Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam perangkap filsafat kesadaran yang ditandai dengan klaim monologis terhadap objek kritiknya. Dalam upaya mencari sebuah solusi yang dihadapi oleh para pendahulunya, Habermas menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang epistemologi subjektivitas, yaitu paradigma teori komunikasi. Dalam paradigma teori komunikatif, subjektivitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terisolasi dalam dirinya sendiri melainkan subjektivitas lebih dipahami sebagai hasil dari proses komunikasi intersubjektif.
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen HabermasAngga Prawadika Aji
Intisari pemikiran Jurgen Habermas mengenai teori aksi komunikatif dan public sphere.
Bagian dari seri kuliah Departemen Komunikasi Universitas Airlangga.
Disusun oleh Angga Prawadika Aji, S.I.P., M.A.
Teori Tindakan Komunikatif dan Public Sphere Jurgen HabermasAngga Prawadika Aji
Intisari pemikiran Jurgen Habermas mengenai teori aksi komunikatif dan public sphere.
Bagian dari seri kuliah Departemen Komunikasi Universitas Airlangga.
Disusun oleh Angga Prawadika Aji, S.I.P., M.A.
Hi semua, terima kasih sudah berkunjung kesini 😆 Semua file yang diupload adalah materi perkuliahan. Nah... materi ini dari dosen yang dikhususkan untuk teman-teman kelas #manabeve 💚
Biar gampang diakses, yah masukin sini aja kan😆 Sekalian membantu kalian yang mungkin butuh beberapa konten dalam file-file ini.
Jangan lupa di like yah 💙 Kalau mau dishare atau didownload PLEASE MINTA IZIN dulu oke??
Biar ngga salah paham cuy😆
ASK FOR PERMISSION ▶ itsmeroses@mail.ru
Kalau kesulitan untuk mendownload FEEL FREE untuk email ke aku🔝🔝🔝🔝
[DISCLAIMER] Mohon banget kalau udah didownload. Kemuadian ingin dijadikan materi atau referensi. Jangan lupa cantumkan sumbernya. Terima kasih atas pengertiannya💖
------------------------------------------------------------
Materi details :
Coming soon ")
------------------------------------------------------------
MEET CLASS FELLAS💚
Instagram ▶ https://www.instagram.com/manabeve
Blog ▶ https://manabeve.blogspot.com
Email ▶ manabeve@gmail.com
------------------------------------------------------------
LET'S BECOME FRIENDS WITH ME💜
Instagram ▶ https://www.instagram.com/ameldiana3
Twitter ▶ https://www.twitter.com/amlediana3
Large Marine Ecosystems Assessment and Management Approach 2005-2010Iwl Pcu
Objectives: Recovery of depleted fish biomass and fisheries to promote greater food security, sustainable productivity, and socioeconomic benefits.
Reduction in pollution and eutrophication levels of coastal waters.
Restoration of degraded habitats including coral reefs, mangroves, and wetlands.
Rpp ppkn sma xi bab 1 sd 9 daripertemuan awal sd akhir diberikan gratis untuk siapa saja untuk bahan pertimbangan jika ada kesalahan mohon kirim email ke dasepggl@gmail.com ataus sms ke 0856 5990 0626
Bagaimana mau menyekolahkan anak jika biaya untuk makan sehari-hari saja kekurangan? Lalu jika ada anggota keluarga yang sakit, bagaimana mau membawa berobat, jika uang untuk berobat tidak ada? Esensi pertanyaan-pertanyaan tersebut sejalan dengan prinsip pemikiran Abraham Maslow yang mengharuskan pemenuhan kebutuhan fisik di atas kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern muncul dalam bentuk hegemoni dan ideologi yang ‘meninabobokkan’ masyarakat. Usaha kritis sebagai bentuk antithesis dalam zaman ini jarang sekali ditemukan. Malahan masyarakat cenderung kehilangan daya kritisnya dan terhegemoni dalam penindasan-penindasan yang terselubung. Merasa bahwa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Maka dari itu, diperlukan suatu bentuk antithesis baru yang mampu menjawabi permasalahan masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk antithesis yang super kritis untuk membuka selubung-selubung penindasan tersebut. Dengan demikian, proses dialektika akan terus berlangsung guna mewujudkan suatu tatanan hidup bersama yang lebih baik.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar ungkapan: “Ah, Teori….mana prakteknya?” Seringkali kali juga kita melihat, ada orang yang suka berteori namun minim dalam hal praktek (tindakan). Begitu pula sebaliknya, ada orang yang suka bertindak (aktifis) namun minim dalam hal teori/konsep-konsep. Lalu ada pula yang mengatakan: “Ah, teori-teori yang saya pelajari sewaktu kuliah tidak berguna sama sekali dalam dunia kerja saya sekarang”. Kalau memang benar demikian, maka tak perlu kuliah untuk bekerja, mengingat bahwa ada orang yang dapat sukses dalam perkerjaan tanpa merasakan bangku kuliah.
Kemajemukan bagaikan pisau tajam bermata dua. Jika diakomodir dengan baik, maka akan memperkaya inetgrasi nasional. Namun jika tidak dapat diakomodir dengan baik, maka dapat mengarah pada disintegrasi.
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
1. i
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS
JÜRGEN HABERMAS
DAVID JONES SIMANUNGKALIT
1323009004
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2014
2. ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya
ilmiah saya, dengan judul: Kajian Filosofis Atas Teori Diskursus Jürgen
Habermas untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu
Digital Library Perpustakaan Unika Widya Mandala Surabaya untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Surabaya, 13 Juli 2014
MATERAI 6000
David Jones Simanungkalit
1323009004
3. iii
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
hasil tugas akhir ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini
merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia
menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan
dan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.
Surabaya, 13 Juli 2014
David Jones Simanungkalit
1323009004
5. v
KATA PENGANTAR
Karya tulis ini merupakan buah dari proses pembelajaran filsafat yang
digeluti oleh penulis selama menempuh pendidikan jenjang strata satu (S1) di
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pemilihan tema
yang diangkat dalam karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami
pemikiran Jürgen Habermas yang berkaitan dengan teori diskursus. Penulis
berharap agar nantinya dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi agen
perubahan dalam masyarakat sesuai cita-cita yang dimiliki oleh Mazhab
Frankfurt.
Pada kesempatan ini, penulis hendak berterima kasih kepada:
1. Allah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan.
2. Keluarga yang selalu memberikan dukungan moral dan material.
3. Agustinus Pratisto Trinarso Lic. Phil yang telah membimbing penulis
dalam proses penyelesaian karya tulis ini.
4. Dr. Agustinus Ryadi dan Aloysius Widyawan Lic. Phil yang telah
memberi masukan kritis demi perbaikan karya tulis ini.
5. Rekan-rekan filosofan di Unika Widya Mandala, secara khusus
Antonino Indrajaya sang petualang alam liar, yang telah membantu
penulis dalam diskusi dan proses penyelesaian karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini,
maka penulis membuka diri bagi kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan karya tulis ini ke depan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat
menjadi sumbangan bagi setiap pihak yang ingin mendalami pemikiran Jürgen
Habermas yang berkaitan dengan tema komunikasi.
Surabaya, 13 Juli 2014
Penulis
6. vi
DAFTAR ISI
Salinan Halaman Sampul………………………………………………………... i
Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah…………………………………….. ii
Lembar Pernyataan Karya Ilmiah Non Plagiat……………….………………….. iii
Lembar Persetujuan Pembimbing…………………...……………………………iv
Kata Pengantar………………...………………………………………………….v
Daftar Isi…………………………………………………………………………. vi.
Abstraksi Skripsi………………………………………………………………….viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………………………………1
1.2. Rumusan Masalah……………….………………………………………..3
1.3. Tujuan………….………………………………………………………… 3
1.4. Metode Penelitian……….……………………………………………….. 3
1.5. Sistematika Penulisan…………...……………………………………..… 4
BAB II JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT
2.1. Biografi Jürgen Habermas….…………………………….……………… 6
2.2. Mazhab Frankfurt…………………..……………………………………..10
2.3. Pemikiran Filosofis Jürgen Habermas……...………….……………….... 21
2.3.1. Rasio Komunikatif……………………………………………………... 21
2.3.2. Theory of Communicative Action……………………………………..26
BAB III TEORI DISKURSUS
3.1. Teori Diskursus…………..…………………………….…………………33
3.2. Prosedur Diskursus…………….…..…………………………………...... 40
3.3. Prinsip Etika Diskursus………………….………………………………….......45
3.4. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Habermas…………………………. 49
3.4.1. Kritik atas Pemikiran Habermas oleh Michel Foucault…............. 50
7. vii
3.4.2. Defending Habermas oleh Michael Pusey…………………………..55
BAB IV RELEVANSI TEORI DISKURSUS
4.1. Diskursus dan Ruang Publik …..…………………………...……………60
4.2. Relevansi Teori Diskursus di Indonesia..................................................... 62
4.3. Penerapan Diskursus Dalam Demokrasi di Indonesia……………………68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan……………………...……………………….…….……….... 71
5.2. Saran………………….…………………………………….………….… 74
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 75
8. viii
ABSTRAKSI
KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
David Jones Simanungkalit
1323009004
Masyarakat modern memiliki kompleksitas nilai dan kepentingan.
Benturan nilai dan kepentingan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dielakkan
lagi. Dalam situasi semacam itu, kita dihadapkan pada dua buah jalan pilihan.
Pertama, membangun sebuah tatanan masyarakat rasional yang dilandasi oleh
nilai-nilai etika dan moral. Kedua, menggunakan cara-cara irasional, seperti
kekerasan, uang, dan kekuasaan, yang cenderung mengarah pada kehancuran.
Kompeleksitas nilai dan kepentingan harus diatur sedemikian rupa guna
mencegah terjadinya konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Pada
titik ini, keberadaan hukum menjadi hal yang sangat fundamental untuk mengatur
kompleksitas nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Keberadaan
hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam masyarakat berjalan dengan
tertib.
Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang
muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan
hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi
masyarakat. Contoh konkret dari keberadaan hukum yang controversial adalah
sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah
jajahannya, seperti hukum tanam paksa yang pernah ada di Indonesia. Lalu
adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan antara masyarakat
kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara. Keberadaan
hukum yang demikian tidak mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya
memberikan nilai keadilan bagi masyarakat. Keberadaan hukum yang
kontroversial justru tidak menjamin terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib
dan adil melainkan malah dapat memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa
keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Akar permasalahannya terletak
pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya. Keberadaan hukum yang
kontroversial tersebut ditetapkan secara sepihak oleh penguasa atau pihak
mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu dan
melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi “subjektivitas” dari penguasa
dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya kontrol dan keterlibatan aktif dari
masyarakat merupakan sebuah problem yang menandakan adanya kecacatan
dalam prosedur dalam pembentukan hukum.
9. ix
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memperkenalkan gagasan-
gagasan filosofis Jürgen Habermas yang berkaitan dengan proses penetapan
hukum atau norma melalui sebuah prosedur pengujian intersubjektif. Prosedur
pengujian secara intersubjektif merupakan esensi dari teori diskursus. Teori
diskursus, sebagai sumbangan pemikiran Habermas terhadap masyarakat modern,
pada dasarnya tidak menawarkan suatu ide substantif apapun, melainkan hanya
meradikalkan prosedur (cara) yang didasarkan pada hakekat rasio itu sendiri, yaitu
rasio komunikatif dan rasio prosedural.
Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode kepustakaan
dengan pengunaan berbagai sumber pustaka yang terkait dengan tema dan dapat
dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.
Teori diskursus kiranya sangat cocok sebagai salah satu solusi alternatif
terkait permasalahan mengenai proses penetapan hukum (norma). Menurut
pandangan Habermas, produk-produk legal formal yang menyangkut kehidupan
publik harus melewati sebuah proses pengujian diskursif yang menekankan
prinsip intersubjektivitas. Produk-produk legal formal yang dicapai melalui
prosedur pengujian diskursif akan menghasilkan sebuah konsensus yang memiliki
dasar legitimasi yang kuat. Kekuatan dasar legitimasinya terletak pada konsensus
yang dicapai secara intersubjektif. Pelaksanaan hasil konsensus yang dicapai
melalui mekanisme semacam itu bersifat mengikat terhadap seluruh partisipan
diskursus, karena mereka terlibat aktif di dalam prosesnya.Produk-produk legal
formal yang dihasilkan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi aktif
masyarakat tidak memiliki dasar legitimasi yang kuat karena adanya defisit dalam
proses legitimasinya.
Kata kunci: rasio prosedural, tindakan komunikatif, teori diskursus,
etika diskursus, intersubjektivitas.
10. x
ABSTRACT
Philosophical Study On Jürgen Habermas’ Discourse Theory
David Jones Simanungkalit
1323009004
Modern society has the complexity of values and interests. Conflict of
interests and values is a thing that cannot be avoided. In such a situation, we are
faced with two ways of choice. First, building a rational society which is based on
ethical values and moral. Second, using irrational ways, such as money violence
and power which tends to lead to destruction. Complexity of values and interests
must be arranged in such a way to prevent conflicts that lead to the disintegration
of society. At this point, the existence of law becomes a very fundamental thing
to set the values and interests of the complexities which exist in society. The
existences of law can ensure mutual aid in society walk orderly.
Nevertheless, we often encounter with various problems which arise
related to the law. The problem is the existence of controversial law which does
not reflect on the value of justice for society. Concrete example of the existence of
the controversial law is the legal system applied by the colonial government to its
colonies, such as legal cultivation that existed in Indonesia. Furthermore, the
existence of Apartheid politic in South Africa which separated black community
and white community in a legal system of political country. The existence of
such a law does not reflect the essence of the law which is supposed to provide
justice for the people. The existence of a controversial law precisely does not
ensure to have an order and fair community life, but instead it may lead to the
disintegration of society.
This existence of a controversial law was a proof that the existence of the
law is free from problems. The root of the problem lies on the legitimacy
procedure of law. The existence of the controversial law was determined only by
the ruler or the majority party that aims to serve the interests of certain parties and
perpetuate the status quo. Emphasis on the dimension of "subjectivity" from the
authorities and certain parties without being controlled and the active involvement
of the community is a problem which suggests a defect in the formation of legal
procedures.
This paper aims to introduce the philosophical ideas of Jürgen Habermas
related to legal or norm-setting process through an intersubjective testing
procedure. Intersubjective testing procedure is the essence of discourse theory.
Theory of discourse, as Habermas conceptual contribution to modern society,
basically it does not offer a substantive idea whatsoever, but only radicalized
11. xi
procedure (method) which based on the nature of the ratio itself, ie the ratio of
communicative and procedural ratio.
The method used in this paper is a literature method by conducting
various sources of literature which related to the theme and can be accounted for
scholarship aspect.
Discourse theory would very suitable as one alternative solution of the
problems related to the determination of the legal process (the norm). Habermas’
point of view, formal legal products related to public life must pass through a
testing process that emphasizes discursive intersubjectivity principle. Formal legal
products are achieved through the testing procedure will result in a discursive
consensus that has strong legitimacy base. Basic strength lies on its legitimacy
achieved intersubjective consensus. Implementation of the results of the
consensus reached through such a mechanism shall be binding on all the discourse
participants, because they are actively involved in the process. Formal legal
products were achieved unilaterally without involving the active participation of
the community, it does not have a strong legitimacy base because of the deficit in
the process of it’s legitimacy.
Keywords: ratio procedural, communicative action, discourse theory,
discourse ethics, intersubjectivity.
13. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan
bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang memiliki kompleksitas
nilai dan kepentingan.1
Adanya kompleksitas nilai dan kepentingan mengharuskan
kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya
konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Keberadaan hukum menjadi
sangat penting untuk mengatur adanya kompleksitas nilai dan kepentingan dalam
masyarakat. Keberadaan hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam
masyarakat berjalan dengan tertib.
Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang
muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan
hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi
masyarakat. Contoh konkrit dari keberadaan hukum yang kontroversial adalah
sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah
jajahannya. Lalu adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan
masyarakat kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara
yang dijalankan dengan baik. Keberadaan hukum yang demikian tidak
mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya memberi nilai keadilan bagi
1
JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan
oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962
, 1.
14. 2
masyarakat. Keberadaan hukum yang kontroversial justru tidak menjamin
terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib dan adil melainkan malah dapat
memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa
keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Menurut hemat penulis
permasalahannya terletak pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya.
Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut hanyalah bentukan secara sepihak
oleh penguasa atau pihak mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan
pihak-pihak tertentu dan melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi
“subjektivitas” dari penguasa dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya
kontrol dan keterlibatan aktif dari masyarakat merupakan sebuah problem yang
menandakan adanya kecacatan dalam prosedur dalam pembentukan hukum.
Karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami pemikiran
Jürgen Habermas terkait bagaimana menghasilkan produk hukum yang memiliki
dimensi kesahihan dan legalitas melalui diskursus. Teori diskursus merupakan
sebuah teori yang dilandasi oleh paradigma komunikatif. Ukuran kesahihan dan
legalitas dalam hukum yang hendak disasar oleh teori diskursus terletak pada
prosedur komunikasi politis yang memungkinkan tercapainya konsensus bersama
oleh setiap anggota masyarakat. Jika mengacu pada teori diskursus, aspek
legalitas dalam hukum tidak terletak semata-mata pada otoritas yang berwenang
melainkan juga terletak pada keterlibatan aktif dan persetujuan dari masyarakat.
Dengan demikian, hukum dapat memiliki sifat mengikat dan legal karena
15. 3
dihasilkan dari sebuah proses dimana masyarakat turut berpartisipasi aktif dalam
proses pembentukannya.
1.2. PERMASALAHAN
Rumusan permasalahan karya tulis ini adalah:
1. Apa itu teori diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?
2. Bagaimanakah prosedur diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:
1. Untuk memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Jürgen Habermas
yang berkaitan dengan proses penetapan norma-norma melalui sebuah
prosedur pengujian intersubjektif.
2. Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan program strata satu di
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
1.4. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah:
1 Manfaat teoritis: Sebagai sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan
terkait kajian kritis mengenai teori diskursus Jürgen Habermas .
2 Manfaat praktis: Sebagai sumbangan terkait bagaimana menghasilkan
produk-produk hukum yang sahih melalui mekanisme diskursus.
16. 4
1.5. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode
kepustakaan. Metode kepustakaan adalah pengunaan berbagai sumber pustaka
yang terkait dengan tema yang diangkat dalam karya tulis ini. Berbagai sumber
kepustakaan tersebut diolah oleh penulis menjadi sebuah karya tulis yang koheren
dan sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Skema penulisan karya tulis ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab satu
merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang penulis memilih tema, tujuan
penulisan, pokok permasalahan yang diangkat, metode penulisan skripsi, dan
sistematika penulisan. Pada bagian ini penulis akan memaparkan permasalahan
terkait dengan prosedur penetapan norma-norma yang akan dibahas dalam
pemikiran Jurgen Habemas.
Pada bab dua, penulis akan memapaparkan biografi Jürgen Habermas .
Setelah itu, penulis akan memaparkan pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt
dimana Habermas tergabung di dalamnya. Pemaparan pemikiran tokoh Mazhab
Frankfurt bertujuan untuk mempertahankan kontinuitas dialektika filsafat
pemikiran Habermas yang berakar dari para tokoh pendahulunya dalam Mazhab
Frankfurt. Selanjutnya, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Habermas
sebagai pembaharu pemikiran dari para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Bab tiga merupakan pemaparan secara khusus mengenai teori diskursus
yang menjadi rumusan permasalahan dalam karya tulis ini. Pemaparan mengenai
17. 5
teori diskursus meliputi: apa itu teori diskursus?, bagaimanakah prosedur dalam
melakukan diskursus?, prinsip etika macam apakah yang ada dalam diskursus?.
Setelah itu, penulis akan menyajikan sebuah tinjauan kritis terhadap teori
diskursus guna mendapatkan sebuah objektivitas pemikiran terhadap teori
diskursus.
Pada bab empat, penulis akan merelevansikan teori diskursus dalam
dinamika demokrasi di Indonesia. Pemaparan pada bab ini akan dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama, penulis akan memaparkan konsep ruang publik sebagai
aplikasi teori diskursus dalam ranah kehidupan politik praksis. Kedua, penulis
akan merelevansikan teori diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.
Ketiga, penulis akan memaparkan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi dalam
melakukan diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.
Pada bab lima, penulis akan menyimpulkan seluruh pemaparan karya tulis
ini. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan
kesimpulan atas gagasan-gagasan pokok yang menjadi pemikiran Habermas yang
telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Bagian kedua berisi saran-saran yang
diajukan oleh penulis setelah mempelajari pemikiran Habermas.
19. 6
BAB II
JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT
2.1. BIOGRAFI JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas adalah salah seorang filsuf terkemuka abad ini. Gagasan-
gagasannya banyak dijadikan acuan oleh banyak orang yang terjun dalam arus
pemikiran filsafat. Sebagaimana diungkapkan oleh F. Magnis Suseno “Habermas
mengesan karena luasnya perhatian serta orisinalitas posisi-posisinya.”2
Keluasan
perhatian Habermas tampak dari pemikiran-pemikirannya yang mencakup banyak
bidang kajian, diantaranya filsafat, sosiologi, politik, hukum, dan budaya.
Karakter umum teorinya adalah interdisipliner. Sampai saat ini, pemikiran
teoretisnya berpengaruh dalam berbagai bidang humaniora dan ilmu sosial.
Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummersbach, kota kecil dekat
Düsseldorf, Jerman. Franz Magnis Suseno, sebagaimana ditulis oleh Santosa
Irfaan dalam jurnalnya, mengungkapkan bahwa Habermas adalah anak Ketua
Kamar Dagang di suatu propinsi Jerman.3
Kakeknya adalah seorang pendeta.
Dengan demikian, Habermas dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang
berlatar belakang protestan.
Perkenalannya dengan dunia politik dimulai pada tahun 1945, ketika ia
masih berusia 16 tahun. Sebagai remaja pada saat itu, ia harus mengikuti gerakan
2
F. MAGNIS SUSENO, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta 2000, 215.
3
SANTOSA IRFAAN, “Jürgen Habermas : Problem Dialektika Ilmu Sosial”, Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Januari-Juni 2009, 1.
20. 7
Pemuda Hitler (Hitler Youth). Hitler Youth merupakan sebuah wajib militer yang
harus dijalani oleh para pemuda di German pada rezim Hitler. Setelah perang usai,
Habermas melihat film dokumenter tentang Holocaust. Saat itulah Habermas
menyadari bahwa periode Nazi telah menghasilkan kengerian Auschwitz dan
bencana moral kolektif.4
Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Habermas mulai
mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat di sebuah universitas yang terletak
kota Göttingen. Setelah itu, ia melanjutkan studi filsafatnya di Universitas Bonn
dan memperoleh gelar doktor pada tahun1954 melalui disertasinya tentang filsuf
Idealis Jerman, Friedrich Schelling. Selama masa studinya, ia juga mendalami
pemikiran Martin Heidegger5
. Namun kekecewaannya pada Heidegger muncul
sejak ia mengetahui keberpihakan Heidegger pada Nazi. Kekecewaannya semakin
meningkat ketika ia juga mengetahui keberpihakan Heidegger pada Konrad
Adenauer. Adenauer adalah pemimpin pertama Republik Federal Jerman yang
berdiri pada tahun 1949, dan berkarakter konservatif.
Pada tahun 1956, Habermas berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian
Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Theodor W. Adorno6
. Dalam institut
4
JAMES GORDON FINLAYSON, Habermas:A Very Short Introduction, Oxford University press, New
York 2005, bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page).
5
Martin Heidegger (1889-1976) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pengarang
buku Time and Being (1927). Karya-karya Martin Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran
Habermas muda dan menjadi sebuah target besar kritisismenya. ANDREW EDGAR, Habermas:
The Key Concepts, Routledge, New York 2006, xi.
6
Theodor W. Adorno (1903-1969) adalah seorang filsuf, sosiolog, dan musikolog. Ia dikenal
sebagai salah seorang tokoh yang berpengaruh di Frankfurt School. Habermas menjadi asisten
Adorno pada tahun 1956. Ibid., x.
21. 8
tersebut, Habermas juga berkenalan dengan Max Horkheimer7
yang menjabat
sebagai direktur di Institut tersebut sejak 1930. Keduanya menjadi guru sekaligus
pembimbing Habermas. Dari keduanya, Habermas belajar bagaimana
menganalisis masyarakat secara kritis dan berkenalan dengan lebih mendalam
dengan pemikiran Marxisme. Dalam periode ini pemikirannya menjadi semakin
radikal.
Pada tahun 1961-1964, Habermas meninggalkan Universitas Frankfurt dan
menjadi dosen filsafat di Universitas Heidelberg. Selama periode itu, ia menyusun
sebuah karangan yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Transformasi
struktural dari lingkup umum), sebuah studi yang mempelajari sejauh mana
demokrasi dapat diterapkan dalam industri modern. Pada tahun 1964, ia kembali
ke Universitas Frankfurt karena diangkat menjadi Profesor Filsafat dan Sosiologi
menggantikan Horkheimer. Selama mengajar di Universitas Frankfurt, Habermas
menjadi seorang tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa dan dianggap
sebagai ideolog mereka.
Pada tahun 1971-1981, Habermas kembali meninggalkan Universitas
Frankfurt untuk menjadi direktur di Institut Max Planck yang terletak di
Starnberg. Alasan perpindahannya adalah ia tidak lagi betah mengajar di
Universitas Frankfurt.8
Di Institut Max Planck, Habermas banyak meneliti kondisi
7
Max Horkheimer (1895-1973) adalah seorang filsuf yang beraliran Neo-Marxist. Ia merupakan
direktur awal institut penelitian yang menjadi basis institusional bagi berdirinya Frankfurt
School. Ibid., xi.
8
K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
20024
, 238.
22. 9
kehidupan dalam dunia ilmiah-teknis bersama seorang rekannya yang bernama
C.F. Weizsacker.
Pada tahun 1983, Habermas kembali mengajar filsafat di Universitas
Frankfurt. Pada periode inilah Habermas mulai dikenal sebagai teoretikus sosial
dan pendukung demokratis kiri di Jerman Barat. Habermas menjadi saksi mata
saat Jerman bersatu yang ditandai dengan peristiwa jatuhnya Tembok Berlin. Ia
bahkan menjadi salah seorang aktor di balik peristiwa tersebut dengan
menyuarakan ide mengenai unifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur.9
Pada periode selanjutnya, Habermas banyak mempelajari pemikiran John Rawls10
tentang liberalisme dan demokrasi konstitusional.
Sejak pensiun dari jabatannya di Frankfurt pada tahun 1994, Habermas
menghabiskan waktu dengan menulis di Starnberg dan menjadi pengajar paruh
waktu di Amerika Serikat. Beberapa kali tulisannya dimuat di media cetak sebagai
seorang komentator politik dan budaya. Tema yang diangkat diantaranya bioetika,
teknologi gen, terorisme, kosmopolitanisme, dan kebijakan luar negeri Amerika
Serikat setelah tragedi 9/11. Sampai saat ini, belum ada yang dapat merumuskan
teori sosial dan politik yang dapat menangkap kompleksitas dan ketegangan yang
terjadi, serta mengarahkannya pada ranah positif sebaik Habermas.
Selama hidupnya, Habermas telah menghasilkan banyak karya tulis. Ia
juga dikenal sebagai salah satu tokoh inspiratif di Jerman yang memiliki
9
JAMES GORDON FINLAYSON, Op.Cit., bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page).
10
John Rawls (1921-2002) adalah seorang filsuf politik berkebangsaan Amerika dan pendukung
utama liberalisme. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul A Theory of Justice (1972). Pada
tahun 1990’an, Habermas berdialog dengan Rawls mengenai hakikat dari masyarakat liberal.
ANDREW EDGAR, Op.Cit., xii.
23. 10
pemikiran kritis terkait ruang publik. Filsafatnya dapat dikatakan sebagai sebuah
manifestasi seluruh tradisi filsafat Jerman di mana pemikiran-pemikirannya
merupakan sebuah refleksi kritis atas pemikiran filsuf-filsuf besar Jerman yang
menjadi pendahulunya. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan mengenai
Mazhab Frankfurt di mana pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah
refleksi kritis atas pemikiran para tokoh pendahulunya dalam mazhab tersebut.
2.2. MAZHAB FRANKFURT
Pada bagian ini, penulis hendak menyajikan sebuah arus deras pemikiran
yang menjadi dasar di mana Habermas kemudian merumuskan teorinya. Dengan
kata lain, penulis hendak menyajikan duduk perkara awal yang menjadi titik tolak
bagi Habermas dalam mengembangkan gagasan-gagasannya. Hal ini dirasa
penting oleh penulis guna menjaga kesinambungan dan kontinuitas arus deras
pemikiran falsafati yang melatarbelakangi proyek pemikiran Habermas.
Sebagaimana telah disinggung di atas, pada tahun 1956, Habermas
berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi
salah seorang anggotanya. Para tokoh yang tergabung dalam Institut Penelitian
Sosial tersebut dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt. Pemikiran-pemikiran
kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama ‘Teori Kritis’ (‘Kritische
Theorie’). Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt banyak diarahkan untuk
menganalisis secara kritis persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.
Dalam membangun gagasan-gagasannya, mereka menggunakan landasan
pemikiran dari beberapa tokoh besar dalam dunia filsafat, diantaranya adalah
24. 11
Friedrich Hegel11
, Karl Marx12
, dan Sigmund Freud13
sebagai dasar paradigma
analisis kritis terhadap masyarakat.14
Jika kita ingin mendalami pemikiran Habermas dengan baik, maka harus
mengenal gagasan-gagasan para tokoh pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Pemikiran-pemikiran filosofis Habermas merupakan sebuah pengembangan atas
pemikiran-pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt yang menjadi pendahulunya.
Beberapa tokoh terkemuka yang sering disebut sebagai generasi pendahulu
(generasi pertama) Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer, Theodor
Wiesendrund Adorno, dan Herbert Marcuse15
. Habermas kemudian disebut
sebagai generasi pembaharu (generasi kedua) Teori Kritis karena mampu
memberikan solusi atas kebuntuan pemikiran yang dialami oleh para pemikir
Teori Kritis generasi pertama.
Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pembahasan kembali
ideologi dari Karl Marx. Bagi Mazhab Frankfurt, Marx telah mengubah skematika
dialektika pemikiran Hegel yang terlampau abstrak menjadi skema dialektika
11
G. W. F. Hegel (1770-1831) adalah seorang filsuf dan tokoh kunci dalam pengembangan
idealisme Jerman. Pemikirannya sangat berpengaruh terhadap pemikiran Karl Marx, Frankfurt
school, dan Habermas muda. Ibid., xi.
12
Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pencetus teori sosial,
di mana pemikiran-pemikirannya menjadi basis dari berbagai sekolah beraliran Marxisme dan
sosiologi. Ibid.
13
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang ahli neuropatologi dan psikoanalisa. Ia
memelopori disiplin medis baru dan merumuskan prosedur dasar terapi yang kini digunakan
secara luas sebagai metode penyembuhan penderita neurosis dan psikosis. READY SUSANTO, 100
Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh, Penerbit Nuansa, Bandung 2004, 114.
14
K. BERTENS, Op.Cit., 196.
15
Herbert Marcuse (1898-1979) adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Marcuse menulis sebuah
karya yang berjudul one-dimensional man yang sangat cocok untuk melukiskan situasi orang
modern, yaitu manusia berdimensi satu. Ibid., 215 & 228.
25. 12
yang lebih berciri materialistik.16
Dialektika material ala Marx merupakan sejarah
pertentangan kelas di mana kaum proletar berusaha membebaskan diri dari
penindasan kaum borjuis. Pemikiran Karl Marx tersebut menginspirasi Mazhab
Frankfurt untuk menyusun sebuah teori yang bertujuan praksis emansipatoris.17
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan
untuk mengeritik positivisme.18
Kritik tersebut mengerucut pada penerapan cara
berpikir positivistis yang dipergunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena
sosial.19
Mazhab Frankfurt menilai hal tersebut sebagai ideologi. Penerapan cara
berpikir positivistis untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial dianggap
sebagai ideologi karena para penganutnya mengambil begitu saja metode ilmu
alam tanpa mempertanyakan terlebih dahulu: Apakah sistem tersebut cocok untuk
diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial? Dengan kata lain, Mazhab Frankfurt
menilai bahwa pengintegrasian metode ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial telah
menghilangkan dimensi kritis rasio dan menjadikan rasio hanya sebagai alat
belaka untuk memahami realitas. Kritik Mazhab Frankfurt tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut melalui argumentasi-argumentasi yang diajukan para tokoh
generasi pertama Mazhab Frankfurt berikut ini.
16
F. BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 20072
, 235.
17
Teori Kritis memiliki tujuan emansipatoris di mana mereka berusaha membuka kesadaran
masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Penindasan tersebut termanifestasi dalam
bentuk ideologi yang dinilai telah melanggengkan status quo dan meninabobokan masyarakat.
Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praksis
revolusioner. K. BERTENS, Op.Cit., 202-203.
18
Positivisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya rumusan atas aturan-aturan
korespondensi. Positivisme mengedepankan adanya verifikasi langsung (empiris) untuk
menentukan dimensi kesahihan sebuah pernyataan. REZA A. A. WATTIMENA, Filsafat dan Sains:
Sebuah Pengantar, PT Grasindo, Jakarta 2008, 180.
19
Cara berpikir positivistis yang dimaksud berkaitan dengan paradigma positivisme yang
menekankan bahwa semua pernyataan di dalam ilmu pengetahuan haruslah didukung dengan
data-data yang didapat dari pengamatan dan eksperimen. Ibid., 156.
26. 13
Horkheimer memberi nama pengintegrasian metode ilmu alam guna
memahami fenomena sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.20
Cita-cita Teori
Tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Kees Bertens, adalah menciptakan
suatu sistem ilmiah menyeluruh yang meliputi semua bidang keahlian.21
Dengan
kata lain, Teori Tradisional hendak memaksakan klaim “kebenaran” ilmiahnya
dalam semua bidang kehidupan manusia. Teori Tradisional mengklaim dirinya
sebagai teori yang bebas nilai, mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari
konteks kegiatan masyarakat sehari-hari. Klaim tersebut mengarah pada
argumentasi bahwa Teori Tradisional merupakan sebuah bentuk pengetahuan
yang bebas kepentingan. Maka dari itu, masyarakat yang ingin diterangkan dalam
teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara
obyektif.
Menanggapi klaim Teori Tradisional di atas, Mazhab Frankfurt
sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens, mengungkapkan bahwa sia-sialah
Teori Tradisional mengklaim dirinya dapat terlepas dari nilai.22
Penjelasan terkait
dengan nilai yang menggambarkan paradigma Mazhab Frankfurt diungkapkan
oleh Kees Bertens dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer sebagai berikut:
“ ”Nilai” tidak dapat dipandang sebagai suatu wilayah yang
terletak di luar ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diusahakan
oleh sosiolog Jerman, Max Weber. Sadar atau tidak, ilmu
pengetahuan mengundang nilai-nilai. Suatu ilmu pengetahuan
sosial yang bersikap sama sekali netral merupakan ilusi belaka. Si
ilmuwan sendiri selalu termasuk obyek sosial yang dipelajarinya.
20
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius,
Yogyakarta 1990, 54.
21
K. BERTENS, Op.Cit., 201.
22
Ibid., 203.
27. 14
Tidak pernah ia berdiri otonom di hadapan obyek studinya. Karena
masyarakat yang diselidikinya tidak (atau belum) merupakan
perwujudan suatu pilihan bebas dan rasional oleh manusia, si
ilmuwan pun tidak dapat melepaskan diri dari ketidakbebasan itu.
Persepsinya sendiri diresapkan oleh tata susunan masyarakat
konkret dan janganlah ia mengira ia sanggup melepaskan diri
daripadanya begitu saja. Maka dari itu menekankan terpisahnya
facts and values pada kenyataannya berarti memihak pada status
quo.”23
Dari kutipan di atas tampak bahwa klaim Teori Tradisional yang
menyatakan dirinya bebas nilai tidak dapat dipertahankan karena nilai merupakan
sebuah hal yang berkaitan erat dengan dimensi hakiki kehidupan manusia.24
Ketiadaan penilaian dari subjek terhadap objek, sama dengan sikap acuh tak acuh
terhadap objek/fenomena. Dengan kata lain, jika tidak ada penilaian dari subjek
maka objek hanya menjadi sebuah kejadian yang tak bermakna. Hal itu tidak bisa
terjadi dalam realitas kehidupan manusia, sebab manusia adalah makhluk yang
selalu terhubung pemaknaannya dengan objek. Usaha untuk memisahkan antara
fakta dan nilai hanya akan melanggengkan status quo yang tidak mendorong
munculnya perubahan sosial.
Horkheimer dan Adorno membuat sebuah kesimpulan bahwa munculnya
positivisme yang menjadi biang keladi Teori Tradisional berakar pada
‘pencerahan budi’ (Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.
Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18 menandai suatu perubahan radikal
23
Ibid.
24
“Nilai berkaitan erat dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai
juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai
“indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subjek yang menilai.”
K. BERTENS, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 201111
, 151.
28. 15
terhadap pola pikir manusia di mana sebelumnya rasio masih terkungkung dalam
mitos dan tradisi-tradisi, kini dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Pada
era pencerahan inilah mulai terjadi demitologisasi, di mana cara berpikir mitis,
mulai digantikan dengan cara berpikir positivistis.
Horkheimer dan Adorno, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman
dalam bukunya Kritik Ideologi, mengungkapkan bahwa antara cara berpikir mitis
dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara memahami kenyataan,
bukan berbeda secara hakikatnya.25
Manusia yang berpikir mistis berusaha
memahami realitas dengan cara mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan
dalam ritus-ritus keramat. Dalam melakukan mimesis, manusia mitis
membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di dalamnya.
Dengan jalan itulah manusia mitis mampu memahami kenyataan dan
kedudukannya di dalam semesta. Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha
memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio dengan obyek yang ingin
dikendalikan. Pengendalian rasio atas objek kajiannya berjalan dengan prosedur
matematis yang bekerja secara tepat dan otomatis di bawah aturan-aturan yang
pasti dan niscaya. Rasionalitas pencerahan dinilai sebagai ideologi karena
cenderung mempertahankan status quo cara berpikirnya yang hanya menekankan
pendekatan positivistis sebagai tolok ukur utama dalam memahami realitas.
Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini menyatakan bahwa
cara berpikir mitis dan cara berpikir positivistis memiliki sifat ideologis. Mitos
disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan gambaran dunianya
25
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan…, Op.Cit., 63.
29. 16
sehingga mereka terkungkung di dalamnya. Sedangkan rasionalitas pencerahan
dinilai sebagai ideologi karena metode positivistis yang digunakan telah
dibekukan menjadi satu-satunya tolok ukur utama manusia modern dalam
memahami realitas. Pendekatan positivistis tersebut telah menghilangkan
kemampuan khas rasio yang dapat kritis terhadap dirinya sendiri dan sekaligus
hanya menjadikan rasio sebagai alat (rasio instrumental) belaka dalam memahami
realitas. Pada akhirnya, Adorno dan Horkheimer berkesimpulan bahwa cara
berpikir positivistis yang lahir dalam masa pencerahan dinilai hanya melahirkan
sebuah mitos baru yang malah membawa banyak masalah sosial.
Herbert Marcuse, Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, juga berpendapat
bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi ideologi atau mitos dalam
masyarakat modern. Namun kritik yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan
pada teknologi yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat
modern. Marcuse, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman,
mengungkapkan bahwa sains dan teknologi modern memang dapat membebaskan
manusia dari tuntutan untuk bekerja keras, namun di sisi lain sains dan teknologi
sekaligus menjadi sistem penguasaan yang total dalam masyarakat.26
Manusia
modern harus mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam sistem tersebut karena
seluruh bidang kehidupan telah diteknologikan menjadi suatu sistem birokrasi
total yang menuntut sistematisasi segalanya.
Lebih lanjut, Marcuse, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman,
mengungkapkan bahwa “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem teknologis itu
26
Ibid., 66.
30. 17
akan menyebabkan neurosis bahkan tidak mungkin sama sekali”.27
Dengan kata
lain, teknologi telah mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia modern.
Dominasi teknologi tidak hanya berada dalam tataran praksis-fisik melainkan juga
menyerang hingga dimensi batin manusia. Serangan teknologi yang menyerang
hingga dimensi batin manusia tampil dengan adanya kebutuhan-kebutuhan palsu
yang termanifestasi dengan iklan-iklan.28
Keberadaan iklan-iklan tersebut telah
mendorong gaya hidup konsumtif, sebagai contoh: adanya iklan telepon genggam
(handphone) yang selalu berubah model dalam hitungan tahun atau bahkan bulan
menjadi lebih canggih. Keberadaan iklan tersebut memunculkan sebuah gaya
hidup baru yang lebih menekankan prestise namun malah cenderung
mengesampingkan fungsi utamanya. Dari sini tampak bahwa, sistem dan
teknologi telah mendominasi total segala aspek kehidupan manusia. Dominasi
total teknologi telah menjadikan manusia bukan lagi sebagai tuan atas teknologi,
melainkan sebaliknya, manusia justru menjadi hamba dari teknologi.
Seiring berjalannya waktu, oleh karena sifat kritis yang diusungnya secara
terus-menerus termasuk kritis pada dirinya sendiri, para pemikir Mazhab
Frankfurt pada akhirnya terjebak pada sebuah kontradiksi internal cara
berpikirnya sendiri. Sebagaimana telah dijabarkan di atas bahwa Mazhab
Frankfurt mengeritik Teori Tradisional sebagai ideologi karena paradigma
positivistis yang diterapkan ke ilmu-ilmu sosial dimutlakkan sebagai prinsip
utama untuk memperoleh pengetahuan yang diklaim bebas nilai dan kepentingan.
27
Ibid., 69.
28
Kebutuhan palsu merupakan kebutuhan yang ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung
dibuat-buat. Dengan demikian, kebutuhan palsu bukanlah kebutuhan alamiah yang berasal dari
dalam diri manusia.
31. 18
Kritisisme yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap Teori Tradisional dapat
dikategorikan sebagai ideologi. Sebagaimana makna ideologi adalah sebuah
perspektif berpikir yang coba diterapkan untuk menguasai keseluruhan bidang
kehidupan, kritisisme yang diusung Mazhab Frankfurt pun merupakan sebuah
perspektif berpikir yang bertujuan untuk menguasai objek kritiknya. Kritik
ideologi yang selama ini menjadi senjata andalannya sendiri pada akhirnya justru
menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
F. Budi Hardiman dalam jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan
Teologi, mengungkapkan perihal kebuntuan berpikir yang dialami Mazhab
Frankfurt sebagai berikut:
“Sementara Adorno dan Horkheimer mengeritik ciri-ciri
rasional instrumental di dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan
dewasa ini dengan cara menyingkapkan hubungan timbal balik
antara mitos dan pencerahan, ideologi dan kritik, mereka tetap
terperangkap di dalam asumsi-asumsi filsafat kesadaran. Sama
seperti seorang ideolog, seorang kritikus masyarakat ingin
menguasai objek yang dikritiknya secara monologis untuk
memaksakan visi-visi dan keyakinan-keyakinannya kepada orang-
orang lain. Dengan cara ini kritik merupakan manisfestasi lain dari
ideologi. Para pendahulu Habermas tidak dapat menemukan jalan
keluar dari dilema macam ini karena tolok ukur kritik mereka sama
dengan tolok ukur objek yang dikritiknya, yaitu ideologi. Dengan
kata lain, kritik hanya dapat diungkapkan dalam bahasa
kekuasaan.”29
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Mazhab Frankfurt mengeritik secara
habis-habisan Teori Tradisional karena dianggap telah membekukan cara berpikir
positivistis sebagai satu-satunya ukuran “kebenaran” dalam memahami fenomena
29
F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam
Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 5.
32. 19
sosial tanpa disertai sikap kritis terhadap cara berpikirnya sendiri. Namun pada
akhirnya, para tokoh Mazhab Frankfurt juga menyadari bahwa kritik yang
dilontarkan oleh mereka ternyata dapat membeku menjadi ideologi. Sebagaimana
diungkapkan oleh F. Budi Hardiman dalam kutipan di atas, Mazhab Frankfurt
terjebak dalam asumsi filsafat kesadaran di mana kritik ternyata merupakan
manifestasi dari klaim kebenaran subjektif yang dipaksakan pada objek kritiknya.
Problematika kebuntuan berpikir Mazhab Frankfurt disebabkan tidak
adanya ukuran pendasaran normatif yang jelas: Apakah yang membuat klaim
kebenaran Mazhab Frankfurt lebih baik/unggul dibandingkan dengan klaim
kebenaran positivistis? Bukankah kritik yang diusung oleh Mazhab Frankfurt
merupakan sebuah klaim monologis, yang diibaratkan oleh F. Budi Hardiman
dalam kutipan di atas seperti seorang ideolog yang memaksakan visi dan
kebenaran subjektifnya kepada pihak lain. Padahal, baik Mazhab Frankfurt
maupun pencetus Teori Tradisional sama-sama memiliki klaim kebenaran
tersendiri atas kesahihan metode yang digunakannya. Dalam pengertian inilah
kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt dapat dikategorikan sebagai ideologi
karena tolok ukur kritik yang digunakan sama dengan tolok ukur objek kritiknya.
Dengan demikian, kritik merupakan sebuah bentuk penguasaan, penindasan, dan
dominasi baru karena subjek yang mengeritik selalu ingin menguasai dan
mendominasi objek kritiknya secara monologis.
Di sisi lain, dalam pergerakan politik praktisnya, para tokoh Mazhab
Frankfurt selalu menolak ajakan para golongan muda yakni mahasiswa untuk
33. 20
menjadi gerakan praksis yang revolusioner.30
Gerakan praksis revolusioner
tersebut merupakan manifestasi konkrit cita-cita Marxisme yang berusaha
mewujudkan keadilan sosial dalam bentuk masyarakat tanpa kelas. Alasan
penolakan untuk menjadi praksis revolusioner dilandasi adanya kesadaran dari
para tokoh Mazhab Frankfurt bahwa setiap gerakan praksis emansipatoris akan
jatuh pada sebuah bentuk perbudakan yang baru, karena setiap gerakan praksis
emansipatoris juga selalu menghasilkan suatu bentuk penguasaan yang baru
pula.31
Dititik inilah generasi pertama Mazhab Frankfurt mengalami jalan buntu.
Mereka menghadapi sebuah dilema antara menjadi ideologi di satu sisi dan
menjadi praksis emansipatoris yang selalu berarti menjadi dominasi baru di sisi
lain. Pada titik kebuntuan ini, Habermas muncul sebagai generasi pembaharu
Teori Kritis yang berhasil memecah kebuntuan berpikir tersebut dengan teori
paradigma komunikasinya. Proyek filosofis Habermas tidak melepaskan
hubungan antara teori dan praksis, melainkan lebih meradikalkan hubungan yang
terdapat di dalamnya melalui paradigma baru, yaitu paradigma rasio komunikatif.
Proyek filosofis Jürgen Habermas merupakan sebuah usaha solutif guna
mengatasi problematika yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam Mazhab
Frankfurt. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana Habermas
memecah kebuntuan berpikir yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam
Mazhab Frankfurt.
30
Gerakan praksis revolusioner yang dimaksud adalah sebuah gerakan massa yang bertujuan
untuk menjatuhkan sistem pemerintahan yang dianggap tidak memberikan unsur keadilan bagi
masyarakat.
31
F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan..., Op.Cit., 73.
34. 21
2.3. PEMIKIRAN FILOSOFIS JÜRGEN HABERMAS
2.3.1. Rasio Komunikatif
Sebagaimana telah disinggung di atas, Mazhab Frankfurt telah terjebak
dalam kontradiksi internal cara berpikirnya sendiri. Meminjam ungkapan seorang
filsuf yang bernama Friedrich Nietzsche32
, kontradiksi internal yang dimaksud
adalah kehendak untuk berkuasa yang menjadi kedok di balik rasionalitas
pencerahan. Secara lebih lugas, F. Budi Hardiman menyatakan bahwa kritik yang
menjadi kemampuan rasio (faculty of ratio) hanya dapat diungkapkan dalam
bahasa kekuasaan. Term kritik yang diusung oleh Mazbah Frankfurt, kendati
bertujuan (emansipatoris) untuk membuka kesadaran masyarakat akan penindasan
yang membelenggunya, ternyata dapat jatuh sebagai ideologi. Hal tersebut
disebabkan kritik yang diajukan Mazhab Frankfurt juga bertujuan untuk
menguasai objek kritiknya secara total. Kritik (in se) merupakan manifestasi
klaim kebenaran monologis yang cenderung dipaksakan kepada objek kritiknya.
Dengan demikian, kebuntuan yang dialami oleh Mazhab Frankfurt disebabkan
mereka tidak dapat melepaskan diri dari lingkaran kebuntuan tersebut.
32
Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia juga dikenal
sebagai seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia banyak mengeritik
kebudayaan Barat pada zamannya yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan
tradisi kekristenan. Hampir seluruh karyanya merupakan kritik atas teisme. Ungkapannya yang
terkenal adalah Tuhan telah mati dan kita telah membunuhnya. Keadaan manusia tanpa Allah
adalah kemerdekaan mutlak, namun sekaligus membuat manusia kehilangan arah, sendirian,
dan kesepian. Keadaan manusia tanpa Allah disebut nihilisme. Sekilas tampak bahwa
Nietzsche adalah seorang filsuf yang ateis, namun jika memahami filsafat Nietzsche dengan
baik, filsafatnya justru merupakan sebuah ajakan untuk mencintai kehidupan dengan utuh
(Lebensbejahung), dan memosisikan manusia sebagai manusia purna Ubermensch dengan
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). HENDI SUHENDI, Kapita Selekta Filsafat, CV
Pustaka Setia, Bandung 2010, 188-189.
35. 22
Habermas, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman, menyebutkan
bahwa paradigma lama di mana subjek ingin menguasai objek kritiknya secara
monologis sebagai filsafat kesadaran atau filsafat subjek.33
Paradigma yang
digunakan dalam filsafat subjek berasal dari semangat pencerahan di mana subjek
adalah pusat realitas. Semangat pencerahan tersebut melahirkan cara berpikir
positivistis di mana subjek menjadi entitas yang lebih superior dari objek.
Keadaan superioritas tersebut berefek pada dominasi dan penguasaan secara
monologis oleh subjek terhadap objek. Dengan demikian, baik Mazhab Frankfurt
maupun Teori Tradisional telah terjebak dalam lingkaran setan filsafat kesadaran
karena keduanya sama-sama memposisikan diri sebagai subjek superior atas objek
kritik/kajiannya.
Teori Tradisional dapat dikategorikan dalam paradigma filsafat subjek
dalam kaitannya dengan metode positivisme yang diterapkan ke dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan. Teori Tradisional, yang ingin merumuskan hukum yang melandasi
perilaku manusia, berusaha mengobjektifikasi manusia, mengambil sikap netral
terhadap objek riset, dan jika perlu memanipulasi objek riset tersebut secara
eksperimental. Dalam Teori Tradisional, manusia diobjektifikasi sedemikian rupa
oleh peneliti untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh peneliti.
Manusia tidak dipandang sebagai teman yang sederajat, melainkan tidak lebih
hanya sekedar objek riset. Dari sini tampak jelas bahwa subjek lebih superior
daripada objek, di mana subjek berusaha mengontrol dan menguasai objek secara
monologis.
33
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 4.
36. 23
Mazhab Frankfurt pada akhirnya menginsyafi bahwa paradigma yang
digunakan oleh mereka untuk mengeritik Positivisme dan Teori Tradisional dapat
membeku menjadi ideologi. Mazhab Frankfurt cenderung memaksakan visi,
keyakinan, dan kebenaran monologisnya terhadap objek kritiknya. Dengan kata
lain, Mazhab Frankfurt memposisikan dirinya sebagai subjek yang lebih superior
daripada objek kritiknya. Maka dari itu, Mazhab Frankfurt juga memposisikan
dirinya sebagai subjek yang ingin mengontrol dan menguasai objek kritiknya
secara monologis.
Guna memecah kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya,
Habermas menyarankan sebuah perubahan paradigma terhadap epistemologi
subjektivitas. Subjektivitas tidak lagi dimaknai dalam paradigma subjek yang
terisolasi pada dirinya sendiri, yang ditandai dengan klaim monologis,
melainkan subjektivitas lebih dipahami dalam kerangka komunikasi
intersubjektif.34
Dalam paradigma komunikasi, relasi antara subjek dan objek
tidak lagi berpola vertikal/atas-bawah di mana subjek cenderung lebih superior
daripada objek kritiknya, melainkan lebih berpola horizontal/egaliter di mana
subjektivitas lebih dipahami sebagai proses intersubjektif yang berpola sederajat
(subjek-subjek).
34
Dalam bukunya Between Facts and Norms, Habermas mengkategorikan konsep subjek yang
terisolasi dalam dirinya sendiri ke dalam filsafat Immanuel Kant, khususnya dalam konsep akal
budi praktis (practical reason). Bagi Habermas, pendasaran universalitas moral yang diberikan
oleh Immanuel Kant dalam Kritik atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason) memiliki
defisit dalam proses legitimasinya. Defisit yang dimaksud oleh Habermas adalah dasar
legitimasi moral yang diberikan oleh Immanuel Kant merupakan sebuah klaim monologis yang
dibuat oleh subjek yang menimbang-nimbang sendiri apa yang seharusnya dia lakukan. Bagi
Habermas, kompleksitas yang ada dalam masyarakat modern telah membawa krisis pada cara
legitimasi tradisional untuk diterapkan tak tanpa masalah (unproblematically) terhadap
dinamika masyarakat modern. JÜRGEN HABERMAS, Between Fact and Norm, (judul asli:
Faktizitat und Geltung), diterjemahkan oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville
19962
, 1-2.
37. 24
Dalam bukunya Faktizitat und Geltung,35
Habermas menjelaskan
perbedaan paradigma antara konsep rasio praktis (practical reason) ala Immanuel
Kant36
dengan konsep rasio komunikatif yang dicetuskannya sebagai berikut:
“Communicative reason differs from practical reason first
and foremost in that it is no longer ascribed to the individual actor
or a macrosubject at the level of the state or the whole of society.
[…..] Communicative rationality is ex-pressed in a decentered
complex of pervasive, transcendentally enabling structural
conditions, but it is not a subjective capacity that would tell actors
what they ought to do.”37
Dari kutipan tersebut tampak bahwa defisit yang ada dalam konsep rasio
praktis (practical reason), di mana kebenaran pengetahuan diperoleh dari klaim
monologis tanpa disertai adanya dialog intersubjektif, berusaha diperbaharui oleh
Habermas dengan paradigma yang baru, yaitu: konsep rasio komunikatif.
35
Faktizitat und Geltung (Between fact and norm ) merupakan buku karangan Jürgen Habermas .
Buku tersebut menekankan peran diskursus publik dalam hukum dan demokrasi. Buku tersebut
merupakan kontribusi Habermas, sebagai seorang pemikir sosial, terhadap trend intelektual
masyarakat dewasa ini. Ibid., ix.
36
Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai
salah satu filsuf besar dalam filsafat modern. Proyek filosofisnya merupakan sebuah usaha
untuk mendamaikan pertentangan dua kubu pemikiran antara rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan kemampuan rasionalitas
(faculty of ratio) -prinsip koherensi, sistematisasi, dan kausalitas- sebagai dasar kesahihan
pengetahuan manusia. Empirisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan peran
pancaindra sebagai dasar bagi pengetahuan manusia. Beberapa karyanya yang terkenal
diantaranya adalah Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas rasio murni) dan Kritik der
praktischen Vernunft (Kritik atas rasio praktis). Dalam dua karya besarnya tersebut, Immanuel
Kant berusaha mencari sebuah prasyarat yang memungkinkan sebagai dasar bagi kesahihan
pengetahuan manusia. Dalam filsafat Immanuel Kant, peran akal budi menjadi lebih otonom
sebagai pendasaran bagi pengetahuan manusia. Immanuel Kant juga dikenal sebagai seorang
filsuf yang merefleksikan hakikat moral secara tajam dan mendalam. Pendapatnya tentang
hukum (juga moral) terdapat dalam karyanya Metaphysik der Sitten (1797). HYRONIMUS RHITI,
Filsafat Hukum: dari klasik sampai postmodernisme, Penerbit Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta 2011, 121-123.
37
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 3-4.
38. 25
Konsep rasio komunikatif, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,
memiliki dua spektrum arti, yaitu: konstitutif dan regulatif.38
Fungsi rasio secara
konstitutif mengacu pada hakikat rasio yang memiliki sifat komunikatif yang
inhern di dalam rasio itu sendiri. Dengan kata lain, konsep rasio komunikatif
merupakan ide (pengandaian) dasar yang digunakan sebagai prasyarat agar
proses-proses komunikatif dapat terlaksana. Sedangkan fungsi rasio secara
regulatif mengacu pada mekanisme yang mengatur bagaimana proses komunikasi
intersubjektif dapat terlaksana dengan baik. Mekanisme yang berjalan secara
intersubjektif merupakan konsep rasio prosedural. Rasio prosedural dapat
dikatakan sebagai sebuah mekanisme di mana rasio memeriksa kesahihan
produknya sendiri melalui proses intersubjektif. Dalam konsep rasio prosedural,
klaim-klaim kesahihan tidak lagi dicapai melalui pola legitimasi yang bersifat
monologis, melainkan diperoleh melalui persetujuan intersubjektif.
Jika ingin memahami lebih jelas mengenai konsep rasio komunikatif,
maka kita harus menghubungkannya dengan konsep dasar lainnya yang
digunakan oleh Habermas, yaitu: konsep tindakan sosial. Dalam konsep tindakan
sosial, konsep rasio komunikatif akan dilihat dalam perspektif yang lebih praksis.
Habermas menghubungkan konsep rasio komunikatifnya dengan konsep tindakan
sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa sebagai medium komunikasi.
Habermas menamai tindakan sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa
sebagai medium komunikasi sebagai tindakan komunikatif (communicative
action). Tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai kesepahaman dan
38
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 8-9.
39. 26
kesepakatan secara intersubjektif, bukan untuk pembenaran diri sendiri yang
bersifat monologis. Bagi Habermas, bahasa itu sendiri (in se) telah memiliki sifat
komunikatif yang inhern di dalamnya. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
lebih lanjut mengenai konsep tindakan komunikatif.
2.3.2. Theory of Communicative Action
Habermas meyakini bahwa jaringan interaksi sosial yang terjadi di
masyarakat (dari masa ke masa) tidak terjadi secara semena-mena, melainkan
pada dasarnya bersifat rasional.39
Sifat rasional yang dimaksudkan oleh Habermas
mengacu pada tindakan komunikatif yang berorientasi pada tercapainya saling
kesepahaman secara intersubjektif. Tindakan komunikatif terkait erat dengan
penggunaan bahasa sebagai instrumen guna tercapainya saling kesepahaman
antara satu sama lain.40
Bagi Habermas, penggunaan bahasa sebagai instrumen
bagi tindakan komunikatif memainkan peranan yang sangat vital, khususnya
dalam pola relasi yang kompleks sebagaimana terjadi pada masyarakat modern
dewasa ini.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tindakan komunikatif
merupakan tindakan yang diorientasikan untuk mencapai saling kesepahaman
antara satu sama lain. Kata pemahaman (Verstandigung), Bagi Habermas,
memiliki dua spektrum arti, yaitu: mengerti (Verstehen) dan setuju
39
Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai
berikut: “[…] via communicative action, have a hand in constituting the social reality of
networks of interactions spreading out radially through space and time.” JÜRGEN HABERMAS,
Op.Cit., 19.
40
Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai
berikut: “With the concept of communicative action, the important function of social
integration devolves on the illocutionary binding energies of a use of language oriented to
reaching understanding.” Ibid., 8.
40. 27
(Einverstandnis) atau konsensus (Konsens).41
Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas sebagai berikut:
“Communicative action, then, depends on the use of
language oriented to mutual understanding. This use of language
functions in such a way that the participants either agree on the
validity claimed for their speech acts or identify points of
disagreement, which they conjointly take into consideration in the
course of further interaction.”42
Pemahaman yang berarti mengerti mengacu pada tercapainya kondisi
saling kesepahaman/pengertian antara subjek-subjek yang komunikatif. Hal
tersebut tercermin dalam proses komunikasi manusia sehari-hari, di mana
seseorang berusaha menyampaikan gagasannya sedemikian agar lawan bicaranya
dapat mengerti maksudnya. Sedangkan term pemahaman yang berarti
setuju/konsensus berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengambil
posisi ya atau tidak terhadap argumentasi yang diajukan oleh lawan bicaranya.43
Tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas lebih mengarah
pada term pemahaman yang berarti setuju/konsensus.
Habermas menginsyafi bahwa tindakan sosial tidak selalu berwujud
tindakan komunikatif, melainkan juga ditandai dengan adanya paksaan dan
kekerasan. Dengan kata lain, bahasa, sebagai instrumen tindakan sosial, juga
dapat digunakan sebagai medium kekuasaan. Habermas, dalam bukunya Moral
Consciousness and Communicative Action, membedakan dua macam mekanisme
41
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 10.
42
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 18.
43
Hal ini terkait dengan konsep klaim validitas yang mengacu pada struktur normatif
argumentasi. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada paragraf-paragraf selanjutnya.
41. 28
tindakan, yaitu: tindakan yang mengarah pada konsensus dan tindakan strategis.44
Tindakan yang mengarah pada konsensus adalah tindakan yang diorientasikan
untuk mencapai kesepakatan intersubjektif. Sedangkan tindakan strategis adalah
tindakan yang bersumber dari klaim kebenaran monologis yang sifatnya subjektif,
tanpa pengakuan orang lain, dan cenderung ditujukan demi tercapainya
kepentingan subjektif semata. Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah
tindakan yang mengarah pada konsensus. Tindakan yang mengarah pada
konsensus lebih fundamental daripada tindakan strategis, karena tindakan
komunikatif melibatkan proses koordinatif yang bersifat intersubjektif yang
bertujuan menghasilkan mekanisme koordinasi sosial.45
Dalam tindakan komunikatif, antar subjek yang berkomunikasi
menggunakan bahasa dalam bentuk proposisi-proposisi (kalimat-kalimat) sebagai
medium demi tercapainya saling kesepahaman antara satu sama lain. Habermas
memberikan semacam kerangka acuan normatif bagi mekanisme tindakan
komunikatif. Inilah yang disebut dengan klaim validitas atau klaim kesahihan.
Klaim validitas dapat dipahami sebagai sebuah prasyarat ideal, yang diandaikan
namun sekaligus bersifat empiris, untuk menentukan dimensi kesahihan dari
mekanisme tindakan komunikatif. Konsep klaim validitas diambil alih dari filsafat
44
JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action, (judul asli:
Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and
Shierry Weber Nicholsen, Polity press, Cambridge 20074
, 58.
45
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 12.
42. 29
bahasa Anglosakson, yang kemudian dikembangkan oleh Habermas, sebagai
pendasaran teoritisnya dalam membangun teori komunikasi.46
Klaim validitas berisi tentang tiga tatanan konsep dunia (dunia objektif,
dunia sosial, dan dunia subjektif) yang digunakan sebagai kerangka acuan untuk
menentukan dimensi kesahihan dari argumentasi seseorang. Ketiga tatanan
konsep dunia tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Theorie des
Kornmunihativen Handelns, Band 1 sebagai berikut:
“In communicative action we today proceed from those
formal presup-positions of intersubjectivity that are necessary
if we are to be able to refer to something in the one objective
world, identical for all observers, or to something in our
intersubjectively shared social world. […..] But an analogous
mixing of domains of reality can be shown as well for the
relationship of culture and internal nature or the subjective
world.”47
Tiga konsep dunia sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas digunakan
untuk menganalisis acuan pernyataan yang diungkapkan oleh seseorang. Sebagai
contoh: Pernyataan “di luar sedang hujan”. Pernyataan tersebut mengacu pada
tatanan dunia objektif di mana keadaan cuaca di luar memang hujan. Berbeda
dengan pernyataan “saya sedang sedih”. Pernyataan tersebut mengacu pada
tatanan dunia subjektif di mana si penutur memang mengalami kesedihan di
dalam dirinya. Lain lagi dengan pernyataan “jangan berteriak-teriak di ruang
46
“Habermas menganalisis sifat khusus dari praksis komunikatif dengan memanfaatkan teori
perbuatan-tutur (speech acts) dari John Austin dan John Searle. Inti pemikiran mereka adalah
bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melakukan perbuatan-perbuatan yang
tertentu, yaitu “perbuatan-tutur”. K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer…, Op.Cit., 245.
47
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The
Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:
Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon
press, Massachusetts 1984, 50-51.
43. 30
perpustakaan ini”. Pernyataan tersebut mengacu pada tatanan dunia sosial yang
berhubungan dengan dimensi sosial-normatif.
Ketiga konsep dunia tersebut digunakan oleh Habermas sebagai
pendasaran normatif bagi klaim kebenaran (truth), ketepatan (normative
rightness), dan kejujuran (truthfulness) dari pernyataan seseorang. Hal tersebut
tampak jelas dalam ungkapan Habermas sebagai berikut:
“In cases where agreement is reached through explicit
linguistic processes, the actors make three different claims to
validity in their speech acts as they come to an agreement with one
another about something. Those claims are claims to truth, claims
to rightness, and claims to truthfulness, according to whether the
speaker refers to something in the objective world (as the totality
of existing states of affairs), to something in the shared social
world (as the totality of the legitimately regulated interpersonal
relationships of a social group), or to something in his own
subjective world (as the totality of experiences to which one has
privileged access).”48
Klaim akan kebenaran mengacu pada tatanan dunia objektif di mana
pernyataan seseorang harus memiliki kesesuaian dengan kenyataan faktual-
empiris. Klaim akan ketepatan mengacu pada tatanan dunia sosial di mana
pernyataan seseorang harus terkait dengan ketepatan dimensi sosial-normatif.
Sedangkan klaim akan kejujuran mengacu pada tatanan dunia subjektif di mana
pernyataan seseorang harus sungguh-sungguh menyatakan apa yang dialaminya
(si penutur tidak berbohong). Ketiadaan salah satu aspek saja dalam klaim
kesahihan mengakibatkan tidak sahihnya sebuah pernyataan. Maka dari itu, dalam
48
JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 58.
44. 31
menyampaikan klaim-klaim kesahihannya, seorang penutur harus serentak benar,
tepat, dan jujur dalam menyampaikan segala pernyataannya.
Klaim kesahihan yang dinyatakan oleh seseorang pada dasarnya dapat
dikritik oleh si pendengarnya. Si pendengar juga dapat mengajukan sebuah klaim
kesahihannya sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas sebagai berikut:
“Validity claims are in principle are open to criticism
because they are based on formal world-concepts. They
presuppose a world that is identical for all possible observers, or a
world intersubjectively shared by members, and they do so in an
abstract form freed of all specific content. Such claims call for the
rational response of a partner in communication.”49
Klaim kesahihan terbuka akan kritik karena didasarkan pada konsep-
konsep dunia formal (formal world-concepts). Konsep dunia formal merupakan
realitas yang dialami secara intersubjektif sehingga setiap orang dapat mengkritisi
sebuah pernyataan melalui acuan-acuan yang digunakannya. Tahap ini
membutuhkan sebuah kemampuan untuk menerima atau menolak klaim kesahihan
yang diajukan oleh seseorang. Keberhasilan tindakan komunikasi sangat
bergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima atau menolak klaim
kesahihan yang diajukan oleh lawan bicaranya.
Pada akhirnya, tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai
konsensus. Dengan kata lain, tindakan komunikatif bukanlah tindakan yang
mengarah pada pembenaran klaim subjektif-monologis semata, melainkan selalu
melibatkan adanya persetujuan pihak lain (konsensus). Hal tersebut diungkapkan
oleh Habermas sebagai berikut:
49
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action…, Op.Cit., 50.
45. 32
“Finally, the concept of communicative action refer to
inter-action of at least two subjects capable of speech and action
who establish interpersonal relations (whether by verbal or by
extra-verbal means). The actors seek to reach an understanding
about the action situation and their plan of action in order to
coordinate their actions by way of agreement. The central concept
of interpretation refers in the first instance to negotiating
definitions of situations which admit to consensus. As we shall see,
language is given a prominent place in this model.”50
Pada bab selanjutnya akan dijelaskan secara khusus mengenai Teori
diskursus. Teori diskurus merupakan sebuah teori argumentasi yang dielaborasi
lebih lanjut dari teori tindakan-komunikatif. Dalam teori diskursus, klaim-klaim
kesahihan yang terbuka akan kritik akan direfleksikan secara lebih mendalam
dengan menganalisis struktur argumentasi.
50
Ibid., 86.
47. 33
BAB III
TEORI DISKURSUS
Pada bagian ini akan dibahas rumusan masalah utama karya tulis ini, yaitu:
Apa itu teori diskursus? Pembahasan mengenai teori diskursus pada bab ini akan
dibagi menjadi empat bagian. Pertama, penulis akan memaparkan apa itu teori
diskursus? (3.1). Kedua, penulis akan menjelaskan mengenai prosedur diskursus
(3.2). Ketiga, penulis akan memaparkan prinsip etika diskursus (3.3). Keempat,
penulis akan memaparkan tinjauan kritis terhadap teori diskursus (3.4).
3.1. TEORI DISKURSUS
Teori Diskursus (discourse theory) merupakan sebuah teori yang
dikembangkan lebih lanjut dari teori tindakan komunikatif (Theory of
Communicative Action). Pada prinsipnya, teori diskursus merupakan bentuk-
reflektif (reflex-ionform) dari teori tindakan komunikatif.51
Dengan kata lain,
diskursus adalah kelanjutan dari tindakan komunikatif dengan memakai sarana
lain, yaitu sarana argumentatif. Guna melihat secara lebih cermat bahwa teori
diskursus adalah bentuk-reflektif dari teori tindakan komunikatif, penulis akan
memaparkan terlebih dahulu perbedaan mendasar antara teori tindakan
komunikatif dengan teori diskursus.
51
JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan
oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962
, 223.
48. 34
Teori tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas
bertitik pangkal pada proses komunikasi yang berada pada level praksis hidup
sehari-hari. Dalam pola komunikasi semacam ini, tiap-tiap subjek yang
berkomunikasi tidak terlalu mempermasalahkan secara khusus alasan-alasan yang
mendasari pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh lawan bicaranya. Dengan
kata lain, klaim-klaim kesahihan yang ada dalam proses komunikasi semacam ini
tidak terlalu dipermasalahkan dan kebenarannya diandaikan begitu saja.
Komunikasi pada level ini tak lain merupakan sebuah bentuk komunikasi
sehari-hari dimana setiap orang saling berbicara, saling menukar informasi, dan
membentuk hubungan sosial antara satu sama lain. Andrew Edgar52
, dalam
bukunya Habermas: The Key Concepts, mengungkapkan hal tersebut sebagai
berikut: “Communication is the everyday activity through which people speak to
each other, share information, and set up and sustain social relationships.”53
Lebih lanjut, Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms
mengungkapkan bahwa: “With the concept of communicative action, the
important function of social integration devolves on the illocutionary binding
energies of a use of language oriented to reaching understanding.”54
Dengan kata
lain, berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dalam tindakan
komunikatif (communicative action) menjadi sebuah hal yang sangat penting dan
52
Andrew Edgar adalah seorang pengajar filsafat senior di Universitas Cardiff. Dia adalah
seorang pengarang buku yang memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Habermas. Beberapa
buku karangannya adalah Acumen, 2005 dan Cultural Theory: The Key Concepts (with Peter
Sedgwick. Routledge, 1999). ANDREW EDGAR, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New
York 2006.
53
Ibid, 42.
54
JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 8.
49. 35
dibutuhkan dalam menunjang integrasi sosial guna tercapainya sebuah tujuan
komunikasi, yaitu kesepahaman antara satu sama lain. Berbagai hal yang
diandaikan tersebut menjadi semacam pengetahuan-latarbelakang dan bersifat
pra-reflektif yang mendasari seluruh proses komunikasi verbal. Habermas,
sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Edgar dalam bukunya Habermas: The Key
Concepts, menyebut Pengetahuan-latarbelakang tersebut sebagai dunia-kehidupan
(Lebenswelt).55
Namun berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dapat
menjadi problematis. Dalam dialog sehari-hari, tak jarang lawan bicara kita
mempertanyakan secara lebih eksplisit alasan-alasan yang mendasari pernyataan
kita, misalnya dengan melontarkan pertanyaan: Apakah yang kamu maksudkan?
Apakah ukuran yang kamu gunakan dalam menilai bahwa si A lebih pandai
daripada si B? Atau bahkan lawan bicara kita dapat menolak sama sekali
pernyataan-pernyataan kita. Dalam situasi semacam itu, berbagai hal yang
sebelumnya telah diandaikan begitu saja mulai terganggu. Kita perlu menafsirkan
kembali klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif diandaikan
begitu saja. Di titik ini, pola komunikasi mengalami sebuah pergeseran dari
sekedar bertukar informasi diganti dengan pemberian alasan-alasan yang bersifat
rasional.
Dalam tindakan komunikatif (communicative action), pencapaian
konsensusnya cenderung telah diterima secara spontan dan tanpa pikir panjang
55
“Lifeworld: the stock of skills, competences and knowledge that ordinary members of society
use, in order to negotiate their way through everyday life, to interact with other people, and
ultimately to create and maintain social relationship. ANDREW EDGAR, Op.Cit., 89.
50. 36
lagi, sedangkan dalam diskursus konsensusnya dicapai dalam taraf yang lebih
reflektif.56
Bentuk komunikasi dimana klaim-klaim kesahihan dipersoalkan
kembali adalah diskursus. Fungsi diskursus, sebagaimana diungkapkan Habermas
dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action, adalah
membenahi klaim validitas yang kontroversial dan membuat klaim validitas baru
sebagai pengganti yang lama secara intersubjektif.57
Sebagaimana telah disinggung di atas, diskursus merupakan sebuah
bentuk-reflektif dari tindakan komunikatif. Sebagai bentuk-reflektif dari tindakan
komunikatif, diskursus memakai instrumen lain yaitu argumentasi. Habermas,
sebagaimana diungkapkan oleh J. Donald Moon dalam buku The Cambridge
Companion to Habermas, mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:
“When the validity of a norm is challenged, the
coordination sought through communicative action is disturbed
and so the parties must enter (“into a process of moral
argumentation”) through which they (“continue their
communicative action in a reflexive attitude with the aim of
restoring a consensus that has been disrupted.”) When they are
successful in reaching a consensus on the validity of the norms
governing their interaction, their agreement (“expresses a
common will,”) an agreement that is reflexive in the sense that the
56
Tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan klaim validitas seseorang. Dengan kata lain,
tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan kesesuaian proposisi yang dikatakan
seseorang dengan acuan konsep tiga dunia formal (subjective, objective, and social worlds).
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The
Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:
Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon
press, Massachusetts 1984, 72.
57
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action, (judul asli:
Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and
Shierry Weber Nicholsen, Polity Press, Massachusetts 20073
, 67.
51. 37
parties know “that they have collectively become convinced of
something.”58
Di dalam proses diskursus, setiap peserta dapat mengemukakan semua
argumentasi yang relevan dan bahkan pengandaian-pengandaian yang ada di balik
sebuah pernyataan dapat dikritik, kalau perlu diubah, jika para peserta
menghendakinya. Apabila hal tersebut dipenuhi, maka tercapailah tujuan
diskursus itu sendiri yaitu sebuah konsensus yang rasional, karena bertumpu pada
argumentasi-argumentasi yang terbaik.59
Guna lebih memahami bagaimana bentuk konkret diskursus sebagaimana
dimaksudkan oleh Habermas, berikut ini penulis akan memberikan sebuah contoh
diskursus praktis60
yang dikemukakan oleh Logi Gunnarsson61
dalam bukunya
Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier:
“Two persons lie in beds in a hospital. One of them is just
waking up and notices the other one with surprise.
Patient: What are you doing here? You are my doctor!
Doctor: Yes, I know. But yesterday, as we were operating on you,
we noticed that you had two healthy kidneys. Since I needed a
kidney, another doctor took over the operation, and I now have
your kidney. I hope you don't mind.
58
J. DONALD MOON, et.al., “Practical Discourse and Communicative Ethics”, dalam Stephen K.
White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge University Press, New York
1995, 148.
59
JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1…, Op.Cit., 72.
60
Jürgen Habermas membedakan antara diskursus teoritis dan diskursus praktis. Diskursus
teoritis mempersoalkan klaim kebenaran pernyataan-pernyataan teoritis-empiris, sedangkan
diskursus praktis mempersoalkan klaim ketepatan pernyataan-pernyataan normatif. Proyek
etika diskursus Habermas lebih memusatkan diri pada tipe diskursus praktis. JÜRGEN HABERMAS,
Between fact and norm…, Op.Cit., 230.
61
Logi Gunnarsson adalah seorang pengajar, pakar, dan peneliti filsafat di Universitas Humboldt,
Berlin. Karyanya antara lain Wittgensteins Leiter: Betrachtungen zum Tractatus, dan jurnal
penelitian filsafat yang berjudul ‘Deutsche Zeitschrift fur Philosophie and Dialektik’. LOGI
GUNNARSSON, Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier, Cambridge University
Press, New York 2000.
52. 38
After initial reactions of disbelief and after having had the news
confirmed by others, the patient continues the conversation. The
interchange now turns into a discourse about the rightness of a
norm.
Patient: You had no right to do that. Nobody has the right to
remove another person's bodily organs without that person's
permission.
Doctor: I disagree. Earlier you had two healthy kidneys and I had
none. Now each of us has one. A person only needs one functioning
kidney. Now we can both lead a normal life. I know that you are
too egoistic ever to accept having a kidney removed, but you must
agree that the situation is now fairer than before.
Patient: You have to see the matter also from my point of view, the
point of view of the victim. By doing this without my permission
you have interfered with my right to have a final say over what is
done to my body.
So far the discourse can be classified as an SD-discourse. The
doctor and the patient are directly discussing the issue of whether
one has the right to transplant someone's kidney without her
permission. With the doctor's next contribution, the conversation
takes a new turn. She makes a suggestion which – if it were
accepted – would amount to a rejection of SD. The conversation
moves up a level: it turns into a discussion of whether SD or some
other principle of justification is the appropriate way of justifying
norms.
Doctor: I see the matter from both points of view. I am just trying
to be impartial. And I have reached the conclusion that the only
way to be impartial is to let the decision rest on what produces
more happiness, not on what we would agree to in discourse. If the
rightness of a norm is to be decided in a discourse among those
affected by the norm, there is no way the agreement is going to be
impartial. We have to agree in advance (in discourse) that the
rightness of a norm depends on its effect on happiness and not on
the issue whether it would be agreed to in discourse.
Patient: I disagree. You are confusing impartiality with
impersonality. The rightness of a norm rests on direct agreement
on the norm. This does not mean that in reaching agreement on the
norm the participants do not consider how the norm affects the
happiness of people. However, how happiness is to count in the
decision-making has to be decided by the participants themselves.
With her last answer the patient has, in effect, let herself in on the
changed terms of the discussion. She defends SD in a discussion
53. 39
which is no longer directly about the norm itself, but about how to
decide on the rightness of norms.”62
Sebagaimana telah dikemukakan pada contoh di atas, yang menjadi objek
diskursus adalah klaim-klaim kesahihan yang dipermasalahkan kembali oleh
partisipan diskursus. Dalam contoh di atas, yang menjadi objek permasalahan
adalah klaim kesahihan dari sebuah norma: Apakah seseorang memiliki hak untuk
mentransplantasikan ginjal seseorang tanpa ijin? Dalam dialog di atas tampak
bahwa para partisipan diskursus berusaha menentukan dimensi ketepatan (dunia
sosial-normatif) sebuah norma melalui argumentasi-argumentasi terbaiknya. Jika
terjadi kesepakatan diantara para partisipan diskursus terhadap norma-norma yang
problematis, maka terbentuklah sebuah konsensus yang legitim.
Melalui contoh di atas tampak bahwa diskursus juga menandai sebuah
bentuk komunikasi modern dimana orang tidak menerima begitu saja segala
sesuatu yang telah ada secara turun-temurun melalui tradisi, melainkan
mengujinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat rasional.63
Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan mengenai prosedur diskursus
sebagai prasyarat yang memungkinkan tercapainya sebuah konsensus yang
legitim.
62
Ibid., 112-113.
63
Dalam bukunya Between fact and norm, Habermas mengungkapkan bahwa hal ini merupakan
permasalahan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini, yaitu adanya krisis
terhadap cara-cara legitimasi politis tradisional. Kehidupan masyarakat dewasa ini ditandai
oleh adanya kemajemukan orientasi nilai dan kepentingan sehingga cara-cara legitimasi
tradisional, yang lebih cenderung bersifat monologis dan kebal terhadap kritik, tidak relevan
lagi untuk dipertahankan. JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, Op.Cit., 227.
54. 40
3.2. PROSEDUR DISKURSUS
Diskursus merupakan sebuah bentuk komunikasi dimana para partisipan
berusaha memecahkan norma-norma yang problematis melalui sebuah
mekanisme pengujian diskursif. Konsensus yang dicapai secara intersubjektif
melalui mekanisme semacam itu akan memiliki dasar legitimasi yang kuat. Bagi
Habermas, sebuah konsensus dapat dikatakan rasional jika konsensus tersebut
dapat diterima secara intersubjektif dan tanpa paksaan oleh semua peserta
diskursus.
Berangkat dari pernyataan di atas tampak bahwa Habermas memasukkan
unsur intersubjektivitas dalam teori diskursusnya. Intersubjektivitas digunakan
oleh Habermas sebagai unsur penting dalam diskursus guna menghindari klaim
monologis (pemahaman subjektif) yang bersifat sepihak.64
Dengan kata lain,
betapapun masuk akalnya pernyataan seseorang belum memiliki validitas sebelum
mendapatkan persetujuan intersubjektif dari setiap partisipan dalam diskursus.
Lebih lanjut Habermas, dalam bukunya Between Fact and Norm, mengungkapkan
bahwa sebuah konsensus rasional tidak hanya bergantung dari kemasukakalan
sebuah pernyataan seseorang tetapi juga bergantung dari struktur proses
argumentasinya.
“A discourse theory of law, which ties the rational
acceptability of judicial decisions not only to the quality of
arguments but also to the structure of the argumentative process,
64
Dengan memasukkan unsur intersubjektifitas dalam teorinya tampak bahwa Habermas
berusaha membenahi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.
Setiap klaim yang bersifat monologis tidak akan pernah menghasilkan sebuah konsensus
karena adanya defisit dalam proses legitimasinya. Teori diskursus menyertakan adanya dimensi
sosial normatif yang diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif dimana perspektif partisipan
dielaborasi sedemikian rupa hingga mencapai sebuah persetujuan intersubjektif. Ibid., 228.
55. 41
might not solve this problem, but it at least takes it seriously. Such
a theory relies on a strong concept of procedural rationality that
locates the properties constitutive of a decision's validity not only
in the logicosemantic dimension of constructing arguments and
connecting statements but also in the pragmatic dimension of the
justification process itself.”65
Struktur proses argumentasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,
merupakan sebuah proses justifikasi yang berada pada dimensi pragmatis. Hal
tersebut mengacu pada bentuk ideal dari proses komunikasi yang memungkinkan
semua peserta menganggap sah konsensus yang dihasilkan oleh setiap partisipan
diskursus. Dengan kata lain, prosedur diskursus merupakan sebuah pengandaian
pragmatis bahwa pembicaraan antar peserta dalam ruang diskursus telah diatur
dengan kondisi tertentu.66
Kondisi ideal tersebut dimunculkan oleh Habermas guna mengantisipasi
adanya segala tindakan strategis yang tidak mengarah pada konsensus. Sebab tak
jarang kesepakatan-kesepakatan bersama yang menyangkut kehidupan publik
dihasilkan melalui politik uang (money politic), kekuasaan (dominance), dan
hanya sekedar memenuhi tuntutan-tuntutan dari pihak tertentu yang berkuasa.
Kesepakatan-kesepakatan semacam itu tidak dapat dinilai legitim (sah), karena
sebuah konsensus yang legitim membutuhkan persetujuan secara intersubjektif.
Maka dari itu, Habermas merumuskan prasyarat-prasyarat (aturan-aturan)
komunikasi guna menghasilkan sebuah konsensus yang dapat diterima secara
intersubjektif.
65
Ibid., 226.
66
LOGI GUNNARSSON, Op.Cit., 86.
56. 42
Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman67
dalam
jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, menjelaskan prasyarat-
prasyarat komunikasi tersebut melalui konsep “idealisasi”.68
Apakah prasyarat-
prasyarat yang harus dipenuhi guna memperoleh sebuah konsensus rasional yang
dapat diterima oleh umum? Di dalam bukunya Moral Conciousness and
Communicative Action, Habermas merumuskan prosedur diskursus sebagai
berikut:
“(3.1) Every subject with the competence to speak and act is
allowed to take part in a discourse.
(3.2) a. Everyone is allowed to question any assertion whatever.
b. Everyone is allowed to introduce any assertion whatever
into the discourse.
c. Everyone is allowed to express his attitudes, desires, and
needs.
(3.3) No speaker may be prevented, by internal or external coer-
cion, from exercising his rights as laid down in (3.1) and
(3.2).”69
F. Budi Hardiman menterjemahkannya sebagai berikut:
1. “Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut
serta dalam diskursus.
2. a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat.
67
F. Budi Hardiman adalah seorang pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara dan
Universitas Pelita Harapan. Ia adalah seorang penulis buku dan aktif menulis untuk berbagai
media cetak. Beberapa karyanya antara lain: Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Demokrasi Deliberatjf:
Menimbang Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik‘ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. F.
BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 20072
.
68
“Idealisasi di sini berarti menurut Habermas (‘memikirkan proses-proses komunikasi
sedemikian rupa seolah-olah proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal’).”
F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam
Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 20.
69
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 89.
57. 43
b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam
diskursus.
c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap,
keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
3. Tidak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk
melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (1) dan
(2).”70
Prosedur diskursus di atas merupakan prasyarat-prasyarat yang harus
dipenuhi agar proses diskursus dapat berjalan dengan egaliter, inklusif, dan bebas
dominasi. Lebih lanjut Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens71
dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, mengungkapkan
bahwa jika sesuai dengan syarat-syarat ini terbentuk konsensus tentang kesahihan
pernyataan-pernyataan beserta pengandaian-pengandaian yang terkandung di
dalamnya, maka konsensus seperti itu memiliki pendasaran rasional.72
Dengan
demikian, pernyataan-pernyataan yang dapat dianggap valid merupakan
pernyataan-pernyataan yang dihasilkan melalui konsensus di bawah “situasi
percakapan yang ideal” dan bertumpu pada kekuatan argumentasi-argumentasi
terbaik serta tidak terdistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan.
Subjektivitas, dalam pemikiran Habermas, tidak lagi dimaknai dalam
paradigma subjek yang terisolasi pada dirinya sendiri melainkan lebih dipahami
dalam kerangka komunikasi intersubjektif. Melalui prosedur diskursus, konsep
70
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 21.
71
Prof. Dr. K. Bertens adalah seorang pengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Spesifikasi keilmuan yang menjadi minatnya adalah etika terapan, khususnya etika bisnis dan
etika biomedis. Ia mempelopori pendirian “Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia”
(HIDESI) dan menjadi ketuanya yang pertama (1990-1997). Beberapa karyanya antara lain:
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta, Kanisius 1975), Ringkasan Sejarah Filsafat
(Yogyakarta, Kanisius 1976), Filsafat Barat Abad XX, Jilid I (Jakarta, Gramedia 1987), Etika
(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 1994). K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-
Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20024
.
72
Ibid., 248.
58. 44
rasio praktis dari Immanuel Kant dielaborasi kembali oleh Habermas ke dalam
prinsip pengujian secara intersubjektif.73
Dengan kata lain, konsep rasio praktis
dielaborasi menjadi konsep rasio prosedural.
Di sisi lain, Habermas mengungkapkan bahwa rasio prosedural tidak
ditujukan untuk memberikan suatu ide substantif apapun melainkan hanya
menuntut prosedur yang diterima secara intersubjektif.74
Hal ini dimaksudkan
oleh Habermas bahwa rasio prosedural bukanlah sebuah prosedur untuk
menghasilkan norma-norma yang legitim melainkan pertama-tama sebuah
prosedur untuk menguji validitas norma-norma. Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action
sebagai berikut:
“Practical discourse is not a procedure for generating
justified norms but a procedure for testing the validity of norms
that are being proposed and hypothetically considered for
adoption. That means that practical discourse […..] to reach a
73
Pada dasarnya, teori diskursus merupakan sebuah bentuk sublimasi dari kritik G.W.F. Hegel
terhadap Immanuel Kant dimana Habermas menyertakan adanya dimensi sosial yang
diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam
bukunya Between Fact and Norm sebagai berikut: “As the reflexive form of communicative
action, argumentation distinguishes itself socio-ontologically, one might say, by a complete
reversibility of participant perspectives that unleashes the higher-level intersubjectivity of the
deliberating collectivity. In this way, Hegel's concrete universal is sublimated into a
communicative structure purified of all substantive elements.” JÜRGEN HABERMAS, Between
Fact and Norm, Op.Cit., 228.
74
“Teori diskursus –seperti dijelaskan oleh Habermas sendiri- bukanlah sebuah usaha baru untuk
menilai masyarakat modern. Teori ini juga bukanlah sebuah teori sosial yang menyeluruh
seperti teori-teori sosial politis dari Aristoteles, Hegel, atau Marx. Teori-teori klasik ini ingin
mengarahkan sejarah umat manusia sebagai keseluruhan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori
diskursus sebaliknya sama sekali tidak menawarkan tujuan apapun yang harus dicapai oleh
masyarakat modern. Segala bentuk teleologi yang mewarnai metafisika dan teori-teori politik
klasik telah ditinggalkan. Yang ingin ditunjukkan oleh teori diskursus bukanlah tujuan
masyarakat, melainkan hanya cara atau prosedur untuk mencapai tujuan itu.” F. BUDI
HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 2.
59. 45
consensual means of regulating some controversial social
matter.”75
Pada bagian selanjutnya, penulis akan memapaparkan mengenai prinsip
etika diskursus. Pembahasan pada bagian tersebut pada dasarnya merupakan
sebuah pengujian diskursif proses penetapan norma-norma. Prinsip etika
diskursus dapat diandaikan sebagai sebuah pisau untuk menguji norma-norma
yang dapat diuniversalkan dan yang tetap bersifat partikular. Prinsip etika
diskursus sendiri merupakan sebuah prinsip etika yang berada pada ranah moral.
Dalam penjelasan mengenai prinsip etika diskursus akan tampak bahwa
Habermas berusaha mempertahankan universalisme Kantian, namun sekaligus
menolak pengandaian-pengandaian filsafat subjek di dalamnya.
3.3. PRINSIP ETIKA DISKURSUS
Pada bagian ini penulis akan berfokus pada teori moral diskursus dan pada
gagasan moral diskursus. Sebagaimana telah disinggung di atas, prinsip etika
diskursus merupakan sebuah kritik terhadap konsep imperatif kategoris dari
Immanuel Kant. Teori moral Immanuel Kant bertolak dari subjek yang
mempertimbangkan tindakan moralnya secara mandiri sedangkan teori moral
Habermas menyertakan unsur intersubjektivitas sebagai pendasaran legitimasinya.
Teori moral Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh James Gordon
Finlayson76
, dapat dimengerti sebagai sebuah penjelasan eksplisit mengenai
75
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 103.
76
James Gordon Finlayson adalah seorang dosen filsafat di Universitas New York. Secara
khusus, ia mengajarkan tentang teori diskursus Jürgen Habermas . Salah satu karyanya adalah
60. 46
dimensi ketepatan dari klaim validitas.77
Problem dalam tindakan komunikasi
(communicative action) timbul ketika dimensi ketepatan sebuah norma dari klaim
validitas ditolak. Norma-norma yang sebelumnya diandaikan saja kebenarannya
menjadi problematis ketika lawan bicara kita meminta penjelasan lebih jauh
mengenai argumentasi kita. Dalam kondisi semacam ini, kita diminta untuk
mengeksplisitkan klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif hal itu
diandaikan begitu saja.
Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan dalam diskursus tentu
beraneka ragam. Argumentasi-argumentasi tersebut juga tentu tidak lepas dari
sebuah konteks atau perspektif berpikir tertentu. Terlebih lagi dalam mengikuti
sebuah diskursus, setiap partisipan tentu membawa kepentingan-kepentingan
pribadi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menentukan sebuah
kepentingan atau norma, yaitu terkait: Kepentingan-kepentingan atau norma-
norma manakah yang dapat diuniversalkan atau tetap terikat pada konteks tertentu
(partikular)?
Guna menghindari adanya relativitas argumentasi dalam diskursus, maka
diperlukan adanya suatu pendasaran normatif yang jelas dalam proses diskursus.
Prinsip etika diskursus berfungsi sebagai “pisau bedah” terhadap norma-norma
atau kepentingan-kepentingan yang dapat universalkan atau tetap partikular.
Terkait dengan prinsip etika diskursusnya, Habermas mengungkapkan bahwa
segala argumentasi yang berkaitan dengan moral harus mengacu pada sebuah
Habermas: A Very Short Introduction (Oxford University Press, New York 2005). JAMES
GORDON FINLAYSON, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York
2005.
77
Ibid, 77.
61. 47
prinsip moral yang menjadi aturan argumentasi. Hal tersebut diungkapkan oleh
Habermas dalam bukunya Moral Conciuosness and Communicative Action
sebagai berikut: “[…] all studies of the logic of moral argumentation end up
having to introduce a moral principle as a rule of argumentation….”.78
Di dalam prinsip etika diskursusnya, Habermas sebagaimana diungkapkan
F. Budi Hardiman, menawarkan sebuah prinsip dasar untuk menguji apakah
norma-norma atau kepentingan-kepentingan dapat diuniversalkan atau tetap
partikular. Prinsip etika diskursus tersebut disusun dalam struktur gramatikal
irreal yang dalam bahasa Indonesia dijelaskan dengan kata “kiranya” dan
“seandainya”.79
Dengan kata lain, prinsip ini merupakan sebuah kondisi
pengandaian. Kondisi pengandaian yang dimaksud adalah walaupun secara
faktual tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut dapat hadir
dalam diskursus, namun para peserta diskursus yang hadir harus berusaha agar
konsensus yang dicapai dalam diskursus tersebut dapat diterima oleh mereka yang
tidak hadir di dalam diskursus tersebut.
Prinsip etika diskursus (“D”) diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya
Moral Conciousness and Communicative Action sebagai berikut: “Only those
norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all
affected in their capacity as participants in a practical discourse.”80
“(Bahwa
setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan semua orang yang
78
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 63.
79
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24.
80
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 66.
62. 48
bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini dapat ikut serta di dalam
sebuah diskursus praktis).”81
Menurut asas pengujian diskursif tersebut, norma-norma yang sahih harus
sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang dapat diuniversalkan. Walaupun
secara factual (aspek de facto) tidak semua orang yang berkaitan dengan norma
tersebut dapat hadir dalam diskursus praktis, para partisipan diskursus yang hadir
harus menemukan konsensus yang dapat diterima oleh mereka yang tidak hadir
dalam diskursus tersebut (aspek de jure).
Prinsip etika diskursus itu merupakan turunan dari prinsip lain yang lebih
mendasar dari prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut telah inhern di dalam
prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut merupakan aturan argumentasi moral
yang menjadi prinsip dasar moral dari etika diskursus. Habermas menyebut
prinsip tersebut sebagai prinsip universalisasi (“U”) yang berbunyi:
“All affected can accept the consequences and the side
effects its general observance can be anticipated to have for the
satisfaction of everyones interests (and these consequences are
preferred to those of known alternative possibilities for
regulation).”82
Di dalam bahasa Indonesia berbunyi:
“Setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat
bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi
karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap
81
F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24.
82
JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 65.