Ada beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan bagaimana kedudukan wanita dalam Islam. Dalam surat (At-Taubah ayat 7) Allah berfirman, yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munnkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan Wanita dalam Islam
1. KEDUDUKAN, PERAN, DAN KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
OLEH:
SISKA
(1502030056)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
TA. 2015/2016
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat ridho-Nya
sehingga saya bisa menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang “Kedudukan, Peran, dan Kepemimpinan
Perempuan dalam Pandangan Islam”.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw,
yang telah mengantarkan umatnya dari zaman kegelapan menuju ke zaman yang
terang-benderang dengan kekayaan ilmu dan pengetahuan.
Makalah ini dibuat sebagai bagian dari rangkaian kegiatan mentoring
KIAM (Kajian Intensif Al-Islam Kemuhammadiyahan). Saya berharap semoga
pembahasan yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi diri saya
sendiri, teman-teman, dan siapapun yang membacanya.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam
makalah ini. Oleh karena itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran untuk
memperbaiki pembuatan makalah selanjutnya. Atas segala kekurangan dan
kesalahan yang ada dalam penulisan makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Medan, 17 Oktober 2016
PENYUSUN
3. DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II. KERANGKA TEORITIS ....................................................................... 2
BAB III. PEMBAHASAN..................................................................................... 3
1.1 Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam............................................ 3
A. Kedudukan perempuan dari sudut pandang penciptaannya...................... 6
B. Kemuliaan perempuan berdasarkan penciptaannya................................. 7
1.2 Peran Perempuan dalam Pandangan Islam..................................................... 9
A. Perempuan sebagai anggota keluarga....................................................... 10
B. Perempuan sebagai anggota masyarakat .................................................. 11
1.3 Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam..................................... 12
BAB IV. KESIMPULAN....................................................................................... 17
Daftar Pustaka....................................................................................................... 18
4. BAB I
PENDAHULUAN
Peran, kedudukan, dan kepemimpinan perempuan menjadi pembahasan di
setiap zaman dan dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap perempuan.
Pandangan masyarakat terhadap perempuan terbagi atas tiga fase, yaitu fase
menghinakan, fase mendewakan, fase menyamaratakan. (Alfan, tanpa tahun: 10)
Pada fase menghinakan perempuan dianggap seperti hewan bahkan lebih
rendah. Perempuan dianggap menjijikkan, hina dan diperjualbelikan di toko,
pasar-pasar, dan warung-warung serta dianggap pelayan laki-laki. Pada fase
mendewakan perempuan dipuja-puja dan dimuliakan tetapi untuk memuaskan
hawa nafsu berahi kaum lelaki. Pada fase menyamaratakan perempuan diberi
kebebasan seluas-luasnya tanpa terikat pada batasan baik norma adat maupun
agama serta harus memiliki hak dan peran yang sama dengan laki-laki dalam
segala bidang kehidupan.
Dalam kenyataan perempuan berbeda dengan laki-laki terutama dalam
struktur anatominya. Secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda. Secara
biologis perempuan dilengkapi dengan alat-alat reproduksi sehingga dapat
berperan sebagai ibu mampu mengandung dan melahirkan anak, sedangkan laki-
laki tidak memiliki potensi untuk itu.
Dengan perbedaan ini tentunya perempuan dan laki-laki memilki
kedudukan dan tugas atau peran yang saling melengkapi. Oleh karena itulah saya
mencoba mengupas peran, kedudukan dan kepemimpinan perempuan dalam
pandangan Islam. Karena yang berhak menentukannya adalah sang pencipta Allah
SWT yang telah mengutus rasul Muhammad dan menurunkan kitab Al-Quran
sebagai petunjuknya bagi manusia.
5. BAB II
KERANGKA TEORITIS
Membahas peran dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak
terlepas dari sumber hukum Islam. Sebuah hadits dapat memberikan keyakinan
tentang sumber hukum yang harus digunakan yaitu :“Aku tinggalkan pada kalian
dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan
keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku. (Diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)”
Al-Quran sebagai sumber hukum umat Islam tidak ada yang menyangkal,
namun hadis sebagai sumber hukum masih ada yang berkeberatan terutama
kelompok Inkar Al Sunnah (Dailamy SP,2008:2) dengan alasan bahwa Al-Quran
adalah kitab yang sempurna, terinci, tugas Nabi Muhammad semata-mata
menyampaiakan Al-Quran. Hadis merupakan pandangan dan pendapat manusia
yang tidak terjamin kebenarannya, seperti: ibadah salat, puasa zakat dan haji
adalah amalan turun-temurun sejak zaman Nabi Ibrahim, bukan disampaikan
melalui hadis.
Namun demikian dalam tulisan ini saya akan menggunakan kerangka
teoretis Al-Quran dan hadis sebagai sumber pengambilan hukum dalam
pembahasan peran, kedudukan, dan kepemimpinan perempuan dalam pandangan
Islam. Dengan pertimbangan kedudukan hadis begitu dominan dalam pandangan
ulama jumhur.
Oleh karena itulah saya berkeyakinan bahwa membahas peran, kedudukan,
dan keyakinan perempuan menurut pandangan Islam berarti membahas dengan
menggunakan Al-Quran dan hadis, tentu saja melalui pendapat-pendapat para
ulama penafsir Al-Quran dan hadis.
6. BAB III
PEMBAHASAN
1.1 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebelum agama Islam datang, kedudukan wanita sangat rendah, mereka
tidak berhak mendapat harta warisan, malahan mereka dianggap sebagai harta,
boleh dimiliki dan memperlakukan mereka sesuka hati. Harta hanya hak monopoli
kaum pria saja serta turut mengatur penggunaan harta tersebut.
Setelah Islam datang dengan revolusi moralnya, derajat kaum wanita
diangkat setinggi-tingginya sebagaimana layaknya manusia, hingga tidak ada pilih
kasih antara pria dan wanita. Al-Quran menghormati perempuan sebagai manusia,
anak perempuan, istri, ibu, sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi pada zaman
pra Islam, sebagian masyarakat dari berbagai tingkat usia melanggar hak
perempuan untuk mendapatkan ilmu dan bekerja. Bahkan melarang perempuan
pergi ke suatu tempat untuk beribadah atau menuntut ilmu dan pemaksaan untuk
menikah dengan orang yang tidak disukainya serta mengurungnya dirumah.
Ada beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan bagaimana kedudukan
wanita dalam Islam. Dalam surat (At-Taubah ayat 7) Allah berfirman, yang
artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munnkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Firman Allah diatas mendeskripsikan bahwa antara pria dan wanita saling
tolong-menolong, terutama dalam satu rumah tangga serta mempunyai tugas dan
kewajiban ynag sama untuk menjalankan aman ma’ruf nahi munkar.
7. Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita, sedang ia orang ynag beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (An-Nisa’: 124).
Ayat ini menggambarkan bahwa karya wanita, dalam bentuk apapun yang
dilakukannya adalah menjadi miliknya dan bertanggung jawab pula atas kerjanya
(karyanya) itu, termasuk dalam masalah ibadah.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bagian daripada yang mereka usahakan…...”
(An-Nisa’: 32).
Ayat diatas, memberikan deskripsi yang utuh dan lengkap tentang tidak
ada diskriminasi bagi wanita, hingga tidak ada jalan apalagi alasan untuk
merendahkan derajat kaum wanita. Semuanya bergantung pada amalan masing-
masing. Wanita mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimana layaknya pria.
Pengangkatan tema-tema yang berkaitan dengan perempuan menujukkan
bahwa Al-Quran memberikan perhatian spesial kepada kaum perempuan. Al-
Quran sebagai konsepsi dasar ajaran Islam secara verbal telah menjelaskan bahwa
posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Jika ada pemahaman “miring” terhadap
kedudukan perempuan dalam Islam, sebenarnya hanya hasutan dari orang-orang
non muslim atau kaum orientalis. Hal ini dikatakan oleh Leila Ahmad yang
menulis: “…..hanya karena Amerika tahu bahwa Arab adalah terbelakang, mereka
dengan serampangan berkesimpulan bahwa wanita dalam Islam juga terbelakang
dan tertindas.
Menurut Al-Quran, wanita dan lakki-laki mempunyai spiritual human
nature yang sama. Al-Quran menyebutkan bahwa kedua jenis kelamin, laki-laki
dan wanita , masing-masing berdiri sendiri dan independen.
8. Bentuk penghargaan lain terhadap wanita dalam Islam adalah ketika
wanita berperan sebagai ibu, maka wanita mempunyai posisi yang sangat
terhormat dalam Islam. Al-Quaran memerintahkan setiap anak yang beragama
Isalam unruk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tuanya,
terutama ibunya (Lihat QS. Luqman: 14). Kegagalan untuk hormat pada orang tua
termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar.
Mansour Faqih menyikapi tentang posisi perempuan dalam Islam termasuk
hak dan kewjibannya dengan rangka berpikir analisis gender, dikelompokkan
menjadi 2, yaitu:
Pertama, sistem hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat saat ini
telah sesuai dengan ajaran Islam, karenanya tidak perlu diemansipasikan lagi,
dengan menghendaki adanya status quo dan menolak mempermasalahkan posisi
kaum perempuan. Golongan ini disebut sebagai kelompok yang menikmati
keuntungan sistem dan struktur hubungan laki-laki dan perempuan.
Kedua, kelompok yang menganggap kaum muslimah saat ini adalah tidak
termasuk diikutkan pada wilayah kelompok diskriminatif, dan dari pemahaman ini
mengkategorikan kaum muslimah sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai
bentuk dan aspek kehidupan.
Sebagai bukti ajaran dan hukum Islam menghargai wanita, dilihat dari
beberapa dalil yang menunjukkan hal itu:
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (QS.Al-
Ahzab: 35, Muhammad: 19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan
beriman, beramal saleh atau beibadah (salat, zakat, puasa, haji).
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh,
memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (QS. An-
Nisa: 32).
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan
memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan (QS. An-Nisa: 7).
4. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan
ilmu pengetahuan: Mencari/menutut ilmu adalah kewajiban pria dan
wanita (Hadis).
9. 5. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk
memutuskan ikatan perkawinan, jika syaratnya terpenuhi atau sebab
tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh
dan khulu’.
6. Wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan,
kebersamaan, dan saling ketergantungan (QS. An-Nisa: 1, At-Taubah: 71,
Ar-Ruum: 21, Al-Hujarat: 13).
7. Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala
(kebaikan untuk dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan
beribadah di dunia (QS. Ali Imran: 195, An-Nisa: 124, At-Taubah: 72 dan
Al-Mu’minun: 40).
8. Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama (QS. Al-
Baqarah: 228, At-Taubah: 71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat
mereka yang sama dan berbeda pula (QS. Al-Baqarah: 228, An-Nisa: 11
dan 43).
Kedudukan perempuan terkait erat dengan asal-usul penciptaan,
pengakuan Allah atas kemuliaan perempuan, hak kehormatan yang dimiliki
perempuan dan hak imbalan yang didapatkan perempuan dari Allah.
A. Kedudukan Perempuan dari Sudut Pandang Penciptaannya
Berdasarkan penciptaanya perempuan dan laki-laki berasal dari satu jenis
yang sama seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 1 :
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya
(Hawa) dari dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Al-Quran menolak pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan)
dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan dari
keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya.
10. Dalam hadis shahih disebutkan bahwa “Saling pesan-memesanlah untuk
berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu
Hurairah). Sedangkan Ibnu Katsir menukil hadist yang artinya “Sesungguhnya
perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk jika engkau hendak meluruskan tulang
yang bengkok akan patahlah ia, tetapi engkau dapat menikmatinya dalam keadaan
bengkok.” ( Ibnu Katsir Jilid II : 303).
Menurut Quraish Shihab “Pengertian tulang rusuk yang bengkok harus
dipahami secara majazi dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan pada
laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.” (2004:271). Dengan
demikian berarti mengakui kepribadian perempuan sesuai dengan kodratnya.
B. Kemuliaan Perempuan Berdasarkan Penciptaannya
Kemuliaan-kemuliaan perempuan yang diberikan oleh Allah atas dasar
penciptaannya terdapat dalam surat Al-Isra' ayat 70:
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Kalimat anak cucu Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula
penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak cucu Adam
seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. ( Shihab, 2004:271)
Demikian juga yang tercantum dalam Surah Ali Imron ayat 195:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain Maka orang-
orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan
11. mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Kalimat “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain”, berarti
bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan
ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan)
demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada
perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya.
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga
Al-Azhar di Mesir, menulis:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua
dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul
tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu
kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu
(perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan
dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."
(Syaltut,1959: 193).
Kemuliaan perempuan juga ditegaskan oleh Allah dengan menunjukkan
bahwa sebenarnya yang menjadikan Adam dan Hawa keluar dari surga bukanlah
Hawa melainkan keduanya. Dapat kita pahami dari ayat-ayat berikut :
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu
auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan
mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
12. Ayat tersebut menjelaskan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya
tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki (Adam). Ayat-ayat
yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa
dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan.
(Shihab 2004 : 272)
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS Al-
Baqarah: 36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada
kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti
dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan
berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tidak akan punah?" (QS. Taha: 120).
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan perempuan bukan
sebagai penyebab Adam dan Hawa terusir dari surga. Dan perempuan bukanlah
makhluk yang menyebabkan malapetaka. Islam memandang bahwa perempuan
memiliki kedudukan yang sama baik dari asal penciptaan, kemuliaan, maupun
dalam hal memperoleh imbalan dari usaha amal dan ibadahnya dari Allah SWT.
1.2 PERAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Allah menegaskan
dalam Al Quran pada peristiwa kelahiran Maryam dalam Surat Ali Imron ayat 36:
Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya
Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia
Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
13. Perbedaan secara kodrati tidak membedakan perempuan dan laki-laki
dalam hal kedudukan namun menentukan perannya dalam kehidupan. Dari segi
fungsi reproduksi perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya
karena perempuan memiliki rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian
juga dalam hal pengasuhan dan keberlangsungan bayi saat masih kecil,
perempuan dianugerahi kemampuan untuk menyusui dan perasaan kasih sayang
dan ketahanan tubuh yang lebih dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut al-‘Allamah al-Nasafi dalam Munawar, “Kelebihan pria atas
wanita adalah pada: akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan fisik,
kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah, jama’ah,
takbir pada hari tasyrik, kesaksian dalam kasus pidana dan qishas dua kali lipat
dalam bagian waris, hak nikah dan talak. (2004: 214)
Secara garis besar perempuan memiliki dua peran yaitu peran sebagai
anggota keluarga dan peran sebagai anggota masyarakat.
A. Perempuan Sebagai Anggota Keluarga
Dalam keluarga perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, dan anak.
1. Perempuan sebagai Ibu
Sebagai ibu tugas perempuan yang pertama dan utama ialah mendidik
anak. Mereka disiapkan Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental,
dan tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural. Selain
itu tugas perempuan adalah beribadah kepada Allah SWT. Tinggalnya ia di dalam
rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah
sehingga dapat beribadah dengan tenang.
Allah SWT berfirman (yang artinya):
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
14. 2. Perempuan sebagai Istri
Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat penting. Istri yang
bijaksana dapat menjadikan rumah tangganya sebagai tempat yang paling aman
dan menyenangkan bagi suami. Istri dapat berperan sebagai teman baik, tempat
suami mencurahkan perasaan hatinya, dan dapat mendinginkan suasana ketika
hati sedang panas. Sehingga suami memperoleh motivasi, baik dalam hal mencari
nafkah maupun beribadah.
Telah termaktub dalam Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia
yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.”
(Al Ahzab: 33)
Posisi perempuan sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti
yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan
keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”.
Sesuai ungkapan: “Dibalik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh
dan mendidiknya.”
Dengan peran perempuan sebagai istri maka ada beberapa kewajiban istri
terhadap suami. Kewajiaban pertama, adalah taat sempurna kepada suaminya
dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan
ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
َيَحِلَلَلْمَرْأَةِأَِأتَص ِو مأ أوأز ِوَجأهِحأََهأَ ِإأالِبَبِب َنأهأم
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di
tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Menjaga harta, rahasia, dan kehormatan suami serta menjaga kehormatan
diri sendiri di saat suaminya tidak ada di tempat dapat menumbuhkan kepercayaan
suami secara penuh terhadapnya. Rasulullah bersabda:
َِيه أإَسَِاأرَكَنَنِأجأبَلَأِصكِحَن أسَِاأرَحَِإشأ
:أبأنَةِأكِلأََََأأشَِيأِشَر َص ِو أَأأبأنَةِأعِسأَ أووََ َأإي َشجََِأأن أأو
15. “Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari
kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat
menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)
B. Perempuan Sebagai Anggota Masyarakat
Peran perempuan dalam masyarakat merupakan pokok persoalan, karena
adanya penilaian bahwa normatifitas Islam menghambat ruang gerak perempuan
dalam masyarakat. Didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi
perempuan adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak kemudharatan.
Rasulullah saw. bersabda:
ْدَأ َذَني أوأنَبأكِصَإِْأهِحأَْكَأأبأحَلأَِأأس
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan
hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Perempuan sebagai bagian penting dari masyarakat mendapat perlakuan
yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan muamallah,
tiada kelebihan laki-laki atas perempuan. Dengan demikian perempuan
mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam
masyarakat.
1.3 KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Kepemimpinan dalam Islam sudah ada dan berkembang pascawafatnya
Rasulullah saw. Hal ini timbul karena sudah tidak ada lagi rasul atau nabi setelah
Nabi Muhammad saw wafat.
Namun, ada profesi yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama,
bahwa perempuan tidak bisa menduduki dua profesi yaitu sebagai pemimpin
tertinggi (al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma) dan qodhi.
Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang dipahami secara tekstual,
ataupun secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan
bahwa haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan
pemahaman secara kontekstual, hadits tersebut berkaitan dengan diangkatnya
16. seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat banyak
calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki
demikian. (Qardhawy,1997:246)
Jumhur ulama sepakat akan haramnya perempuan memegang
kekuasan dalam al-wila yatul-kubra atau al-imamatul-uzhma/pemimpin tertinggi.
Di mana perempuan berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan
pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut terdapat kata "Wallu
Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah
dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman
pada wanita untuk memimpin. Hampir ulama klasik memandang bahwa hak
menjadi khalifah adalah hak laki-laki bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh
Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun (Azhar:1996).
Sedangkan dalam hal Qadhi atau yudikatif perempuan tidak diperbolehkan
menduduki jabatan tersebut, pendapat yang mendukung penolakan perempuan
menjadi hakim secara mutlak mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi
qodhi (yudikatif) menurut syara’ sebab profesi ini menuntut kesempurnaan
pendapat (olah pikir), karena perempuan umumnya lemah akalnya, di mana
Rasulullah menafsirkan sifat ketidak sempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian
perempuan nilanya setengah dari kesaksian laki-laki. (Bahnasawi.1996: 293-204)
Kepemimpinan perempuan atau wanita dalam politik terutama untuk
menjadi kepala negara dalam khazanah pemikiran Islam tak henti-hentinya
dibicarakan dan selalu menjadi isu sentral yang sering dipermasalahkan oleh
pihak Barat. Kepemimpinan wanita sering menjadi kendaraan politik dan black
campaign setiap kali perhelatan pemilu dilaksanakan.
Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman/interpretasi terhadap ajaran agama
yang menyatakan salah satu syarat untuk menjadi khalifah/kepala negara haruslah
berkelamin laki-laki. Interpretasi atau pemahaman tersebut didasarkan pada
ucapan Nabi Muhammad ketika menerima berita bahwa masyarakat Persia
memilih putri Kisra menjadi pemimpin mereka. Nabi bersabda yang artinya:
17. Dari Abu Bakar r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda, “Tidak akan
mencapai kebahagian suatu kaum jikalau mereka menyerahkan urusan
mereka pada wanita.” (HR. Bukhari).
Hadis ini dipahami sebagai pesan otentik bahwa permpuan tidak boleh
dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau dalam masalah politik.
Berdasarkan hadis ini para ulama memfatwakan tidak bolehnya perempuan
menjadi kepala Negara.
Hadis tadi diperkuat dengan dukungan tekstual ayat Al-Quran surat An-
Nisa ayat 34, yang artinya:
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
Terhadap ayat ini ada yang memahaminya secara zahir (tekstual), yang
seakan-akan menunjukkan bahwa yang layak menjadi pemimpin adalah laki-laki.
Sebaliknya perempuan hanya layak dipimpin oleh laki-laki.
Dalam beberapa dekade belakangan ini di era modern mucul sederet nama
perempuan yang memegang pemerintahan, misalnya: Indira Gandi dari India,
Margareth Tacher dari Inggris, Anggela Markel dari Jerman, Khaleda Zia dari
Bangladesh, Megawati Soekarno Putri dari Indonesia, dan sebagainya. Menurut
Mahfud MD hal ini muncul akibat dari efektifnya gerakan feminisme yang
mampu membongkar dalil-dalil ideologi jender yang cukup lama membatasi
perempuan.
Untuk menjadi pemimpin negara (imamah, khalifah, imarah) seseorang
harus memenuhi kriteria tertentu, seperti pendapat ulama yang tertuang dalam
kita-kitab fiqih. Menurut Muhammad Syarbaini al-Khatib syarat-syarat pemimpin
adalah muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, mujtahid, pemberani, mendengar
(tidak tuli), melihat (tidak buta), berbicara (tidak bisu).
18. Imam al-Mawardi mengatakan bahwa ada 7 syarat pemimpin, yaitu:
1) Adil
2) Berpengetahuan yang sampai tingkatan mampu ijtihad
3) Berfungsi dengan baik indera pendengaran, penglihatan, dan lisan
4) Sempurna anggota tubuhnya dari kekurangan yang dapat mencegah untuk
bergerak
5) Sanggup memimpin rakyat dan mengurus kesejahteraannnya
6) Punya keberanian dan ketabahan untuk mempertahankan kehormatan dan
berjihad dengan musuh
7) Berdarah keturunan Quraisy
Hibbah Rauf Izzat mengatakan bahwa sesungguhnya hadis ini harus
dipahami dan dikonfirmasikan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra. Karena
disabdakan oleh Nabi saw dalam konteks peristiwa tertentu, yaitu orang-orang
Persia yang telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka.
Berdasarkan asbad al-wurudnya, hadis ini khusus berkaitan dengan kasus
kerajaan Persia. Kalau pun berlaku umum, maka hadis ini berkaitan dengan
kekuasaan umum yang dipegang oleh seorang penguasa dalam negara-negara
kerajaan (monarki).
Menurut Masdar Farid Mas’udi hadis Abu Bakarah tersebut kalau
dipandang dari sudut sanad adalah sahih, namun ada beberapa hal yang perlu
dicatat, yaitu:
a) Hadis tersebut adalah hadis Ahad karena hanya diriwayatkan oleh Abu
Bakarah sehingga tidak dapat memberikan keyakinan penuh tentang
keotentikannya.
b) Hadis itu baru dikemukakan oleh perawinya (Abu Bakarah) 23 tahun
ketika terjadi konflik antara Siti Aisyah r.a. dan mulai tanda-tanda
kekalahan di pihak Aisyah r.a.
c) Hadis tersebut disampaikan Nabi dalam konteks kekaisaran Persia yang
notabene memang menyimpan kebencian terhadap Islam.
19. Jika dilihat dari kondisi masyarakat saat itu bahwa tradisi yang
berlangsung di Persia dan Jazirah Arab pada umumnya, jabatan kepala Negara
(raja) dipegang oleh kepala negara. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk
ikut sert mengurus kepentingan masyarakat apalagi menjadi kepala Negara.
Dalam kondisi seperti itu, wajar kalau Nabi saw mempunyai kearifan tinggi
mengeluarkan hadis itu, karena bagaimana akan sukses jika orang yang
memimpin itu tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya.
20. BAB IV
KESIMPULAN
Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama
dibandingkan dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak
mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan
laki-laki. Setelah Islam datang dengan revolusi moralnya, derajat kaum wanita
diangkat setinggi-tingginya sebagaimana layaknya manusia, hingga tidak ada pilih
kasih antara pria dan wanita. Al-Quran menghormati perempuan sebagai manusia,
anak perempuan, istri, ibu, sebagai anggota masyarakat
Dalam pandangan Islam peran perempuan memiliki perbedaan dengan
laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai anggota keluarga yaitu
sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan peran perempuan
sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi
(pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun
harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun
bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka
profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang darurat tidak
boleh meninggalkan hal yang wajib.
Kepemimpinan dalam Islam sudah ada dan berkembang pascawafatnya
Rasulullah saw. Hal ini timbul karena sudah tidak ada lagi rasul atau nabi setelah
Nabi Muhammad saw wafat. Kepemimpinan perempuan atau wanita dalam politik
terutama untuk menjadi kepala negara dalam khazanah pemikiran Islam tak henti-
hentinya dibicarakan dan selalu menjadi isu sentral yang sering dipermasalahkan
oleh pihak Barat. Kepemimpinan wanita sering menjadi kendaraan politik dan
black campaign setiap kali perhelatan pemilu dilaksanakan.
21. DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Jundy. Tanpa tahun. Agenda Shalihah, Panduan Hidup Wanita
Sholihah. Pustaka Al- Wustho: Solo.
Al Munawar, Said Aqil Husin. 2004. Al- Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press.
Azhar, Muhammad. 1996. Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan
Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bahnasawi, Salim Ali. 1996. Wawasan sistem Politik Islam. Jakarta:
Pustaka Kautsar.
Bahreisy, H Salim dan H Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu
Katsir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dailamy SP, Muhammad. 2008. Empat Persoalan Perempuan dalam
Agama. Untuk kalangan sendiri.
Munir, Lily Zakiyah. 1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan
Perubahan dalam Prespektif Islam. Bandung: Mizan.
Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an dan
Sunnah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Shihab, Quraish. 2004. Membumikan Al Quran,Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud, Prof. Dr. 1959. Min Taujihat Al-Islam. Kairo: Al-Idarat
Al-'Amat lil Azhar.
Daulay, Mahmud Yunus dan Nadlrah Naimi. 2012. Studi Islam II. Ratu
Jaya: Medan.
http://dokumen.tips/download/link/makalah-agama-peran-dan-kedudukan-
wanita-dalam-islam