Belajar merupakan proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang dirancang dan diarahkan untuk mencapai tujuan dengan berbuat melalui berbagai pengalaman. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme kognitif yang di kemukakan oleh Jean Piaget (Trianto, 2014:72), ‘bahwa anak membangun skemata-skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya’. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Pandangan-pandangan Jean Piaget percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Sedangkan Menurut M. Sobry Sutikno (2009:5) “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya”. Selaras dengan pendapat di atas Oemar Hamalik (2011:27) mengemukakan bahwa “Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing)”.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari lingkunannya dalam bentuk perubahan tingkah laku. belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Menurut Gagne, Briggs, dan vager (M. Sobry Sutikno, 2014:11) mengemukakan bahwa ‘pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa’. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya.kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
Belajar merupakan proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang dirancang dan diarahkan untuk mencapai tujuan dengan berbuat melalui berbagai pengalaman. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme kognitif yang di kemukakan oleh Jean Piaget (Trianto, 2014:72), ‘bahwa anak membangun skemata-skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya’. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Pandangan-pandangan Jean Piaget percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Sedangkan Menurut M. Sobry Sutikno (2009:5) “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya”. Selaras dengan pendapat di atas Oemar Hamalik (2011:27) mengemukakan bahwa “Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing)”.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari lingkunannya dalam bentuk perubahan tingkah laku. belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Menurut Gagne, Briggs, dan vager (M. Sobry Sutikno, 2014:11) mengemukakan bahwa ‘pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa’. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya.kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
Sebagai salah satu pertanggungjawab pembangunan manusia di Jawa Timur, dalam bentuk layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Untuk mempercepat pencapaian sasaran pembangunan pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah melakukan banyak terobosan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Salah satunya adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa Provinsi Jawa Timur tahun ajaran 2024/2025 yang dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, dan tanpa diskriminasi.
Pelaksanaan PPDB Jawa Timur tahun 2024 berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Luar Biasa. Secara umum PPDB dilaksanakan secara online dan beberapa satuan pendidikan secara offline. Hal ini bertujuan untuk mempermudah peserta didik, orang tua, masyarakat untuk mendaftar dan memantau hasil PPDB.
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
LK. 1.2 Eksplorasi Penyebab Masalah (Literasi, Wawancara, dan Analisis).pdf
1. LK. 1.2 Eksplorasi Penyebab Masalah
No.
Masalah yang telah
diidentifikasi
Hasil eksplorasi
penyebab masalah
Analisis eksplorasi
penyebab masalah
1 Kegiatan pembelajaran
tidak berjalan sesuai
dengan rancangan
yang tertuang dalam
RPP, maupun
kurangnya proses
evaluasi
pembelajaran.
Literature
1. Juniriang
Zendrato, 2016,
Tingkat Penerapan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran
dalam
Pelaksanaan
Pembelajaran di
Kelas Suatu Studi
Kasus di SMA
Dian Harapan
Jakarta
Guru menulis RPP
karena tuntutan
administrasi
sekolah. Oleh
karena itu, faktor-
faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaannya di
kelas kurang
diperhatikan.
(Zendrato, J.,
2016)
2. Putri Salsabilla
Sulistiyani, Ina
Magdalena, Serly
Anggraeni,
Nurjamilah Selvia,
2021,
Implementasi
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran
(RPP) dalam
Sekolah Dasar
Faktor yang dapat
mempengaruhinya
implementasi RPP
yaitu kurangnya
kompetensi siswa
dari segi
kemampuan
memahami, nalar
maupun
Setelah dilakukan
analisis terhadap
kajian literatur dan
hasil wawancara,
serta dikonfirmasi
melalui observasi
dan pengamatan
dapat diketahui
bahwa penyebab
masalah Kegiatan
pembelajaran
tidak berjalan
sesuai dengan
rancangan yang
tertuang dalam
RPP adalah:
1. Beberapa guru
jarang
mempersiapkan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran
(RPP) sebelum
mengajar, kecuali
ketika ada
supervisi.
2. Beberapa guru
belum
melaksanakan
pembelajaran
sesuai RPP,
karena melihat
kemampuan dari
peserta didik saat
mengajar.
3. Guru sudah
membuat RPP,
namun lebih
banyak
penyesuaian
materi dan waktu
serta kondisi yang
dihadapi.
2. intelektual
(Sulistiyani, P.S.,
Dkk., 2021)
Wawancara
1.Secara keseluruhan
sesuai, bilapun
berbeda tidak
terlalu berbeda
jauh, hal itu
disebabkan karena
ada hal yang tidak
terduga,
keterbatasan media
yang bermasalah,
serta pekerjaan di
luar mengajar
(Priatna, A., 2022)
2.Guru jarang
mempersiapkan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
sebelum mengajar
(Rahmita, 2022)
3.Guru belum selalu
melaksanakan
pembelajaran
sesuai RPP di
semua KD (Robani,
M.H., 2022)
Saran Solusi:
1. Mengadakan
evaluasi
pelaksanaan RPP
oleh guru terkait.
2. Tim Kurikulum
memastikan
semua guru
membuat RPP.
3. Mengadakan
pelatihan
manajemen
pelaksanaan RPP
di kelas bagi guru
dan terevaluasi.
2 Kurang maksimalnya
implementasi model
pembelajaran inovatif
di kelas
Literature
Kendala yang timbul
dalam manajemen
kelas yaitu masalah
individu dan masalah
kelompok. Masalah
individu seperti
tingkah laku siswa
yang ingin selalu
diperhatikan dan
tingkah laku siswa
yang menonjolkan
kekuatan contoh siswa
yang ingin menang
sendiri. (Setyorini, A.
D. A., 2019)
Wawancara
Setelah dilakukan
analisis terhadap
kajian literatur
dan hasil
wawancara, serta
dikonfirmasi
melalui observasi
dan pengamatan
dapat diketahui
bahwa penyebab
masalah Kurang
maksimalnya
implementasi
model
pembelajaran
inovatif di kelas
adalah:
3. 1. Guru belum
memfasilitasi siswa
untuk berdiskusi,
membuat
hubungan,
merumuskan
kembali ide-ide, dan
menarik
kesimpulan sendiri
di setiap
pembelajaran
(Permadi, M.F.,
2022).
2. Guru kadang-
kadang
memfasilitasi siswa
untuk berdiskusi
dan merumuskan
kembali ide- ide
karena terburu
waktu pergantian
jam saat anak- anak
masih praktik
(Rahmita, 2022).
3. Tidak di setiap
pembelajaran
memfasilitasi siswa
untuk berdiskusi
(Robani, M.H.,
2022).
1. Guru tidak selalu
memfasilitasi
siswa untuk
berdiskusi saat
pembelajaran.
2. Guru tidak selalu
merumuskan
kembali ide- ide
karena
menyesuaikan
jam mengajar.
3. Tidak semua guru
memiliki prosedur
yang sistematik
untuk
memodifikasi
prilaku siswa.
Saran Solusi:
1. Mengadakan
pelatihan secara
bertahap dan
terevaluasi
berkenaan
dengan
pembelajaran
inovatif untuk
guru.
2. Pembiasaan
pembelajaran
inovatif kepada
siswa di setiap
KD.
3. Model
pembelajaran
inovatif menjadi
salah satu indeks
prestasi guru.
3 Kurangnya
pembelajaran yang
berorientasi HOTS
Literature
1. Siswa tidak siap
mengikuti proses
pembelajaran
(Prasetyani, Dkk.
2016:37). Sikap
inisiatif siswa yang
rendah dalam
pembelajaran,
Setelah dilakukan
analisis terhadap
kajian literatur
dan hasil
wawancara, serta
dikonfirmasi
melalui observasi
dan pengamatan
4. kurang gigih saat
menyelesaikan
suatu masalah,
bermain-main
dalam proses
pembelajaran, dan
mengobrol sesuatu
yang tidak
termasuk dalam
bagian
pembelajaran
sesama teman.
2. Keterampilan
berpikir siswa
dalam kategori
rendah,
dipengaruhi oleh
budaya literasi
yang dilakukan
oleh siswa (Rahayu
2017:697).
3. Penyebab dari
keterampilan
berpikir siswa
dalam kategori
rendah juga
disebabkan oleh
faktor lingkungan
(Kurniawan &
Maryani,
2015:213). Faktor
lingkungan dari
keluarga dan
sekolah sangat
signifikan
mempengaruhi
keterampilan
tingkat tinggi siswa.
Wawancara
1. Belum menerapkan
HOTS pada semua
Kompetensi Dasar
pembelajaran
(Permadi, M.F.,
2022).
2. Guru belum
menerapkan HOTS
pada semua
Kompetensi Dasar
dapat diketahui
bahwa penyebab
masalah
Kurangnya
pembelajaran
yang berorientasi
HOTS
adalah:
1. Sikap inisiatif
siswa yang rendah
dalam
pembelajaran
2. Beberapa guru
belum
menerapkan
HOTS pada semua
Kompetensi Dasar
(KD) karena masih
kurang
memahami
konsep HOTS.
3. Guru kurang
mengikuti
pelatihan
berkenaan
dengan HOTS.
4. Guru kurang
melakukan
diskusi dengan
rekan sejawat
berkenaan
dengan HOTS.
5. Beberapa siswa
sulit memahami
persoalan HOTS.
Saran Solusi:
1. Mengadakan
pelatihan secara
bertahap dan
terevaluasi
berkenaan
dengan
implementasi
HOTS untuk
guru.
5. (KD) karena masih
kurang memahami
konsep HOTS
(Rahmita, 2022).
3. Beberapa siswa
sulit memahami
persoalan HOTS
(Nugraha, F., 2022).
2. Pembiasaan
pembelajaran
HOTS kepada
siswa agar siswa
terus terlatih.
3. Pembelajaran
HOTS menjadi
salah satu indeks
prestasi guru.
4 Kurangnya
optimalisasi
penggunaan LMS
Sekolah sebagai salah
satu sarana
pendidikan.
Literature
1. Selain dari aspek
psikologis seperti
isu kedisiplinan,
motivasi, kesehatan
mental dan fisik,
dan perasaan saat
isolasi (Raaper &
Brown, 2020),
kesiapan
kompetensi guru
dalam mengelola
kelas virtual juga
menjadi salah satu
kendala tersendiri.
2. Kurangnya
pengalaman guru
dalam mengelola
pembelajaran
daring (Mahbub,
M.A., 2021)
Wawancara
1. Ada Kompetensi
Dasar (KD) yang
belum
menggunakan LMS
(Permadi, M.F.,
2022).
2. Tidak semua
Kompetensi Dasar
(KD) sudah
Setelah dilakukan
analisis terhadap
kajian literatur
dan hasil
wawancara, serta
dikonfirmasi
melalui observasi
dan pengamatan
dapat diketahui
bahwa penyebab
masalah
Kurangnya
optimalisasi
penggunaan LMS
Sekolah sebagai
salah satu sarana
pendidikan
adalah:
1. Tidak semua guru
menggunakan
LMS untuk semua
Kompetensi Dasar
(KD).
2. Kurangnya
pengalaman guru
dalam mengelola
LMS.
3. Sarana prasarana
siswa dan guru
yang kurang
mendukung
penggunaan LMS.
Saran Solusi:
1. Mengadakan
pelatihan LMS
6. menggunakan LMS
(Rahmita, 2022).
3. Belum semua guru
menggunakan LMS
secara maksimal
karena masih
beradaptasi dan
device siswa dan
guru kurang
memadai. (Robani,
M.H., 2022).
secara bertahap
dan terevaluasi
untuk
memastikan
pembiasaan guru
dan siswa dalam
menggunakan
LMS.
2. Penggunaan LMS
menjadi salah
satu indeks
prestasi guru dan
siswa.
3. Sekolah
mengizinkan guru
dan siswa
menggunakan
sarana sekolah
yang
memudahkan
guru dan siswa
mengakses LMS
dengan ketentuan
yang berlaku.