Puisi-puisi ini menceritakan tentang kerinduan akan kekasih yang tak lagi menghubungi, kenangan indah bersama yang telah berlalu, serta kesepian yang hadir akibat ketiadaan sosok terkasih. Puisi-puisi ini mengekspresikan perasaan rindu, kecewa, sedih namun pada akhirnya menerima takdir atas berakhirnya kisah cinta.
1. Aku dan Bayanganmu
Oleh : Nurul Faela Shufa
Hari ini kau tak menghubungiku
Kemarin dan kemarinnya lagi kau juga tak menghubungiku
Besok, lalu besoknya lagi kau tetap tak menghubungiku.
Ada apa?
Minggu lalu kau tak menghubungiku,
Minggu ini kau pun tak menghubungiku
Lalu, minggu depan apakah kau juga tak menghubungiku?
Puisi ini, kekasih.
Sudah terlalu lama mengendap di pikiranku.
Ia ingin segera dimuntahkan, lalu disantap perlahan-lahan.
Kapan kau menghubungiku?
Tak lama lagi senja tiba.
Dan aku harus mengemasi segalanya.
Perasaanku perasaanmu yang tak lagi sama
Aku harus bergegas pulang, sayang.
Sebab tungku rindu di rumahku belum juga padam
2. Apalagi dinding-dinding batako yang kau susun dengan jantungku itu merengek
minta pelukan.
Ah, bagaimana dengan rumput di pekarangan yang mulai kering?
Sebab tak kau guyur dengan teduh matamu itu.
Dan senja mulai jatuh,
Kesepian-kesepian meringkuk di sudut kamar beraroma sendu.
Ketiadaanmu menghapuskan segalaku
Dan segalaku membekukan dirimu
Hujan di suatu petang, kau tak juga menghubungiku
Angin yang membawa pulang kenanganmu jatuh di meja makan.
Lalu, kuambil sebuah lilin, dan merayakan ketiadaanmu.
Angan Tanpa Balas
Oleh : Nurul Faela Shufa
Kepada ia, yang kusebut kekasih,
Berumahlah di ketabahanku.
Katakanlah,
Bagaimana asing yang tak kekal,
3. ketika penghianatan kau saksikan ganjil dimatamu.
Dimatamu, debu-debu mengikat untuk dilupa.
Kau sungguh kuat.
Tangannya melambai memberi ucapan selamat.
Maaf, untuk pertemuan yang diluar kuasaku.
0 Km Yogyakarta bulan basah kala itu.
Jika bekas sakitmu memang hidup,
biarkan aku yang tercambuk dalam belatinya.
Teruntuk senja dikotamu kini,
Terimakasih telah membuat hatiku bercabang.
Biarpun doa tak lagi kau lantunkan dalam sujud.
Tapi ingat kita pernah berlomba-lomba saling melempar doa
Aku ada dan tak pernah pergi
Rasakan keberadaanku di sudut hatimu yang paling sembunyi
Kau boleh membunuh, namun itu tidak akan mati.
Sebab ada bagian diriku yang hidup diantara jantungmu.
Tentu saja masih ada benih untuk disemai,
Ketika ranting sudah tak mampu menjadi tempatku, lagi.
4. Sudah cukup jua episode ini.
Demikian atas perhatiannya.
Semua usai, daun itu mati–bergegas terdekomposisi.
Menjadi organik tanah, agar tak kembali.
Daun yang Ganjil
Oleh : Nurul Faela Shufa
Terakhir, aku bertemu dengannya di lereng lembah.
Ia sedang bersama mendung mesra-mesranya.
Memeluk cakrawala dengan nyanyian bidadari baru disampingnya.
Namun, hatinya masih saja kosong.
Ia bohong, kesepian.
Disisa gerimis pada bulan Juli.
Pada daun-daun yang melayu,
wajahnya merona dalam tatapan.
Ia indah, bagai tak ternodai.
Aku tersenyum, ia tersanjung.
Namun, setiap detik berubah nyata.
5. Perpisahan bukan dongeng belaka.
Dan, perihal mimpi ternyata tak sempurna angan manusia.
Hancur, kandas oleh ekspektasi diri.
Bersama senja yang memeluk cemasmu sediakala,
Diantara kebisingan padatnya kota,
Daun itu terhempas ke tengah jalan.
Ia tabah akan takdir atau siapapun yang memungutnya.
Tentu saja untuk dikembalikan, atau dibiarkan terurai.
Siapa yang tahu sejatinya alur.
Saat kota sedang mesranya, daun itu bercumbu.
Senja mengintip dibalik dahan.
Pada dahan yang mengering itu jatuh.
Sekejap menyapu mata.
Rindu Senja
Oleh : Nurul Faela Shufa
Aku ingin bertukar cerita (lagi) pada senja,
6. angin, dan sore yang pernah hidup diantara keganjilan yang membentang seluruh
dada.
Hingga kelak suatu cerita akan usai.
Sesungguhnya,
kini hanya do’a-do’a yang tersirat di antara kisah yang kabur.
Sejatinya do’a adalah penangkal hebat satuan kilometer jarak.
Jika setia ialah janji, biarkan bumi berotasi sesuai waktunya.
Semesta memang jahat, untuk beberapa partikel yang tak lolos.
Ia menyaring, bukan mengadopsi.
Lalu tersisa, kata “aku” yang ganjil.
Aku, daun yang tergradasi menjadi banyak warna.
Menulis sejarah, namun tragis oleh skenario jebakan.
Gemar menelan kegetiran dalam madu.
Hingga akhirnya berkarat oleh sebuah hati,
Pada pelangi yang pernah menolongku.
Aku jatuh cinta.
Sepanjang kota aku pernah lewatkan, bersamamu.
Mencari celah diantara kepulan asap kretek yang pitainya menghidupi negara.
Rapuh, aku enggan bertanya perihal sebuah memori.
7. Kau bisa membakarnya, bukan membunuhnya.
Anggap saja, ini sebuah surat yang tertulis dalam kertas hitam.
Bukan kali pertama, juga bukan tinta terakhir.
Pena mengganda diantara epital saraf yang bekerja untuk tuannya.
Melintasi jurang yang dangkal akan belas kasihan.