Dokumen ini berisi kumpulan puisi dan prosa yang menceritakan tentang cinta, kenangan, kesepian, peringatan, dan pesan sang ibu. Beberapa tema yang diangkat antara lain cinta sederhana, hujan bulan juni, kenangan akan rumah tua dan masa lalu, kerinduan akan kekasih yang jauh, serta pesan untuk selalu melawan penguasa yang zalim dan korup.
3. Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana Hatiku selembar Daun
Kuhentikan Hujan
Hujan Bulan Juni Yang Fana adalah Waktu
4. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya
abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada
5. Hatiku selembar daun
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
6. Kuhentikan hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
7. Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
8. Yang fana adalah waktu
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
10. AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
11. Cintaku jauh di pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
13. KENANGAN DAN KESEPIAN
Rumah tua dan pagar batu
Langit di desa sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu
Tak berhati lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
Burung tak tergenggam
Batang baja waktu lengang
Dari belakang menikam.
Rumah tua
Dan pagar batu.
Kenangan lama
Dan sepi yang syahdu
14. KANGEN
Kau tak akan mengerti
Bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak akan mengerti
Segala lukaku
Karena luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen
dan sepi itulah berarti
Aku tungku tanpa api.
16. PERINGATAN
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar
mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gasat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa
alasan
dituduh subversif dan mengganggu
keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
17. PESAN SANG IBU
Tatkala aku menyarungkan pedang
Dan bersimpuh di atas pangkuannya
Tertumpah rasa kerinduanku pada sang ibu
Tangannya yang halus mulus
Membelai kepalaku...
Tergetarlah seluruh jiwa ragaku
Musnahlah seluruh api semangat juangku
Namun sang ibu berkata...
Anakku sayang, apabila kaki sudah melangkah
Di tengah padang...
Tancapkanlah kakimu dalam-dalam
Dan tetaplah terus bergumam
Sebab, gumam adalah mantra dari dewa-dewa
Gumam mengandung ribuan makna
Apabila, gumam sudah menyatu dengan jiwa raga
Maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan
Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang
besar
Yang nantinya akan mampu merobohkan istana yang
penuh kepalsuan
Gedung-gedung yang dihuni kaum munafik
Tatanan negeri ini sudah hancur, Anakku...
Dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini
Mereka hanya bisa bersolek di depan kaca
Tapi, membiarkan punggungnya penuh noda
Dan penuh lendir hitam yang baunya kemana-mana
Mereka selalu menyemprot kemaluannya
Dengan parfum luar negeri
Di luar berbau wangi, didalam penuh dengan bakteri
Dan hebatnya...
Sang penguasa negeri ini, pandai bermain akrobatik
Tubuhnya mampu dilipat-lipat
Yang akhirnya pantat dan kemaluannya sendiri
Mampu dijilat-jilat...
Anakku... apabila pedang sudah kau cabut
Janganlah surut, janganlah bicara soal menang dan kalah
Sebab, menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi
Mimpi-mimpi muncul dari sebuah keinginan
Keinginan hanyalah sebuah khayalan
Yang hanya akan melahirkan, harta dan kekuasaan
Harta dan kekuasaan hanyalah balon-balon sabun
Yang terbang di udara.
Anakku, asahlah pedang
Ajaklah mereka bertarung di tengah padang
Lalu... tusukkan pedangmu di tengah-tengah selangkangan
mereka
Biarkan darah tertumpah di negeri ini...
Satukan gumammu menjadi revolusi.