Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang berpotensi besar untuk usaha pertanian. Daerah aliran
sungai (DAS) Limboto mempunyai lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian seluas 37.049 ha,
sedangkan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pertanian 33.144 ha. Untuk memanfaatkan
lahan kering tersebut, dapat diterapkan beberapa strategi dan teknologi yang meliputi: 1) pengelolaan sistem budi
daya, yang mencakup pengelompokan tanaman dalam suatu bentang lahan mengikuti kebutuhan air yang sama,
penentuan pola tanam yang tepat, pemberian mulsa dan bahan organik, pembuatan pemecah angin, dan penerapan
sistem agroforestry, 2) pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penyuluhan, penyediaan sarana dan
prasarana produksi serta permodalan petani, pemberdayaan kelembagaan petani dan penyuluh, serta penerapan
sistem agribisnis, dan 3) implementasi kebijakan yang berpihak kepada pertanian, yang meliputi pemberian subsidi
kepada petani di daerah hulu untuk melaksanakan konservasi lahan, pemberian subsidi pajak kepada petani di
daerah hulu, penetapan peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berbasis konservasi, dan
pengelolaan lahan dengan sistem hak guna usaha (HGU). Hal lain yang terpenting dalam pemanfaatan lahan kering
adalah sinkronisasi dan koordinasi antarinstitusi pemerintah dengan melibatkan petani untuk menghindari tumpang
tindih kepentingan.
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012NurdinUng
Penelitian ini mengkaji laju infiltrasi dan permeabilitas tanah di areal Kampus 1 Universitas Negeri Gorontalo untuk menentukan fungsinya sebagai daerah resapan air. Hasilnya menunjukkan bahwa laju infiltrasi dan permeabilitas tanah di area tersebut termasuk sangat cepat, dengan nilai tertinggi pada jarak 140 meter dan terendah pada 170 meter.
Banana is one of the export commodities important, but most
farmers were cultivated as a side commodity only. The objective of the study was to evaluate the land suitability for banana development and its limiting factors. This study was done with four stages, i.e: data collection, laboratory analysis, data compilation, and data interpretation. Land suitability analysis using matching approach and tools of geographical information system (GIS) software. Determining of land suitability classes using FAO (1976) framework of land evaluation. The result shown that land suitability for banana was classified as suitable (N) widely of 204,696.99 ha, and widely of 13,999.53 ha of not suitable (N). The limiting factors for banana development were erosion hazard, water and oxygen availability, and roots condition.
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...NurdinUng
Dokumen tersebut membahas tentang morfologi, sifat fisik dan kimia dua pedon tanah Inceptisol yang berasal dari endapan lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Kedua pedon tanah memiliki warna coklat dan tekstur bervariasi antara lempung dan liat. Sifat-sifat tanah menunjukkan telah terbentuk horison kambik namun belum horison argilik. Kedua pedon diklasifikasikan sebagai Typic Eutrudept dan
Teks tersebut memberikan informasi mengenai penilaian kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan jagung di kebun percobaan Dulamayo, Gorontalo. Penelitian ini menggunakan metode evaluasi lahan dan pendekatan parametrik dengan indeks akar kuadrat untuk menentukan kelas kesesuaian. Hasilnya menunjukkan bahwa lahan kebanyakan layak digunakan untuk jagung lokal tanpa pupuk dan dengan pupuk nasional, sedangkan untuk jagung ungg
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...NurdinUng
Dokumen tersebut membahas penelitian tentang kombinasi teknik konservasi tanah yang dapat menekan erosi tanah dan meningkatkan hasil jagung di lahan kering. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor utama yaitu kontur dan strip. Hasil penelitian menunjukkan penanaman menurut kontur meningkatkan hasil jagung tetapi meningkatkan erosi tanah, sedangkan strip cropping menurangi erosi tanah meski menurunk
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...NurdinUng
Teks tersebut membahas hasil penelitian pengaruh pemupukan unsur hara Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) terhadap hasil tanaman jagung. Penelitian menggunakan metode uji kurang satu dengan empat perlakuan kombinasi pupuk yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk secara berimbang dan lengkap memberikan pengaruh positif terhadap panjang tongkol dan hasil jagung. Kombinasi pupuk NPK memberikan
Tingkat erosi-permukaan-pada-lahan-pertanian-jagung-di-das-alo-pohu-provinsi-...zulfikar fahmi
Dokumen ini membahas penelitian tentang tingkat erosi permukaan pada lahan pertanian jagung di DAS Alo-Pohu, Gorontalo. Penelitian mengkaji tingkat erosi pada berbagai kemiringan lereng dan curah hujan. Hasilnya menunjukkan tingkat erosi berkisar antara 1,04-176,49 ton/ha/tahun tergantung kemiringan lereng."
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012NurdinUng
Penelitian ini mengkaji laju infiltrasi dan permeabilitas tanah di areal Kampus 1 Universitas Negeri Gorontalo untuk menentukan fungsinya sebagai daerah resapan air. Hasilnya menunjukkan bahwa laju infiltrasi dan permeabilitas tanah di area tersebut termasuk sangat cepat, dengan nilai tertinggi pada jarak 140 meter dan terendah pada 170 meter.
Banana is one of the export commodities important, but most
farmers were cultivated as a side commodity only. The objective of the study was to evaluate the land suitability for banana development and its limiting factors. This study was done with four stages, i.e: data collection, laboratory analysis, data compilation, and data interpretation. Land suitability analysis using matching approach and tools of geographical information system (GIS) software. Determining of land suitability classes using FAO (1976) framework of land evaluation. The result shown that land suitability for banana was classified as suitable (N) widely of 204,696.99 ha, and widely of 13,999.53 ha of not suitable (N). The limiting factors for banana development were erosion hazard, water and oxygen availability, and roots condition.
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...NurdinUng
Dokumen tersebut membahas tentang morfologi, sifat fisik dan kimia dua pedon tanah Inceptisol yang berasal dari endapan lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Kedua pedon tanah memiliki warna coklat dan tekstur bervariasi antara lempung dan liat. Sifat-sifat tanah menunjukkan telah terbentuk horison kambik namun belum horison argilik. Kedua pedon diklasifikasikan sebagai Typic Eutrudept dan
Teks tersebut memberikan informasi mengenai penilaian kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan jagung di kebun percobaan Dulamayo, Gorontalo. Penelitian ini menggunakan metode evaluasi lahan dan pendekatan parametrik dengan indeks akar kuadrat untuk menentukan kelas kesesuaian. Hasilnya menunjukkan bahwa lahan kebanyakan layak digunakan untuk jagung lokal tanpa pupuk dan dengan pupuk nasional, sedangkan untuk jagung ungg
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...NurdinUng
Dokumen tersebut membahas penelitian tentang kombinasi teknik konservasi tanah yang dapat menekan erosi tanah dan meningkatkan hasil jagung di lahan kering. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor utama yaitu kontur dan strip. Hasil penelitian menunjukkan penanaman menurut kontur meningkatkan hasil jagung tetapi meningkatkan erosi tanah, sedangkan strip cropping menurangi erosi tanah meski menurunk
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...NurdinUng
Teks tersebut membahas hasil penelitian pengaruh pemupukan unsur hara Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) terhadap hasil tanaman jagung. Penelitian menggunakan metode uji kurang satu dengan empat perlakuan kombinasi pupuk yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk secara berimbang dan lengkap memberikan pengaruh positif terhadap panjang tongkol dan hasil jagung. Kombinasi pupuk NPK memberikan
Tingkat erosi-permukaan-pada-lahan-pertanian-jagung-di-das-alo-pohu-provinsi-...zulfikar fahmi
Dokumen ini membahas penelitian tentang tingkat erosi permukaan pada lahan pertanian jagung di DAS Alo-Pohu, Gorontalo. Penelitian mengkaji tingkat erosi pada berbagai kemiringan lereng dan curah hujan. Hasilnya menunjukkan tingkat erosi berkisar antara 1,04-176,49 ton/ha/tahun tergantung kemiringan lereng."
Dokumen tersebut membahas tentang sumber daya lahan khususnya tanah, mulai dari definisi lahan dan sumber daya lahan, komponen-komponen yang membentuk tanah, faktor-faktor pembentuk tanah, sifat-sifat tanah, sistem klasifikasi tanah menurut USDA, serta jenis-jenis ordo tanah.
Dokumen tersebut membahas kondisi lahan dan sistem pertanian serta metode konservasi yang digunakan di Desa Labone. Lahan pertanian di desa ini berlereng dan petani menggunakan metode vegetatif dengan pemberian mulsa. Metode konservasi yang digunakan masyarakat adalah pemberian mulsa dan penanaman tanaman penutup tanah.
Pengolahan tanah dilakukan untuk memperbaiki struktur tanah agar dapat berfungsi secara optimal untuk pertumbuhan tanaman. Proses pengolahan tanah meliputi pembajakan, penggemburan, pembuatan parit, dan pemupukan untuk meningkatkan aerasi, drainase, dan kesuburan tanah. Tujuan akhir pengolahan tanah adalah menciptakan kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman.
Makalah ini membahas tentang konservasi tanah dan air secara mekanik dengan 3 kalimat:
1) Mendefinisikan konservasi tanah dan air sebagai upaya untuk melestarikan sumber daya alam tanah dan air.
2) Menguraikan beberapa teknik konservasi tanah secara mekanik seperti teras, gulud, dan cek dam.
3) Menjelaskan pentingnya memilih teknik konservasi yang sesuai dengan masalah erosi yang dihadapi sepert
Analisis Sistem Pemanfaatan Lahan Pertanian (ALUSA) digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tertentu dengan mempertimbangkan faktor-faktor fisik, sosial, dan ekonomi guna perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan. ALUSA melibatkan survei sumber daya alam, penentuan satuan pemetaan lahan, identifikasi tipe penggunaan lahan yang relevan, dan klasifikasi kesesuaian lahan
Suriadi (g2 s119006) bahan presentase tanah ultisolSuriadiLakata
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas pengembangan tanah Ultisol yang dilakukan melalui tiga pendekatan geografi yaitu keruangan, kelingkungan, dan kewilayahan.
2. Pada pendekatan keruangan, dibahas tentang pengaruh kondisi alam terhadap produktivitas tanaman di lahan Ultisol. Pada pendekatan kelingkungan, dibahas tentang interaksi antara organisme dengan lingkungan di
Dokumen tersebut membahas tentang evaluasi lahan, dimulai dari latar belakang dan manfaat evaluasi lahan untuk perencanaan penggunaan lahan dan kelestarian sumber daya lahan. Dokumen ini juga menjelaskan perbedaan antara tanah dan lahan, serta pengertian evaluasi lahan dan berbagai cara yang dilakukan. Selanjutnya dibahas sistem klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan lahan untuk menentukan pengguna
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang konservasi tanah dan air secara vegetatif dan kimia
2. Metode konservasi tanah secara vegetatif meliputi penghutanan kembali, wanatani, dan pertanaman sela
3. Konservasi tanah secara kimia melibatkan penggunaan bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...d1051231039
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan penting secara global. Terbentuk dari endapan bahan organik yang terdekomposisi selama ribuan tahun, lahan gambut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, serta mengatur siklus air. Kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya habitat, degradasi lingkungan, dan penurunan kesuburan tanah. Kerusakan lahan gambut di Indonesia telah meningkat seiring waktu, dengan laju deforestasi dan degradasi lahan gambut yang signifikan. Menurut data, sekitar 70% dari lahan gambut di Indonesia telah rusak, dan angka tersebut terus meningkat. Kerusakan lahan gambut memiliki dampak yang luas dan serius, tidak hanya secara lokal tetapi juga global. Selain menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan yang khas bagi ekosistem gambut, kerusakan lahan gambut juga melepaskan jumlah karbon yang signifikan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global.Kerusakan lahan gambut memiliki dampak negatif yang luas pada masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Dalam jangka panjang, kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya sumber daya alam, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan risiko bencana alam.
Dokumen tersebut membahas tentang sumber daya lahan khususnya tanah, mulai dari definisi lahan dan sumber daya lahan, komponen-komponen yang membentuk tanah, faktor-faktor pembentuk tanah, sifat-sifat tanah, sistem klasifikasi tanah menurut USDA, serta jenis-jenis ordo tanah.
Dokumen tersebut membahas kondisi lahan dan sistem pertanian serta metode konservasi yang digunakan di Desa Labone. Lahan pertanian di desa ini berlereng dan petani menggunakan metode vegetatif dengan pemberian mulsa. Metode konservasi yang digunakan masyarakat adalah pemberian mulsa dan penanaman tanaman penutup tanah.
Pengolahan tanah dilakukan untuk memperbaiki struktur tanah agar dapat berfungsi secara optimal untuk pertumbuhan tanaman. Proses pengolahan tanah meliputi pembajakan, penggemburan, pembuatan parit, dan pemupukan untuk meningkatkan aerasi, drainase, dan kesuburan tanah. Tujuan akhir pengolahan tanah adalah menciptakan kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman.
Makalah ini membahas tentang konservasi tanah dan air secara mekanik dengan 3 kalimat:
1) Mendefinisikan konservasi tanah dan air sebagai upaya untuk melestarikan sumber daya alam tanah dan air.
2) Menguraikan beberapa teknik konservasi tanah secara mekanik seperti teras, gulud, dan cek dam.
3) Menjelaskan pentingnya memilih teknik konservasi yang sesuai dengan masalah erosi yang dihadapi sepert
Analisis Sistem Pemanfaatan Lahan Pertanian (ALUSA) digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tertentu dengan mempertimbangkan faktor-faktor fisik, sosial, dan ekonomi guna perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan. ALUSA melibatkan survei sumber daya alam, penentuan satuan pemetaan lahan, identifikasi tipe penggunaan lahan yang relevan, dan klasifikasi kesesuaian lahan
Suriadi (g2 s119006) bahan presentase tanah ultisolSuriadiLakata
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas pengembangan tanah Ultisol yang dilakukan melalui tiga pendekatan geografi yaitu keruangan, kelingkungan, dan kewilayahan.
2. Pada pendekatan keruangan, dibahas tentang pengaruh kondisi alam terhadap produktivitas tanaman di lahan Ultisol. Pada pendekatan kelingkungan, dibahas tentang interaksi antara organisme dengan lingkungan di
Dokumen tersebut membahas tentang evaluasi lahan, dimulai dari latar belakang dan manfaat evaluasi lahan untuk perencanaan penggunaan lahan dan kelestarian sumber daya lahan. Dokumen ini juga menjelaskan perbedaan antara tanah dan lahan, serta pengertian evaluasi lahan dan berbagai cara yang dilakukan. Selanjutnya dibahas sistem klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan lahan untuk menentukan pengguna
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang konservasi tanah dan air secara vegetatif dan kimia
2. Metode konservasi tanah secara vegetatif meliputi penghutanan kembali, wanatani, dan pertanaman sela
3. Konservasi tanah secara kimia melibatkan penggunaan bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...d1051231039
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan penting secara global. Terbentuk dari endapan bahan organik yang terdekomposisi selama ribuan tahun, lahan gambut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, serta mengatur siklus air. Kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya habitat, degradasi lingkungan, dan penurunan kesuburan tanah. Kerusakan lahan gambut di Indonesia telah meningkat seiring waktu, dengan laju deforestasi dan degradasi lahan gambut yang signifikan. Menurut data, sekitar 70% dari lahan gambut di Indonesia telah rusak, dan angka tersebut terus meningkat. Kerusakan lahan gambut memiliki dampak yang luas dan serius, tidak hanya secara lokal tetapi juga global. Selain menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan yang khas bagi ekosistem gambut, kerusakan lahan gambut juga melepaskan jumlah karbon yang signifikan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global.Kerusakan lahan gambut memiliki dampak negatif yang luas pada masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Dalam jangka panjang, kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya sumber daya alam, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan risiko bencana alam.
Dokumen tersebut membahas tentang tanah, lahan, dan makhluk hidup. Ia menjelaskan tentang sifat fisik dan kimia tanah, profil tanah, tata guna lahan, dan berbagai kawasan seperti hutan produksi, pertanian, pertambangan, pemukiman, industri, dan pariwisata.
Pengelolaan Lahan Gambut Sebagai Media Tanam Dan Implikasinya Terhadap Konser...d1051231053
Gambut merupakan tanah yang memiliki karakteristik unik. Lahan gambut yang begitu luas di beberapa pulau besar di Indonesia, menjadikan pengelolaan lahan gambut sering dilakukan, terutama dalam peralihan fungsi menjadi perkebunan, pertanian, hingga pemukiman. Pada studi kasus ini lebih berfokus pada degradasi lahan gambut menjadi media tanam, proses, dampak, serta upaya pemulihan dampak yang dihasilkan dari degradasi lahan gambut tersebut
Studi ini menganalisis perubahan tataguna lahan terhadap usia bendungan Tilong di DAS Tilong, Kupang, NTT. Hasil studi menunjukkan besarnya laju erosi dan sedimentasi di DAS Tilong akibat perubahan tata guna lahan, serta tingkat bahaya erosi yang sangat tinggi. Untuk mengurangi laju erosi, diperlukan arahan penggunaan lahan dan konservasi lahan melalui pembangunan dam pengendali serta kerjasama antara masyar
Dokumen ini membahas tentang penelitian pekarangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan pola pekarangan petani dan nelayan di kabupaten tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah survei rumah tangga sebanyak 100 rumah di dua kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan komposisi tanaman dan luas lahan pekarangan antara petani dan nelayan di Kabupaten Lam
Dokumen tersebut membahas pengelolaan lahan gambut kritis di Kalimantan Tengah dengan penanaman tanaman karet dan jelutung untuk merehabilitasi lahan serta mengurangi ancaman kebakaran. Proyek pilot dilakukan di Pulang Pisau dengan menanam 10 ha karet dan 10 ha jelutung dengan melibatkan masyarakat. Hasilnya, penanaman karet dan jelutung di lahan gambut merupakan solusi untuk pemanfaatan lahan dan pencegahan kebakaran hut
Agroforestry merupakan salah satu cara konservasi tanah dan air yang dinilai mampu mengatasi permasalahan penurunan kualitas lahan dan peningkatan ekonomi. Sistem agroforestry dapat berupa kombinasi tanaman-pohon, padang rumput-pohon, atau tanaman-pohon-padang rumput guna memproduksi hasil pertanian, kehutanan, dan peternakan secara lestari.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Dokumen tersebut membahas rencana tata ruang dan degradasi lahan di Kabupaten Purbalingga. Dokumen ini menjelaskan tentang lahan, rencana tata ruang, pola hubungan penduduk dengan degradasi lahan, dampak degradasi lahan, upaya penanggulangannya seperti reboisasi.
Dokumen tersebut membahas rencana diseminasi hasil pengkajian penerapan inovasi teknologi pertanian untuk peningkatan indeks pertanaman di Sumatera Selatan. Tujuan pengkajian ini adalah meningkatkan produktivitas lahan sawah tadah hujan dan lahan kering dengan memanfaatkan teknologi budidaya yang tepat seperti varietas unggul dan pola tanam yang efisien. Pengkajian akan dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan
Teks tersebut membahas tentang pengelolaan usahatani jagung yang berwawasan lingkungan pada lahan kering. Teknologi yang ditawarkan meliputi penanaman tepat waktu, pola tanam ganda, penyiapan lahan minimal, pemupukan berimbang, dan varietas unggul yang toleran terhadap lingkungan lahan kering.
Peningkatan kualitas pupuk organik produksi pokta rukun sejahtera desa bualo ...NurdinUng
Provision of organic fertilizers was done as an alternative to reduce dependence on inorganic fertilizers, even though they were substantive in nature. Apart from being one of the solutions to the scarcity of subsidized fertilizers, it was also an effort to increase agricultural production, as well as protect the plant environment from pollution and maintain soil fertility. The production of organic fertilizers from local agricultural waste has been proven and successfully carried out by farmer groups based on visual criteria that are fine-textured, black in color and smell of soil. Testing of the nutritional content of organic fertilizers has been carried out and the results prove that the minimum technical requirements for solid organic fertilizers have been met, so that larger scale production can be carried out by farmer groups. To follow up on this activity, suggestions that need to be made include: (a) the potential for agricultural waste from sugarcane and oil palm plantations that has not been used in the manufacture of organic fertilizers can be used as raw material, so that it will enrich the nutritional content and the novelty of this organic fertilizer; (b) the need for licensing for the production of organic fertilizer for farmer groups requires assistance from the instant dan associated with these authority dan regulation; and (c) the need for good and attractive packaging, so that it will market-oriented.
Pemanfaatan lahan kosong dan pekarangan melalui pemberdayaan petani horikultu...NurdinUng
Dokumen tersebut merupakan ringkasan dari hasil penelitian tentang pemanfaatan lahan kosong dan pekarangan rumah melalui pemberdayaan petani hortikultura di Desa Huntu Barat, Kabupaten Bone Bolango selama masa pandemi Covid-19. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam memanfaatkan lahan kosong dan pekarangan rumah untuk budidaya sayuran, serta mensosialisasikan protokol kesehatan Covid-
Prosiding seminar nasional pekan pertanianNurdinUng
Rice crops require sufficient amount of water for their development, but water is often a limiting factor if it is grown on dry Vertisol soils. The study aimed to determine the monthly water availability and water available of soil profiles for paddy on Endoaquert Ustic of Paguyaman. The research was conducted on 2 pedon of Vertisol soil profiles, which were pedon from Sidomukti Village of Mootilango District of Gorontalo Regency and from Sosial Village of Paguyaman District of Boalemo Regency. The soil profile was constructed and sampled according to soil survey principles. Climate data were collected from the Sidodadi and Molombulahe climate stations, including: rainfall data (mm), temperature (°C), relative humidity (%) and wind speed (km hour-1). Soil data used, including: soil water content of field capacity (pF = 2.5) and permanent wilting point (pF = 4.2) and root depth on 30 cm (rice roots). Monthly water availability analysis was using water balance method followed by water balance of soil profiles. The results showed that monthly water availability of Vertisol from Sidomukti Village was higher than Vertisol from Social Village. Water available of Vertisol soil profile from Sidomukti Village more by 41.09% compared to Vertisol from Social Village.
This study aims to determine the soil mineralogy and soil chemical properties at two rainfed soil pedons in Sidomukti, Gorontalo. This study was conducted at 2 pedon of rainfed paddy soils from Sidomukti Village Mootilango District of Gorontalo Regency. Implementation of the field based on the location of the example profile (pedon). The soil profile is made and sampled in accordance with the principles of soil surveying. Result of this research showed that Pedon PNS1 had easily weathered minerals (albite, sanidin and green hornblende) more than pedon PNS2. While the clay mineral content of pedon PNS1 dominated by smectite and kaolinite. Both pedon generally pH slightly acid to slightly alkaline and negatively charged clean, C-organic content is very low, bases-dd predominantly calcium (Ca-dd) with the sequence: Ca> Mg> K> Na, cation exchange capacity and base saturation dominant high and very high. However, the pedon PNS1 was better than pedon PNS2 of soil fertility.
Pertumbuhan dan hasil tanaman selada (lactuca sativa l.) dengan interval pemb...NurdinUng
Lettuce (Lactuca sativa L.) is a vegetable that has high economic value and beneficial for health but in its
cultivation, there are still obstacles, especially related to the plant water needs and dosage of fertilizer. This study
aims to examine the growth and yield of lettuce and the interaction between water and fertilizer application time
intervals in Tilote Village, Gorontalo District. This research was carried out in an acclimatization room using a
randomized block design with two factors, namely the water supply interval factor (interval 2 days-A1, interval 3
days-A2) and the second factor fertilizer dosage (50 kg ha-P1, 100 kg/ha-P2). Growth parameter data (plant height,
number of leaves, leaf length and leaf width) as well as plant yield (wet weight, leaf weight and percentage of leaf
weight to base weight) were analyzed by ANOVA and further tested with the DMRT test at 50% level. The results
showed that the water supply interval and the dosage of fertilizer has significantly affect to growth and yield of
lettuce. There were an interaction between the water supply interval and the dose of fertilizer that affects the growth
and yields of lettuce with the best combination were interval of 2 days and fertilizer dosage of 100 kg/ha.
Peningkatan populasi ternak sapi dan pengetahuan petani dalam pembuatan pupuk...NurdinUng
Dokumen tersebut membahas upaya meningkatkan populasi sapi dan pengetahuan petani tentang pembuatan pupuk organik di Kelompok Tani Sumber Rezeki, Desa Bualo, Kabupaten Boalemo. Kegiatan ini dilakukan melalui inseminasi buatan pada sapi dan pelatihan pembuatan pupuk organik bagi petani. Hasilnya, inseminasi buatan menghasilkan 12 ekor sapi hamil baru dan pengetahuan petani meningkat 88% setelah menerima pelatihan.
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...NurdinUng
The challenge of composite maize developing in the future is the low productivity because the maize is grown on land that is not suitable for land quality. This study aims to determine the land quality and land characteristics that control the composite maize productivity in Gorontalo Province. A total of 33 land units were surveyed and their land observed to obtain data on morphology and soil characteristics, climate and terrain characteristics, as well as composite maize productivity data through ubinan plots and direct interviews with maize farmers. Partial least square of structural equation models (PLS-SEM) analysis has been used to determine the land quality and land characteristics that control the composite maize productivity through variable validity and reliability tests, as well as structural model tests. The results showed that the manifest variables were air temperature, rainfall, wet months, dry months, LGP, drainage, coarse materials, effective depth, pH H2O, pH KCl, C-organic, total N, available P, available K, ESP, slopes, soil erosion, inundation height, inundation time, surface rock, and rock outcrops were valid and able to explain well the latent variables. Furthermore, the latent variables were temperature, water availability, oxygen availability, nutrient retention, nutrients availability, sodicity, erosion hazard, flood hazard, and land preparation used has good composite reliability and high reliability because of the composite reliability and alpha cronbach >0.6. Land quality that controls the composite maize productivity based on the order of importance were nutrient retention, rooting media, land preparation, and nutrients availability. Meanwhile, land characteristics that control the composite maize productivity based on the order of importance were pH KCI, coarse material, rock outcrops, effective depth, surface rock, available K, and soil texture. Soil texture, effective depth, pH KCI, and available K has a positive relationship and has a significant to very significant effect on the composite maize productivity, while the content of course materials, surface rock, and rock outcrops has a negative relationship and has a significant effect on the composite maize productivity.
Uji kurang satu pupuk n, p, dan k terhadap pertumbuhan jagung di dutohe agust...NurdinUng
Eksperimen ini menguji pengaruh pupuk N, P, dan K secara terpisah terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga unsur hara berpengaruh signifikan terhadap tinggi tanaman pada umur 14, 42, dan 56 hari, tetapi tidak pada umur 28 hari. Kombinasi pupuk yang paling baik adalah N+K karena kadar P alami tanah sudah tinggi.
Serapan hara n, p dan k tanaman jagung (zea mays l.) di dutohe agustus 2012NurdinUng
This study aimed to determine the N, P, and K nutrients uptakes of maize crops in Dutohe of Bone Bolango regency. Te research was carried out in Dutohe Village of Kabila Distric of Bone Bolango regency for about 6 months. The experimental design was following randomized block design that consist of 4 treatments (P+K, N+P, N+K) with 3 replications, so there are 12 plot units. Dosages of each treatment were 160 kg Urea, 54 kg TSP, and 90 kg KCl. The result from the experiment showed that minus one test has not significant effect to N and P uptakes, but has significant effect to K uptake.
Teknologi dan pengembangan agribisnis cabai di kabupaten boalemo provinsi gor...NurdinUng
Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo yang dicanangkan pemerintah daerah melalui program Gemar Malita. Pembangunan agribisnis cabai di kabupaten ini masih pada tahap subsistem
on farm, tetapi pengembangannya mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Secara finansial, pengembangan cabai lebih menguntungkan dan mempunyai daya saing yang lebih tinggi dibanding jagung dan padi dengan nilai R/C dan B/C cabai masing-masing 2,15 dan 1,87, lebih tinggi daripada dua komoditas unggulan tersebut.
Selain itu, cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Paguyaman
Pantai. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Namun, lahan ini
umumnya telah digunakan untuk komoditas lain atau dikonversi ke penggunaan nonpertanian. Iklim yang kering dan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas dalam pengembangan cabai di daerah ini. Upaya dan strategi yang dapat ditempuh meliputi konservasi tanah dan air, intensifikasi dan diversifikasi
tanaman, pembinaan kearifan lokal, penyuluhan dan pemberian insentif, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaan
dan penyuluhan. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta melalui pola inti-plasma, contract farming, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan kerja sama operasional agribisnis.
Pemberdayaan petani melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan...NurdinUng
Kegiatan pelatihan dan praktek pembuatan pupuk organik dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani di Kelompok Tani Rukun Sejahtera dalam membuat pupuk organik dari bahan lokal. Hasilnya menunjukkan peningkatan pengetahuan petani tentang pupuk organik dari semula 76% tidak tahu menjadi 89% tahu setelah kegiatan. Ketrampilan membuat pupuk organik juga meningkat terlihat dari kemampuan mengoper
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...NurdinUng
This paper aims to assess the risk and action of climate change adaptation of specific food security sectors in Boalemo Regency based on the Minister of Environment and Forestry Regulation of the Republic of Indonesia Number P.33/MENLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 on Guidelines for Climate Change Adaptation Action Formulation. Climate change is a necessity and has happened this earth. The impact of climate change on national food security occurs coherently, ranging from negative effects on resources (land and water), agricultural infrastructure (irrigation), to production systems through decreasing productivity, planting area and harvest. On the other hand, farmers have limited resources and ability to adapt to climate change. This requires concrete action by all stakeholders collectively in addressing the issue of climate change impacts. It is proposed to the District Government of Boalemo to address local climate change events with prioritization of adaptation options based on consideration of resource availability and constraints on the implementation of each adaptation option, including: (1) building of embungs, reservoirs and bending, drip irrigation, mulch, (2) development of draenase, improvement of irrigation, (3) adaptive seed breeding, use of organic fertilizer, (4) utilization of biopesticides, (5) alternative animal feeding training, and (6) consultation with mantri, animal age recording and calculation feed requirement. These efforts will be more useful if the rate of climate change does not exceed the ability to adapt. Anticipation and adaptation efforts need to be balanced with mitigation, ie efforts to reduce the source and increase the sink (absorber) of greenhouse gases.
Increasing rice productivity by manipulation of calcium fertilizer in ustic e...NurdinUng
This study investigated the effects of calcium fertilizer application on rice productivity in ustic endoaquert soil in Indonesia. The researchers applied different levels of potassium (K) fertilizer (0, 50, 100, 150, 200 kg/ha) following amendments of river sand, beach sand, coco peat, and banana peat. The results showed that K fertilizer significantly increased the number of grains, weight of 1000 grains, and total grain weight. Specifically, 200 kg/ha of K fertilizer produced the highest grain number and weight. While K fertilizer did not significantly affect stalk number or length, higher doses generally corresponded to more stalks. Overall, calcium fertilization improved rice yields the most when combined with
Growth and yield of rice plant by the applications of river sand, coconut and...NurdinUng
The research aimed to study effect the application of river sand (RS), coconut coir (CC), and banana coir (BC) on growth and yield of rice (Oryza sativa L.) in Ustic Endoaquert. The research was carried out in a green house using 3 × 3 × 3 factorial design. The RS factor consists of three treatment levels which were 0% RS, 25% RS, and 50% RS. Meanwhile, the CC and BC consist of three treatment levels, where each level were 0 Mg ha-1, 10 Mg ha-1 and 20 Mg ha-1. The results showed that RS, CC and BC applications did not have significant effect on plant height. On the other hand, all ameliorant applications had significantly increase leaf length and the highest percentage increasing was in BC (13.49%). The leaf numbers and tiller numbers had relatively similar pattern, except BC that had significantly increased leaf numbers by 77.69% and amount of tiller numbers by 49.45%. Furthermore, for yield components, RS, CC and BC applications had significant increased panicle numbers by 37.76%. It was only RS and BC that increased panicle lenght and the best increasing of 26.82% on RS. Meanwhile, the BC application only increased the rice grain numbers.
Effect application of sea sand, coconut and banana coir on the growth and yie...NurdinUng
The research was aimed to study effect application of sea sand (SS), coconut coir (CC) and banana coir (BC) on the growth and yield of rice (Oryza sativa L.) planted at Ustic Endoaquert soil. The pot experiment was carried out using a factorial design with 3 factors. The first factor was SS consisted of three levels i.e.: 0%, 25%, and 50%. The second and third factors were CC and BC, each consisted of three levels i.e.: 0, 10, and 20 Mg ha-1. Application of SS and BC significantly increased leaf length where the highest increasing percentage was 16.47% which was achieved at 25% SS application. Their effect on leaf numbers and tiller numbers were relatively not similar pattern where leaf number only increased about 65.52% by BC application, while tiller numbers only increased about 10.77% by SS application. Furthermore, the application of CC and BC significantly increased panicle numbers to 29.53% and 29.05%, respectively compared to control. All ameliorants significantly increased panicle numbers, but the best was CC with the increasing up to 46.49% at 20 Mg ha-1 CC compared to SS or BC application. However, only coconut coir significantly increased the rice grain numbers.
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...NurdinUng
Rainfed paddy soils that are derived from lacustrine and include of E4 agroclimatic zone have many unique properties and potentially for paddy and corn plantations. This sreseach was aimed to: (1) study the soil development of
rainfed paddy soils derived from lacustrine and (2) evaluate rainfed paddy soils potency for paddy and corn in Paguyaman. Soil samples were taken from three profiles according to toposequent, and they were analyzed in laboratory. Data were analyzed with descriptive-quantitative analysis. Furthermore, assessment on rainfed paddy soils potency was conducted with land suitability analysis using parametric approach. Results indicate that all pedon had evolved with B horizons structurization. However, pedon located on the summit slope was more developed and intensely weathered than those of the shoulder and foot slopes.The main pedogenesis in all pedons were through
elluviation, illuviation, lessivage, pedoturbation, and gleization processes. The main factors of pedogenesis were climate, age (time) and topography factors. Therefore, P1 pedons are classified as Ustic Endoaquerts, fine, smectitic,
isohypertermic; P2 as Vertic Endoaquepts, fine, smectitic, isohypertermic; and P3 as Vertic Epiaquepts, fine, smectitic,
isohypertermic. Based on the potentials of the land, the highest of land suitability class (LSC) of land utilization type (LUT) local paddy was highly suitable (S1), while the lowest one was not suitable with nutrient availability as the limiting factor (Nna). The highest LCS of paddy-corn LUT was marginally suitable with water availability as the limiting factor (S3wa), while the lower LSC was not suitable with nutrient availabily as the limiting factor (Nna).
Antisipasi perubahan iklim_untuk_ketahan-pangan-fixNurdinUng
Dokumen tersebut membahas dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, termasuk pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian dan upaya yang perlu dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim, seperti adaptasi lingkungan pertanaman."
"Jodoh Menurut Prespektif Al-Quran" (Kajian Tasir Ibnu Katsir Surah An-Nur ay...Muhammad Nur Hadi
Jurnal "Jodoh Menurut Prespektif Al-Quran" (Kajian Tasir Ibnu Katsir Surah An-Nur ayat 26 dan 32 dan Surah Al-Hujurat Ayat 13), Ditulis oleh Muhammmad Nur Hadi, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadist di UIN SUSKA RIAU.
1. 98 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011
PENGGUNAAN LAHAN KERING DI DAS LIMBOTO
PROVINSI GORONTALO UNTUK PERTANIAN
BERKELANJUTAN
Nurdin
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122
Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: ung@ung.ac.id
Diajukan: 23 Maret 2010; Diterima: 17 Februari 2011
ABSTRAK
Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang berpotensi besar untuk usaha pertanian. Daerah aliran
sungai (DAS) Limboto mempunyai lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian seluas 37.049 ha,
sedangkan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pertanian 33.144 ha. Untuk memanfaatkan
lahan kering tersebut, dapat diterapkan beberapa strategi dan teknologi yang meliputi: 1) pengelolaan sistem budi
daya, yang mencakup pengelompokan tanaman dalam suatu bentang lahan mengikuti kebutuhan air yang sama,
penentuan pola tanam yang tepat, pemberian mulsa dan bahan organik, pembuatan pemecah angin, dan penerapan
sistem agroforestry, 2) pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penyuluhan, penyediaan sarana dan
prasarana produksi serta permodalan petani, pemberdayaan kelembagaan petani dan penyuluh, serta penerapan
sistem agribisnis, dan 3) implementasi kebijakan yang berpihak kepada pertanian, yang meliputi pemberian subsidi
kepada petani di daerah hulu untuk melaksanakan konservasi lahan, pemberian subsidi pajak kepada petani di
daerah hulu, penetapan peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berbasis konservasi, dan
pengelolaan lahan dengan sistem hak guna usaha (HGU). Hal lain yang terpenting dalam pemanfaatan lahan kering
adalah sinkronisasi dan koordinasi antarinstitusi pemerintah dengan melibatkan petani untuk menghindari tumpang
tindih kepentingan.
Kata kunci: Lahan kering, penggunaan lahan, pertanian berkelanjutan, daerah aliran sungai, Limboto, Gorontalo
ABSTRACT
The use of upland in Limboto watershed of Gorontalo Province for agriculture sustainability
Upland agroecosystem has a great potential for agricultural development. Limboto watershed has an upland area
that suitable for agricultural development of 37,049 ha. Meanwhile, flat to undulating land that is potential for
agriculture is 33,144 ha. In utilizing the land resource, some strategies and technologies for upland management
can be implemented, which include: 1) upland farming management, including plant grouping in a landscape
following water need, determination of appropriate cropping patterns, and application of mulch, organic matter,
wind breaker, and agroforestry, 2) development of economic, social and cultural aspects through extension,
provision of production facilities, infrastructure, and capital for farmers, empowerment of farmers' institutions
and extensions, and implementation of agribusiness system, and 3) implementation of a pro-agriculture policies,
which include provision of subsidies to farmers in upstream areas for land conservation, granting tax subsidy to
farmers, filling regulations based on land conservation, and land management based on land rights system. Another
most important thing in utilizing upland is syncronization and coordination between government institutions by
involving farmers to avoid interest overlapping.
Keywords: Upland, land use efficiency, sustainable agriculture, watershed, Limboto, Gorontalo
Lahan merupakan salah satu sum-
ber daya alam yang tidak terbaharui
(unrenewable). Hampir semua sektor
pembangunan fisik membutuhkan lahan
(Sitorus 1998). Notohadinegoro (2000)
menjelaskan, lahan kering adalah lahan
yang berada di suatu wilayah yang ber-
kedudukan lebih tinggi yang diusahakan
tanpa penggenangan air. Selanjutnya,
Rukmana(2001) menegaskan,lahan kering
merupakan sebidang lahan yang dapat
digunakan untuk usaha pertanian dengan
menggunakan air secara terbatas dan
biasanya bergantung pada air hujan.
Sementara itu,Abdurachman et al. (2008)
mendefinisikan lahan kering sebagai salah
satu agroekosistem yang mempunyai
potensi besar untuk usaha pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura (sayuran
dan buah-buahan) maupun tanaman
tahunan dan peternakan. Minardi (2009)
menyatakan, lahan kering umumnya selalu
dikaitkan dengan pengertian usaha tani
bukan sawah yang dilakukan oleh masya-
2. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 99
rakat di suatu daerah aliran sungai
(DAS) bagian hulu sebagai lahan atas
atau lahan yang terdapat di wilayah ke-
ring (kekurangan air) dan bergantung
pada air hujan.
BerdasarkanAtlasArahan Tata Ruang
Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000
(Puslitbangtanak 2001), Indonesia me-
miliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri
atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan
40,20 juta ha lahan basah (22%). Namun,
Abdurachman et al. (2008) menyatakan,
pemanfaatan lahan kering untuk pertanian
sering diabaikan oleh para pengambil
kebijakan yang lebih tertarik pada pening-
katan produktivitas lahan sawah, padahal
lahan kering tersedia cukup luas dan
berpotensi untuk dikembangkan.
Kebutuhan akan lahan terus mening-
kat sejalan dengan waktu, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
dan pertambahan jumlah penduduk.
Tekanan kebutuhan penduduk terhadap
lahan menyebabkan pemanfaatan lahan
melampaui daya dukung dan kemam-
puannya sehingga terjadi kelelahan tanah
(soil fatigue) dan kerusakan lahan (Husain
et al. 2006). Menurut Idjudin dan Mar-
wanto (2008), salah satu penyebab ketim-
pangan pengelolaan lahan kering adalah
pertambahan jumlah penduduk sehingga
mendorong petani untuk mengusahakan
lahan kering berlereng di DAS bagian hulu
yang rentan erosi.
DAS Limboto termasuk salah satu
DAS prioritas dari DAS kritis di SWP-
DAS Bone Bolango (Kusmawati 2006).
DAS Limboto didominasi (70%) wilayah
dengan kemiringan lereng lebih dari 40%
(Bapppeda Provinsi Gorontalo 2002).
Dengan demikian, DASini rentan terhadap
degradasi apabila kawasan hulu dan
daerah tangkapan airnya tidak dikelola
secara tepat. Berdasarkan Data Balitbang-
pedalda Provinsi Gorontalo (2004), ke-
giatan pertanian di lahan kering DAS
Limboto telah menyebabkan 23.210,53 ha
lahan menjadi kritis. Kondisi ini menye-
babkan terjadinya erosi dan masuknya
sedimen ke Danau Limboto sehingga ter-
jadi pengendapan dan pendangkalan
yang menurunkan kapasitas tampung
danau (Kusmawati 2006).
Danau Limboto sebagai muara (outlet)
DAS Limboto terus mengalami pendang-
kalan sehingga luas perairan danau makin
menciut. Selain itu, sebagian wilayah DAS
ini tertutup oleh endapan aluvium yang
cukup sesuai untuk pengembangan perta-
nian, memiliki permukaan air tanah yang
dangkal, dan akifernya tergolong pro-
duktif sedang (Husain et al. 2006). Pada
wilayah yang relatiflandai sampai berbukit
banyak diusahakan tanaman pangan,
terutama jagung, dan perkebunan seperti
kelapa. Melihat kondisi tersebut maka
pengelolaan lahan kering secara ber-
kelanjutan di DAS Limboto perlu men-
dapat perhatian. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Husain et al. (2006) bahwa
pengelolaan lahan yang tepat di kawasan
DAS Limboto sangat penting dalam
rangka penyelamatan Danau Limboto
dan pengendalian banjir di Kota Goron-
talo.
Tulisan ini mengulas potensi lahan
kering di DAS Limboto dan status pe-
manfaatan lahan kering saat ini. Di-
ungkap pula permasalahan dan strategi
pengelolaan lahan kering di kawasan
DAS tersebut.
POTENSI LAHAN KERING
DI DAS LIMBOTO
Pengembangan pertanian di lahan kering
diharapkan memberi kontribusi nyata
dalam mewujudkan pertanian tangguh
mengingat potensi dan luas lahan yang
jauh lebih besar daripada lahan sawah dan
atau lahan gambut (Subardja dan Sudar-
sono 2005). Selain itu, lahan kering sangat
berpotensi untuk pengembangan ber-
bagai komoditas andalan dan memberikan
sumbangan cukup besar terhadap penye-
diaan pangan nasional (Badan Litbang
Pertanian 1998, tidak dipublikasikan).
Berdasarkan PetaReProotskala1:250.000
(1988), untuk pertanianlahan kering, lahan
yang sesuai didominasi oleh tanah Incep-
tisol,Alfisol, dan Entisol. Hal ini didukung
oleh laporan Puslittanak (1994) dalam peta
tanah tinjau skala 1 : 150.000, bahwa jenis
tanah yang dominan di DAS Limboto
adalah Inceptisol (27.400 ha) dan Alfisol
(43.849 ha) (Tabel 1).
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pa-
ngan Provinsi Gorontalo (2003) bekerja
sama dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah telah
melakukan evaluasi kesesuaian lahan di
DAS Limboto. Hasilnya menunjukkan,
lahan yang sesuai untuk pengembangan
pertanian di DAS tersebut mencapai
37.049 ha, yaitu untuk padi gogo 27.702
ha, jagung 27.938 ha, kacang tanah 27.935
ha,ubijalar 24.838 ha, danubi kayu45.969
ha.
Berdasarkan sifat-sifat tanah, Ilahude
et al. (2007) melaporkan, DAS Limboto
bagian Sub-DAS Biyonga memiliki tanah
bertekstur lempung berdebu, permeabili-
tas dan infiltrasi agak cepat, porositas
tanah sedikit, dan struktur tanah gumpal
bersudut. Selain itu, kesuburan tanah
rendah berdasarkan nilai kapasitas tukar
kation (KTK), kejenuhan basa, N tanah
tersedia, P2
O5
tersedia, K2
O tersedia, dan
C-organik yang dipadankan pada Kunci
Status Kesuburan Tanah (Puslittan
1983). Berbeda dengan DAS Limboto,
Nurdin et al. (2009) melaporkan, bagian
Sub-DAS Alo Pohu Isimu Utara memiliki
kesuburan tanah yang sedang menurut
kriteria Puslittan(1983).Hal inidisebabkan
oleh kadar N total yang rendah, P tersedia
cukup tinggi, K tersedia dan C-organik
rendah, serta KTK dan kejenuhan basa
sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan
bahwa lahan kering di DAS Limboto
cukup potensial untuk pengembangan
komoditas pertanian.
Salah satu faktor yang menentukan
tingkat kesesuaian lahan adalah bentuk
wilayah atau relief (Hikmatullah et al.
2008). Bentuk wilayah DAS Limboto
bervariasi dari datar (03%) sampai ber-
gunung (> 50%). Masing-masing bentuk
wilayah mempunyai lahan datar sampai
agak datar seluas 27.125 ha, lahan ber-
ombak sampai bergelombang 6.336 ha,
lahan berbukit kecil sampai berbukit
21.189 ha, dan lahan bergunung 7.551 ha
(Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Provinsi Gorontalo 2009). Menurut Hik-
matullah et al. (2008), lahan yang terletak
pada wilayah datar sampai bergelom-
bang berpotensi untuk pengembangan
pertanian. Lahan yang terletak pada
wilayah berbukit < 40% dapat digunakan
untuk perkebunan dengan menerap-
kan teknik konservasi tanah dan air
(Djaenudin et al. 2003).
Tabel 1. Sebaran jenis tanah di DAS
Limboto, Provinsi Gorontalo.
Ordo Luas
(ha) (%)
Alfisol 43.849 50,01
Molisol 6.027 6,87
Vertisol 5.022 5,73
Entisol 1.965 2,24
Inceptisol 27.400 31,25
Danau 3.415 3,90
Jumlah 87.678 100
Sumber: Puslittanak (1994).
3. 100 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011
Setiap tanaman mempunyai persya-
ratan tumbuh tertentu untuk berproduksi
secara optimal (FAO 1976; Djaenudin
et al. 2003). Di samping itu, agar dapat
tumbuh dan berproduksi tinggi serta
hasilnya berkualitas, tanaman harus di-
budidayakan pada lingkungan yang
sesuai (Amien 1994; Subagjo et al. 1995;
Djaenudin 2001). Komponen lahan yang
memengaruhi pertumbuhan dan produk-
tivitas tanaman selain tanah dan topografi
adalah iklim(Djaenudin 2008).
WilayahDASLimbotomemilikijumlah
curah hujan tahunan 1.505 mm dengan
rata-rata bulanan 125 mm, suhu udara
26,7O
C, dan kelembapan udara 80,3%
(BMG Gorontalo 2009). Berdasarkan data
tersebut maka kondisi iklim setempat cu-
kup potensial, walaupun kelas kesesuai-
annya umumnya cukup sesuai (S2) untuk
pengembangan tanaman pangan dan
perkebunan menurut kriteria kesesuaian
lahan Balai Penelitian Tanah (Djaenudin
et al. 2003). Hal ini sejalan dengan Naylor
et al. (2007) yang menyatakan bahwa
produksi pertanian di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh curah hujan.
Syahbuddin et al. (2004) telah meng-
analisis data curah hujan dan suhu udara
sepuluh tahunan untuk menentukan wak-
tu tanam dan jumlah pemberian air ke
tanaman. Lebih lanjut, Runtunuwu dan
Syahbuddin (2007) melaporkan bahwa
perubahan iklim berimplikasi pada pe-
ngembangan pertanian sehingga diperlu-
kan upaya adaptasi sistem budi daya.
Musa (2006) yang melakukan pene-
litian waktu tanam jagung di DAS Lim-
boto menyimpulkan bahwa waktu tanam
memengaruhi berat kering maksimal
tanaman. Sementara itu, Nurdin et al.
(2006) melaporkan bahwa berdasarkan
faktor iklim, kelas kesesuaian lahan untuk
pengembangan jagung di Longalo Pro-
vinsi Gorontalo termasuk cukup sesuai
dengan faktor pembatas suhu (S2tc), de-
ngan nilai kesesuaian komparatif 86,67%.
Dengan demikian, pengembangan komo-
ditas pertanian di lahan kering merupakan
salah satu pilihan strategis untuk mening-
katkan produksi dan mendukung keta-
hanan pangan nasional (Mulyani 2006).
STATUS PEMANFAATAN
LAHAN SAAT INI
Kondisi lahan kering di bagian tengah dan
hulu DAS Limboto hampir sebagian besar
berstatus lahan kritis. Hal ini sesuai de-
ngan laporan Balitbangpedalda Provinsi
Gorontalo (2004) yang menunjukkan
bahwa penyebaran lahan kritis dalam
kawasan hutan lindung mencapai 14.252
ha. Padahal menurut Kusmawati (2006),
luas kawasan hutan di DAS Limboto pada
tahun 2003 hanya 14.893 ha (Tabel 2).
Artinya, tinggal tersisa 641 ha hutan yang
kondisinya baik.
Penggunaan lahan di wilayah DAS
Limboto adalah tegalan dengan luas
32.117 ha (35,29%)danperkebunankelapa
dengan luas 12.526 ha atau 13,76% dari
total luas DAS. Balitbangpedalda Provinsi
Gorontalo (2004) juga melaporkan, lahan
kritis di kawasan hutan cukup luas, men-
capai 35.343 ha. Jika dijumlahkan dengan
luas lahan kritis yang berada di dalam
kawasan hutan, totalnya mencapai 49.595
ha atau 54,50% dari luas total DAS. Hal ini
mengindikasikan bahwa luas lahan yang
tidak kritis tinggal 41.409 ha atau 45,50%.
Perubahan penggunaan lahan pada
tahun 19992002 menyebabkan luas area
hutan menurun 1,5% dan area pertanian
bertambah 1,9%. Dari total luas DAS,
hanya 16,4% yang ditutupi hutan, yaitu
hutan lahan kering sekunder dan hutan
rawa sekunder, dan sekitar 20% dari
kawasan hutan berubah menjadi semak
belukar, tanah terbuka, atau lahan perta-
nian pada tahun 2003. Konversi lahan
tersebut dilakukan tanpa mengindahkan
kaidah konservasi tanah dan air (BPDAS
2004). Hal ini merupakan salah satu akibat
ketimpangan pengelolaan lahan kering
karena pertambahan jumlah penduduk, ter-
utama akibat perkembangan dan perlu-
asan Kota Limboto, Isimu, dan Kota Te-
laga sehingga mendorong petani untuk
mengusahakan lahan kering berlereng di
DAS hulu yang rentan terhadap erosi
(Idjudin dan Marwanto 2008). Lebih lanjut
Minardi (2009) menyatakan, usaha tani
lahan kering di bagian hulu suatu DAS
sangat bergantung pada air hujan.
Luas lahan tegalan di DAS Limboto
sekitar 32.117 ha dan 9.000 ha atau 28%
dari luasan tersebut merupakan area
pertanaman jagung (PPLH-SDA Unsrat
2002). Berdasarkan data BPS Kabupaten
Gorontalo (2009) yang dikomparasikan
dengan luas lahan sesuai (LLS), luas tanam
jagung mencapai 27.938 ha atau 50,52%
dari LLS, kacang tanah 27.935 ha atau
1,17% dari LLS, ubi kayu 45.969 ha atau
0,21% dari LLS, dan luas tanam ubi jalar
24.838 ha atau 0,15% dari LLS. Untuk
komoditas lainnya belum tersedia data
lahan yang sesuai untuk pengembang-
annya. Walaupun bukan merupakan
komoditas unggulan daerah, pengem-
bangan ubi kayu paling luas, dengan
proporsi luas lahan yang sesuai 99,79%.
Komoditas jagung sebagai entry point
program Agropolitan masih dapat di-
kembangkan selain pada lahan yang
telah ada dengan persentase 49,48%. Hal
ini sejalan dengan rencana perluasan
area pengembangan jagung pada tahun
2009 diKabupatenGorontalo,yaitu 62.340
ha pada lahan kering dan 3.770 ha pada
lahan sawah, terutama sawah tadah hujan
(Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Provinsi Gorontalo 2009).
Berdasarkan peta Status Kawasan
dan Perairan Provinsi Gorontalo skala 1 :
250.000 (Badan Planologi 1999), DAS
Limboto hulu ditetapkan sebagai kawasan
hutan lindung (HL). Hal ini diperkuat
dengan Perda No. 32 tahun 2002 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
ProvinsiGorontalo tahun 20022016,yang
menetapkan DAS Limboto hulu sebagai
kawasan hutan lindung.
Dalam review RTRW Provinsi Goron-
talo tahun2008(BapppedaProvinsiGoron-
talo 2008) diusulkan perubahan status
kawasan DAS Limboto, di mana daerah
hulu DAS terdiri atas hutan lindung (HL),
hutan produksi terbatas (HPT), dan hutan
produksi konversi (HPK). Review RTRW
tersebut, di samping lebih memproteksi
kawasan hulu DAS, juga mengusulkan
perubahan kawasan lain ke area penggu-
naan lain (APL) yang lebih luas sehingga
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan per-
tanian dan nonpertanian. Hal ini cukup
Tabel 2. Penggunaan lahan di DAS
Limboto.
Jenis penggunaan Luas
lahan (ha) (%)
Tegalan 32.117 35,29
Ladang 10.056 11,05
Kebun 676 0,74
Kebun campuran 3.042 3,34
Kelapa 12.526 13,76
Sawah 4.791 5,27
Sawah/rawa 608 0,67
Rawa 143 0,16
Belukar 8.029 8,82
Hutan 14.893 16,37
Pemukiman 708 0,78
Danau 3.415 3,75
Jumlah 91.004 100
Sumber: Peta Citra Landsat Kabupaten Goron-
talo dalam Kusmawati (2006).
4. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 101
beralasan karena DAS Limboto memiliki
peran penting sebagai kawasan lindung
bagi daerah di bawahnya, apalagi semua
sungai di wilayah ini bermuara di Danau
Limboto. Danau Limboto juga berperan
penting bagi kehidupan masyarakat di
dalamnya karena banyak yang menggan-
tungkan hidupnya pada danau tersebut.
Namun, kegiatan pertanian yang ber-
langsung di sekitar kawasan lindung per-
lu diperhatikan agar tidak terjadi konflik
pemanfaatan lahan dan keberlanjutan
kehidupan masyarakat di wilayah tersebut
dapat dijaga.
PERMASALAHAN DAN
STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN KERING
Permasalahan Biofisik
Pengelolaan Lahan Kering
DAS Limboto terletak pada 038’070’
LU dan 12248’12300’ BT dengan
elevasi 5 m hingga lebih dari 300 m dpl.
DAS Limboto terdiri atas 23 anak sungai
yang bermuara di Danau Limboto (Balit-
bangpedalda Provinsi Gorontalo 2004,
2006). Dari 23 sungai yang mengalir ke
Danau Limboto, hanya Sungai Biyonga
yang airnya mengalir sepanjang tahun,
padahal luas sub-DAS hanya 68 km2
. Hal
ini karena kondisi mata air yang cukup baik
dengan vegetasi hutan di daerah hulu.
Sungai terbesar adalah Alo-Molalahu
dengan luas 348 km2
dan Pohu seluas
156 km2
. Namun, kedua sungai tersebut
airnya tidak mengalir lagi pada musim
kemarau karena mata airnya terganggu
akibat pembabatan hutan di daerah hulu
(JICA Studi Team 2002). Daerah tengah
telah dikonversi untuk pertanian dan
pemukiman sehingga pada musim hujan
sering terjadi banjir yang merusak lahan
pertanian di sekitar bantaran sungai sam-
pai ke hamparan lahan di bawahnya
(BPDAS 2004). Djaenudin dan Hendris-
man (2008) menyatakan bahwa dari aspek
teknis, komponen lahan kering yang me-
mengaruhi pertumbuhan dan produkti-
vitas tanaman adalah iklim, tanah, dan
topografi. Komponen tersebut sangat
menentukan potensi, kebutuhan input,
dan manajemen lahan (Djaenudin 2008).
Berdasarkan kondisi iklim, wilayah
DAS Limboto secara umum tidak meng-
alami permasalahan bagi tanaman lahan
kering. Namun, jika dirinci menurut jenis
tanaman, jumlah curah hujan 1.505 mm/
tahun dan rata-rata curah hujan 125 mm/
bulan (Tabel 3) menjadi faktor pembatas
bagi tanaman jagung dan palawija serta
tanaman hortikultura. Menurut kriteria
kesesuaian lahan komoditas jagung dan
palawija (Djaenudin et al. 2003), jumlah
hujan yang dibutuhkan tanaman jagung
untuk kelas sangat sesuai(S1) adalah500
1.200 mm/tahun, ubi jalar 8001.500 mm/
tahun, kedelai 3501.100 mm/tahun,
kacang tanah 4001.100 mm/tahun, dan
kacang hijau 350600 mm/tahun. Se-
mentara untuk komoditas hortikultura
adalah bawang merah 350600 mm/ta-
hun, cabai 6001.200 mm/tahun, kacang
panjang dan bayam 350600 mm/tahun,
mentimun, terung,dantomat400700 mm/
tahun. Untuk tanaman buah-buahan dan
perkebunan, jumlah curah hujan tidak
menjadi faktor pembatas.
Kendala utama pemanfaatan lahan
kering untuk pertanian adalah tingkat pro-
duktivitasnya rendah yang dicirikan oleh
reaksi tanah masam, miskin hara, bahan
organik rendah, kandungan besi, mangan,
dan aluminium tinggi (melebihi batas tole-
ransi tanaman), serta peka erosi (Hidayat
et al. 2000). Ilahude et al. (2007) mela-
porkan, reaksi tanah (pH) lahan kering
tergolong netral dengan kadar bahan
organik sedang, sedangkan kadar N, P2
O5
,
dan K2
O masing-masing sangat rendah,
dan nilai KTK sangat tinggi. Berdasarkan
kriteria status kesuburan tanah (nilai
KTK, kadar N, P2
O5
, dan K2
O) (Puslittan
1983) kesuburan tanah di wilayah ini
tergolong rendah. Hal ini karena kadar N,
P, dan K sangat rendah walaupun nilai
KTK-nya sangat tinggi.
JICAStudi Team (2002) melaporkan,
Sungai Biyonga, Meluopo, danAlo-Pohu
merupakan sungai utama pembawa se-
dimen ke Danau Limboto. Dari ketiga
sungai tersebut, Biyonga memberikan
kontribusi 56% dari total sedimen yang
masuk ke danau.Apabila volume sedimen
yang masuk tidak dapat dikendalikan
maka dalamkurun waktu 25 tahun, Danau
Limboto diprediksi akan terisi sedimen
dan menjadi daratan akibat proses pen-
dangkalan.
Kusmawati (2006) yang menduga
erosi dan sedimentasi di DAS Limboto
dengan GeoWEPP memperoleh total erosi
3.409.067,36 t/tahun atau rata-rata 44,69
t/ha/tahun atau 3,72 mm/tahun. Nilai erosi
tersebut telah melewati ambang batas
bahaya erosi yang dapat ditoleransi, yaitu
10 t/ha/tahun (Suripin 2002). Deposit
sedimen pada DAS Limboto sebesar
224.356,54 t/tahun atau 2,94 t/ha/tahun
atau 0,25 mm/tahun, sedangkan sedi-
ment yield 3.184.710,41 t/tahunatau 41,75
t/ha/tahun atau 3,48 mm/tahun (Tabel 4).
Data tersebut sesuai dengan keadaan
DAS Limboto yang sebagian besar
tertutup oleh ladang dan tegalan. Oleh
karena itu, usaha penanganan diarahkan
pada pengelolaan lahan miring dengan
menerapkan kaidah konservasi.
Tabel 3. Sebaran curah hujan di DAS Limboto Provinsi Gorontalo selama 6
tahun (20032008).
Bulan
Curah hujan (mm)
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Rata-rata
Januari 89 128 30 112 229 214 133,67
Februari 56 100 103 143 73 94 94,83
Maret 215 79 117 68 76 389 157,33
April 266 175 105 162 129 228 177,50
Mei 192 138 231 65 249 130 167,50
Juni 11 50 84 257 214 123 123,17
Juli 64 66 210 32 80 253 117,50
Agustus 46 17 3 38 147 41,83
September 65 36 20 55 129 66 61,83
Oktober 35 122 223 3 46 188 102,83
November 82 61 85 204 118 206 126,00
Desember 222 77 132 122 400 251 200,67
Jumlah 1.343 1.032 1.357 1.226 1.781 2.289 1.504,66
Rata-rata 111,92 86 113,08 102,12 148,42 190,75 125,39
Sumber: BMG Gorontalo (2009), data diolah.
5. 102 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011
Permasalahan Ekonomi, Sosial,
dan Budaya
Pada usaha tani lahan kering tanaman
semusim, produktivitasnya relatif rendah
serta menghadapi masalah sosial eko-
nomi, terutama karena tekanan penduduk
yang terus meningkat (Syam 2003). Desa-
desa di wilayah DAS Limboto tersebar
pada wilayah administratif Kecamatan
Limboto, Telaga, Batudaa, dan Tibawa
Kabupaten Gorontalo. Pada tahun 2007,
jumlah penduduk di DAS Limboto
mencapai 247.499 jiwa (Tabel 5) atau me-
ningkat 33,07% dari tahun sebelumnya
(BPS KabupatenGorontalo 2008). Kondisi
ini akan menimbulkan tekanan terhadap
lahan yang tersedia, terutama untuk kegi-
atan pertanian yang menghasilkan bahan
pangan.
Mata pencaharian penduduk di DAS
Limboto bagian hulu masih didominasi
oleh pertanian. Komoditas yang dominan
diusahakan adalah jagung, cabai, dan ubi
kayu. Untuk subsektor perkebunan yang
paling dominan adalah kelapa. Demikian
pula untuk desa lain, penduduknya juga
dominan mengusahakan tanaman pangan
(Tabel 6). Petani lahan kering umumnya
tergolong marginal dengan pendapatan
dan pendidikan rendah dan keterampilan
terbatas, sehingga upaya konservasi la-
han usaha taninya juga terbatas (Kade-
koh 2010). Hal ini merupakan masalah
klasik bagi petani di lahan kering sehingga
memerlukan penanganan yang optimal,
terencana, dan berkelanjutan.
Untuk jagung sebagai komoditas ung-
gulan daerah dalam programAgropolitan,
pemerintah setempat telah menetapkan
harga dasar jagung Rp750/kg dan saat ini
harga jagung di daerah Gorontalo men-
capai Rp1.500/kg (Disperindag Provinsi
Gorontalo 2008). Untuk komoditas lain,
harga dasar belum ditetapkan pemerintah
setempat karena harganya masih stabil.
Hasil panen umumnya dijual langsung ke
pedagang pengumpul dan hanya sedikit
yang diperdagangkan di pasar lokal atau
pasar induk kabupaten. Namun, kondisi
ekonomi tersebut belum dibarengi de-
ngan upaya konservasi lahan untuk perta-
naman jagung maupun komoditas lainnya.
Kehidupan masyarakat petani di wi-
layah DAS Limboto sangat agamais dan
dominan dipengaruhi oleh agama Islam.
Budaya “huyula” atau dalam pengertian
umum gotong royong merupakan salah
satu bentuk kearifan lokal yang saat ini
masih ada, walaupun mulai terkikis oleh
perkembangan zaman (Tolinggi 2010).
Menurut Sunaryo dan Yoshi (2003), ke-
arifan lokal merupakan sekumpulan
pengetahuan yang diciptakan oleh seke-
lompok masyarakat dari generasi ke
generasi yang hidup menyatu dan selaras
dengan alam. Salah satu kearifan lokal
yang berkaitan dengan kegiatan pertanian
adalah penentuan waktu tanam yang
didasarkan pada ilmu perbintangan yang
dikenal dengan istilah “panggoba”
(Tolinggi 2010). Sejak zaman dahulu,
budaya ini dipegang teguh oleh petani.
Namun seiring perubahan iklim mikro
maupun global, panggoba mulai diting-
galkan.
Dariah dan Besuki(2008) melaporkan,
di Nusa Tenggara Timur terdapat kearifan
lokal yang berkaitan langsung dengan
konservasi lahan kering yang disebut
kebekolo. Kebekolo merupakan barisan
kayu atau ranting yang disusun atau
ditumpuk memotong lereng. Tumpukan
kayu/ranting ini berfungsi untuk menahan
tanah yang tergerus aliran permukaan
(erosi).
Gambar 1. Kondisi lahan di kawasan DAS Limboto hulu Provinsi Gorontalo yang
terdegradasi.
Gambar 2. Danau Limboto di Provinsi Gorontalo yang mengalami pendangkalan.
Tabel 4. Erosi dan sedimentasi di DAS
Limboto, Provinsi Gorontalo.
Komponen Nilai
Luas area (ha) 76.276,81
Jumlah erosi (t/ha) 3.409.067,36
Jumlah deposisi 224.356,54
sedimen (t/ha)
Jumlah sediment 3.184.710,41
yield (t/ha)
Rata-rata erosi 44,69
(t/ha/tahun)
Rata-rata deposisi sedimen 2,94
(t/ha/tahun)
Rata-rata sediment yield 41,75
(t/ha/tahun)
Sumber: Kusmawati (2006).
6. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 103
Gorontalo memiliki beberapa varietas
jagung (binthe) lokal,seperti kiki, kalingga
(tongkol merah), momala, dan pulo (biji
berwarna putih dan ketan). Untuk meng-
antisipasi serangan hama dan penyakit
pada benih, petani melakukan molude,
yaitu menyimpan benih pada tumpukan
karung yang berisi kapur atau tilo agar
tahan sampai panen berikutnya (Tolinggi
2010).
Pengelolaan Lahan Kering di
DAS Limboto
Pembangunan pertanian berkelanjutan
menerapkan konsep abiotic, biotic, and
culture (ABC). Komponen pertama dan
kedua merupakan satu kesatuan ling-
kungan alami, sedangkan komponen ke-
tiga menjelaskan keseluruhan sistem
berpikir dan kegiatan manusia. Namun,
yang biasanya terlewatkan dalam diskusi
tentang lingkungan adalah integrasi
ketiganya, yang dicirikan dengan kom-
pleksitas, dinamika, dan ketidakpastian
(Mitchell 1997). Sebagai suatusistemling-
kungan, pembangunan di wilayah DAS
Limboto sedang mengalami hal tersebut.
Upaya meningkatkan produksi perta-
nian pada lahan keringmemerlukan pema-
haman menyeluruh mengenai komplek-
sitas persoalan potensi lahan. Pengelolaan
lahan yang keliru akanmenurunkanbahkan
merusak potensi yang ada dan akhirnya
menyengsarakan masyarakat (Husain et
al. 2004). Memburuknya kondisi Danau
Limboto dan terjadinya banjir di Kota/
Kabupaten Gorontalo pada tahun 2002
merupakan indikasi menurunnya kualitas
lingkungan di kawasan tersebut.
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya akan menurunkan
produktivitas lahan. Penurunan kesubur-
an tanah antara lain disebabkan oleh erosi,
penurunan kandungan bahan organik
tanah, kehilangan hara melalui panen, dan
kebiasaan membakar sisa-sisa tanaman
(Tala'ohu et al. 2003).
Permasalahan dalam pengelolaan
lahan kering bervariasi pada setiap wi-
layah (Abdurachman et al. 2008). Namun,
dengan strategi dan teknologi yang tepat,
berbagai masalah tersebut dapat diatasi.
Beberapa strategi dan teknologi pengelo-
laan lahan kering yang dapat diterap-
kan di DAS Limboto diuraikan sebagai
berikut.
Sistem budi daya pertanian
Berdasarkan karakteristik biofisik lahan,
terutama karakteristik tanah dan iklim,
penggunaan lahan harus efektif dan efi-
sien sehingga kualitas tanah dan karak-
teristik lahan dapat dipertahankan bahkan
ditingkatkan. Menurut Lestariya (2005),
pengelolaan lahan untuk mengatasi deg-
radasi lahan dan permasalahan yang
kompleks di suatu DAS harus bersifat
komprehensif dan integral. Salah satu
caranya adalah dengan menerapkan pola
vegetasi mengingat wilayah ini merupakan
lahan terbuka (pemukiman, lahan terlantar,
dan belukar) yang rentan terhadap risiko
limpasan dan kehilangan tanah, terutama
Tabel 5. Jumlah penduduk di wilayah DAS Limboto Provinsi Gorontalo 20002007.
Kecamatan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Batudaa 58.615 58.743 26.314 26.540 28.107 26.824 27.604 27.978
Bongomeme 32.554 33.045 32.455 33.019 33.978 34.438
Tibawa 55.148 55.260 55.314 34.260 34.882 34.436 35.436 35.916
Pulubala 22.683 22.949 22.632 23.290 23.605
Limboto 56.556 56.782 56.223 38.097 39.612 38.152 39.261 39.793
Limboto Barat 21.109 21.415 21.209 21.826 22.122
Telaga 57.674 57.982 36.283 38.167 38.778 38.127 39.235 39.766
Telaga Biru 21.173 22.654 22.697 22.896 23.562 23.881
Jumlah 227.993 228.767 227.861 236.555 240.895 237.295 244.192 247.499
Kecamatan pemekaran.
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo (2001, 2004, 2006, 2008).
Tabel 6. Mata pencaharian penduduk di DAS Limboto hulu, Provinsi
Gorontalo.
Jumlah petani
Desa/kelurahan
Tanaman pangan Perikanan Peternakan Perkebunan
Tenilo 93 197
Bolihuangga 396 111 2 113
Hunggaluwa 561 292 2 143
Kayubulan 503 347 6 160
Hepuhulawa 295 6 44
Dutulanaa 175 4 143
Hutuo 438 120 6 70
Bulota 235 184
Malahu 135 8
Biyonga 569 164
Bongohulawa 155 108
Kayumerah 397 173
Jumlah 3.952 870 26 1.507
Sumber: Kecamatan Limboto dalam Angka (2008).
7. 104 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011
di daerah berlereng terjal dan memiliki
curah hujan tinggi. Teknik lain yang dapat
diterapkan adalah membuat teras, gu-
ludan, pematang searah kontur, balong,
rorak, dan saluran drainase permukaan
atau bawah permukaan (Agus et al. 1999;
Subagyono et al. 2003; Arsyad 2006).
Penerapan teknik konservasi tersebut
bertujuan untuk mengurangi kehilangan
tanah, limpasan, dan sedimentasi sungai
(Idjudin dan Marwanto 2008).
Menurut Yongki et al. (2003), bebe-
rapa teknologi budi daya yang dapat
diterapkan dalam pengelolaan lahan
kering pada kawasan DAS meliputi:
1) Pengelompokan tanaman dalam suatu
bentang lahan (land-scape) berdasar-
kan kebutuhan air yang sama sehingga
pengairan dapat dikelompokkan se-
suai kebutuhan tanaman.
2) Penentuan pola tanamyang tepat untuk
area datar maupun berlereng. Gomez
dan Gomez (1983) melaporkan, pada
lahan dengan kemiringan 5%, pola
tanam tumpang sari antara ubi kayu
dan jagung dapat menurunkan aliran
permukaan (run off) dari 43% menjadi
33% dibandingkan dengan penanam-
an jagung monokultur.
3) Pemberian mulsa dan bahan organik
yang tersedia di lokasi untuk mening-
katkan kesuburan tanah. Lal (1980)
melaporkan, penggunaan mulsa 4 t/ha
menurunkan aliran permukaan sampai
ke tingkat 3,5% dan laju erosi 0,5 t/ha.
4) Penggunaan pemecah angin (wind
break) untuk mengurangi kecepatan
angin sehingga menurunkan kehilang-
an air melalui evapotranspirasi dari
permukaan tanah dan tanaman. Kom-
binasi tanaman dengan tajuk yang
berbeda sangat mendukung upaya ini.
Pola tajuk bertingkat (etage bouw)
seperti pada pekarangan tradisional
merupakan contoh yang baik untuk
diterapkan (Setyati 1975).
Agroforestry merupakan salah satu
pilihan pengelolaan sistem budi daya
pertanian di DAS Limboto yang mengom-
binasikan tanaman semusim dan tanaman
tahunan berkayu (pohon) dalam suatu ta-
pak yang sama dan dapat pula dipadukan
dengan peternakan (Nuryanto et al. 2003;
Rauf, 2003). Sistem ini pada hakikatnya
dapat diterapkan pada berbagai kondisi
lahan, terutama, lahan yang mempunyai
lereng > 45%. Menurut Nair (1989) serta
Chundawat dan Gautam (1993), berbagai
tipe agroforestry yang dapat diterapkan
meliputi: 1) agrosilviculture, yaitu kom-
binasi hutan dengan tanaman pertanian,
2) silvopasture, memasukkan ternak dan/
atau tanaman pakan pada lahan hutan, 3)
agrosilvopasture, sistem campuran yang
memadukan tanaman pertanian, hutan,
dan pakan/ternak, serta 4) aquaforestry
atau agroaquaforestry, sistem campuran
yang memadukan tanaman pertanian,
hutan, dan ikan/kolam.
Hasil penelitian Rauf (2003) di kawa-
san penyangga Taman Nasional Gunung
Leuser menunjukkan bahwa agroforestry
berdampak positif terhadap kesejahteraan
sosial dan ekonomi petani, minimal dalam
hal keberlanjutan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga karena
musim panen yang berbeda dari berbagai
komoditas yang dibudidayakan. Selan-
jutnya Nuryanto et al. (2003) menjelaskan
keuntungan sistem agroforestry, antara
lain: 1) menciptakan komunitas yang ber-
fungsi sebagai hutan dan strata tajuk yang
baik sehingga dapat menahan daya hancur
butir hujan, 2) merupakan sistem usaha
tani terpadu antara tanaman pangan dan
komoditas lain, seperti pakan ternak,
buah-buahan, lebah madu, kayu bakar,
atau kayu bangunan, 3) menciptakan
peluang yang lebih banyak bagi petani
untuk memperoleh bahan kebutuhan
sehari-hari, dan 4) kombinasi berbagai
jenis tanaman atau komoditas lain dapat
segera memberikan hasil bagi petani.
Pengembangan ekonomi, sosial,
dan budaya masyarakat
Sebagai penghasil produk pertanian, lahan
kering memberi kontribusi nyata dalam
ketahanan pangan, penyangga ekonomi,
serta nilai sosial dan budaya (Irawan et
al. 2004). Laju pertambahan penduduk
yang cukup pesat akan meningkatkan
permintaan dan intensitas penggunaan
lahan untuk memenuhi kebutuhan pa-
ngan (Abdurachman et al. 2008). Kondisi
ini akan menciptakan pola penggunaan
lahan yang cenderung berorientasi pro-
duksi tanpa memerhatikan konservasi
lahan.Apabila hal ini dibiarkan, kerusakan
lahan yang telah terjadi akan semakin
parah sehingga produktivitas lahan terus
merosot, yang pada akhirnya akan me-
nurunkan kesejahteraan petani (Idjudin
dan Marwanto 2008). Untuk mencegah-
nya, pengelolaan lahan kering di DAS
Limboto perlu melibatkan masyarakat
setempat (Nuryanto et al. 2003). Upaya
tersebut diharapkan dapat memecahkan
permasalahan yang dihadapi petani,
terutama modal, kepemilikan lahan,
penguasaan pengetahuan dan keteram-
pilan, serta hambatan karena adat dan
tradisi setempat.
Beberapa arahan sosial, ekonomi, dan
budaya dalam pengelolaan lahan kering
di suatu DAS (Nuryanto et al. 2003;
Idjudin dan Marwanto 2008) yaitu: 1)
penyuluhan dengan metode dan materi
yang disesuaikan dengan kehidupan
petani, karena menurut Hidayanto et al.
(2008), penyuluhan merupakan salah satu
upaya pengembangan kapasitas kelem-
bagaan petani, 2) penyediaan sarana pro-
duksi dan permodalan serta pembangun-
an infrastruktur pertanian (Idjudin dan
Marwanto 2008), dan 3) pemberdayaan
kelembagaan untuk membina petani.
Menurut Mosher (1991) dan Todaro
(1994), kapasitas kelembagaan petani
sangat penting dan berperan strategis
dalam pembangunan pertanian. Semen-
tara itu, Hidayanto et al. (2008) menya-
takan, pemberdayaan kelembagaan
petani bertujuan untuk meningkatkan
partisipasi petani dalam kelembagaan
usaha tani.
Kelembagaan masyarakat seperti Ba-
dan Perwakilan Desa (BPD) berperan
menggerakkan masyarakat dalam kegiatan
bersama, menumbuhkan dan meningkat-
kan peran masyarakat dalam kegiatan
yang diprakarsai pemerintah setempat,
serta meningkatkan kemandirian petani
dalam pembangunan pertanian. Sementara
itu, koperasi unit desa (KUD) berperan
membantu petani anggotanya dalam
memperoleh kredit, sarana produksi, dan
alat-alat pertanian serta menampung dan
memasarkan hasil (Nuryanto et al. 2003).
Pengembangan ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat di lahan kering dapat
pula dilakukan dengan pendekatan agri-
bisnis. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Antara (2005) bahwa pengembangan per-
tanian lahan kering melalui pendekatan
agribisnis merupakan langkah yang benar
dan tepat (on the right track) karena
pendekatan ini mengintegrasikan secara
vertikal aktivitas hulu hingga hilir dan
secara horizontal berbagai sektor se-
hingga mampu menciptakan keuntungan
yang layak bagi petani. Selanjutnya, Ar-
Riza dan Alkasuma (2008) menyatakan,
lembaga agribisnis yang perlu dikem-
bangkan adalah kelompok tani, perkum-
pulan petani pemakai air (P3A), koperasi
dan lembaga keuangan perdesaan, pe-
nyedia sarana dan prasarana produksi,
8. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 105
pemasaran hasil, dan jasa pelayanan
alsintan. Selain kedua lembaga tersebut,
pemberdayaan penyuluh lapangan juga
perlu dilakukan karena mereka yang
langsung berhadapan dengan petani.
Kebijakan yang berpihak
kepada pertanian di kawasan
DAS
Manfaat yang dinikmati masyarakat di
daerah hilir sering kali atas biaya atau
kerja keras masyarakat di daerah hulu
(Nuryanto et al. 2003). Apabila tujuan
pembangunan adalah menciptakan
keadaan sosial ekonomi yang adil dan
merata maka kondisi yang demikian ti-
dak akan mendukung pencapaian tujuan
pembangunan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Fagi dan Las (2006) bahwa
kebijakan pembangunan yang tidak
berpihak kepada pertanian akan meng-
ganggu stabilitas ketahanan pangan,
memperburuk kualitas lingkungan, dan
berdampak buruk terhadap stabilitas
ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan pertanian khu-
sus untuk kawasan DAS hulu. Beberapa
arahan kebijakan yang dapat digunakan
adalah: 1) pemberian subsidi kepada pe-
tani di daerah hulu untuk membangun
pengendali erosi, seperti teras dan teknik
konservasi lahan lainnya, 2) pemberian
subsidi pajak kepada petani di daerah
hulu, dengan cara membebankan petani
daerah hilir membayar pajak (PBB) lebih
besar daripada petani di hulu sebagai
bentuk keseimbangan dalam pemanfaat-
an sumber daya lahan yang adil dan
bijaksana, 3) penetapan kebijakan di
tingkat kabupaten dan atau provinsi
tentang pengelolaan lahan pertanian
berbasis konservasi beserta petunjuk
teknisnya agar berbagai pihak mengeta-
hui tata hukum dan tata kelola peman-
faatan lahan kering di DAS Limboto
(Nuryanto et al. 2003; Idjudin dan
Marwanto 2008).
Berdasarkan status kawasan, karak-
teristik biofisik lahan, serta kondisi sosial
budaya dan ekonomi, pengelolaan lahan
serta landasan pelaksanaannya dapat
menggunakan sistem hak guna usaha
(HGU) sebagai legal aspek berdasarkan
UUPA No. 5 tahun 1960. Sistem ini di-
mungkinkan bagi petani di kawasan DAS
Limboto hulu dengan membentuk ke-
lompok yang berbadan hukum untuk
pengajuan HGU ke pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Kehutanan.
Salah satu kendala dalam pengelolaan
lahan pertanian di suatu DAS adalah tum-
pang tindih kepentingan dalam penge-
lolaan lahan (Soemarno 1991).Agar lahan
kritis, erosi, sedimentasi, dan pendang-
kalan Danau Limboto segera tertangani,
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
petani maka sinkronisasi dan koordinasi
lintas institusi perlu dilakukan untuk
menjamin pelaksanaan program pem-
bangunan di kawasan tersebut. Dibutuh-
kan kearifan semua pemangku kepen-
tingan dalam mengoptimalkan potensi
dan mengurangi permasalahan peng-
gunaan lahan kering di wilayah ini.
KESIMPULAN
DAS Limboto hulu perlu dijaga dan
dipertahankan fungsinya karena berperan
vital dan menguasai hajat hidup masya-
rakat setempat. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa sumber daya lahan
kering di kawasan DAS tersebut potensial
untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan
petani. Lahan yang sesuai untuk pengem-
bangan pertanian mencapai 37.049 ha,
yaitu untuk padi gogo 27.702 ha, jagung
27.938 ha, kacangtanah27.935ha,ubijalar
24.838 ha, dan ubi kayu 45.969 ha. Lahan
datar sampai bergelombang yang poten-
sial untuk pengembangan pertanian
seluas 33.144 ha.
LahandiwilayahDASLimboto umum-
nya termasuk dalam kelas cukup sesuai
(S2). Namun, pemanfaatannya meng-
hadapi kendala dan permasalahan seperti
biofisik lahan (kesuburan tanah rendah,
rentan erosi dan sedimentasi, pendang-
kalan Danau Limboto, dan iklim), serta
permasalahan sosial, ekonomi, dan
budaya. Berbagai masalah tersebut perlu
diatasi dengan teknologi pengelolaan
lahan yang tepat.
Terdapat tiga strategi utama peng-
gunaan lahan kering di wilayah DAS
Limboto, yaitu: 1) pengelolaansistembudi
daya dengan mengelompokkan tanaman
dalam suatu landscape mengikuti ke-
butuhan air yang sama, pola tanam yang
tepat, pemberian mulsa dan bahan
organik yang tersedia di lokasi untuk
meningkatkan kesuburan tanah, pem-
buatan pemecah angin, dan penerapan
sistem agroforestry, 2) pengembangan
ekonomi, sosial, dan budaya yang melipu-
ti penyuluhan, penyediaan sarana dan
prasarana produksi serta permodalan
petani, pemberdayaan kelembagaan pe-
tani dan penyuluh, serta penerapan
sistem agribisnis, dan 3) kebijakan yang
berpihak kepada pertanian di DAS Lim-
boto, seperti pemberian subsidi kepada
petani di daerah hulu untuk kegiatan
konservasi lahan, pemberian subsidi
pajak kepada petani di daerah hulu,
penetapan perda pengelolaan lahan
pertanian berbasis konservasi, dan
pengelolaan lahan dengan sistem hak
guna usaha (HGU).
Dalam penggunaan lahan kering per-
lu sinkronisasi dan koordinasi di antara
institusi pemerintah dan melibatkan pe-
tani agar tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan. Kepedulian dan keterli-
batan semua pemangku kepentingan
dalam penggunaan lahan kering di DAS
Limboto menjadi prasyarat mutlak bagi
keberlanjutan fungsi dan peran DAS
tersebut. Kearifan dalam pemanfaatan
lahan kering akan mengurangi dan me-
nekan kerusakan serta peralihan fungsi
dan peran DAS di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani.
2008. Strategi dan teknologi pengelolaan
lahan kering mendukung pengadaan pangan
nasional. Jurnal Penelitian dan Pengem-
bangan Pertanian 27(2): 4349.
Agus, F., A. Adimihardja, A. Rachman, S.H.
Tala’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra,
B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik
konservasi tanah dan air. Sekretariat Tim
Pengendali Bantuan Penghijauan dan Re-
boisasi Pusat, Jakarta.
Amien, L.I. 1994. Agroekologi dan alternatif
pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
13(1): 18.
9. 106 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011
Antara, M. 2005. Pendekatan agribisnis dalam
pengembangan pertanian lahan kering (kasus
lahan kering di Kabupaten Buleleng, Bali).
Prosiding Seminar Pengembangan Pertanian
di Wilayah Lahan Kering. Sustainable De-
velopment of Irrigated Agriculture in Bu-
leleng and Karangasem (SDIABKA) Project
Management Unit bekerja sama dengan
Bappeda Kabupaten Buleleng, 5 Februari
2004.
Ar-Riza, I. dan Alkasuma. 2008. Pertanian lahan
rawa pasang surut dan strategi pengem-
bangannya dalam era otonomi daerah. Jurnal
Sumberdaya Lahan 2(2): 103.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB
Press, Bogor.
Badan Planologi. 1999. Peta Status Kawasan
Hutan dan Perairan Provinsi Gorontalo Skala
1:250.000. Badan Planologi Departemen
Kehutanan, Bogor.
Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo. 2004.
Kajian dan pemetaan lahan kritis berbasis
GIS dan foto udara di Provinsi Gorontalo.
Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama antara
Badan Penelitian, Pengembangan dan Pe-
ngendalian Dampak Lingkungan Daerah
Provinsi Gorontalo dengan CV Mesta Karya
Utama, Gorontalo.
Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo. 2006.
Analisis kesesuaian lahan pengembangan
jagung di Kabupaten Gorontalo Provinsi
Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian. Badan
Penelitian, Pengembangan dan Pengendali-
an Dampak Lingkungan Daerah Provinsi
Gorontalo, Gorontalo.
Bapppeda Provinsi Gorontalo. 2002. Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo
Tahun 20022016. Badan Perencanaan dan
Percepatan Pembangunan Daerah Provinsi
Gorontalo, Gorontalo.
Bapppeda Provinsi Gorontalo. 2008. Review
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Go-
rontalo Tahun 2008. Badan Perencanaan dan
Percepatan Pembangunan Daerah Provinsi
Gorontalo, Gorontalo.
BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Su-
ngai). 2004. Master Plan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Provinsi Gorontalo. BPDAS
Limboto.
BMG Gorontalo. 2009. Data iklim wilayah DAS
Limboto dan sekitarnya selama 13 tahun
(19962009). Badan Meteorologi dan Geo-
fisika Bandara Jalaludin, Isimu, Gorontalo.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2001. Kabupaten
Gorontalo dalam Angka Tahun 2001. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo,
Limboto.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2004. Kabupaten
Gorontalo dalam Angka Tahun 2004. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo,
Limboto.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2006. Kabupaten
Gorontalo dalam Angka Tahun 2006. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo,
Limboto.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2008. Kabupaten
Gorontalo dalam Angka Tahun 2008. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo,
Limboto.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2008. Kecamatan
Limboto dalam Angka Tahun 2008. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo,
Limboto.
BPS Kabupaten Gorontalo. 2009. Kabupaten
Gorontalo dalam Angka Tahun 2008. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Lim-
boto.
Chundawat, B.S. and S.K. Gautam. 1993. Text-
book of Agroforestry. Oxford and IBH Publ.
Co. Pvt. Ltd, New Delhi.
Dariah, A. dan T. Besuki. 2008. Kebekolo di
NTT: Kearifan lokal dalam konservasi
tanah. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 30(2): 79.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi
Gorontalo. 2003. Master Plan Pewilayahan
Komoditas Pertanian di Provinsi Gorontalo.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Provinsi Gorontalo bekerja sama dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sula-
wesi Tengah.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi
Gorontalo. 2009. Gorontalo the Agropo-
litan; profil pembangunan pertanian Provinsi
Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Provinsi Gorontalo, Gorontalo.
Djaenudin, D. 2001. Pendekatan pewilayahan
komoditas dalam menyongsong otonomi
daerah. Materi Pelatihan Penyusunan Peta
Pewilayahan Komoditas. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Makassar, 59 Juni
2001.
Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagya, A.
Mulyani, dan N. Suharta. 2003. Kriteria Ke-
sesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian.
Ver. 3. Pusat Penelitian Tanah dan Agro-
klimat, Bogor.
Djaenudin, D. 2008. Prospek Penelitian Potensi
Sumber Daya Lahan di Wilayah Indonesia.
Makalah Orasi Pengukuhan Profesor Riset
Bidang Pedologi dan Penginderaan Jarak
Jauh. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-
nesia, Jakarta.
Djaenudin, D. dan M. Hendrisman. 2008. Prospek
pengembangan tanaman pangan lahan ke-
ring di Kabupaten Merauke. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 27(2): 5562.
Fagi, A.M. dan I. Las. 2006. Konsepsi pengen-
dalian pencemaran lingkungan secara terpadu
berbasis DAS. Makalah Seminar Nasional
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Per-
tanian melalui Pendekatan Pengelolaan DAS
secara Terpadu. Kerja Sama Loka Penelitian
Lingkungan Pertanian, UNS, HITI, Sura-
karta, 28 Maret 2006. hlm 14.
FAO. 1976. A framework for land evaluation.
Soils Bull. 32: 1216.
Gomez, A.A. and K.A. Gomez. 1983. Multiple
Cropping in the Humid Tropics of Asia.
International Development Research Centre
(IDRC), Canada.
Hidayanto, M., S. Sabiham, S. Yahya, dan L.I.
Amien. 2008. Arahan pengelolaan lahan ber-
kelanjutan di kawasan perbatasan Kali-
mantan Timur-Malaysia. Jurnal Sumberdaya
Lahan 2(2): 105114.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000.
Potensi dan pengelolaan lahan kering datar-
an rendah. hlm. 197222. Dalam Sumber
Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008.
Potensi sumber daya lahan untuk pengem-
bangan komoditas pertanian di Provinsi
Kalimantan Barat. Jurnal Sumberdaya Lahan
2(1): 4558.
Husain, J., J.N. Luntungan, Y. Kamagi, dan
Nurdin. 2004. Model Usaha Tani Jagung
Berbasis Konservasi di Provinsi Gorontalo.
Laporan Hasil Penelitian, Badan Penelitian,
Pengembangan dan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo,
Gorontalo.
Husain, J., Nurdin, dan I. Dunggio. 2006. Uji
optimasi dosis pupuk majemuk pada berbagai
varietas jagung. hlm. 6067. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Revitalisasi Pertanian mela-
lui Pengembangan Agribisnis dan Ketahanan
Pangan, Manado 2223 November 2006.
Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-
nian, Jakarta.
Idjudin, A.A. dan S. Marwanto. 2008. Reformasi
pengelolaan lahan kering untuk mendukung
swasembada pangan. Jurnal Sumberdaya
Lahan 2(2): 115125.
Ilahude, Z., F. Zakaria, F. Jamin, dan Nurdin.
2007. Pengembangan sistem usaha tani kon-
servasi tanaman jagung melalui optimali-
sasi produktivitas lahan kering di Provinsi
Gorontalo. Laporan Penelitian Hibah Ber-
saing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri
Gorontalo, Gorontalo.
Irawan, E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F.
Agus. 2004. Persepsi dan apresiasi masya-
rakat terhadap multifungsi pertanian: studi
kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pro-
siding Seminar Multifungsi Pertanian dan
Konservasi Sumberdaya Lahan, Bogor 18
Desember 2003 dan 7 Januari 2004. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
JICA Studi Team. 2002. The study on flood
control and water management in Limboto-
Bone Bolango Basin in Indonesia. JICA.
Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi pemanfaatan
lahan kering berkelanjutan dengan sistem
polikultur.Http://sulteng.litbang.deptan.go.
id/ind/images/stories/bptp/prosiding 2007/1-
4.pdf [29 Januari 2010].
Kusmawati, I. 2006. Pendugaan erosi dan sedi-
mentasi dengan menggunakan model Geo-
WEPP (studi kasus DAS Limboto, Provinsi
Gorontalo). Tesis Pascasarjana Institut Tek-
nologi Bandung.
10. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 107
Lal, R. 1980. Soil erosion as a constraint to crop
production. In Soil-Related Constraints to
Food Production in the Tropics. Internati-
onal Rice Research Institute (IRRI), Los
Banos, the Philippines.
Lestariya, A.W. 2005. Pengelolaan daerah aliran
sungai (DAS) Melawi. Jurnal llmiah Geo-
matika 11(2).
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan
Lahan Kering untuk Pengembangan Perta-
nian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan
Guru Besar Universitas Sebelas Maret, Sura-
karta.
Mitchell, B. 1997. Resource and Environmental
Management. Addison Wesley Longman
Ltd., Canada.
Mosher, A.T. 1991. Getting Agriculture Moving.
Frederick A. Praeger, Inc. Publ., New York.
Mulyani, A. 2006. Potensi lahan kering ma-
sam untuk pengembangan pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
28(2): 1617.
Musa, N. 2006. Produksi potensial dan analisis
pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.).
Jurnal Ilmiah Agrosains Tropis 1(1): 711.
Nair, P.K.R. 1989. Classification of agroforestry
systems. p. 3952. In P.K.R. Nair (Ed).
Agroforestry Systems in the Tropics.
Kluwer Academic Publ., the Netherlands.
Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P.
Falcon, and M.B. Burke. 2007. Assessing risk
of climate variability and climate change
for Indonesian rice agriculture. Proceedings
of National Academy of Science (PNAS)
104(19): 77527757.
Notohadinegoro, T. 2000. Diagnostik fisik kimia
dan hayati kerusakan lahan. hlm 5461.
Prosiding Seminar Pengusutan Kriteria
Kerusakan Tanah/Lahan, Asmendap I LH/
Bapedal, Yogyakarta, 13 Juli 2000.
Nurdin, J. Husain, dan H. Kasim. 2006. Ke-
sesuaian lahan berdasarkan faktor iklim
untuk pengembangan jagung di wilayah
Longalo Tapa Provinsi Gorontalo. hlm.
301307. Prosiding Seminar Nasional Ino-
vasi Teknologi untuk Mendukung Revitalisasi
Pertanian melalui Pengembangan Agribisnis
dan Ketahanan Pangan. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Ma-
nado, 2223 November 2006.
Nurdin, Z. Ilahude, F. Zakaria, dan P. Maspeke.
2009. Pertumbuhan dan hasil jagung yang
dipupuk N, P, dan K pada tanah Vertisol Isimu
Utara Kabupaten Gorontalo. Jurnal Tanah
Tropika 14(1): 4956.
Nuryanto, A., D. Setyawati, I. Lidiawati, J.
Suyana, L. Karlinasari, M.A. Nasri, N.
Puspaningsih, dan S. Yuwono. 2003. Strategi
pengelolaan DAS dalam rangka optimalisasi
kelestarian sumber daya air (studi kasus DAS
Ciliwung Hulu). Makalah Falsafah Sains
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
PPLH-SDA Unsrat. 2002. Laporan mengenai
dampak lingkungan kegiatan master plan
penanggulangan banjir di DAS Limboto-
Bone-Bolango, Provinsi Gorontalo. PPLH-
SDA Lembaga Penelitian Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanah dan Agroklimat). 2001. Atlas
Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia
Skala 1:1.000.000. Puslitbangtanak, Bogor.
37 hlm.
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat). 1994. Ekspose hasil survei
tanah tinjau Kabupaten Gorontalo, Sulawesi
Utara. Puslittanak, Bogor. 128 hlm.
Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1983. Terms
of Reference Survei Kapabilitas Tanah No
22/1983. Puslittan, Bogor.
Rauf, A. 2003. Pendayagunaan lahan miring
dengan sistem agroforestri di kawasan pe-
nyangga Taman Nasional Gunung Leuser:
Studi kasus di Kabupaten Langkat Sumatera
Utara. hlm 8092. Prosiding Seminar Nasi-
onal dan Kongres Nasional HITI VIII, Pa-
dang, 2123 Juli 2003.
Rukmana, R. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan
Kering Berbukit dan Kritis. Kanisius,
Yogyakarta.
Runtunuwu, E. dan H. Syahbuddin. 2007. Peru-
bahan pola curah hujan dan dampaknya
terhadap periode masa tanam. Jurnal Tanah
dan Iklim 26: 12.
Setyati, S.H. 1975. Pengantar Agronomi. Gra-
media, Jakarta.
Sitorus, R.P. 1998. Evaluasi Sumber Daya Lahan.
Tarsito, Bandung.
Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan
Lahan di Sub-DAS Konto, Malang. Disertasi
Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Subagjo, H., Djaenuddin, G. Joyanto, dan A.
Syarifuddin. 1995. Arahan pengembangan
komoditas berdasarkan kesesuaian lahan.
hlm. 2754. Prosiding Pertemuan Teknis
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor
Subagyono, K., S. Marwanto, dan U. Kurnia.
2003. Teknik Konservasi Tanah secara
Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Bogor. hlm
45.
Subardja, D. dan Sudarsono. 2005. Pengaruh
kualitas lahan terhadap produktivitas jagung
pada tanah vulkanik dan batuan sedimen di
daerah Bogor. Jurnal Tanah dan Iklim 23:
3847.
Sunaryo dan L. Yoshi. 2003. Peranan penge-
tahuan ekologi lokal dalam sistem agro-
forestri. ICRAF, Bogor.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah
dan Air. Andi, Yogyakarta.
Syahbuddin, H., M.D. Yamaika, and E. Run-
tunuwu. 2004. Impact of climate change to
upland water budget in Indonesia: Obser-
vation during 19802002 and simulation for
20102039. Presented in 2nd
Annual Meeting
of Asia Oceania Geo-Science Society (AOGS
2005), Singapore, June 2005.
Syam, A. 2003. Sistem pengelolaan lahan kering
di daerah aliran sungai bagian hulu. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
22(4): 162171.
Tala’ohu, S.H., A. Abas, dan U. Kurnia. 2003.
Optimasi produktivitas lahan kering beriklim
kering melalui penerapan sistem usaha tani
konservasi. Prosiding Seminar dan Kongres
Nasional VIII HITI, Padang 2123 Juli 2003.
Todaro, M.P. 1994. Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga. Jilid I edisi ke-4, terjemahan.
Airlangga, Jakarta.
Tolinggi, W.K. 2010. Modernisasi pertanian dan
kearifan lokal pertanian. hlm. 279284.
Dalam S.Q. Badu (Eds). Energi Peradaban.
UNG Press, Gorontalo.
Yongki, I., I.B. Pramono, dan S.A. Cahyono.
2003. Konservasi air lahan kering sebagai
alternatif pengembangan lahan kering. Pro-
siding Seminar Hasil Penelitian dan Pengem-
bangan Rehabilitasi Lahan Kritis, Banjar-
negara, 6 Desember 2003.