Makalah ini membahas urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah. Secara garis besar, makalah menyebutkan beberapa catatan kritis terhadap UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti tujuan yang terlalu sempit dan belum memperhatikan perspektif pemberantasan korupsi. Makalah ini juga menjelaskan tugas dan wewenang LPSK serta alasan mengapa kehadiran LPSK di
1. LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
DI DAERAH: Perlukah…???1
Oleh. Paul SinlaEloE 2
A. CATATAN PENGANTAR
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan, maka
pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaiakan pemikiran mengenai: “Urgensi
Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi & Korban Daerah dalam Prespektif Masyarakat”.
Namun tanpa seijin penyelenggara, saya merubah judulnya menjadi seperti apa yang tertera
dalam makalah ini.
Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah akan di uraikan dengan sistematika sebagai
berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Catatan Kritis Terhad UU No. 13 Tahun 2006.
Ketiga, Memahami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, Urgensi Keberadaan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah. Kelima, Catatan Penutup.
B. CATATAN KRITIS TERHADAP UU No. 13 TAHUN 2006
Masyarakat pendamba keadilan pada tanggal 11 Agustus 2006 menyambut gembira
di undangkannya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban3 . Walaupun
demikian patut diingat bahwa UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dinilai belum maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap Saksi dan Korban karena masih
banyak bolong disana sini.
Catatan PIAR NTT 4 menunjukan bahwa: Pertama, Tujuan dari UU No. 13 Tahun 2006, tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, hanya sebatas melindungi saksi dengan memberikan rasa
aman saat saksi dan korban memberikan keterangan di peradilan pidana. Pada hal, masalah
yang dihadapi adalah efektivitas dalam penegakan hukum, terutama dalam hal penyelesaian
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan penyelesaian kasus korupsi. Hambatan
utama dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk
berperan sebagai pelapor dan saksi. Karena itu, seharusnya tujuan keberadaan UU No. 13 Tahun
2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bukan sebatas untuk melindungi saksi, melainkan
lebih untuk meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum, terutama penyelesaian kasus
pelanggaran HAM dan kasus korupsi.
Makalah ini dipresentasikan dalam Sosialisasi dan Diskusi Publik: “URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI &
KORBAN DI DAERAH”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi & Korban bekerjasama dengan POLDA NTT, di Hotel
Kristal, Kota Kupang, pada tanggal 22 Oktober 2010.
2 Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
3 Mungkin tidak semua masyarakat, tapi itulah paling tidak yang dirasakan oleh Koalisi Perlindungan saksi yang terdiri dari 38 Organisasi
Masyarakat Sipil termasuk didalamnya PIAR NTT. Karena Undang-Undang ini dalam pembahasannya sempat mandeg di DPR-RI sekitar
5 (lima) tahun.
4 Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independent dan
non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 November 2002, dan
terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT
dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
1
Page 1
2. Kedua, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak berperspektif
pemberantasan korupsi. Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai
adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh,
ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan
kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal
ini, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas diperlukan untuk
memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk
mengungkapkan kasus korupsi. Konsekwensinya, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak
pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh
konspirasi dari para koruptor. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, perspektif tersebut tidak ditemukan. Hal itu dapat terlihat dengan tidak
dimasukkannya UU No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam pertimbangannya, padahal saksi kasus korupsi termasuk yang harus dilindungi.
Selain itu, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ini belum
memasukkan unsur pelapor dalam kasus korupsi. Pelapor didefinisikan seperti yang ada di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal pelapor kasus korupsi belum
tentu akan menjadi saksi. Perlindungan bagi pelapor kasus korupsi 5 perlu diakomodir di dalam
UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengingat posisi pentingnya
dalam mengungkap kasus korupsi yang tidak terungkap di permukaan dan minimnya alat bukti
yang ditemukan.
Ketiga, Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat
kerancuan dalam menempatkan hak-hak saksi dan perlakuan terhadap saksi. Seharusnya
hak-hak saksi dan perlindungan saksi dipisahkan demi kepastian hukumnya. Konsekuensi
dari kerancuan tersebut, hak-hak saksi menjadi sangat umum dan tidak mempertimbangkan
cakupan saksi yang harus mendapatkan perlindungan atau perlakuan khusus. Banyaknya
jenis saksi seharusnya menuntut pemisahan hak-hak dan perlakuannya. Sedangkan menyangkut
perlindungan saksi, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat
secara terperinci mendefinisikan jenis dan bentuk perlindungan, walaupun tata cara
perlindungan sudah sedikit banyak disinggung. Di sisi lain, UU No. 13 Tahun 2006, tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, cenderung menyamakan hak-hak dan perlakuan saksi dan
korban. Dalam kasus pelanggaran HAM, hal itu dimungkinkan mengingat posisi saksi yang
hampir pasti sebagai korban. Tapi, dalam kasus korupsi, hampir bisa dipastikan tidak ada
korban, atau korbannya adalah negara. Selain itu, perlakuan terhadap korban
pascaputusan pengadilan, terutama korban pelanggaran HAM berat, belum diperhatikan.
5
Perlindungan bagi pelapor kasus korupsi harus diakomodir dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika
tidak, maka akan banyak kasus korupsi yang tidak akan terungkap. Pada konteks NTT terdapat sejumlah pelapor kasus dugaan korupsi
yang dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum padahal laporan kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya belum diproses. Para
pelapor kasus dugaan korupsi tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan
Larantuka), Pius Hamid (Direktur SANKARI - NTT) dan Mateus Hamsi (Ketua DPRD Manggarai Barat).
Page 2
3. Keempat, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur
tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan
kesaksian atau melaporkan tindak pidana. Untuk mengungkap kasus tindak pidana,
terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan.
Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban,
tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat
besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran
whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh
masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya
apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur
penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
C. MEMAHAMI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diundangkan pada
tanggal 11 Agustus 2006 dalam LN-RI Tahun 2006 Nomor 64, tambahan LN-RI Nomor 4653,
disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK
adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 6 .
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki
tugas dan kewenangan 7 sebagai berikut: Pertama, Menerima permohonan Saksi dan/atau
Korban untuk perlindungan. (Pasal 29). Kedua, Memberikan keputusan pemberian perlindungan
Saksi dan/atau Korban. (Pasal 29). Ketiga, Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau
Korban. (Pasal 1). Keempat, Mengehentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban.
(Pasal 32). Kelima, Mengajukan ke Pengadilan (NB: Berdasarkan Keinginan Korban) berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti rugi
yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7). Keenam, Menerima permintaan
tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan Pasal 34).
Ketujuh, Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan di berikannya
bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 34). Kedelapan, Bekerjasama dengan instansi
terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan. (Pasal 36).
UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pasal 13 ayat (1)
juga mengamantkan bahwa LPSK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bertanggung
jawab kepada presiden 8 . Disamping itu, LPSK juga wajib memberikan laporan kepada DPR-RI 9 .
Lihat Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Para perumus UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan Tugas dan Kewenangan dari LPSK
dalam suatu bagian atau bab tersendiri melainkan menyebarkan di seluruh UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
8 Implikasi dari pasal 13 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, adalah presiden sebagai pejabat Negara
tertinggi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai
dengan mandat dan tugasnya. Artinya, lembaga ini jangan sampai “dikucilkan” dan tak terdukung oleh Presiden. Lihat, Supryadi
Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice
Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6.
9 Lihat pasal 13 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
6
7
Page 3
4. D. URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil
dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus
yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi 10 .
Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya
UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namaun KEHADIRAN LPSK DI
DAERAH SANGAT DIBUTUHKAN. Walaupun UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik
Indonesia11 , namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, UU No. 13 Tahun 2006, tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk
perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK 12 .
Pilihan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses
bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena
secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang
terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi,
kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling
banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia 13 .
Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region
tertentu (NB: Terdiri dari beberapa provinsi) ataupun di tiap Provinsi. Bahkan bisa juga didirikan
di level Kabupaten. Atau dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan
di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen
atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan
perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula
dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Hal ini
Pada Konteks NTT, Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT berkaitan dengan persoalan korupsi di NTT menunjukan
bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp.
256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh EnamMilyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat
Ratus TigaPuluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini
sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76
(Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi. Jika dilahat dari usia kasus, kasus korupsi di NTT yang
dipantau oleh PIAR NTT dapat dipilah menjadi 2 (Dua) kategori, yakni: Kasus Lama dan Kasus Baru. Kasus Lama adalah Kasus korupsi
usaianya lebih dari 3 (Tiga) tahun atau kasus yang terjadi dari tahun 2000 S/D 2006). Sedangkan Kasus Baru ialah Kasus korupsi
usaianya kurang dari 3 (Tiga) tahun atau kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Dengan pengkategorian seperti ini,
maka terdapat 97 (77,6%) kasus yang merupakan Kasus Lama dan Kasus Baru sebanyak 28 (22,4%) kasus. Salah satu alasan utama
berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi ini adalah tidak adanya saksi yang mau bersaksi. Catatan akhir tahun 2009 PIAR NTT
berkaitan dengan persoalan HAM juga tidak jauh berbeda dengan persoalan korupsi. Pada tahun 2009 terdapat 31 kasus perkosaan
yang tidak tertangani secara maksimal oleh PIAR NTT karena ketiadaan saksi.
11 Lihat Pasal 11 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga
Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi
Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi karena LPSK merupakan sebuah lembaga
Negara.
12 Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
13 Supriyadi Widodo, dkk, Sanksi dalam Ancaman: dokumentasi Kasus, Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004.
10
Page 4
5. menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat
dubutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra
produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
E. CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai urgen tidaknya keberadaan lembaga
perlindungan saksi dan korban di daerah, Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita
pada suatu diskusi yang lebih luas.
AHLI HUKUM YANG PALING MAHIR BUKAN LAGI SARJANA HUKUM YANG PINTAR
DALAM TEKNIS HUKUM, TETAPI SARJANA HUKUM YANG MEMAHAMI
AKAN KEPENTINGAN MASSA-RAKYAT
Page 5