Kompartemen merupakan subpopulasi hewan yang dipisahkan secara epidemiologis berdasarkan manajemen dan praktik budidaya. Kompartemen harus memenuhi 7 kriteria OIE yaitu prinsip penetapan, pemisahan epidemiologi, dokumentasi, surveilans, diagnostik, respons darurat, dan supervisi. Otoritas veteriner bertanggung jawab mengatur dan mengawasi kompartemen sesuai standar OIE.
Kompartemen Bebas African Swine Fever (ASF) - Ditkeswan, Jakarta, 16-17 Maret...Tata Naipospos
[Ringkasan]
Audit dan re-audit kompartemen bebas ASF merupakan hal penting untuk menjaga status bebas penyakit. Prinsip-prinsip penting dalam menentukan kompartemen adalah pemisahan epidemiologi, standar operasional prosedur, dan kontrol pergerakan ternak. Surveilans internal dan eksternal dilakukan untuk mendeteksi dini kemungkinan infeksi ASF di dalam kompartemen.
Persyaratan Status Bebas Brucellosis Berdasarkan OIE - Ditkeswan-BPTUHPT Batu...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas persyaratan status bebas Brucellosis menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Secara umum, dibahas status bebas pada tingkat negara, zona, dan kelompok ternak, baik dengan atau tanpa vaksinasi. Juga dijelaskan definisi komponen-komponen penting seperti kasus, infeksi, zona, dan kelompok ternak.
Mungkinkah Kompartemen Bebas PMK di Indonesia? - Ditkeswan, Jakarta, 12-13 Ju...Tata Naipospos
1. Kompartemen bebas PMK sangat sulit untuk diterapkan karena PMK sangat menular dan sulit dikendalikan serta dihapuskan.
2. Belum ada pedoman khusus atau contoh implementasi kompartemen bebas PMK di negara lain.
3. Negara endemik PMK cenderung menerapkan program pencapaian status bebas melalui pendekatan negara atau zona, bukan kompartemen.
Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta...Tata Naipospos
Lokakarya membahas strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit brucellosis pada sapi di Indonesia, dengan tujuan mencapai status bebas brucellosis pada tahun 2025. Strategi utama meliputi surveilans, uji dan pemotongan hewan reaktor, vaksinasi, serta peningkatan kesadaran masyarakat."
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...Tata Naipospos
Tiga metode utama surveilans penyakit mulut dan kuku menurut standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) adalah surveilans klinis, virulogis, dan serologis. Surveilans klinis melibatkan pelaporan kasus mencurigakan oleh peternak dan dokter hewan serta pemeriksaan klinis untuk konfirmasi. Surveilans virulogis digunakan untuk isolasi virus dan karakterisasi epidemiologi. Sedangkan surveilans serologis bert
Kompartemen Bebas African Swine Fever (ASF) - Ditkeswan, Jakarta, 16-17 Maret...Tata Naipospos
[Ringkasan]
Audit dan re-audit kompartemen bebas ASF merupakan hal penting untuk menjaga status bebas penyakit. Prinsip-prinsip penting dalam menentukan kompartemen adalah pemisahan epidemiologi, standar operasional prosedur, dan kontrol pergerakan ternak. Surveilans internal dan eksternal dilakukan untuk mendeteksi dini kemungkinan infeksi ASF di dalam kompartemen.
Persyaratan Status Bebas Brucellosis Berdasarkan OIE - Ditkeswan-BPTUHPT Batu...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas persyaratan status bebas Brucellosis menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Secara umum, dibahas status bebas pada tingkat negara, zona, dan kelompok ternak, baik dengan atau tanpa vaksinasi. Juga dijelaskan definisi komponen-komponen penting seperti kasus, infeksi, zona, dan kelompok ternak.
Mungkinkah Kompartemen Bebas PMK di Indonesia? - Ditkeswan, Jakarta, 12-13 Ju...Tata Naipospos
1. Kompartemen bebas PMK sangat sulit untuk diterapkan karena PMK sangat menular dan sulit dikendalikan serta dihapuskan.
2. Belum ada pedoman khusus atau contoh implementasi kompartemen bebas PMK di negara lain.
3. Negara endemik PMK cenderung menerapkan program pencapaian status bebas melalui pendekatan negara atau zona, bukan kompartemen.
Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta...Tata Naipospos
Lokakarya membahas strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit brucellosis pada sapi di Indonesia, dengan tujuan mencapai status bebas brucellosis pada tahun 2025. Strategi utama meliputi surveilans, uji dan pemotongan hewan reaktor, vaksinasi, serta peningkatan kesadaran masyarakat."
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...Tata Naipospos
Tiga metode utama surveilans penyakit mulut dan kuku menurut standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) adalah surveilans klinis, virulogis, dan serologis. Surveilans klinis melibatkan pelaporan kasus mencurigakan oleh peternak dan dokter hewan serta pemeriksaan klinis untuk konfirmasi. Surveilans virulogis digunakan untuk isolasi virus dan karakterisasi epidemiologi. Sedangkan surveilans serologis bert
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas peran dokter hewan dalam mengendalikan resistensi antimikroba di sektor kesehatan hewan. Dokter hewan bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan antibiotik pada hewan dilakukan dengan tepat dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik bagi hewan dan manusia. Dokter hewan perlu menerapkan prinsip penggunaan antibiotik yang bijak, seperti hanya menggunakan antibiotik berdasark
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit mulut dan kuku (PMK), termasuk penjelasan tentang penyakit tersebut, dampaknya, epidemiologi, dan kesiagaan darurat untuk penanggulangannya.
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang lumpy skin disease (LSD) dari perspektif global. LSD merupakan penyakit menular yang penting secara ekonomi yang menyerang sapi. Penyakit ini telah menyebar dari Afrika ke berbagai belahan dunia. Perubahan iklim diduga berperan dalam penyebaran internasional penyakit ini. Pengendalian LSD meliputi vaksinasi, pembatasan lalu lintas ternak, dan pemusnahan hewan terinfeksi.
Kewaspadaan Penyakit Eksotik di Wilayah Indonesia - Rakornas Kepri, Tanjung P...Tata Naipospos
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan penyakit zoonosis antara lain evolusi agen patogen, perubahan demografi dan perilaku manusia, serta perubahan lingkungan seperti perubahan iklim dan ekosistem. Pendekatan One Health diperlukan untuk mengelola ancaman kesehatan di antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. Surveilans berbasis masyarakat, deteksi dini, serta kerja sama multi disiplin perlu ditingkatkan unt
Mempertahankan Status Bebas PMK Indonesia Sesuai Ketentuan OIE - Pusvetma, Su...Tata Naipospos
1) Dokumen tersebut membahas pentingnya mempertahankan status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sesuai ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). 2) Untuk mempertahankan status bebas, Indonesia perlu memenuhi persyaratan surveilans, deteksi dini kasus, dan pengendalian impor yang ketat. 3) Dokumen ini juga menjelaskan manfaat mempertahankan status bebas PMK bagi ketahanan pangan dan perdagangan
Situasi, Epidemiologi dan Mitigasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Daring Pusat KH...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang situasi, epidemiologi, dan mitigasi penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada sapi. LSD disebabkan oleh virus yang menyebabkan demam, nodul kulit, dan penurunan produktivitas sapi. Penyakit ini menyebar dengan bantuan vektor seperti lalat dan caplak, serta perdagangan sapi yang tidak terkendali. Upaya pengendalian meliputi vaksinasi, pengendalian vektor dan lalu lintas sapi
Potensi Kerugian Ekonomi Akibat PMK - Suatu Laporan ke OIE - LSM PATAKA, Jaka...Tata Naipospos
Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menjelaskan bahwa PMK dapat menyebabkan kerugian finansial besar bagi peternak dan ekonomi nasional Indonesia. Estimasi kerugian tahunan akibat PMK di tingkat nasional mencapai Rp 9,9 triliun (US$ 761,3 juta), terdiri atas kerugian produksi, ekspor, dan dampak tidak langsung seperti pariwisata."
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas penerapan konsep One Health dan biosekuriti di peternakan dan pasar unggas untuk mencegah zoonosis dan resistensi antibiotik. Konsep One Health menekankan hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, sementara biosekuriti bertujuan untuk mengelola risiko penyakit dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan. Dokumen ini menjelaskan pentingnya pendekatan terintegrasi antarsektor dalam
Potensi dampak ekonomi apabila terjadi wabah penyakit mulut-dan-kuku di Indon...Tata Naipospos
Potensi kerugian ekonomi yang besar apabila terjadi wabah penyakit mulut dan kuku di Indonesia. Populasi ternak yang rentan sangat besar dengan biaya pengendalian yang tinggi, termasuk biaya pemusnahan ternak terinfeksi. Keterlambatan deteksi akan memperburuk dampak ekonominya dengan meluasnya wilayah wabah.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan dan rekomendasi terkait pengendalian dan penanganan wabah African Swine Fever di Indonesia. Beberapa poin penting yang disarankan antara lain melakukan surveilans pasif, meningkatkan biosekuritas di peternakan babi, dan melakukan pemulihan produksi hanya setelah kandang dikosongkan selama 4-6 bulan beserta penggunaan babi sentinel.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...Tata Naipospos
Tiga penyakit hewan penting yaitu African Swine Fever (ASF), Lumpy Skin Disease (LSD), dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah menyebar ke beberapa negara dan wilayah di Indonesia. Untuk mengendalikan penyebarannya diperlukan kerja sama antar instansi terkait melalui penguatan sistem surveilans, penerapan tindakan biosekuriti yang ketat, serta manajemen risiko dan komunikasi yang tepat.
Penyakit-penyakit Hewan Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Animal Diseases) - ...Tata Naipospos
Dokumen ini membahas tentang penyakit-penyakit hewan yang wajib dilaporkan secara internasional dan nasional serta kewajiban melaporkan penyakit hewan menular di Indonesia."
Kompartementalisasi adalah konsep pemisahan subpopulasi hewan berdasarkan manajemen biosekuriti dan status kesehatan hewan. Kompartemen harus memenuhi standar OIE terkait biosekuriti, surveilans, penelusuran, dan dokumentasi untuk mendapat pengakuan sebagai unit terpisah secara epidemiologi. Negara pengekspor dan pengimpor harus bekerja sama dalam proses pengakuan kompartemen untuk memfasilitasi perdagangan internasional.
Sistim Biosekuriti Pembibitan Sapi Potong Dalam Rangka Kompartemen Bebas Peny...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas sistim biosekuriti pembibitan sapi potong dalam rangka kompartemen bebas penyakit. Secara ringkas, dokumen tersebut menjelaskan:
1) Konsep kompartemen bebas penyakit menurut OIE untuk memisahkan subpopulasi hewan berdasarkan manajemen dan praktik peternakan.
Peran Dokter Hewan Dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba - Webinar Ditjen...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas peran dokter hewan dalam mengendalikan resistensi antimikroba di sektor kesehatan hewan. Dokter hewan bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan antibiotik pada hewan dilakukan dengan tepat dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik bagi hewan dan manusia. Dokter hewan perlu menerapkan prinsip penggunaan antibiotik yang bijak, seperti hanya menggunakan antibiotik berdasark
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang penyakit mulut dan kuku (PMK), termasuk penjelasan tentang penyakit tersebut, dampaknya, epidemiologi, dan kesiagaan darurat untuk penanggulangannya.
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang lumpy skin disease (LSD) dari perspektif global. LSD merupakan penyakit menular yang penting secara ekonomi yang menyerang sapi. Penyakit ini telah menyebar dari Afrika ke berbagai belahan dunia. Perubahan iklim diduga berperan dalam penyebaran internasional penyakit ini. Pengendalian LSD meliputi vaksinasi, pembatasan lalu lintas ternak, dan pemusnahan hewan terinfeksi.
Kewaspadaan Penyakit Eksotik di Wilayah Indonesia - Rakornas Kepri, Tanjung P...Tata Naipospos
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan penyakit zoonosis antara lain evolusi agen patogen, perubahan demografi dan perilaku manusia, serta perubahan lingkungan seperti perubahan iklim dan ekosistem. Pendekatan One Health diperlukan untuk mengelola ancaman kesehatan di antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. Surveilans berbasis masyarakat, deteksi dini, serta kerja sama multi disiplin perlu ditingkatkan unt
Mempertahankan Status Bebas PMK Indonesia Sesuai Ketentuan OIE - Pusvetma, Su...Tata Naipospos
1) Dokumen tersebut membahas pentingnya mempertahankan status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sesuai ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). 2) Untuk mempertahankan status bebas, Indonesia perlu memenuhi persyaratan surveilans, deteksi dini kasus, dan pengendalian impor yang ketat. 3) Dokumen ini juga menjelaskan manfaat mempertahankan status bebas PMK bagi ketahanan pangan dan perdagangan
Situasi, Epidemiologi dan Mitigasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Daring Pusat KH...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang situasi, epidemiologi, dan mitigasi penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada sapi. LSD disebabkan oleh virus yang menyebabkan demam, nodul kulit, dan penurunan produktivitas sapi. Penyakit ini menyebar dengan bantuan vektor seperti lalat dan caplak, serta perdagangan sapi yang tidak terkendali. Upaya pengendalian meliputi vaksinasi, pengendalian vektor dan lalu lintas sapi
Potensi Kerugian Ekonomi Akibat PMK - Suatu Laporan ke OIE - LSM PATAKA, Jaka...Tata Naipospos
Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menjelaskan bahwa PMK dapat menyebabkan kerugian finansial besar bagi peternak dan ekonomi nasional Indonesia. Estimasi kerugian tahunan akibat PMK di tingkat nasional mencapai Rp 9,9 triliun (US$ 761,3 juta), terdiri atas kerugian produksi, ekspor, dan dampak tidak langsung seperti pariwisata."
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas penerapan konsep One Health dan biosekuriti di peternakan dan pasar unggas untuk mencegah zoonosis dan resistensi antibiotik. Konsep One Health menekankan hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, sementara biosekuriti bertujuan untuk mengelola risiko penyakit dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan. Dokumen ini menjelaskan pentingnya pendekatan terintegrasi antarsektor dalam
Potensi dampak ekonomi apabila terjadi wabah penyakit mulut-dan-kuku di Indon...Tata Naipospos
Potensi kerugian ekonomi yang besar apabila terjadi wabah penyakit mulut dan kuku di Indonesia. Populasi ternak yang rentan sangat besar dengan biaya pengendalian yang tinggi, termasuk biaya pemusnahan ternak terinfeksi. Keterlambatan deteksi akan memperburuk dampak ekonominya dengan meluasnya wilayah wabah.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan dan rekomendasi terkait pengendalian dan penanganan wabah African Swine Fever di Indonesia. Beberapa poin penting yang disarankan antara lain melakukan surveilans pasif, meningkatkan biosekuritas di peternakan babi, dan melakukan pemulihan produksi hanya setelah kandang dikosongkan selama 4-6 bulan beserta penggunaan babi sentinel.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...Tata Naipospos
Tiga penyakit hewan penting yaitu African Swine Fever (ASF), Lumpy Skin Disease (LSD), dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah menyebar ke beberapa negara dan wilayah di Indonesia. Untuk mengendalikan penyebarannya diperlukan kerja sama antar instansi terkait melalui penguatan sistem surveilans, penerapan tindakan biosekuriti yang ketat, serta manajemen risiko dan komunikasi yang tepat.
Penyakit-penyakit Hewan Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Animal Diseases) - ...Tata Naipospos
Dokumen ini membahas tentang penyakit-penyakit hewan yang wajib dilaporkan secara internasional dan nasional serta kewajiban melaporkan penyakit hewan menular di Indonesia."
Kompartementalisasi adalah konsep pemisahan subpopulasi hewan berdasarkan manajemen biosekuriti dan status kesehatan hewan. Kompartemen harus memenuhi standar OIE terkait biosekuriti, surveilans, penelusuran, dan dokumentasi untuk mendapat pengakuan sebagai unit terpisah secara epidemiologi. Negara pengekspor dan pengimpor harus bekerja sama dalam proses pengakuan kompartemen untuk memfasilitasi perdagangan internasional.
Sistim Biosekuriti Pembibitan Sapi Potong Dalam Rangka Kompartemen Bebas Peny...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas sistim biosekuriti pembibitan sapi potong dalam rangka kompartemen bebas penyakit. Secara ringkas, dokumen tersebut menjelaskan:
1) Konsep kompartemen bebas penyakit menurut OIE untuk memisahkan subpopulasi hewan berdasarkan manajemen dan praktik peternakan.
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...Tata Naipospos
Tiga persyaratan utama untuk mendapatkan status negara/zona bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) adalah:
1. Tidak ada kasus PMK selama minimal 12 bulan terakhir
2. Dilaksanakannya surveilans rutin untuk mendeteksi gejala klinis PMK
3. Diterapkannya tindakan regulasi untuk mencegah dan mendeteksi dini PMK"
KARS mengatur enam sasaran keselamatan pasien untuk meningkatkan keselamatan di rumah sakit. Sasaran-sasaran ini meliputi ketepatan identifikasi pasien, komunikasi yang efektif, keamanan obat, kepastian prosedur operasi, mengurangi risiko infeksi, dan mengurangi risiko jatuh pasien.
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...Tata Naipospos
Optimalisasi peran karantina hewan sebagai otoritas veteriner di perbatasan dalam konteks pengendalian penyakit membahas pentingnya karantina hewan untuk mencegah penyebaran penyakit menular antar negara dan mengatur impor hewan dan produk hewannya. Dokumen ini juga membahas perlunya koordinasi yang baik antara berbagai otoritas terkait untuk menjalankan fungsi karantina hewan secara efektif.
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang komunikasi risiko pemasukan ternak dan produk hewan dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku. Terdapat beberapa poin penting yaitu penggunaan konsep zona dan kompartemen untuk memfasilitasi perdagangan dengan mengurangi risiko, analisis risiko untuk menilai risiko penyakit terkait impor, serta daftar komoditi yang dianggap aman untuk diperdagangkan.
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 1) - Ditjen PKH, Bogo...Tata Naipospos
Analisis Status dan Situasi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di India – Bagian 1
Ringkasan:
Dokumen ini menyajikan ringkasan status penyakit mulut dan kuku di India, termasuk informasi geografis, demografi ternak, dan industri peternakan India. Dokumen ini juga menjelaskan status resmi India sebagai negara dengan program pengendalian PMK yang diakui OIE dan bagian dari Strategi Pengendalian PMK Global PCP-FMD.
Patologi Anatomi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari penyakit serta merupakan ilmu dasar biomedik yang mempelajari dasar struktur proses terjadinya penyakit pada manusia. Patologi Anatomi bertanggung jawab atas pemeriksaan semua spesimen yang diambil dari pasien hidup dengan tujuan untuk menegakkan diagnosis atau untuk menentukan penyebab kematian (otopsi klinik). Patologi Anatomi merupakan laboratorium khusus untuk mendiagnosis penyakit melalui materi biologi yang berasal dari organ jaringan, sel, atau cairan melalui proses sistematik tertentu. Sampel jaringan atau sel tersebut diperiksa di bawah mikroskop cahaya oleh ahli Patologi Anatomi, lalu hasilnya dibuat laporan kepada klinisi yang mengirimkan jaringan tersebut.
Analisis HACCP proses pengolahan makanan siap santap di rumah sakit, jasa boga dan industri menjelaskan pengertian dan tujuan HACCP serta langkah-langkah penerapannya meliputi identifikasi bahaya biologis, kimia, dan fisik pada setiap tahapan proses mulai dari bahan baku hingga produk akhir.
Workshop Kurikulum Legislasi dan Etika Veteriner - FKH UGM, 25 November 2021Tata Naipospos
Ada kebutuhan untuk legislasi veteriner yang efektif untuk mengatur domain veteriner dan memungkinkan otoritas kompeten menjalankan fungsi untuk kesehatan hewan dan keamanan pangan."
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023Tata Naipospos
The document provides details regarding an upcoming PVS Evaluation Follow-Up mission in Indonesia from 2-13 October 2023 that will evaluate the country's Veterinary Services. The previous PVS Evaluation in 2007 assessed Indonesia at Level 2, and a 2011 Gap Analysis set a target of Level 3 within 5 years. The upcoming mission will evaluate progress towards this Level 3 target. It outlines the scope of the evaluation, procedures to be followed, and provides an overview of data and documents that will be reviewed. Ideal sampling sites across different categories are also listed.
The document discusses challenges that remained from the 2011 Gap Analysis, including legislation, management and coordination, staff development, surveillance capabilities, and disease control programs. It notes that reports
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...Tata Naipospos
Virus influenza aviar tingkat patogenisitas tinggi (HPAI) dan rendah (LPAI) masih menyebar luas di Indonesia, terutama di sektor perunggasan skala kecil. Virus-virus baru seperti LPAI H9N2 pertama kali dideteksi pada 2017. Pasar unggas hidup (PUH) memainkan peran penting dalam penyebaran berulang virus melalui kontak erat antara unggas dari berbagai daerah. Dinamika evolusi virus H5N1 menunjukkan be
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...Tata Naipospos
1. WOAH bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang resistensi antimikroba melalui survei, pengembangan strategi komunikasi, dan materi edukasi.
2. Survei mengenai pengetahuan, sikap, dan praktik peternak unggas menunjukkan perlu ditingkatkannya pemahaman tentang penggunaan antibiotik.
3. Upaya berkelanjutan dibutuhkan untuk mempromosikan penggunaan
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...Tata Naipospos
PMK dan penyakit hewan lainnya seperti LSD dan PPR merupakan penyakit lintas batas yang berpotensi menyebar dengan cepat dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang signifikan. Strategi pengendalian utama untuk PMK adalah karantina, vaksinasi, surveilans epidemiologi, zonasi, depopulasi, dan biosekuriti. Vaksinasi massal digunakan untuk mengendalikan wabah PMK di Indonesia, namun vaksin yang tersedia belum d
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...Tata Naipospos
Kesejahteraan hewan memainkan peran penting dalam perdagangan internasional dan status kinerja layanan veteriner suatu negara. Standar kesejahteraan hewan internasional dipromosikan untuk maksimalkan implementasinya di seluruh dunia.
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...Tata Naipospos
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas survei Knowledge, Attitude, and Practices (KAP) mengenai penggunaan antimikroba pada peternakan unggas di Indonesia.
2. Survei ini dilaksanakan di dua kabupaten di Jawa Timur, yaitu Blitar dan Malang, dengan target 60 peternak unggas.
3. Tujuan survei ini adalah untuk menilai pengetahuan, sikap, dan praktik peternak mengenai pen
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya Veterinary Statutory Body (VSB) bagi peningkatan kualitas profesi kedokteran hewan di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan definisi profesi dokter hewan, peran pentingnya bagi masyarakat, serta unsur-unsur yang menentukan kualitas layanan kesehatan hewan seperti tenaga kerja kesehatan hewan dan kinerja layanan kesehatan hewan berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dun
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...Tata Naipospos
Dokumen tersebut membahas pengendalian lalu lintas ternak dan vaksinasi khususnya di daerah bebas penyakit mulut dan kuku. Dokumen menjelaskan tentang pola lalu lintas ternak, klasifikasi zona berdasarkan risiko penyakit, dan aturan lalu lintas berdasarkan situasi penyakit di suatu daerah.
Harmonisasi Pelaksanaan AMR Dengan Regulasi Internasional - Direktorat Kawasa...Tata Naipospos
1) Dokumen ini membahas pentingnya kerja sama internasional dalam menangani tantangan resistensi antimikroba, khususnya di sektor akuakultur. 2) Standar WHO, FAO, OIE, dan UNEP memungkinkan pendekatan satu kesehatan untuk mengurangi penyebaran resistensi. 3) Pengendalian biosekuritas, vaksinasi, dan pengurangan penggunaan antibiotik diakui sebagai langkah penting.
Harmonisasi Pelaksanaan AMR Dengan Regulasi Internasional - Direktorat Kawasa...
Kompartemen Bebas Penyakit Hewan Menular - Ditkeswan - Presentasi Zoom, 8 Maret 2021
1. Kompartemen Bebas
Penyakit Hewan Menular
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD
Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Karantina Hewan
Sosialisasi Pembebasan Penyakit Hewan Menular Berbasis Kompartemen – 8 Maret 2021
2. Perbedaan regionalisasi dan kompartementalisasi
2
Regionalisasi/Zonasi Kompartementalisasi
Zonasi berlaku untuk
subpopulasi hewan yang
utamanya ditentukan
berdasarkan geografis
Kompartementalisasi berlaku
untuk subpopulasi hewan yang
utamanya ditentukan oleh
manajemen dan praktik-praktik
budidaya yang berkaitan dengan
biosekuriti
Sumber: OIE Code, Chapter 4.4. Zoning and Compartmentalisation.
3. Penggunaan ke-dua konsep
▪ Pengendalian/pemberantasan penyakit
▫ Zoning diterapkan secara progresif dengan pendekatan secara
bertahap (stepwise approach).
▫ mendorong penggunaan sumber daya yang lebih efisien di
wilayah tertentu dari suatu negara.
▪ Perdagangan internasional
▫ diterapkan untuk membatasi perluasan penyakit ke suatu area
terbatas yang ditentukan, sambil mempertahankan status
wilayah untuk mendapatkan dan mempertahankan akses
pasar untuk komoditas tertentu.
3
Sumber: Presentasi David Wilson “The OIE’s approach to zones and compartments”
4. 7 kriteria KOMPARTEMEN
1. Prinsip-prinsip untuk menetapkan suatu kompartemen
(Artikel 4.5.2.)
2. Pemisahan suatu kompartemen dari sumber infeksi
potensial (Artikel 4.5.3.)
3. Dokumentasi faktor-faktor penting untuk pemenuhan
penetapan kompartemen (Artikel 4.5.4.)
4. Surveilans agen atau penyakit (Artikel 4.5.5.)
5. Kemampuan dan prosedur diagnostik (Artikel 4.5.6.)
6. Respon darurat dan pelaporan (Artikel 4.5.7.)
7. Supervisi dan kontrol suatu kompartemen (Artikel 4.5.8.)
4
Sumber: OIE Code, Chapter 4.5. Application of Compartmentalisation.
5. 1. Prinsip-prinsip penetapan kompartemen
▪ Batasnya ditetapkan secara jelas, termasuk lokasi dari semua
komponennya:
▫ unit kandang (peternakan)
▫ unit-unit fungsional terkait, seperti:
• pabrik pakan;
• rumah potong hewan/abatoir;
• rendering plant;
• dsbnya.
▪ Pemisahan epidemiologi antara hewan di dalam kompartemen
dengan hewan di luar kompartemen.
5
Sumber: OIE Code, Chapter 4.5. Application of Compartmentalisation.
6. Kompartemen
Diskripsi hubungan
fungsional (jarak dan
pemisahan fisik)
antara kompartemen
dengan unit terkait,
jika tidak termasuk
dalam kompartemen
6
Sumber: OIE Checklist on the
Practical Application of
Compartmentalisation. Nov 2012.
7. 2. Pemisahan epidemiologi kompartemen
1. Faktor-faktor fisik dan spasial
yang mempengaruhi biosekuriti
2. Faktor-faktor infrastruktur
3. Biosekuriti
4. Sistim penelusuran (Traceability)
7
Sumber: OIE Code, Chapter 4.5. Application of
Compartmentalisation.
8. 2.1. Faktor-faktor fisik dan spasial
▪ Tinjauan terhadap faktor geografis diperlukan untuk memastikan
bahwa batas fungsional memberikan pemisahan kompartemen yang
memadai dari populasi hewan yang berdekatan dengan status
kesehatan yang berbeda. Perlu disediakan PETA dan jarak!
▪ Faktor-faktor yang dapat mengubah tingkat kepercayaan yang dicapai
melalui biosekuriti dan surveilans:
▫ Status penyakit di area berdekatan, atau ada kaitan epidemiologik
dengan kompartemen yang tidak dapat dikelola;
▫ Lokasi peternakan terdekat (status kesehatan berbeda atau ada
‘buffer ’ yang menghalangi kontak langsung/penyebaran aerosol).
▫ Pertimbangan penyebaran lingkungan dari agen penyakit (iklim
yang mempengaruhi daya tahan virus).
8
Sumber: Scott A. et al. (2006). The Concept of compartmentalisation. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 25 (3), 873-879.
9. 2.2. Faktor-faktor infrastruktur (1)
▪ Perumahan;
▪ Pagar atau pemisah fisik yang efektif lainnya (informasi detil
seperti tinggi, material, ukuran lubang kawat dan kedalaman);
▪ Fasilitas untuk orang masuk termasuk kontrol akses, area ganti
pakaian dan mandi (shower);
▪ Akses kendaraan termasuk prosedur pembersihan dan disinfeksi;
▪ Kontrol penggunaan dan rute kendaraan dengan akses ke
kompartemen;
▪ Fasilitas bongkar muat ternak;
▪ Fasilitas isolasi untuk ternak baru masuk;
▪ Fasilitas untuk bahan dan peralatan yang baru dimasukkan;
▪ Fasilitas untuk menyimpan pakan dan produk obat-obatan hewan;
9
10. 2.2. Faktor-faktor infrastruktur (2)
▪ Pembuangan karkas, kotoran kandang dan limbah;
▪ Suplai air;
▪ Tindakan-tindakan untuk mencegah paparan mekanik atau vektor
hidup seperti insekta, rodensia dan burung liar;
▪ Sistim ventilasi;
▪ Penjelasan tentang alur kerja dalam unit;
▪ Peralatan khusus yang kontak dengan hewan serta prosedur
pembersihan dan disinfeksi saat dimasukkan ke kompartemen;
▪ Prosedur pembersihan dan disinfeksi yang diterapkan untuk setiap
unit dalam peternakan, informasi tentang diagram yang mencakup
aspek-aspek di atas.
10
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
11. 2.3. Rencana Biosekuriti (1)
1. Alur potensial untuk introduksi dan penyebaran agen penyakit ke
dalam kompartemen, termasuk: pergerakan hewan, rodensia, hewan,
suspensi udara, artropoda, kendaraan, orang, produk biologik,
peralatan, fomit, pakan, saluran air, drainase atau cara lain;
2. ‘Critical control point’ (CCP) untuk setiap alur;
3. Tindakan-tindakan untuk memitigasi setiap CCP;
4. Standar operational prosedur (SOP);
5. Rencana kontinjensi untuk mengatasi setiap potensi perubahan
faktor risiko di masa depan;
6. Prosedur pelaporan ke Otoritas Veteriner;
7. Program untuk edukasi dan training pekerja;
8. Program surveilans yang dijalankan secara tepat.
11
Sumber: OIE Code, Article 4.5.3. Separation of a compartment from potential sources of infection.
12. 2.3. Biosekuriti (2) - SOP
▪ SOP Training pekerja/petugas;
▪ SOP Skema jaminan mutu (jika ada);
▪ SOP Kontrol pergerakan hewan;
▪ SOP Kesehatan hewan;
▪ SOP Kontrol pergerakan manusia;
▪ SOP Kontrol atas kendaraan;
▪ SOP Keamanan pakan dan sumber air
▪ SOP Manajemen risiko lingkungan
▪ SOP Keamanan dan kekuatan
bangunan dan peralatan
12
Standar operasional
prosedur (SOP)
▪ untuk manajemen dan
praktik-praktik budidaya
▪ didokumentasikan secara
penuh dan dicatat
▪ diaudit (oleh Otoritas
Veteriner) untuk
memastikan kepatuhan
terhadap biosekuriti.
13. 2.4. Sistim Penelusuran
▪ Semua hewan dalam kompartemen harus diidentifikasi dan
didaftar secara individual sehingga sejarah dan gerakannya
dapat didokumentasikan dan diaudit (kecuali untuk broiler
dan D.O.C.).
▪ Semua pergerakan hewan masuk dan keluar kompartemen
harus dicatat di tingkat kompartemen, dan ketika
diperlukan, berdasarkan analisis risiko, disertifikasi oleh
Otoritas Veteriner.
▪ Pergerakan dalam kompartemen tidak perlu disertifikasi
tetapi harus dicatat di tingkat kompartemen.
13
Sumber: OIE Code, Article 4.5.3. Separation of a compartment from potential sources of infection.
14. 3. Dokumentasi
▪ Dokumen catatan pergerakan
hewan
▪ Dokumen catatan produksi,
termasuk kelahiran & kematian
▪ Sumber pakan
▪ Hasil uji laboratorium
▪ Log akses/buku harian akses
keluar masuk pekerja/tamu
▪ Dokumen catatan penyakit dan
pengobatan
14
▪ Dokumen catatan vaksinasi
terdiri dari program vaksinasi,
tipe vaksin untuk tujuan
pencegahan penyakit di bawah
supervisi dokter hewan
▪ Penggunaan obat-obatan hewan
atau zat berbahaya, di bawah
supervisi dokter hewan
▪ Dokumen catatan rencana dan
pelaksanaan biosekuriti
▪ Dokumen catatan training
pekerja/petugas
15. 4. Surveilans
4.1. Surveilans internal
(sampel dikumpulkan dari unit kandang dalam kompartemen)
▫ memastikan deteksi dini pada kejadian agen penyakit masuk ke
subpopulasi; atau
▫ memastikan kepercayaan yang diinginkan mengenai status bebas
penyakit.
4.2. Surveilans eksternal
(sampel dikumpulkan dari area di luar kompartemen)
▫ memastikan hasil biosekuriti yang efektif dalam kompartemen;
▫ kombinasi surveilans pasif dan aktif untuk mencapai hasil itu;
▫ surveilans bertarget terutama mencakup unit epidemiologi yang
berdekatan atau yang memiliki hubungan epidemiologik potensial
dengan kompartemen.
15
16. 5. Kemampuan dan prosedur diagnostik
▪ Daftar laboratorium yang ditunjuk secara resmi yang digunakan
untuk menguji dan mengonfirmasi hasil;
▪ Untuk setiap laboratorium, kapasitas laboratorium mematuhi
persyaratan surveilans;
▪ Tipe uji yang diterapkan untuk penyakit yang ditentukan;
▪ Volume sampel yang dapat ditangani untuk setiap uji;
▪ Prosedur dan metoda untuk memastikan kendali mutu (quality
control);
▪ Prosedur pelaporan umum hasil uji dan pelaporan cepat hasil
positif.
16
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
17. 6. Respon darurat dan notifikasi
▪ Jika diduga ada kejadian penyakit yang ditentukan untuk
kompartemen, manajemen kompartemen harus segera melapor ke
Otoritas Veteriner.
▫ Jika dikonfirmasi, Otoritas Veteriner harus segera mencabut
status kompartemen dan harus memberitahu negara-negara
pengimpor mengikuti ketentuan Artikel 5.3.7.
▪ Manajemen kompartemen harus melapor ke Otoritas Veteriner
tentang kejadian tersebut dan menginisiasi peninjauan ulang
terhadap rencana biosekuriti untuk menentukan apakah ada
pelanggaran dalam biosekuriti.
▫ Jika terdeteksi pelanggaran biosekuriti yang signifikan, status
kompartemen harus ditangguhkan.
17
18. 7. Supervisi dan kontrol kompartemen
TANGGUNG JAWAB OTORITAS VETERINER:
1. mengembangkan dan menerapkan dasar hukum yang diperlukan
untuk menetapkan, mengakui dan mensupervisi kompartemen;
2. mengembangkan kemitraan yang efektif dengan manajemen
kompartemen dan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman
yang baik tentang struktur dan operasi berbagai sektor peternakan
(produksi dan non-produksi);
3. memastikan sistim berjalan untuk pemberian sertifikat resmi yang
kredibel tentang status kesehatan dari kompartemen, dan komoditi
yang diperdagangkan dari kompartemen;
18
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
19. 7. Supervisi dan pengendalian kompartemen
TANGGUNG JAWAB OTORITAS VETERINER (lanjutan):
4. merancang dan mempublikasikan kriteria umum dan model
biosekuriti yang berlaku untuk kompartemen, bermitra dengan
industri;
5. mengkaji secara regular data saintik dan menilai ulang faktor
risiko, untuk memastikan bahwa SOP akan terus sesuai dengan
situasi;
6. mengembangkan dan mengimplementasikan audit dan mengkaji
prosedur untuk memastikan bahwa SOP yang disepakati sedang
dilaksanakan.
19
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
20. 7. Supervisi dan pengendalian kompartemen
OTORITAS VETERINER MENYIAPKAN DETIL tentang:
▪ Prosedur persetujuan kompartemen
▪ Prosedur penangguhan, pencabutan dan pemulihan komparteman
▪ Komunikasi persetujuan kompartemen, penangguhan atau
pemulihan kepada mitra dagang
▪ Otoritas audit
▫ Akreditasi auditor
▫ Training auditor
▪ Prosedur pelaksanaan audit
▪ Frekuensi audit
▪ Laporan audit dan tindakan lanjutan
20
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
21. 7. Supervisi dan pengendalian kompartemen
TANGGUNG JAWAB MANAJEMEN KOMPARTEMEN:
1. mengembangkan kemitraan yang efektif dan kredibel dengan Otoritas
Veteriner;
2. melaksanakan rencana bioskuriti dan mengkompilasi dokumentasi
yang relevan untuk audit;
3. melaporkan segera ke Otoritas Veteriner tentang:
a. setiap perubahan yang signifikan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan dari kompartemen;
b. setiap kasus terduga penyakit dan setiap perubahan status baseline
kesehatan hewan;
c. setiap pelanggaran tindakan-tindakan biosekuriti sesuai dengan
rencana biosekuriti.
21
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
22. Syarat kompartemen bebas sesuai OIE
Selain kepatuhan terhadap Chapter 4.4. dan 4.5. OIE TAHC tentang
kompartementalisasi, juga harus mematuhi syarat dalam:
▪ Chapter 1.4. tentang surveilans kesehatan hewan;
▪ Chapter 3.1. tentang Veterinary Services dan Chapter 3.2. tentang
Evaluasi Veterinary Services;
▪ Chapter 4.2. tentang Prinsip-prinsip Umum Identifikasi dan
Penelusuran Hewan Hidup dan Chapter 4.3. tentang Disain dan
Implementasi Sistim Identifikasi untuk Mencapai Penelusuran Hewan;
▪ Semua chapter penyakit yang relevan dengan kompartemen:
▫ Chapter 10.4. tentang Infeksi dengan Virus Avian Influenza;
▫ Chapter 8.4. tentang Infeksi Brucella abortus, B. melitensis dan B. suis
▫ Chapter 15.1. tentang Infeksi dengan Virus African Swine Fever.
22
Sumber: OIE Checklist on the Practical Application of Compartmentalisation. November 2012.
24. Penetapan status kompartemen AI
1. AI wajib dilaporkan (notifiable) di seluruh wilayah negara, program
peningkatan kesadaran masyarakat AI telah dijalankan, dan semua
laporan terduga AI telah dilakukan penyidikan ke lapangan dan
apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan laboratorium;
2. Surveilans yang tepat dijalankan untuk menunjukkan adanya
infeksi pada keadaan tidak ada gejala klinis pada ayam, dan risiko
yang timbul dari unggas selain ayam; hal ini dapat dicapai dengan
program surveilans AI sesuai dengan Artikel 10.4.27.–10.4.33.;
3. Pertimbangkan semua faktor epidemiologik untuk terjadinya AI
dan perspektif sejarahnya.
24
Sumber: OIE Code, Artikel 10.4.2. Determination of the avian
influenza status of a country, zone or compartment.
25. Syarat kompartemen bebas
25
Bebas AI Bebas HPAI
Kompartemen dapat
dinyatakan bebas AI jika
dapat menunjukkan
infeksi virus AI tidak ada
di kompartemen dalam 12
bulan terakhir.
Kompartemen dapat dinyatakan bebas
HPAI pada unggas jika:
1. dapat menunjukkan infeksi HPAI tidak
ada di kompartemen dalam 12 bulan
terakhir, meskipun status terkait LPAI
tidak diketahui; atau
2. tidak memenuhi kriteria bebas AI,
tetapi setiap virus yang terdeteksi tidak
teridentifikasi sebagai HPAI.
Sumber: OIE Code, Artikel 10.4.3. Country, zone or compartment free from avian influenza. Artikel 10.4.4.
Country, zone or compartment free from infection with high pathogenicity avian influenza viruses in poultry.
26. Unit-unit kandang dalam kompartemen
Sumber: Fune G. Zoning
and Compartmentalisation
in animal disease
control/trading purposes.
Training Seminar for OIE
Delegates from Europe.
Lyon, 5-6 November 2009.
26
27. Mendapatkan kembali status bebas
▪ Jika infeksi terjadi di kompartemen yang sebelumnya bebas, status
bebas AI dapat diperoleh kembali:
1. Dalam kasus infeksi virus HPAI, 3 bulan setelah dilakukan
kebijakan ‘stamping-out’ (termasuk disinfeksi seluruh peternakan
terdampak), asalkan surveilans telah dilakukan dalam periode 3
bulan tersebut.
2. Dalam kasus infeksi virus LPAI, unggas dapat tetap dipelihara
untuk dipotong untuk konsumsi manusia setelah memenuhi
persyaratan untuk daging ayam segar (Artikel 10.4.19.) atau
kebijakan ‘stamping-out’ telah dilakukan; dalam kedua kasus, 3
bulan setelah dilakukan disinfeksi seluruh peternakan terdampak,
asalkan surveilans telah dilakukan dalam periode 3 bulan tersebut.
27
Sumber: OIE Code, Artikel 10.4.3. Country, zone or compartment free from avian influenza.
28. Dokumentasi bebas AI atau HPAI (1)
1. Setiap negara yang mendeklarasikan kompartemen unggas bebas AI
atau HPAI harus menyediakan bukti adanya program surveilans yang
efektif dengan syarat:
a. menunjukkan tidak ada infeksi virus AI atau virus HPAI, selama 12
bulan sebelumnya dalam populasi unggas yang rentan (vaksinasi dan
non-vaksinasi).
b. melakukan identifikasi infeksi virus AI melalui deteksi virus dan uji
antibodi.
c. menargetkan populasi unggas dengan risiko spesifik terkait dengan tipe
produksi, kemungkinan kontak langsung atau tidak langsung dengan
burung liar, flok berbeda umur, pola perdagangan lokal, termasuk pasar
unggas hidup, penggunaan air permukaan yang terkontaminasi, dan
adanya lebih dari satu spesies dan biosekuriti yang buruk.
28
29. Dokumentasi bebas AI atau HPAI (2)
2. Syarat tambahan bagi kompartemen yang mempraktikkan vaksinasi:
a. jika digunakan untuk mencegah penularan virus HPAI sebagai
bagian dari program pengendalian penyakit;
b. tingkat kekebalan flok yang diperlukan untuk mencegah
penularan tergantung pada ukuran flok, komposisi (misalnya
spesies) dan kepadatan populasi unggas yang rentan.
c. keputusan memvaksinasi hanya spesies tertentu atau subpopulasi
unggas lainnya berdasarkan epidemiologi AI di kompartemen.
d. Pada semua flok yang divaksinasi, ada kebutuhan untuk
melakukan uji virulogik dan serologik untuk memastikan tidak
adanya sirkulasi virus.
29
Sumber: OIE Code, Artikel 10.4.30. Documentation of freedom from avian influenza or
freedom from infection with high pathogenicity avian influenza viruses in poultry
30. Dokumentasi bebas AI atau HPAI (2)
2. Syarat tambahan bagi kompartemen yang mempraktikkan vaksinasi
(lanjutan):
e. Pengggunaan unggas sentinel dapat memberikan bukti lebih lanjut
mengenai tidak adanya sikulasi virus.
f. Uji harus diulang setidaknya setiap 6 bulan atau pada interval
yang lebih pendek sesuai dengan risiko di kompartemen.
g. Bukti yang menunjukkan efektivitas program vaksinasi juga harus
disediakan.
30
Sumber: OIE Code, Artikel 10.4.30. Documentation of freedom from avian influenza or
freedom from infection with high pathogenicity avian influenza viruses in poultry
31. ‘Buffer zone’ dari kompartemen
Contoh:
Peternakan ayam,
Pekan Nenas, Johor
31
1 km
1 km
1 km
1 km
Sumber: Powerpoint on
Compartmentalization for
Newcastle Disease, Avian
Influenza and Salmonella
(Avian Farm)..
32. 32
KEUNTUNGAN KERUGIAN
1. Vaksinasi mengurangi risiko
infeksi.
1. Vaksinasi tidak memberikan 100%
proteksi.
2. Jumlah virus yang lebih tinggi
diperlukan untuk menginfeksi
hewan yang divaksinasi.
2. Flok yang divaksinasi masih
terinfeksi jika ada paparan virus
lapangan dengan tingkat tinggi.
3. Flok yang divaksinasi kecil
kemungkinannya untuk terkena AI.
3. Menutupi terjadinya wabah penyakit.
4. Jika terjadi wabah pada flok yang
divaksinasi:
a) penyebaran lebih lambat;
b) kematian berkurang.
4. Risiko menyebar.
5. Vaksinasi tanpa surveilans dapat
mengarah pada infeksi endemik LPAI.
6. Surveilans yang ketat adalah benar-
benar esensial.
7. Biaya surveilans yang ketat dalam
skala besar mahal.
FAKTA VAKSINASI AI
33. Surveilans internal
Permentan No. 28/Permentan/OT. 140/5/2008
▪ Unit sampel: sampel diambil menurut jumlah unggas per flok (tabel
berikut)
▪ Hasil serologis: Titer HI > 1:16 (4 log2) pada lebih besar dari 70-80%
sampel yang diuji untuk membuktikan vaksinasi efektif.
▪ Sampel usap kloaka/trakea dipool per 5 sampel (20 sampel uji).
▪ Hasil virulogi: Apabila ada PCR positif, maka dilakukan pengambilan
sampel ulang setelah 21 hari. Apabila negatif, dinyatakan bebas AI.
▪ Pengambilan sampel (tabel di atas) secara regular 1 kali per 12 bulan.
33
Jumlah
sampel
Sampel
darah
Uji
Sampel swab
Kloaka/Trakea
Uji
Flok 10 - 20 HI 100 PCR
34. Monitoring flok yang divaksinasi
UNGGAS SENTINEL (jika diperlukan)
▪ Minimum 10 – 20 ekor unggas sentinel yang tidak divaksinasi yang
diidentifikasi secara jelas ditempatkan random dalam setiap kandang.
▪ Unggas sentinel akan segera menunjukkan:
▫ morbiditas/mortalitas jika HPAI bersirkulasi;
▫ antibodi jika LPAI bersirkulasi; atau
▫ tidak memperlihatkan gejala klinis infeksi HPAI.
▪ Jika unggas sentinel mati dan diuji dengan ‘rapid test’, maka flok
dianggap positif AI dan harus dimusnahkan.
34
35. Surveilans eksternal
▪ Surveilans pasif:
▫ Berdasarkan sistim pelaporan (i-SIKHNAS) – database
epidemiologi elektronik yang berisikan data kasus (sakit, mati,
positif uji).
▪ Surveilans aktif:
▫ Pengambilan sampel dilakukan sistematis dan terstruktur.
▫ Dikompilasi secara regional/nasional.
1. Surveilans AI berbasis risiko di Pasar Unggas Hidup (PUH);
2. Surveilans bertarget pada peternakan unggas ras dan buras
(backyard) berisiko tinggi; dan
3. Surveilans untuk prasyarat bebas lalu lintas peternakan unggas
komersial oleh Karantina hewan.
35
37. ‘Herd’ (Kelompok ternak)
▪ Kelompok ternak (herd) artinya sejumlah hewan dari satu
jenis yang dipelihara bersama-sama di bawah kendali
manusia atau sekumpulan hewan liar yang cenderung
berkelompok.
37
▪ Suatu kelompok ternak
biasanya dianggap sebagai
unit epidemiologi.
Sumber: OIE TAHC (2020). Glossary.
38. Bebas infeksi Brucella tanpa vaksinasi
Untuk memenuhi syarat bebas infeksi Brucella tanpa vaksinasi, maka
suatu ‘herd ’ harus mengikuti ketentuan:
1. ‘Herd ’ berada di suatu negara/zona bebas infeksi Brucella tanpa
vaksinasi dalam kategori hewan yang relevan dan ‘herd ’ disertifikasi
bebas tanpa vaksinasi oleh Otoritas Veteriner; ATAU
2. ‘Herd ’ berada di suatu negara/zona bebas infeksi Brucella dengan
vaksinasi dalam kategori hewan yang relevan dan ‘herd ’ disertifikasi
bebas tanpa vaksinasi oleh Otoritas Veteriner, dan tidak ada hewan
dari ‘herd ’ telah divaksinasi dalam 3 tahun terakhir; ATAU
3. ‘Herd ’ yang memenuhi syarat seperti pada slide berikut.
38
Sumber: OIE Code, Article 8.4.10. Herd or flock free from infection with Brucella in
bovids, sheep and goats, camelids or cervids without vaccination.
39. Syarat ‘herd’ bebas Brucella tanpa vaksinasi
1. Infeksi Brucella pada hewan merupakan penyakit wajib dilaporkan
(notifiable) di seluruh wilayah negara;
2. Tidak ada hewan dalam kategori hewan yang relevan dalam ‘herd ’
yang telah divaksinasi dalam 3 tahun terakhir;
3. Tidak ada kasus terdeteksi dalam ‘herd ’ setidaknya setahun yang lalu;
4. Hewan yang menunjukkan gejala klinis konsisten dengan infeksi
Brucella seperti keguguran telah dilakukan uji diagnostik yang
diperlukan dengan hasil negatif;
5. Untuk setidaknya setahun yang lalu, tidak ada bukti infeksi Brucella di
‘herd ’ yang lain dalam satu peternakan, atau tindakan-tindakan telah
dilaksanakan untuk mencegah setiap penularan infeksi Brucella dari
‘herd ’ yang lain;
Sumber: OIE Code, Artikel 8.4.10. Herd or flock free from infection with Brucella in
bovids, sheep and goats, camelids or cervids without vaccination.
40. Syarat ‘herd’ bebas Brucella tanpa vaksinasi
6. Dua kali uji telah dijalankan dengan hasil negatif terhadap semua
hewan dewasa kelamin, kecuali jantan dikastrasi dan betina
disterilkan, yang ada dalam ‘herd ’ pada saat pengujian:
a. uji pertama dilakukan setidaknya sebelum 3 bulan setelah
pemotongan kasus terakhir; dan
b. uji kedua dilakukan dengan interval lebih dari 6 bulan dan kurang
dari 12 bulan.
Sumber: OIE Code, Chapter 8.4. Infection with Brucella abortus, B. melitensis and B. suis.
41. Bebas infeksi Brucella dengan vaksinasi
Untuk memenuhi syarat bebas infeksi Brucella dengan vaksinasi, maka
suatu ‘herd ’ harus mengikuti ketentuan:
1. ‘Herd ’ berada di suatu negara/zona bebas infeksi Brucella dengan
vaksinasi dalam kategori hewan yang relevan dan ‘herd ’ disertifikasi
bebas dengan vaksinasi oleh Otoritas Veteriner; ATAU
2. ‘Herd ’ yang memenuhi syarat seperti pada slide berikut.
41
Sumber: OIE Code, Article 8.4.10. Herd or flock free from infection with Brucella in
bovids, sheep and goats, camelids or cervids without vaccination.
42. Syarat ‘herd’ bebas Brucella dengan vaksinasi
1. Infeksi Brucella pada hewan merupakan penyakit wajib dilaporkan
(notifiable) di seluruh wilayah negara;
2. Hewan yang divaksinasi dari kategori hewan yang relevan telah
diidentifikasi secara permanen;
3. Tidak ada kasus terdeteksi dalam ‘herd ’ setidaknya setahun yang lalu;
4. Hewan yang menunjukkan gejala klinis konsisten dengan infeksi
Brucella seperti keguguran yang telah dilakukan uji diagnostik yang
diperlukan dengan hasil negatif;
5. Untuk setidaknya setahun yang lalu, tidak ada bukti infeksi Brucella di
‘herd ’ yang lain dalam satu peternakan, atau tindakan-tindakan telah
dilaksanakan untuk mencegah setiap penularan infeksi Brucella dari
‘herd ’ yang lain;
Sumber: OIE Code, Artikel 8.4.11. Herd or flock free from infection
with Brucella in bovids, sheep and goats with vaccination.
43. Syarat ‘herd’ bebas Brucella dengan vaksinasi
6. Dua kali uji telah dijalankan dengan hasil negatif terhadap semua
hewan dewasa kelamin, kecuali jantan dikastrasi dan betina
disterilkan, yang ada dalam ‘herd’ pada saat pengujian:
a. uji pertama dilakukan setidaknya sebelum 3 bulan setelah
pemotongan kasus terakhir; dan
b. uji kedua dilakukan dengan interval lebih dari 6 bulan dan kurang
dari 12 bulan.
Sumber: OIE Code, Chapter 8.4. Infection with Brucella abortus, B. melitensis and B. suis.
44. Pengujian brucellosis untuk ‘herd’
44
Setiap ternak
dewasa
> 1 tahun
‘Herd ’
RBT CFT
CFT -
RBT CFT
CFT -
CFT +
dipotong
Setelah >6 –
<12 bulan
Setiap ternak
dewasa
> 1 tahun
‘Herd ’
RBT CFT
CFT -
RBT CFT
CFT -
CFT +
dipotong
Setelah >6 –
<12 bulan
TAHUN 1 TAHUN 2
3 bulan
Uji 1 Uji 1
Uji 2 Uji 2
45. Faktor risiko brucellosis
▪ Tingkat infeksi pada ternak pengganti dari peternakan yang tidak
disertifikasi bebas brucellosis lebih tinggi dibandingkan dari peternakan
yang disertifikasi bebas brucellosis (OR = 4,84; p < 0,001).
▪ Risiko peternakan sapi potong lebih tinggi dibandingkan dengan
peternakan sapi perah (OR = 3,61; p = 0,017).
▪ Peternakan yang menggunakan kawin alam dengan pejantan dari ‘herd’
yang tidak disertifikasi berisiko lebih tinggi dari peternakan yang
menggunakan IB (OR = 2,45; p = 0,037), tetapi jika pejantan datang dari
peternakan bebas brucellosis, peternakan dengan kawin alam berisiko
lebih rendah (OR = 0,30; p = 0,004) dibandingkan dengan menggunakan
IB, apakah semen bekunya berasal dari ‘herd’ bebas brucellosis atau
semen cair dari ‘herd’ yang tidak dikontrol.
45
Sumber: Cárdenas et al. BMC Veterinary Research (2019) 15:81
46. Mempertahankan status bebas
1. Kasus keguguran dimonitor dan diambil sampel untuk pengujian;
2. Pengujian secara regular setiap tahun, semua ternak dewasa > 1 tahun
diuji RBT, dan apabila RBT positif dilanjutkan dengan CFT.
3. Ternak yang diintroduksi ke dalam ‘herd ’ harus disertai dengan SKKH
yang menyatakan bahwa:
a. negara/zona bebas infeksi Brucella tanpa vaksinasi; ATAU
b. Negara/zona bebas infeksi Brucella dengan vaksinasi dan tidak
divaksinasi dalam 3 tahun terakhir; ATAU
c. ‘Herd ’ bebas infeksi Brucella dengan atau tanpa vaksinasi dan tidak
divaksinasi dalam 3 tahun terakhir dan diuji dalam waktu 30 hari
sebelum pemberangkatan dengan hasil CFT negatif.
46
Sumber: OIE Code, Article 8.4.10. Herd or flock free from infection with Brucella in
bovids, sheep and goats, camelids or cervids without vaccination.
48. Syarat kompartemen bebas ASF (Artikel 15.1.5.)
1. ASF adalah penyakit wajib dilaporkan di seluruh wilayah negara, dan
semua jenis babi menunjukkan gejala klinis atau lesi patologik terduga
ASF dilakukan investigasi lapangan dan laboratorium yang tepat;
2. Progam peningkatan kesadaran berkelanjutan diberlakukan untuk
mendorong pelaporan semua jenis babi yang menunjukkan gejala klinis
atau lesi patologik terduga ASF;
3. Otoritas Veteriner memiliki pengetahuan terkini tentang:
a. semua kelompok babi domestik dan tangkapan liar di negara, zona
atau kompartemen;
b. keberadaan spesies babi liar dan babi liar Afrika, distribusinya dan
habitatnya di negara atau zona;
4. Untuk babi domestik dan tangkapan liar, program surveilans yang
tepat sesuai dengan sesuai Artikel 15.1.28.–15.1.31. dan 15.1.33.
48
49. Surveilans ASF di kompartemen
▪ Artikel 15.1.28.: Surveilans ASF dalam bentuk program berkelanjutan
yang didisain untuk:
▫ membentuk populasi yang rentan di kompartemen yang bebas dari
infeksi virus ASF; atau
▫ mendeteksi introduksi virus ASF ke dalam populasi yang bebas.
▪ Artikel 15.1.29.: sistim surveilans menjadi tanggung jawab Otoritas
Veteriner yang harus terdiri dari hal-hal berikut:
1. sistim resmi dan berkelanjutan untuk mendeteksi dan menginvestigasi
kasus-kasus ASF;
2. prosedur pengumpulan dan transportasi sampel yang cepat dari kasus-
kasus terduga ke laboratorium;
3. kemampuan uji laboratorium yang tepat untuk diagnosis ASF;
4. sistim untuk mencatat, mengelola dan menganalisis data diagnostik dan
surveilans.
49
51. Surveilans internal
▪ Tujuan:
1. Mendeteksi cepat virus ASF jika masuk ke dalam kompartemen;
2. Mendemonstrasikan kebebasan dari ASF dalam kompartemen.
▪ Sensitivitas surveilans bergantung pada:
▫ desain prevalensi yang dipilih;
▫ sensitivitas uji diagnostik;
▫ besaran sampel (misal jumlah hewan yang diuji/diamati).
▪ Desain prevalensi yang digunakan untuk mendemonstrasikan
kebebasan dari infeksi biasanya dalam kisaran 1% hingga 10%.
▪ Bisa gunakan EpiTools; RiskSur; atau lainnya.
51
Sumber: OIE (2021). Compartmentalization Guidance. African Swine Fever.
52. Penutup
▪ Kompartementalisasi adalah strategi untuk mengelola risiko
kesehatan hewan, tanpa perlu menganggu perdagangan.
▪ Kompartemen bebas bukan suatu persyaratan tetapi alternatif.
▪ Pelaksanaan kompartementalisasi yang berhasil bergantung pada
prosedur sertifikasi resmi yang transparan dan dapat diverifikasi.
▪ Kesempatan untuk mengembangkan dan memperkuat kemitraan
antara produsen dan pemerintah.
▪ OIE tidak memberikan pengakuan status kompartemen bebas di
suatu negara, hanya memberikan persetujuan untuk dipublikasikan
apabila diajukan melalui mekanisme ‘self declaration’.
52
Sumber: Zepeda C. An approach for the implementation of compartmentalization.