadah yaitu: menyembelih binatang
kurban, membagi zakat, perniagaan (jual beli).
4. Berakhirnya Akad
Wakalah Akad wakalah akan berakhir apabila ada hal-hal berikut ini:
a. Salah seorang yang berakad gila.
b. Dihentikan pekerjaan yang dimaksud.
c. Matinya salah seorang yang berakad.
d. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil, sekalipun wakil
belum mengetahui (pendapat Syafi'i dan Hambali).
e. Wakil memutuskan sendiri.
f. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.
6. Hikmah Wakalah
Hikmah yang didapat dari adanya wakalah adalah berikut ini:
3. 3
a. Mendidik kepada manusia tentang prinsip tolong-menolong antara sesama
manusia untuk tujuan kebaikan, bukan untuk hal-hal yang melanggar
agama.
b. Mendidik manusia bahwa tidak mungkin kita dapat menyelesaikan segala
urusan hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk itulah kita terkadang
perlu mewakilkan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk
menyelesaikannya.
c. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan pekerjaan
kita sehingga kita memberikan pekerjaan pada orang lain dengan kata lain
mengurangi pengangguran.
B. Sulhu
1. Pengertian dan Hukum Sulhu
As-sulhu menurut bahasa Arab bermakna memutus pertengkaran,
perselisihan, atau perdamaian. Sulhu menurut Hasbi Ash-Shiddiqie dalam
bukunya Pengantar Fiqh Muamalah adalah:
Yang artinya: “Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak
untuk melaksanakan sesuatu dengan akad itu bisa dapat hilang perselisihan.”
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa sulhu adalah
akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan.
Contohnya, penuduh mengklaim mempunyai hak terhadap tertuduh dan
tertuduh mengakuinya karena tidak kenal dengannya. Kemudian, penuduh
berdamai dengan tertuduh dengan sebagian dari haknya pada tertuduh untuk
menghindari perselisihan. Adapun sumpah diharuskan jika terjadi penolakan
dari salah satu pihak
2. Rukun Sulhu
4. 4
Rukun sulhu (perjanjian damai), yaitu ijab, kabul, dan lafal sulhu. Ketiga
rukun itu merupakan ketentuan yang harus ada dalam suatu perjanjian sulhu.
Tanpa ijab, kabul, dan lafal secara formal tidak dapat diketahui terciptanya
suatu perdamaian. Dengan adanya ikatan perdamaian, masing-masing pihak
yang bersengketa berkewajiban melaksanakan semua isi perjanjian atau tidak
boleh mengingkari isi perjanjian. Apabila salah satu pihak berkhianat,
konsekuensinya dapat dituntut ke pengadilan. Akad perdamaian tidak dapat
dibatalkan dengan begitu saja oleh satu pihak, melainkan harus ada
persetujuan antara kedua belah pihak. Apabila hanya sepihak, pembatalan itu
tidak sah atau pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan.
3. Syarat sulhu
syarat diklasifikasikan dalam dua hal, yaitu yang menyangkut subjek
(pihak-pihak yang mengadakan perjanjian) dan objek perdamaian.
a. Menyangkut subjek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian). Haruslah
orang yang cakap bertindak menurut hukum (orang dewasa) dan memiliki
kekuasaan dan kewenangan untuk melepaskan hak-hak yang dimaksud dalam
perdamaian tersebut.
b. Menyangkut objek perdamaian.
Objek perdamaian harus memenuhi ketentuan, antara lain sebagai berikut:
1) Berbentuk harta; harta di sini dapat berbentuk benda berwujud atau
benda tidak berwujud yang dapat dinilai dan dihargai atau dapat
diserahterimakan dan dimanfaatkan.
2) Dapat diketahui dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kesamaran
dan ketidakjelasan.
4. Macam-Macam Perdamaian (Sulhu)
Ada banyak macam akad sulhu (perdamaian), seperti perdamaian antara
muslim dan nonmuslim, perdamaian antara suami istri, perdamaian dengan
5. 5
orang-orang yang bugah (pemberontak). Di sini hanya akan dipaparkan dua
macam perdamaian, yaitu perdamaian pembebasan tanggung jawab dan
permintaan ganti rugi.
a. Perdamaian pembebasan tanggung jawab. Perdamaian permintaan
pembebasan tanggung jawab dapat dicontohkan dengan perkataan, “Saya
bebaskan hutangmu yang seribu rupiah itu dengan lima ratus rupiah.” Ini
adalah pembebasan sebagian hutang dengan kata damai. Sementara itu,
perdamaian dengan cara permintaan ganti rugi atas barang yang
disengketakan dapat dicontohkan bahwa, “ada dua orang yang bersengketa
atas sebuah rumah, lalu satu pihak mengajak berdamai dengan meminta
sebidang tanah sebagai ganti rugi atas sebidang tanah yang disengketakan
tersebut.” Perdamaian semacam ini dapat digolongkan dengan masalah
jual beli.
b. Perdamaian dengan permintaan ganti rugi. Perdamaian dapat pula terjadi
atas barang yang dipakai oleh salah satu pihak yang bersengketa, seperti
terjadinya kerusakan pada kendaraan yang dipinjam seseorang. Contoh,
perdamaian atas kendaraan yang rusak karena dipakai oleh pihak kedua,
lalu pihak pertama mengajak berdamai dengan meminta ganti rugi atas
manfaat kendaraan yang dipakai oleh pihak kedua. Perdamaian semacam
ini dapat digolongkan dalam hal sewa-menyewa.
C. Daman
Daman adalah menanggung utang orang yang berutang. Misalnya, Ahmad
mempunyai piutang kepada Fahmi dan ingin memintanya, kemudian Hasan
yang dibenarkan bertindak berkata, “Hutang tersebut berada dalam
tanggunganku dan aku yang menanggungya.” Dengan cara seperti itu Hasan
menjadi damin (penanggung) dan Ahmad berhak meminta piutangnya pada
Hasan. Jika Hasan tidak menepati janjinya, Ahmad meminta Fahmi membayar
utangnya.
6. 6
Setiap orang Islam diperbolehkan menjadi daman bagi orang lain. Hal tersebut
didasarkan atas firman Allah SWT sebagai berikut.
Yang artinya: “Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat)
beban onta, dan aku jamin itu’.” (Q.S. Yusuf: 72).
Setelah diketahui pengertian dan kebolehan daman, berikut ini akan dijelaskan
mengenai rukun dan syarat daman.
1. Rukun Daman
Untuk terselenggaranya daman dengan baik, maka harus dipenuhi rukunnya
sebagai berikut.
a. Yang menanggung disyaratkan sudah balig, berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya (mahjur) dan dengan kehendaknya sendiri.
b. Yang berpiutang (madmun lah) disyaratkan diketahui oleh yang
menanggung.
c. Yang berutang (madmun 'anhu).
d. Utang barang disyaratkan diketahui dan tetap keadaannya.
e. Lafal disyaratkan berupa jaminan dan tidak perlu ada kabul.
2. Syarat-Syarat Daman Di antara syarat-syarat daman adalah sebagai berikut:
a. Penanggung harus mengenal orang yang ditanggung sebab setiap orang
berbeda-beda di mata orang yang menanggung. Mereka juga memiliki
tujuan yang tidak sama. Apabila belum mengenalnya berarti penipuan.
b. Jumlah utang yang ditanggung harus sudah resmi dan tetap. Sehubungan
dengan hal itu, tidaklah sah menanggung jatah makan seorang istri untuk
besok pagi sebab jumlahnya belum pasti dan ketentuannya juga belum
tetap (belum wajib).
c. Jumlah yang ditanggung sudah diketahui. Apabila belum diketahui,
tanggungan itu batal dan tidak sah, seperti dalam pernyataan, “Saya
7. 7
tanggung segala kewajibanmu terhadap si Fulan,” adalah tidak sah karena
belum diketahui jumlahnya.
d. Penanggung diisyaratkan harus orang yang ahli dalam penggunaan uang
atau harta. Anak kecil, orang gila, dan anak yang bodoh tidaklah sah
menanggung orang lain.
D. Kafalah
Pengertian dan Dasar Hukum Kafalah Kafalah termasuk jenis daman
(tanggungan), tetapi lebih khusus pada tanggungan badan. Jadi, kafalah adalah
orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat) berfungsi menunaikan hak
yang wajib ditunaikan orang lain atau berjanji menghadirkan hak tersebut di
pengadilan.