1. KIPusat telah memperluas definisi Badan Publik Non Negara berdasarkan UU KIP untuk mencakup organisasi nonpemerintah yang menerima pendanaan dari APBN dan APBD meski tidak tunduk pada UU Keuangan Negara.
2. Organisasi nonpemerintah dikategorikan sebagai Badan Publik Non Negara jika memenuhi syarat sebagai organisasi dan menerima pendanaan dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan luar ne
1. 1
KONSEP BADAN PUBLIK NON NEGARA DALAM UU KIP
.
Salah satu subjek hukum dalam sengketa informasi adalah Badan Publik, yang
bertindak sebagai Termohon. Dalam putusannya, KIPusat melakukan berbagai
terobosan berdasarkan teori hukum dan praksis hukum telah memberikan
pemaknaan yang memperkuat pengertian Badan Publik tersebut, utamanya terkait
dengan konsep Badan Publik Non Negara. Terobosan ini dilakukan berdasarkan apa
yang disebut Prof Satjipto Rahardjo sebagai hukum progresif. Oleh karena hukum
adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, kemuliaan dan keadilan, maka progresifitas
diperlukan.
Konsep Badan Publik Non Negara muncul dari pemaknaan ketentuan Pasal 1 angka
3 UU KIP. Jika merujuk ketentuan Pasal 1 angka 3 maka yang dikategorikan
sebagai Badan Publik Negara adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan
badan lain dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Adapun organisasi
nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh danaya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri dikategorikan sebagai Badan
Publik Non Negara.
UU KIP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut atas keberadaan Pasal 1 angka 3
kecuali pernyataan “cukup jelas”. Atas dasar itu, tafsir atau definisi Badan Publik
Non Negara harus sebagaimana uraian pasal tersebut. Berdasarkan hal itu pula
untuk mengkategorikan suatu entitas hukum sebagai Badan Publik Non Negara,
pengujian dilakukan terhadap terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat-syarat
sebagai Badan Publik Non Negara.
Pertama, entitas hukum itu harus merupakan organisasi nonpemerintah. Istilah
organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan terjemahan dari bahasa inggris non-
governmental organization. Secara sederhana diartikan bahwa semua organisasi
yang bukan merupakan organisasi pemerintah adalah organisasi non pemerintah.
Organisasi yang dibentuk berdasarkan kesamaan profesi, kesamaan hobi dan
kegemaran, kesamaan minat, kesamaan visi dan misi hingga kesamaan atau
kedekatan kekerabatan dan kekeluargaan dapat dikategorikan sebagai ornop. Jadi
ciri yang paling mendasar dari ornop adalah sifat ke-privat-annya – hobi,
kegemaran, minat, profesi, kekerabatan dan kekeluargaaan adalah hal-hal yang
bersifat privat. Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Paguyuban Pasundan,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komunitas Historia Indonesia
adalah beberapa contoh ornop. Akan tetapi mengingat luasnya jenis dan macam
ornop, untuk secara mudah membedakan apakah suatu entitas merupakan ornop
atau bukan, frasa “organisasi” menjadi kata kuncinya. Frasa “organisasi”
menekankan bahwa entitas tersebut bukan “orang perseorangan atau individu atau
sekelompok orang” melainkan sebagai entitas “badan hukum”. Sebagai organisasi
2. 2
yang dikelompokan sebagai badan hukum, maka dari cara pembentukannya ornop
dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan.
Kedua, ornop dimaksud harus memperoleh pendanaan yang sebagian atau
seluruhnya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat
dan/atau luar negeri. Perdebatan terhadap klausula ini ada pada frasa
“memperoleh pendanaan yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN
dan/atau APBD” —utamanya terkait relasi antara “memperoleh pendanaan dari
APBN dan/atau APBD” dengan “pelaporan peroleh pendanaan tersebut berdasarkan
mekanisme pengelolaan keuangan negara”. Apakah diperlukan pembuktian
berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara yang
tunduk pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003
terhadap ornop yang memperoleh pendanaan dari APBN dan/atau APBD ?
Jika merujuk pada bunyi penjelasan Pasal 1 angka 3, terhadap klausula
“memperoleh pendanaan yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN
dan/atau APBD” tidak diperlukan pembuktian berdasarkan mekanisme
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara yang tunduk pada UU 17/2003
terhadap ornop yang memperoleh pendanaan dari APBN dan/atau APBD.
Mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara berdasarkan UU UU
17/2003 hanya dapat diterapkan pada Kementerian dan/atau Lembaga dimana
penanggung jawab penggunaan Keuangan Negara ada pada Kementerian (Menteri)
sebagai Pengguna Anggaran. Sedangakan ornop sebagimana uraian pada undur
pertama di atas jelas bukan kementerian atau lembaga. Tidak akan mungkin
menemukan adanya istilah “Pengguna Anggaran” sebagaimana dalam UU 17/2003
dalam aktivitas ornop. Namun dalam praktik sangat dimungkinkan dan faktanya
banyak terjadi ornop memperoleh dana yang bersumber dari APBN dan/atau APBN
dalam bentuk hibah atau bantuan lainnya. Oleh karena itu, sepanjang dapat
dibuktikan bahwa ornop tersebut memperoleh, menerima dana dari APBN dan/atau
APBD apapun dan bagaimanapun bentuknya serta dalam jumlah berapapun, ornop
tersebut tersebut dikategorikan sebagai Badan Publik Non Negara.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa sangat tidak tepat jika
membenturkan UU KIP dengan UU No. 17/ 2003, sebab maksud dan tujuan
pembentukan hukum tersebut sangat berbeda. Sepanjang menyangkut akses dan
keterbukaan informasi publik, UU KIP –lah yang berhak menentukan suatu
organisasi atau lembaga atau institusi merupakan Badan Publik atau bukan, serta
menentukan apakah suatu organisasi atau lembaga atau institusi a quo merupakan
Badan Publik Negara atau Badan Publik Non Negara. Jika merupakan Badan Publik
Negara, maka tentulah berkenaan dengan pengelolaan keuangan negara
(APBN/APBD) tunduk pada UU No. 17 /2003. Namun terhadap Badan Publik Non
Negara, sangat tidak mungkin menundukan diri pada UU a quo.
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 199/VI/KIP-PS-A/2014 Antara Pemohon
Informasi Forum Supporter Indonesia dengan Termohon Persatuan Sepak Bola
Seluruh Indonesia (PSSI) adalah salah satu putusan yang dapat dijadikan rujukan
untuk menentukan sebuah entitas organisasi non pemerintah sebagai Badan
Publik Non Negara. Dalam salah satu pendapat hukumnya, menyangkut
argumentasi Termohon yang menyatakan bahwa Temohon adalah Badan Hukum
Privat Perkumpulan berdasarkan Pasal 1653 KUHPerdata juncto Staatsblad 1870
No. 64, sehingga oleh karenanya bukan merupakan Badan Publik, Majelis
3. 3
berpendapat sebagai berikut “.........sepanjang dimaknai tentang pembentukan
organisasi berbadan hukum sebagaimana lazimnya jenis badan hukum yang diatur
dalam KUHPerdata Buku III Bab IX dan status Badan Hukum sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Maka
pemilihan status/subyek hukum Badan Hukum Privat Perkumpulan yang dilakukan
Termohon dengan mendasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Maunis Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan,
sebagaimana yang tercantum dalam AD ART PSSI, hal 2 (Surat T - 15), karenanya
pemilihan subyek hukum Termohon sebagai Badan Hukum Privat Perkumpulan
adalah benar dan tidak dapat dibantah lagi, karenanya status/subyek hukum
tersebut memiliki kedudukan hukum dan peranan yang sangat penting di dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, dimana setiap badan hukum dapat
mempunyai wewenang, serta dalam teori hukum keperdataan, suatu badan hukum
hanya dikenal 2 (dua) macam badan hukum yaitu, Badan Hukum Publik dan Badan
Hukum Privat”