Bagi seluruh lapisan masyarakat Belitung yang berada dalam daftar pertemanan dengan saya, mohon kiranya untuk sempatkan diri baca informasi yang saya postingkan di slideshare.net. Terima kasih dan semoga bermanfaat.
tentang teori sistem kepariwisataan yang telah berkembang di dunia dan sistem kepariwisataan berdasarkan UU 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan PP No. 50 Tahun 2011 tentang Ripparnas Tahun 2010-2025.
Menjelaskan akan kebutuhan wisata yang esensial. Mengemukakan secara detail antara konsep waktu luang dan rekreasi yang berpengaruh pada tingkat pariwisata. Pentingnya waktu luang dalam pariwisata, serta kegiatan dalam wisata yang menunjang rekreasi dan waktu luang wisatawan selama berwisata di suatu destinasi.
Peranan sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan sektor pariwisata melalui penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja serta pengembangan usaha yang tersebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia.
Bagi seluruh lapisan masyarakat Belitung yang berada dalam daftar pertemanan dengan saya, mohon kiranya untuk sempatkan diri baca informasi yang saya postingkan di slideshare.net. Terima kasih dan semoga bermanfaat.
tentang teori sistem kepariwisataan yang telah berkembang di dunia dan sistem kepariwisataan berdasarkan UU 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan PP No. 50 Tahun 2011 tentang Ripparnas Tahun 2010-2025.
Menjelaskan akan kebutuhan wisata yang esensial. Mengemukakan secara detail antara konsep waktu luang dan rekreasi yang berpengaruh pada tingkat pariwisata. Pentingnya waktu luang dalam pariwisata, serta kegiatan dalam wisata yang menunjang rekreasi dan waktu luang wisatawan selama berwisata di suatu destinasi.
Peranan sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan sektor pariwisata melalui penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja serta pengembangan usaha yang tersebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia.
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Pariwisata dalam dekade terakhir ini menunjukkan pertumbuhan yang mantap, ditandai dengan perkembangan perjalanan domestik oleh wisatawan nusantara, maupun per-kembangan kunjungan wisatawan mancanegara. Pariwisata nusantara, selain tumbuh dari segi jumlah pelaku perjalanannya, juga dari jumlah perjalanan yang dilakukan, sementara wisatawan mancanegara mengalami perluasan pasar.
Dari sisi sediaan, juga ditengarai munculnya berbagai destinasi baru, atas dukungan peme-rintah pusat maupun atas inisiatif daerah, selain itu juga muncul produk-produk baru menanggapi perkembangan pasar, termasuk diantaranya industri kreatif yang menjadi daya tarik wisata. Kontribusi pariwisata secara total terhadap PDB, penerimaan pajak, maupun penciptaan lapangan kerja meningkat dari tahun ke tahun. Di samping perolehan devisa, pariwisata juga menciptakan dan memperluas lapangan usaha, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong pelestarian lingkungan hidup, mendorong pelestarian dan pengembangan budaya bangsa dan mendorong perkembangan daerah.
Pekerjaan pariwisata juga merupakan pekerjaan yang sangat sensitif terhadap adanya perubahan, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal sehingga pekerjaan ini sangat membutuhkan kemampuan untuk terus menerus beradaptasi dengan kebutuhan wisatawan yang berubah. Bentuk adaptasi ini salah satunya adalah dengan perencanaan yang baik.
Namun demikian, perkembangan kepariwisataan Indonesia bukannya tidak menghadapi masalah dan kendala. Pertumbuhan masih perlu diikuti dengan persebaran karena sampai saat ini ketimpangan antar wilayah masih tinggi. Selain itu juga Kementerian Parekraf sudah mencanangkan pertumbuhan yang berkualitas untuk meningkatkan daya saing dan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Kapasitas sumber daya manusia masih menjadi kendala untuk tumbuh dan berkembang secara berkualitas, di samping hambatan klasik Koordinasi antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan.
Perencanaan yang baik diharapkan dapat mengurangi hambatan-hambatan untuk melangkah ke depan menuju pariwisata Indonesia yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengembangkan industri yang kredibel, serta perluasan pasar didukung oleh institusi yang kondusif.
kebudayaan adalah sarana hasil Cipta, rasa, dan karsa masyarakat.
Izinkan juga kami memperkenalkan Paket Paintball yang ada di Jogja
Jungle Paintball Jogja adalah tempat bermain Paintball murah di Jogjakarta
Letaknya strategis di area Jl.Selokan Mataram 29 Pringgolayan - Condongcatur - Depok Sleman
Lapangan kami rancang sedemikian rupa mirip dengan area "perang" umumnya
sehingga kami punya tag Line THE REAL OF BETTLE GAME
Anda akan mendapatkan 50 peluru yang di bagi dalam 2 Sesi pertandingan ( masing masing 25 peluru)
Anda akan mendapatkan briefing sebelum pertandingan dan akan dikawal dengan seksama oleh 2 orang instruktur
Harga kami sangat kompetitif
Reservasi : 089608040199 - 085217437657-082138324241-0274486224
Studi Kasus Pariwisata Pokdarwis Dieng PandawaRumba .
Merupakan salah satu tugas dari mata kuliah PK5106 Kepranataan dalam Kepariwisataan Magister Perencanaan Pariwisata ITB 2019. Diupload agar dapat bermanfaat dan mendapatkan masukan apabila diperlukan.
Perubahan teknologi dan globalisasi menyebabkan terjadinya disrupsi atau gangguan pada sektor pariwisata yang membutuhkan pendidikan tinggi berbasis teknologi.
Paparan ini menyajikan landasan perlunya pengembangan pendidikan tinggi pariwisata berbasis teknologi dan inovasi dalam Era Pariwisata 4.0.
Pengembangan Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Nasional 2013Andrie Trisaksono
Pengembangan Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Nasional 03.04.2013
oleh Drs. Ukus Kuswara, MM
SEKJEN Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif
(materi ini adalah milik Kementerian Parekraf, saya upload hanya untuk membantu mensebar luaskannya saja).
Menurut Pearce ada 6 komponen peran geografi pariwisata :
1) Pola keruangan penawaran (spatial patterns of supply)
2) Pola keruangan permintaan (spatial patterns of demand)
3) Geografi tempat-tempat wisata (the geography of resort)
4) Geografi dan aliran wisatawan (tourist movement and flows)
5) Dampak pariwisata (the impact of tourism)
6) Model-model keruangan pariwisata (models tourism space)
Data tersebut dapat diperoleh melalui survei instansional, survei lapangan, interpretasi citra dan peta, sedangkan penyajiannya dapat berupa peta dan tabel disesuaikan dengan skala perencanaan.
Pengembangan Kelembagaan DMO (Destination Management Organization)Rachmad Syarif
Kepada seluruh masyarakat Belitung yang berada dalam daftar pertemanan dengan saya, dimohon untuk membuka, membaca, mempelajari informasi ini. Selanjutnya, mohon disebarkan kepada seluruh pihak yang Anda kenal. Terima kasih dan semoga Anda berkelimpahan.
Pemasaran adalah aliran produk secara fisis dan ekonomik dari produsen melalui pedagang perantara ke konsumen. Definisi lain menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang membuat individu/kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Pema-saran melibatkan banyak kegiatan yang berbeda yang menambah nilai produk pada saat produk bergerak melalui sistem tersebut.
Kegiatan-kegiatan dalam usaha pemasaran tidak hanya kegiatan memindahkan barang /jasa dari tangan produsen ke tangan kon-sumen saja dengan sistem penjualan, tetapi banyak kegiatan lain yang juga dijalankan dalam kegiatan pemasaran. Penjualan hanyalah salah satu dari berbagai fungsi pemasaran. Apabila pemasar melaku-kan pekerjaan dengan baik untuk mengidentifikasi kebutuhan konsu-men, mengembangkan produk dan menetapkan harga yang tepat, mendistribusikan dan mempromosikannya secara efektif, maka akan sangat mudah menjual barang-barang tersebut. Konsep-konsep inti pemasaran dapat ditunjukkan dalam gambar pada halaman mendatang.
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Pariwisata dalam dekade terakhir ini menunjukkan pertumbuhan yang mantap, ditandai dengan perkembangan perjalanan domestik oleh wisatawan nusantara, maupun per-kembangan kunjungan wisatawan mancanegara. Pariwisata nusantara, selain tumbuh dari segi jumlah pelaku perjalanannya, juga dari jumlah perjalanan yang dilakukan, sementara wisatawan mancanegara mengalami perluasan pasar.
Dari sisi sediaan, juga ditengarai munculnya berbagai destinasi baru, atas dukungan peme-rintah pusat maupun atas inisiatif daerah, selain itu juga muncul produk-produk baru menanggapi perkembangan pasar, termasuk diantaranya industri kreatif yang menjadi daya tarik wisata. Kontribusi pariwisata secara total terhadap PDB, penerimaan pajak, maupun penciptaan lapangan kerja meningkat dari tahun ke tahun. Di samping perolehan devisa, pariwisata juga menciptakan dan memperluas lapangan usaha, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong pelestarian lingkungan hidup, mendorong pelestarian dan pengembangan budaya bangsa dan mendorong perkembangan daerah.
Pekerjaan pariwisata juga merupakan pekerjaan yang sangat sensitif terhadap adanya perubahan, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal sehingga pekerjaan ini sangat membutuhkan kemampuan untuk terus menerus beradaptasi dengan kebutuhan wisatawan yang berubah. Bentuk adaptasi ini salah satunya adalah dengan perencanaan yang baik.
Namun demikian, perkembangan kepariwisataan Indonesia bukannya tidak menghadapi masalah dan kendala. Pertumbuhan masih perlu diikuti dengan persebaran karena sampai saat ini ketimpangan antar wilayah masih tinggi. Selain itu juga Kementerian Parekraf sudah mencanangkan pertumbuhan yang berkualitas untuk meningkatkan daya saing dan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Kapasitas sumber daya manusia masih menjadi kendala untuk tumbuh dan berkembang secara berkualitas, di samping hambatan klasik Koordinasi antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan.
Perencanaan yang baik diharapkan dapat mengurangi hambatan-hambatan untuk melangkah ke depan menuju pariwisata Indonesia yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengembangkan industri yang kredibel, serta perluasan pasar didukung oleh institusi yang kondusif.
kebudayaan adalah sarana hasil Cipta, rasa, dan karsa masyarakat.
Izinkan juga kami memperkenalkan Paket Paintball yang ada di Jogja
Jungle Paintball Jogja adalah tempat bermain Paintball murah di Jogjakarta
Letaknya strategis di area Jl.Selokan Mataram 29 Pringgolayan - Condongcatur - Depok Sleman
Lapangan kami rancang sedemikian rupa mirip dengan area "perang" umumnya
sehingga kami punya tag Line THE REAL OF BETTLE GAME
Anda akan mendapatkan 50 peluru yang di bagi dalam 2 Sesi pertandingan ( masing masing 25 peluru)
Anda akan mendapatkan briefing sebelum pertandingan dan akan dikawal dengan seksama oleh 2 orang instruktur
Harga kami sangat kompetitif
Reservasi : 089608040199 - 085217437657-082138324241-0274486224
Studi Kasus Pariwisata Pokdarwis Dieng PandawaRumba .
Merupakan salah satu tugas dari mata kuliah PK5106 Kepranataan dalam Kepariwisataan Magister Perencanaan Pariwisata ITB 2019. Diupload agar dapat bermanfaat dan mendapatkan masukan apabila diperlukan.
Perubahan teknologi dan globalisasi menyebabkan terjadinya disrupsi atau gangguan pada sektor pariwisata yang membutuhkan pendidikan tinggi berbasis teknologi.
Paparan ini menyajikan landasan perlunya pengembangan pendidikan tinggi pariwisata berbasis teknologi dan inovasi dalam Era Pariwisata 4.0.
Pengembangan Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Nasional 2013Andrie Trisaksono
Pengembangan Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Nasional 03.04.2013
oleh Drs. Ukus Kuswara, MM
SEKJEN Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif
(materi ini adalah milik Kementerian Parekraf, saya upload hanya untuk membantu mensebar luaskannya saja).
Menurut Pearce ada 6 komponen peran geografi pariwisata :
1) Pola keruangan penawaran (spatial patterns of supply)
2) Pola keruangan permintaan (spatial patterns of demand)
3) Geografi tempat-tempat wisata (the geography of resort)
4) Geografi dan aliran wisatawan (tourist movement and flows)
5) Dampak pariwisata (the impact of tourism)
6) Model-model keruangan pariwisata (models tourism space)
Data tersebut dapat diperoleh melalui survei instansional, survei lapangan, interpretasi citra dan peta, sedangkan penyajiannya dapat berupa peta dan tabel disesuaikan dengan skala perencanaan.
Pengembangan Kelembagaan DMO (Destination Management Organization)Rachmad Syarif
Kepada seluruh masyarakat Belitung yang berada dalam daftar pertemanan dengan saya, dimohon untuk membuka, membaca, mempelajari informasi ini. Selanjutnya, mohon disebarkan kepada seluruh pihak yang Anda kenal. Terima kasih dan semoga Anda berkelimpahan.
Pemasaran adalah aliran produk secara fisis dan ekonomik dari produsen melalui pedagang perantara ke konsumen. Definisi lain menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang membuat individu/kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Pema-saran melibatkan banyak kegiatan yang berbeda yang menambah nilai produk pada saat produk bergerak melalui sistem tersebut.
Kegiatan-kegiatan dalam usaha pemasaran tidak hanya kegiatan memindahkan barang /jasa dari tangan produsen ke tangan kon-sumen saja dengan sistem penjualan, tetapi banyak kegiatan lain yang juga dijalankan dalam kegiatan pemasaran. Penjualan hanyalah salah satu dari berbagai fungsi pemasaran. Apabila pemasar melaku-kan pekerjaan dengan baik untuk mengidentifikasi kebutuhan konsu-men, mengembangkan produk dan menetapkan harga yang tepat, mendistribusikan dan mempromosikannya secara efektif, maka akan sangat mudah menjual barang-barang tersebut. Konsep-konsep inti pemasaran dapat ditunjukkan dalam gambar pada halaman mendatang.
Destination Management Organization Overview and Toolkit Presentation to USAIDDavid Brown
A background on moving from competitive clusters to destination management organizations. An overview of the Destination Management Organization Toolkit developed by the Global Sustainable Tourism Alliance for the United States Agency for International Development.
Wisata Bahari adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pantai (coastal landscape). Jenis wisata ini dapat memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving, pancing, dan lain-lain. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai, piknik menikmati atmosfer dan pemandangan wilayah pesisir dan laut.
Usaha Jasa Pariwisata Berbasis Kompetensi Lusan (skl)Noersal Samad
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam rangka penerapan Standar, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Riset kolaboratif antara Sekolah Tinggi Pariwisata sahid dan walhi Jakarta, dengan tujuan penyusunan Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
pengembangan pariwisata di kabupaten gunungkidul Wiwit dan Sigit Prodi AP UGK...UGK
Tugas Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik (Prodi AP) Universitas Gunung Kidul (UGK) Topik Administrasi Pembangunan Bidang Kepariwisataan (Matkul Administrasi Pembangunan)
POTENSI PENGEMBANGAN WISATA DI KOTA MATARAM BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFEREN...Lalu Permadi
This study aimed to determine the potential for tourism development in the city of Mataram based on tourist perceptions and preferences. The method of proving the research objectives uses descriptive research methods. In-depth interviews will carry out primary data collection. The study results will show the tourism potential in the city of Mataram and how the development is based on the perceptions and preferences of tourists in tourist locations in the capital of NTB Province. The results of this study indicate that the perception of tourists about the potential for tourism development in the city of Mataram is high, meaning that tourists consider the city of Mataram still has the potential to be developed into a classy tourist destination. In general, based on tourist preferences for tourism development in the city of Mataram, the existing attractions, amenities, ancillaries, and accessibility are still very possible to be developed. In general, the improvisations that are expected by tourists are including facilities, tourism attraction management, and environmental cleanliness.
Similar to Kumpulan Artikel Terkait Destination Management Organization (20)
Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...Fitri Indra Wardhono
Ada banyak definisi mengenai pembangunan perdesaan. Dower, Michael dkk (2003) menyebutkan salah satu definisi yang paling mendekati :
Pembangunan Perdesaan adalah proses yang disengaja atas aspek : ekonomi, sosial, politik, budaya dan lingkungan, yang diharapkan akan berlangsung berkelanjutan, dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal di wilayah perdesaan.
Penekanan pada proses yang disengaja dan berkelanjutan: pembangunan perdesaan bukanlah urusan yang berumur pendek. Pembangunan perlu dilakukan selama bertahun-tahun dan dengan cara yang disengaja.
Pembangunan perdesaan bukan tentang melindungi status quo, melainkan tentang perubahan yang disengaja untuk membuat segalanya lebih baik.
Salah satu ciri kawasan perdesaan adalah bangkitnya gaya hidup wirausahawan, yang tertarik untuk mendirikan usaha pariwisata kecil (dan lainnya), membawa serta modal keuangan, jaringan kontak, pengetahuan pasar, dan ide-ide wirausaha dari kota-kota. Beberapa pengusaha baru datang sebagai pasangan atau mitra, beberapa sebagai keluarga, beberapa sebagai pasangan. Tidak semua keterampilan kewirausahaan baru ini telah menggerakkan ekonomi perdesaan.
Terdapat transisi masyarakat perdesaan tradisional dari menjadi anggota "masyarakat jarak pendek" menjadi "masyarakat terbuka," yakni dengan adanya perubahan dalam hal sistem kontrol, konflik, dan tingkat pemberdayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi dari masyarakat perdesaan yang akan semakin berkembang dan dengan permasalahan yang semakin kompleks. Pariwisata perdesaan dapat berakar pada pertanian berbasis atau agrowisata, tapi berkembang menjadi jauh lebih beragam, dan terus terdiversifikasi. Pariwisata perdesaan adalah serangkaian aktivitas niche dalam aktivitas niche yang lebih besar.
Keragaman situasi ekonomi di wilayah perdesaan telah mendorong dikembangkannya sembilan jenis situasi ekonomi perdesaan, baik yang ditemukan secara terpisah, apaupun merupakan kombinasi.
Wilayah perdesaan dapat didefinisikan sebagai daerah yang ekonominya didasarkan pada industri agraria/perhutanan tradisional, atau setidaknya ekstraksi (tetapi tidak biasanya pengolahan) sumber daya alam. Penurunan peran yang berlangsung terus-menerus dalam kepentingan relatif sektor pertanian dan pertumbuhan sektor jasa pasca-industri telah menyebabkan tumbuhnya banyak industri baru, termasuk pariwisata, di kawasan perdesaan. Lebih lanjut, di banyak daerah, baik yang berkembang secara ekonomi maupun yang kurang berkembang, kegiatan industri perdesaan skala kecil telah menjadi fenomena khas.
Masyarakat perdesaan memiliki berbagai karakteristik yang, secara kolektif, dapat menyebak mereka diidentifikasi sebagai lebih tradisional daripada masyarakat perkotaan kontemporer, tetapi banyak wilayah perdesaan berada dalam keadaan perubahan yang konstan, paling tidak dalam kaitannya dengan penyerapan, atau penolakan mereka terhadap nilai-nilai, struktur dan karakteristik sosial dan spasial perkotaan.
Ini adalah kumpulan ayat Al Qur'an yang "semoga" dapat membantu untuk meruqyah diri sendiri, atau orang lain, jika diperkirakan sumber permasalahannya berupa gangguan dari luar,khususnya yang bersikap gaib. Bangguan tersebut dapat berupa kecanduan "game online", penyakit keturunan, badan yang dirasakan "tidak nyaman", dll.
Mohon maaf saya sendiri bukan peruqyah. Saya hanya mengkristalkan pengalaman berbagai peruqyah yang pernah mengunakan ayat-ayat tertentu, yang pengalaman ini cukup bertaburan di internet untuk dapat dimanfaatkan.
Pedoman RIPPDA beserta Lampiran A, B dan C berasal dari Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, yang berhasil penulis ‘selamatkan’, dari diubah dari format cetakan menjadi format tulisan. Karena itu pada beberapa tempat masih akan didapat kesalahan akibat proses pengubahan.
Sementara Lampiran D dan seterusnya, bersumber dari pengalaman mengerjakan berbagai kegiatan pengembangan kepariwisataan. Dari pengalaman tersebut penulis memperoleh sejumlah tulisan yang cukup berharga untuk sekedar disimpan di dalam laptop. Dengan niat untuk turut menyebar luaskan ilmu terkait kepariwisataan, maka kumpulan tulisan tersebut kami hadirkan bersama buku pedoman tersebut, sebagai Lampiran D dan seterusnya.
Tulisan pada Lampiran D dan seterusnya tersebut berasal dari berbagai sumber, yang ‘sayangnya’ sebagian besar tidak tercatat dengan baik. Karena itu, penggunaannya disarankan tidak untuk dijadikan rujukan/referensi ilmiah, di mana dalam lingkungan akademis, keabsahan rujukan/referensi merupakan suatu keharusan. Tulisan ini hanyalah sekedar penambah wawasan tentang kepariwisataan, serta membuka jalan bagi pencarian lebih lanjut rujukan/referensi dari aspek yang dibahas dalam kumpulan tulisan ini. Kepada pihak-pihak yang merupakan sumber dari tulisan tersebut, yang kebetulan tidak kami catat, kami hanya dapat berharap kiranya Allah jualah yang dapat membalas amal shalih tersebut dengan pahala yang mengalir tidak putus-putus, selama ilmu tersebut masih dapat dimanfaatkan. Sedangkan beberapa pihak yang ‘kebetulan’ terekam, dan dapat kami cantumkan dalam kumpulan tulisan ini, antara lain dari UGM, selain adanya balasan dari Allah tersebut, kami juga menghaturkan banyak terima kasih.
Evaluasi penguasaan ayat ayat al qur’an untuk pelaksanaan ruqyah syar’iyyahFitri Indra Wardhono
Untuk menjadi peruqyah perlu dibekali ayat-ayat khusus, disamping yang umum seperti Al Fatihah, Al Baqarah, Ayat Qursy, 3 Qul. Berikut ini ditampilkan ayat-ayat tersebut, serta evaluasi kita (jika ingin menjadi peruqyah) seberapa jauh/banyak kita sudah menguasainya.
Kejawèn adalah suatu paham keagamaan campuran yang dianut orang-orang Jawa, yang merupakan ramuan di antara adat keagamaan asli Jawa yang percaya pada alam ghaib dengan pengaruh Hindu-Budha dari zaman Majapahit dan pengaruh agama Islam dari zaman Demak. Dalam perkembangannya, paham keagamaan kejawèn tersebut kadangkala lebih condong kepada Hindu-Budha, kadangkala lebih condong pada Islam, atau lebih mengutamakan kejawaannya, dan atau kemudian ada pula yang condong pada Kristen-Katolik. Kecederungan itu ada yang sifatnya sebagai pedoman hidup dan ada yang sifatnya mengejek dan mencela antara satu dengan yang lain.
Upacara pokok kejawèn adalah slametan, yaitu perjamuan kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan beberapa sanak saudara dan sahabat. Upacara ini diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (perkawinan, kehamilan, kelahiran anak, kematian, dll.), peristiwa-peristiwa komunal yang setiap tahun diadakan (bersih desa, pesta dusun/kampung yang setiap tahun diadakan bersama dengan upacara pembersihan atau persucian tertentu) dan segala macam kesempatan bila kesejahteraan umum dan keseimbangan digoncangkan. Pandangan religius kejawèn dipusatkan pada kesatuan hidup. Dalam ungkapan upacara-upacara simbolis, pandangan ini berpusat pada kesatuan harmonis dalam lingkungannya sendiri, entah itu keluarganya, tetangganya atau desanya. Dalam ungkapan yang mistik, agama Jawa memusatkan perhatiannya kepada hubungan langsung dan pribadi seseorang dengan “Yang Tunggal”. Kebangkitan aliran kejawèn dewasa ini tidak terlepas dari pandangannya terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Meskipun bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, tidak berarti bangsa Indonesia seluruhnya beragama, karena kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan monopoli pemeluk agama saja, akan tetapi hak setiap orang sekalipun tidak mengikuti agama tertentu. Pengikut aliran kejawèn adalah orang yang ber-Tuhan, akan tetapi belum tentu beragama (resmi yang diakui di Indonesia). Mereka menghayati dan menyembah Tuhan dengan caranya sendiri di luar ajaran agama dan ternyata mendapatkan apa yang mereka cari. Atas dasar hal itu, selanjutnya mereka berusaha membentuk organisasi baru dan tersendiri yang serupa dengan agama. Mereka merasa lebih cocok dengan cara penghayatan yang mereka temukan daripada cara yang diajarkan agama yang mungkin pernah mereka peluk.
Ruqyah (dengan huruf ra’ di dhammah) adalah yaitu bacaan untuk pengobatan syar’i (berdasarkan riwayat yang shahih atau sesuai ketentuan ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama) untuk melindungi diri dan untuk mengobati orang sakit. Bacaan ruqyah berupa ayat ayat al-Qur’an dan doa doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an dan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ruqyah merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna bagi penyakit hati dan fisik dan bagi penyakit dunia dan akhirat. Bagaimana mungkin penyakit itu mampu melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang jika firman-firman itu turun ke gunung makai ia akan memporakporandakan gunung gunung. Oleh karena itu tidak ada satu penyakit hati maupun penyakit fisik melainkan ada penyembuhnya.
Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.
2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.
4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184].
8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun.
9. Mengusap yang sakit dengan tangan kanan.
10. Bagi yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang
Ruqyah adalah Seni Penyembuhan dari segala macam penyakit baik fisik, psikis, gangguan makhluk halus maupun serangan sihir yang telah diajarkan oleh Rasulullah Sholallau ‘Alaihi wassalam (Seorang Nabi Utusan Tuhan Terahir di Muka Bumi ini). Selain itu Ruqyah juga merupakan seni perlawanan, perlindungan dan pembentengan diri dari segala macam mara bahaya yang bersifat fisik, maupun psikis.
Energi Ruqyah berasal dari keberkahan dan mu’jizat bacaan ayat Suci Al Qur’an dan Doa-doa Nabi Muhammad SAW.
Agar rumah tidak seram dan angker laksana kuburan. Agar rumah tidak menjadi tempat nongkrong Iblis dan syetan, supaya rumah menjadi sarang kebaikan dan keberkahan, maka hiasilah dengan sholat-sholat sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah. Beliau bersabda, “Kerjakanlah sholat kalian di rumah, dan janganlah kalian menjadikannya sebagai kuburan.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar).
Yang dimaksud di sini adalah sholat sunnah, sebagaimana diterangkan dalam riwayatnya yang lain, “Wahai manusia, sholatlah di rumah kalian. Karena sesungguhnya sholat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali sholat yang wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam sabdanya yang lain, “Apabila seseorang telah melaksanakan sholatnya di masjid, maka hendaknya ia memberikan bagian dari sholatnya untuk rumahnya. Karena Allah akan menjadikan kebaikan di rumahnya karena sholat yang dilakukannya.” (HR. Muslim)
Para pelaku pariwisata Indonesia seyogyanya melakukan perencanaan yang matang dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang akan “ bersliweran ” atau lalu lalang di kawasan kita. Pemanfaatan peluang harus dilakukan melalui pendekatan “ re-positioning ” keberadaan masing-masing kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan kegiatan yang serupa dari negara-negara disekitar Indonesia.
Seperti halnya manusia yang merupakan bagian dari alam, maka karya manusia yang timbul itu pada hakekatnya merupakan sebagian dari alam itu juga.
Oleh karena itu suatu karya seharusnya tidak menimbulkan disharmoni dengan alam sekitarnya maupun disharmoni dengan manusia calon pemakai itu sendiri.
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...Fitri Indra Wardhono
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: antara Pemerintah-Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, antar sektor, antara Pemerintah,dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem daratan & lautan; dan antara ilmu pengetahuan dan manajemen.
Panduan penataan ruang & pengembangan kawasan - Sebuah panduan dari BappenasFitri Indra Wardhono
Secara umum, buku ini memuat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang dan
pengembangan wilayah yang berwawasan lingkungan serta pedoman praktis yang dapat digunakan
di dalam penataan ruang kawasan-kawasan spesifik seperti perkotaan, perdesaan, wilayah
pariwisata di pesisir, dan di kawasan rawan bencana longsor.
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari BappenasFitri Indra Wardhono
Teori menyebutkan bahwa salah satu cara yang efektif dalam membangun
wilayah adalah melalui pengembangan kawasan, lebih khusus lagi melalui
pendekatan klaster. Dalam suatu klaster, berbagai kegiatan ekonomi dari para pelaku
usaha saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain menghasilkan barang
dan jasa yang unik. Bagaimana mengembangkan kegiatan usaha yang saling
mendukung itu merupakan kunci bagi pengembangan ekonomi suatu wilayah.
Buku “Penyusunan Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan Untuk
Percepatan Pembangunan Daerah” ini disusun berdasarkan penelaahan literatur
dan pengamatan lapangan. Banyak kajian telah dilakukan dan banyak buku telah
ditulis mengenai berbagai aspek pengembangan kawasan, namun yang
menggabungkan semua kajian dan buku tentang pengembangan kawasan-kawasan
itu menjadi satu masih belum ada. Buku ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan
itu.
Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi
Pemerintah Daerah, baik tingkat propinsi maupun dan khususnya tingkat
kabupaten/kota, bahkan bagi tingkat kecamatan dan desa dalam menyusun
perencanaan pengembangan kawasan di wilayahnya, baik secara individual maupun
secara terpadu. Diharapkan buku ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam menyusun program, kebijakan dan rencana pengembangan kawasan.
Buku ini akan terus disempurnakan agar semakin memenuhi kebutuhan
semua pihak. Untuk itu saran perbaikan dari para pembaca dan pengguna buku ini
sangat diharapkan.
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Kumpulan Artikel Terkait Destination Management Organization
1. Destination Management Organization
Artikel 1 : Visi Pengembangan Destinasi Pariwisata Indonesia ........................ 1-2
Artikel 2 : Pengertian DMO............................................................................... 2-4
Artikel 3 : Skala dan Bentuk Pengembangan DMO .......................................... 3-5
Artikel 4 : Pembentukan dan Pengembangan DMO ......................................... 4-6
Artikel 5 : Tata Kelola Destinasi Pariwisata Berbasis Nilai : Telaah Teoritis
dan Implementatif Konsep Destination Management Organization
di Indonesia...................................................................................... 5-7
Artikel 6 : DMO Sebagai Strategi Pengelolaan Destinasi ............................... 6-20
Artikel 7 : "DMO" TIDAK BISA DIWUJUDKAN DALAM JANGKA PENDEK.... 7-23
Artikel 8 : DMO Harus Mampu Kembangkan Kreativitas Masyarakat............. 8-25
Artikel 9 : DMO, Empat Tahap Kembangkan Wisata Unggulan...................... 9-27
Artikel 10 : Pengelolaan wisata dengan model Destination Management
Organization (DMO) ..................................................................... 10-28
Artikel 11 : DMO Cegah Ekses Negatif Pariwisata ......................................... 11-30
Artikel 12 : Bangkitkan Daerah dengan Metode Destination Management
Organization................................................................................. 12-31
Artikel 13 : Wisata Candi Borobudur Belum Sejahterakan Penduduk Sekitar. 13-33
Artikel 14 : Dua DMO di Indonesia Mulai Maju ............................................... 14-34
Artikel 15 : Kembudpar: Rp2 Miliar-Rp4 Miliar Per DMO ................................ 15-35
Artikel 16 : Ini Tipsnya, Destinasi Masuk Program DMO ................................ 16-37
Artikel 17 : DESTINASI WISATA: Butuh Waktu 15 Tahun Untuk Kelola
Daerah Wisata ............................................................................. 17-39
Artikel 18 : Kemenparekraf: DMO Adalah Program Berkelanjutan ................. 18-40
Artikel 19 : Libatkan Masyarakat Lokal Bangun Destinasi Wisata .................. 19-41
Artikel 20 : DMO LINDUNGI MASYARAKAT LOKAL DARI SERBUAN
INVESTOR ASING....................................................................... 20-43
Artikel 21 : Kemenparekraf Tata Manajemen Organisasi Rinjani.................... 21-45
Artikel 22 : Pakar Pariwisata Dunia Akan Bahas Wisata RI............................ 22-46
Artikel 23 : Danau Toba-Pangandaran Uji Coba DMO ................................... 23-48
Artikel 24 : Tata Kelola Pariwisata Indonesia ................................................. 24-49
Artikel 25 : Menerawang Pariwisata Indonesia............................................... 25-51
Artikel 26 : Kota Tua Siap Dikelola Dengan DMO .......................................... 26-53
2. DMO
1-2
Artikel 1 : Visi Pengembangan Destinasi Pariwisata Indonesia
http://caretourism.wordpress.com/2010/06/27/visi-pengembangan-destinasi-
pariwisata-indonesia/
Dalam hal penyelenggaraan kepariwisataan, pada hakekatnya dilakukan atas dasar
beberapa hal yang menjadi motivasi serta kebutuhan setiap orang yang melakukan
perjalanan. Tidak peduli ia bepergian untuk keperluan keluarga, bisnis, pesiar,
kesehatan, keagamaan, konferensi, pertandingan olahraga, pendidikan, atau
apapun yang lainnya -, ia akan mendatangi tempat di mana keperluannya itu dapat
dipenuhi. Dengan kata lain tempat yang menjadi tujuan perjalanannya memiliki
sesuatu yang memotivasinya untuk berkunjung ke situ, – dalam kepariwisataan
disebut sebagai daya tarik (attraction), – apakah itu motivasi keluarga, bisnis,
pesiar, kesehatan, keagamaan, konferensi, olahraga, pendidikan dsb., yang ada
kaitannya dengan unsur alam dan budaya serta kegiatan hidup lainnya, yang
melibatkan ataupun terkait dengan masyarakat di tempat tujuan tersebut.
Oleh sebab itu, tempat tujuan perjalanan seseorang, disebut sebagai Destinasi
Pariwisata, yang dalam Undang-Undang no.10/Th. 2009 didefinisikan sbb.:
“Daerah Tujuan Pariwisata, yang selanjutnya disebut DESTINASI PARIWISATA,
adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif
yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan”.
Atas dasar pokok pemikiran tersebut, upaya pengembangan kepariwisataan, mau
tidak mau – suka tidak suka, harus dilakukan sejalan dengan pemenuhan motivasi
dan kebutuhan sang wisatawan (traveller, pelaku perjalanan) serta kepentingan dan
kebutuhan hidup masyarakat yang berada di tempat tujuan perjalanan itu.
Dalam pelaksanaannya, upaya pengembangan kepariwisataan, pada dasarnya
melibatkan berbagai pihak pemangku kepantingan (stakeholders), – yang saling
dibutuhkan dan membutuhkan satu sama lainnnya -, yaitu: Pemerintah (Pusat &
Daerah) – Pelaku Usaha (Industri) – Lingkungan (Alam & Budaya) – Masyarakat –
Wisatawan (Wisman & Wisnus). Maka, pemikiran konsep pengelolaan Destinasi
Pariwisata hendaknya didasarkan atas model pengelolaan yang melibatkan
pemangku kepentingan di lokasi destinasi yang bersangkutan, – tidak termasuk
wisatawan -, dalam suatu wadah Lembaga Pengelola Destinasi (Destination
Management Organization, DMO). Agaknya tidak boleh dilupakan, bahwa
berkenaan dengan pelaksanaan OTDA (otonomi daerah) DMO perlu melibatkan
juga unsur Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan
BUDPAR) yang dapat menjadi jalur koordinasi antara Pusat dan Daerah (otonomi).
Selain itu, mengingat bahwa pengembangan kepariwisataan meliputi berbagai
bidang yang berada dalam kewenangan multi sektor, pihak pemerintah – baik pusat
maupun daerah -, yang terlibat pun akan terdiri dari unsur multi sektor tersebut
3. DMO
1-3
(perhubungan, pekerjaan umum, imigrasi, bea cukai, keuangan dan perbankan,
kebudayaan, keamanan & ketertiban, lingkungan hidup, kepolisian, pendidikan –
terkait dengan kualitas jasa dan pelayanan -, … dsb., sehingga praktis semua
sektor tidak mustahil perlu terlibat).
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (KemBudPar), mencanangkan gagasan
bahwa dalam upaya Pengembangan Destinasi Pariwisata 2010-2014, mengacu
pada model pengelolaan tersebut di atas dengan merinci unsur-unsur Visi
Pengembangan Destinasi Pariwisata sbb.:
Unsur kepentingan wisatawan : Destinasi berkualitas dan berdaya saing
internasional;
Unsur kepentingan industri : Destinasi berkualitas dan berdaya saing
internasional;
Unsur kepentingan masyarakat : Destinasi berbasis masyarakat (Community
Based);
Unsur kepantingan lingkungan : Destinasi Berkelanjutan (Sustainable
Destination);
Unsur kepentungan Pemerintah : Destinasi berkualitas dan berdaya saing
internasional serta Mendorong Pembangunan Daerah;
Maka secara ringkas dan lengkap Visi Pengembangan Destinasi Pariwisata 2010-
2014, sbb.:
“Terwujudnya Destinasi Pariwisata Berkualitas Internasional dan Berdaya Saing
Yang Berbasis Masyarakat, Berkelanjutan dan Mendorong Pembangunan Daerah”.
Dengan demikian, dalam melaksanakan kepentingannya, segenap pemangku
kepentingan hendaknya mengacu pada visi tersebut agar tercapai sinergi yang
harmonis demi “tujuan yang sama”, – mencapai kesejahteraan masyarakat melalui
kepariwisataan, yang esensinya adalah “mendatangkan dan melayani wisatawan”.
Jangan sampai setelah datang … diberi pelayanan yang kurang baik, atau dibiarkan
tanpa pelayanan.
4. DMO
2-4
Artikel 2 : Pengertian DMO
http://www.dmoindonesia.org/index.php?module=detailberita&id=1
Destination Management Organization (DMO) adalah struktur tata kelola destinasi
pariwisata yang mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan
pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan
jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta
masyarakat, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan
besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat di destinasi
pariwisata.
5. DMO
3-5
Artikel 3 : Skala dan Bentuk Pengembangan DMO
http://www.dmoindonesia.org/index.php?module=detailberita&id=3
DMO Lokal : Fungsi DMO pada tingkat lokal pengelolaan destinasi internal lebih
besar dari eksternal.
DMO Regional : Pada tingkat regional, pengelolaan internal lebih kecil dari
eksternal.
DMO Nasional : Pada tingkat nasional, pengelolaan eksternal sangat dominan dan
merencanakan strategi secara keseluruhan (misalnya: pemasaran dan diplomasi
pariwisata)
6. DMO
4-6
Artikel 4 : Pembentukan dan Pengembangan DMO
http://www.dmoindonesia.org/index.php?module=detailberita&id=2
Pembentukan dan pengembangan DMO adalah kegiatan membentuk dan
mengelola serta menyempurnakan destinasi melalui suatu proses yang
berkesisnambungan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
7. DMO
5-7
Artikel 5 : Tata Kelola Destinasi Pariwisata Berbasis Nilai :
Telaah Teoritis dan Implementatif Konsep Destination
Management Organization di Indonesia.
http://www.dmoindonesia.org/?module=detailartikel&id=4
oleh
Frans Teguh
Abstraksi:
Konsep Destination Management Organization (DMO) sebagai instrumen
manajemen diperlukan dalam sistem pembangunan destinasi pariwisata.
Partisipasi, komitmen, tanggungjawab, rasa memiliki merupakan kunci untuk
membangun sinergi dan konvergensi stakeholder melalui optimalisasi peningkatan
peran dan fungsi untuk mencapai kesukesan tata kelola destinasi pariwisata.
Kualitas pengalaman wisata dan keberlanjutan destinasi pariwisata ditentukan oleh
kompetensi dan kapasitas pengelolaan entitas destinasi pariwisata. Penguatan tata
kelola destinasi berbasis keseimbangan dengan muatan dimensi ekonomi, estetika,
etika diarahkan untuk terwujudnya pembangunan pariwisata kontekstual berbasis
nilai.
5.1. Pendahuluan
Realitas praktik tata kelola pariwisata mendorong berbagai prakarsa untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan dan daya saing destinasi pariwisata.
Indikator rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata dapat dilihat
dari sejumlah praktik tata kelola yang belum berjalan secara optimal karena
besaran perolehan pariwisata (magnitude of tourism) yang masih rendah.
Konsep DMO sebagai perwujudan prinsip tata kelola untuk memecahkan
persoalan pelik mengenai sinergi, tanggungjawab, kolaborasi, dan hubungan
kemitraan untuk membangun kualitas dan daya saing destinasi
(competitiveness).
Destinasi pariwisata terbentuk dari konstruksi ruang, sosial, budaya,
lingkungan, dan sumber daya pariwisata yang saling terkait dan saling
melengkapi dalam rangka menciptakan pengalaman pariwisata. Oleh karena
itu, pengembangan destinasi dilakukan melalui berbagai intervensi dari
sejumlah stakeloder untuk meningkatkan intensitas aktivitas pariwisata.
Berbagai upaya untuk membangun daya saing dilakukan melalui knowledge
creating organization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh
Nonaka dan Takeuchi (1996). Intinya, daya saing ditentukan oleh bagaimana
organisasi itu dapat ditrasnformasikan dan diberi penilaian (judgement) hingga
menjadi ide dalam konteks, sehingga menjadi pengetahuan (knowledge).
Pada akhirnya, produk unggul akan selalu bertumpu pada strategi yang
berbasis sumberdaya (resource-based) dan knowledge-based. Hal inilah yang
8. DMO
5-8
disinggung oleh Hamel (2000) bahwa produk perlu dikelola dengan continous
improvement. Refleksi perbaikan dan perubahan pendekatan pengelolaan
destinasi pariwisata dalam suatu tata kelola destinasi pariwisata diperlukan
untuk menciptakan: kualitas tatakelola, pertumbuhan magnitude of tourism
(multiplier effect), kualitas pengelolaan dampak dan manajemen resiko
terhadap lingkungan dan sosial.
5.2. Tinjauan Pustaka : Destination Management Organization
Secara teoritis, Buhalis (2000) mengemukakan bahwa destination as a
geographical region which is understood by its visitors as a unique entity, with
a political and legislative framework for tourism marketing and planning
Destination is the focus of facilities and services designed to meet the needs
of the tourist (Cooper, Fletcher, Gilbert, 1998). Dari konsep diatas, destinasi
diartikan sebagai kawasan geografis yang dipandang sebagai entitas yang
unik dengan kerangka politis dan peraturan untuk perencanaan dan
pemasaran pariwisata.
Hu and Ritchie (1993:26) merumuskan secara konsepsional tentang destinasi
sebagai: a package of tourism facilities and services, which like any other
consumer product, is composed of a number of multi-dimensional attributes".
Buhalis, (2000) claims that destinations are amalgams of tourism products,
offering an integrated experience to consumers. Based on the various models
of tourism development outlined by Pearce (1992), it is sensible to define a
destination as an amalgam of products and services available in one location
that can draw visitors from beyond its spatial confines. Bieger (1998:7)
specifies that " ...a destination can therefore be seen as the tourist product
that in certain markets competes with other products". The Ritchie/Crouch
model of destination competitiveness differentiates the destination
infrastructure (water, sewer, roads, etc.) from the destination superstructure
(tourist services such as hotels, restaurants, information centres, etc.) both of
which are obviously important to the concept of the destination.
Dari pengertian diatas, destinasi dipahami sebagai kesatuan fasilitas dan
pelayanan yang terbentuk dari berbagai atribut multi-demensi. Buhalis (2000)
menyatakan bahwa destinasi merupakan elemen dari produk pariwisata yang
menawarkan pengalaman menyeluruh kepada konsumen. Berdasarkan
beberapa jenis pengembangan pariwisata oleh Pearce (1992), destinasi
merupakan gabungan dari produk dan pelayanan yang tersedia di satu lokasi
yang dapat menarik pengunjung diluar wilayah bersangkutan.
Franch and Martini menjelaskan pengertian manajemen destinasi: as the
strategic, organizational and operative decisions taken to manage the process
of definition, promotion and commercialisation of the tourism product
[originating from within the destination], to generate manageable flows of
incoming tourists that are balanced, sustainable and sufficient to meet the
economic needs of the local actors involved in the destination (2002:5). Inti
9. DMO
5-9
pemikiran diatas menegaskan bahwa manajemen destinasi berkenaan
dengan keputusan strategis, organisasional dan operatif yang dilakukan untuk
mengelola proses pendefinisian, promosi dan komersialisasi produk
pariwisata untuk mewujudkan arus turis yang seimbang, berkelanjutan dan
berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi disuatu destinasi.
Pemikiran DMO diuraikan oleh Bruen and Anderson (1998) yang
mengemukakan bahwa DMO sebagai sistem pengelolaan terpadu memiliki
fungsi sebagai economic driver, community marketer, industry coordinator,
quasi-public representative dan builder of community pride. Pendapat Buhalis
(2000) menekankan bahwa "the tourist destination management organisation
takes the entire responsibility for the tourist products of the whole destination,
for their development through controlling, encouraging and other means and
for the development of a partnership that is able to provide positive experience
for the tourist. Hal ini sejalan dengan pendapat Badan Pariwisata Dunia
(WTO) pada tahun 2004 yang mengemukakan bahwa DMO adalah badan
yang bertanggungjawab atas tata kelola dan/atau pemasaran destinasi.
Angelo Presenza, Lorn sheehan, J.R.Brent Ritchie (2005) menegaskan
bahwa: DMO activities organized into two significant functions: 1) External
Destination Marketing (EDM) : web marketing, events,conference and
festivals, cooperative programs, direct mail, direct sales, sales blitzes, trade
shows, advertising, familiarization tours, publications and brochures and 2)
Internal Destination Development (IDD) : visitor management,
information/research, coordinating tourism stakeholders, crisis management,
human resources development, finance and venture capital, resource
stewardship, quality of the visitor experience. Secara ringkas, pemahaman
tentang DMO dikategorikan sebagai kegiatan pembenahan dan penataan
pengembangan destinasi secara internal dan pengembangan pemasaran
secara eksternal.
Lebih lanjut, Angelo Presenza (2005) menjelaskan ada tiga komponen penting
dalam DMO, yaitu Coordination tourism stakeholder, yang merupakan inti
sistem DMO. Komponen ini menjadi kunci sukses karena menitik beratkan
pada hubungan jejaring yang membentuk sistem DMO; Destination crisis
management memberikan pengawasan dari sistem dengan pelaksanaan dan
pengelolaan mulai perencanaan hingga implementasi program; Destination
marketing, menjadi ujung tombak dalam komponen DMO. Lebih lanjut,
UNWTO (2007) mengemukaan bahwa DMO is in charge of the tourism
destination "factory" and is responsible for achieving an excellent return on
investment, market growth, quality products, a brand of distinction and
benefits to all "shareholders" yet, the DMO does not own the factory, neither
does it employ the people working in it, nor does it have control over its
processes.
Dengan konsep diatas dapat ditegaskan bahwa DMO merupakan salah satu
konsep pengelolaan dalam sistem pengelolaan kawasan berbasis
10. DMO
5-10
kewilayahan/daerah yang memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan
berbagai komponen secara internal dan eksternal, koalisi dan kerjasama
stakeholder serta sistem pengelolaan pariwisata. DMO secara esensi
bertugas dan bekerja di dalam entitas fabrikasi (baca: pengelolaan) destinasi
pariwisata, dan bertanggungjawab untuk mencapai pengembalian nilai
investasi yang unggul, pertumbuhan pasar, produk yang berkualitas, merek
yang berbeda, serta manfaat bagi seluruh shareholders. DMO tidak memiliki
pabrik tersebut, tidak memperkerjakan orang-orang di dalamnya, dan bukan
pula mengontrol proses pelaksanannya di lapangan (UNWTO, 2007: 12)
Dalam konteks ini, DMO merupakan satu kesatuan yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu pariwisata seperti
perusahan wisata, operator wisata, provider pelayanan dan lainnya yang
cukup kompleks. Dalam DMO terdapat satu tujuan dan arahan untuk
mencapai pengelolaan dari sebuah destiniasi yaitu adanya sebuah
kelembagaan yang mengelola destinasi. Hal ini ditentukan oleh kapasitas
pengembangan, pertumbuhan aktivitas wisata saa ini yang merujuk pada
tatanan daur hidup destinasi (destination life cycle (Butler, 1992) yaitu: (1)
perintisan; (2) pembangunan (3) pemantapan , (4) rejuvenasi/revitalisasi.
5.3. Praktik Terbaik Tata Kelola Pariwisata
Beberapa pola pengelolaan pariwisata di suatu negara dapat dijadikan
referensi dengan penyesuaian berdasarkan skala dan kepentingan sebagai
berikut:
5.3.1. Scotland Tourism Board
STB merupakan lembaga yang bekerjasama dengan pelaku usaha
pariwisata, agen perjalanan dan otoriras lokal dalam mewujudkan kualitas
berwisata di Skotlandia dengan memberdayakan sumberdaya wisata yang
ada. Langkah ini ditempuh melalui pemasaran pariwisata Skotlandia ke
seluruh dunia, menyediakan informasi dan arahan kepada wisatawan
sehingga wisatawan mendapatkan pengelaman yang terbaik saat
berkunjung, memberikan jaminan kualitas berwisata kepada wisatawan dan
dukungan regulasi terhadap pelaku industri pariwisata lokal dan pada
akhirnya mewujudkan sinergi antara kebutuhan wisatawan, pelaku industri
pariwisata dan pemerintah.
5.3.2. Maldives Tourism Department
MTD bertugas untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan
pariwisata, perencanaan jangka panjang pengembangan pariwisata dalam
skala nasional, mengkoordinasikan kegiatan pengembangan yang
berlangsung, membuat sistem administrasi dalam standard fasilitas dan
pelayanan, memastikan adanya pengembangan yang tetap memperhatikan
lingkungan, menyusun data statistik pariwisata, melakukan penelitian terkait
pengembangan pariwisata, perencanaan dan pengembangan sumber daya
manusia dibidang pariwisata, menyusun standar kompetensi dan pelatihan
11. DMO
5-11
untuk tenaga kerja pariwisata, penyewaan lahan untuk kegiatan pariwisata
dan pendaftaran secara resmi fasilitas dan operator terkait pariwisata.
5.3.3. Amsterdam Tourism and Convention Board
ATCB merupakan lembaga yang menyusun strategi pemasaran dan
komunikasi dalam industri pariwisata untuk mendorong tingkat kunjungan ke
Amsterdam melalui kegiatan promosi, inovasi produk, penelitian dan press-
trips. Kegiatan ATCB bekerjasama dengan Amsterdam Partner, Amsterdam
Convention Board, Amsterdam Cruise Port. Kegiatan ATCB ditujukan untuk
mengoptimalkan jumlah pengeluaran wisatawan yang pada akahirnya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Beberapa kegiatan ATCB lainnya adalah pembangunan citra pariwisata,
kegiatan pemasaran yang berkesinambungan dan pada tahun 2009 ATCB
menetapkan standar minimum kunjungan ke Amsterdam akibat dari krisis
ekonomi di Eropa.
5.3.4. Victoria Tourism Board
VTB merupakan partner industri pariwisata yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi pasar wisatawan lokal dan dunia sesuai dengan
karakteristik sumber daya pariwisata Victoria. Tourism Victoria merupakan
motor pemerintah dalam kegiatan pariwisata dan industri perjalanan dengan
tujuan memasarkan Victoria sebagai destinasi pariwisata dalam skala
nasional dan internasional, meningkatkan jumlah kunjungan, meningkatkan
pemanfaatan fasilitas pariwisata, meningkatkan kualitas fasilitas pariwisata,
mendukung dan mengkoordinasikan jumlah fasilitas wisata, menyediakan
cara yang efektif dan efisien dalam investasi di bidang parwisata. Salah satu
tujuan pokok VTB adalah memastikan implementasi kebijakan dan aturan
pemerintah dalam kegiatan pariwisata.
5.3.5. CTDC - Canada
Canadian Tourism Development Corporation (CTDC) merupakan lembaga
independen yang ikut serta dalam usaha menumbuhkan pengembangan
industri pariwisata di Kanada. CTDC bekerjasama dengan rekan industri
untuk menyediakan tenaga ahli pariwisata bagi anggotanya, menyediakan
peluang pemasaran, konsultasi dan dampingan dalam pengelolaan kegiatan
dan fasilitas wisata. Misi dari CTDC adalah memfasilitasi pertumbuhan
industri pariwisata yang baik (kuat) melalui kerjasam dengan semua partner
strategis untuk memberikan dampak positif dalam pengembangan kegiatan
pariwisata. CTDC tidak di danai oleh pemerintah atau instansi lain terkait di
bidang pariwisata.
5.3.6. Lucerne Tourism Ltd.
Lucerne Tourism Ltd. merupakan pusat kompetensi dalam kegiatan
positioning, kehumasan, pemasaran dan menawarkan jasa pelayanan
pariwisata di sekitar destinasi Lucerne-Wilayah Danau Lucerne, Swiss.
12. DMO
5-12
5.4. Permasalahan
Pengembangan tatakelola destinasi pariwisata di Indonesia masih belum
dilakukan secara optimal. Berbagai permasalahan konkrit yang
mempengaruhi perkembangan kepariwisataan seperti belum optimalnya tata
kelola, kurangnya sinkronisasi dan koordinasi, cenderung bersifat parsial,
kurangnya pengemasan produk wisata, terbatas penerapan dan pemanfaatan
ICT, rendahnya SDM dan pelayanan umum dan pelayanan di bidang
pariwisata, terbatasnya promosi, serta belum sinkronnya regulasi di tingkat
daerah untuk invetasi dan pembinaan industri pariwisata.
Pembahasan permasalahan dalam artikel ini bertujuan untuk menggambarkan
kerangka teoritis dan adaptasi model dalam konteks Indonesia dan difokuskan
kepada : (1) bagaimana pendekatan sistemik dan kovergensi dalam DMO, (2)
bagaimana orientasi tata kelola destinasi pariwisata ke depan, (3) bagaimana
penguatan stakeholder pariwisata, dan (4) sejauhmana optimasi
keseimbangan dimensi ekonomi, estetika dan etika dalam tata kelola
pariwisata.
5.5. Metode Penelitian
Untuk mendalami permasalahan ini diperlukan metode kualitatif melalui kajian
literatur dan pengamatan. Metode penelitian literatur dipakai untuk memahami
pendekatan DMO di negara-negara lain sesuai dengan tingkat perkembangan
destinasi. Literatur yang digunakan terutama berkenaan dengan literatur yang
membahas mengenai DMO (Destination Management Organization). Karena
sebelumnya, literatur DMO menggunakan Destination Marketing Organization
(Morrison, 1998; Pike, 2004) serta publikasi DMO oleh UNWTO, dan berbagai
sumber referensi sejak tahun 1998. Teknik pengamatan awal dilakukan
terhadap penerapan konsep DMO di Indonesia tahun 2011.
5.6. Pembahasan dan Implikasi
5.6.1. Pendekatan Sistemik dan Konvergensi
Pengelolaan kepariwisataan di suatu destinasi pariwisata diarahkan secara
sistemik, konvergen dan dikelola dalam kerangka mencapai tujuan. Untuk itu
diperlukan system thinking yang menjelaskan kerangka sistem melalui mata
rantai input, system, dan output. Kompleksitas sistem diuraikan dalam
urutan, keterkaitan, peran, fungsi yang saling melengkapi dan saling
mempengaruhi dari hulu ke hilir (linkage). Konvergensi melibatkan berbagai
pemangku kepentingan yang diarahkan kepada fokus dan sinergi sistem
yang dapat menciptakan peluang untuk meningkatkan kapasitas dan tata
kelola destinasi pariwisata.
Sistem manajemen destinasi menguraikan setiap sel atau subsistem untuk
membangun kualitas destinasi pariwisata. Sistem tersebut mengandung
pengertian adanya sub-sistem yang tidak bersifat sub-ordinat tapi memiliki
pengaruh dalam pembangunan pariwisata. Kualitas destinasi ditentukan oleh
13. DMO
5-13
bekerjanya suatu tatanan dan keteraturan untuk mengelola setiap bagian
(parsial) melalui komunikasi antar muka (interface, dialog, bilateral,
multilateral) sehingga tercipta suatu kesatuan. Analisis sistem
kepariwisataan yang dikembangkan oleh Leiper (1990) menempatkan
destinasi pariwisata sebagai bagian dari kerangka manajemen
pembangunan kepariwisataan harus didasarkan pada prinsip kolaboratif,
berkelanjutan dan partisipatif.
Hal ini dilakukan melalui peningkatan akuntabilitas pengelolaan pariwisata,
koordinasi lintas sektor, dan peran aktif masyarakat lokal. Untuk itu
diperlukan sistem manajemen destinasi yang mencakup sistem pengelolaan
destinasi dengan melibatkan stakeholder melalui data base, marketing, dan
visitor information dan manajemen (Cooper, 2005). Dengan demikian
diperlukan pemahaman terhadap tingkat social carrying capacity, kualitas
relasi, dan pemahaman yang tepat terhadap penerapan nilai-nilai dalam
kepariwisataan yang terjadi di suatu destinasi (Cooper, et al., 1993)
sehingga dapat dibuatkan kebijakan dan manajemen pembangunan
kepariwisataan dan tata kelola di daerah wisata secara tepat sebagai
tindakan antisipatif dan proaktif untuk meningkat kualitas kepariwisataan
yang sustainable, responsible, dan balanced. Untuk itu fragmentasi dan
faksi-faksi di destinasi harus direduksi dan dihilangkan, sebaliknya harus
terbangun inter-koneksi, keterkaitan dan matarantai (value-chain) dari
destinasi pariwisata dalam pembentukan dan pengembangan DMO.
Misalnya, pertumbuhan destinasi pariwisata di suatu tempat, perlu didukung
dengan terbangunnya cluster ekonomi, dan terkait dengan pembangunan
wilayah sehingga tercipta suatu keterkaitan antar wilayah dalam mata rantai
pelayanan terhadap wisatawan.
5.6.2. Orientasi Menuju Tata Kelola Pariwisata
Transformasi konsep DMO di Indonesia diarahkan untuk pembentukan dan
pengembangan tata kelola pariwisata yang menerapkan prinsip manajerial,
akuntabel, berorientasi manfaat kepada masyarakat lokal serta terjaminnya
lingkungan fisik, sosial dan budaya (Budpar, 2010). Tata kelola mengandung
pengertian governance : mengelola, mengatur, menata. Karena itu tata
kelola destinasi sebagai destination governance mengandung pengertian :
rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang
mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu
destinasi. Tata kelola destinasi juga mencakup hubungan antara para
pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan
destinasi. Pihak-pihak utama dalam tata kelola destinasi adalah pemangku
kepentingan termasuk masyarakat lokal di destinasi. Pemangku kepentingan
lainnya termasuk pemda, dunia usaha, pemasok, pelanggan, bank dan
kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Oleh karena itu, DMO sebagai produk kebijakan merupakan salah satu alat
manajemen untuk membangun keterkaitan (linkage) tersebut yang
14. DMO
5-14
diibaratkan sebagai satu kesatuan dalam persepktif orkestra pariwisata.
Guru Manajemen Peter Drucker menekankan perlunya tata kelola dalam
pengembangan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini relevan dengan
pendekatan pengelolaan destinasi pariwisata ke depan yang memperhatikan
kecenderungan dan fenomena pasar, perubahan lingkungan, dan tata kelola
yang bersumber dari unsur sumber daya dan kapasitas lokalitas (Susanto,
2010;Gunn, 2002; Cooper, 2005). Dalam perspektif ini, pengelolaan
destinasi pariwisata merupakan rangkaian tindakan dan upaya untuk
meningkatkan kapasitas destinasi melalui perencanaan yang matang,
implementasi yang konsisten dan pengendalian yang cermat untuk
mengoptimalkan daya tarik, aksesibilitas, dan fasilitas serta masyarakat
dalam rangka perolehan manfaat secara ekologis, sosial dan ekonomis.
Berbagai opsi model peningkatan tata kelola destinasi (destination
management governance) diperlukan untu meningkatkan koordinasi elemen
destinasi dengan strategi untuk menghubungkan berbagai rangkaian
aktivitas secara sistematis tidak duplikatif berkenaan dengan promosi,
pelayanan pengunjung, pelatihan, dukungan dunia usaha. Opsi jenis
kelembagaan dapat berupa : otoritas publik, kemitraan dengan publik, unit
pengelolaan, outsourcing swasta, kemitraan pubplik dan privat, dsbnya.
Keberlanjutan organisasi/unit usaha/entitas bisnis ditentukan oleh kualitas
titik temu antara kebutuhan pasar dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu
modal pengelolaan destinasi adalah unsur lokalitas yang ada di destinasi
termasuk masyarakat. Otoritas dan kedaulatan lokalitas merupakan salah
satu kunci sukses untuk meningkatkan kualitas keberlanjutan destinasi.
Kekuatan lokal ditentukan oleh kualitas kehidupan masyarakat lokal. Unusr
lokalitas ini berkenaal dengan relasi yang seimbang, kecukupan sarana dan
prasarana kesehatan, ketersediaan air minum, pendidikan, dll. Hal ini
relevan dengan prinsip penerapan corporate social responsibility (CSR) dan
good governance tourism (Drucker, 2010).
Dalam konteks ini, diperlukan pola manajemen berbasis nilai yang oleh
Drucker dalam Pearce (2010), dijelaskan sebagai upaya mengelola sumber
daya secara arif dengan tantangan keberlanjutan sosial, ekonomi dan
lingkungan sebagai entitas yang saling berkaitan untuk meningkatkan
kapasitas kegiatan usaha ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Dalam
perspektif manajerial moderen, pemikiran yang humanis dan membumi
dalam praktik pengelolaan berbasis nilai tidak hanya berorientasi ekonomi ,
namun bekerja dengan bertanggungjawab terhadap masyarakat. Dengan
demikian, orientasi tata kelola pariwisata ke depan memerlukan nilai
organisasi yang mempertimbangkan manfaat secara berkelanjutan.
5.6.3. Penguatan Model Tripple Bottomline Stakeholder Pariwisata
Model pengelolaan dengan menggunakan triple bottom line ditujukan untuk
mengintegrasikan kemampuan kewirausahaan setiap stakeholder di tingkat
15. DMO
5-15
lokal dalam format : manusia (people), bumi (planet) dan keuntungan (profit)
(Hammel dan Denhart, 2006). Berdasarkan pendekatan ini, maka reposisi
destinasi dan produk pariwisata berorientasi kepada upaya menempatkan
produk kepariwisataan lebih berfokus pada kegiatan yang melibatkan
masyarakat (inter-active tourism), kepariwisataan bertema produktif yang
berkelanjutan dan tidak konsumtif; keseimbangan kepentingan ekonomis
dan pelestarian nilai-nilai lokal. Pengembangan kepariwisataan di Indonesia
menyingkap tantangan dan problematika terhadap upaya reposisi
pengembangan kepariwisataan dan penataan struktur dan organic dalam
rangka menformulasikan nilai-nilai dalam kegiatan kepariwisataan. Dengan
demikian tatanan pluralistik,keanekaragaman sumber daya kepariwisataan
dan kebhinekaan merupakan salah satu modal inovasi dan diversifikasi
produk kepariwisataan.
Dalam pandangan Page (2007), kerangka tata kelola destinasi pariwisata
mengandung fungsi manajerial dengan distribusi tanggungjawab,
kewenangan, kemitraan dengan berbagai tingkat di level bisnis, pemerintah
termasuk kontrol masyarakat. Cooper, et al. (2005) dan UNWTO (2000)
menegaskan konsep destinasi berkenaan dengan kawasan geografis yang
berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya
terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas kepariwisataan,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan. Secara konsepsional, destinasi pariwisata
merupakan rangkaian keterpaduan entitas ruang (geospasial), entitas bisnis
(ekonomi), entitas sosial (sosial budaya, politik), entitas lingkungan
(perubahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan).
Dalam konteks penguatan konsep sustainability dalam pengelolaan aktivitas
usaha, Kotler (1997) menekankan strategi untuk memperhatikan stakeholder
seperti karyawan, pemerintah, supplier, dan lingkungan. Kotler menegaskan
agar perilaku prososial perusahaan diwujudkan melalui pengelolaan
lingkungan, kesehatan, pendidikan dan produk organis atau ekologis. Hal ini
perlu didukung dengan perilaku prososial konsumen yang antara lain
memperhatikan dampak produk yang dikonsumsi, penghematan energi,
melakukan daur ulang, membeli produk organik dan memanfaatkan secara
cerdas dan bijak.
Format tata kelola (Cooper, 2005;) yang lebih memfokuskan penguatan
struktur dan standar prosedur kerja dapat mendorong munculnya formalisme
kelembagaan destinasi yang ada. Bahkan disinyalir dapat menimbulkan
benturan kepentingan dan bahkan akan muncul persaingan yang tidak sehat
di destinasi pariwisata. Kondisi tersebut selanjutnya akan berpengaruh
terhadap kualitas pengelolaan dan kualitas daya saing destinasi (Budpar,
2010). Selain itu, penerapan informasi dan teknologi dalam pengelolaan
destinasi harus dikaitkan dengan mata rantai kepariwisataan dan penguatan
actor-aktor lokal yang ada di destinasi dalam penciptaan pengalaman (Gunn,
16. DMO
5-16
1988; Middleton and Clark, 2001).
Namun, yang perlu dicatat disini, model ini dapat menjadi dynamic model
untuk menentukan kualitas pengelolaan manajemen di destinasi pariwisata
di Indonesia. Pengelolaan destinasi yang tepat dan efektif merupakan salah
satu pendekatan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan daya tarik
(attraction management), pengunjung (visitor management) dan lingkungan
sosial budaya di destinasi pariwisata. Pengembangan dan pengelolaan
destinasi tidak saja dengan pendekatan nilai ekonomis namun berimbang
menerapkan nilai ekonomi, nilai etika, dan nilai estetika.
Dalam pandangan Cooper (2005) dan Page (2007), prinsip dasar yang harus
dijadikan norma dalam penyusunan kebijakan pengembangan destinasi
kepariwisataan adalah mencakup dimensi posisi kapasitas masyarakat,
lingkungan, pelibatan masyarakat, dan pertimbangan politik pembangunan.
Lingkungan merupakan salah satu ekosistem yang sangat rawan terhadap
intervensi yang menyebabkan hilangnya daya tarik yang dimiliki (Inskeep,
1992). Untuk meminimalisasi dampak yang terjadi maka konsep daya
dukung (physical and social carrying capacity) mutlak diterapkan pada
semua destinasi pariwisata (Wall, 1994; Inskeep, 1992).
5.6.4. Optimasi Keseimbangan Dimensi Ekonomi, Estetika, Etika Dalam Tata
Kelola Pariwisata
Penguatan tata kelola pariwisata yang berkeseimbangan harus mampu
menerapkan tiga pilar nilai yaitu nilai ekonomi, estetika dan etika yang
mendorong perwujudan pariwisata kontekstual berbasis lokalitas. Dalam
perspektif ini, keberlanjutan pengelolaan destinasi pariwisata ditentukan
melalui penerapan nilai domestik atau nilai lokal yang ada di masyarakat.
Karena itu, tata kelola berbasis keseimbangan nilai lokal terhadap intruisi
nilai terinduksi dan keseimbangan asimetris nilai ekonomi, nilai estetika dan
etika merupakan kunci kesuksesan pengelolaan destinasi ke depan (Teguh,
2011).
Penerapan dimensi nilai diadopsi sebagai proses manajerial untuk
menghasilkan kesuksesan destinasi pariwisata yang mempertahankan dan
melestarikan sumber daya lokal di destinasi sebagai katalist pembangunan
kepariwisataan di daerah. Penerapan opsi pembangunan pariwisata
berkelanjutan diarahkan pada pengembangan pariwisata yang
bertanggungjawab yang mempertimbangkan komponen komunitas sebagai
unsur utama dalam sistem pengelolaan destinasi. Karena itu, dengan
menerapkan opsi tersebut dapat dihasilkan kontribusi terhadap
keseimbangan nilai terinduksi dan nilai lokal yang bertujuan untuk
memperkuat penerapan pariwisata berbasis masyarakat sebagai model
pengelolaan detinasi ke depan.
Kepuasan masyarakat sebagai perwujudan persepsi masyarakat dan
kepuasan wisatawan seyogyanya diperlakukan secara berimbang dalam
17. DMO
5-17
rangka mendorong peningkatan kontribusi terhadap kesuksesan
pengelolaan destinasi. Indikator kesuksesan destinasi sebagai gambaran
nyata kinerja pengembangan pariwisata di daerah perlu memprioritaskan
indicator-indikator penting seperti : daya dukung sosial, daya dukung fisik,
kualitas pelayanan dan peran serta masyarakat. Nilai ekonomis lokal, estetis
lokal dan etis lokal sebagai bentuk otentisitas dan kedaulatan masyarakat di
destinasi perlu diterapkan sesuai pendekatan pariwisata masyarakat,
keberlanjutan domestic, dan praktik pariwisata yang berkeseimbangan.
Destinasi merupakan entitas sosial, budaya, ruang, ekonomis/bisnis, dan
keseimbangan ekosistem dan lingkungan yang saling mempengaruhi, saling
melengkapi dan saling berkaitan dengan kekuatan utama masyarakat.
Pendekatan metode untuk menilai persepsi dengan pengukuran kuantitatif
dapat dipertimbangkan sebagai kontribusi ntu membuat berbagai keputusan
dalam pembangunan destinasi. Kesuksesan pengelolaan destinasi
ditentukan oleh faktor internal (pengembangan destinasi secara internal) dan
eksternal (komunikasi dan pemasaran). Karena itu, diperlukan penerapan
pengelolaan yang komprehensif, sistemis, konvergen, berkaitan dan
interkoneksi (Teguh, 2011).
5.7. Implementasi Program DMO di Indonesia
Untuk Indonesia, tata kelola pariwisata melalui DMO tidak dimaksudkan untuk
menciptakan struktur dan tatanan organisasi baru, namun lebih diarahkan
untuk meningkatkan pola dan struktur yang ada, memperkuatkan basis
masyarakat, memperkokoh fungsi dan optimasi stakeholder, memberikan
ruang inovasi dan kreatitivitas serta inisiatif lokal, juga melalui pemanfaatan
jejaring dan teknologi.
Sebagai konsep kerja (working definition), DMO dipahami sebagai tata kelola
destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi
koordinasi, perencanaan, implementasi dan pengendalian organisasi destinasi
secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan
teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat,
pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan,
proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas
pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran
pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal (Budpar, 2009).
Sedangkan pembentukan dan pengembangan DMO mengacu pada prinsip
partisipatif, kolaboratif, keterpaduan dan berkelanjutan yang dilakukan melalui
pendekatan proses, manajerial dan sistemik. Rangkaian aktivitas DMO
mencakup konsultasi dan advokasi, standardisasi dan pelayanan, penelitian,
pemberdayaan masyarakat, investasi, pemasaran, kordinasi, kemitraan dan
jejaring, manajemen krisis, penyusunan program innovasi, survey indeks
pelayanan, dan monitoring dan evaluasi.
Transformasi pembentukan dan pengelolaan DMO di Indonesia tetap merujuk
18. DMO
5-18
pada kapasitas, karakteristik destinasi dan kondisi sosiologis serta analisis
pasar (market intelligent). Karena itu, untuk skema pengembangan DMO
tahun 2011, Indonesia mendorong pengembangan DMO di 15 titik (hotspot
destinasi) yang juga berkorelasi dengan pusat pertumbuhan ekonomi secara
nasional.
Operasionalisasi pembentukan dan pengembangan DMO di Indonesia
dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
5.7.1. Tahap Peningkatan Gerakan Kesadaran Kolektif Stakeholder:
Intervensi aktivitas mencakup: assessment, baseline destinasi, melakukan
stakeholder meeting, convergence meeting, membangun komitmen kerja
dalam bentuk rencana aksi.
5.7.2. Tahap Pengembangan Manajemen Destinasi:
Intervensi aktivitas mencakup: penyusunan destination management plan
(Blue Print, Roadmap, Master Plan), sinkronisasi kerjasama dengan pihak
lain (badan/lembaga internasional), penguatan kapasitas stakholder :
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat Pelaksanaan Bimtek, Penyusunan
Alternatif Institusi/Kelembagaaan, Alat Monitoring dan Evaluasi, Penataan
Daya tarik, aksesibilitas, fasilitas dan masyarakat.
5.7.3. Tahap Pengembangan Bisnis:
Intervensi Aktivitas : penyusunan business plan, mata rantai bisnis, financial
sustainability, pengembangan kemasan, product enchancement, quality
control, supply-value chain dan investasi.
Dalam rangka menjabarkan transformasi dan tahapan tersebut diatas, setiap
cluster DMO menyusun skema kerja pengembangan DMO di Indonesia.
Beberapa langkah dilakukan seperti :
1. Penyusunan baseline destinasi yang digunakan untuk memotret
pemetaan dan profil, karakter, posisi dan kapasitas destinasi,
2. Pemetaan stakeholder kunci dan pendukung (key and supporting
stakeholder)
3. Penyelesaian blueprint, roadmap action plan dan workplan,
4. Model koordinasi dan sinkronisasi program termasuk project conference,
5. Ketepatan pelaksanaan dukungan dan fasilitasi, pengembangan model
manajemen,
6. Pembentukan dan pengembangan komponen bisnis
7. Mekanisme pemantauan dan eveluasi,
8. Indikator keberhasilan Dmo dengan parameter magnitude of tourism,
kualitas tata kelola, manfaat lokalitas,
9. Analisa dampak (ekonomi, sosial, budaya, lingkungan)
10.Exit strategy.
19. DMO
5-19
5.8. Penutup
Pada tataran praksis implementatif, penerapan DMO harus diterjemahkan
secara konstektual sesuai kaidah yang berlaku, berbasis lokalitas agar tidak
menimbulkan friksi, perang kepentingan, egosektoral serta tidak
kontraproduktif terhadap eksistensi fungsi kelembagaan yang sudah ada.
Sebagai konsep, DMO berperan menjadi katalisator, motivator dan spirit untuk
menggerakkan seluruh kontruksi dan entitas destinasi. Prasyaratnya adalah :
komitmen dan tanggungjawab. Instrumen yang digunakan adalah melalui
perencanaan sinergis, koordinasi, konsistensi dalam implementasi dan audit
dampak manfaat bagi masyarakat lokal dan destinasi. Baik-buruknya
pengelolaan ini akan menentukan seberapa kuat daya tarik suatu destinasi
bagi pasar wisatawan, pertumbuhan kerja, lama kerja, besaran pengeluaran,
kunjungan berulang dan seberapa lama manfaat dan keberlanjutannya
(sustainability).
Pendekatan quality control, quality assurance dan quality management
berfokus kepada pengendalian kualitas destinasi, manajemen, produk dan
pelayanan pada destinasi pariwisata serta peningkatan secara berkelanjutan
produk dan jasa kepariwisataan. Fakta membuktikan bahwa destinasi
pariwisata yang dikelola dengan prinsip-prinsip keberlanjutan sangat efektif
memberikan keuntungan jangka panjang, baik secara ekonomi, sosial
maupun ekologi. Di tingkat yang lebih praksis, tata kelola destinasi pariwisata
berbasis nilai merupakan faktor determin dan strategis terhadap peningkatan
daya saing pariwisata. Untuk itu diperlukan pola dan kiat berbagai perangkat
manajemen dalam pembangunan pariwisata termasuk tata kelola destinasi
pariwisata.
20. DMO
6-20
Artikel 6 : DMO Sebagai Strategi Pengelolaan Destinasi
http://jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-planning-and-development/188-dmo-
sebagai-strategi-pengelolaan-pariwisata.html
Oleh Nurdiyansah Dalidjo
Pariwisata (tourism) merupakan sebuah konsep multi-dimensi yang kompleks.
Melihat pariwisata sebagai keilmuan, membuat kita menyadari bahwa sebuah
perjalanan (tour atau travel), bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi hal yang
begitu luas sehingga dapat melibatkan banyak persoalan dan penemuan. Sebagai
implikasi dari perjalanan manusia tersebut – dengan berbagai motivasi – maka,
pariwisata merupakan sebuah studi yang mampu menjelaskan berbagai hal, mulai
dari kegiatan ekonomi, sosial-budaya, lingkungan, politik, hukum dan kebijakan,
maupun fenomena global lainnya.
Mengapa Perlu Pengelolaan Destinasi?
Keberadaan pariwisata, tak dapat dapat ditampik, pula menimbulkan dampak buruk
secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Namun di sisi lain, pariwisata juga
dapat dipandang sebagai jalan keluar bagi persoalan kemiskinan, konservasi,
pemberdayaan, dan lainnya. Melalui pertimbangan untuk meminimalkan atau
bahkan menghapus kesenjangan antara keuntungan dan kerugian terhadap
pengembangan sektor pariwisata, dibutuhkan sebuah pengelolaan (manajemen)
yang baik layaknya tata kelola terhadap berbagai bentuk pengembangan lainnya.
Karena masa depan adalah sesuatu yang tidak pasti, pengelolaan terhadap
destinasi pariwisata juga memiliki fungsi dalam prediksi maupun mengupayakan
tindakan preventif terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Pengelolaan juga dibutuhkan sebagai jawaban atas tuntutan keberlanjutan industri
secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Melihat pariwisata sebagai industri,
tentu saja, memiliki kecenderungan terhadap eksploitasi (touristfication) dari sumber
daya alam maupun manusia yang memainkan peran penting dalam elemen-elemen
pariwisata, seperti atraksi (alam dan budaya). Kritik pun telah muncul mengenai
bagaimana pariwisata akan mengalokasikan sumber daya secara tepat, termasuk
manusia sebagai pekerja/buruh, serta pola konsumsi terhadap relasi yang dibentuk,
yang menurut Marxisme adalah sebuah relasi eksploitatif antara kapitalis dan buruh,
juga manusia terhadap alam. Untuk itulah kemudian, manajemen keorganisasian
terhadap sebuah destinasi pariwisata menjadi suatu keharusan, bukan sebagai
bentuk implementasi dari perencanaan semata, melainkan suatu tata kelola yang
berkelanjutan secara keseluruhan dengan keterlibatan semua pihak (stakeholders),
khususnya masyarakat lokal.
Sejalan dengan pandangan Inskeep (1991: 27), partisipasi masyarakat lokal untuk
mengutarakan pandangan dan pendapatnya dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan, merupakan aspek penting terkait pengelolaan destinasi
guna menghindari terjadinya resistensi, konflik, sekaligus memberdayakan dan
21. DMO
6-21
memberikan keuntungan (profit) bagi mereka. Dengan terbukanya ruang bagi
masyarakat lokal, akan menjadi alternatif upaya untuk menghindari adanya relasi
eksploitatif yang memposisikan masyarakat lokal di sekitar destinasi pariwisata,
bukan hanya sebagai buruh yang bekerja untuk pengelola, tetapi justru mereka-lah
bagian dari aktor tersebut.
DMO: Definisi dan Implikasi
Menurut UNWTO (2008), DMO memiliki fungsi untuk memimpin dan
mengkoordinasikan elemen destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM,
citra/image, harga), marketing, maupun lingkungan yang berkelanjutan
(sustainable). Dalam hal ini, DMO menjadi sebuah perspektif yang hendak
memberikan ruang partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam mengelola
sebuah destinasi pariwisata. DMO tidak hanya berperan guna pengembangan
produk, marketing dan promosi, serta perencanaan dan penelitian saja, melainkan
memainkan peran sebagai pembentukan tim dan kemitraan, jalinan masyarakat
(community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan. (Destination Consultancy
Group, 2010)
Dalam publikasi Pembentukan dan Pengembangan DMO yang dikeluarkan
Kemenbudpar (sekarang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia),
DMO didefinisikan sebagai:
Tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi
koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi
secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi,
yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi,
industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan, proses dan kepentingan
bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan
wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi
masyarakat lokal.
Untuk mencapai tahapan tertinggi dalam destination management, Alastair Morrison
dalam Konferensi Nasional DMO di Jakarta (Agustus, 2010), menjelaskan bahwa
panduan DMO dimulai dari product development, marketing, riset,
komunikasi, community relations, pengembangan sumber daya, hingga kemudian
tahapan pengelolaan (governance) dan pelaporan.
Untuk mengaplikasikan konsep-konsep pengembangan yang berkelanjutan melalui
DMO, terdapat pembagian tiga skala, meliputi skala lokal, nasional, dan regional.
Tak berbeda jauh dengan penjelasan dan panduan mengenai DMO yang telah lebih
dulu dipaparkan oleh UNWTO, DMO versi Kemenbudpar pun menerapkan prinsip
partisipatif, keterpaduan, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Cesar Castaneda (2010) dalam The Role of DMO yang dipresentasikan juga pada
Konferensi Nasional DMO, menjelaskan bahwa keuntungan yang bisa digali dari
DMO adalah establishing a competitive edge, ensuring tourism sustainability,
spreading the benefits of tourism, improving tourism yield, dan building a strong and
vibrant brand identity. Di Indonesia sendiri DMO diarahkan untuk bisa berfungsi
22. DMO
6-22
sebagai penggerak ekonomi lokal, pemasar lokal, koordinator industri, lembaga
yang mewakili pengelola, dan membangun nilai unik (kebanggan) komunitas lokal.
Memperkaya khasanah mengenai DMO, Myra P. Gunawan dan Helmi Himawan
(2010) dalam Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Inovasi dalam
Sistem Pengelolaan Destinasi – sebagai suatu sistem – DMO memiliki 3 karakter
penting yang mencakup hierarki (destinasi utama dan penunjang, skala kecil dan
besar), struktur, dan jejaring (hubungan keterkaitan, baik fisik maupun non-fisik).
Karena kelembagaan DMO bersifat sebagai suatu institusi sosial – tidak selalu
menjadi organisasi formal - maka, DMO akan tergantung pada peran aktor-aktor
kunci di dalamnya dalam menjalankan nilai, norma, keyakinan, dan tujuan yang
dianut serta hendak dicapai bersama (Phil Janianton Damanik
dalam Pengembangan Organisasi Manajemen Destinasi: Tinjauan Sosial Budaya,
2010)
Sebagai suatu kebijakan yang diinisiasikan dan diimplementasikan oleh Pemerintah,
realisasi DMO terhadap 15 destinasi yang terpilih (Pangandaran, Danau Toba,
Komodo-Kelimutu, Java promo-Borobudur, Bunaken, Bali-Danau Batur, Rinjani,
Kota Tua Jakarta, Toraja, Bromo-Tengger-Semeru, Raja Ampat, Wakatobi, Tanjung
Puting, Derawan dan Sabang), tidak semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Kini,
program DMO yang berada di bawah Dirjen Pengembangan Destinasi,
Kemenbudpar (2010) ini menemui sejumlah kendala dan masalah, meliputi
persoalan implementasi, strategi komunikasi (sosialisasi), koordinasi, skema kerja
sama kolaboratif pihak-pihak terkait, kebijakan pendukung, dana, komitmen, hingga
masalah monitoring-evaluasi.
DMO memang berupaya untuk menjawab berbagai tantangan industri pariwisata ke
depannya, namun untuk menjadikan DMO sebagai suatu paradigma dan strategi,
tidak akan terlepas dari upaya terhadap bagaimana seharusnya menjadikan industri
pariwisata lebih berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan). Pariwisata
sebagai industri yang miltidimensional dan lintas sektor, mendesak kerja sama
semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi, aktivis
(organisasi non-pemerintah), serta media massa untuk terlibat ke dalam sebuah
“kapal” dengan keberlanjutan industri sebagai dermaganya. Bagi negara
berkembang dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu besar, konsep
pengembangan pariwisata melalui DMO benar-benar diperlukan menjaga
keberlangsungan secara menyeluruh bagi semua pihak yang terkait langsung
maupun tidak langsung dari kedatangan wisatawan di sebuah destinasi pariwisata.
23. DMO
7-23
Artikel 7 : "DMO" TIDAK BISA DIWUJUDKAN DALAM
JANGKA PENDEK
http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38491/dmo-tidak-bisa-diwujudkan-
dalam-jangka-pendek
Program "Destination Management Organization:DMO" yang telah ditetapkan
pemerintah di 15 lokasi tujuan wisata tidak bisa diwujudkan dalam jangka pendek,
kata Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Frans Teguh.
Usai menghadiri seminar "Peran Industri Perjalanan Dalam Mendukung Pariwisata
Kreatif di Indonesia" di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung, Jumat, ia
mengatakan dibutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun bagi setiap lokasi DMO untuk
menjadi daerah tujuan wisata berkualitas.
"Pengalaman-pengalaman di negara lain sebetulnya suksesnya sebuah DMO itu
tidak bisa lima tahun, tapi mungkin butuh 10-15 tahun menjadikan destinasi itu
berkualitas dan berdaya saing dengan tata kelola yang baik," tuturnya.
Target DMO hingga 2014, menurut Frans, hanya disesuaikan dengan akhir masa
bakti Kabinet Indonesia Pembangunan II. Namun, lanjut dia, DMO sebenarnya
suatu program yang harus dilanjutkan hingga terwujudnya tata kelola pengelolaan
suatu destinasi wisata yang berkualitas.
"Sebenarnya tumbuhnya destinasi-destinasi ini dalam konteks penerapan model
DMO tidak bisa dengan target waktu yang pendek, tetapi bahwa cara kerjanya
periode kementerian ini dengan target sampai 2014 harus menjadi program yang
dilanjutkan atau didukung sampai terwujudnya tata pengelolaan destinasi wisata
yang berkualitas," tuturnya.
DMO adalah tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan,
koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi pariwisata di Indonesia yang
ditetapkan pada 2010.
Terdapat 15 lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rencana strategis
industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata yang dikelola
secara profesional dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, yaitu Sabang,
Danau Toba.
Selanjutnya, kawasan kota tua Jakarta, Tanjung Puting, Pangandaran, Borobudur,
Bromo dan Semeru serta kawasan Tengger, Danau Batur, Rinjanji, Pulau Komodo,
Wakatobi, Derawan, Tana Toraja, Bunaken, serta Raja Ampat.
Menurut Frans, tujuan DMO di setiap destinasi itu adalah untuk menjembatani
berbagai aktor dan pemangku kepentingan dalam pengembangan industri
pariwisata sehingga tidak terjadi rivalitas atau duplikasi peran.
"Jadi semua pihak merasa punya kontribusi, manfaat, dan fungsi yang jelas dalam
24. DMO
7-24
pengelolaan destinasi pariwisata, tidak hanya diambilalih atau dikendalikan oleh
satu pihak karena pariwisata itu wataknya multi disiplin, multi aktor, dan multi
stakeholder," ujarnya.
Setidaknya, jelas Frans, terdapat empat tahap dalam pengembangan DMO yaitu
gerakan peningkatan kesadaran kolektif dari berbagai pemangku kepentingan pada
tahap pertama sehingga memiliki persepsi yang sama dalam membangun destinasi
pariwisata.
Tahap kedua, menurut Frans, adalah pengembangan manajemen yang meliputi
penataan dan perencanaan peta jalan pembangunan destinasi pariwisata.
Sedangkan tahap ketiga adalah pengembangan bisnis untuk mendorong
kemampuan wirausaha sehingga masyarakat lokal mendapat manfaat dari aktivitas
pariwisata.
Tahap terakhir adalah penguatan organisasi atau kelembagaan sehingga setiap
pemangku kepentingan mempunya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap
destinasi wisata tersebut.
25. DMO
8-25
Artikel 8 : DMO Harus Mampu Kembangkan Kreativitas
Masyarakat
http://travel.kompas.com/read/2012/04/04/22282335/DMO.Harus.Mampu.Kembang
kan.Kreativitas.Masyarakat
beradaan Destination Management Organization (DMO) dalam pengembangan
pariwisata Indonesia harus mampu mengembangkan masyarakat kreatif sebagai
bagian penting, sekaligus menjadi daya tarik utama suatu daerah tujuan wisata.
Hal itu dikemukakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu
ketika memberikan sambutan dalam acara peresmian sekretariat dan pengukuhan
anggota DMO Flores, Rabu (4/4/2012), di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Mari hadir bersama rombongan, di antaranya Direktur Jenderal
Pengembangan Destinasi Pariwisata, Firmansyah Rahim.
"Di tiap tempat wisata ada industri kreatif, dan yang menjadi pusatnya adalah
masyarakat. Ini perlu diperhatikan, dan saya titip juga kepada DMO Flores agar
memperhatikan aspek ini, sebab masyarakat kreatif itu akan menjadi daya tarik
utama suatu destinasi wisata," kata Mari.
Mari mencontohkan, dari 14 penari Wanda Pala, yang menyambut kedatangannya
di sekretariat DMO Flores masing-masing penari mengenakan sarung tenun dengan
corak yang berbeda-beda. Hal itu mencerminkan kekayaan dan kearifan tradisional
yang begitu kaya, juga menunjukkan masyarakat yang kreatif, yang perlu terus
diperhatikan dan dibina agar mereka makin berkembang.
"Perancang busana Oscar Lawalata dalam satu pameran pernah menyampaikan
ada sekitar 600 corak dan warna sarung tenun yang berbeda-beda untuk kawasan
Flores saja, belum termasuk yang di Sumba dan Timor. Ini cerminan begitu kayanya
kearifan tradisional, dan masyarakat yang kreatif di Flores," ungkap Mari.
DMO Flores merupakan salah satu dari 15 DMO di Indonesia yang dikembangkan
oleh Ditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata. Program itu untuk menyinergikan
antara aksesibilitas, infrastruktur publik dan pariwisata, masyarakat, serta daya tarik
obyek wisata.
Di sekretariat DMO Flores, Mari juga melihat-lihat sejumlah hasil kerajinan dari
kelompok perajin tenun ikat, kelompok kuliner pangan lokal, maupun kelompok
perajin kain bordir di Ende.
Ketua Tim Pengelola Kerajinan Desa Raporendu Ende, Dewi Sri (31) mengatakan,
kelompok perajin binaannya mendapat dana pengembangan kelompok sebesar Rp
70 juta dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata.
Anggotanya meliputi 15 kelompok perajin tenun ikat (tiap kelompok beranggotakan
10-20 orang), lalu 15 orang kelompok kuliner pangan lokal, dan perajin kain bordir
10 orang.
"Kami telah mengembangkan pembuatan sajadah dari kain tenun ikat bermotif
26. DMO
8-26
masjid. Kami juga membuat tudung saji, tas, tempat tisu, baju bodo, dengan
kombinasi kain tenun dan bordiran. Kami membuat pula produk kuliner seperti
rolade ikan, bakso ikan, dan abon ikan," kata Dewi Sri.
Ketua DMO Flores, Yakobus Mbira mengatakan, keberadaan DMO Flores agak
berbeda dengan 14 DMO lain. DMO Flores merupakan destinasi wisata yang paling
besar wilayahnya, sebab mencakup 8 kabupaten, yakni dari Manggarai Barat
hingga Flores Timur. DMO lainnya, di antaranya adalah Rinjani, Bali, Toba,
Bunaken, Sabang, Wakatobi, Raja Ampat, Kota Tua Jakarta, Pangandaran, dan
Bromo-Tengger-Semeru.
Chief Executive Officer (CEO) DMO Flores, Adi Soenarno mengemukakan, DMO
Flores mempunyai visi menjadikan Pulau Flores sebagai destinasi wisata
petualangan dan budaya terbaik di Asia Tenggara pada tahun 2020.
27. DMO
9-27
Artikel 9 : DMO, Empat Tahap Kembangkan Wisata Unggulan
http://www.bandungoke.com/index.php?page=view&class=Berita&id=12071416511
4
ADA empat tahap dalam intervensi pengembangan DMO.
Pertama, peningkatan kesadaran kolektif para stakeholder. "Di sini stakeholder
dituntut untuk melakukan koordinasi dengan pihak-piak terkait untuk
menyamakan persepsi tujuan pembanguna pariwisata," jelas Frans Teguh,
Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama, di Sekolah Tinggi Pariwisata
Bandung (STPB), Jumat (13/7).
Kedua, tahap pengembangan manajemen. Dalam tahap ini, jelasnya, para
stakeholder harus melakukan penataan perencanaan atau roadmap yang jelas
ke depannya.
Ketiga, tahap pengembangan bisnis. "Masyarakat lokal harus bisa didorong jiwa
kewirausahawannya agar dapat ikut serta merasakan proses pengelolaan
DMO," paparnya.
Terakhir, tata pengelolaan dalam penguatan organisasi atau kelembagaan.
Yang ditekankan bukan sisi kelembagaannya. Tapi sisi pengelolaan destinasi
yang tumbuh dan menjadi bagian seluruh pihak, baik dari pihak swasta maupun
pemerintah.
“Sehingga seluruh pihak memiliki konstitiusi, fungsi dan wewenang dalam
mengelola DMO tersebut," tambahnya,
Sementara itu menurut Ketua STPB, Noviendi Makalam, kajian-kajian yang
dilakukan oleh para akademisi dalam hal ini mahasiswa harus bisa dibuat sebagai
indikator kinerja bagi para pihak.
"Ini untuk melihat apakah dalam lima tahun ke depan ada berapa DMO yang bisa
dikembangkan," ujarnya.
Ke-15 DMO ini, sambung Makalam, harus bisa menjadi output di tahun 2014.
"Sehingga nantinya ada destinasi-detinasi unggulan yang akan berkembang
sebagai kawasan pariwisata utama di Indonesia," tambahnya.
28. DMO
10-28
Artikel 10 : Pengelolaan wisata dengan model
Destination Management Organization (DMO)
http://m.antaranews.com/berita-
fokus.php?url=unas&newsid=1281338132&t=pengelolaan-wisata-model-dmo-perlu-
30-tahun
Pengelolaan wisata dengan model Destination Management Organization (DMO)
yang akan segera diterapkan pada beberapa obyek wisata tanah air memerlukan
waktu setidaknya 30 tahun.
"Pengelolaan wisata model DMO ini memerlukan waktu dan tahapan yang lama
setidaknya 30 tahun," kata Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, Firmansyah Rahim, di Jakarta, Jumat, dalam acara
Konferensi Nasional DMO. Ia mengatakan, melalui penerapan DMO tersebut
pihaknya belum bisa menargetkan terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan
dalam waktu dekat.
Menurut Firman, hal terpenting dalam jangka pendek melalui penerapan DMO
adalah menata dan mengelola destinasi sehingga terjadinya tata kelola yang baik
dan menguntungkan semua pemangku kepentingan termasuk keberlanjutan alam.
"Jika semua telah berjalan baik, pelayanan meningkat, otomatis wisatawan ingin
datang lagi ke destinasi itu," katanya.
Berbagai pemangku kepentingan segera membahas konsep pengelolaan kawasan
wisata secara Destination Management Organization (DMO) pada konferensi
nasional DMO di Jakarta pada 6-7 Agustus 2010. "Berbagai pemangku kepentingan
membahas konsep DMO dalam konferensi nasional ini sekaligus sebagai ajang
untuk `sharing best practices` dari sejumlah pengelola destinasi pariwisata di
antaranya Swisscontact Indonesia yang mengembangkan destinasi pariwisata
Flores, NTT," kata Firmansyah.
Pertemuan itu bertujuan untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pengelolaan
destinasi dalam kegiatan "destination management system" melalui konsep DMO.
"Kegiatan konferensi ini juga untuk menyusun pola pembentukan dan
pengembangan, menyusun indikator, kriteria dan model pengembangan, serta
pengelolaan destinasi melalui konsep DMO," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kemenbudpar, Winarno Sudjas, mengatakan, melalui pertemuan itu diharapkan
akan menghasilkan sejumlah rumusan pola pengelolaan destinasi secara terpadu
serta teknik-teknik pengelolaan destinasi yang nantinya akan disosialisasikan
kepada para pemangku kepentingan. "Hasil konferensi juga akan digunakan untuk
mempercepat pembentukan dan pengembangan 15 DMO di Indonesia dalam lima
tahun ke depan," katanya seperti dikutif Antaranews.
Pihaknya memang menargetkan sampai 2014, sebanyak 15 kawasan wisata
dikelola secara DMO meliputi Kota Tua Jakarta, Pangandaran, Danau Toba,
29. DMO
10-29
Bunaken, Tana Toraja, Mentawai, Bukittinggi, Borobudur, Rinjani, Raja Ampat,
Wakatobi, Tanjung Puting, Derawan, Danau Batur-Kintamani, dan Pulau Komodo-
Kelimutu-Flores, serta Bromo-Tengger-Semeru.
Sejumlah pemangku kepentingan hadir dalam pertemuan itu di antaranya kalangan
ahli, praktisi, akademisi, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan
tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam DMO. DMO merupakan pola
pengelolaan atau manajemen sebuah kawasan wisata melalui keterlibatan seluruh
pemangku kepentingan mulai masyarakat, pengusaha, sampai pemerintah daerah
dan pusat dengan menggunakan pola partisipatif dengan sasaran memberikan
benefit kepada semua pihak.
Bagi masyarakat pola pengelolaan DMO diharapkan akan memberikan
kesejahteraan, bagi pengusaha akan memberikan keuntungan yang wajar, dan bagi
pemerintah akan memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).Selain itu melalui pola
DMO juga diharapkan lingkungan terpelihara serta kearifan lokal di sekitar kawasan
wisata semakin terjaga.
30. DMO
11-30
Artikel 11 : DMO Cegah Ekses Negatif Pariwisata
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=32&id=39897
Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenbudpar, Firmansyah Rahim
mengatakan, Destination Management Organization (DMO) atau tata kelola daerah
tujuan wisata akan dapat mencegah terjadi ekses negatif pariwisata. Selain
diharapkan tumbuhnya benafid atas perkembangan kepariwisataan di suatu daerah.
Hal itu dikatakannya saat Konferensi Nasional DMO di Jakarta, Jumat (6/8) kemarin.
Menurut Firmansyah, DMO akan mendorong pengelolaan kepariwisataan yang lebih
baik, dan pada gilirannya wisatawan yang datang akan terkesan dan kembali lagi
untuk menikmati nuansa yang ada. ''Karena mereka terkesan, tentu mereka akan
kembali dan mengajak yang lain untuk datang,'' paparnya.
Yang pasti, DMO dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas
pengelolaan destinasi. Komponen yang terlibat, kata dia, nantinya berkomitmen
untuk menjaga agar distinasi tidak rusak dan terus dikelola dalam rangka
peningkatan kualitas destinasi.
Kegiatan konferensi diharapkan menghasilkan sejumlah rumusan pola pengelolaan
destinasi secara terpadu, serta teknik-teknik pengelolaan destinasi yang nantinya
disosialisasikan kepada stekeholder. Hasil konferensi diharapkan menjadi acuan
untuk mempercepat pembentukan dan pengembangan 15 DMO di Indonesia dalam
lima tahun ke depan 2010-2014.
31. DMO
12-31
Artikel 12 : Bangkitkan Daerah dengan Metode
Destination Management Organization
http://www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-indopos/34-berita-nasional/14392-
bangkitkan-daerah-dengan-metode-destination-management-organization.html
SEKTOR pariwisata merupakan salah satu komponen pembangunan nasional
dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk mengoptimalkan kontribusi
manfaat pariwisata, diperlukan pola perencanaan dan pengolaaan yang
berkesinambungan. Pengolahan pariwisata tidak mudah karena bersifat
multidimensi dan multisektor sehingga memerlukan dukungan dan keterpaduan dan
sistem kepariwisataan. Pola manajemen destinasi di daerah yang dinilai belum
maksimal, membuat pemerintah menerapkan metode destination management
organization (DMO). Pola tersebut dinilai cukup ampuh, karena melibatkan langsung
semua pihak yang terkait pemangku kebijakan dan kepentingan.
Mulai dari pemerintah daerah sampai ke pengusaha yang menanamkan modal.
Tujuan DMO sendiri adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga
destinasi bisa berkembang dengan baik dan maksimal. ’’Kami tidak membentuk
badan baru, akan tetapi menyinergikan seluruh kekuatan atau pelaku-pelaku yang
ada. Untuk meningkatkan destinasi agar bisa maksimal harus bekerja saling terkait
dalam kondisi yang sama. Semua pihak dapat memberikan kontribusi untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga tejadi aktivitas yang sehat di daerah
tersebut dan destinasi layak untuk dikunjungi,’’ urai Ketua Tim DMO Frans Teguh
yang diamini oleh Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Firmansyah Rahim. Keuntungan DMO masuk daerah
adalah adanya pihak yang bisa menjembatani atau menjadi tim koordinasi pada
destinasi yang bersangkutan. Untuk mengetahui siapa saja stakeholder yang
beperan bekerja di lokasi, sudah maksimalkah potensi destinasi, bagaimana dengan
masyarakat sekitar, dan bisa menikmati hasil pengembangan destinasi tersebut.
’’Progam ini, secara esensi, prinsip pengelolaan sudah pernah ada.
Praktik pengelolaan destinasi seperti ini pun sudah pernah ada, destinasi
manajemen konsep atau dengan nama lain. Hanya DMO memaksimalkan, selama
ini kalau misalnya destinasi itu disebut sudah bekerja dengan maksimal, yang jadi
pertanyaan, pengelolaannya sudah benar belum. Seberapa besar potensi
pariwisata, adakah koordinasi yang baik dengan pihak lain (lintas kementerian) yang
mendukung suksesnya pariwisata pada destinasi terkait,” urai Frans. Sekali lagi
Frans menegaskan, DMO bukan perkara bikin badan. Tersendatnya
pengembangan destinasi pariwisata pada salah satu daerah tak lepas dari adanya
konflik kepentingan. Hadirnya DMO berharap bisa saling melengkapi. Sebagai
produk yang menjembatani, tim DMO harus bisa berbicara dengan pemerintah
daerah. Karena destinasi itu milik daerah, bukan pemerintah pusat. Fungsi lain
DMO adalah mengsinkronkan dan menyusun rencana yang terarah, agar tidak
timbul persoalan. Frans menggambarkan, konsep DMO tersebut sama saja dengan
32. DMO
12-32
membuat orkestra. Di mana semua pihak pemain di dalamnya harus sepakat,
lagunya naskah sampai iramanya. Sehingga ada kesinambungan.
Sejauh ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Ditjen Pengembangan
Destinasi menerapkan DMO pada15 titik. Daerah yang menjadi proyeksi hingga
2014 meliputi Pangandaran, Danau Toba, Komodo- Kelimutu-Flores, Borobudur,
Bunaken, Bali, Rinjani, Kota Tua Jakarta, Toraja, Bromo- Tengger- Semeru, Raja
Ampat, Wakatobi, Tanjung Putting, Derawan, dan Sabang Aceh. Pola
penembangan satu satu destinasi ke destinasi lain berbeda kajian yang diterapkan.
DMO menjadi alat mulai dari menilai, sampai kapasitas, termasuk melihat apa
potensi dan daya tarik lain, dari yang selama ini sudah menjadi alasan pengujung
untuk datang. Even apa yang bisa dilakukan di daerah tersebut. Siapa pemain
utamanya dan siapa pemain pendukung yang membangkitkan destinasi tersebut.
”Pola DMO mengajak semua pihak untuk bisa saling bertukar pikiran.
Mulai dari penata sampai dengan promosi, meski promosi bisa berjalan setelah
semua sudah baik. Tapi bisa juga ada daya tarik yang perlu dipromosikan saat
masih proses berlangsung. Artinya destinasi kita akan semakin tertata dengan baik
seperti negara- negara maju,” tambahnya. Pada dasarnya destinasi itu milik daerah,
pusat (Kemenbudpar) sebagai alat koordinasi. Tim DMO pun menjemput bola
menyambangi siapa saja yang berkepentingan di sana. Mulai dari pekerjaan umum,
PLN, pihak kebersihan, hingga pengembangan SDM. Hal ini bertujuan agar mata
rantai terbangun. Fase DMO itu terkait gerakan kesadaran kolektif, pendidikan, dan
manajemen. Cara pendekatan pemilihan destinasi menjadi proyeksi DMO melalui
ketertarikan pasar dan dorongan produk.
33. DMO
13-33
Artikel 13 : Wisata Candi Borobudur Belum Sejahterakan
Penduduk Sekitar
http://jogja.tribunnews.com/2012/07/26/wisata-candi-borobudur-belum-sejahterakan-
penduduk-sekitar
Keberadaan Candi Borobudur sebagai obyek wisata, dikatakan Direktur
Perancangan dan Investasi Pariwisata, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Drs. Lokot Akhmad Enda, MM, masih sangat kecil pengaruhnya dalam
meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Karena itu, menurut Lokot, perlu digalakkan penataan sumber daya manusia,
kualitas lingkungan, kualitas budaya, fasilitas pariwisata serta sarana prasarananya
melalui konsep Destination Management Organization (DMO).
“Menurut beberapa peneliti, pengaruh Borobudur memang masih sangat kecil
terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar lingkungan candi. Dengan prinsip-
prinsip DMO, yaitu partisipatif, kolaboratif, keterpaduan, dan berkelanjutan,
diharapkan akan tercapai target pada sisi ekonomi, lingkungan, sosial budaya, dan
kualitas pengelolaan destinasi,” ujarnya saat beraudiensi dengan Bupati Magelang
Ir. Singgih Sanyoto beserta jajarannya, kemarin (25/7/2012).
Turut serta dalam audiensi terseut, Sekda Kabupaten Magelang, Drs. H. Utoyo, tim
ahli DMO Cluster Budaya Prof. Yuana Mardjuka serta tim teknis DMO Borobudur.
DMO menurut Lokot adalah program baru rencana strategis Kemenparekraf. DMO
disampaikannya memiliki pengertian tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur
dan sinergis. Mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi dan
pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistematik melalui
pemantauan jejaring informasi dan teknologi.
“Konsep ini secara terpadu menyatu dengan peran masyarakat, pelaku/asosiasi,
industri, akademisi dan pemerintah yang berkepentingan bersama untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan
besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal,” kata Lokot.
Sementara itu, Bupati Magelang Ir Singgih sanyoto menyataka mengapresiasi dan
mendukung program DMO untuk pengembangan destinasi obyek wisata Candi
Borobudur tersebut. Ia berharap, nantinya program tersebut tetap memperhatikan
budaya dan kearifan lokal dan kesakralan candi Borobudur sebagai tempat suci
untuk beribadat umat Budha. “Jangan sampai di sisi lain terkesan bahwa candi
Borobudur hanya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi saja,” tandasnya.
34. DMO
14-34
Artikel 14 : Dua DMO di Indonesia Mulai Maju
http://www.globalfmlombok.com/content/dua-dmo-di-indonesia-mulai-maju
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berupaya untuk terus
fokus memaksimalkan 15 Destination Management Organization (DMO) di tahun
2012 ini. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2010 hingga 2025.
Dari 15 DMO yang sedang dikembangkan, 2 diantaranya mengalami kemajuan
cukup baik, yakni Pangandaran Jawa Barat dan Danau Toba Sumatera Utara.
"Dalam pengembangannya, pemerintah sangat memperhatikan kondisi lingkungan,
sehingga cocok untuk jenis wisata alam, budaya, atau pun wisata buatan,” kata
Kepala Subdit Kawasan Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenparekraf,
Torang Nasution, kepada wartawan, disela acara Workshop Penyusunan DMO,
Identifikasi Potensi Pegembangan Produk Ekonomi, Tata Kelola Kawasan Rinjani,
di Hotel Lombok Raya, Mataram, Selasa (17/7).
Torang menyebutkan, 15 DMO yang akan dikembangkan di Indonesia, yaitu
Sabang Aceh, Danau Toba Sumut, Kota Tua Jakarta, Tanjung Putting Kalimantan,
Pangandaran Jabar, Borobudur Jateng dan Gunung Bromo Jatim. Selain itu,
Gunung Semeru Jateng, Engger, Danau Batur Bali, Gunung Rinjani NTB, Pulau
Komodo Flores, Wakatobi Sulteng, Derawan Kaltim, Tana Toraja Sulsel, Bunaken
Sulut, dan Raja Ampat Papua Barat.
Setidaknya lanjut Torang, terdapat empat tahap dalam intervensi pengembangan
DMO. Keempat tahapan tersebut, yakni peningkatan kesadaran kolektif para
stakeholder, pengembangan manajemen. Dalam tahap ini para stakeholder harus
melakukan pentaan perencanaan atau roadmap yang jelas kedepannya. Tahap
ketiga, yaitu pengembangan bisnis dan terakhir tahap tata pengelolaan dalam
penguatan organisasi atau kelembagaan.
“DMO sendiri merupakan tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup
perencanaan, koordinasi, implementasi dan pengendalian organisasi pariwisata di
Indonesia yang ditetapkan pada 2010 hingga 2014. Dalam hal ini, Kemenparekraf
hanya sekedar memfasilitasi perkembangan DMO tersebut di 15 daerah yang telah
ditetapkan,” tuturnya.
35. DMO
15-35
Artikel 15 : Kembudpar: Rp2 Miliar-Rp4 Miliar Per DMO
http://jambitourism.co.id/kembudpar-rp2-miliar-rp4-miliar-per-dmo/
Pedoman utama Destination Management Organization (DMO) atau tata kelola
destinasi adalah perlu adanya komitmen dan rasa memiliki dari semua elemen yang
terlibat, mulai dari masyarakat, pemerintah, dan industri pariwisata.
Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata Kemenbudpar Firmansyah mengatakan,
pihaknya tidak bisa mendikte, hanya bisa bersifat memfasilitasi. “Kita datang ke
daerah dan melakukan pendekatan kepada mereka, apakah mau kembangkan
daerahnya yang destinasi wisata. Karena destinasi wisata bukan punya pusat, daya
tarik wisata kan punya daerah,” katanya di Gedung Sapta Pesona.
Pihaknya secara terus menerus perlu melakukan pendekatan. Hal ini yang mereka
lakukan saat uji coba DMO di Danau Toba dan Pangandaran. Ia menambahkan
pendekatan tidak bisa dari level atas ke level bawah, melainkan harus bersifat
partisipasi dan bottom up (dari level bawah ke level atas).
“Jadi harus dari masyarakat dulu. Kalau semua sudah mau, baru bisa jalan.
Pendekatan terus-menerus, jadi bisa berkali-kali. Pendekatan juga ke ketua adat
atau tokoh yang dihormati, harus didatangi juga. Masyarakat setempat kita
kumpulin. Kalian sepakat gak tempat dijadikan wisata. PHRI juga ditanya mau gak
buat hotel. Asita dan pemerintah daerah juga ditanya. Sehingga pada akhirnya ada
kesepakatan di antara stakeholder semua,” jelasnya.
Jika telah terjadi kesepakatan bersama, baru kemudian dibuat rencana kerja. Selain
itu juga dibuat kesepakatan untuk target dan indikator keberhasilan.
“Indikator keberhasilan dilihat dari tingkat kunjungan, pelayanan yang baik,
lingkungan tetap terjaga, kesejahteraan masyarakat naik, aktivitas pariwisata naik.
Tapi kan daari awal ini komitmen masyarakat. Jadi disepakati bersama juga target
waktu dan apa yang mau diukur kalau DMO berhasil,” katanya.
Sebagai contoh di Danau Toba, menurut Firmansyah semua pihak akhirnya sepakat
menetapkan target sebagai ukuran keberhasilan, yaitu jumlah kunjungan mencapai
300 ribu wisatawan mancanegara dalam setahun. Mereka juga menetapkan jangka
waktu program selama lima tahun.
“Mereka menyatakan sanggup mendapatkan wisman 300 ribu di tahun 2014. Dulu
Danau Toba dikunjungi sampai 300 ribu wisman. Tapi beberapa tahun belakangan
cuma 100 ribuan saja,” katanya. Staf dan Tenaga Ahli
Kemenbudpar menganggarkan Rp 2 miliar-Rp 4 miliar per DMO untuk memfasilitasi
pertemuan. Untuk tenaga ahli, bisa berasal dari swasta, LSM, lembaga pendidikan
pariwisata, atau tokoh masyarakat. Tenaga ahli yang dipilih adalah yang sudah
terbiasa di kalangan masyarakat setempat dan mengerti budaya dan bahasa
setempat. Serta berpengetahuan tentang pengembangan pariwisata. Firmansyah
juga menjelaskan bahwa instansi pemerintah lain pun dilibatkan.
36. DMO
15-36
“Dinas Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kelautan, dan lain-lain. Misalnya ada jalan
perlu diperbaiki berarti berhubungan dengan PU,” tuturnya.
Saat ditanya apakah yang menjadi kesulitan utama, Firmansyah menjawab,
kesulitan ada di pendekatan. “Pendekatan yang paling sulit, salah masuk bisa keliru.
Banyak yang kita dekati merasa ini proyek. Kita perlu ownership dari masyarakat.
Masyarakat harus merasa memiliki dulu. Ini pedomannya membangun kesadaran
adanya ownership dan trust. Perlu proses untuk mendapatkan inisiatif dan
partisipasi dari masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan jika sebatas proyek dari pemerintah cenderung mendapatkan
penolakan. “Karena masyarakat tidak merasa memiliki. Misalnya pemerintah pusat
membangun obyek wisata, dia merasanya itu milik pusat. Jadi ini kita memulai dari
yang punya tempat. Nantinya yang dapat dia juga. Kalau berhasil yang dapat
daerah juga,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, di Danau Toba memerlukan sampai 15 pertemuan untuk
mencapai kesepakatan.
37. DMO
16-37
Artikel 16 : Ini Tipsnya, Destinasi Masuk Program DMO
http://jambitourism.co.id/ini-tipsnya-destinasi-masuk-program-dmo/
da 15 destinasi wisata yang masuk dalam Destination Management Organization
(DMO) atau tata kelola destinasi. Jika dibandingkan dengan luasnya Indonesia,
angka lima belas terkesan sedikit.
“Dalam Rensra kita untuk tahun 2011-2014 terdapat 29 destinasi wisata untuk
dibenahi. Ada yang kita akan biayai dan harus cepat itu masuk ke dalam DMO.
Yang 15 masuk program DMO. Yang 14 kita kembangkan dulu daya tariknya,” kata
Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata Kemenbudpar, Firmansyah di Gedung
Sapta Pesona Jakarta belum lama ini.
Sementara itu, Deputi Direktur Perencanaan dan Hukum Ditjen Pengembangan
Destinasi Wisata, Frans Teguh mengatakan 14 destinasi tersebut diantaranya
adalah Mentawai, Nias, Karimunjawa, Gunung Tambora, Kepulauan Seribu,
Tanjung Lesung, Togian, Pulau Abang, Sleman, Dieng, dan lain-lain.
“Sebanyak 29 destinasi yang akan dibenahi itu ada di 22 provinsi. Padahal kita
punya 33 provinsi. Yang 11 provinsi masuk dalam PNPM Desa Wisata,” jelas Frans.
Firmansyah mengatakan kajian DMO telah dilakukan pihaknya sejak 2007.
Berbagai pertimbangan membuat pihaknya mengerucutkan destinasi yang perlu
dibenahi.
“Indonesia memiliki 200 lebih destinasi wisata. Saya juga maunya semua ikut DMO.
Tapi uang terbatas, kapasitas terbatas, dan punya waktu terbatas. Kita harus pilih
destinasi untuk jadi lokomotif dan mendorong destinasi yang lain,” katanya.
Pemilihan destinasi yang perlu dibenahi, menurut Firmansyah, berdasarkan tarikan
pasar atau dorongan produk. Ia menjelaskan untuk memoles destinasi yang sudah
ada kunjungan maka memerlukan biaya yang lebih rendah.
“Jadi pasarnya sudah ada, tinggal kita menyempurnakan dan membenahi.
Harapannya dengan modal sedikit, kunjungan bisa naik. Contohnya adalah Danau
Toba dan Toraja,” tuturnya. Pertimbangan lain adalah destinasi yang didorong
karena produk.
“Mana daerah yang punya daya tarik tinggi, berkualitas internasional. Tapi
kunjungan belum banyak atau masih minim dibandingkan kualitas daya tariknya.
Umumnya destinasi dengan wisata bahari,” tambahnya. Ia memberi contoh daerah
Raja Ampat, Derawan, Wakatobi, dan Togian.
“Kalau jumlah kunjungan kita naikkan 50 persen lagi, masih bisa daya tampungnya.
Belum crowded,” ungkapnya. Sebagai uji coba dan pembelajaran, pihaknya telah
memulai DMO di Danau Toba dan Pangandaran sejak 2010. Pengalaman tersebut,
lanjut Firmansyah, akan dipakai untuk mengembangkan 13 destinasi DMO lainnya.
“Di tahun 2011 kita langsung mengerjakan semua 15. Tadinya mau dicicil. Tapi
38. DMO
16-38
kami kemudian yakin untuk langsung mengerjakan DMO 15 destinasi,” katanya.
Lima belas destinasi yang masuk program DMO antara lain Pangandaran (Jawa
Barat), Danau Toba (Sumatera Utara), Komodo-Kelimutu-Flores (NTT), Java
Promo-Borobudur (Jawa Tengah), Bunaken (Sulawesi Utara), Regional Bali-Danau
Batur (Bali), Rinjani (NTB), Kota Tua Jakarta (DKI Jakarta), Toraja (Sulawesi
Selatan), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Raja Ampat (Papua Barat),
Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Derawan
(Kalimantan Timur), dan Sabang (Aceh).
39. DMO
17-39
Artikel 17 : DESTINASI WISATA:
Butuh Waktu 15 Tahun Untuk Kelola Daerah Wisata
http://www.bisnis.com/articles/destinasi-wisata-butuh-waktu-15-tahun-untuk-kelola-
daerah-wisata
menterian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengungkapkan pengembangan
Destination Management Organization butuh waktu panjang sekitar 10--15 tahun
agar terbentuk tata kelola destinasi pariwisata yang komprehensif.
Frans Teguh, Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif menyatakan program DMO harus berkelanjutan hingga
terwujud. "Untuk itu perlu koordinasi dan kemitraan dengan para stakeholder,"
katanya di Bandung, Kamis (13/7/2012).
DMO adalah tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan,
koordinasi, implementasi dan pengendalian organisasi pariwisata di Indonesia. Saat
ini program DMO untuk sementara dicanangkan pada periode 2010-2014.
Berdasarkan pengalaman negara lain, ujarnya, DMO dapat terwujud dalam waktu
10 hingga 15 tahun.
Terdapat 15 DMO yaitu Sabang, Toba, Kota Tua, Pangandaran, Borobudur, Bromo-
Tengger-Semeru, Batur, Rinjani, Flores, Tanjung Puting, Derawan, Toraja,
Bunaken, Wakatobi, dan Raja Ampat. Semua wilayah itu termasuk kawasan
strategis pariwisata nasional seperti Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2011.
Ada beberapa tahap dalam intervensi DMO. Tahap pertama merupakan gerakan
peningkatan ketahanan stakeholder misalnya melalui diskusi bilateral untuk
membangun kesadaran kolektif dalam membangun pariwisata.
Tahap berikutnya pengembangan manajemen. Hal ini untuk menata perencanaan
peta jalan agar jelas apa yang harus dilakukan ke depan.
Tahap ketiga pengembangan bisnis. Yaitu untuk memunculkan kemampuan bisnis
dan kewirausahaan. Tahap terakhir adalah penguatan organisasi kelembagaan.
40. DMO
18-40
Artikel 18 : Kemenparekraf: DMO Adalah Program
Berkelanjutan
http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/kemenparekraf-dmo-adalah-program-
berkelanjutan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menganggap tumbuhnya Destination
Management Organization tidak dapat langsung terwujud dalam jangka waktu
pendek.
Frans Teguh Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif menyatakan program DMO harus berkelanjutan hingga
terwujud.
“Untuk itu perlu koordinasi dan kemitraan dengan para stakeholder,” katanya di
Bandung, Kamis (13/7).
Saat ini program DMO untuk sementara dicanangkan pada periode 2010-2014. Dia
menyebutkan berdasarkan pengalaman di negara lain, DMO dapat terwujud dalam
waktu 10 hingga 15 tahun.
Terdapat 15 DMO yaitu Sabang, Toba, Kota Tua, Pangandaran, Borobudur, Bromo-
Tengger-Semeru, Batur, Rinjani, Flores, Tanjung Puting, Derawan, Toraja,
Bunaken, Wakatobi, dan Raja Ampat.
Semua wilayah itu termasuk kawasan strategis pariwisata nasional seperti
Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2011. (k60/ajz)
41. DMO
19-41
Artikel 19 : Libatkan Masyarakat Lokal Bangun Destinasi
Wisata
http://travel.kompas.com/read/2012/07/18/17132696/Libatkan.Masyarakat.Lokal.Ba
ngun.Destinasi.Wisata
gembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal. Hal tersebut menjadi
salah satu prinsip penting dalam tata kelola destinasi pariwisata atau Destination
Management Organization (DMO).
“Membangun kepariwisataan daerah harus dimulai dari masyarakat lokal. Mereka
yang lebih tahu daerahnya,” ungkap Kasubdit Kawasan Pengembangan Destinasi
Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Torang
Nasution, di Jakarta, Rabu (18/7/2012).
Ia menjelaskan tata kelola suatu destinasi pariwisata harus berbasis pada
masyarakat dan kepuasan wisatawan. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan DMO
harus melibatkan pemangku kepentingan mulai dari masyarakat lokal, industri
pariwisata, pemerintah daerah setempat, dan pemerintah pusat.
Torang mengungkapkan bahwa manajemen destinasi pariwisata di Indonesia masih
rendah. Tata kelola destinasi pariwisata pun harus melalui beberapa tahap, dengan
tahap pertama berupa penguatan gerakan kesadaran kolektif pemangku
kepentingan. “Banyak daerah yang belum paham pentingnya pengembangan
pariwisata daerah,” ungkapnya.
Torang merujuk kepada pemerintah daerah yang belum memiliki kesadaran
pariwisata sehingga daerahnya belum berkembang sebagai destinasi wisata.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonom Kreatif telah menetapkan
15 destinasi sebagai tempat pelaksanaan DMO. Destinasi tersebut untuk Pulau
Sumatera antara lain Danau Toba (Sumatera Utara) dan Sabang (Aceh).
Sementara Pulau Jawa antara lain Pangandaran (Jawa Barat), Java Promo-
Borobudur (Jawa Tengah), Kota Tua Jakarta (DKI Jakarta), dan Bromo-Tengger-
Semeru (Jawa Timur). Daerah Bali dan Nusa Tenggara antara lain Regional Bali-
Danau Batur (Bali), Rinjani (NTB), dan Komodo-Kelimutu-Flores (NTT).
Sedangkan untuk Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, dan Indonesia bagian timur
antara lain Bunaken (Sulawesi Utara), Toraja (Sulawesi Selatan), Raja Ampat
(Papua Barat), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Tanjung Puting (Kalimantan
Tengah), dan Derawan (Kalimantan Timur).
Agar memudahkan dalam pelaksanaan DMO, 15 kawasan ini dibagi ke dalam
empat cluster yaitu kluster heritage (situs bersejarah atau budaya) seperti Kota Tua
dan Toraja, kluster ekowisata seperti Tanjung Puting dan Pangandaran, kluster
geopark seperti Danau Toba dan Danau Batur, dan kluster marine (bahari) seperti
Bunaken.
42. DMO
19-42
Program tersebut telah berlangsung sejak 2010 dan direncanakan akan terus
berjalan hingga 2014. Sejauh ini, Danau Toba dan Pangandaran menjadi dua DMO
yang dinilai sudah memasuki tahap pengembangan manajemen berupa pembuatan
rencana pengelolaan, dan peningkatan kapasitas pengembangan pariwisata,
revitalisasi destinasi, fasilitas, dan akses.
43. DMO
20-43
Artikel 20 : DMO LINDUNGI MASYARAKAT LOKAL DARI
SERBUAN INVESTOR ASING
http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38486/dmo-lindungi-masyarakat-lokal-
dari-serbuan-investor-asing
Program Destination Management Organization (DMO) yang dikembangkan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diharapkan dapat melindungi
masyarakat lokal di daerah tujuan wisata dari serbuan investor asing.
Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Noviendi Makalam dalam seminar
"Peran Industri Perjalanan Dalam Mendukung Pariwisata Kreatif Indonesia" di STP
Bandung, Jumat, mengatakan peran pemerintah dalam DMO tersebut hanya
menjadi fasilitator dan harus minimal.
"Jadi nanti yang benar-benar menggerakkan adalah unsur masyarakat sendiri. Bagi
saya ini adalah penyangga dari serbuan investor atau pelaku usaha pariwisata dari
luar daerah itu," ujarnya.
DMO adalah tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan,
koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi pariwisata di Indonesia yang
ditetapkan pada 2010.
Terdapat 15 lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rencana strategis
industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata yang dikelola
secara profesional dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, yaitu Sabang,
Danau Toba, kawasan kota tua Jakarta, Tanjung Puting, Pangandaran, Borobudur,
Bromo dan Semeru serta kawasan Engger, Danau Batur, Rinjanji, Pulau Komodo,
Wakatobi, Derawan, Tana Toraja, Bunaken, serta Raja Ampat.
Menurut Noviendi, penelitian tentang 15 lokasi DMO itu sedang berjalan dan
diharapkan dapat menghasilkan pengelolaan objek wisata yang profesional di
masing-masing tempat pada 2014.
"Semakin lama bergulirnya semakin kencang sehingga akhirnya masyarakat yang
bisa mengambilalih," ujarnya.
Guna mewujudkan pengelolaan profesional dari masyarakat setempat di masing-
masing obyek wisata, Noviendi menjelaskan, masyarakat lokal perlu diberikan
penguatan pengetahuan, keterampilan, serta perilaku.
Sedangkan kendala permodalan, menurut dia, sebenarnya tidak terlalu menjadi
hambatan karena masyarakat lokal bisa menjadi penggerak pariwisata dengan
membangun fasilitas akomodasi yang bercirikhas keunikan kawasan setempat.
"Itu yang lebih menguntungkan bagi daerah setempat ketimbang hotel-hotel besar
di sana yang investornya dari luar. Kita sekarang masuk ke alam di mana proteksi
itu agak sukar dilakukan, tapi yang perlu kita lakukan adalah kreativitas dari
masyarakat setempat sehingga nilai kompetitifnya meningkat," tuturnya.
44. DMO
20-44
STP Bandung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ditugasi untuk
melakukan kajian ilmiah terhadap 4 lokasi DMO yaitu Gunung Batur di Kabupaten
Bangli, Bali, Borobudur di Magelang, Rinjani di Pulau Lombok, serta Gunung Bromo
di Kabupaten Probolinggo.
Kajian ilmiah tersebut melibatkan para mahasiwa STP Bandung jurusan perjalanan
Program Studi Industri Perjalanan yang didampingi oleh dosen pembimbing untuk
melakukan penelitian lapangan selama 4 pekan di masing-masing lokasi.
Hasil penelitian tersebut kemudian disajikan pada seminar berlangsung di Dome
STP Bandung, Jumat, yang langsung ditanggapi oleh masing-masing pemangku
kepentingan di daerah terkait seperti Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli I
Wayan Gobang Adi Sucipto, Kepala Desa Probolinggo Supoyo, RTMB Gunung
Rinjani RTMB, dan pengelola unit taman wisata Candi Borobudur.
Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, Frans Teguh, mengatakan hasil kajian mahasiswa STP Bandung tersebut
akan menjadi bahan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan.
45. DMO
21-45
Artikel 21 : Kemenparekraf Tata Manajemen Organisasi
Rinjani
http://www.suarantb.com/2012/07/18/Sosial/detil1%203.html
Besarnya potensi yang dimiliki Gunung Rinjani di bidang pariwisata dan sektor lain
membutuhkan penataan di berbagai bidang dan sektor. Adanya penataan di
kawasan Rinjani, khususnya Destination Management Organization (DMO) atau
penataan manajemen organisasi, Rinjani sebagai kawasan wisata strategis nasional
akan menjadi lebih berkembang.
Menurut Tim Ahli DMO Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Kemenparekraf) Ary Suhadi, Rinjani menjadi 1 daerah destinasi wisata di Indonesia
yang akan segera ditata manajemen organisasinya. ‘’Sekarang ini, Rinjani sudah
masuk tahap dua. Apalagi Rinjani merupakan salah satu model, karena sudah ada
RTMB (Rinjani Trekking Management Board). Selama ini, RTMB hanya fokus di
trekking saja,’’ ungkapnya pada wartawan usai acara Workshop Penyusunan DMO,
Identifikasi Potensi Pegembangan Produk Ekonomi, Tata Kelola Kawasan Rinjani di
Mataram, Selasa (17/7) kemarin.
Adanya penataan manajemen ini, ungkapnya, Rinjani tidak lagi hanya terfokus pada
pengelolaan trekking semata, tapi fokus pada objek lain yang mampu memberikan
nilai tambah pada pengembangan Rinjani ke depan. Terlebih, kawasan Rinjani tidak
dikelola oleh satu daerah, tapi ada 4 daerah yang terlibat di dalamnya, yakni
Lombok Timur, Lombok Utara, Lombok Barat dan Pemprov NTB
Dari penataan ini, harapnya, 4 daerah yang terlibat langsung dalam pengelolaan ini
bisa merasakan manfaat dari perkembangan objek wisata Rinjani di masa
mendatang. Adanya kesamaan program dari 4 pemerintah daerah dengan pihak
yang terlibat di DMO Rinjani bisa menghasilkan tata kelola destinasi yang baik dan
diakui dunia.
Ary mencontohkan, tata kelola DMO Langkawi Malaysia. Penataan objek wisata
yang sudah mendunia ini memiliki sistem terpusat, sehingga perkembangan objek
wisata ini menjadi kebanggaan warga Malaysia. Meski demikian, pihaknya tidak
akan mengikuti sistem tata kelola di luar, tapi bagaimana mampu menjadikan objek
wisata di Indonesia banyak dikunjungi wisatawan. ‘’Kita akan berusaha mengelola
dengan cara kita sendiri. Tapi khusus untuk Rinjani, kita targetkan 2014 sudah
selesai. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa saja selesai 10 tahun,’’ ujarnya.
Selain Rinjani, Kemenparekraf juga menata 14 kawasan lain, yakni Danau Toba –
Sumatera Utara, Sabang di Aceh, kawasan Kota Tua Jakarta, Tanjung Putting,
Borobudur, Gunung Bromo, Gunung Semeru dan Gunung Tengger, Danau Batur,
Pulau Komodo, Wakatobi, Derawan, Tana Toraja, Bunaken dan Raja Ampat.
46. DMO
22-46
Artikel 22 : Pakar Pariwisata Dunia Akan Bahas Wisata RI
http://travel.kompas.com/read/2011/09/13/15024871/Pakar.Pariwisata.Dunia.Akan.B
ahas.Wisata.RI
Para pakar pariwisata dunia dari berbagai negara akan kumpul di Labuan Bajo,
Nusa Tenggara Timur. Mereka hadir untuk memberikan masukan dan membahas
tata kelola destinasi pariwisata yang tengah dan akan diterapkan di beberapa
destinasi wisata Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Firmansyah
Rahim dalam jumpa pers rencana Konferensi Nasional DMO 2011 di Gedung Sapta
Pesona, Jakarta, Selasa (13/9/2011). Pihaknya akan kembali melaksanakan
Konferensi Nasional Destination Management Organization (DMO) atau Organisasi
Tata Kelola Destinasi Pariwisata.
Tahun ini, konferensi tersebut dilaksanakan di Hotel Jayakarta Suites, Labuan Bajo,
Flores, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 21 hingga 22 September 2011
mendatang. Sebelumnya di tahun 2010, Kemenbudpar pernah mengadakan
konferensi serupa.
"Tujuan pembentukan DMO ini supaya destinasi pariwisata Indonesia dikelola lebih
profesional, bermutu, dan memiliki daya saing global," kata Firmansyah. Ia
menuturkan model pengelolaan destinasi dengan konsep DMO telah diterapkan di
berbagai negara dan akan dipresentasikan dalam pertemuan tersebut.
Ia menjelaskan konferensi DMO 2011 bertemakan "Project Conference on
Destination Management in Flores". Melalui tema ini diharapkan para peserta bisa
memperoleh penguatan dan solusi alternatif terhadap kendala teknis, manajerial,
dan finansial dalam pengembangan DMO. Rencananya, lanjut Firmansyah,
konferensi akan dihadiri oleh 150 peserta pemangku kepentingan pariwisata di
seluruh Indonesia.
Sementara itu narasumber internasional yang akan hadir antara lain Alastair
Morisson dari Belle Tourism, Ly Vanna (Ankor Museum APSARA), Juergen Nauber
(UNWTO Consulting Unit), dan dari Swisscontact and Cluster Flores. Selain itu,
konferensi ini juga menghadirkan narasumber lain di bidang pariwisata.
Beberapa tokoh lain yang akan memaparkan pemikirannya adalah I Gde Ardika, Fr
Philipus Tule, Yuwana Mardjuka, Bupati Manggarai Barat, Dr Baiquni, dan dari
sejumlah kementerian RI.
Yuwana Mardjuka selaku fasilitator program DMO Kota Tua (Jakarta) dan pakar
pariwisata, mengungkapkan bahwa rangkaian acara konferensi ini akan menjadi
pematangan tata kelola organisasi di daerah-daerah pariwisata Indonesia.
“Proses pendewasaan konsep DMO ini diharapkan dapat mematangkan
pelaksanaan pengembangan 15 daerah pariwisata yang dilakukan dari, oleh, dan
untuk masyarakat lokal,” ungkap Yuwana.
47. DMO
22-47
Terdapat 15 destinasi pariwisata yang akan dikembangkan dengan menerapkan
konsep DMO dalam kurun waktu 2010 hingga 2015 mendatang. Destinasi
pariwisata tersebut antara lain Kota Tua (Jakarta), Pangandaran (Jabar), Borobudur
(Jateng), Bromo-Tengger-Semeru (Jatim), Toba (Sumut), Sabang (NAD), Danau
Batur (Bali), Rinjani (NTB), Komodo-Kelimutu-Flores (NTT), Tanjung Puting
(Kalteng), Derawan (Kaltim), Toraja (Sulsel), Bunaken (Sulut), Wakatobi (Sulawesi
Utara), dan Raja Ampat (Papua).
Saat penyelenggaraan konferensi nanti, beberapa perwakilan dari 15 kawasan
DMO akan menyajikan pameran mengenai destinasi wisata di masing-masing
daerahnya. Dalam konferensi tersebut para peserta akan difasilitasi untuk
melakukan technical visit. Kegiatan technical visit tersebut antara lain mengunjungi
Pulau Komodo dan Pulau Rinca, kegiatan ekowisata di Desa Tado, dan lain
sebagainya.
“Salah satu sektor paling potensial untuk mempercepat penyerapan tenaga kerja
dengan cepat adalah sektor pariwisata. Kemudian Kemenbudpar ditugaskan untuk
mempercepat pertumbuhan pariwisata di daerah-daerah Indonesia,” jelas
Firmansyah.
DMO hadir karena perkembangan pariwisata Indonesia yang semakin pesat. Setiap
destinasi diperlukan tata kelola yang terarah dan profesional untuk menaikkan daya
saing global. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemenbudpar melaksanakan
program pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan
berbasiskan proses yang dikenal sebagai DMO.
Salah satu titik berat agar DMO berhasil adalah partisipasi langsung dari
masyarakat setempat. Juga perlu adanya kerjasama antara masyakarat, tokoh adat,
industri pariwisata lokal, dan juga instansi pemerintah setempat. Kemudian secara
bersama-sama mereka menetapkan target keberhasilan DMO dalam jangka waktu
tertentu. Serta program-program apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai
target itu.
48. DMO
23-48
Artikel 23 : Danau Toba-Pangandaran Uji Coba DMO
http://travel.kompas.com/read/2011/02/24/09201543/Danau.Toba-
Pangandaran.Uji.Coba.DMO
Danau Toba, Sumatera Utara dan Pangandaran, Jawa Barat menjadi uji coba
program Destination Management Organization (DMO) atau organisasi tata kelola
destinasi. Program tersebut dijalankan Kemenbudpar untuk meningkatkan kualitas
dan daya saing destinasi pariwisata Indonesia.
"Tahun lalu untuk Danau Toba kita kumpulkan stakeholder, pelaku pariwisata,
masyarakat setempat, pemda. Telah terjadi diskusi-diskusi mulai dari tingkat
masyarakat. Total ada 15 pertemuan di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional,"
ungkap Dirjen Pengembangan Pariwisata, Firmansyah pada acara pelaporan Rapat
Kerja Teknis Destinasi Pariwisata, di Hotel Alila Jakarta, Rabu (23/2/2011).
Diskusi yang muncul, lanjutnya, untuk mencari rekomendasi apa yang dibutuhkan
Danau Toba agar dikunjungi wisatawan lagi. "Dulu Danau Toba dikunjungi 300 ribu
wisatawan mancanegara. Tapi tahun 2008 drop jadi cuma 50 ribu. Sekarang 150
ribu wisman," katanya.
Ia menambahkan DMO kemudian melakukan kajian bahwa masyarakat sekitar
Danau Toba kurang mendapat manfaat dari pariwisata. Selain itu, infrastruktur
seperti jalan tidak memadai, serta hotel dan biro perjalanan tidak sinergi. Hasil dari
pertemuan-pertemuan tersebut kemudian dibuat action plan yang merupakan
kesepakatan bersama segala pihak.
"Action plan mulai dijalankan tahun ini. Untuk satu DMO perlu waktu 5-10 tahun
pengembangan. Kesepakatan bersama untuk Danau Toba, ukuran keberhasilan
2014 harus bisa mencapai 360 ribu kunjungan wisman," jelasnya.
Sementara itu Pangandaran dulu ramai dikunjungi wisatawan. Menurut Firmansyah
saat tsunami kunjungan anjlok. Kini sudah mulai meningkat walau tidak seramai
sebelum tsunami.
Ia menambahkan di Pangandaran akan ada beberapa lokasi yang dikembangkan
pembangkit listrik menggunakan tenaga angin. Karena salah satu kendala wisata di
kawasan ini adalah ketersediaan pasokan listrik. Di tahun 2011, terdapat 15
destinasi sebagai tempat pelaksanaan DMO.
Destinasi tersebut antara lain Pangandaran (Jawa Barat), Danau Toba (Sumatera
Utara), Komodo-Kelimutu-Flores (NTT), Java Promo-Borobudur (Jawa Tengah),
Bunaken (Sulawesi Utara), Regional Bali-Danau Batur (Bali), Rinjani (NTB), Kota
Tua Jakarta (DKI Jakarta), Toraja (Sulawesi Selatan), Bromo-Tengger-Semeru
(Jawa Timur), Raja Ampat (Papua Barat), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Tanjung
Puting (Kalimantan Tengah), Derawan (Kalimantan Timur), dan Sabang (Aceh).