SlideShare a Scribd company logo
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Uji Daya Hasil Lanjutan Galur Harapan Padi
Rawa Pasang Surut Di Provinsi Jambi
Test Results Strain Continued of Rice
Tidal Swamp Land in Jambi Province
Jumakir1)
, Supartopo2)
dan Endrizal1) 1)
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi 2)
Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi
ABSTRACT
The purpose of the research to get some strains candidate varieties with high
yield potential, resistance marinade, look good, medium-early maturity, a major pest
resistant, have good quality rice and ready to be released. The research was
conducted in the dry season from March to June 2013 in Makmur Jaya Village
Betara sub District Tanjung Jabung Barat District of Jambi Province the typology of
potential acid sulphate land and water overflow type C. This study used a group
randomized design (RBD) with 14 treatments and 4 replications. The 14 treatments
consisted of 12 lines and two check varieties, namely: 13135-1 B-MR-2-KA-1, B-2-
MR 13131-9, 13133-9 B-MR-2, B 13100-2- MR-3-OH-2, B-13134-2 MR-2-KA-8-
3, B 13134-4-MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1 -2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1,
B 14144-1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100 -3-MR-1-KA-2-3, B
13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 and IR 42 results show that rice strains looks
pretty good performance and equitable growth. Strains are resistant to major pests
and diseases such as blast and brown planthopper and resistant to poisoning Fe and
Al. Rice strains that have high yield potential is B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-
3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 respectively 7.3 t/ha, 7.2 t/ha and 7.1
t/ha GKP, whereas check varieties of Inpara 3 (7.0 t/ha GKP) and IR 42 (4.30 t/ha
GKP).
Keywords: tidal swamp land, rice, and yield potential
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang
memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah-
sedang, tahan hama penyakit utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk
dilepas. Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau pada bulan Maret sampai
Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung
Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan tipe luapan
air C. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 14
perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur dan 2
varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B 13133-9-
MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4-MR-1-KA-3-
4, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-1-MR-2-KA-2-1,
B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B
267
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa galur-galur padi terlihat keragaannya cukup baik dan merata
pertumbuhannya. Galur-galur tersebut memiliki ketahanan terhadap hama dan
penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan
Fe dan Al. Galur-galur padi yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B 13100-1-
MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 masing-
masing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas pembanding
Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha GKP).
Kata kunci : Lahan rawa pasang surut, padi, dan potensi hasil
PENDAHULUAN
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam
menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas
sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk
pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan
memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan
pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang surut 206.832 ha dan lahan non
pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000).
Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan
kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju
peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk
dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi
akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena
degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung
melandai (Deptan, 2008). Menurut Irawan et al. (2001), dalam kurun waktu sepuluh
tahun dari tahun 1989 sampai tahun 1999 telah terjadi alih fungsi lahan sawah seluas
1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di pulau Jawa. Apabila diasumsikan
rata-rata produkivitas lahan sawah sebesar 6,0 t/ha GKP, maka kehilangan produksi
padi akan mencapai 9,6 juta ton GKP/tahun (Agus et al., 2004). Berkaitan dengan
perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan
penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas
lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan
potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian merupakan
alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif terutama di
pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan non
pertanian. Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan
khususnya beras terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong
pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah
bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut yang tersedia sangat luas,
diperkirakan lahan pasang surut dan lahan marginal lainnya yang belum
dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam pembangunan pertanian
di Indonesia
268
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya masih mempunyai
produktivitas yang rendah, karena kesuburan tanah rendah, kemasaman lahan,
adanya lapisan pirit dan gambut serta serangan hama dan penyakit. Kendala
agrofisik seperti defisiensi P, keracunan Fe, keracunan Al, intrusi air garam, pH
rendah (Widjaja Adhi et al, 1995 dan Alihamsyah T. 2002). Kendala biologis
berupa hama penyakit, hama utamanya adalah babi hutan, tikus, orong-orong,
penggerek batang, walang sangit, wereng coklat dan lembing batu (Santoso,
1998) sedangkan penyakit yang biasa menyerang adalah blas, bercak coklat,
hawar daun bakteri dan busuk pelepah (Mukelar dan Hakam, 1990). Menurut
Abdullah et al. (2008), salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah
telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru (VUB) yang
ditanam oleh petani atau terbatasnya kemampuan genetik varietas unggul yang
ada untuk berproduksi lebih tinggi (Balitpa, 2003). Selanjutnya Suwarno et al.
(2000) bahwa komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi dengan
teknik budidaya sederhana dan menggunakan varietas lokal serta pemupukan
tidak lengkap dengan takaran rendah.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi adalah mencari dan
meyediakan varietas padi yang mampu beradaptasi dengan baik, produksinya
tinggi dan disukai petani dan konsumen terutama yang mampu beradaptasi pada
lahan pasang surut. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian beberapa
galur/varietas padi dilahan pasang surut. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi,
tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah-sedang, tahan hama penyakit
utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk dilepas,
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada musim tanam kemarau pada bulan Maret
sampai Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung
Jabung Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan
tipe luapan air C. Bahan yang digunakan adalah benih padi, pupuk urea, SP 36,
KCl, kapur/dolomite, herbisida, insektisida dan fungisida. Untuk pengendalian
hama/penyakit digunakan insektisida dan fungisida. Alat yang digunakan adalah
hand traktor, cangkul, meteran, sprayer, ember, parang, tali rapia, ajir bambu dan
jaring.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan
14 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur
dan 2 varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B
13133-9-MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4-
MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-
1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B
13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42.
Persiapan lahan dilakukan dengan olah tanah minimum dan penaburan
dolomit dengan takaran 1 ton/ha, ukuran plot 4 m x5 m, jarak tanam 25 cm x 25
cm dan penanaman dengan cara ditugal dengan umur bibit 25 hari. Dolomit dan
pupuk Urea, SP 36 dan KCL diberikan dengan cara ditabur. Dolomit diberikan 1
minggu sebelum tanam sedangkan pupuk urea, SP 36 dan KCL diberikan 5-7
hari setelah tanam. Pemupukan diberikan dengan dosis 150 kg/ha,
269
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
100 SP36 dan 100 kg/ha KCl. Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan,
pengendalian hama/penyakit. Parameter yang diamati adalah reaksi terhadap
hama/penyakit, keragaan tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,
umur panen (80 %), jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai,
berat 1000 butir dan hasil. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik
ragam dan uji DMRT pada taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reaksi Terhadap Hama dan Penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan
beberapa galur/varietas padi menunjukkan reaksi terhadap hama/penyakit dan
ketahanan terhadap keracunan Fe tertera pada Tabel 1. Hama yang menyerang
pertanaman padi pada fase vegetatif adalah orong-orong, putih palsu dan sundep
dengan intensitas serangannya rendah. Hama yang muncul pada fase generatif
adalah walang sangit, beluk dan tikus. Pengendalian hama walang sangit
dilakukan dengan penyemprotan insektisida sedangkan hama tikus dilakukan
dengan pengumpanan. Reaksi terhadap hama utama wereng coklat dengan
intensitas serangan cukup rendah dan reaksi terhadap penyakit dari beberapa
galur/varietas yang diuji menunjukkan agak tahan dan tahan terhadap penyakit
blas sedangkan terhadap penyakit helminthosforium, keracunan Fe, Al dan
salinitas terlihat galur/varietas yang diuji tahan Ho dan Fe. Hasil penelitian
Suhaimi (1996) bahwa sifat toleran Fe pada tanaman padi dikendalikan oleh
lebih dari 2 gen. Selanjutnya Suhartini et al. (1996) melaporkan gen aditif, gen
dominant dan gen non alletik yang secara bersama-sama mengendalikan sifat
toleran keracunan Fe.
Sifat Agronomis. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa keragaan
tanaman pada fase vegetatif menunjukkan pertumbuhan baik dan cukup baik
serta merata serta sebagian besar galur-galur menunjukkan keragaan yang baik
dan merata pertumbuhannya. Pada fase vegetatif dan fase generatif, penampilan
tanaman padi menunjukkan keragaan baik dan cukup baik dan merata
pertumbuhannya (Tabel 1). Pertumbuhan tanaman padi yang merata dan baik
pertumbuhannya adalah : B 13133-9-MR-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3 dan B
13134-4-MR-1-KA-3-4 sedangkan galur-galur lainnya pertumbuhannya cukup
baik. Terjadinya perubahan keragaan tanaman disebabkan oleh sifat dari masing-
masing galur yang diuji dan faktor lingkungan. Tanggap suatu galur/varietas
umumnya beragam bila diuji pada lingkungan yang berbeda, terjadinya interaksi
genotipe dengan lingkungan, maka akan dapat merubah kestabilan sifat suatu
galur/varietas padi. Dari hasil penelitian Satoto dan Suprihatno (1998), bahwa
keragaman sifat tanaman padi ditentukan keragaman lingkungan dan keragaman
genotif serta interaksi keduanya.
Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata terhadap
tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif (Tabel 1), umur panen, jumlah gabah
isi per malai, jumlah gabah/malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif cukup beragam sesuai dengan pertumbuhan
dari masing-masing galur/varietas. Tinggi tanaman padi berkisar antara 94,50 cm (
B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 110,75 cm (Inpara 3). Jumlah anakan produktif
antara 8 (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 20 (IR 42).
270
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh sifat genetik galur tersebut dan jumlah
anakan produktif dipengaruhi oleh faktor genetik dan perkembangan tanaman
selama stadia vegetatif dan reproduktif. Sifat-sifat agronomis lainnya seperti umur
panen. Umur panen antara 118 hari (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 127 hari (B
13100-3-MR-1-KA-2-3 dan Inpara 3). Sedangkan varietas pembanding IR 42 dan
Inpara 3 masing-masing 125 hari dan 127 hari. Umur panen dari masing-masing
galur yang diuji termasuk galur harapan yang mempunyai umur sedang.
Beragamnya umur umur panen galur/varietas padi disebabkan beragamnya
pertumbuhan pada fase vegetatif dari masing-masing galur/varietas. Lamanya fase
pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur tanaman yang
disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman (De Datta, 1981).
Tabel 1. Reaksi hama/penyakit dan sifat-sifat agronomis beberapa
galur/varietas padi di lahan pasang surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara -
Jambi MK 2013.
No Galur/varietas Reaksi Keragaan Tinggi Jumlah
penyakit tan (cm) anakan
H Bl Fe Veg Gen
o
1. B 13135-1-MR-2-KA-1 T AT T 3 3 107,75 d 17 ab
2. B 13131-9-MR-2 T T T 3 3 105,25 d 19 b
3. B 13133-9-MR-2 T AT T 3 3-1 105,00 cd 16 a
4. B 13100-2-MR-3-KY-2 T AT T 3 3-5 105,00 cd 17 a
5. B 13134-2-MR-2-KA-8-3 T T T 3 3-1 94,50 a 18 b
6. B 13134-4-MR-1-KA-3-4 T T T 3 3-1 101,00 bc 15 a
7. B 13134-2-MR-2-KA-1-2 T T 3 3 95,00 a 17 a
8. B 13136-6-MR-2-KA-2-1 T T T 3 3 108,75 d 17 a
9. B 14144-1-MR-2-KA-2-1 T AT T 3-5 3-5 108,00 de 16 a
10. B 13100-1-MR-1-KA-2-2 T T T 3-5 3-5 105,75 d 18 b
11. B 13100-3-MR-1-KA-2-3 T T T 3-5 3-5 107,00 d 18 b
12. B 13100-3-MR-2-KA-1-3 T T T 3-5 3-5 103,25 c 16 a
13. Inpara 3 T AT T 3-5 3-5 110,75 d 16 a
14. IR 42. T T T 3 3-1 98,25 ab 20 bc
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
pada taraf 5 % uji DMRT
Keterangan :
1 = sangat baik 3 = baik 5 = cukup baik
T = tahan AT = agak tahan
Bl = blas Ho = Helminthosforium Fe = besi
Komponen Hasil. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap umur panen, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per
malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Jumlah gabah isi/malai terbanyak
terdapat pada galur B 13100-1-MR-1-KA-2-2yaitu 145,50 butir sedangkan jumlah
gabah isi/malai terendah adalah B 13135-1-MR-2-KA-1yaitu 101,80 butir.
Sedangkan jumlah gabah hampa/malai tertinggi yaitu 29,45 butir pada galur B
13136-6-MR-2-KA-2-1 dan jumlah gabah hampa terendah terdapat pada galur B
271
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
13100-1-MR-1-KA-2-2 yaitu 10,25 butir. Galur B 13100-3-MR-2-KA-1-3
memberikan berat 1000 butir tertinggi yaitu 27,50 gr sedangkan berat 1000 butir
terendah adalah 23,25 gr (B 13133-9-MR-2 ). Untuk varietas pembanding Inpara 3
dan IR42 masing-masing 25,25 gr dan 23,25 gr. Perbedaan berat 1000 butir
disebabkan oleh berbedanya ukuran gabah yang merupakan sifat bawaan dari
masing-masing galur/varietas, disamping perbedaan toleransi tanaman terhadap
lingkungan. Menurut Vegara (1982), bahwa aktivitas tanaman selama pengisian
gabah sangat menentukan bobot gabah. Galur/varietas memberikan hasil yang
beragam (Tabel 2). Hasil galur padi berkisar 4,00 t/ha (B 14144-1-MR-2-KA-2-1)
sampai 7,20 t/ha ( B 13100-3-MR-1-KA-2-3). Sedangkan varietas pembanding
Inpara 3 dan IR 42 adalah 7,00 t/ha dan 4,30 t/ha. Galur-galur yang memiliki potensi
hasil tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi terbentuknya varietas
unggul setelah dilakukan beberapa kali pengujian (Suwarno et al. 1992).
Tabel 2. Sifat-sifat agronomis dan hasil beberapa galur/varietas padi di lahan pasang
surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara-Jambi MK 2013
No Galur/ Umur Jumlah Jumlah Berat 1000 Hasil (t/ha)
varietas panen gabah isi gabah hampa butir (gr) GKP
(hari) /malai /malai
1. B 13135-1-MR-2-KA-1 123 b 101,80 a 20,10 c 24,75 a 6,88 c
2. B 13131-9-MR-2 123 b 120,95 b 16,35 b 23,75 a 7,00 c
3. B 13133-9-MR-2 125 b 108,75 a 20,25 c 23,25 a 4,50 a
4. B 13100-2-MR-3-KY-2 124 b 121,30 bc 14,85 ab 23,75 a 4,65 a
5. B 13134-2-MR-2-KA-8-3 118 a 116,50 b 19,30 bc 25,00 a 5,00 ab
6. B 13134-4-MR-1-KA-3-4 126 b 111,65 ab 22,25 c 24,50 a 4,90 a
7. B 13134-2-MR-2-KA-1-2 121 a 114,70 b 27,55 d 25.25 a 5,00 ab
8. B 13136-6-MR-2-KA-2-1 120 a 120,50 b 29,45 d 24,00 a 5,00 ab
9. B 14144-1-MR-2-KA-2-1 118 a 113,95 b 20,50 c 25,75 b 4,00 a
10. B 13100-1-MR-1-KA-2-2 122 a 145,50 d 10,25 a 27,00 b 7,30 c
11. B 13100-3-MR-1-KA-2-3 127 bc 144,20 d 17,80 b 26,50 b 7,20 c
12. B 13100-3-MR-2-KA-1-3 125 b 142,50 d 15,40 b 27,50 bc 7,10 c
13. Inpara 3 127 bc 127,40 cd 18,85 b 25,25 ab 7,00 c
14. IR 42 125 b 142,15 d 13,85 a 23,25 a 4,30 a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
uji DMRT
272
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Galur-galur padi yang diuji memiliki ketahanan terhadap hama dan
penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan
Fe dan Al. Galur-galur tersebut yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B
13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3
masing-masing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas
pembanding Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah B, S Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek
perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Indonesian Agricultural Research and Development Journal.
Volume 27, Nomor 1. 2008. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor
Alihamsyah T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut.
Seminar Nasional optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di
Cisarua, 6-7 Agustus 2000. Puslitbang Tanah dan Agroklimat
Agus E dan Irawan. 2004. Alih guna dan aspek lingkungan sawah, tanah sawah
teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan Litbangtan. Deptan. Bogor
Bappeda. 2000. Potensi, prospek dan pengembangan usahatani lahan pasang
surut. Dalam Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan
Pasang Surut Kuala Tungkal , 27-28 Maret 2000. ISDP-Jambi
Deptan. 2008. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi gogo. Badan Litbang
pertanian. Jakarta
De Datta SK. 1981. Principles and practices of rice production. John Willey and
Sons. New York
Irawan B, S Friyanto, A Supriyatno, LS Anugrah, NA Kirom, B Rohman dan B
Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbangtan. Deptan.
Ismail IG, T Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T Herawati, R Taher dan
DE Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (1985-
1993) Kontribusi dan prospek pengembangan. Swamps II. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta
Mukelar A dan S. Hakam. 1990. Penyakit tanaman pangan dan pengendaliannya
di lahan pasang surut. Puslitbangtan. Bogor
Santoso T. 1998. Permasalahan dan strategi pengendaliaan organisme pengganggu
tanaman (OPT) pertanian lahan rawa. ISDP. Puslitbangtan. Bogor
Satoto dan B Suprihatno. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida padi
turunan galur mandul jantan IR62829A dan IR58025A. Jurnal Penelitian
Tanaman Pangan. Vol 17. No 1. 1998. Puslitbangtan. Badan Litbangtan.
Bogor
Suhartini T, Suwarno dan Syafarudin. 1996. Pendugaan parameter genetik
toleran keracunan Fe pada padi sawah melalui analisis dialel. Dalam
Jurnal Pemuliaan Indonesia Vol 7 No 1. Puslitbangtan. Bogor
Suwarno, T Alihamsyah dan IG Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan pasang
surut dengan penerapan teknologi sistem usahatani terpadu. Seminar
273
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Nasional Peneliian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung, 25-27 Juli 2000. Buku I. PusLitbangtan. Badan litbangtan.
Widjaya Adhi, IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan
sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Makalah Pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan
Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni. Karang Agung. Sumatera
Selatan
274
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi di Kabupaten Morowali
Propinsi Sulawesi Tengah
Adaptability Evaluation of Improved Rice Varieties in Morowali,
Central Sulawesi
I Ketut Suwitra1
, Darmayanto L2
., Ruslan Boy1
, Johannes Amirullah3
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
2)
Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan
3)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Lasoso Nomor 62 Biromaru
e-mail : iketutsuwitra@ymail.com
ABSTRACT
The use of adaptably superior variety was one prime component to boost
rice production and productivity. The Indonesian Agency of Agricultural
Research and Development (IAARD) through Indonesian Centre Research of
Rice has developed high yielded rice varities for wide range of agro ecosystems
since 2007. The experiment was carried out to evaluate adaptation capability of
these new varieties at the specific agroecosystem at Korowalelo, Lembo,
Morowali, the province of Central Sulawesi from October 2012 to Januari 2013.
A non factorial Randomized Completely Blocked Design (RCBD) was used to
accomplish the evaluation trial of 4 varieties, i.e. Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15
and Inpari Sidenuk with cv. Ciliwung as the control. The results showed that
Inpari Sidenuk has the tallest plant and highest filled grain per panicle, while
Inpari showed the highest maximum and productive tillers compared to other
tested varieties. However, faster reproductive stage was showed by Inpari 13 and
the highest yield of dried grain was produced Inpari 14.
Keywords : Adaptability evaluation, Improved varieties, Rice
ABSTRAK
Penggunaan varietas unggul baru yang cocok dan adaptif merupakan
salah satu komponen teknologi yang nyata pengaruhnya terhadap peningkatan
produksi padi nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui
Balai Besar Tanaman Padi sejak Tahun 2007 hingga 2013 telah melepas
berbagai varietas unggul baru padi spesifik lokasi untuk berbagai agroekosistem.
Oleh sebab itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas
unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kajian dilaksanakan
di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali
Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) empat
varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan
Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding. Luas lahan
yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang sebanyak 4
275
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kali. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum,
jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per
malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil
ubinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Inpari Sidenuk memiliki penampilan
tinggi tanaman dan jumlah gabah berisi per malai tertinggi (91,72 cm dan 102,30
butir) dibadingkan varietas lainnya. Inpari 15 memiliki jumlah anakan
maksimum dan anakan produktif tertinggi sebanyak 29,63 rumpun dan 29,10
rumpun. Varietas Inpari 13 memiliki fase umur berbunga yang lebih cepat
dibandingkan varietas lainnya (85 hari). Sedangkan hasil ubinan tertinggi
ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 sebanyak 9,1 ton gabah kering panen/ha
dibandingkan varietas lainnya.
Kata Kunci : Adaptasi, Varietas Unggul Baru dan Padi
PENDAHULUAN
Pertanian Indonesia dewasa ini dihadapkan pada tantangan peningkatan
produksi, stabilitas ketahanan pangan dengan tetap menjaga kelestarian
sumberdaya, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perubahan iklim global juga
menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi.
Ancaman kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran di musim hujan sudah
semakin sering melanda pertanaman petani. Anggoro (2012) melaporkan bahwa
pada Tahun 2011 sub sektor tanaman pangan menargetkan produksi padi
sebanyak 70,60 juta ton GKG, jagung 22 juta ton pipilan kering dan kedelai
sebanyak 1,56 juta ton. Ditambah lagi lima tahun kedepan kita dituntut surplus
beras sebanyak 10 juta ton (Suswono, 2012). Disisi lain, tantangan yang
dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan
penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut
peningkatan produksi yang berkesinambungan, sementara sebagian lahan sawah
yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya.
Dari masalah tersebut di atas, salah satu solusinya adalah menggunakan
varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Penggunaan
varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen
teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas.
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) diharapkan
menjadi salah satu pilar Revolusi Hijau Lestari dalam memacu produksi padi di
masa yang akan datang. Melalui model ini, varietas unggul yang dikembangkan
mampu berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya.
Sulawesi Tengah dikenal sebagai daerah potensial produksi padi di
Indonesia. Bahkan propinsi ini menempati peringkat kedua setelah Sulawesi Selatan.
Kontribusi terhadap pengadaan pangan nasional tahun 2010 baru mencapai 1,50
persen (Syamsyah et al., 2013). Namun pada tahun 2009 produksi padi di Sulawesi
Tengah mengalami penurunan sebesar 3,8 persen, ketidak sesuaian kondisi biofisik
dan iklim menjadi salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas.
Sebagai contoh padi rawa dikembangkan di wilayah yang memiliki ketersediaan air
yang sedikit dan sebaliknya. Padahal, Badan Litbang Pertanian telah banyak
menghasilkan varietas-varietas, diantaranya varietas padi lahan rawa (Inpara),
Inbrida padi irigasi (Inpari) dan Inbrida padi
276
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
gogo (Inpago) namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu
diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke
pengguna. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas.
Tujuannya kegiatan ini adalah untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas
unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang sesuai dengan
agroekosistem setempat.
METODE
Kajian ini dilaksanakan di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan
Lembo Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober
2012 hingga Januari 2013. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak
kelompok (RAK) empat varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari
14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding.
Luas lahan yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang
sebanyak 4 kali, menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi
sawah dengan rekomendasi seperti pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Paket Teknologi dan Rekomendasi PTT Padi Sawah di Desa
Korowalelo, Tahun 2012
No. Paket Teknologi Rekomendasi
1. Benih
a. Jumlah 25 kg/ha
b. Varietas Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15, Inpari Sidenuk dan
Ciliwung
2. Pemupukan
22. Phonska 200 kg/ha
23. Urea 200 kg/ha
3. Pengolahan tanah Olah tanah sempurna (dibajak, digaru dan pelumpuran)
4. Cara tanam Tapin
5. Umur bibit 15 hari setelah semai (hss)
6. Jarak tanam 10x20x40 cm, sistem tanam jajar legowo 2:1
7. Pemeliharaan
24. Penyulaman 7 hari setelah tanam (hst)
25. Waktu pemupukan
*Phonska 3 hst
*Urea 30 hst
26. Penyiangan 10 hst
27. Pengendalian HPT Berdasarkan Konsep PHT
Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum,
jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per
malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil
ubinan. Data teknis yang diamati dianalisis sidik ragam, bila terdapat pengaruh
yang nyata terhadap masing-masing perlakuan dianalisis dengan uji lanjut LSD
taraf 5% selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
277
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
HASIL
Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa kelima varietas yang diujikan memiliki pengaruh yang nyata
terhadap penampilan tinggi tanaman. Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi
tanaman yang lebih tinggi dari keempat varietas lainnya berbeda nyata terhadap
varietas Inpari 13 dan Inpari 14. Sedangkan terhadap penampilan jumlah anakan
maksimum dan anakan produktif pada kelima varietas yang diujikan tidak
berpengaruh nyata, namun jumlah anakan maksimum dan produktif tertinggi
ditunjukkan oleh varietas Inpari 15. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan
maksimum dan jumlah anakan produktif dapat di lihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rerata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum, Jumlah Anakan
Produktif Pada masing-masing perlakuan
Komponen Pertumbuhan
Perlakuan
Tinggi Tanaman Jumlah anakan Jumlah anakan Produktif
(cm) Maksimum (rumpun)
(rumpun)
Inpari 13 79.48c 27.37a 27.32a
Inpari 14 84.97b 29.53a 28.40a
Inpari 15 90.97a 29.63a 29.10a
Inpari Sidenuk 91.25a 28.83a 27.77a
Ciliwung 87.69ab 29.33a 27.93a
CV 2.32% 7.69% 6.32%
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut LSD 5%.
Tabel 2 menginterprestasikan bahwa penampilan tinggi tanaman, jumlah
anakan maksimum dan jumlah anakan produktif pada masing-masing varietas
unggul baru yang diujikan, mampu menyaingi penampilan varietas Ciliwung
yang telah adaptif di wilayah kajian.
Rata-rata umur berbunga dan umur panen pada masing-masing varietas
yang diujikan dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini.
278
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Rerata Umur Berbunga dan Umur Panen pada Masing-masing Perlakuan
Perlakuan Umur Berbunga Umur Panen
(Hari) (Hari)
Inpari 13 85 114
Inpari 14 109 122
Inpari 15 109 123
Inpari Sidenuk 109 123
Ciliwung 122 138
Tabel 3 mengindikasikan bahwa keempat varietas unggul yang diujikan
memiliki umur berbunga dan panen yang lebih genjah dibandingkan varietas
Ciliwung. Umur panen yang paling genjah ditunjukkan oleh varietas Inpari 13.
Komponen Hasil dan Poduktivitas Tanaman Padi. Hasil analisis
keragaman pada msing-masing perlakuan menunjukkan adanya pengaruh yang
nyata terhadap penampilan komponen hasil jumlah gabah isi, gabah hampa dan
produktivitas pada tanaman padi. Rata-rata jumlah gabah isi, gabah hampa dan
hasil ubinan dapat di lihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Rerata Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa dan Hasil Ubinan
pada Masing-masing Perlakuan
Perlakuan
Komponen Hasil
Jumlah gabah isi Jumlah gabah hampa Hasil ubinan (ton
per malai (butir) per malai (butir) GKP/ha)
Inpari 13 94.13b 48.87abc 7.81b
Inpari 14 75.07c 40.83bc 9.13a
Inpari 15 90.37b 58.33a 8.27ab
Inpari Sidenuk 102.30a 39.43c 8.75ab
Ciliwung 95.87ab 56.97ab 8.44ab
CV 4.82% 17.80% 11.28
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut LSD 5%.
Tabel 4 menginterprestasikan bahwa penampilan varietas Inpari Sidenuk
memiliki jumlah gabah isi yang tertinggi, berbeda nyata terhadap varietas unggul
baru lainnya dan memiliki jumlah gabah hampa yang terendah dibandingkan
keempat varietas lainnya. Sedangkan produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh
varietas Inpari 14 berbeda nyata terhadap Inpari 13, namun tidak berbeda nyata
terhadap varietas lainnya. Karakteristik masing-masing varietas dapat di lihat
pada Tabel 5 berikut ini.
279
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 5. Karakteristik beberapa varietas uggul baru
Karakteristik Inpari 13 Inpari 14 Inpari 15 Inpari Sidenuk
Umur ±99 hari 113 hari ± 117 hari ± 104 hari
tanaman
Bentuk Tegak Tegak Tegak Tegak
tanaman
Tinggi ±102 cm 103 cm ± 105 cm ±102
tanaman
Daun bendera Tegak Tegak Tegak Tegak
Bentuk gabah Panjang Ramping Ramping Ramping
ramping
Warnah gabah Kuning bersih Kuning bersih Kuning bersih Kuning bersih
Kerontokan Sedang Sedang Sedang Mudah
Kerebahan Sedang Tahan Tahan Tahan
Tekstur nasi Pulen Pulen Pulen Pulen
Kadar amilosa 22,40 % 22,5% 20,7 % 21,1 %
Rata –rata 6,6 t/ha GKG 6,6 t/ha GKG 6,1 t/ha GKG 6,4 t/ha GKG
hasil
Potensi hasil 8,0 t/ha GKG 8,2 t/ha GKG 7,5 t/ha GKG 8,8 t/ha GKG
Anjuran Dataran Dataran rendah Dataran Dataran rendah sampai
tanam rendah sampai sampai rendah sampai ketinggian 600 m dpl
ketinggian ketinggian 600 ketinggian
600 m dpl m dpl 600 m dpl
Sumber : Deskripsi Varietas Unggul Baru, Badan Litbang Pertanian, Tahun 2013
PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman padi terbagi atas tiga bagian yakni fase
pertumbuhan vegetatif, fase pertumbuhan generatif dan fase pemasakan (Yosida,
1981). Komponen pertumbuhan yang ditampilkan oleh masing-masing varietas
unggul baru, khususnya terhadap jumlah anakan maksimum dan anakan
produktif tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap varietas Ciliwung
yang telah adaptif di wilayah kajian, bahkan varietas Inpari Sidenuk memiliki
penampilan tinggi tanaman yang lebih baik. Pertambahan tinggi merupakan
salah satu ciri proses pertumbuhan tanaman padi, walaupun tinggi tanaman tidak
berpengaruh langsung terhadap produktivitas. Pertambahan tinggi tanaman
secara normal yang sejalan dengan pertambahan umur tanaman dapat menjadi
indikator terhadap pertumbuhan yang normal khususnya tingkat efisiensi
fotosintesa (Manurung dan Ismunadji, 1988). Hasil kajian menunjukkan bahwa
keempat varietas unggul baru tersebut telah mampu beradaptasi dengan baik di
wilayah kajian. Suwitra dan Maskar, (2006) melaporkan bahwa kemampuan
beradaptasi suatu varietas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian iklim setempat.
Genjahnya umur berbunga dan panen pada varietas Inpari 13 membawa
dampak terhadap kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan burung hingga
7% . Rata-rata umur panen pada varietas unggul baru lebih lambat dari yang
tertera dalam deskripsi padi, hal ini diduga karena keterlambatan terbentuknya
anakan pada tanaman padi akibat sering terendamnya tanaman pada musim
280
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penghujan (MH). Namun keempat varietas unggul baru ini jauh lebih genjah dari
varietas Ciliwung yang telah terbiasa dikembangkan oleh para petani setempat.
De Datta (1981) melaporkan bahwa fase pertumbuhan vegetatif menyebabkan
terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase generatif dan pemasakan tidak
dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan.
Tampilan dari masing-masing varietas unggul baru terhadap komponen
hasil khususnya jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa, mampu menyaingi
varietas Ciliwung bahkan Inpari Sidenuk memiliki jumlah gabah isi yang lebih
tinggi. Namun produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 lebih
tinggi dari varietas lainnya. Hal ini diduga karena vaietas unggul baru ini
memiliki potensi hasil yang memang lebih tinggi dari varietas Ciliwung.
Abdullah, (2008) menyebutkan bahwa potensi hasil suatu tanaman padi sangat
ditentukan oleh komponen hasil yaitu : jumlah anakan produktif, gabah per
malai, persentase gabah isi dan bobot gabah bernas. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa varietas unggul baru Inpari Sidenuk dan Inpari 14 sangat cocok
untuk dikembangkan di wilayah kajian.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Varietas Inpari 14 dan Inpari Sidenuk sangat adaptif di wilayah kajian
dengan produktivitas 9,13 ton gabah kering panen/ha dan 8,75 ton gabah
kering panen/ha
2. Varietas unggul baru (Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk)
mampu menyaingi pertumbuhan dan hasil varietas Ciliwung yang telah
adaptif di wilayah kajian.
Saran
Direkomendasikan varietas unggul baru Inpari 14 dan Inpari Sidenuk
untuk dikembangkan di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah B., 2008. Perakitan dan Pengembangan Varietas Padi Tipe Baru.
Inovasi Teknologi Padi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 67- 89
Anggoro U. Kasih, 2012. Sambutan Direktorat Jendral Tanaman Pangan.
Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012.
Badan Litbang Pertanian. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Inbrida
Padi Sawah, Inbrida Padi Gogo, Inbrida Padi Rawa dan Hibrida Padi.
Kementerian Pertanian
De Datta, S. K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. John Wiley
and Sons Inc. New York. 148p.
Manurung, S.O dan M. Ismuadji, 1998. Morfologi dan Fisiologi Padi. In Padi
(Buku 1) eds. M. Ismunadji, Soetjipto Partoharjono, Mahyuddin Syam dan
281
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adi Widjono. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor. Hal 55-102
Suswono, 2012. Sambutan Menteri Pertanian Indonesia. Melalui
http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012
Suwitra IK. Dan Maskar. 2006. Penampilan Varietas Unggul Padi Sawah di
Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggla. Prosiding Seminar Nasional.
Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Badan Litbang
Pertanian. ISBN 978-979-985-77-1-2. Hal 251-255
Syamsyah G., Herawati, Saidah, Caya dan Soeharsono. 2013. Model
Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) di
Sulawesi Tengah. Laporan Akhir Tahun. BPTP Sulawesi Tengah. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Yosida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research
Institute, Los Banos, Fhilippina. 269 hal
282
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perubahan Morfologi Bibit Rosella (Hibiscus sabdariffa L)
dengan Pemberian Pupuk Kandang pada Tanah Ultisol
Morphological Changes in Roselle’s Breeding (Hibiscus sabdariffa L)
With The Provision of Manure on Ultisol Soil
Gribaldi* dan Nurlaili
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Baturaja, Jl.
Ratu Penghulu No. 02301 Karang Sari Baturaja 32115, Sumatera Selatan.
*)
Penulis untuk korespondensi: Hp./Faks. 08127133718/(0735)
321822 email: gribaldi64@yahoo.co.id.
ABSTRACT
Roeselle plant (Hibiscus sabdariffa L.) are now widely cultivated, so that
the need of roselle’s seed are increasing. Growing media largely determines the
growth of seedlings, the use of Ultisol soil as growing media showed lower
seedling growth. The efforts to overcome this can be done with the addition of
manure. This study aims to determine the morphological changes of roselle
seeds with the provision of manure on Ultisol soil in Polybag. This study used a
completely nonfactorial randomized design with four treatments and five
replications. The treatment under study consists of: P0 = without manure, P1 =
cow manure, P2 = goat manure, and P3 = chicken manure. The result of this
study showed the provision of manure on the planting medium affects the
growth of roselle seeds in Polybag. The best seedling growth was obtained in
growing media with the provision of chicken manure.
Keywords: Manure, roselle and ultisol soil
Abstrak
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) saat ini sudah banyak
dibudidayakan, sehingga kebutuhan akan bibit rosella semakin meningkat.
Media tanam sangat menentukan pertumbuhan bibit, pemanfaatan tanah ultisol
sebagai media tanam menunjukkan pertumbuhan bibit yang rendah. Upaya untuk
mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan penambahan pupuk kandang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit rosella
dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap nonfaktorial dengan empat perlakuan dan
lima ulangan. Perlakuan yang diteliti terdiri atas: P0 = tanpa pupuk kandang, P1
= pupuk kandang sapi, P2 = kandang kambing, dan P3 = pupuk kandang ayam.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk kandang pada media tanam
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit rosella di polybag. Pertumbuhan bibit
terbaik diperoleh pada media tanam yang diberi pupuk kandang ayam.
Kata kunci: Pupuk kandang,rosella, dan tanah ultisol
283
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) selain mempunyai nilai ekonomis
juga dapat bermanfaat bagi kesehatan yaitu menghasilkan berbagai jenis obat-
obatan. Daun atau kelopak bunga yang direbus berhasiat sebagai hypotensive
(menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan darah), meningkatkan gairah
(aprodisiak), melancarkan pencernaan (degistif) dan menetralisir asam lambung
(demulcent)(Titistyas, 2009). Rosella dapat tumbuh optimal di daerah dengan
ketinggian kurang dari 600 m dpl, dengan suhu rata-rata bulanan 24-32 0
C. Curah
hujan rata rata yang dibutuhkan rosella 140-270 mm per bulan dengan kelembaban
udara di atas 70%. Tanaman rosella ini merupakan tanaman berhari pendek yang
dapat tumbuh optimal pada tanah dengan kemasaman (pH) 5,5-7. Rosella toleran
terhadap tanah masam seperti tanah Ultisol (Mardiah, 2009).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di
Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi
(4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Subagyo
et al., 2004). Kelemahan- kelemahan yang menonjol pada Ultisol adalah pH
rendah, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan basa rendah, kandungan unsur
hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg sedikit dan tingkat Al-dd yang tinggi,
mengakibatkan tidak tersedianya unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan
tanaman (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah satu upaya untuk mengatasi
kelemahan ini dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang.
Pupuk kandang merupakan salah satu pupuk yang banyak mengandung
unsur nitrogen, terutama pupuk kandang ayam. Pupuk kandang ayam secara
umum mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara
seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi dan
kambing. (Wulandari, 2011). Menurut Musnawar (2002), pupuk kandang
mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
pertumbuhannya, disamping mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen
(N), Fosfor (P) dan Kalium (K), pupuk kandang pun mengandung unsur mikro
seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S), unsur Fosfor dalam
pupuk kandang sebagian berasal dari kotoran padat, sedangkan Nitrogen dan
Kalium berasal dari kotoran cair. Selanjutnya Prasetyo dan Suriadikarta (2006)
menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah, dan meningkatkan pH tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit
rosella dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan
Pebruari 2014 di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Baturaja.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang disusun secara non faktorial dengan 4 perlakuan dan 5
ulangan, tiap unit percobaan terdapat satu bibit tanaman. Perlakuan yang diteliti
284
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
terdiri atas: P0 = Tanpa pupuk kandang, P1 = Pupuk kandang sapi, P2 = kandang
Kambing, dan P3 = Pupuk kandang ayam.
Tanah Ultisol yang telah dikeringkan kemudian ditumbuk dan
dihaluskan, selanjutnya dimasukkan ke media persemaian sebanyak 15 kg,
sedangkan media untuk penanaman sebanyak 3 kg untuk setiap polybag. Dosis
pupuk NPK yang digunakan 30 gr/tanaman/polybag, sedangkan komposisi
perbandingan tanah dengan pupuk kandang 2:1. Benih sebelum disemaikan
terlebih dahulu direndam selama 24 jam, setelah itu ditanam kedalam media
persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit telah berumur 30 hari
dipersemaian dengan cara membuat lubang pada media tanam yang akan
ditanami dan untuk masing-masing polybag ditanam satu tanaman rosella.
Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman untuk mempertahankan kelembaban
tanah dan pengendalian hama, penyakit dan gulma selama penelitian.
Pengamatan karakter agronomi meliputi: Tinggi Tanaman (cm), Jumlah
Daun (helai), Berat Kering Tanaman (g), Berat Kering Akar (g), Berat Kering
Tajuk (g), Ratio akar - tajuk (g). Analisis data menggunakan sidik ragam dan
dilakukan uji lanjutan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%.
HASIL
Hasil analisis keragaman pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan
berbagai jenis pupuk kandang berpengaruh nyata untuk setiap peubah yang
diamati kecuali pada jumlah daun dan rasio akar tajuk.
Tabel 1. Hasil analisis keragaman pengaruh perlakuan berbagai jenis pupuk
kandang terhadap peubah yang diamati
No Peubah yang diamati Pengaruh Perlakuan
1 Tinggi tanaman (cm) *
2 Jumlah Daun (helai) ns
3 Berat Kering Tanaman (g) *
4 Berat kering tajuk (g) *
5 Berat Kering Akar (g) *
6 Rasio akar - tajuk ns
Keterangan: * = berpengaruh nyata
ns = berpengaruh tidak nyata
Hasil analisis keragaman menunjukkan pemberian pupuk kandang
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda
nyata dengan perlakukan lainnya dan memiliki tinggi tanaman tertinggi
dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 54,7 cm (Gambar 1).
285
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 1. Tinggi tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang
pada tanah ultisol di polybag
Pemberian pupuk kandang terhadap jumlah daun berpengaruh tidak nyata ,
namun secara tabulasi perlakukan pemberian pupuk kotoran ayam (P3) cenderung
lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 12 helai (Gambar 2).
Gambar 2. Jumlah daun akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang
pada tanah ultisol di polybag
Berat kering tanaman dengan pemberian pupuk kandang berpengaruh
nyata, sedangkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian
pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan
berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat kerin g tanaman
tertinggi, yaitu sebesar 2,54 g (Gambar 3).
286
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 3. Berat kering tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk
kandang pada tanah ultisol di polybag
Berat kering tajuk menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh
nyata, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian
pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan
berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat k ering tajuk
tertinggi, yaitu sebesar 1,54 g (Gambar 4).
Gambar 4. Berat kering tajuk tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis
pupuk kandang pada tanah Ultisol di Polybag
Selanjutnya untuk berat kering akar menunjukkan pemberian pupuk
kandang berpengaruh nyata terhadap berat kering akar tanaman. Has il Uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ay am (P3)
berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan
perlakuan P2 dan me miliki berat kering akar tertinggi, yaitu sebesar 1,0 g
(Gambar 5).
287
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 5. Berat kering akar tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis
pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag
Rasio akar tajuk dengan pemberian pupuk kandang berpeng aruh tidak
nyata, namun secara tabulasi perlakukan tanpa pemberian pupuk ka ndang (P0)
cenderung lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 0,47
(Gambar 6).
Gambar 6. Rasio akar tajuk akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang
pada tanah ultisol di polybag
PEMBAHASAN
Pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan bibit
rosella, hal ini dapat dilihat da ri perubahan tinggi tanaman, berat kering
tanaman, berat kering tajuk dan berat kering akar.
Perlakuan pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam menghasilkan
pertumbuhan terbaik p ada bibit rosella dibanding dengan pemberian pupuk
kandang sapi maupun pupuk kandang kambing. Hal ini di duga pupuk kotoran
288
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ayam lebih cepat terdekomposisi sehingga ketersediaannya lebih cepat dan
mudah terserap oleh akar untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu kandungan
unsur hara yang lebih tinggi terutama hara makro yang terdapat pada pupuk
kandang ayam, dapat menyebabkan meningkatnya pertumbuhan tanaman karena
ketersediaan hara yang cukup dapat menstimulasi proses metabolisma yang lebih
baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wulandari (2011) yang menyatakan
bahwa pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan dalam
kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi
dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing. Lebih lanjut Hardjowigeno
(2003) menyebutkan bahwa pupuk kandang ayam atau unggas memiliki
kandungan unsur hara yang lebih besar dari pada jenis ternak lainnya, yaitu N
1,7%, P2O5 1,9%, dan K2O 1,5%.
Rasio akar tajuk berpengaruh tidak nyata dengan pemberian pupuk
kandang, namun kecenderungan nilai rasio akar tajuk tertinggi diperoleh pada
perlakukan tanpa pemberian pupuk kandang. Hal ini di duga pertumbuhan akar
yang tinggi pada perlakukan ini sebagai upaya tanaman agar dapat menyerap air
dan unsur hara lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan proses metabolima
tanaman. Perlakuan media tanpa pupuk kandang yaitu hanya tanah Ultisol saja,
dimana tanah ini kapasitas untuk mengikat air rendah sehingga ketersediaan air
berkurang dan mendorong akar untuk tumbuh dan berkembang mencari sumber
air yang dapat diserapnya sebaga upaya untuk memenuhi kebutuhan proses
metabolismanya. Menurut Sulistyaningsih et al. (2005) menyatakan rasio akar
tajuk merupakan karakter yang dapat digunakan sebagai petunjuk keadaan air
pada lingkungan tanaman apakah kelebihan atau kekurangan. Kondisi
kekurangan air lebih mendorong pertumbuhan akar dibandingkan pertumbuhan
tajuk.
KESIMPULAN
Pemberian pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit
rosella. Pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam merupakan pupuk
kandang terbaik untuk pertumbuhan bibit rosella.
DAFTAR PUSTAKA
Harjowigeno. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Ayam Terhadap
pertumbuhan dan Produksi Biomass. Skripsi Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasi.
Mardiah. 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosella Si Merah Segudang
Manfaat.. Agromedia Pustaka. Jakarta
Musnawar. 2002, Kesuburan dan pemupukan tanah pertanian. Pustaka
Buana. Bandung. 180 hal
Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan
Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006: 39-46 Subagyo, H.,
N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor. Hal 21−66
289
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sulistyaningsih, E., B. Kurniasih dan E. Kurniasih. 2005. Pertumbuhan dan hasil
caisin pada berbagai warna sungkup plastik. Ilmu Pertanian 12(1):65-76.
Titistyas, A. G. 2009. Pengaruh pemangkasan dengan jumlah cabang berbeda
terhadap pertumbuhan vegetative dan generative rosella (Hibiscus
sabdariffa L.). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/44908.
[Diakses 14 Juni 2013].
Wulandari. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Pupuk Kandang Ayam
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rosella ( Hibiscus sabdariffa
L) di Tanah Ultisol [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas Padang. Tidak
dipublikasi.
290
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Verifikasi Ketahanan Galur-galur Padi Green Super Rice
terhadap Hawar Daun Bakteri
Verification of Resistance of Green Super Rice Lines against to
Bacterial Leaf Blight
Nofi A Rokhmah1*
), Untung Susanto2
, Triny S Kadir2
, dan Agus
Suprihatin3 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
2
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan
*) Penulis untuk korespondensi : Tel./Fax +622178839949/
+62217815020 email : nophie_anisa@yahoo.co.id
ABSTRACT
Green Super Rice ( GSR ) lines are rice lines that have resistant to pests /
main diseases properties, such as tolerant of low nutrients N and P
concentrations, tolerant of drought, relatively high productivity and high quality
in accordance with the consumens preferences. As an introduced rice lines,
information of the pest and disease resistance in Indonesia are needed for
breeding development. One of character of rice line that important to be clarify
is resistance to bacterial leaf blight (BLB ). The preliminary screening on BLB
resistance of GSR were already done in 2011. And then, the resistance of GSR
line againts to BLB dominant in Indonesia, in particular phatotype III, IV, and
VIII were verified in this study. The experiments were conducted in the rainy
season of 2012 at Experimental Garden of Indonesian Center for Rice Research
Institute Sukamandi. Totally 15 lines were used and arranged in a randomized
block design. Ciherang, Conde and Angke varieties were used as controls.
Inoculation of BLB (phatotype III , IV and VIII) into GSR were conducted by
using cutting method. The results showed Conde varieties as a control and P35
lines are resistant (score 1) to phatotype III. IR88611-B-5 was GSR line which
had sustained resistance against pathotype IV.
Keywords : rice, green super rice, resistance, bacterial leaf blight
ABSTRAK
Galur padi Green Super Rice (GSR) merupakan galur yang memiliki sifat
tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan P
yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif tinggi
dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen. Sebagai galur introduksi
dibutuhkan informasi ketahanan terhadap hama dan penyakit utama di Indonesia.
Salah satunya adalah ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB).
Pengujian awal galur padi GSR terhadap HDB sudah dilakukan tahun 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk menverifikasi galur padi GSR terhadap HDB dominan
di Indonesia, khususnya patotype III, IV, dan VIII. Penelitian dilaksanakan di
musim hujan tahun 2012 di KP Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman padi.
Genotip yang digunakan adalah 15 galur GSR yang ditata dalam
291
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
rancangan acak kelompok. Galur padi Ciherang, Conde dan Angke sebagai
kontrol yang diulang di tiap bloknya. Inokulasi isolat HDB patotipe III, IV dan
VIII terhadap materi penelitian dilakukan menggunakan metode pengguntingan
(clipping). Hasil percobaan menunjukkan galur P35 dan varietas Conde sebagai
kontrol menunjukkan reaksi tahan (skor 1) terhadap patotype III. Galur yang
memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV adalah IR88611-B-5
dengan skor 3 (agak tahan).
Kata Kunci: padi, green super rice, ketahanan, hawar daun bakteri.
PENDAHULUAN
Galur padi green super rice (GSR) merupakan galur–galur padi hasil
rakitan dari pemulia padi asal China yang bekerja sama dengan IRRI. Perakitan
galur padi GSR ditujukan untuk menghasilkan galur padi yang memiliki sifat
tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan
P yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif
tinggi dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen (Zhang, 2007).
GSR sebagai galur introduksi belum tentu memiliki daya adaptasi yang
luas terhadap kondisi pertanian di Indonesia. Sehingga diperlukan pengujian
terhadap galur GSR untuk mendapatkan informasi ketahanan terhadap hama dan
penyakit di Indonesia. Hama utama yang banyak menyerang tanaman padi
adalah tikus, wereng batang coklat, dan hama penggerek batang. Sedangkan
jenis-jenis penyakit padi yang berkembang di Indonesia diantaranya adalah virus
tungro, blast dan hawar daun bakteri (Sudir, 2005). Hawar daun bakteri adalah
salah satu penyakit padi yang mempengaruhi produksi hasil dan merusak
tanaman (Mew and Nelson, 1994)
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) disebabkan bakteri Xanthomonas
oryzae pv. Oryzae dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan
sampai panen (Triny et al, 2009b). HDB merupakan penyakit utama padi di
Indonesia, terutama tanaman padi sawah (Hifni dan Kardin, 1993). Ada dua
macam gejala penyakit HDB. Gejala yang muncul pada saat tanaman berumur
kurang dari 30 hari setelah tanam, yaitu pada persemaian atau tanaman yang
baru dipindah ke lapang, disebut kresek. Gejala yang timbul pada fase anakan
sampai pemasakan disebut hawar (blight) (Triny, 2009a). Menurut Prasetiyono
(2007), pada kondisi serangan HDB yang berat dapat menyebabkan kehilangan
hasil hingga 20%. Selain itu, serangan HDB juga dapat menurunkan mutu beras
karena pengisian biji tidak sempurna.
Berdasarkan virulensinya terhadap satu set varietas padi diferensial yang
mengandung gen ketahanan HDB yang berbeda (varietas diferensial Jepang,
Indonesia, dan IRRI) strain Xoo Indonesia dikelompokkan dalam ras (patotipe)
(Triny et al, 2009b). Hifni dan Kardin (1998) menjelaskan, patotipe III
mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia. Selain itu, patotipe IV
dan VIII juga banyak berkembang di daerah sentra produksi padi (Triny, 2009a)
Pengujian/skrining ketahanan galur padi GSR terhadap HDB diperlukan
untuk mengetahui karakter ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri yang
dimiliki oleh galur tersebut. Pada penelitian pendahuluan telah dilakukan
pengujian ketahanan galur Green Super Rice terhadap hawar daun bakteri.
Sebanyak 80 galur GSR diinokulasi dengan isolat bakteri HDB strain III, IV dan
292
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
VIII. Hasil penelitian menunjukkan lima galur tahan (skor 1) terhadap patotype
III, yaitu IR 88 611 IR-B-5, LH 1, ZHONGZU 14, BD 007, dan the ZX 117.
Tujuh galur GSR menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap inokulasi
HDB pathotype IV, galur tersebut adalah IR88611-B-5, LH1, BD 007, CAU 1,
ZX 117, dan IR83142-B21-B. Sedangkan skrining terhadap HDB patotype VIII
hanya menghasilkan satu galur yang menunjukkan rekasi tahan (skor 1) yaitu
BD 007 (Rokhmah et al, 2013).
Verifikasi ketahanan galur GSR perlu dilakukan untuk mengetahui
konsistensi karakter ketahanan yg dimiliki oleh galur tersebut. Karena Wahyudi
et al (2011) menyatakan, HDB memiliki kemampuan untuk membentuk strain
baru yang lebih virulen. Selain itu, fenomena ketahanan tanaman dewasa, mutasi
dan karakter heterogenitas alamiah populasi mikroorganisame diperkirakan
sebagai factor yang mempengaruhi komposisi strain dengan stadium tumbuh
tanaman padi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk verifikasi galur
padi GSR terhadap penyakit hawar daun bakteri pathotipe lokal Indonesia yaitu
pathotipe III, IV dan VIII. Informasi yang diperoleh dari kegiatan verifikasi ini
dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan materi untuk program perakitan
varietas padi tahan hawar daun bakteri.
BAHAN DAN METODE
Galur Padi. Materi yang diuji dalam penelitian ini adalah 15 galur green
super rice (GSR). Tanaman yang digunakan sebagai kontrol yaitu 3 varietas padi
unggul baru dari Indonesia yang terdiri dari ; varietas Conde dan Angke sebagai
kontrol tahan, serta varietas Ciherang sebagai kontrol daya hasil.
Waktu dan Tempat Penelitian. Kegiatan pengujian ini dilakukan pada
musim hujan 2012 di KP Sukamandi. Penanaman dilakukan pada lahan dengan
luas plot 2 m x 5 m serta jarak tanam 25 cm x 25 cm serta menggunakan
rancangan acak kelompok. Selanjutnya tanaman dipelihara menurut standar
pemeliharaan tanaman padi.
Inokulasi Bakteri. Isolat-isolat yang diuji, diinokulasikan pada tanaman
padi dengan metode gunting pada saat pertanaman menjelang fase primordia.
Ujung-ujung daun padi dipotong sepanjang 10 cm dengan gunting inokulasi
berisi suspensi bakteri umur 48 jam dengan kepekatan 108
cfu. Inokulasi
dilakukan pada pagi hari atau menjelang sore hari supaya tanaman tidak
mendapatkan cekaman suhu yang terlalu tinggi. Pengamatan keparahan penyakit
dilakukan dengan cara mengukur panjang gejala pada 15 dan 30 hari sesudah
inokulasi (HSI). Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan
panjang daun. Reaksi ketahanan varietas dikelompokkan berdasarkan keparahan
penyakit pada pengamatan terakhir. Data keparahan penyakit pada masing-
masing galur yang di uji pada masing-masing isolat disajikan dalam bentuk rata-
rata, yang dinyatakan dalam satuan persen. Reaksi masing-masing galur
diklasifikasikan ke dalam tahan (T), jika keparahan 11% dan rentan (R) jika
keparahan 11% . Penyakit diamati setiap 2 minggu dimulai pada 2 minggu
setelah inokulasi sampai 2 minggu sebelum panen berdasar Standard Evaluation
System (IRRI, 1996) menggunakan skala keparahan 0, 1, 3, 5, 7, dan 9 (Tabel 1).
293
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Skoring Tingkat Ketahanan terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri X.
oryzae pv. Oryzae (IRRI, 1996)
Gejala Serangan
0 Tidak ada gejala
1 keparahan 1-6%
3 keparahan >6 – 12%
5 keparahan >12 – 25%
7 keparahan > 25-50%.
9 keparahan > 50-100%.
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan pada percobaan verifikasi ketahanan galur
padi GSR menunjukkan rata-rata tiga ulangan galur memperlihatkan reaksi yang
agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe III setara dengan kontrolnya yaitu
Ciherang dan Angke. Hanya P35 yang menunjukkan reaksi tahan, sama dengan
varietas kontrolnya yaitu Conde (skor 1). Rata-rata galur GSR memperlihatkan
reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan (skor 7) terhadap inokulasi bakteri
HDB patotipe IV. Dua galur GSR yaitu P35 dan IR 88611-B-5 cenderung agak
tahan (skor 3). Sedangkan pengamatan terhadap sampel yang diinokulasi dengan
isolat HDB patotipe VIII menunjukkan reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan
(skor 7). Hanya galur P35 dan IR 88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan
(skor 3). Demikian juga dengan varietas kontrolnya, yaitu varietas Conde
memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap isolat HDB strain VIII.
Tabel 2. Tingkat ketahanan Galur GSR terhadap HDB, MT 1 2012
KP Sukamandi
No Genotipe Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
1 IR64 G 8569-1-2 3 7 5
2 926 3 5 5
3 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1 3 5 5
4 JH 15 1-1-1 3 5 5
5 P 35 1 3 3
6 08 FAN 1 3 7 5
7 FFZ 3 7 5
8 HEXI 41 3 7 7
9 HHZ 5-SAL10-DT2-DT1 3 7 7
10 ZX 115 3 7 5
11 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 3 5 5
12 923 3 7 7
13 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 3 7 7
14 IR 88611-B-5 3 3 3
15 ZX 117 3 7 5
16 Ciherang 3 7 7
17 Conde 1 3 3
18 Angke 3 5 5
294
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Kegiatan verifikasi. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
ketahanan yang berkelanjutan (durable resistance) dari galur padi GSR. Namun
perubahan reaksi ketahanan terhadap HDB ditunjukkan oleh beberapa galur GSR
yang diujikan. Galur yang menunjukan reaksi ketahanan yang berbeda
diantaranya adalah ZX 117. Jika pada pengujian awal ZX 117 terdeteksi tahan
(skor 1) terhadap patotipe III dan agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe IV.
Maka pada verifikasi ini ZX 117 agak tahan (skor 3) terhadap patotipe III dan
rentan (skor 7) terhadap pathotipe IV. Galur IR 88611-B-5 menunjukkan reaksi
yang sama dengan pada uji pendahuluan dan verifikasi. Pada pengujian awal
galur IR88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap patotipe
IV, dan pada kegiatan verifikasi juga menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3).
Perubahan ketahanan galur padi GSR yang paling besar terhadap
pengujian patotipe IV. Menurut Triny et al (2009b), patotipe IV lebih virulen
dibandingkan dengan pathotipe III dan VIII. Sehingga beberapa galur agak tahan
di pengujian awal, namun menjadi agak rentan atau rentan di pengujian lanjutan.
Ketahanan suatu varietas atau galur terhadap HDB merupakan ketahanan yang
berdasarkan hipotesis gen ke gen, sehingga satu gen ketahanan hanya dapat
berfungsi mematahkan virulensi dari gen yang spesifik (Hifni dan Kardin, 1993).
Hasil penelitian Lina dan Silitonga (2011) menyebutkan, bakteri patogen
memiliki perilaku yang spesifik dalam menginvasi tanaman inangnya. Satu jenis
bakteri dapat menginfeksi dan bermultiplikasi hanya dengan inang tertentu. Jika
melihat penurunan ketahanan galur padi GSR lain, maka diduga tidak semua
galur GSR yang diujikan memiliki ketahanan berkelanjutan. Hanya galur
IR88611-B-5 yang memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV. Hal
ini terlihat dari reaksi yang dihasilkan oleh pengujian awal dan verifikasinya.
Selain itu, perubahan virulensi patotipe yang diujikan juga berpengaruh terhadap
reaksi ketahanan yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian Wahyudi et al (2011),
patogen memiliki kemampuan untuk membentuk strain baru yang lebih virulen.
Hal lain yang bisa menyebabkan perubahan ketahanan diduga diakibatkan oleh
pengaruh lingkungan. Merliyuanti (2013) juga menjelaskan bahwa curah hujan
dapat mempengaruhi sebaran penyakit HDB. Semakin tinggi curah hujan akan
menyebabkan semakin banyak penyebaran penyakit HDB.
Selain ketahanan terhadap HDB, pada percobaan ini juga diamati karakter
agronomi dari galur GSR (tabel 3) sebagai data pendukung untuk informasi.
Beberapa karakter seperti umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah
anakan, seed set, bobot 1000 butir dan kadar air tidak berbeda nyata antara galur
yang diujikan dengan varietas kontrolnya. Menurut Zhang (2007) potensi hasil
yang dimiliki oleh galur GSR tinggi. Potensi hasil tertinggi dimiliki oleh HHZ 5-
Sal10-DT2-DT1 yaitu 6,59 ton/ha, sedangkan potensi hasil terendah dimiliki
oleh galur IR 88611-B-5 yaitu 3,75 ton/ha. Menurut Jianchang dan Zhang
(2010), terdapat masalah dalam pengisian gabah pada galur GSR. Hal ini
disebabkan karena waktu pembungaan yang lebih lama akan menghasilkan malai
yang kualitasnya rendah dibandingkan dengan yang berbunga lebih cepat.
Sehingga mengakibatkan hasil malai yang diperoleh lebih sedikit. Beberapa
galur yang mengalami hal ini, akan menghasilkan produksi yang lebih rendah.
295
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Karakter Agronomi Galur GSR, MT 1 2012 KP Sukamandi
Umur Umur Tinggi
Jumlah Jumlah Bobot
No Genotipe
Berbunga Panen Tanaman Seed Set
Hasil Kadar
(HSS) (HSS) (cm)
Anakan Malai
(%)
1000 btr
(gr) (ton/ha) Air (%)
1 IR64 G 8569-1-2 73 123 91 17 43 66,2 26,1 3,75 11,9
2 926 87 117 107,5 14 34 86,6 28,1 5,79 11,8
3 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1 83 113 95,7 14 50 46,1 23 5,43 12,03
4 JH 15 1-1-1 83 114 104,3 11 26 82,1 32,1 5,79 11,93
5 P 35 86 116 95,5 17 55 74 26,7 5,99 11,9
6 08 FAN 1 78 108 102,5 14 50 85,6 27,6 5,32 12,07
7 FFZ 81 111 90,4 16 46 67,5 22,8 5,94 11,83
8 HEXI 41 87 117 99,3 18 50 78,7 25,3 5,9 12,03
9 HHZ 5-SAL10-DT2- 87 113 100,6 15 42 67,6 25,6 5 12,03
DT1
10 ZX 115 85 115 92,4 18 53 76,4 24,9 5,72 11,8
11 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 83 113 88,8 19 53 77,9 24,5 6,59 11,93
12 923 85 115 93 16 43 64,1 25,6 4,48 11,93
13 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 87 117 95,6 14 37 78,6 23,2 5,55 11,93
14 IR 88611-B-5 80 110 98,7 11 33 78,2 24,5 4,63 12,03
15 ZX 117 87 117 93,7 17 57 77,4 25,7 5,38 12
16 Ciherang 86 116 94,9 17 55 70,7 26,1 5,8 12,1
17 Conde 87 117 94,2 19 52 73 25,9 5,51 11,9
18 Angke 83 113 84,1 20 58 84,6 24,4 5,8 12
296
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
1. Hasil verifikasi ketahanan galur padi GSR adalah galur P 35 yang
terverifikasi tahan (skor 1) terhadap patotipe III.
2. Galur-galur yang lain menunjukkan reaksi mulai dari agak tahan hingga
rentan terhadap patotipe III.
3. Hasil verifikasi galur padi GSR terhadap Patotipe IV dan VIII tidak ada yang
menunjukkan reaksi tahan (skor 1).
4. Ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV hanya dimiliki oleh galur
IR88611-B-5 yaitu agak tahan (skor 3).
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Tim Pemuliaan Tanaman dan Tim
Proteksi BB Padi yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hifni dan M Kardin, 1993. Penyakit hawar daun bakteri padi di Insonesia, hlm :
85-99. Di dalam Syam, H. Kasim & A. Mussaddad (ed). Risalah Seminar
Puslitbang Tanaman Pangan. April 1992-Maret 1993. Bogor: Pusat
Penelitian Tanaman Pangan.
Hifni, H.R. dan M Kardin. 1998. Pengelompokan Isolat Xanthomonas oryae pv.
Oryzae dengan menggunakan Galur Isogenik Padi IRRI. Hayati. Halaman
: 66 – 72
IRRI. 1996. Standard Evaluation System of Rice. IRRI. Los Banos, Philippines.
Lina H dan T. S. Silitonga. 2011. Seleksi Lapang Ketahanan Beberapa Varietas
Padi terhadap Infeksi Hawar Daun Bakteri Strain IV dan VIII. Buletin
Plasma Nutfah. Vol 17 No. 2. Hal : 80-87
Merliyuanti, T.S. 2013. Pemanfaatan Data Curah Hujan untuk Prediksi Sebaran
Penyakit Hawar Daun Bakteri Menggunakan Model SMCE (Spatial Multi
Criteria Evaluation), Studi Kasus : Tanaman Padi di Kabupaten
Karawang. http//:repository.ipb.ac.id
Mew and Nelson. 1994. Advances of research on bacterial blight rice
(Xanthomonas oryzae pv. Oryzae). Plant Genetic Bacteria : 25-36. Paris.
Prancis.
Prasetiyono, J. 2007. Dari demplot Code-Angke di desa Ciranjang, Kabupaten
Cianjur-Jawa Barat.Warta Biogen. Vol 3, No 1, April 2007. Bogor.
Rokhmah, N.A., Untung Susanto dan Triny S.K. 2013. Green Super Rice (GSR)
Lines Resistance to Bacterial Leaf Blight. Prosiding Seminar
Internasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sudir. 2005. Pengendalian Beberapa Penyakit Penting Padi yang disebabkan
oleh Jamur dan Bakteri. Makalah Loka Karya Pemuliaan Partisipatif dan
Hasil Penelitian Padi Tipe Baru. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Triny, S. K. 2009a. Menangkal HDB dengan Menggilir Varietas. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 31 (5): 1-3
297
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Triny, suryadi, Sudir dan M. Mahmud. 2009b. Penyakit Bakteri Padi dan Cara
Pengendaliannya. Dalam AA Darajat, Agus Setyono, AK Makarim, dan
Andi Hasanudin (ed). Padi inovasi Teknologi Produksi. BB Padi. Badan
Litbang Pertanian
Wahyudi AT, Siti Meliah dan AA Nawangsih. 2011. Xanthomonas oryzae pv
oryzae bakteri penyebab hawar daun bakteri pada padi : isolasi,
karakterisasi dan telaah mutagenesis dengan transposon. Makara sains.
Vol 15. No 1 : 89-96. April 2011.
Yang, Jianchang dan Jianhua Zhang. 2010. Grain-filling Problem in ‘Super’
Rice. Jurnal Experimental Botany, Vol 61. No 1, pp. 1-5.
Zhang Q. 2007. Genomic based strategies for the development of “green super
rice”. Rice Genetics V : Proceeding of the Fifth International Rice genetics
Symposium. (ed) DS Brar, DJ Mackill, Bill Hardi. IRRI Philipina
298
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengendalian Ulat Tritip dengan Menggunakan Insektisida
Berbahan Tumbuhan Kepayang pada Pertanaman Sawi di
Lahan Rawa Pasang Surut
M.Thamrin*)
, S.Asikin dan M. Willis
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel
*)
Penulis untuk korespondensi: Telp/Fax: +625114772534 /
+625114773034 Email: thamrintasrifin@gmail.com
ABSTRACT
Diamondback moth is the insect pests that many damaging vegetables in
several agro-ecosystem. It was reported that this very destructive pest of mustard
plants in tidal swamplands of Central Kalimantan with the intensity of damage
ranged 60%-85%. Kepayang is one of the plants that are potentially as an
bioinsecticide, because can kill some types of insect pests with mortality 65%-
90%. This study aims to determine the level of effectiveness kepayang plants to
control diamondback moth. The design used was a randomized block design
with five replications, whereas the treatment are (A) extract of kepayang, (B) a
combination of kepayang extract with synthetic insecticides, (C) synthetic
insecticides, and (D) without being controlled. The results showed that the level
of damage to mustard plants at the age of 4 weeks after planting for treatments
A, B, C and D respectively 10.3%, 10.0%, 20.0% and 80.0%, and respectively
with the results of each plot each 50.0 kg, 52.7 kg, 30.0 kg and 2.3 kg. It can be
concluded that the kepayang plants can be made as bioinsecticides for
controlling diamondback moth.
Keywords: Mustard plants, diamondback moth, bioinsecticide
ABSTRAK
Ulat tritip Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah hama
serangga yang banyak merusak tanaman sayuran di beberapa agroekosistem.
Dilaporkan bahwa hama ini sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan
rawa pasang surut Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 60-
85%. Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai
insektisida nabati, karena mampu membunuh beberapa jenis hama serangga dengan
mortalitas berkisar antara 65-90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
efektivitas kepayang terhadap ulat tritip. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan
perlakuan yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan (A) ekstrak
kulit batang kepayang, (B) kombinasi antara ekstrak kulit batang kepayang dengan
insektisida sintetik, (C) insektisida sintetik sebagai pembanding pertama, dan (D)
tanpa dikendalikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kerusakan sawi
pada umur 4 minggu setelah tanam untuk perlakuan A, B, C dan D masing-masing
10,3%, 10,0%, 20,0% dan 80,0% dengan hasil tiap
299
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petak masing-masing 50,0 kg, 52,7 kg, 30,0 kg dan 2,3 kg. Dengan demikian
tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati untuk
mengendalikan ulat tritip.
Kata kunci: tanaman sawi, ulat tritip, insektisida nabati
PENDAHULUAN
Telah banyak diketahui oleh masyarakat bahwa tanaman hortikultura
sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia, akan tetapi dalam usaha
peningkatan produktivitasnya tidak jarang mengalami hambatan sehingga tidak
mencapai target yang diharapkan. Salah satu hambatannya adalah serangan
hama dan penyakit. Organisme ini dapat menurunkan produktivitas baik
kuantitatif ataupun kualitatif. Maka untuk mengatasi hal ini, pestisida adalah
salah satu cara yang paling banyak digunakan.
Salah satu pestisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama
serangga adalah insektisida sintetik. Zat kimia ini pada awalnya sangat ampuh
digunakan untuk mengendalikan hama serangga karena sangat jelas hasilnya,
yaitu berkurangnya kerusakan tanaman dalam waktu yang relatif singkat,
sehingga barang beracun ini sangat laris di pasaran. Namun setelah beberapa
tahun berjalan, penggunaannya berkurang seiring dengan keampuhannya yang
juga berkurang. Ada sebagian petani yang masih menggunakannya dengan cara
meningkatkan dosisnya dan disemprot lebih sering, namun yang terjadi adalah
sebaliknya, populasi hama yang menyerang semakin meningkat karena
terjadinya reistensi dan resurjensi dari hama itu sendiri (Thamrin et al. 2007).
Peristiwa seperti yang diuraikan di atas sering terjadi di beberapa tempat,
bahkan di negara maju sekalipun. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
mendifinisikan kekebalan (resistensi) sebagai berkurangnya respons dari suatu
populasi organisme tertentu terhadap pestisida atau bahan pengendali lainnya
sebagai akibat dari aplikasinya, sedangkan IRAC (Insecticide Resistance Action
Committee) dan GCPF (Global Crop Protection Federation) sekarang CropLife
mendifinisikan sebagai berkurangnya sensitivitas suatu populasi hama terhadap
pestisida (sesuai anjuran) yang digunakan karena seleksi genetik yang
mengakibatkan penurunan efikasi (Djojosumarto, 2008).
Sebagai contoh adalah terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT pertama
kali dilaporkan pada tahun 1946 di Swedia, karena gagal mengendalikan lalat
rumah, kemudian dilaporkan juga kekebalan cendawan penyebab penyakit tanaman
terhadap fungisida tertentu yang diketahui setelahnya, sekitar 50 tahun yang lalu
bersamaan dengan diintroduksikannya fungisida-fungisida sistemik. Kegagalan
lainnya juga diketahui terjadinya kekebalan gulma terhadap herbisida dan tikus
terhadap rodentisida. Kejadian seperti ini nampaknya terulang kembali pada
beberapa tahun terakhir ini di beberapa daerah di Indonesia, diantaranya pernah
terjadi Kalimantan Tengah. Asikin dan Thamrin (2006) melaporkan bahwa ulat
tritip sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan rawa pasang surut
Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 60-85%, padahal sudah
dikendalikan dengan insektisida sintetik.
Penggunaan insektisida sintetik yang sangat luas tidak hanya mempengaruhi
kehidupan serangga tetapi juga sistem fauna dan flora, lingkungan fisik dan
kesehatan manusia. Insektisida ini juga memiliki sifat non spesifik
300
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
karena dapat membunuh organisme lain diantaranya adalah musuh alami yang
harus dipertahankan keberadaannya (Manuwoto 1999; Arinafril dan Muller
1999). Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam
pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu
dikembangkan adalah produk alam hayati yang pada umumnya merupakan
senyawa kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran
(Sastrodiharjo et al., 1992; Thamrin et al. 2007). Salah satunya adalah
insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau lebih dikenal sebagai
insektisda nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu
pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun
bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang
mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenoli.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada
yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono et al, 1994). Berbagai
jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid,
terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai
insektisida dan repelen. Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah
dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman
(Grainge dan Ahmed, 1987; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya terdapat paling
sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977).
Hasil penelitian di laborarotium Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, diketahui
beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati, yaitu lukut
(Patycerium bifurcatum), gelam (Melaleuca leucadendron), kalalayu (Eriogiosum
rubiginosum), lua (Ficus glomerata), kirinyu (Chromolaema odoratum), sarigading
(Nyctanthes arbor-tritis), jingah (Glutha rengas) dan kepayang (Pangium edule)
(Thamrin et al, 2007).
Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai
insektisida nabati, karena daya racunnya yang tinggi sehingga mampu membunuh
beberapa jenis hama serangga dengan mortalitas berkisar antara 65-90%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas ekstrak
tumbuhan kepayang terhadap ulat tritip di pertanaman sawi.
BAHAN DAN METODE
Rancangan percobaan dan perlakuan. Percobaan telah dilaksanakan di
desa Bungai Jaya, Kecamatan Basarang (Kabupaten Kapuas, Kalimatan Tengah)
pada musim kemarau. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan perlakuan
yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan insektisda berbahan
nabati dan sintetik serta kontrol atau pembanding (Tabel 1).
301
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Perlakuan penggunaan insektisida nabati dan sintetik serta
pembandingnya
Kode Perlakuan
A Pengendalian menggunakan ekstrak kulit batang kepayang
B Pengendalian menggunakan ekstrak kulit kepayang
dikombinasikan dengan insektisida sintetik (lamda sihalotrin)
C Pengendalian menggunakan insektisida sintetik saja (lamda
sihalotrin) (pembanding 1)
D Tidak dikendalikan (pembanding 2)
Tanam dan aplikasi perlakuan. Bibit sawi yang berumur satu minggu
ditanam pada masing-masing petak percobaan seluas 25 m2
dengan jarak tanam
20 cm x 10 cm. Jumlah petak percobaan seluruhnya sebanyak 20 petak, sehingga
luas areal percobaan kurang lebih 500 m2
. Pemberian pupuk nitrogen dilakukan
satu hari setelah tanam dengan takaran 90 kg N/ha, sedangkan dolomit diberikan
pada saat 15 hari sebelum tanam dengan takaran 1 ton/ha. Pengamatan dilakukan
setiap satu minggu terhadap intensitas kerusakan dan jumlah larva yang hidup,
sedangkan hasil (kg/petak) dilakukan pada saat panen.
Aplikasi perlakuan mulai dilakukan apabila intensitas kerusakan
mencapai 5%, dan aplikasi berikutnya apabila kerusakannya meningkat setiap
5%. Kerusakan yang mencapai 50% tidak lagi dilakukan aplikasi insektisida.
Untuk perlakuan kombinasi insektisida nabati dengan insektisida sintetik,
dilakukan secara berseling yang didahului oleh insektisida nabati.
HASIL
Data tingkat kerusakan sawi yang disebabkan oleh ulat tritip dan hasil
setiap petaknya untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2,
sedangkan data banyaknya larva yang hidup disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Daftar uji beda nilai tengah untuk intensitas kerusakan dan hasil sawi
Perlakuan
Intensitas kerusakan (%) Hasil
2 mst 3 mst 4 mst (kg/petak)
A 3.50a
8.33a
10.33a
50.00c
B 3.00a
8.67a
10.00a
52.67c
C 6.67a
20.17ab
20.17bc
30.00b
D 15.50b
37.17b
80.00d
2.33a
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05
302
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Daftar uji beda nilai tengah untuk banyak larva hidup
Perlakuan Banyak larva hidup/tanaman
2 mst 3 mst 4 mst
A 0.27a
0.33a
2.40a
B 0.20a
0.37a
3.33a
C 0.27a
0.33a
4.20ab
D 1.27b
0.53a
7.40b
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05
PEBAHASAN
Pengamatan pada saat tanaman berumur dua minggu, intensitas kerusakan
masih dibawah 10%, kecuali pada perlakuan pembanding (tanpa dikendalikan)
mencapai 15,5%. Kerusakan tanaman semakin meningkat pada pengamatan
berikutnya (pada saat tanaman berumur 3 dan 4 minggu), namun intensitas
kerusakan tanaman pada perlakuan A (ekstrak kepayang) masing-masing hanya 8,3
dan 10,3%, sedangkan pada perlakuan pembanding (D) masing-masing 37,2% dan
80,0% (Tabel 2). Tingginya intensitas kerusakan tanaman pada perlakuan C,
disebabkan meningkatnya populasi tritip karena pada saat tersebut banyak
ditemukan larva yang hidup, masing-masing 5,0 dan 7,4 larva/tanaman (Tabel 3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulat tritip berkembangbiak sangat sangat cepat
dan dapat bertelur 250 sampai 300 butir (Capinera 2012).
Intensitas kerusakan untuk perlakuan C (insektisida sintetik) pada saat
tanaman berumur 4 minggu cukup tinggi (20%), diduga bahwa kurang
efektifnya insektisida tersebut disebabkan terjadinya resistensi hama serangga
karena frekuensi penggunaan insektisida berbahan aktif lamda sihalotrin di
daerah ini sangat tinggi. Hal yang serupa juga terjadi di daerah Landasan Ulin
(Kota Banjarbaru, Kalsel), kerusakan sawi pada perlakuan pengendalian dengan
menggunakan lamda sihalotrin mencapai 60%. Hal ini disebabkan dosis dan
frekuensi penggunaan insektisida tersebut sangat tinggi yang menyebabkan
terjadinya resistensi hama (Samharinto dan Pramudi, 2007).
Berkembangnya suatu populasi serangga dari yang semula rentan menjadi
kurang rentan dan akhirnya kebal (resisten) terhadap insektisida merupakan proses
seleksi alam. Dalam hal ini individu-individu yang paling kuat atau dapat
menyesuaikan diri (tahan terhadap insektisida) akan tetap bertahan hidup,
sebaliknya individu yang tidak mampu bertahan hidup akan punah. Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida
antara lain genetik, biologi dan ekologi serangga dan operasional (jenis dan aplikasi
insektisida). Gen pembawa sifat resisten terhadap pestisida tertentu merupakan
sumber pertama terjadinya proses kekebalan, semakin banyak individu membawa
gen resisten, semakin cepat terjadinya resistensi pada populasi tersebut. Adanya
seleksi dari pestisida lain sebelumnya juga mempengaruhi proses berkembangnya
kekebalan. Perkembangbiakan serangga yang kebal terhadap insektisida biasanya
berlangsung lebih cepat dibandingkan populasi serangga yang rentan. Penggunaan
satu jenis insektisida secara terus-menerus cenderung mempercepat proses
terjadinya resistensi, sebaliknya penggunaan insektisida secara bergantian dengan
insektisida dari golongan kimia yang berbeda dan cara
303
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kerja yang berbeda akan menghambat proses terjadinya resistensi
(Djojosumarto, 2008).
Selain data intensitas kerusakan, ternyata data hasil sawi juga
berpengaruh terhadap perlakuan yang diberikan, data hasil sawi untuk perlakuan
A dan B masing-masing 50,0 dan 52,7 kg/petak, sedangkan perlakuan kontrol (C
dan D) masing-masing hanya 30,0 dan 2,3 kg (Tabel 1).
Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Agroresidu Pertanian, Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor, bahwa salah satu senyawa aktif yang
terdapat dalam tumbuhan kepayang adalah pyrethrin. Senyawa ini telah banyak
diteliti, antara lain dinyatakan bahwa pyrethrin bekerja sangat cepat
mengganggu jaringan saraf serangga sehingga dapat langsung membuat pingsan
serangga, tetapi aman terhadap manusia dan hewan, namun jika tercium
(inhalasi) oleh mamalia maka akan lebih meracun, karena proses inhalasi
menyediakan lebih banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah menuju
otak. Selain itu pyrethrin tidak bekerja secara sistemik namun merupakan racun
kontak yang bekerja cepat mempengaruhi sistem syaraf serangga sehingga
menimbulkan gejala kelumpuhan dan kematian (Worthing, 1987).
Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu,
sehingga pestisida ini aman terhadap lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh
sinar matahari dan kelembaban udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada
kondisi asam dan basa. Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak
boleh dicampur dengan kapur. George (1983) menyatakan bahwa daya racun
pyrethrin meningkat sejalan dengan semakin menurunnya temperatur. Zat ini
menyerang simpul-simpul elektrokimia syaraf yang merupakan suatu jaringan
penghubung antara organ tubuh (jaringan axon) seperti otot yang menerima
rangsangan dari luar maupun dari dalam. Pyrethrin pada mulanya mempengaruhi
sel syaraf dan akhirnya menggangu fungsi otot sehingga otot menjadi kejang-
kejang, akhirnya terjadi gejala paralisis yang diikuti dengan kematian. Namun
demikian, pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu serangga dapat pulih
kembali apabila jumlah pyrethrin masih di bawah ambang toleransi serangga.
Selain itu pyrethrin cepat terdegredasi di alam, khususnya apabila terkena sinar
matahari sehingga zat ini tidak persisten baik di lingkungan maupun pada bahan
makanan. Sifat khas ini mungkin akan menghambat terjadinya kasus resurgensi
dan resistensi serangga terhadap pyrethrin, serta mencegah terjadinya polusi
terhadap lingkungan
Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian
pohon kepayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat
digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga.
Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan karena
tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan.
Sedangkan Nunik et.al (1997), mengemukakan bahwa kepayang dapat juga
digunakan sebgai bahan pengawet ikan, diduga ekstrak kepayang atau bagian dari
buah kepayang tersebut mengeluarkan bau spesifik yang dapat mempengaruhi
syaraf lalat, sehingga lalat kurang menyukai ikannya. Selain itu ikan tidak terserang
mikroflora seperti Aspergillus niger, A.ochraceus, Mucor sp dan
Rhizupos sp.
304
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati
sehingga berpotensi mensubstitusi insektisida sintetik untuk mengendalikan
ulat tritip agar proses resistensi pada hama serangga dapat dihambat
2. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dalam areal yang luas agar hasilnya
lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas biokimia ekstrak nimba terhadap
perkembangan Tritip xylostella. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M.
Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E.
Karmawati (Ed). 381-385. Prosiding Seminar Nasional Peranan
Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2006. Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah
Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan
S.S. Antarlina (Ed). 73-86. Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya
dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas
dan pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati. p. 203-207.
Capinera, J.L. 2012. Diamondback Moth, Plutella xylostella (Linnaeus) (Insecta:
Lepidoptera: lutellidae). University of Florida. 4p.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan aplikasinya. PT. Agromedia Pustaka. 340
hal.
George, W.W. 1983. Modes of action for insecticides. Pesticides: Theory
and Application. The British Crop Protection Council. pp. 145-148.
Grainge, M and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control
Properties. New York: J. Wiley. 470 pp.
Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis.
Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi.,
D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 1-12. Prosiding Seminar
Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah
Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang
Bogor.
305
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Mudjiono, A., Suyanto dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati,
mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutela xylostella. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
p. 86-90.
Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak
Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada
Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan
Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor.
Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton:
Lewis Publishers.
Samharinto., S dan Pramudi, I. 2007. Eksplorasi dan efikasi tumbuhan rawa
yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Laporan Hasil Penelitian
Hibah Fundamental. Fak. Pertanian UNLAM Banjarbaru.
Sastrodiharjo, S., I. Achmad., T. Kusumaningtyas dan S. Manaf. 1992.
Penggunaan produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU. Ilmu
Hayati ITB. 29p.
Schmutterer, H. 1995. The neem tree, Azadirachta indica A. Juss. And other
Meliaceous plants: Source of Unique Nadtural Products for Integrated Pest
Management, Medicine, Industry and Other Pusposes. Weinham: VCH.
Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis dan A. Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora
lahan rawa sebagai pestisida nabati. 31-48. Dalam Supriyo, A., M. Noor,
I. Ar-Riza dan D. Nazemi (Ed) Keanekaragaman Flora dan Buah-buah
Eksotik Lahan rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Thamrin., M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk
pengendalian ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan
sayuran di lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan.
Kerjasama antara Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
lahan Pertanian dengan Lembaga Riset dan Teknologi. 14p.
Wardhana, A., G. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kepayang
(Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Tritip
xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru.
Worthing, C.R. 1987. The Pesticide Manual, a World Compendium. The British
Crop Protection Council pp. 726-730.
306
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Optimalisasi Peran Mitra Salimah dalam Pengembangan Model
Kawasan Rumah Pangan Lestari di Provinsi Jambi
The Partnership Optimization of Salimah for Developing of
Sustainable Food House Model in Jambi Province
Masito, Desy Novriati Dan Syafri Edi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal V (Lima) Kota Baru Jambi
seatho_katsuya@yahoo.co.id
ABSTRACT
Ministry of Agriculture make an effort the development and dissemination
of implementation Region Sustainable Food House Model ( m - KRPL ) activities
with the concept of partnership . M - KRPL dissemination activities in Jambi can be
realized by optimizing the role of partners in the implementation of activities .
Based on the need for cooperation with partners in developing m - KRPL , then
BPTP Jambi in cooperation with one of the mass organizations that Salimah
(Muslimah Brotherhood) to undertake the development of m - KRPL in Jambi
Province in 2013. Activity Partner m - KRPL Salimah held in Kenali Asam Bawah
Village Kotabaru District of the city of Jambi. The aim of the partnership is to
optimize the implementation of development of KRPL. Plants are cultivated : a)
vegetable leaf crops , b) vegetable crops of fruit, c) crop-producing plants and d)
medicine crops. Cultivation is done on the pile, polybag, rack storey, paste and
hanging. From the results obtained that the number of RPL activity early are 30
families and at the end of the activity developed into 58 families or an increase
93,33 % . PPH beginning and end of the activity of 56,4 to 73,1 or an increase of
29,61 %. Dissemination and increase the number of RPL due to the role of
socialization and mentoring teams and their m - KRPL optimal role of Salimah
partners . Another positive impact of group participation in various competitions
including utilization yard race in the city and district level, women's race caring
environment in Jambi City.
Keywords : Partner Salimah, optimization, development , m – KRPL
ABSTRAK
Kementerian Pertanian mengupayakan pengembangan dan penyebarluasan
implementasi kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (m-KRPL) dengan
konsep kemitraan. Penyebarluasan kegiatan m-KRPL di Provinsi Jambi dapat
diwujudkan dengan mengoptimalkan peran mitra dalam pelaksanaan kegiatan.
Bertitik tolak dari perlunya kerjasama dengan mitra dalam mengembangkan m-
KRPL, maka BPTP Jambi bekerjasama dengan salah satu Organisasi Massa yaitu
Salimah (Persaudaraan Muslimah) dalam melakukan pengembangan m-KRPL di
Provinsi Jambi pada Tahun 2013. Kegiatan m-KRPL Mitra Salimah
307
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dilaksanakan di Kelurahan Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Kota
Jambi. Tujuan kemitraan adalah mengoptimalisasikan implementasi
pengembangan KRPL. Tanaman yang dibudidayakan: a) tanaman sayuran
penghasil daun, b) tanaman sayuran penghasil buah c) tanaman penghasil crop
dan d) tanaman obat keluarga. Budidaya tanaman dilakukan pada bedengan,
polybag, rak-rak bertingkat, tempel dan gantung. Dari hasil kegiatan diperoleh
bahwa jumlah RPL awal adalah 30 KK dan pada akhir kegiatan berkembang
menjadi 58 KK atau terjadi peningkatan 93,33%. PPH awal sebesar 56,4 dan
diakhir kegiatan menjadi 73,1 atau terjadi peningkatan sebesar 29,61%.
Penyebarluasan dan penambahan jumlah RPL disebabkan peran sosialisasi dan
pendampingan tim m-KRPL dan adanya peran yang optimal dari mitra Salimah.
Dampak positif lainnya adalah keikutsertaan kelompok dalam berbagai
perlombaan diantaranya lomba Pemanfaatan Pekarangan tingkat kecamatan dan
kota dan lomba perempuan peduli Lingkungan tingkat Kota Jambi.
Kata Kunci : Mitra Salimah, optimalisasi, pengembangan, m-KRPL
PENDAHULUAN
Lahirnya program m-KRPL dilatarbelakangi oleh upaya untuk
mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan yang masih mengalami banyak
tantangan. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah
tangga merupakan salah satu alternatif kebijakan dalam mewujudkan ketahanan
dan kemandirian pangan (Saptana. 2012). Prinsip pengembangan KRPL adalah
mendukung upaya: (1) Ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, (2)
Diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (3) Konservasi tanaman
pangan untuk masa depan, dan (4) Peningkatan kesejahteraan keluarga
(Kementan, 2011). Pengembangan KRPL diimplementasikan melalui
pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun di perdesaan. Pemanfaatan
pekarangan dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran,
buah-buahan, tanaman pangan, tanaman obat keluarga (toga), budidaya ikan,
dan ternak. Kelestarian pemanfaatan pekarangan menuntut adanya : (1)
Infrastruktur, (2) Kelembagaan dan partisipasi aktif local champion, (3)
Ketersediaan benih/bibit melalui pengembangan Kebun Bibit Desa (KBD) atau
Kebun Bibit Kelurahan (KBK), yang dapat mensuplai kebutuhan benih/bibit
anggota masyarakat yang menerapkannya secara berkelanjutan, dan (4)
Dukungan pemerintah daerah (Badan Litbang Pertanian, 2011).
Pengembangan m-KRPL utamanya untuk meningkatkan ketahanan
pangan keluarga dan antisipasi pada saat harga pangan melonjak tinggi
(Novitasari, 2011). Sasaran pola penataan pekarangan melalui penerapan
budidaya berbagai komoditas diharapkan dapat meningkatkan nilai Pola Pangan
Harapan (PPH). Perbaikan ekonomi keluarga dapat diciptakan atau ditingkatkan
melalui pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL). Secara umum, penerapan
m-KRPL lebih banyak menyentuh peran perempuan atau ibu rumah tangga
dalam pengelolaannya, maka program ini diharapkan relatif mudah dan cepat
308
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2
Makalah budidaya-dan-farming-system-2

More Related Content

What's hot

Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
NurdinUng
 
Ekotan 15
Ekotan 15Ekotan 15
Ekotan 15
Andrew Hutabarat
 
Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik
Sifat  Kimia  Entisol Pada Sistem  Pertanian OrganikSifat  Kimia  Entisol Pada Sistem  Pertanian Organik
Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian OrganikMateri Kuliah Online
 
Norhasanah 1 5
Norhasanah 1 5Norhasanah 1 5
Norhasanah 1 5
Gusti Rusmayadi
 
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surutTeknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
dianaeureka1
 
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
NurdinUng
 
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
NurdinUng
 
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosisIr. Zakaria, M.M
 
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...f' yagami
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
NurdinUng
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
Asramid Yasin
 
Afiah49 59-baik
Afiah49 59-baikAfiah49 59-baik
Afiah49 59-baik
Gusti Rusmayadi
 
Jurnal sukris28
Jurnal sukris28Jurnal sukris28
Jurnal sukris28
brawijaya university
 
4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & airdenotsudiana
 
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRIMakalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
Rizki Chairunnisya
 
Prosiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanianProsiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanian
NurdinUng
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
NurdinUng
 
Makalah konservasi
Makalah konservasiMakalah konservasi
Makalah konservasi
Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkanMakalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkanBondan the Planter of Palm Oil
 

What's hot (20)

Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...
 
Ekotan 15
Ekotan 15Ekotan 15
Ekotan 15
 
Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik
Sifat  Kimia  Entisol Pada Sistem  Pertanian OrganikSifat  Kimia  Entisol Pada Sistem  Pertanian Organik
Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik
 
Norhasanah 1 5
Norhasanah 1 5Norhasanah 1 5
Norhasanah 1 5
 
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surutTeknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
Teknologi produksi padi pada lahan rawa pasang surut
 
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
 
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
 
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis
7.1 43 53 rizqiani. pengaruh dosis
 
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...
Laporan tetap praktikum fisiologi tumbuhan ii pengaruh pemberian pupuk kandan...
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
 
Makalah iis
Makalah iisMakalah iis
Makalah iis
 
Afiah49 59-baik
Afiah49 59-baikAfiah49 59-baik
Afiah49 59-baik
 
Jurnal sukris28
Jurnal sukris28Jurnal sukris28
Jurnal sukris28
 
4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air
 
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRIMakalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
 
Prosiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanianProsiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanian
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
 
Makalah konservasi
Makalah konservasiMakalah konservasi
Makalah konservasi
 
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkanMakalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan
Makalah_58 Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan
 

Similar to Makalah budidaya-dan-farming-system-2

9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb
Andrew Hutabarat
 
ABU SEKAM PADI.pdf
ABU SEKAM PADI.pdfABU SEKAM PADI.pdf
ABU SEKAM PADI.pdf
RisWandi38
 
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
Mujiyanto -
 
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptxPPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
AnchuBoringSyamsulBa
 
85162 tugas buku iot vi fix
85162 tugas buku iot vi fix85162 tugas buku iot vi fix
85162 tugas buku iot vi fix
harissutrisno
 
soil quality and food security
soil quality and food securitysoil quality and food security
soil quality and food security
Aila Yumeko
 
Surjan 01
Surjan 01Surjan 01
Surjan 01
sobarputra
 
Andrew hidayat 225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
 Andrew hidayat   225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35 Andrew hidayat   225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
Andrew hidayat 225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
Andrew Hidayat
 
Teknologi UT padi sawah
Teknologi UT padi sawah Teknologi UT padi sawah
Teknologi UT padi sawah
donaldsiltoru
 
Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung
AGROTEKNOLOGI
 
Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung AGROTEKNOLOGI
 
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptxPOWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
AndryAdmajaTarigan
 
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
Repository Ipb
 
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
Repository Ipb
 

Similar to Makalah budidaya-dan-farming-system-2 (20)

9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb
 
630 1400-1-sm
630 1400-1-sm630 1400-1-sm
630 1400-1-sm
 
ABU SEKAM PADI.pdf
ABU SEKAM PADI.pdfABU SEKAM PADI.pdf
ABU SEKAM PADI.pdf
 
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...
 
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptxPPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
PPT REVIEW KETAHANAN PANGAN.pptx
 
85162 tugas buku iot vi fix
85162 tugas buku iot vi fix85162 tugas buku iot vi fix
85162 tugas buku iot vi fix
 
Bab i pendahuluan
Bab i pendahuluanBab i pendahuluan
Bab i pendahuluan
 
soil quality and food security
soil quality and food securitysoil quality and food security
soil quality and food security
 
Tanah gambut
Tanah gambut Tanah gambut
Tanah gambut
 
Monokultur Tebu
Monokultur TebuMonokultur Tebu
Monokultur Tebu
 
Surjan 01
Surjan 01Surjan 01
Surjan 01
 
Andrew hidayat 225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
 Andrew hidayat   225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35 Andrew hidayat   225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
Andrew hidayat 225864-pengaruh-ameliorasi-tanah-salin-terhadap-c12cfd35
 
Teknologi UT padi sawah
Teknologi UT padi sawah Teknologi UT padi sawah
Teknologi UT padi sawah
 
Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung
 
Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung Laporan produksi tanaman jagung
Laporan produksi tanaman jagung
 
Bptpjakarta
BptpjakartaBptpjakarta
Bptpjakarta
 
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptxPOWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
POWER POINT SEMPRO JS benarrrrrrr.pptx
 
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
 
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA D...
 
Makalah_34 Makalah presentasi gulma kel 5
Makalah_34 Makalah presentasi gulma kel 5Makalah_34 Makalah presentasi gulma kel 5
Makalah_34 Makalah presentasi gulma kel 5
 

More from BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN SUMATERA SELATAN

EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdfEVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdfSurat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdfNOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdfNOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdfRealisasiAnggarantw1 2022.pdf
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN SUMATERA SELATAN
 

More from BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN SUMATERA SELATAN (20)

daftar-aset-2021.pdf
daftar-aset-2021.pdfdaftar-aset-2021.pdf
daftar-aset-2021.pdf
 
PENCEGAHAN COVID-19.pdf
PENCEGAHAN COVID-19.pdfPENCEGAHAN COVID-19.pdf
PENCEGAHAN COVID-19.pdf
 
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdfMITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
 
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdfEVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
 
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdfSurat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
 
simak bmn.pdf
simak bmn.pdfsimak bmn.pdf
simak bmn.pdf
 
Laporan Keuangan 2021.pdf
Laporan Keuangan 2021.pdfLaporan Keuangan 2021.pdf
Laporan Keuangan 2021.pdf
 
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdfNOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
 
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdfNOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
 
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdfSURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
 
RealisasiAnggarantw2 2021.pdf
RealisasiAnggarantw2 2021.pdfRealisasiAnggarantw2 2021.pdf
RealisasiAnggarantw2 2021.pdf
 
RealisasiAnggarantw1 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdfRealisasiAnggarantw1 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdf
 
STATISTIK LAP KEU 2022.pdf
STATISTIK LAP KEU 2022.pdfSTATISTIK LAP KEU 2022.pdf
STATISTIK LAP KEU 2022.pdf
 
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdfREKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
 
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdfJUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
 
Agenda KEG INSTANSI.pdf
Agenda KEG INSTANSI.pdfAgenda KEG INSTANSI.pdf
Agenda KEG INSTANSI.pdf
 
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdfSURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
 
Daftar Rancangan Peraturan.pdf
Daftar Rancangan Peraturan.pdfDaftar Rancangan Peraturan.pdf
Daftar Rancangan Peraturan.pdf
 
SE Larangan Mudik.pdf
SE Larangan Mudik.pdfSE Larangan Mudik.pdf
SE Larangan Mudik.pdf
 
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
 

Makalah budidaya-dan-farming-system-2

  • 1. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Uji Daya Hasil Lanjutan Galur Harapan Padi Rawa Pasang Surut Di Provinsi Jambi Test Results Strain Continued of Rice Tidal Swamp Land in Jambi Province Jumakir1) , Supartopo2) dan Endrizal1) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi 2) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi ABSTRACT The purpose of the research to get some strains candidate varieties with high yield potential, resistance marinade, look good, medium-early maturity, a major pest resistant, have good quality rice and ready to be released. The research was conducted in the dry season from March to June 2013 in Makmur Jaya Village Betara sub District Tanjung Jabung Barat District of Jambi Province the typology of potential acid sulphate land and water overflow type C. This study used a group randomized design (RBD) with 14 treatments and 4 replications. The 14 treatments consisted of 12 lines and two check varieties, namely: 13135-1 B-MR-2-KA-1, B-2- MR 13131-9, 13133-9 B-MR-2, B 13100-2- MR-3-OH-2, B-13134-2 MR-2-KA-8- 3, B 13134-4-MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1 -2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100 -3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 and IR 42 results show that rice strains looks pretty good performance and equitable growth. Strains are resistant to major pests and diseases such as blast and brown planthopper and resistant to poisoning Fe and Al. Rice strains that have high yield potential is B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100- 3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 respectively 7.3 t/ha, 7.2 t/ha and 7.1 t/ha GKP, whereas check varieties of Inpara 3 (7.0 t/ha GKP) and IR 42 (4.30 t/ha GKP). Keywords: tidal swamp land, rice, and yield potential ABSTRAK Tujuan penelitian untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah- sedang, tahan hama penyakit utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk dilepas. Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau pada bulan Maret sampai Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan tipe luapan air C. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 14 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur dan 2 varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B 13133-9- MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4-MR-1-KA-3- 4, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 267
  • 2. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42. Hasil pengujian menunjukkan bahwa galur-galur padi terlihat keragaannya cukup baik dan merata pertumbuhannya. Galur-galur tersebut memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan Fe dan Al. Galur-galur padi yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B 13100-1- MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 masing- masing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas pembanding Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha GKP). Kata kunci : Lahan rawa pasang surut, padi, dan potensi hasil PENDAHULUAN Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000). Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Menurut Irawan et al. (2001), dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1989 sampai tahun 1999 telah terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di pulau Jawa. Apabila diasumsikan rata-rata produkivitas lahan sawah sebesar 6,0 t/ha GKP, maka kehilangan produksi padi akan mencapai 9,6 juta ton GKP/tahun (Agus et al., 2004). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan non pertanian. Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia 268
  • 3. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya masih mempunyai produktivitas yang rendah, karena kesuburan tanah rendah, kemasaman lahan, adanya lapisan pirit dan gambut serta serangan hama dan penyakit. Kendala agrofisik seperti defisiensi P, keracunan Fe, keracunan Al, intrusi air garam, pH rendah (Widjaja Adhi et al, 1995 dan Alihamsyah T. 2002). Kendala biologis berupa hama penyakit, hama utamanya adalah babi hutan, tikus, orong-orong, penggerek batang, walang sangit, wereng coklat dan lembing batu (Santoso, 1998) sedangkan penyakit yang biasa menyerang adalah blas, bercak coklat, hawar daun bakteri dan busuk pelepah (Mukelar dan Hakam, 1990). Menurut Abdullah et al. (2008), salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru (VUB) yang ditanam oleh petani atau terbatasnya kemampuan genetik varietas unggul yang ada untuk berproduksi lebih tinggi (Balitpa, 2003). Selanjutnya Suwarno et al. (2000) bahwa komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi dengan teknik budidaya sederhana dan menggunakan varietas lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi adalah mencari dan meyediakan varietas padi yang mampu beradaptasi dengan baik, produksinya tinggi dan disukai petani dan konsumen terutama yang mampu beradaptasi pada lahan pasang surut. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian beberapa galur/varietas padi dilahan pasang surut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah-sedang, tahan hama penyakit utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk dilepas, BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada musim tanam kemarau pada bulan Maret sampai Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan tipe luapan air C. Bahan yang digunakan adalah benih padi, pupuk urea, SP 36, KCl, kapur/dolomite, herbisida, insektisida dan fungisida. Untuk pengendalian hama/penyakit digunakan insektisida dan fungisida. Alat yang digunakan adalah hand traktor, cangkul, meteran, sprayer, ember, parang, tali rapia, ajir bambu dan jaring. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 14 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur dan 2 varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B 13133-9-MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4- MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144- 1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42. Persiapan lahan dilakukan dengan olah tanah minimum dan penaburan dolomit dengan takaran 1 ton/ha, ukuran plot 4 m x5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm dan penanaman dengan cara ditugal dengan umur bibit 25 hari. Dolomit dan pupuk Urea, SP 36 dan KCL diberikan dengan cara ditabur. Dolomit diberikan 1 minggu sebelum tanam sedangkan pupuk urea, SP 36 dan KCL diberikan 5-7 hari setelah tanam. Pemupukan diberikan dengan dosis 150 kg/ha, 269
  • 4. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 100 SP36 dan 100 kg/ha KCl. Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, pengendalian hama/penyakit. Parameter yang diamati adalah reaksi terhadap hama/penyakit, keragaan tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen (80 %), jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 butir dan hasil. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji DMRT pada taraf 5 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Terhadap Hama dan Penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan beberapa galur/varietas padi menunjukkan reaksi terhadap hama/penyakit dan ketahanan terhadap keracunan Fe tertera pada Tabel 1. Hama yang menyerang pertanaman padi pada fase vegetatif adalah orong-orong, putih palsu dan sundep dengan intensitas serangannya rendah. Hama yang muncul pada fase generatif adalah walang sangit, beluk dan tikus. Pengendalian hama walang sangit dilakukan dengan penyemprotan insektisida sedangkan hama tikus dilakukan dengan pengumpanan. Reaksi terhadap hama utama wereng coklat dengan intensitas serangan cukup rendah dan reaksi terhadap penyakit dari beberapa galur/varietas yang diuji menunjukkan agak tahan dan tahan terhadap penyakit blas sedangkan terhadap penyakit helminthosforium, keracunan Fe, Al dan salinitas terlihat galur/varietas yang diuji tahan Ho dan Fe. Hasil penelitian Suhaimi (1996) bahwa sifat toleran Fe pada tanaman padi dikendalikan oleh lebih dari 2 gen. Selanjutnya Suhartini et al. (1996) melaporkan gen aditif, gen dominant dan gen non alletik yang secara bersama-sama mengendalikan sifat toleran keracunan Fe. Sifat Agronomis. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa keragaan tanaman pada fase vegetatif menunjukkan pertumbuhan baik dan cukup baik serta merata serta sebagian besar galur-galur menunjukkan keragaan yang baik dan merata pertumbuhannya. Pada fase vegetatif dan fase generatif, penampilan tanaman padi menunjukkan keragaan baik dan cukup baik dan merata pertumbuhannya (Tabel 1). Pertumbuhan tanaman padi yang merata dan baik pertumbuhannya adalah : B 13133-9-MR-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3 dan B 13134-4-MR-1-KA-3-4 sedangkan galur-galur lainnya pertumbuhannya cukup baik. Terjadinya perubahan keragaan tanaman disebabkan oleh sifat dari masing- masing galur yang diuji dan faktor lingkungan. Tanggap suatu galur/varietas umumnya beragam bila diuji pada lingkungan yang berbeda, terjadinya interaksi genotipe dengan lingkungan, maka akan dapat merubah kestabilan sifat suatu galur/varietas padi. Dari hasil penelitian Satoto dan Suprihatno (1998), bahwa keragaman sifat tanaman padi ditentukan keragaman lingkungan dan keragaman genotif serta interaksi keduanya. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif (Tabel 1), umur panen, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah/malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif cukup beragam sesuai dengan pertumbuhan dari masing-masing galur/varietas. Tinggi tanaman padi berkisar antara 94,50 cm ( B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 110,75 cm (Inpara 3). Jumlah anakan produktif antara 8 (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 20 (IR 42). 270
  • 5. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh sifat genetik galur tersebut dan jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh faktor genetik dan perkembangan tanaman selama stadia vegetatif dan reproduktif. Sifat-sifat agronomis lainnya seperti umur panen. Umur panen antara 118 hari (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 127 hari (B 13100-3-MR-1-KA-2-3 dan Inpara 3). Sedangkan varietas pembanding IR 42 dan Inpara 3 masing-masing 125 hari dan 127 hari. Umur panen dari masing-masing galur yang diuji termasuk galur harapan yang mempunyai umur sedang. Beragamnya umur umur panen galur/varietas padi disebabkan beragamnya pertumbuhan pada fase vegetatif dari masing-masing galur/varietas. Lamanya fase pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur tanaman yang disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman (De Datta, 1981). Tabel 1. Reaksi hama/penyakit dan sifat-sifat agronomis beberapa galur/varietas padi di lahan pasang surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara - Jambi MK 2013. No Galur/varietas Reaksi Keragaan Tinggi Jumlah penyakit tan (cm) anakan H Bl Fe Veg Gen o 1. B 13135-1-MR-2-KA-1 T AT T 3 3 107,75 d 17 ab 2. B 13131-9-MR-2 T T T 3 3 105,25 d 19 b 3. B 13133-9-MR-2 T AT T 3 3-1 105,00 cd 16 a 4. B 13100-2-MR-3-KY-2 T AT T 3 3-5 105,00 cd 17 a 5. B 13134-2-MR-2-KA-8-3 T T T 3 3-1 94,50 a 18 b 6. B 13134-4-MR-1-KA-3-4 T T T 3 3-1 101,00 bc 15 a 7. B 13134-2-MR-2-KA-1-2 T T 3 3 95,00 a 17 a 8. B 13136-6-MR-2-KA-2-1 T T T 3 3 108,75 d 17 a 9. B 14144-1-MR-2-KA-2-1 T AT T 3-5 3-5 108,00 de 16 a 10. B 13100-1-MR-1-KA-2-2 T T T 3-5 3-5 105,75 d 18 b 11. B 13100-3-MR-1-KA-2-3 T T T 3-5 3-5 107,00 d 18 b 12. B 13100-3-MR-2-KA-1-3 T T T 3-5 3-5 103,25 c 16 a 13. Inpara 3 T AT T 3-5 3-5 110,75 d 16 a 14. IR 42. T T T 3 3-1 98,25 ab 20 bc Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT Keterangan : 1 = sangat baik 3 = baik 5 = cukup baik T = tahan AT = agak tahan Bl = blas Ho = Helminthosforium Fe = besi Komponen Hasil. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap umur panen, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Jumlah gabah isi/malai terbanyak terdapat pada galur B 13100-1-MR-1-KA-2-2yaitu 145,50 butir sedangkan jumlah gabah isi/malai terendah adalah B 13135-1-MR-2-KA-1yaitu 101,80 butir. Sedangkan jumlah gabah hampa/malai tertinggi yaitu 29,45 butir pada galur B 13136-6-MR-2-KA-2-1 dan jumlah gabah hampa terendah terdapat pada galur B 271
  • 6. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 13100-1-MR-1-KA-2-2 yaitu 10,25 butir. Galur B 13100-3-MR-2-KA-1-3 memberikan berat 1000 butir tertinggi yaitu 27,50 gr sedangkan berat 1000 butir terendah adalah 23,25 gr (B 13133-9-MR-2 ). Untuk varietas pembanding Inpara 3 dan IR42 masing-masing 25,25 gr dan 23,25 gr. Perbedaan berat 1000 butir disebabkan oleh berbedanya ukuran gabah yang merupakan sifat bawaan dari masing-masing galur/varietas, disamping perbedaan toleransi tanaman terhadap lingkungan. Menurut Vegara (1982), bahwa aktivitas tanaman selama pengisian gabah sangat menentukan bobot gabah. Galur/varietas memberikan hasil yang beragam (Tabel 2). Hasil galur padi berkisar 4,00 t/ha (B 14144-1-MR-2-KA-2-1) sampai 7,20 t/ha ( B 13100-3-MR-1-KA-2-3). Sedangkan varietas pembanding Inpara 3 dan IR 42 adalah 7,00 t/ha dan 4,30 t/ha. Galur-galur yang memiliki potensi hasil tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi terbentuknya varietas unggul setelah dilakukan beberapa kali pengujian (Suwarno et al. 1992). Tabel 2. Sifat-sifat agronomis dan hasil beberapa galur/varietas padi di lahan pasang surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara-Jambi MK 2013 No Galur/ Umur Jumlah Jumlah Berat 1000 Hasil (t/ha) varietas panen gabah isi gabah hampa butir (gr) GKP (hari) /malai /malai 1. B 13135-1-MR-2-KA-1 123 b 101,80 a 20,10 c 24,75 a 6,88 c 2. B 13131-9-MR-2 123 b 120,95 b 16,35 b 23,75 a 7,00 c 3. B 13133-9-MR-2 125 b 108,75 a 20,25 c 23,25 a 4,50 a 4. B 13100-2-MR-3-KY-2 124 b 121,30 bc 14,85 ab 23,75 a 4,65 a 5. B 13134-2-MR-2-KA-8-3 118 a 116,50 b 19,30 bc 25,00 a 5,00 ab 6. B 13134-4-MR-1-KA-3-4 126 b 111,65 ab 22,25 c 24,50 a 4,90 a 7. B 13134-2-MR-2-KA-1-2 121 a 114,70 b 27,55 d 25.25 a 5,00 ab 8. B 13136-6-MR-2-KA-2-1 120 a 120,50 b 29,45 d 24,00 a 5,00 ab 9. B 14144-1-MR-2-KA-2-1 118 a 113,95 b 20,50 c 25,75 b 4,00 a 10. B 13100-1-MR-1-KA-2-2 122 a 145,50 d 10,25 a 27,00 b 7,30 c 11. B 13100-3-MR-1-KA-2-3 127 bc 144,20 d 17,80 b 26,50 b 7,20 c 12. B 13100-3-MR-2-KA-1-3 125 b 142,50 d 15,40 b 27,50 bc 7,10 c 13. Inpara 3 127 bc 127,40 cd 18,85 b 25,25 ab 7,00 c 14. IR 42 125 b 142,15 d 13,85 a 23,25 a 4,30 a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT 272
  • 7. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN Galur-galur padi yang diuji memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan Fe dan Al. Galur-galur tersebut yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 masing-masing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas pembanding Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha). DAFTAR PUSTAKA Abdullah B, S Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. Volume 27, Nomor 1. 2008. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor Alihamsyah T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Seminar Nasional optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua, 6-7 Agustus 2000. Puslitbang Tanah dan Agroklimat Agus E dan Irawan. 2004. Alih guna dan aspek lingkungan sawah, tanah sawah teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbangtan. Deptan. Bogor Bappeda. 2000. Potensi, prospek dan pengembangan usahatani lahan pasang surut. Dalam Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Kuala Tungkal , 27-28 Maret 2000. ISDP-Jambi Deptan. 2008. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi gogo. Badan Litbang pertanian. Jakarta De Datta SK. 1981. Principles and practices of rice production. John Willey and Sons. New York Irawan B, S Friyanto, A Supriyatno, LS Anugrah, NA Kirom, B Rohman dan B Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbangtan. Deptan. Ismail IG, T Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T Herawati, R Taher dan DE Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (1985- 1993) Kontribusi dan prospek pengembangan. Swamps II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta Mukelar A dan S. Hakam. 1990. Penyakit tanaman pangan dan pengendaliannya di lahan pasang surut. Puslitbangtan. Bogor Santoso T. 1998. Permasalahan dan strategi pengendaliaan organisme pengganggu tanaman (OPT) pertanian lahan rawa. ISDP. Puslitbangtan. Bogor Satoto dan B Suprihatno. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida padi turunan galur mandul jantan IR62829A dan IR58025A. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. Vol 17. No 1. 1998. Puslitbangtan. Badan Litbangtan. Bogor Suhartini T, Suwarno dan Syafarudin. 1996. Pendugaan parameter genetik toleran keracunan Fe pada padi sawah melalui analisis dialel. Dalam Jurnal Pemuliaan Indonesia Vol 7 No 1. Puslitbangtan. Bogor Suwarno, T Alihamsyah dan IG Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan pasang surut dengan penerapan teknologi sistem usahatani terpadu. Seminar 273
  • 8. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Nasional Peneliian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000. Buku I. PusLitbangtan. Badan litbangtan. Widjaya Adhi, IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah Pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni. Karang Agung. Sumatera Selatan 274
  • 9. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah Adaptability Evaluation of Improved Rice Varieties in Morowali, Central Sulawesi I Ketut Suwitra1 , Darmayanto L2 ., Ruslan Boy1 , Johannes Amirullah3 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah 2) Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan 3) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Lasoso Nomor 62 Biromaru e-mail : iketutsuwitra@ymail.com ABSTRACT The use of adaptably superior variety was one prime component to boost rice production and productivity. The Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD) through Indonesian Centre Research of Rice has developed high yielded rice varities for wide range of agro ecosystems since 2007. The experiment was carried out to evaluate adaptation capability of these new varieties at the specific agroecosystem at Korowalelo, Lembo, Morowali, the province of Central Sulawesi from October 2012 to Januari 2013. A non factorial Randomized Completely Blocked Design (RCBD) was used to accomplish the evaluation trial of 4 varieties, i.e. Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 and Inpari Sidenuk with cv. Ciliwung as the control. The results showed that Inpari Sidenuk has the tallest plant and highest filled grain per panicle, while Inpari showed the highest maximum and productive tillers compared to other tested varieties. However, faster reproductive stage was showed by Inpari 13 and the highest yield of dried grain was produced Inpari 14. Keywords : Adaptability evaluation, Improved varieties, Rice ABSTRAK Penggunaan varietas unggul baru yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata pengaruhnya terhadap peningkatan produksi padi nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Tanaman Padi sejak Tahun 2007 hingga 2013 telah melepas berbagai varietas unggul baru padi spesifik lokasi untuk berbagai agroekosistem. Oleh sebab itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kajian dilaksanakan di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) empat varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding. Luas lahan yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang sebanyak 4 275
  • 10. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kali. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil ubinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman dan jumlah gabah berisi per malai tertinggi (91,72 cm dan 102,30 butir) dibadingkan varietas lainnya. Inpari 15 memiliki jumlah anakan maksimum dan anakan produktif tertinggi sebanyak 29,63 rumpun dan 29,10 rumpun. Varietas Inpari 13 memiliki fase umur berbunga yang lebih cepat dibandingkan varietas lainnya (85 hari). Sedangkan hasil ubinan tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 sebanyak 9,1 ton gabah kering panen/ha dibandingkan varietas lainnya. Kata Kunci : Adaptasi, Varietas Unggul Baru dan Padi PENDAHULUAN Pertanian Indonesia dewasa ini dihadapkan pada tantangan peningkatan produksi, stabilitas ketahanan pangan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perubahan iklim global juga menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi. Ancaman kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran di musim hujan sudah semakin sering melanda pertanaman petani. Anggoro (2012) melaporkan bahwa pada Tahun 2011 sub sektor tanaman pangan menargetkan produksi padi sebanyak 70,60 juta ton GKG, jagung 22 juta ton pipilan kering dan kedelai sebanyak 1,56 juta ton. Ditambah lagi lima tahun kedepan kita dituntut surplus beras sebanyak 10 juta ton (Suswono, 2012). Disisi lain, tantangan yang dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut peningkatan produksi yang berkesinambungan, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya. Dari masalah tersebut di atas, salah satu solusinya adalah menggunakan varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas. Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) diharapkan menjadi salah satu pilar Revolusi Hijau Lestari dalam memacu produksi padi di masa yang akan datang. Melalui model ini, varietas unggul yang dikembangkan mampu berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya. Sulawesi Tengah dikenal sebagai daerah potensial produksi padi di Indonesia. Bahkan propinsi ini menempati peringkat kedua setelah Sulawesi Selatan. Kontribusi terhadap pengadaan pangan nasional tahun 2010 baru mencapai 1,50 persen (Syamsyah et al., 2013). Namun pada tahun 2009 produksi padi di Sulawesi Tengah mengalami penurunan sebesar 3,8 persen, ketidak sesuaian kondisi biofisik dan iklim menjadi salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas. Sebagai contoh padi rawa dikembangkan di wilayah yang memiliki ketersediaan air yang sedikit dan sebaliknya. Padahal, Badan Litbang Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas, diantaranya varietas padi lahan rawa (Inpara), Inbrida padi irigasi (Inpari) dan Inbrida padi 276
  • 11. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 gogo (Inpago) namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke pengguna. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas. Tujuannya kegiatan ini adalah untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang sesuai dengan agroekosistem setempat. METODE Kajian ini dilaksanakan di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) empat varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding. Luas lahan yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang sebanyak 4 kali, menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah dengan rekomendasi seperti pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Paket Teknologi dan Rekomendasi PTT Padi Sawah di Desa Korowalelo, Tahun 2012 No. Paket Teknologi Rekomendasi 1. Benih a. Jumlah 25 kg/ha b. Varietas Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15, Inpari Sidenuk dan Ciliwung 2. Pemupukan 22. Phonska 200 kg/ha 23. Urea 200 kg/ha 3. Pengolahan tanah Olah tanah sempurna (dibajak, digaru dan pelumpuran) 4. Cara tanam Tapin 5. Umur bibit 15 hari setelah semai (hss) 6. Jarak tanam 10x20x40 cm, sistem tanam jajar legowo 2:1 7. Pemeliharaan 24. Penyulaman 7 hari setelah tanam (hst) 25. Waktu pemupukan *Phonska 3 hst *Urea 30 hst 26. Penyiangan 10 hst 27. Pengendalian HPT Berdasarkan Konsep PHT Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil ubinan. Data teknis yang diamati dianalisis sidik ragam, bila terdapat pengaruh yang nyata terhadap masing-masing perlakuan dianalisis dengan uji lanjut LSD taraf 5% selanjutnya dianalisis secara deskriptif. 277
  • 12. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 HASIL Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kelima varietas yang diujikan memiliki pengaruh yang nyata terhadap penampilan tinggi tanaman. Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman yang lebih tinggi dari keempat varietas lainnya berbeda nyata terhadap varietas Inpari 13 dan Inpari 14. Sedangkan terhadap penampilan jumlah anakan maksimum dan anakan produktif pada kelima varietas yang diujikan tidak berpengaruh nyata, namun jumlah anakan maksimum dan produktif tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 15. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif dapat di lihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Rerata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum, Jumlah Anakan Produktif Pada masing-masing perlakuan Komponen Pertumbuhan Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah anakan Jumlah anakan Produktif (cm) Maksimum (rumpun) (rumpun) Inpari 13 79.48c 27.37a 27.32a Inpari 14 84.97b 29.53a 28.40a Inpari 15 90.97a 29.63a 29.10a Inpari Sidenuk 91.25a 28.83a 27.77a Ciliwung 87.69ab 29.33a 27.93a CV 2.32% 7.69% 6.32% Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut LSD 5%. Tabel 2 menginterprestasikan bahwa penampilan tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif pada masing-masing varietas unggul baru yang diujikan, mampu menyaingi penampilan varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian. Rata-rata umur berbunga dan umur panen pada masing-masing varietas yang diujikan dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini. 278
  • 13. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Rerata Umur Berbunga dan Umur Panen pada Masing-masing Perlakuan Perlakuan Umur Berbunga Umur Panen (Hari) (Hari) Inpari 13 85 114 Inpari 14 109 122 Inpari 15 109 123 Inpari Sidenuk 109 123 Ciliwung 122 138 Tabel 3 mengindikasikan bahwa keempat varietas unggul yang diujikan memiliki umur berbunga dan panen yang lebih genjah dibandingkan varietas Ciliwung. Umur panen yang paling genjah ditunjukkan oleh varietas Inpari 13. Komponen Hasil dan Poduktivitas Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman pada msing-masing perlakuan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap penampilan komponen hasil jumlah gabah isi, gabah hampa dan produktivitas pada tanaman padi. Rata-rata jumlah gabah isi, gabah hampa dan hasil ubinan dapat di lihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Rerata Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa dan Hasil Ubinan pada Masing-masing Perlakuan Perlakuan Komponen Hasil Jumlah gabah isi Jumlah gabah hampa Hasil ubinan (ton per malai (butir) per malai (butir) GKP/ha) Inpari 13 94.13b 48.87abc 7.81b Inpari 14 75.07c 40.83bc 9.13a Inpari 15 90.37b 58.33a 8.27ab Inpari Sidenuk 102.30a 39.43c 8.75ab Ciliwung 95.87ab 56.97ab 8.44ab CV 4.82% 17.80% 11.28 Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut LSD 5%. Tabel 4 menginterprestasikan bahwa penampilan varietas Inpari Sidenuk memiliki jumlah gabah isi yang tertinggi, berbeda nyata terhadap varietas unggul baru lainnya dan memiliki jumlah gabah hampa yang terendah dibandingkan keempat varietas lainnya. Sedangkan produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 berbeda nyata terhadap Inpari 13, namun tidak berbeda nyata terhadap varietas lainnya. Karakteristik masing-masing varietas dapat di lihat pada Tabel 5 berikut ini. 279
  • 14. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 5. Karakteristik beberapa varietas uggul baru Karakteristik Inpari 13 Inpari 14 Inpari 15 Inpari Sidenuk Umur ±99 hari 113 hari ± 117 hari ± 104 hari tanaman Bentuk Tegak Tegak Tegak Tegak tanaman Tinggi ±102 cm 103 cm ± 105 cm ±102 tanaman Daun bendera Tegak Tegak Tegak Tegak Bentuk gabah Panjang Ramping Ramping Ramping ramping Warnah gabah Kuning bersih Kuning bersih Kuning bersih Kuning bersih Kerontokan Sedang Sedang Sedang Mudah Kerebahan Sedang Tahan Tahan Tahan Tekstur nasi Pulen Pulen Pulen Pulen Kadar amilosa 22,40 % 22,5% 20,7 % 21,1 % Rata –rata 6,6 t/ha GKG 6,6 t/ha GKG 6,1 t/ha GKG 6,4 t/ha GKG hasil Potensi hasil 8,0 t/ha GKG 8,2 t/ha GKG 7,5 t/ha GKG 8,8 t/ha GKG Anjuran Dataran Dataran rendah Dataran Dataran rendah sampai tanam rendah sampai sampai rendah sampai ketinggian 600 m dpl ketinggian ketinggian 600 ketinggian 600 m dpl m dpl 600 m dpl Sumber : Deskripsi Varietas Unggul Baru, Badan Litbang Pertanian, Tahun 2013 PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman padi terbagi atas tiga bagian yakni fase pertumbuhan vegetatif, fase pertumbuhan generatif dan fase pemasakan (Yosida, 1981). Komponen pertumbuhan yang ditampilkan oleh masing-masing varietas unggul baru, khususnya terhadap jumlah anakan maksimum dan anakan produktif tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian, bahkan varietas Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman yang lebih baik. Pertambahan tinggi merupakan salah satu ciri proses pertumbuhan tanaman padi, walaupun tinggi tanaman tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas. Pertambahan tinggi tanaman secara normal yang sejalan dengan pertambahan umur tanaman dapat menjadi indikator terhadap pertumbuhan yang normal khususnya tingkat efisiensi fotosintesa (Manurung dan Ismunadji, 1988). Hasil kajian menunjukkan bahwa keempat varietas unggul baru tersebut telah mampu beradaptasi dengan baik di wilayah kajian. Suwitra dan Maskar, (2006) melaporkan bahwa kemampuan beradaptasi suatu varietas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian iklim setempat. Genjahnya umur berbunga dan panen pada varietas Inpari 13 membawa dampak terhadap kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan burung hingga 7% . Rata-rata umur panen pada varietas unggul baru lebih lambat dari yang tertera dalam deskripsi padi, hal ini diduga karena keterlambatan terbentuknya anakan pada tanaman padi akibat sering terendamnya tanaman pada musim 280
  • 15. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 penghujan (MH). Namun keempat varietas unggul baru ini jauh lebih genjah dari varietas Ciliwung yang telah terbiasa dikembangkan oleh para petani setempat. De Datta (1981) melaporkan bahwa fase pertumbuhan vegetatif menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase generatif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan. Tampilan dari masing-masing varietas unggul baru terhadap komponen hasil khususnya jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa, mampu menyaingi varietas Ciliwung bahkan Inpari Sidenuk memiliki jumlah gabah isi yang lebih tinggi. Namun produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 lebih tinggi dari varietas lainnya. Hal ini diduga karena vaietas unggul baru ini memiliki potensi hasil yang memang lebih tinggi dari varietas Ciliwung. Abdullah, (2008) menyebutkan bahwa potensi hasil suatu tanaman padi sangat ditentukan oleh komponen hasil yaitu : jumlah anakan produktif, gabah per malai, persentase gabah isi dan bobot gabah bernas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa varietas unggul baru Inpari Sidenuk dan Inpari 14 sangat cocok untuk dikembangkan di wilayah kajian. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Varietas Inpari 14 dan Inpari Sidenuk sangat adaptif di wilayah kajian dengan produktivitas 9,13 ton gabah kering panen/ha dan 8,75 ton gabah kering panen/ha 2. Varietas unggul baru (Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk) mampu menyaingi pertumbuhan dan hasil varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian. Saran Direkomendasikan varietas unggul baru Inpari 14 dan Inpari Sidenuk untuk dikembangkan di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali. DAFTAR PUSTAKA Abdullah B., 2008. Perakitan dan Pengembangan Varietas Padi Tipe Baru. Inovasi Teknologi Padi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 67- 89 Anggoro U. Kasih, 2012. Sambutan Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012. Badan Litbang Pertanian. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Inbrida Padi Sawah, Inbrida Padi Gogo, Inbrida Padi Rawa dan Hibrida Padi. Kementerian Pertanian De Datta, S. K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons Inc. New York. 148p. Manurung, S.O dan M. Ismuadji, 1998. Morfologi dan Fisiologi Padi. In Padi (Buku 1) eds. M. Ismunadji, Soetjipto Partoharjono, Mahyuddin Syam dan 281
  • 16. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Adi Widjono. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal 55-102 Suswono, 2012. Sambutan Menteri Pertanian Indonesia. Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012 Suwitra IK. Dan Maskar. 2006. Penampilan Varietas Unggul Padi Sawah di Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggla. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Badan Litbang Pertanian. ISBN 978-979-985-77-1-2. Hal 251-255 Syamsyah G., Herawati, Saidah, Caya dan Soeharsono. 2013. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) di Sulawesi Tengah. Laporan Akhir Tahun. BPTP Sulawesi Tengah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Yosida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research Institute, Los Banos, Fhilippina. 269 hal 282
  • 17. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Perubahan Morfologi Bibit Rosella (Hibiscus sabdariffa L) dengan Pemberian Pupuk Kandang pada Tanah Ultisol Morphological Changes in Roselle’s Breeding (Hibiscus sabdariffa L) With The Provision of Manure on Ultisol Soil Gribaldi* dan Nurlaili Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Baturaja, Jl. Ratu Penghulu No. 02301 Karang Sari Baturaja 32115, Sumatera Selatan. *) Penulis untuk korespondensi: Hp./Faks. 08127133718/(0735) 321822 email: gribaldi64@yahoo.co.id. ABSTRACT Roeselle plant (Hibiscus sabdariffa L.) are now widely cultivated, so that the need of roselle’s seed are increasing. Growing media largely determines the growth of seedlings, the use of Ultisol soil as growing media showed lower seedling growth. The efforts to overcome this can be done with the addition of manure. This study aims to determine the morphological changes of roselle seeds with the provision of manure on Ultisol soil in Polybag. This study used a completely nonfactorial randomized design with four treatments and five replications. The treatment under study consists of: P0 = without manure, P1 = cow manure, P2 = goat manure, and P3 = chicken manure. The result of this study showed the provision of manure on the planting medium affects the growth of roselle seeds in Polybag. The best seedling growth was obtained in growing media with the provision of chicken manure. Keywords: Manure, roselle and ultisol soil Abstrak Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) saat ini sudah banyak dibudidayakan, sehingga kebutuhan akan bibit rosella semakin meningkat. Media tanam sangat menentukan pertumbuhan bibit, pemanfaatan tanah ultisol sebagai media tanam menunjukkan pertumbuhan bibit yang rendah. Upaya untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan penambahan pupuk kandang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit rosella dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap nonfaktorial dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diteliti terdiri atas: P0 = tanpa pupuk kandang, P1 = pupuk kandang sapi, P2 = kandang kambing, dan P3 = pupuk kandang ayam. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk kandang pada media tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit rosella di polybag. Pertumbuhan bibit terbaik diperoleh pada media tanam yang diberi pupuk kandang ayam. Kata kunci: Pupuk kandang,rosella, dan tanah ultisol 283
  • 18. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PENDAHULUAN Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) selain mempunyai nilai ekonomis juga dapat bermanfaat bagi kesehatan yaitu menghasilkan berbagai jenis obat- obatan. Daun atau kelopak bunga yang direbus berhasiat sebagai hypotensive (menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan darah), meningkatkan gairah (aprodisiak), melancarkan pencernaan (degistif) dan menetralisir asam lambung (demulcent)(Titistyas, 2009). Rosella dapat tumbuh optimal di daerah dengan ketinggian kurang dari 600 m dpl, dengan suhu rata-rata bulanan 24-32 0 C. Curah hujan rata rata yang dibutuhkan rosella 140-270 mm per bulan dengan kelembaban udara di atas 70%. Tanaman rosella ini merupakan tanaman berhari pendek yang dapat tumbuh optimal pada tanah dengan kemasaman (pH) 5,5-7. Rosella toleran terhadap tanah masam seperti tanah Ultisol (Mardiah, 2009). Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Subagyo et al., 2004). Kelemahan- kelemahan yang menonjol pada Ultisol adalah pH rendah, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan basa rendah, kandungan unsur hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg sedikit dan tingkat Al-dd yang tinggi, mengakibatkan tidak tersedianya unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan salah satu pupuk yang banyak mengandung unsur nitrogen, terutama pupuk kandang ayam. Pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing. (Wulandari, 2011). Menurut Musnawar (2002), pupuk kandang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya, disamping mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K), pupuk kandang pun mengandung unsur mikro seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S), unsur Fosfor dalam pupuk kandang sebagian berasal dari kotoran padat, sedangkan Nitrogen dan Kalium berasal dari kotoran cair. Selanjutnya Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah, dan meningkatkan pH tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit rosella dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan Pebruari 2014 di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Baturaja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara non faktorial dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, tiap unit percobaan terdapat satu bibit tanaman. Perlakuan yang diteliti 284
  • 19. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 terdiri atas: P0 = Tanpa pupuk kandang, P1 = Pupuk kandang sapi, P2 = kandang Kambing, dan P3 = Pupuk kandang ayam. Tanah Ultisol yang telah dikeringkan kemudian ditumbuk dan dihaluskan, selanjutnya dimasukkan ke media persemaian sebanyak 15 kg, sedangkan media untuk penanaman sebanyak 3 kg untuk setiap polybag. Dosis pupuk NPK yang digunakan 30 gr/tanaman/polybag, sedangkan komposisi perbandingan tanah dengan pupuk kandang 2:1. Benih sebelum disemaikan terlebih dahulu direndam selama 24 jam, setelah itu ditanam kedalam media persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit telah berumur 30 hari dipersemaian dengan cara membuat lubang pada media tanam yang akan ditanami dan untuk masing-masing polybag ditanam satu tanaman rosella. Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman untuk mempertahankan kelembaban tanah dan pengendalian hama, penyakit dan gulma selama penelitian. Pengamatan karakter agronomi meliputi: Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Daun (helai), Berat Kering Tanaman (g), Berat Kering Akar (g), Berat Kering Tajuk (g), Ratio akar - tajuk (g). Analisis data menggunakan sidik ragam dan dilakukan uji lanjutan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. HASIL Hasil analisis keragaman pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan berbagai jenis pupuk kandang berpengaruh nyata untuk setiap peubah yang diamati kecuali pada jumlah daun dan rasio akar tajuk. Tabel 1. Hasil analisis keragaman pengaruh perlakuan berbagai jenis pupuk kandang terhadap peubah yang diamati No Peubah yang diamati Pengaruh Perlakuan 1 Tinggi tanaman (cm) * 2 Jumlah Daun (helai) ns 3 Berat Kering Tanaman (g) * 4 Berat kering tajuk (g) * 5 Berat Kering Akar (g) * 6 Rasio akar - tajuk ns Keterangan: * = berpengaruh nyata ns = berpengaruh tidak nyata Hasil analisis keragaman menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan lainnya dan memiliki tinggi tanaman tertinggi dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 54,7 cm (Gambar 1). 285
  • 20. Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014 Gambar 1. Tinggi tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Pemberian pupuk kandang terhadap jumlah daun berpengaruh tidak nyata , namun secara tabulasi perlakukan pemberian pupuk kotoran ayam (P3) cenderung lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 12 helai (Gambar 2). Gambar 2. Jumlah daun akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Berat kering tanaman dengan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata, sedangkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat kerin g tanaman tertinggi, yaitu sebesar 2,54 g (Gambar 3). 286
  • 21. Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014 Gambar 3. Berat kering tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Berat kering tajuk menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat k ering tajuk tertinggi, yaitu sebesar 1,54 g (Gambar 4). Gambar 4. Berat kering tajuk tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah Ultisol di Polybag Selanjutnya untuk berat kering akar menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap berat kering akar tanaman. Has il Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ay am (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 dan me miliki berat kering akar tertinggi, yaitu sebesar 1,0 g (Gambar 5). 287
  • 22. Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014 Gambar 5. Berat kering akar tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Rasio akar tajuk dengan pemberian pupuk kandang berpeng aruh tidak nyata, namun secara tabulasi perlakukan tanpa pemberian pupuk ka ndang (P0) cenderung lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 0,47 (Gambar 6). Gambar 6. Rasio akar tajuk akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag PEMBAHASAN Pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan bibit rosella, hal ini dapat dilihat da ri perubahan tinggi tanaman, berat kering tanaman, berat kering tajuk dan berat kering akar. Perlakuan pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam menghasilkan pertumbuhan terbaik p ada bibit rosella dibanding dengan pemberian pupuk kandang sapi maupun pupuk kandang kambing. Hal ini di duga pupuk kotoran 288
  • 23. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 ayam lebih cepat terdekomposisi sehingga ketersediaannya lebih cepat dan mudah terserap oleh akar untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu kandungan unsur hara yang lebih tinggi terutama hara makro yang terdapat pada pupuk kandang ayam, dapat menyebabkan meningkatnya pertumbuhan tanaman karena ketersediaan hara yang cukup dapat menstimulasi proses metabolisma yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wulandari (2011) yang menyatakan bahwa pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing. Lebih lanjut Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa pupuk kandang ayam atau unggas memiliki kandungan unsur hara yang lebih besar dari pada jenis ternak lainnya, yaitu N 1,7%, P2O5 1,9%, dan K2O 1,5%. Rasio akar tajuk berpengaruh tidak nyata dengan pemberian pupuk kandang, namun kecenderungan nilai rasio akar tajuk tertinggi diperoleh pada perlakukan tanpa pemberian pupuk kandang. Hal ini di duga pertumbuhan akar yang tinggi pada perlakukan ini sebagai upaya tanaman agar dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan proses metabolima tanaman. Perlakuan media tanpa pupuk kandang yaitu hanya tanah Ultisol saja, dimana tanah ini kapasitas untuk mengikat air rendah sehingga ketersediaan air berkurang dan mendorong akar untuk tumbuh dan berkembang mencari sumber air yang dapat diserapnya sebaga upaya untuk memenuhi kebutuhan proses metabolismanya. Menurut Sulistyaningsih et al. (2005) menyatakan rasio akar tajuk merupakan karakter yang dapat digunakan sebagai petunjuk keadaan air pada lingkungan tanaman apakah kelebihan atau kekurangan. Kondisi kekurangan air lebih mendorong pertumbuhan akar dibandingkan pertumbuhan tajuk. KESIMPULAN Pemberian pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit rosella. Pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam merupakan pupuk kandang terbaik untuk pertumbuhan bibit rosella. DAFTAR PUSTAKA Harjowigeno. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Ayam Terhadap pertumbuhan dan Produksi Biomass. Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasi. Mardiah. 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosella Si Merah Segudang Manfaat.. Agromedia Pustaka. Jakarta Musnawar. 2002, Kesuburan dan pemupukan tanah pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 180 hal Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006: 39-46 Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal 21−66 289
  • 24. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Sulistyaningsih, E., B. Kurniasih dan E. Kurniasih. 2005. Pertumbuhan dan hasil caisin pada berbagai warna sungkup plastik. Ilmu Pertanian 12(1):65-76. Titistyas, A. G. 2009. Pengaruh pemangkasan dengan jumlah cabang berbeda terhadap pertumbuhan vegetative dan generative rosella (Hibiscus sabdariffa L.). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/44908. [Diakses 14 Juni 2013]. Wulandari. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rosella ( Hibiscus sabdariffa L) di Tanah Ultisol [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas Padang. Tidak dipublikasi. 290
  • 25. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Verifikasi Ketahanan Galur-galur Padi Green Super Rice terhadap Hawar Daun Bakteri Verification of Resistance of Green Super Rice Lines against to Bacterial Leaf Blight Nofi A Rokhmah1* ), Untung Susanto2 , Triny S Kadir2 , dan Agus Suprihatin3 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta 2 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 3 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan *) Penulis untuk korespondensi : Tel./Fax +622178839949/ +62217815020 email : nophie_anisa@yahoo.co.id ABSTRACT Green Super Rice ( GSR ) lines are rice lines that have resistant to pests / main diseases properties, such as tolerant of low nutrients N and P concentrations, tolerant of drought, relatively high productivity and high quality in accordance with the consumens preferences. As an introduced rice lines, information of the pest and disease resistance in Indonesia are needed for breeding development. One of character of rice line that important to be clarify is resistance to bacterial leaf blight (BLB ). The preliminary screening on BLB resistance of GSR were already done in 2011. And then, the resistance of GSR line againts to BLB dominant in Indonesia, in particular phatotype III, IV, and VIII were verified in this study. The experiments were conducted in the rainy season of 2012 at Experimental Garden of Indonesian Center for Rice Research Institute Sukamandi. Totally 15 lines were used and arranged in a randomized block design. Ciherang, Conde and Angke varieties were used as controls. Inoculation of BLB (phatotype III , IV and VIII) into GSR were conducted by using cutting method. The results showed Conde varieties as a control and P35 lines are resistant (score 1) to phatotype III. IR88611-B-5 was GSR line which had sustained resistance against pathotype IV. Keywords : rice, green super rice, resistance, bacterial leaf blight ABSTRAK Galur padi Green Super Rice (GSR) merupakan galur yang memiliki sifat tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan P yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif tinggi dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen. Sebagai galur introduksi dibutuhkan informasi ketahanan terhadap hama dan penyakit utama di Indonesia. Salah satunya adalah ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB). Pengujian awal galur padi GSR terhadap HDB sudah dilakukan tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk menverifikasi galur padi GSR terhadap HDB dominan di Indonesia, khususnya patotype III, IV, dan VIII. Penelitian dilaksanakan di musim hujan tahun 2012 di KP Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman padi. Genotip yang digunakan adalah 15 galur GSR yang ditata dalam 291
  • 26. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 rancangan acak kelompok. Galur padi Ciherang, Conde dan Angke sebagai kontrol yang diulang di tiap bloknya. Inokulasi isolat HDB patotipe III, IV dan VIII terhadap materi penelitian dilakukan menggunakan metode pengguntingan (clipping). Hasil percobaan menunjukkan galur P35 dan varietas Conde sebagai kontrol menunjukkan reaksi tahan (skor 1) terhadap patotype III. Galur yang memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV adalah IR88611-B-5 dengan skor 3 (agak tahan). Kata Kunci: padi, green super rice, ketahanan, hawar daun bakteri. PENDAHULUAN Galur padi green super rice (GSR) merupakan galur–galur padi hasil rakitan dari pemulia padi asal China yang bekerja sama dengan IRRI. Perakitan galur padi GSR ditujukan untuk menghasilkan galur padi yang memiliki sifat tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan P yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif tinggi dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen (Zhang, 2007). GSR sebagai galur introduksi belum tentu memiliki daya adaptasi yang luas terhadap kondisi pertanian di Indonesia. Sehingga diperlukan pengujian terhadap galur GSR untuk mendapatkan informasi ketahanan terhadap hama dan penyakit di Indonesia. Hama utama yang banyak menyerang tanaman padi adalah tikus, wereng batang coklat, dan hama penggerek batang. Sedangkan jenis-jenis penyakit padi yang berkembang di Indonesia diantaranya adalah virus tungro, blast dan hawar daun bakteri (Sudir, 2005). Hawar daun bakteri adalah salah satu penyakit padi yang mempengaruhi produksi hasil dan merusak tanaman (Mew and Nelson, 1994) Penyakit hawar daun bakteri (HDB) disebabkan bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai panen (Triny et al, 2009b). HDB merupakan penyakit utama padi di Indonesia, terutama tanaman padi sawah (Hifni dan Kardin, 1993). Ada dua macam gejala penyakit HDB. Gejala yang muncul pada saat tanaman berumur kurang dari 30 hari setelah tanam, yaitu pada persemaian atau tanaman yang baru dipindah ke lapang, disebut kresek. Gejala yang timbul pada fase anakan sampai pemasakan disebut hawar (blight) (Triny, 2009a). Menurut Prasetiyono (2007), pada kondisi serangan HDB yang berat dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 20%. Selain itu, serangan HDB juga dapat menurunkan mutu beras karena pengisian biji tidak sempurna. Berdasarkan virulensinya terhadap satu set varietas padi diferensial yang mengandung gen ketahanan HDB yang berbeda (varietas diferensial Jepang, Indonesia, dan IRRI) strain Xoo Indonesia dikelompokkan dalam ras (patotipe) (Triny et al, 2009b). Hifni dan Kardin (1998) menjelaskan, patotipe III mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia. Selain itu, patotipe IV dan VIII juga banyak berkembang di daerah sentra produksi padi (Triny, 2009a) Pengujian/skrining ketahanan galur padi GSR terhadap HDB diperlukan untuk mengetahui karakter ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri yang dimiliki oleh galur tersebut. Pada penelitian pendahuluan telah dilakukan pengujian ketahanan galur Green Super Rice terhadap hawar daun bakteri. Sebanyak 80 galur GSR diinokulasi dengan isolat bakteri HDB strain III, IV dan 292
  • 27. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 VIII. Hasil penelitian menunjukkan lima galur tahan (skor 1) terhadap patotype III, yaitu IR 88 611 IR-B-5, LH 1, ZHONGZU 14, BD 007, dan the ZX 117. Tujuh galur GSR menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap inokulasi HDB pathotype IV, galur tersebut adalah IR88611-B-5, LH1, BD 007, CAU 1, ZX 117, dan IR83142-B21-B. Sedangkan skrining terhadap HDB patotype VIII hanya menghasilkan satu galur yang menunjukkan rekasi tahan (skor 1) yaitu BD 007 (Rokhmah et al, 2013). Verifikasi ketahanan galur GSR perlu dilakukan untuk mengetahui konsistensi karakter ketahanan yg dimiliki oleh galur tersebut. Karena Wahyudi et al (2011) menyatakan, HDB memiliki kemampuan untuk membentuk strain baru yang lebih virulen. Selain itu, fenomena ketahanan tanaman dewasa, mutasi dan karakter heterogenitas alamiah populasi mikroorganisame diperkirakan sebagai factor yang mempengaruhi komposisi strain dengan stadium tumbuh tanaman padi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk verifikasi galur padi GSR terhadap penyakit hawar daun bakteri pathotipe lokal Indonesia yaitu pathotipe III, IV dan VIII. Informasi yang diperoleh dari kegiatan verifikasi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan materi untuk program perakitan varietas padi tahan hawar daun bakteri. BAHAN DAN METODE Galur Padi. Materi yang diuji dalam penelitian ini adalah 15 galur green super rice (GSR). Tanaman yang digunakan sebagai kontrol yaitu 3 varietas padi unggul baru dari Indonesia yang terdiri dari ; varietas Conde dan Angke sebagai kontrol tahan, serta varietas Ciherang sebagai kontrol daya hasil. Waktu dan Tempat Penelitian. Kegiatan pengujian ini dilakukan pada musim hujan 2012 di KP Sukamandi. Penanaman dilakukan pada lahan dengan luas plot 2 m x 5 m serta jarak tanam 25 cm x 25 cm serta menggunakan rancangan acak kelompok. Selanjutnya tanaman dipelihara menurut standar pemeliharaan tanaman padi. Inokulasi Bakteri. Isolat-isolat yang diuji, diinokulasikan pada tanaman padi dengan metode gunting pada saat pertanaman menjelang fase primordia. Ujung-ujung daun padi dipotong sepanjang 10 cm dengan gunting inokulasi berisi suspensi bakteri umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Inokulasi dilakukan pada pagi hari atau menjelang sore hari supaya tanaman tidak mendapatkan cekaman suhu yang terlalu tinggi. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan dengan cara mengukur panjang gejala pada 15 dan 30 hari sesudah inokulasi (HSI). Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan panjang daun. Reaksi ketahanan varietas dikelompokkan berdasarkan keparahan penyakit pada pengamatan terakhir. Data keparahan penyakit pada masing- masing galur yang di uji pada masing-masing isolat disajikan dalam bentuk rata- rata, yang dinyatakan dalam satuan persen. Reaksi masing-masing galur diklasifikasikan ke dalam tahan (T), jika keparahan 11% dan rentan (R) jika keparahan 11% . Penyakit diamati setiap 2 minggu dimulai pada 2 minggu setelah inokulasi sampai 2 minggu sebelum panen berdasar Standard Evaluation System (IRRI, 1996) menggunakan skala keparahan 0, 1, 3, 5, 7, dan 9 (Tabel 1). 293
  • 28. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 1. Skoring Tingkat Ketahanan terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri X. oryzae pv. Oryzae (IRRI, 1996) Gejala Serangan 0 Tidak ada gejala 1 keparahan 1-6% 3 keparahan >6 – 12% 5 keparahan >12 – 25% 7 keparahan > 25-50%. 9 keparahan > 50-100%. HASIL Berdasarkan hasil pengamatan pada percobaan verifikasi ketahanan galur padi GSR menunjukkan rata-rata tiga ulangan galur memperlihatkan reaksi yang agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe III setara dengan kontrolnya yaitu Ciherang dan Angke. Hanya P35 yang menunjukkan reaksi tahan, sama dengan varietas kontrolnya yaitu Conde (skor 1). Rata-rata galur GSR memperlihatkan reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan (skor 7) terhadap inokulasi bakteri HDB patotipe IV. Dua galur GSR yaitu P35 dan IR 88611-B-5 cenderung agak tahan (skor 3). Sedangkan pengamatan terhadap sampel yang diinokulasi dengan isolat HDB patotipe VIII menunjukkan reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan (skor 7). Hanya galur P35 dan IR 88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3). Demikian juga dengan varietas kontrolnya, yaitu varietas Conde memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap isolat HDB strain VIII. Tabel 2. Tingkat ketahanan Galur GSR terhadap HDB, MT 1 2012 KP Sukamandi No Genotipe Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII 1 IR64 G 8569-1-2 3 7 5 2 926 3 5 5 3 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1 3 5 5 4 JH 15 1-1-1 3 5 5 5 P 35 1 3 3 6 08 FAN 1 3 7 5 7 FFZ 3 7 5 8 HEXI 41 3 7 7 9 HHZ 5-SAL10-DT2-DT1 3 7 7 10 ZX 115 3 7 5 11 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 3 5 5 12 923 3 7 7 13 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 3 7 7 14 IR 88611-B-5 3 3 3 15 ZX 117 3 7 5 16 Ciherang 3 7 7 17 Conde 1 3 3 18 Angke 3 5 5 294
  • 29. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PEMBAHASAN Kegiatan verifikasi. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi ketahanan yang berkelanjutan (durable resistance) dari galur padi GSR. Namun perubahan reaksi ketahanan terhadap HDB ditunjukkan oleh beberapa galur GSR yang diujikan. Galur yang menunjukan reaksi ketahanan yang berbeda diantaranya adalah ZX 117. Jika pada pengujian awal ZX 117 terdeteksi tahan (skor 1) terhadap patotipe III dan agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe IV. Maka pada verifikasi ini ZX 117 agak tahan (skor 3) terhadap patotipe III dan rentan (skor 7) terhadap pathotipe IV. Galur IR 88611-B-5 menunjukkan reaksi yang sama dengan pada uji pendahuluan dan verifikasi. Pada pengujian awal galur IR88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap patotipe IV, dan pada kegiatan verifikasi juga menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3). Perubahan ketahanan galur padi GSR yang paling besar terhadap pengujian patotipe IV. Menurut Triny et al (2009b), patotipe IV lebih virulen dibandingkan dengan pathotipe III dan VIII. Sehingga beberapa galur agak tahan di pengujian awal, namun menjadi agak rentan atau rentan di pengujian lanjutan. Ketahanan suatu varietas atau galur terhadap HDB merupakan ketahanan yang berdasarkan hipotesis gen ke gen, sehingga satu gen ketahanan hanya dapat berfungsi mematahkan virulensi dari gen yang spesifik (Hifni dan Kardin, 1993). Hasil penelitian Lina dan Silitonga (2011) menyebutkan, bakteri patogen memiliki perilaku yang spesifik dalam menginvasi tanaman inangnya. Satu jenis bakteri dapat menginfeksi dan bermultiplikasi hanya dengan inang tertentu. Jika melihat penurunan ketahanan galur padi GSR lain, maka diduga tidak semua galur GSR yang diujikan memiliki ketahanan berkelanjutan. Hanya galur IR88611-B-5 yang memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV. Hal ini terlihat dari reaksi yang dihasilkan oleh pengujian awal dan verifikasinya. Selain itu, perubahan virulensi patotipe yang diujikan juga berpengaruh terhadap reaksi ketahanan yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian Wahyudi et al (2011), patogen memiliki kemampuan untuk membentuk strain baru yang lebih virulen. Hal lain yang bisa menyebabkan perubahan ketahanan diduga diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Merliyuanti (2013) juga menjelaskan bahwa curah hujan dapat mempengaruhi sebaran penyakit HDB. Semakin tinggi curah hujan akan menyebabkan semakin banyak penyebaran penyakit HDB. Selain ketahanan terhadap HDB, pada percobaan ini juga diamati karakter agronomi dari galur GSR (tabel 3) sebagai data pendukung untuk informasi. Beberapa karakter seperti umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan, seed set, bobot 1000 butir dan kadar air tidak berbeda nyata antara galur yang diujikan dengan varietas kontrolnya. Menurut Zhang (2007) potensi hasil yang dimiliki oleh galur GSR tinggi. Potensi hasil tertinggi dimiliki oleh HHZ 5- Sal10-DT2-DT1 yaitu 6,59 ton/ha, sedangkan potensi hasil terendah dimiliki oleh galur IR 88611-B-5 yaitu 3,75 ton/ha. Menurut Jianchang dan Zhang (2010), terdapat masalah dalam pengisian gabah pada galur GSR. Hal ini disebabkan karena waktu pembungaan yang lebih lama akan menghasilkan malai yang kualitasnya rendah dibandingkan dengan yang berbunga lebih cepat. Sehingga mengakibatkan hasil malai yang diperoleh lebih sedikit. Beberapa galur yang mengalami hal ini, akan menghasilkan produksi yang lebih rendah. 295
  • 30. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Karakter Agronomi Galur GSR, MT 1 2012 KP Sukamandi Umur Umur Tinggi Jumlah Jumlah Bobot No Genotipe Berbunga Panen Tanaman Seed Set Hasil Kadar (HSS) (HSS) (cm) Anakan Malai (%) 1000 btr (gr) (ton/ha) Air (%) 1 IR64 G 8569-1-2 73 123 91 17 43 66,2 26,1 3,75 11,9 2 926 87 117 107,5 14 34 86,6 28,1 5,79 11,8 3 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1 83 113 95,7 14 50 46,1 23 5,43 12,03 4 JH 15 1-1-1 83 114 104,3 11 26 82,1 32,1 5,79 11,93 5 P 35 86 116 95,5 17 55 74 26,7 5,99 11,9 6 08 FAN 1 78 108 102,5 14 50 85,6 27,6 5,32 12,07 7 FFZ 81 111 90,4 16 46 67,5 22,8 5,94 11,83 8 HEXI 41 87 117 99,3 18 50 78,7 25,3 5,9 12,03 9 HHZ 5-SAL10-DT2- 87 113 100,6 15 42 67,6 25,6 5 12,03 DT1 10 ZX 115 85 115 92,4 18 53 76,4 24,9 5,72 11,8 11 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 83 113 88,8 19 53 77,9 24,5 6,59 11,93 12 923 85 115 93 16 43 64,1 25,6 4,48 11,93 13 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 87 117 95,6 14 37 78,6 23,2 5,55 11,93 14 IR 88611-B-5 80 110 98,7 11 33 78,2 24,5 4,63 12,03 15 ZX 117 87 117 93,7 17 57 77,4 25,7 5,38 12 16 Ciherang 86 116 94,9 17 55 70,7 26,1 5,8 12,1 17 Conde 87 117 94,2 19 52 73 25,9 5,51 11,9 18 Angke 83 113 84,1 20 58 84,6 24,4 5,8 12 296
  • 31. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN 1. Hasil verifikasi ketahanan galur padi GSR adalah galur P 35 yang terverifikasi tahan (skor 1) terhadap patotipe III. 2. Galur-galur yang lain menunjukkan reaksi mulai dari agak tahan hingga rentan terhadap patotipe III. 3. Hasil verifikasi galur padi GSR terhadap Patotipe IV dan VIII tidak ada yang menunjukkan reaksi tahan (skor 1). 4. Ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV hanya dimiliki oleh galur IR88611-B-5 yaitu agak tahan (skor 3). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Tim Pemuliaan Tanaman dan Tim Proteksi BB Padi yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Hifni dan M Kardin, 1993. Penyakit hawar daun bakteri padi di Insonesia, hlm : 85-99. Di dalam Syam, H. Kasim & A. Mussaddad (ed). Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan. April 1992-Maret 1993. Bogor: Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Hifni, H.R. dan M Kardin. 1998. Pengelompokan Isolat Xanthomonas oryae pv. Oryzae dengan menggunakan Galur Isogenik Padi IRRI. Hayati. Halaman : 66 – 72 IRRI. 1996. Standard Evaluation System of Rice. IRRI. Los Banos, Philippines. Lina H dan T. S. Silitonga. 2011. Seleksi Lapang Ketahanan Beberapa Varietas Padi terhadap Infeksi Hawar Daun Bakteri Strain IV dan VIII. Buletin Plasma Nutfah. Vol 17 No. 2. Hal : 80-87 Merliyuanti, T.S. 2013. Pemanfaatan Data Curah Hujan untuk Prediksi Sebaran Penyakit Hawar Daun Bakteri Menggunakan Model SMCE (Spatial Multi Criteria Evaluation), Studi Kasus : Tanaman Padi di Kabupaten Karawang. http//:repository.ipb.ac.id Mew and Nelson. 1994. Advances of research on bacterial blight rice (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae). Plant Genetic Bacteria : 25-36. Paris. Prancis. Prasetiyono, J. 2007. Dari demplot Code-Angke di desa Ciranjang, Kabupaten Cianjur-Jawa Barat.Warta Biogen. Vol 3, No 1, April 2007. Bogor. Rokhmah, N.A., Untung Susanto dan Triny S.K. 2013. Green Super Rice (GSR) Lines Resistance to Bacterial Leaf Blight. Prosiding Seminar Internasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sudir. 2005. Pengendalian Beberapa Penyakit Penting Padi yang disebabkan oleh Jamur dan Bakteri. Makalah Loka Karya Pemuliaan Partisipatif dan Hasil Penelitian Padi Tipe Baru. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Triny, S. K. 2009a. Menangkal HDB dengan Menggilir Varietas. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 31 (5): 1-3 297
  • 32. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Triny, suryadi, Sudir dan M. Mahmud. 2009b. Penyakit Bakteri Padi dan Cara Pengendaliannya. Dalam AA Darajat, Agus Setyono, AK Makarim, dan Andi Hasanudin (ed). Padi inovasi Teknologi Produksi. BB Padi. Badan Litbang Pertanian Wahyudi AT, Siti Meliah dan AA Nawangsih. 2011. Xanthomonas oryzae pv oryzae bakteri penyebab hawar daun bakteri pada padi : isolasi, karakterisasi dan telaah mutagenesis dengan transposon. Makara sains. Vol 15. No 1 : 89-96. April 2011. Yang, Jianchang dan Jianhua Zhang. 2010. Grain-filling Problem in ‘Super’ Rice. Jurnal Experimental Botany, Vol 61. No 1, pp. 1-5. Zhang Q. 2007. Genomic based strategies for the development of “green super rice”. Rice Genetics V : Proceeding of the Fifth International Rice genetics Symposium. (ed) DS Brar, DJ Mackill, Bill Hardi. IRRI Philipina 298
  • 33. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengendalian Ulat Tritip dengan Menggunakan Insektisida Berbahan Tumbuhan Kepayang pada Pertanaman Sawi di Lahan Rawa Pasang Surut M.Thamrin*) , S.Asikin dan M. Willis Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel *) Penulis untuk korespondensi: Telp/Fax: +625114772534 / +625114773034 Email: thamrintasrifin@gmail.com ABSTRACT Diamondback moth is the insect pests that many damaging vegetables in several agro-ecosystem. It was reported that this very destructive pest of mustard plants in tidal swamplands of Central Kalimantan with the intensity of damage ranged 60%-85%. Kepayang is one of the plants that are potentially as an bioinsecticide, because can kill some types of insect pests with mortality 65%- 90%. This study aims to determine the level of effectiveness kepayang plants to control diamondback moth. The design used was a randomized block design with five replications, whereas the treatment are (A) extract of kepayang, (B) a combination of kepayang extract with synthetic insecticides, (C) synthetic insecticides, and (D) without being controlled. The results showed that the level of damage to mustard plants at the age of 4 weeks after planting for treatments A, B, C and D respectively 10.3%, 10.0%, 20.0% and 80.0%, and respectively with the results of each plot each 50.0 kg, 52.7 kg, 30.0 kg and 2.3 kg. It can be concluded that the kepayang plants can be made as bioinsecticides for controlling diamondback moth. Keywords: Mustard plants, diamondback moth, bioinsecticide ABSTRAK Ulat tritip Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah hama serangga yang banyak merusak tanaman sayuran di beberapa agroekosistem. Dilaporkan bahwa hama ini sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 60- 85%. Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai insektisida nabati, karena mampu membunuh beberapa jenis hama serangga dengan mortalitas berkisar antara 65-90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas kepayang terhadap ulat tritip. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan perlakuan yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan (A) ekstrak kulit batang kepayang, (B) kombinasi antara ekstrak kulit batang kepayang dengan insektisida sintetik, (C) insektisida sintetik sebagai pembanding pertama, dan (D) tanpa dikendalikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kerusakan sawi pada umur 4 minggu setelah tanam untuk perlakuan A, B, C dan D masing-masing 10,3%, 10,0%, 20,0% dan 80,0% dengan hasil tiap 299
  • 34. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 petak masing-masing 50,0 kg, 52,7 kg, 30,0 kg dan 2,3 kg. Dengan demikian tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati untuk mengendalikan ulat tritip. Kata kunci: tanaman sawi, ulat tritip, insektisida nabati PENDAHULUAN Telah banyak diketahui oleh masyarakat bahwa tanaman hortikultura sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia, akan tetapi dalam usaha peningkatan produktivitasnya tidak jarang mengalami hambatan sehingga tidak mencapai target yang diharapkan. Salah satu hambatannya adalah serangan hama dan penyakit. Organisme ini dapat menurunkan produktivitas baik kuantitatif ataupun kualitatif. Maka untuk mengatasi hal ini, pestisida adalah salah satu cara yang paling banyak digunakan. Salah satu pestisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama serangga adalah insektisida sintetik. Zat kimia ini pada awalnya sangat ampuh digunakan untuk mengendalikan hama serangga karena sangat jelas hasilnya, yaitu berkurangnya kerusakan tanaman dalam waktu yang relatif singkat, sehingga barang beracun ini sangat laris di pasaran. Namun setelah beberapa tahun berjalan, penggunaannya berkurang seiring dengan keampuhannya yang juga berkurang. Ada sebagian petani yang masih menggunakannya dengan cara meningkatkan dosisnya dan disemprot lebih sering, namun yang terjadi adalah sebaliknya, populasi hama yang menyerang semakin meningkat karena terjadinya reistensi dan resurjensi dari hama itu sendiri (Thamrin et al. 2007). Peristiwa seperti yang diuraikan di atas sering terjadi di beberapa tempat, bahkan di negara maju sekalipun. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mendifinisikan kekebalan (resistensi) sebagai berkurangnya respons dari suatu populasi organisme tertentu terhadap pestisida atau bahan pengendali lainnya sebagai akibat dari aplikasinya, sedangkan IRAC (Insecticide Resistance Action Committee) dan GCPF (Global Crop Protection Federation) sekarang CropLife mendifinisikan sebagai berkurangnya sensitivitas suatu populasi hama terhadap pestisida (sesuai anjuran) yang digunakan karena seleksi genetik yang mengakibatkan penurunan efikasi (Djojosumarto, 2008). Sebagai contoh adalah terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT pertama kali dilaporkan pada tahun 1946 di Swedia, karena gagal mengendalikan lalat rumah, kemudian dilaporkan juga kekebalan cendawan penyebab penyakit tanaman terhadap fungisida tertentu yang diketahui setelahnya, sekitar 50 tahun yang lalu bersamaan dengan diintroduksikannya fungisida-fungisida sistemik. Kegagalan lainnya juga diketahui terjadinya kekebalan gulma terhadap herbisida dan tikus terhadap rodentisida. Kejadian seperti ini nampaknya terulang kembali pada beberapa tahun terakhir ini di beberapa daerah di Indonesia, diantaranya pernah terjadi Kalimantan Tengah. Asikin dan Thamrin (2006) melaporkan bahwa ulat tritip sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 60-85%, padahal sudah dikendalikan dengan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang sangat luas tidak hanya mempengaruhi kehidupan serangga tetapi juga sistem fauna dan flora, lingkungan fisik dan kesehatan manusia. Insektisida ini juga memiliki sifat non spesifik 300
  • 35. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 karena dapat membunuh organisme lain diantaranya adalah musuh alami yang harus dipertahankan keberadaannya (Manuwoto 1999; Arinafril dan Muller 1999). Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati yang pada umumnya merupakan senyawa kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran (Sastrodiharjo et al., 1992; Thamrin et al. 2007). Salah satunya adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau lebih dikenal sebagai insektisda nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenoli. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono et al, 1994). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen. Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1987; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Hasil penelitian di laborarotium Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, diketahui beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati, yaitu lukut (Patycerium bifurcatum), gelam (Melaleuca leucadendron), kalalayu (Eriogiosum rubiginosum), lua (Ficus glomerata), kirinyu (Chromolaema odoratum), sarigading (Nyctanthes arbor-tritis), jingah (Glutha rengas) dan kepayang (Pangium edule) (Thamrin et al, 2007). Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai insektisida nabati, karena daya racunnya yang tinggi sehingga mampu membunuh beberapa jenis hama serangga dengan mortalitas berkisar antara 65-90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas ekstrak tumbuhan kepayang terhadap ulat tritip di pertanaman sawi. BAHAN DAN METODE Rancangan percobaan dan perlakuan. Percobaan telah dilaksanakan di desa Bungai Jaya, Kecamatan Basarang (Kabupaten Kapuas, Kalimatan Tengah) pada musim kemarau. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan perlakuan yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan insektisda berbahan nabati dan sintetik serta kontrol atau pembanding (Tabel 1). 301
  • 36. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 1. Perlakuan penggunaan insektisida nabati dan sintetik serta pembandingnya Kode Perlakuan A Pengendalian menggunakan ekstrak kulit batang kepayang B Pengendalian menggunakan ekstrak kulit kepayang dikombinasikan dengan insektisida sintetik (lamda sihalotrin) C Pengendalian menggunakan insektisida sintetik saja (lamda sihalotrin) (pembanding 1) D Tidak dikendalikan (pembanding 2) Tanam dan aplikasi perlakuan. Bibit sawi yang berumur satu minggu ditanam pada masing-masing petak percobaan seluas 25 m2 dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm. Jumlah petak percobaan seluruhnya sebanyak 20 petak, sehingga luas areal percobaan kurang lebih 500 m2 . Pemberian pupuk nitrogen dilakukan satu hari setelah tanam dengan takaran 90 kg N/ha, sedangkan dolomit diberikan pada saat 15 hari sebelum tanam dengan takaran 1 ton/ha. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu terhadap intensitas kerusakan dan jumlah larva yang hidup, sedangkan hasil (kg/petak) dilakukan pada saat panen. Aplikasi perlakuan mulai dilakukan apabila intensitas kerusakan mencapai 5%, dan aplikasi berikutnya apabila kerusakannya meningkat setiap 5%. Kerusakan yang mencapai 50% tidak lagi dilakukan aplikasi insektisida. Untuk perlakuan kombinasi insektisida nabati dengan insektisida sintetik, dilakukan secara berseling yang didahului oleh insektisida nabati. HASIL Data tingkat kerusakan sawi yang disebabkan oleh ulat tritip dan hasil setiap petaknya untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2, sedangkan data banyaknya larva yang hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Daftar uji beda nilai tengah untuk intensitas kerusakan dan hasil sawi Perlakuan Intensitas kerusakan (%) Hasil 2 mst 3 mst 4 mst (kg/petak) A 3.50a 8.33a 10.33a 50.00c B 3.00a 8.67a 10.00a 52.67c C 6.67a 20.17ab 20.17bc 30.00b D 15.50b 37.17b 80.00d 2.33a Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05 302
  • 37. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Daftar uji beda nilai tengah untuk banyak larva hidup Perlakuan Banyak larva hidup/tanaman 2 mst 3 mst 4 mst A 0.27a 0.33a 2.40a B 0.20a 0.37a 3.33a C 0.27a 0.33a 4.20ab D 1.27b 0.53a 7.40b Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05 PEBAHASAN Pengamatan pada saat tanaman berumur dua minggu, intensitas kerusakan masih dibawah 10%, kecuali pada perlakuan pembanding (tanpa dikendalikan) mencapai 15,5%. Kerusakan tanaman semakin meningkat pada pengamatan berikutnya (pada saat tanaman berumur 3 dan 4 minggu), namun intensitas kerusakan tanaman pada perlakuan A (ekstrak kepayang) masing-masing hanya 8,3 dan 10,3%, sedangkan pada perlakuan pembanding (D) masing-masing 37,2% dan 80,0% (Tabel 2). Tingginya intensitas kerusakan tanaman pada perlakuan C, disebabkan meningkatnya populasi tritip karena pada saat tersebut banyak ditemukan larva yang hidup, masing-masing 5,0 dan 7,4 larva/tanaman (Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulat tritip berkembangbiak sangat sangat cepat dan dapat bertelur 250 sampai 300 butir (Capinera 2012). Intensitas kerusakan untuk perlakuan C (insektisida sintetik) pada saat tanaman berumur 4 minggu cukup tinggi (20%), diduga bahwa kurang efektifnya insektisida tersebut disebabkan terjadinya resistensi hama serangga karena frekuensi penggunaan insektisida berbahan aktif lamda sihalotrin di daerah ini sangat tinggi. Hal yang serupa juga terjadi di daerah Landasan Ulin (Kota Banjarbaru, Kalsel), kerusakan sawi pada perlakuan pengendalian dengan menggunakan lamda sihalotrin mencapai 60%. Hal ini disebabkan dosis dan frekuensi penggunaan insektisida tersebut sangat tinggi yang menyebabkan terjadinya resistensi hama (Samharinto dan Pramudi, 2007). Berkembangnya suatu populasi serangga dari yang semula rentan menjadi kurang rentan dan akhirnya kebal (resisten) terhadap insektisida merupakan proses seleksi alam. Dalam hal ini individu-individu yang paling kuat atau dapat menyesuaikan diri (tahan terhadap insektisida) akan tetap bertahan hidup, sebaliknya individu yang tidak mampu bertahan hidup akan punah. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida antara lain genetik, biologi dan ekologi serangga dan operasional (jenis dan aplikasi insektisida). Gen pembawa sifat resisten terhadap pestisida tertentu merupakan sumber pertama terjadinya proses kekebalan, semakin banyak individu membawa gen resisten, semakin cepat terjadinya resistensi pada populasi tersebut. Adanya seleksi dari pestisida lain sebelumnya juga mempengaruhi proses berkembangnya kekebalan. Perkembangbiakan serangga yang kebal terhadap insektisida biasanya berlangsung lebih cepat dibandingkan populasi serangga yang rentan. Penggunaan satu jenis insektisida secara terus-menerus cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi, sebaliknya penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari golongan kimia yang berbeda dan cara 303
  • 38. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kerja yang berbeda akan menghambat proses terjadinya resistensi (Djojosumarto, 2008). Selain data intensitas kerusakan, ternyata data hasil sawi juga berpengaruh terhadap perlakuan yang diberikan, data hasil sawi untuk perlakuan A dan B masing-masing 50,0 dan 52,7 kg/petak, sedangkan perlakuan kontrol (C dan D) masing-masing hanya 30,0 dan 2,3 kg (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Agroresidu Pertanian, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor, bahwa salah satu senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan kepayang adalah pyrethrin. Senyawa ini telah banyak diteliti, antara lain dinyatakan bahwa pyrethrin bekerja sangat cepat mengganggu jaringan saraf serangga sehingga dapat langsung membuat pingsan serangga, tetapi aman terhadap manusia dan hewan, namun jika tercium (inhalasi) oleh mamalia maka akan lebih meracun, karena proses inhalasi menyediakan lebih banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah menuju otak. Selain itu pyrethrin tidak bekerja secara sistemik namun merupakan racun kontak yang bekerja cepat mempengaruhi sistem syaraf serangga sehingga menimbulkan gejala kelumpuhan dan kematian (Worthing, 1987). Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu, sehingga pestisida ini aman terhadap lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembaban udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa. Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak boleh dicampur dengan kapur. George (1983) menyatakan bahwa daya racun pyrethrin meningkat sejalan dengan semakin menurunnya temperatur. Zat ini menyerang simpul-simpul elektrokimia syaraf yang merupakan suatu jaringan penghubung antara organ tubuh (jaringan axon) seperti otot yang menerima rangsangan dari luar maupun dari dalam. Pyrethrin pada mulanya mempengaruhi sel syaraf dan akhirnya menggangu fungsi otot sehingga otot menjadi kejang- kejang, akhirnya terjadi gejala paralisis yang diikuti dengan kematian. Namun demikian, pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu serangga dapat pulih kembali apabila jumlah pyrethrin masih di bawah ambang toleransi serangga. Selain itu pyrethrin cepat terdegredasi di alam, khususnya apabila terkena sinar matahari sehingga zat ini tidak persisten baik di lingkungan maupun pada bahan makanan. Sifat khas ini mungkin akan menghambat terjadinya kasus resurgensi dan resistensi serangga terhadap pyrethrin, serta mencegah terjadinya polusi terhadap lingkungan Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon kepayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga. Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan karena tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan. Sedangkan Nunik et.al (1997), mengemukakan bahwa kepayang dapat juga digunakan sebgai bahan pengawet ikan, diduga ekstrak kepayang atau bagian dari buah kepayang tersebut mengeluarkan bau spesifik yang dapat mempengaruhi syaraf lalat, sehingga lalat kurang menyukai ikannya. Selain itu ikan tidak terserang mikroflora seperti Aspergillus niger, A.ochraceus, Mucor sp dan Rhizupos sp. 304
  • 39. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati sehingga berpotensi mensubstitusi insektisida sintetik untuk mengendalikan ulat tritip agar proses resistensi pada hama serangga dapat dihambat 2. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dalam areal yang luas agar hasilnya lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas biokimia ekstrak nimba terhadap perkembangan Tritip xylostella. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 381-385. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2006. Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan S.S. Antarlina (Ed). 73-86. Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas dan pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 203-207. Capinera, J.L. 2012. Diamondback Moth, Plutella xylostella (Linnaeus) (Insecta: Lepidoptera: lutellidae). University of Florida. 4p. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan aplikasinya. PT. Agromedia Pustaka. 340 hal. George, W.W. 1983. Modes of action for insecticides. Pesticides: Theory and Application. The British Crop Protection Council. pp. 145-148. Grainge, M and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York: J. Wiley. 470 pp. Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 1-12. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. 305
  • 40. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Mudjiono, A., Suyanto dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati, mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutela xylostella. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 86-90. Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers. Samharinto., S dan Pramudi, I. 2007. Eksplorasi dan efikasi tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Laporan Hasil Penelitian Hibah Fundamental. Fak. Pertanian UNLAM Banjarbaru. Sastrodiharjo, S., I. Achmad., T. Kusumaningtyas dan S. Manaf. 1992. Penggunaan produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU. Ilmu Hayati ITB. 29p. Schmutterer, H. 1995. The neem tree, Azadirachta indica A. Juss. And other Meliaceous plants: Source of Unique Nadtural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Pusposes. Weinham: VCH. Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis dan A. Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. 31-48. Dalam Supriyo, A., M. Noor, I. Ar-Riza dan D. Nazemi (Ed) Keanekaragaman Flora dan Buah-buah Eksotik Lahan rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Thamrin., M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk pengendalian ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan sayuran di lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian dengan Lembaga Riset dan Teknologi. 14p. Wardhana, A., G. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kepayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Tritip xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Worthing, C.R. 1987. The Pesticide Manual, a World Compendium. The British Crop Protection Council pp. 726-730. 306
  • 41. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Optimalisasi Peran Mitra Salimah dalam Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Provinsi Jambi The Partnership Optimization of Salimah for Developing of Sustainable Food House Model in Jambi Province Masito, Desy Novriati Dan Syafri Edi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal V (Lima) Kota Baru Jambi seatho_katsuya@yahoo.co.id ABSTRACT Ministry of Agriculture make an effort the development and dissemination of implementation Region Sustainable Food House Model ( m - KRPL ) activities with the concept of partnership . M - KRPL dissemination activities in Jambi can be realized by optimizing the role of partners in the implementation of activities . Based on the need for cooperation with partners in developing m - KRPL , then BPTP Jambi in cooperation with one of the mass organizations that Salimah (Muslimah Brotherhood) to undertake the development of m - KRPL in Jambi Province in 2013. Activity Partner m - KRPL Salimah held in Kenali Asam Bawah Village Kotabaru District of the city of Jambi. The aim of the partnership is to optimize the implementation of development of KRPL. Plants are cultivated : a) vegetable leaf crops , b) vegetable crops of fruit, c) crop-producing plants and d) medicine crops. Cultivation is done on the pile, polybag, rack storey, paste and hanging. From the results obtained that the number of RPL activity early are 30 families and at the end of the activity developed into 58 families or an increase 93,33 % . PPH beginning and end of the activity of 56,4 to 73,1 or an increase of 29,61 %. Dissemination and increase the number of RPL due to the role of socialization and mentoring teams and their m - KRPL optimal role of Salimah partners . Another positive impact of group participation in various competitions including utilization yard race in the city and district level, women's race caring environment in Jambi City. Keywords : Partner Salimah, optimization, development , m – KRPL ABSTRAK Kementerian Pertanian mengupayakan pengembangan dan penyebarluasan implementasi kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (m-KRPL) dengan konsep kemitraan. Penyebarluasan kegiatan m-KRPL di Provinsi Jambi dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan peran mitra dalam pelaksanaan kegiatan. Bertitik tolak dari perlunya kerjasama dengan mitra dalam mengembangkan m- KRPL, maka BPTP Jambi bekerjasama dengan salah satu Organisasi Massa yaitu Salimah (Persaudaraan Muslimah) dalam melakukan pengembangan m-KRPL di Provinsi Jambi pada Tahun 2013. Kegiatan m-KRPL Mitra Salimah 307
  • 42. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dilaksanakan di Kelurahan Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Kota Jambi. Tujuan kemitraan adalah mengoptimalisasikan implementasi pengembangan KRPL. Tanaman yang dibudidayakan: a) tanaman sayuran penghasil daun, b) tanaman sayuran penghasil buah c) tanaman penghasil crop dan d) tanaman obat keluarga. Budidaya tanaman dilakukan pada bedengan, polybag, rak-rak bertingkat, tempel dan gantung. Dari hasil kegiatan diperoleh bahwa jumlah RPL awal adalah 30 KK dan pada akhir kegiatan berkembang menjadi 58 KK atau terjadi peningkatan 93,33%. PPH awal sebesar 56,4 dan diakhir kegiatan menjadi 73,1 atau terjadi peningkatan sebesar 29,61%. Penyebarluasan dan penambahan jumlah RPL disebabkan peran sosialisasi dan pendampingan tim m-KRPL dan adanya peran yang optimal dari mitra Salimah. Dampak positif lainnya adalah keikutsertaan kelompok dalam berbagai perlombaan diantaranya lomba Pemanfaatan Pekarangan tingkat kecamatan dan kota dan lomba perempuan peduli Lingkungan tingkat Kota Jambi. Kata Kunci : Mitra Salimah, optimalisasi, pengembangan, m-KRPL PENDAHULUAN Lahirnya program m-KRPL dilatarbelakangi oleh upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan yang masih mengalami banyak tantangan. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif kebijakan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan (Saptana. 2012). Prinsip pengembangan KRPL adalah mendukung upaya: (1) Ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, (2) Diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (3) Konservasi tanaman pangan untuk masa depan, dan (4) Peningkatan kesejahteraan keluarga (Kementan, 2011). Pengembangan KRPL diimplementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun di perdesaan. Pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman pangan, tanaman obat keluarga (toga), budidaya ikan, dan ternak. Kelestarian pemanfaatan pekarangan menuntut adanya : (1) Infrastruktur, (2) Kelembagaan dan partisipasi aktif local champion, (3) Ketersediaan benih/bibit melalui pengembangan Kebun Bibit Desa (KBD) atau Kebun Bibit Kelurahan (KBK), yang dapat mensuplai kebutuhan benih/bibit anggota masyarakat yang menerapkannya secara berkelanjutan, dan (4) Dukungan pemerintah daerah (Badan Litbang Pertanian, 2011). Pengembangan m-KRPL utamanya untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga dan antisipasi pada saat harga pangan melonjak tinggi (Novitasari, 2011). Sasaran pola penataan pekarangan melalui penerapan budidaya berbagai komoditas diharapkan dapat meningkatkan nilai Pola Pangan Harapan (PPH). Perbaikan ekonomi keluarga dapat diciptakan atau ditingkatkan melalui pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL). Secara umum, penerapan m-KRPL lebih banyak menyentuh peran perempuan atau ibu rumah tangga dalam pengelolaannya, maka program ini diharapkan relatif mudah dan cepat 308