Dokumen ini membahas tantangan pelayanan publik di Indonesia dan pentingnya sinergi antar instansi pemerintah. Ia mengungkapkan bagaimana budaya gotong royong pada masyarakat tradisional Indonesia telah memudar akibat kolonialisme dan menyebabkan fragmentasi birokrasi. Dokumen ini menekankan perlunya merevitalisasi nilai-nilai persatuan dan kebersamaan untuk memperkuat kerja sama antar instansi guna meningkatkan kinerja pemer
Kualitas Pelayanan Publik dan Sinergitas Birokrasi
1. Kualitas Pelayanan Publik &
Sinergitas Birokrasi
Disampaikan pada Pelatihan Revolusi Mental Angkatan 3 dan 4
PKP2A I LAN Jatinangor, 12 Februari 2018
Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
Jl. Veteran No. 10 Jakarta
http://inovasi.lan.go.id
PEDULIINOVATIFINTEGRITAS PROFESIONAL Dr. Tri Widodo W. Utomo, MA
2. Prolog: Tantangan Pelayanan Publik
Sumber: CSIS, 2017, Rilis dan Konferensi Pers Survei Nasional CSIS 2017, “Ada Apa Dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik”
3. Prolog: Tantangan Pelayanan Publik
Sumber: Ombudsman, 2016, “Hasil Penilaian
Kepatuhan Terhadap Standar
Pelayanan dan Kompetensi
Penyelenggara Pelayanan Sesuai UU
No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik
Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik
o Kementerian/Lembaga
o Pemerintah Provinsi
o Pemerintah Kabupaten
o Pemerintah Kota
5. WHY ???
Apa yang terjadi dengan Indonesia?
Apa yang menyebabkan kinerja bangsa kita
jauh tertinggal dibanding negara lain?
Mengapa sumber daya alam berlimpah tidak
menjelma menjadi sumber kesejahteraan
rakyat?
Seperti apa karakter / mentalitas bangsa ini?
Benarkah kita adalah bangsa pemalas?
Mengapa terdapat fenomena kehidupan pemerintahan dan
pelayanan publik justru semakin terfragmentasi di era kekinian?
7. Malas: Akar Budaya Pribumi?
MALAS adalah warisan
kolonial yang harus
dikikis habis !!
Menurut Djoko, secara tidak langsung
istilah “mangan ora mangan sing
penting kumpul” adalah konsep
kolonial. Pihak kolonial, dalam hal ini
VOC, secara tak langsung “memaksa”
warga untuk makan tidak makan yang
penting berkumpul. Tujuannya agar
jumlah “karya” di situ tidak berkurang.
8. Karakter Gotong Royong Masyarakat Tradisional
Asal Mula:
“HELP, IETS ONTILBAARS” (Tolong, ada
barang yang tidak terangkat!) yang
diteriakkan oleh salah satu awak kapal milik
VOC dan seluruh awak saling bantu untuk
mengangkat barang. Konon terjadi pada abad
16-17, ketika kapal milik VOC berlabuh di
Tuban dan pada saat bongkar muatan awak
kapalnya meneriakan kalimat tersebut.
10. Karakter Gotong Royong Masyarakat Tradisional
SAIYEG SAEKA PRAYA:
Penari SAMAN nomor 9 disebut
Pengangkat, nomor 8 dan 10 disebut
Pengapit, nomor 2-7 dan 11-16
disebut Penyepit, nomor 1 dan 17
disebut Penupang.
Penari nomor 9 (tengah, sentral,
pusat, raja, Aji) pembawa berkah
SAKA (tiang, tonggak, saka=dari,
bersumber dari kebijakan, karya
tangan=hasta) yang didukung, diapit
8 (HASTA) penari (keindahan,
keluwesan, prigel=terampil) di kiri
dan 8 (BRATA) penari di kanan dalam
wujud bakti, membaktikan hal baik,
demi kesejahteran masyarakat,
kepada kedua sisi baik sisi kiri
maupun sisi kanan, ‘karya ‘nak
tyasing sasami’.
11. “… Mohammad Yamin. seorang pemuda kelahiran Sawah Lunto
yang mewakili organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Dari
belahan timur Indonesia, kita menemukan pemuda bernama
Johannes Leimena, kelahiran kota Ambon, mewakili organisasi
pemuda Jong Ambon. Ada juga Katjasungkana dari Madura, ada
juga Cornelis Lefrand Senduk, mewakili organisasi pemuda
Sulawesi, Jong Celebes.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana seorang Mohammad
Yamin dari Sawah Lunto dapat bertemu dengan Johannes
Leimena dari Ambon? Pernahkah kita membayangkan
bagaimana seorang Katjasungkana dari Madura dapat bertemu
dengan Lefrand Senduk dari Sulawesi?
Bukan hanya bertemu, tapi mereka juga berdiskusi, bertukar
pikiran, mematangkan gagasan hingga akhirnya bersepakat
mengikatkan diri dalam komitmen keindonesiaan. Padahal,
jarak antara Sawah Lunto dengan kota Ambon, lebih dari 4.000
kilometer. Hampir sama dengan jarak antara kota Jakarta ke kota
Shanghai di China. Sarana transportasi umum saat itu, masih
mengandalkan laut. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk
bisa sampai ke kota mereka.”
(Pidato Menpora Imam Nahrowi
pada peringatan Hari Sumpah
Pemuda Tahun 2017)
12. Dekadensi Nilai Gotong Royong?
Ilustrasi diatas mencerminkan bahwa sinergi
dan kolaborasi adalah spirit asli bangsa
Indonesia;
Dalam perjalanan kehidupan bangsa & negara,
terjadi distorsi secara perlahan akibat
kolonialisme yang terlalu lama dan
membentuk budaya tidak produktif sebagai
bangsa;
Budaya kurang produktif terbawa kedalam
struktur birokrasi dalam wujud mental silo,
egoisme sektor, dan fragmentasi birokrasi;
Gerakan Nasional Revolusi Mental ingin
memperkokoh kembali identitas budaya
bangsa yang berbasis kebersamaan, persatuan,
dan gotong royong (whole of government).
13. Fragmentasi & Gejala Lunturnya Gotong Royong
Agus Dwiyanto, 2015, UGM Press, hal. x
20. There are so many things to do …
Butuh imajinasi untuk melihat “big picture” organisasi;
Butuh keberanian untuk meninggalkan kebiasaan lama yang tidak
produktif (to unlearn), dan membiasakan kebaruan (to learn), serta
meredefinisikan atau memaknai secara berbeda tradisi lama (to
relearn);
Butuh kehendak untuk mengikis egoisme dengan membangun Big Data
yang merupakan akumulasi scattered-data. Tidak harus menjadi pejabat
tinggi atau politisi untuk menjadi negarawan. Setiap anak negeri wajib
menjadi negarawan sejati.
Butuh inovasi berkelanjutan menjadi keniscayaan dalam melakukan
revolusi karakter bangsa untuk mewujudkan pelayanan kelas dunia.
Butuh warga negara dengan karakter “revolusi mental”.