Dokumen tersebut membahas tentang jenis-jenis lembaga pembiayaan dan manfaatnya serta peran kegiatan bisnis, fungsi dan jenis asuransi beserta tujuannya, dan pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa lembaga pembiayaan terhadap konsumen dan peraturan perundang-undangan.
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Hbl, ade ayu larassati, hapzi ali, aspek hukum lembaga, universitas mercu buana (1)
1. 1. Jenis lembaga pembiayaan dan manfaatnya serta peran kegiatan bisnis.
2. Fungsi dan jenis dan tujuan asuransi dan konsekuensi hukum yang timbul dari perjanjian
Asuransi
Fakultas Program Studi Kode MK Disusun Oleh
Ekonomi Dan Bisnis S1 Akuntansi F041700009 Ade Ayu Larassati 43216010180
2. 2017
3
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Ade Ayu Larassati 43216010180
1. Jenis :
Leasing/sewa guna usaha
Leasing atau sewa guna adalah suatu kegiatan pembiayaan yang menyediakan barang modal secara
sewa guna dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi yang bisa digunakan oleh penyewa dalam
jangka waktu tertentu selama masa pembayaran angsuran. Biasanya kegiatan sewa guna usaha
dilakukan untuk membantu pengusaha kecil untuk pengadaan barang modal. Penyewa bisa memilih
sewa guna usaha dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang modal yang
mereka butuhkan. Bahkan, penyewa juga bisa membeli barang secara sewa guna lalu menyewakan
kembali barang tersebut untuk medapatkan uang. Selama barang modal tersebut masih dibawah
perjanjian leasing, kepemilikan atas barang sewa guna msih berada dibawah lembaga pembiayaan.
Anjac piutang
Factoring atau anjac piutang merupakan suatu aktivitas pembiayaan yang berbentuk pembelian
piutang dagang dalam jangka waktu pendek dari suatu perusahaan beserta kepengurusan piutang
tersebut. Anjac piutang yang dilakukan bisa dalam bentuk dengan jaminan dari penjual piutang (with
recourse) maupun tanpa jaminan dari penjual piutang (without recourse). Lembaga pembiayaan
menanggung seluruh resiko akan tidak tertagihnya piutang dari penjual piutang apabila anjac piutang
tanpa dijamin. Namun, bila anjac piutang dengan jaminan, resiko tidak tertagihnya piutang yang telah
dijual kepada lembaga pembiayaan menjadi tanggung jawab dari penjual piutang
Kartu Kredit
Kita semua pasti sudah familiar dengan kartu kredit; yaitu sebuah kegiatan pembiayaan untuk
membeli suatu barang oleh nasabah yang dilakukan secara angsuran. Lembaga pembiayaan bisa
menerbitkan kartu kredit sepanjang berkaitan dengan pembayran dan mengikuti ketentuan dari bank
Indonesia. Kartu kredit dapat digunakan oleh pemegangnya untuk membeli suatu barang atau jasa.
Pembiayaan konsumen
Pembiayan konsumen merupakan suatu kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang secara
angsuran sesuai dengan kebutuhan konsumen. Kegiatan pembiayaan konsumen yang dimaksud
berupa pendanaan untuk pembelian barang-barang tertentu seperti kendaraan bermotor, barang
elektronik, hingga pembiyaan perumahan.
3. 2017
3
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Ade Ayu Larassati 43216010180
NASIONALXPOS.CO.ID, TANGERANG - Banyak yang sependapat, bahwa penyebab timbulnya
prilaku penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lembaga pembiayaan (termasuk
Adira Finance) adalah kurangnya pengawasan oleh Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen. Kenapa demikian ?, karena lembaga
pembiayaan (finance) adalah termasuk lembaga pembiayaan non bank, sistem, prosedur dan
pelaksanaannya mengacu pada perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Kurangnya
pengawasan dan tidak adanya ketegasan lembaga tersebut membuat integritas perlindungan hukum
terhadap konsumen menjadi abstrak. Akibatnya masyarakat sebagai konsumen mengalami kerugian
materiil dan imateriil. Berikut penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lembaga
pembiayaan (termasuk Adira Finance), : 1. Kontrak penjanjian ditandatangani tidak dihadapan notaris
(tidak ada akta notaril), berarti bahwa kekuatan pembuktian perjanjian “dibawah tangan” dikategorikan
tidak memiliki “kekuatan hukum”. Dasar Hukum, Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya “syarat objektif”, salah satu unsur objektif adalah perjanjian yang
dibuat harus mempunyai “kekuatan hukum”. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian yang
dibuat “batal demi hukum”. Artinya bahwa dimata hukum perjanjian itu dianggap tidak ada, dan tidak
ada hak/kewajiban pihak manapun untuk melakukan pemenuhan perjanjian. UU No. 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa didalam proses pembuatan satu akta harus: “dihadiri oleh
para penghadap, dihadiri oleh paling sedikit sua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris didepan
para penghadap dan saksi, ditandatangani saat itu juga oleh notaris dan kedua penghadap serta
kedua saksi tersebut, dan masing-masing pihak diberikan salinan akta tersebut”. 2. Didalam kontrak
penjanjian antara finance dengan konsumen disebutkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan
“Penyerahan Hak Milik Secara FIDUSIA”, tetapi perjanjian FIDUSIA tersebut tidak didaftarkan di
Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapatkan “SERTIFIKAT FIDUSIA”. Dasar Hukum, UU No.42
tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, disebutkan salah satu Syarat
Pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan “Akta Notaril”. Sedangkan kontrak perjanjian yang dibuat
“dibawah tangan”, sehingga tidak memiliki akta notaril, maka tidak bisa dibuatkan Sertifikat Fidusia. 3.
Didalam kontrak penjanjian antara finance dengan konsumen dicantumkan “Klausula Baku” yang
sudah dibuat dan disiapkan terlebih dahulu secara sepihak. Didalam klausula baku tersebut
dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance untuk melakukan segala tindakan
terkait objek jaminan fidusia tersebut. Dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam
klausula baku yang dicantumkan didalam perjanjian dibawah tangan, pihak finance membuat akta
notaril dan sertifikat fidusia secara sepihak, sehingga konsumen tidak memegang salinan akta notaril
dan sertifikat fidusia, karena konsumen tidak turut serta menghadap notaris, melainkan dikuasakan
kepada pihak finance. Dasar hukum, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18
ayat 1, disebutkan : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila
4. 2017
3
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Ade Ayu Larassati 43216010180
menyatakan pemberian kuasa konsumen kepada pihak pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
konsumen secara angsuran. Dan menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
konsumen secara angsuran”. Sanksi pelanggaran di atur dalam Pasal 62 UU No. 8 tahun 1999 yaitu,
“Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 milyar rupiah”. 4. Jaminan
fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusia atau dibuatkan sertifikat fidusia tetapi dibuat secara
sepihak, maka objek jaminan fidusia tersebut “Tidak Mempunyai Hak Eksekusi Langsung (Parate
Eksekusi)”. Jadi ketika konsumen dinyatakan “wan prestasi”, maka pihak finance tidak bisa
melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Fakta dilapangan pihak finance justru
melakukan eksekusi sepihak tanpa melalui instansi pemerintahan terkait dan berdasarkan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Terlebih pihak finance memakai jasa debt collector untuk
melakukan eksekusi. - Dasar Hukum, Padahal perbuatan mereka bisa dikategorikan Perbuatan
Melawan Hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan menurut pasal ini
konsumen dapat melakukan gugatan ganti rugi. - Bahkan dalam konsep hukum pidana, eksekusi
objek jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan melalui debt collector dengan cara melakukan
intimidasi, menakut-nakuti, serta melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 368 KUHPidana : “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu barang, yang sepenuhnya atau
sebagian adalah milik orang itu atau orang lain, untuk supaya membuat hutang meupun
menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”. - Penyelesaian
kredit bermasalah melalui lembaga hukum : i. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) atau Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). ii. Badan Peradilan iii. Arbitrase atau Badan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. - Tata cara eksekusi jaminan fisudia menurut UU No. 42 tahun 1999, i.
Pelelangan Umum Eksekusi objek jaminan fidusia dilaksanakan oleh penerima fidusia tanpa
intervensi dari Pengadilan negeri. Penerima fidusia dapat langsung melakukan penjualan objek
jaminan fidusia. Penjualan tersebut harus dilakukan melalui pelelangan umum oleh Kantor
Lelang/Pejabat Lelang. Penerima fisudia berhak mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan
tersebut dengan mengesampingkan kreditor konkuren berdasarkan hak preferer yang dimilikinya. ii.
Penjualan di Bawah Tangan Syarat dalam melakukan eksekusi objek jaminan fidusia di bawah
tangan, yaitu : a. Penjualan tersebut harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (pemberi dan
penerima fidusia) b. Dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. c. Pelaksanaan
penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar
setempat. Penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut diatas adalah bentuk
nyata pelanggaran lembaga pembiayaan/finance (termasuk Adira Finance). Jika lembaga pemerintah
5. 2017
3
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Ade Ayu Larassati 43216010180
terkait masih lemah dalam pengawasan dan tidak tegas mengambil sikap dengan memberikan sanki,
maka lagi-lagi masyarakat atau konsumen menjadi pihak yang selalu menjadi korban. Apabila
pembiaran terjadi, maka stigma berikutnya akan membentukan persepsi negative handling objection
atau keberatan-keberatan yang akan diajukan oleh masyarakat sebagai penanggung akibat melalui
visualisasi bahkan direalisasikan dengan berbagai bentuk versi, menimbulkan akibat hukum yang
komplek dan beresiko tinggi. Perbuatan melawan hukum dan tindakan sepihak serta arogansi debt
collector yang terus terjadi menimbulkan keresahan ditengah masyarakat, sehingga membentuk
gumpalan akumulasi kekecewaan. Mungkin saat ini masih dalam bentuk otokritik tidak langsung.
Tetapi semakin lama, walaupun pelan tapi pasti akan terjadi perlawanan dan penyerangan balik
secara sistematis oleh masyarakat terhadap aturan dan system perusahaan pembiayaan/finance
yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sudah jelas telah banyak
merugikan Negara dan masyarakat sebagi konsumen. Praktek begini tentu saja tidak dapat dibiarkan
terus ada dan bertahan terlalu lama perlu perubahan supaya integritas legalitas hukum perlindungan
masyarakat sebagai konsumen tidak lagi abstrak. (Nurdiansyah)
6. 2017
3
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Ade Ayu Larassati 43216010180
DAFTAR PUSTAKA
http://www.nasionalxpos.co.id/2014/08/bentuk-pelanggaran-lembaga-pembiayaan.html?m=1