Dokumen tersebut membahas pandangan Islam terhadap kepemimpinan wanita, dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran dan hadis yang menunjukkan bahwa: (1) tidak ada nabi atau rasul wanita, (2) laki-laki ditetapkan sebagai pemimpin wanita, dan (3) hadis yang melarang kaum menyerahkan kepemimpinan kepada wanita. Beberapa ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi pem
1. Nama : Lusi Efrenti
No. BP : 141200087
Topik : WANITA DAN KEPEMIMPINANNYA
Tujuan : Menggambarkan peranan wanita dalam kepemimpinannnya dan
beberapa kajian tentang pandangan-pandnagan islam berdasarkan
kepemimpinan wanita
Pengungkapan
Maksud
: Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dalam konsumen
pembangunan bukan hanya sebagai proses pembangunan, tapi juga
sebagai fondasi yang berstruktur kuat. Sungguh ironis bila melihat
sebuah kenyataan, apalagi jka melihat peran wanita tradisional yang
selalu dianggap sebagai “cadangan”. Sebagai contoh, umur belia sudah
dipaksa menikah dan melahirkan tanpa mengenyam pendidikan wajib.
Namun, perubahan kian berkembang dengan pesat, perjuangan akan
figur R.A. Kartini dapat dirasakan dengan adanya pergerakkan
emansipasi wanita. Keberadaan peran wanita sebagai pimpinan kini
mulai dihargai dan disetarakan.
Tesis : Pengukuran efektifitas wanita dalam memimpinan jika dikaji dalam
pandangan islam
2. WANITA DAN KEPEMIMPINANNYA
A. PENDAHULUAN
Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dalam konsumen pembangunan bukan hanya
sebagai proses pembangunan, tapi juga sebagai fondasi yang berstruktur kuat. Sungguh ironis
bila melihat sebuah kenyataan, apalagi jka melihat peran wanita tradisional yang selalu
dianggap sebagai “cadangan”. Sebagai contoh, umur belia sudah dipaksa menikah dan
melahirkan tanpa mengenyam pendidikan wajib. Namun, perubahan kian berkembang
dengan pesat, perjuangan akan figur R.A. Kartini dapat dirasakan dengan adanya pergerakkan
emansipasi wanita. Keberadaan peran wanita sebagai pimpinan kini mulai dihargai dan
disetarakan.
Dalam sejarah Indonesia saja Megawati Soekarno putri saja berhasil menjadi salah satu
pemimpin Indonesia. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa wanita mampu menjadi seorang
pemimpin apalagi menjadi seorang Kepala Negara.
Menurut J.I. Brown dalam “Psychology and the Social Order”, disebutkan bahwa pemimpin
tidak dapat dipisahkan dengan kelompok, tetapi dapat dipandang sebagai suatu posisi yang
memiliki potensi yang tinggi di bidangnya. Karakter seorang pemimpin mampu mengubah,
mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dalam mencapai satu tujuan yang memiliki visi
dan misi yang kuat.
Ungkapan tersebut tentu saja dapat diartikan bahwa peranan wanita dalam kepemimpinan
sebenarnya bukanlah suatu hal yang aneh. Dalam hal kesetaraan gender dapat diartikan
bahwa, dengan adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan.
Terwujudnya peran wanita dalam berkesempatan memegang peranan sebagai kepemimpinan
membawa dampak yang mengarah lebih baik bahwa permasalahan akan kesetaraan gender
ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian,
antara perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama dalam mencapai sebuah peran
kepemimpinan. Kini perempuan mampu memberikan suara dalam berpartisipasi dan kontrol
atas pembangunan negara yang lebih baik. Tentu hal ini adalah sebuah kebijakan dalam
memperoleh manfaat kesetaraan serta adil dari pembangunan.Kini saatnya para wanita maju
dan memiliki peran penting dalam kepemimpinan. Tidak salah kan, kalau perempuan menjadi
seorang pemimpin
B. ANALISIS
Kepemimpinan wanita mendapatkan topik yang hangat jika dikaitkan dengan pandangan-pandangan
islam terhadap kepemimpinannya. Timbul beberapa pertanyaan seputar wanita
dengan kepemimpinannya, apakah efektif wanita dalam memimpin serta dibolehkankah
3. dalam islam seorang wanita memimpin. Berikut ada beberapa kajian tentang kepemimpinan
wanita berdasarkan islam:
1. Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam
skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi
manusia lainnya). Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah
Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan
wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa
orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “ (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan
Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
2. Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara
logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala
negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain,
maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
“Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
Hadits :
)67 / شرح السنة للبغوي ) 01
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ « : عَنْ أبَِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنََّ أهَْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ
.» وَلَّوْا أمَْرَهُمُ امْرَأةَ
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah
bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak
akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya
pada seorang perempuan.” (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih
sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran.
Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki
4. tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-
Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin
daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama.
Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai
kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian,
ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun
juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya
sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas
melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala
kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia
lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami
jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang
laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “ (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya,
seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang
notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa
lain, dia haruslah laki-laki.
“Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
Hadits :
)67 / شرح السنة للبغوي ) 01
5. لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ « : عَنْ أبَِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنََّ أهَْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ
.» وَلَّوْا أمَْرَهُمُ امْرَأةَ
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa
orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah
beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang
perempuan.” (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah
keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini,
Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan
tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-
’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah,
keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini,
apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak
menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga,
menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama.
Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas
melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan
harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya
diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini.
Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam
semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa.
Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan
fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi
pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah
laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal
yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra).
6. C. PENUTUP
Islam tidak melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus
benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan
terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di berbagai kesempatan,
melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang
wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu.
Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka
bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan
bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah puteri Beliau sendiri,
kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau.
Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-
Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin
suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.gunadarma.ac.id/436/1/gaya%20%20kepemimpinan%20perempuan_ug.pdf
http://id.jobsdb.com/id-id/articles/peranan-wanita-dalam-kepemimpinan
http://www.nahimunkar.com/bolehkah-wanita-jadi-pemimpin-menurut-islam/