UU Wasiat Wajibah No.7 Thn. 1356 H/ 1946 M di Mesir mengatur tentang wasiat wajibah yang harus diberikan kepada keturunan dari anak laki-laki pewaris apabila anak laki-laki tersebut meninggal lebih dulu atau bersamaan dengan pewaris. Wasiat wajibah ini memberikan hak bagian warisan kepada cucu sebesar bagian yang seharusnya diperoleh anak laki-laki tersebut apabila masih hidup
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Wasiat Wajibah UU Mesir 1946
1. UU Wasiat Wajibah No.7 Thn. 1356 H/ 1946 M di Mesir
a. Apabila Pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak
laki-laki Pewaris (cucu atau cucu-cucu), padahal anak laki-laki itu
meninggal lebih dulu atau meninggal bersamaan dengan Pewaris,
maka cucu itu wajib mendapat wasiat wajibah dari harta warisan
Pewaris sebesar bagian alm. anak laki-laki itu seandainya ia masih
hidup, tetapi tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah harta warisan,
dengan syarat cucu tersebut bukan Ahli Waris, dan belum ada
bagian harta baginya melalui jalan lain (hibah). Bila telah ada hibah
sebelumnya dan jumlahnya lebih sedikit dari bagian wasiat
wajibah, maka harus ditambahkan kekurangan jumlah itu.
b. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari
anak laki-laki dan anak perempuan, dan juga kepada anak laki-
laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki Pewaris, dan seterusnya
ke bawah, dengan syarat setiap orangtua menghijab (menghalangi)
masing-masing anaknya (menganut sistem ashabah garis laki-laki)
c. Apabila Pewaris sempat mewasiatkan kepada orang yang wajib
diberi wasiat dengan wasiat yang melebihi bagiannya, maka
kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyarah.
Apabila Pewaris mewasiatkan dengan wasiat yang kurang dari
ketentuan bagian wasiat wajibah, maka wajib ditambahi.
Apabila Pewaris mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib
diwasiati dan tidak kepada sebagian yang lain, maka orang yang
tidak mendapat, wajib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak
diberi wasiat wajibah bisa dikurangi bagiannya dan dipenuhi bagian
yang mendapat wasiat wajibah seandainya kurang dari apa-apa
yang diwajibkan oleh ketentuan wasiat wajibah dari batas yang 1/3.
Apabila harta warisan itu kurang (untuk memenuhi wasiat wajibah),
maka diambilkan dari bagian orang yang tidak mendapat wasiat
wajibah dan dari orang-orang yang mendapat wasiat ikhtiyarah.
d. Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila
Pewaris tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan
dia mewasiatkan kepada orang lain, maka orang yang wajib
diberikan wasiat wajibah. akan mengambil kadar bagiannya dari
sisa 1/3 warisan bila sisa itu cukup, bila tidak maka dari 1/3 harta
dan dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.
Sumber : Al Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Beirut, Libanon: Daral Fiqri 1392 H). Juz: III, hlm 1024
Terjemahan Drs. Mudzakir A.S , Fiqh Sunnah 14 (Bandung ; PT Al Maarif, 1987), cet. I hal. 316-317.
2. Dasar hukum wajib berwasiat berdasarkan QS Al Baqarah [2] : 180, 181.
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi tanda-
tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa (180). Maka siapa yang mengubah wasiat itu, setelah mende-
ngarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengtahui (181).
Para penegak status Ahli Waris Pengganti Pasal 185 KHI, berinduk kepada
“ijtihad” Prof. Dr. Hazairin, yaitu Sayuti Thalib, Damrah Khair, Ali Yasa
Abubakar, Amir Syarifuddin dan H. Muh. Arasy Latif, menyatakan :
“Ayat ini (Al Baqarah 180) menunjukkan hukum wajib (fardu), maka
(hukum wajib itu) tidak meliputi bagi ibu-bapak dan para kerabat yang telah
dapat bagian warisan, sedang selebihnya di antara mereka yang tidak dapat
bagian warisan, meliputi dalam hukum fardu (wasiat wajibah) ini” 1) .
Menurut H. Muh. Arasy Latif : Fiqh al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq dan Al-Muhalla oleh Ibnu
Hazm, saling melengkapi memperkuat dasar hukum Ahli Waris Pengganti. 1)
Fiqh al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2), sbb. :
Jika seseorang wafat, meningalkan cucu/keturunan dari
anaknya, pada saat wafat anaknya, keturunan (cucu) itu
masih hidup, atau wafatnya (si anak) bersamaan, walau
hanya dinyatakan secara yuridis, belum memberi wasiat
(bagi keturunan), sebesar bagian yang diperoleh si anak
sebagai warisan dari harta peninggalan sekiranya sang
anak itu hidup pada saat meninggalnya kakek/nenek,
maka wajib bagi keturunan (cucu) tsb. mendapat wasiat
wajibah dari harta peninggalan sebesar bagian sang
anak itu dalam batas maksimum sepertiga bagian.
Al-Muhalla, Ibnu Hazm 3) :
Setiap muslim diwajibkan untuk
memberikan wasiat wajibah bagi
kerabat-kerabatnya yang tidak
memperoleh warisan, diakibatkan
karena status mereka hamba sahaya,
atau karena mereka non-muslim,
atau karena ada ahli waris yang
meng-hijab mereka dari perolehan
warisan atau karena memang pada
dasarnya mereka tidak bisa mewarisi.
Para pendukung “Ahli Waris Pengganti” versi Hazairin, menolak arti wajib
wasiat untuk ibu-bapak dan kerabat yang dianggap bisa “meneruskan” keahli-
warisan. Ayat-ayat wasiat (QS Al Baqarah 2 : 180-181) itu terhapus, dengan
turunnya ayat-ayat kewarisan (QS An Nisaa 4 : 11, 12, 176, 33), didukung
pula oleh hadist “ Tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Daruquthni).
Maka tidak ada wasiat bagi ibu bapak setelah turun ayat-ayat kewarisan.
Jadi, wajib wasiat hanya bagi yang Bukan Ahli Waris dan yang tidak punya
hak penggantian ahli waris. Karena cucu dijadikan Ahli Waris Pengganti
dari anak (disamping Ahli Waris Pengganti ibu, ayah, saudara dan paman),
cucu memperoleh sebesar bagian anak yang digantikannya. Maka “wasiat
wajibah” hanya diberikan kepada kerabat selain Ahli Waris dan Penggantinya.
Setelah berproses lama, ternyata wasiat wajibah seolah-olah merupakan
hak bagian warisan Anak Angkat dan Ahli Waris Beda Agama. Asal-usul
“wasiat wajibah” sudah tertutupi oleh ijtihad atas ijtihad berlapis-lapis.
3. Sanggahan atas Pasal 185 KHI, paling keras justru dari Tim Perumus Hukum
Islam periode 1985–1988 itu sendiri. KHI lahir 1991 tiba-tiba sudah jadi.
Mengangkat yang bukan Ahli Waris menjadi Ahli Waris, dengan penggantian
tempat (plaatsverpulling) BW, melanggar nash. Untuk mendukung “ijtihad”
Hazairin itu, dicari-cari landasan kelonggaran “wasiat wajibah”. Padahal
Pewarisan kepada cucu berdasarkan wasiat wajibah, tidak bisa ditafsirkan
sebagai petunjuk ke arah diakuinya Ahli Waris Lain, Ahli Waris Pengganti.
Ahli Waris seperti itu, dapat warisan berdasarkan pengalihan hak oleh
kebijakan hukum penguasa, padahal seharusnya berdasarkan peralihan hak
secara dengan sendirinya, sesuai urutannya di dalam nash Al Qur’an dan Hadis.
Jelas perbedaan penerima wasiat wajibah dengan Ahli Waris Pengganti.
Imam Mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali) tidak berbeda pendapat, semuanya sepakat
mengharamkan jika wasiat wajibah medatangkan kemudharatan kepada Ahli Waris 4)
Kembali menyimak ayat-ayat wasiat QS Al Baqarah 2 : 180 – 181 :
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda maut, jika ia
meninggalkan harta yang khairan, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (180). Maka siapa
yang mngubah wasiat itu, setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengtahui (181).
Dalil sebaliknya yang lebih kuat berasal dari Universitas Al Azhar - Kairo,
Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) Mufti Mesir, menegaskan tidak ada
bukti bahwa ayat-ayat kewarisan (QS An Nisaa 4 : 11, 12, 176) turun sesudah
ayat-ayat wasiat (QS Al Baqarah 2 : 180-181) 5) sehingga menasakhkannya.
Tidak benar ayat wasiat terabaikan oleh ayat kewarisan. Urutan turunnya
ayat-ayat itu sendiri, merupakan pagar. Manakala Allah SWT menurunkan
satu-satu hukum dan Dia Maha Tahu akan di-nasakhkan-Nya, tidaklah hukum
yang disyariatkanNya itu di-ta’kid-kan / dikukuhkan seperti Ia mengukuhkan
ayat 180 dengan ayat 181. Wajib wasiat dalam ayat itu adalah bakti anak
untuk ibu-bapak yang tidak beragama Islam (terhalang menjadi Ahli Waris)
Kunci lain ada pada kata khairan di dalam QS Al Baqarah ayat 180 itu, yaitu
harta khairan berarti harta yang banyak. Keistimewaan Pewaris kaya itu,
mewajibkannya berwasiat, termasuk kepada Ahli Waris, yaitu ibu bapak
dan kerabat lain, yang perlu dilindungi dari keadaan berebut-rebut warisan.
1) Dr. H. Muh. Arasy Latif, Ahli Waris Pengganti (Studi Komparasi Menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Menurut Hazairin), (Jakarta: PP IKAHI, 2010), Varia Peradilan - Majalah Hukum Tahun XXV No. 292,
Maret 2010, hlm. 33. Hakim Pengadilan Agama Unaaha wilayah PTA Kendari/ S3 UIN Makassar 2004-
2008., dipresentasikan pada Rakerda PT dan PTA Kendari , 10 November 2009 di Hotel Imperial Kendari.
2) Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, III, Kairo: Dar al-Fath, 1994, hlm. 374-375.
3) Lihat Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX, Kairo: Dar al-Turas al-Arabi, 1983, hlm. 314.
4) Al Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Beirut, Libanon: Daral Fiqri 1392 H). Juz: III, hlm 1024
Terjemahan Drs. Mudzakir A.S , Fiqh Sunnah 14 (Bandung ; PT Alk Maarif, 1987), cet. I hal. 316-317.
5) Muhammad Abduh, tafsir Al Manar, Program Computer. Terjemahan A. Halim Hasan et al., Tafsir Al
Qur’anul Karim (Medan Firma Islamiyah, 1961) Cet. Kelima, Vol. 2, hlm. 183