SlideShare a Scribd company logo
1 of 98
Download to read offline
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
64
Bab III. MENJALANKAN PERTANIAN:
Bertani Yang Islami
.3.1. PADA AWALNYA: TANAH DAN AIR
Bagian berikut ini berawal dari urusan dengan sumber daya
utama pertanian: tanah dan air. Tanah yang menjadi penentu
seseorang disebut petani pemilik, petani penyakap, atau
buruh tani. Soal tanah dan kondisi air lah yang lalu
berkembang menjadi urusan tentang sewa, bagi hasil, jual-
beli, dan zakat; membentuk kultur agraria. Karena begitu
pentingnya urusan ini, maka Islam pun mengaturnya
sedemikian ketat. Jangan main-main dengan tanah. Maju
mundur, kaya sengsara, aman atau kacaunya dunia ini sedikit
banyak bersumber dari bagaimana politik pertanahan yang
kita jalankan. Mari kita cermati, apakah praktek kita saat ini
tentang tanah dan air sudah sejalan dengan Islam atau
belum?
Hukum pertanahan dalam Islam berkaitan dengan hak
kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan
pendistribusian (tauzi') tanah. Dalam studi hukum Islam,
hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi.
Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas
hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai
pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Ada yang
mengaitkan dengan hukum tata negara menurut Islam. Ya,
untuk bisa memahami dinamika agraria pada level mikro
perlu memahami politik makronya dulu.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
65
Filosofi Kepemilikan Tanah dan Urgensi penataan Sumber-
Sumber Agraria berbasiskan Hukum Allah SWT
Dalam pandangan Islam, segala apapun yang ada di langit
dan bumi, termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah
SWT semata. "Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi
dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)" (An-Nuur : 42).
"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan
dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-
Hadid: 2).
Lalu apa posisi manusia? Allah SWT memberikan kuasa
kepada manusia untuk mengelolanya. Artinya manusia
hanya “meminjam”. Maka, kelola lah barang-barang tersebut,
termasuk tanah, menurut hukum-hukum pemiliknya yaitu
Allah. Salah satu asmaul husna Allah adalah Al Baasith
artinya yang maha melapangkan. Betul, hukum-hukum Allah
tentang tanah sejatinya demi memberi kelapangan kepada
manusia, tidak untuk merepotkan manusia.
Firman Allah SWT: "Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" (Al-Hadid :
7). Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat ini adalah dalil bahwa
asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT,
dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali
memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh
Allah SWT.
Maka, mulai saat ini mari kita terapkan hukum Allah dalam
menata tanah. Kita perlu formulasi ulang segala ide dan
pemikiran tentang agraria. Soal hukum ini Allah telah
gariskan dengan tegas: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum" (Al-Kahfi: 26).
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
66
Kepemilikan Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan (milkiyah) dalam Syariah Islam didefinisikan
sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia
untuk memanfaatkan suatu benda (idznu asy-Syari' bi al-intifa'
bil-'ain). Hak kepemilikan pada seseorang ada karena
ketentuan hukum Allah pada benda itu. Untuk tanah, ada
dua aspek yang perlu dibedakan, yakni kepemilikan zat
tanahnya (raqabah al-ardh) dan kepemilikan manfaat tanahnya
(manfaah al-ardh).
Lalu, dalam Syariah Islam ada dua macam tanah yaitu: (1)
tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah
(al-ardhu al-kharajiyah). Dalam sejarahnya, kita mengenal
Tanah Usyriah yakni tanah yang penduduknya masuk Islam
secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah serta
tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang. Maka,
tanah usyriah ini milik individu, baik zatnya maupun
pemanfaatannya. Si pemilik boleh memperjualbelikan,
menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.
Jika berbentuk tanah pertanian, maka atasnya dikenai
kewajiban usyr (zakat pertanian) sebesar 10 persen jika
berupa tadah hujan, dan 5 persen jika berupa irigasi. "Pada
tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada
tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari
sepersepuluh." (hadits riwayat Ahmad, Muslim, dan Abu
Dawud). Jika tanah ini diperdagangkan, maka terkena zakat
perdagangan.
Jenis kedua adalah Tanah Kharajiyah, yakni tanah yang
dikuasai kaum muslimin melalui peperangan, misalnya tanah
Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang
dikuasai melalui perdamaian(al-shulhu), misalnya tanah
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
67
Bahrain dan Khurasan. Untuk tanah ini zatnya (raqabah)
adalah milik seluruh kaum muslimin. Pengelolaannya negara
melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ya,
tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara, namun
pemanfaatannya adalah individu. Tanah ini juga bisa
diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan; namun tidak
boleh diwakafkan sebab zatnya milik negara.
Untuk tanah kharajiyah, jika berbentuk tanah pertanian akan
terkena kewajiban kharaj (pajak tanah), yang diambil negara
setahun sekali sesuai kondisi tanahnya. Baik ditanami atau
tidak, pajak tetap harus dibayar. Jika tanah kharajiyah bukan
berbentuk tanah pertanian, tidak terkena kewajiban kharaj,
juga tidak terkena kewajiban zakat; namun terkena kewajiban
zakat perdagangan jika diperjualbelikan.
Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya “As-
Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla”, tanah dapat dimiliki dengan
enam cara yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya`ul mawat
(menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada
tanah mati), dan iqtha` (pemberian negara kepada rakyat).
Seseorang yang menghidupkan tanah terlantar, ihya`ul mawat,
berhak menguasainya dengan dasar hadits: "Barangsiapa yang
menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR
Bukhari). Demikian pula dengan tahjir: "Barangsiapa membuat
suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi
miliknya." (HR Ahmad). Nah, di masyarakat kita, entah
bagaimana awalnya, setiap keluarga yang membuka tanah
yang biasanya yang paling awal datang ke suatu wilayah,
sangat-sangat ditinggikan kedudukannya dan dihargai
sebagai tetua kampung sampai ke keturunannya. Ada
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
68
kesejajaran nilai disini, antara local wisdom dengan nilai-nilai
Islam.
Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah
pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun
berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan
memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya.
Umar bin Khathab berkata: "Orang yang membuat batas pada
tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun
ditelantarkan." Umar melaksanakan ketentuan ini dengan
menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni
yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya
sehingga menjadi Ijma' Sahabat.
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati
(mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas)
saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki
dengan cara jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang
menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak
milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan
penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh).
(Sedikit intermezo, di Indonesia pemerintah
keder ga bisa mengurusi tanah-tanah terlantar, meskipun sudah
Peraturan Pemerintah
No 11 tahun 2010. Padahal tu tanah ga pernah digarap berpuluh
tahun, hanya diambil kayunya oleh
pemilik HGU, lalu dikangkangin ga jelas.
Ga Islami banget ya).
Niat regulasi Islami ini adalah pemanfaatan tanah (at-tasharruf
fi al-ardh) semaksimalnya, karena sumber daya tanah begitu
beharga. Harus produktif. Untuk itu negara dapat
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
69
membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian,
seperti dilakukan di era Khalifah Umar bin Khathab kepada
para petani. Namun, jika pemilik tanah itu tidak mampu
mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain
tanpa kompensasi. Selaras dengan ini, maka lahan pertanian
tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah
usyriyah. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai
tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan
kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah
tanahnya itu." (HR Bukhari). Ini sejalan dengan rumusan
kalangan akademis global, bahwa menjadikan tanah sebagai
komoditas (komodifikasi) adalah sumber krisis berulang pada
ekonomi dunia selama ini.
Namun, penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil
(muzara'ah) dibolehkan. Rasulullah SAW telah bermuamalah
dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni
setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah
hasilnya untuk penduduk Khaibar. Muamalah yang
dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang
sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah
kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah).
Hima (tanah negara) sebagai common land
Islam juga mengenal kepemilikan tanah oleh negara (hima),
demi kemaslahatan bersama. Hima adalah tanah atau wilayah
yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk
kepentingan tertentu, misalnya area tambang. Tanah yang di
dalamnya mengandung bahan tambang (minyak, emas,
perak, tembaga, dll), jika hasilnya sedikit tetap menjadi milik
pribadi, namun menjadi milik negara (umum) jika hasil
tambangnya banyak.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
70
Selain itu, Rasulullah pernah menetapkan hima pada tempat-
tempat tertentu misal untuk Naqi` (padang rumput di kota
Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik
kaum muslimin, dan Rabdzah (padang rumput juga khusus
untuk menggembalakan unta-unta zakat).
Selain pada daratan, juga ada yang disebut dengan “hariem”,
yaitu tempat yang harus dijaga dan dilindungi dalam konteks
yang berupa daerah air. Hariem-nya air bisa berupa daerah
aliran sungai, danau, rawa-rawa, dan sumur yang digali
(mata air). Hadits: “Hariem sebuah sumur adalah sejauh panjang
tali timbanya.” Hadits itu mengajarkan kita supaya tidak
mencemari air dan juga tidak mendekatkan sumber air
dengan sumber-sumber limbah. Wallahu a'lam.
Zalim Merampas dan Menggeser Batas Tanah
Muslim dilarang merampas tanah dan mengubah
tanda batas tanah. Merampas tanah jelas-jelaslah sebuah
perbuatan zalim. Tidak beradab, melawan hukum, dan
tergolong sebagai dosa besar. Pelakunya diancam di akherat
dengan azab yang keras dan pedih. Mengambil tanah orang,
meskipun sejengkal adalah dosa. Diriwayatkan dari Aisyah
RA dan juga dari Sa’id bin Zaid RA, bahwasanya telah
bersabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang berbuat zhalim
(dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi
(dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar RA, dimana sabda Rosululloh:“Barang siapa yang
mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan
ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar
tujuh lapis bumi.”
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
71
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit RA, ia berkata
Aku mendengar Rosululloh bersabda: “Barangsiapa yang
mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani dengan
membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar”.
Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah
merampas atau mengambil tanah orang lain. Mengerikan !
Rampas merampas ini rupanya terjadi sejak dulu sampai
sekarang. Merampas zaman sekarang beda dengan dulu.
Sekarang disebut dengan “land grabbing”. Ini menjadi masalah
serius di dunia. Perampasan terjadai secara kasar dan halus,
dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan kekuatan
politik, dari yang kuat kepada yang lemah.
Laporan internasional memaparkan perampasan lahan-lahan
petani di dunia ketiga oleh pengusaha-pengusaha besar,
melalui kerjasama dengan para politikus lokal. Baca misalnya
laporan dari www.globalwitness.com berjudul “The Land
Grabbing Crisis”. Juga tulisan berjudul “The global land-grab
phenomenon” pada situs www.downtoearth-indonesia.org.
Perampasan berlangsung melalui korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaaan, sehingga tanah-tanah
masyarakat, yang umumnya belum bersertifikat, diambil alih
para pengusaha-pengusaha pertanian internasional. Ini lah
yang terjadi juga pada kita. Jutaan lahan hutan menjadi
kebun-kebun sawit milik pengusaha asing dengan cara-cara
maksa.
Maksud dari dikalungi dari tujuh lapis bumi adalah Allah
membebaninya dengan apa yang dia ambil (secara zalim)
dari tanah tersebut, pada hari kiamat sampai ke padang
mahsyar dan menjadikannya sebagaimana membebani di
lehernya atau dia disiksa dengan menenggelamkan ke tujuh
lapis bumi, dan mengambil seluruh tanah tersebut dan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
72
dikalungkan di lehernya. Ada ulama yang mengatakan
dimana lehernya menjadi keras dan panjang kemudian
dikalungkan tanah yang dirampasnya sebagai balasan
kezalimannya tersebut. Begitu hinanya mereka nanti di hari
kiamat. Termasuk dosa besar, kezaliman besar.
Maka janganlah meremehkan kezaliman tentang tanah meski
sekecil apapun, misalnya dengan menggeser batas tanah
sejengkal demi sejengkal, menggeser pematang, mengikis
tebing orang, merubah aliran air sehingga menggerus tanah
orang lain. Dalil tentang larangan merubah tanda batas
adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA:
”Rasululloh memberitahukan kepadaku empat kalimat, salah
satunya adalah “Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas
tanah.” (HR. Imam Muslim). Allah melaknat orang yang
merubah tanda batas tanah (Manarul Ardhi) yaitu tanda atau
simbol yang membedakan antara tanah yang menjadi hakmu
dan menjadi hak tetanggamu, termasuk merubah dengan
memajukan atau memundurkan tanda tersebut.
Untuk kezaliman ini, maka wajib mengembalikan tanah yang
diambil itu kepada pemiliknya. Berkata Syaikh Abdul Azhim
Al Badawi: “Barangsiapa yang merampas tanah kemudian
menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka
diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan
bangunannya”. Karena sabda Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa
izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu
sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.”
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Jika barang yang
dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah di
atasnya ataupun menanam tanaman di atasnya maka rumah
tersebut harus dirobohkan/dihancurkan dan tanaman itu harus
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
73
dicabut, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang
disebabkan pembangunan rumah dan penanaman tanaman
tersebut. Atau rumah itu tidak dirobohkan dan tanaman tersebut
tidak dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya
pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman
tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya”.
Intinya, sesuai sabda Rosulullah SAW: “Tidak ada hak pada
tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.”
Ketika timbul pertengkaran, dimana salah seorang di antara
mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik
yang lain. Maka Rasulullah memutuskan tanah tetap menjadi
milik si empunya dan menyuruh pemilik pohon kurma
untuk mencabut pohon kurmanya dan beliau bersabda:“Akar
yang zhalim tidak mempunyai hak. Dan janganlah sebagian kalian
memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang
bathil.” (Al-Baqarah: 188).
Mengapa hukuman bagi orang yang mengambil tanah orang
lain seberat tujuh lapis tanah. Tanah memang unik. Dengan
memiliki sepetak lahan, seseorang menguasai ke bawah dan
ke atas nya sekaligus. Ke bawah sampai tujuh lapis ke perut
bumi, dan ke atas ada ruang udara tak terbatas pula. “Allah
yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula.”
(Ath Thalaq: 12).
Begitu diakuinya sebidang tanah, maka seandainya
tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya
memanjang ke tanahmu dan ranting-rantingnya menjadi
menutupi tanahmu, maka sesungguhnya tetanggamu harus
membengkokkan dahan tersebut dari tanahmu. Jika tidak
bisa dibengkokkan, maka dahan tersebut harus dipotong.
Kecuali kamu mengizinkannya. Berkata Imam Al-Qurthubi,
maka “…. merampas tanah termasuk dosa besar.”
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
74
Bagi para perampas tanah orang lain maka wajib bagi dia
mengembalikan tanah yang dia ambil itu kepada pemiliknya.
Syaikh Abdul Azhim Al Badawi menyampaikan bahwa
barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya
atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan
untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan
bangunannya. Dan apabila dia menanam tanamannya
dengan biaya tertentu, maka dia mengambil biayanya dan
tanaman bagi pemilik tanah. Al hadits:“Barangsiapa menanam
di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada
baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya
penanamannya.”
Jika terlanjur menanam, maka harus dicabut. Bahkan jika
perampas membangun rumah di atasnya, maka rumah
tersebut harus dirobohkan/dihancurkan, dan tanah tersebut
harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan
pembangunan rumah tadi. Atau, jika tidak dirobohkan dan
dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya
pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman
tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah
menyetujuinya. Karena Rosulullah bersabda:“Tidak ada hak
pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.”
Intinya adalah “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil” (Al-Baqarah:
188).
“Penghormatan” pada Air
Cukup banyak hadits-hadits tentang air. Hadits diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W
pernah bersabda: ”Kelebihan air tidak boleh dihalang (ditahan-
genangkan) karena ia akan mencegah tumbuhnya rumput ternakan
(gulma)”. Lalu hadits yang diriwayatkan Abu Musa RA yang
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
75
menyampaikan betapa menyampaikan petunjuk dan ilmu
adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi.
Adakalanya tetesan tadi jatuh di tempat gersang, adakalanya
di tempat subur. Tempat yang subur perumpamaan orang
yang bijak pandai tentang agama Allah dan memanfaatkan
seluas-luasnya. Kedudukan dan Pentingnya Air Dalam
Kehidupan disampaikan pada banyak ayat dan hadits.“…Dan
Kami jadikan dari air itu segala sesuatu yang hidup….” (Al -
Anbiya: 30).
Sebagai mana tanah, jumlah air di dunia ini tetap, Cuma
wujudnya saja yang berbeda. Karena itu, air harus dikelola
dengan bijak dan adil. ”Dan kami turunkan air dari langit
menurut suatu ukuran dan kami jadikan air itu menetap di bumi”
(Al Mu’minuun:18).
Penggunaan air yang paling boros dibanding komoditas lain
adalah padi di sawah. Maka, untuk menghindari
pemborosan, karena boros adalah rekannya setan; para ahli
menemukan teknologi pengairan berselang (intermitten
irigation), dengan prinsip gunakan air secukupnya. Teknologi
ini banyak manfaatnya. Selain menghemat air sehingga area
sawah terariri menjadi lebih luas, manfaat lain adalah
memberi kesempatan kepada akar untuk mendapatkan udara
sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah
keracunan besi, mencegah penimbunan asam organik dan gas
H2S yang menghambat perkembangan akar, mengurangi
kerebahan tanaman, mengaktifkan jasad renik mikroba yang
bermanfaat, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif,
menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu
panen, memudahkan aplikasi pupuk, dan juga memudahkan
pengendalian hama keong mas serta menekan penyebaran
wereng coklat, penggerek batang, dan tikus.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
76
Karena air, maka tumbuh collective action, kebersamaan.
Hadits Ahmad dan Abu Dawud: “Manusia berserikat dalam tiga
hal: dalam padang rumput, air, dan api”. Sebagaimana tanah,
pada air ada kepemilikan sosial juga. Maka, mata air dan
sumur wajib dimanfaatkan bagi orang umum. Seseorang
yang mempunyai sumber air wajib mengizinkan orang lain
mengambil airnya, tidak dibenarkan memonopoli untuk diri
dan keluarganya saja.
Karena air begitu berharga, air harus sangat dijaga. Islam
melarang membuang kotoran di tempat-tempat yang
mengakibatkan tercemarnya air sehingga tidak dapat
dimanfaatkan kembali. “Sesungguhnya Nabi melarang kencing
di air yang tidak mengalir” (HR. Muslim). Air tidak boleh disia-
siakan bahkan ketika air melimpah sekalipun.
Air merupakan nikmat utama yang diberikan Allah kepada
makhluk Nya. Melalui air lah Allah menciptakan,
memelihara, menumbuhkan dan mengembangkan seluruh
makhluq yang ada di muka bumi ini. “Dan Allah telah
menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan
itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan
dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.
Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nur: 45).
Penghormatan terhadap air merupakan kultur yang
mengakar pula pada berbagai masyarakat kita. Mereka
melakukan ritual sebagai simbolnya, misalnya upacara irung-
irung, ritual grebeg tirto aji, mapag toya, dan mapag cai. Lalu
ada upacara nglampet di mata air Sumber Pakel di Lumajang,
dawuhan menjaga air di Karang anyar, dan Hajat Huluwotan
memelihara bagian hulu sumber air.
Sedekah air
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
77
Islam mengajarkan kita untuk mensedekahkan air. Yang
paling terkenal adalah kisah “Sumur Raumah”, yakni sumur
yang dibeli Usman bin Affan RA milik orang Yahudi di
Madinah untuk umat Islam. Pada saat itu di Madinah ada
sumur milik seorang Yahudi, namun Yahudi kikir ini
menjual airnya kepada umat Islam dengan harga tinggi.
Tentu saja umat menjadi resah. Kabar ini akhirnya sampai
kepada Rasulullah. Rasulullah lantas menyeru kepada para
sahabatnya untuk menyelesaikan persoalan air dan sumur
tersebut. Beliau menjanjikan siapapun yang membeli sumur
milik Yahudi itu dan mewakafkannya untuk umat Islam,
maka kelak ia akan mendapatkan minuman di surga,
sebanyak air dalam sumur tersebut.
Utsman bin Affan RA langsung mendatangi si Yahudi.
Setelah tawar menawar, si pemilik bersedia menjual
sumurnya dengan harga 12.000 dirham, namun hanya untuk
separuh saja, yakni sehari milik Usman sehingga umat Islam
bebas mengambil air pada hari itu, sementara hari berikutnya
untuk Yahudi. Pada hari sumur milik Usman, Muslim
memanfaatkan semaksimalnya, sehingga besoknya tidak
perlu membeli dari Yahudi. Merasa kalah strategi, akhirnya
sumur dijual seluruhnya, dan langsung diwakafkan Usman bi
Affan RA sehingga umat Islam bebas mengambil air kapan
pun mereka butuh. Ini menjadi satu-satunya sumur pada
zaman Rasulullah yang masih mengeluarkan air hingga hari
ini, selain sumur zamzam tentunya.
Berikut kisah sedekah air pada hewan. Suatu ketika seorang
laki-laki sedang berjalan dan dia merasa sangat kehausan,
lalu ia turun di satu sumur dan minum darinya. Kemudian
dia keluar dan ternyata dia mendapati seekor anjing
menjulurkan lidahnya (sambil) menjilat pasir karena
kehausan. Laki-laki tersebut berkata, “Sungguh anjing ini
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
78
sangat kehausan seperti yang aku rasakan.” Kemudian dia turun
dan memenuhi kedua sepatunya (dengan air) dan membawa
dengan mulutnya seraya naik keatas dan memberi minum
anjing itu. Allah bersyukur kepadanya dan memberi
ampunan baginya.
.3.2. SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN
Sepanjang yang bisa Saya baca, ada perbedaan pendapat
tentang sewa menyewa ini. Ada yang menyatakan boleh ada
yang mengatakan tidak, entah mana yang lebih benar.
Namun menurut analisis mendalam Jamaksari (2016),
kelompok yang menolak sebenarnya minoritas. Saya tidak
berani ambil kesimpulan, karena dibandingkan dengan bagi
hasil misalnya, referensi tentang sewa menyewa dalam
sejarah masyarakat Islam sepanjang yang bisa Saya temukan
masih terbatas. Wallahu a’lam.
Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
penting dalam ekonomi. Atas dasar alasan ini, Islam menolak
kepemilikan absolut atas tanah serupa eigendom (hak milik
tetap atas tanah). Karena terbatasnya keberadaan lahan ini,
maka seseorang yang “menguasai” tanah tidak boleh
menelantarkannya tanpa digarap.
Jika si pemilik tanah tidak sanggup mengolahnya sendiri
karena alasan keahlian atau alasan lainnya, ia harus
menyerahkan tanahnya pada orang lain untuk diolah. Bentuk
kerjasamanya bisa berupa sewa (ijarah) atau bagi hasil
(muzaarah).
Untuk sewa menyewa dalam Islam, terdapat dua pendapat
berbeda. Menurut Jamaksari (2016), kelompok yang
membolehkan penyewaan tanah adalah Imam Asy-Asyafi’I
dan jumhur ulama, sedangkan yang melarang sewa adalah
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
79
Thawus, Abu bakar bin Abdurrahman ibnu Hazm.
Kesimpulannya, ulama yang membolehkan adalah asalkan
dilakukan dengan prinsip kemaslahatan dengan
menggunakan uang, dinar, dirham atau apapun juga.
Sementara yang menolak, Ibnu Hazm, karena kuatir ada satu
pihak akan mengalami kerugian. Maka disarankan memilih
bentuk bagi hasil, karena akan lebih adil bagi kedua pihak.
Disebutkan oleh penulisnya, perbedaan ini karena yang pro
menggunakan metode qiyas (analogi), sedangkan yang
menolak menggunakan nasikh massukh. Metode qiyas kira-kira
maksudnya adalah menyamakan ketentuan hukum antara
sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya dengan sesuatu
yang lain yang belum diatur hukumnya. Sedangkan nasikh
massukh secara bahasa bermakna menghilangkan,
menghapuskan, memindahkan, dan menulis. Kira-kira
maksudnya adalah dengan menghilangkan hukum yang ada
dengan dalil yang lebih dahulu dengan dalil yang datang
setelahnya. Wallahu a’lam.
Pendapat yang Melarang Sewa Menyewa Lahan
Rasul pernah melarang lahan pertanian disewakan, baik
tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar
dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk
tunai. Namun, ini harus difahami secara kritis, dalam kondisi
bagaimana dan kapan pelarangan itu disampaikan.
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai tanah
(pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada
saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya
itu." (HR Bukhari). Dalam hadits sahih riwayat Muslim,
Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa
(ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadits-hadits ini
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
80
dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul
ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyakapan lahan pertanian
dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan
dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan
penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah
hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk
penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat untuk mendukung sistem sewa, karena
tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong,
melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan
Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada,
yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong
yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar
sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya
sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami.
Larangan penyewaan disini khusus untuk menyewakan
lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah
bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang
peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang),
untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-
boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah
ini.
Ada yang berpandangan bahwa sewa lahan pertanian
dilarang karena menyerupai riba. Mengapa demikian?
Karena, penyewa memberikan biaya sewa di depan,
sedangkan ia belum tentu mendapatkan hasil. Bagaimana jika
panennya gagal, padahal sejak awal sudah bayar sewa?
Para alim ulama yang melarang sewa menyewa berpedoman
kepada hadits-hadits berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abi
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
81
Nu’aim, bahwa Rafi’ bin Khudaij telah bercerita kepadanya bahwa
pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah SAW. Rasul
bertanya kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah
pemilik tanah. Maka Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa ini
tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh
separuh dan pemilik lahan memperoleh separoh. Lalu Rasul berkata:
kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu kepada
pemiliknya dan ambillah upah kerjamu” (HR Abu Dawud).
Sepintas hadits ini seolah melarang sewa tanah. Tetapi kalau
kita memperhatikan isinya, maka hadits ini justru
mempertegas makna hadits sebelumnya. Mungkin yang
dimaksud “riba” oleh Rasullullah disini adalah pola jahiliah
yang telah dipraktekkan lama.
Menghadapi perbedaan ini, antara boleh dan tidak boleh, ada
yang memiliki sikap wara’, yaitu memilih sesuatu yang
terbaik dari dua hal yang sama-sama diperbolehkan.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Salim bin Abdullah bin
Umar(HR Abu Dawud), yang menceritakan dimana Abdullah
bin Umar akhirnya memilih untuk tidak menyewakan tanah,
karena khawatir Rasulullah telah membuat suatu keputusan
baru.
Ada yang berpendapat, menyewa tanah dengan uang yang
tertentu nilainya adalah boleh, sementara menyewa tanah
dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram).
Dan ada yang yakni sewa menyewa bukanlah sesuatu yang
dapat disamakan dengan riba.
Salah seorang ulama` modern yang terkemuka, Yusuf al-
Qardawi berpendapat bahwa ia melarang sewa tanah dengan
uang atau dengan sewa tetap. Pendapat Yusuf al-Qardawi
layak dikaji karena berani melarang sewa tanah dengan sewa
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
82
tetap, sedang ulama lainnya banyak yang membolehkan
misalnya Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagainya.
Menurut para ahli yang menganalisis dengan dalam,
pendapat Yusuf Al-Qardawi tersebut dilontarkan saat
dikomprasikan dengan bagi hasil. Pelarangan ini didasarkan
atas berbagai alasan, yaitu antara lain adanya ketikadilan
dalam sistem sewa tanah dengan uang. Keadilan adalah asas
dalam Islam, sehingga jika asas ini tidak ada maka hukum
sesuatu itu menjadi haram karena tidak sesuai dengan
prinsip dasar Islam. Hal menonjol yang menyebabkan
ketidakadilan dalam sewa tanah dengan uang adalah
manfaat tanah yang tidak pasti.
Wallahu alam bissawab. Ini sungguh masalah yang sensitif.
Jujur Saya ga yakin dengan ini mana yang benar. Maka,
mohon pembaca menyikapinya dengan bijak. Bertanyalah
kepada para ulama dan guru-guru agama yang bisa
menjelaskan ini secara lebih tepat.
Jika disimpulkan, menurut Saya, pelarangan sewa disebabkan
oleh hal-hal berikut:
1. Kurang adil. Ada potensi akan merugikan si penyewa,
jika panen gagal atau setengah gagal. Sebaliknya, pemilik
tanah sudah pasti untung, karena ia sudah terima sewa di
awal musim secara tunai. Maka, opsi yang disarankan
adalah bagi hasil.
2. Sumber daya tanah sungguh unik, tidak ada duanya di
dunia, maka perlu hukum khusus. Seorang penyewa
belum dapat apa-apa jika tidak menggarapnya,
menanami, memelihara, sampai memanen. Ia juga perlu
biaya untuk beli benih dan pupuk, uang untuk buruh,
dan curahan keringat sendiri; baru ada hasilnya. Kalau
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
83
menyewa kost-kostan jelas bisa ditiduri. Karena alasan ini
lah, sikap qias yakni menganalogkan atau menyamakan
persewaan tanah dengan persewaan barang lain adalah
keliru.
3. Tanah milik Allah SWT, bukan milik si Tuan Tanah. Jika
pun seseorang disebut “memiliki” tanah, hanya sebatas
pemanfaatannya. Zat nya tetap milik Allah. Maka, sesuai
hadits, jika memang tidak ada tenaga dan waktu untuk
menggarapnya, ya serahkan lah ke orang lain. Tidak ada
haknya menyewakan ke orang lain. Allah menyediakan
tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk
dimiliki orang seorang. Jika otoritas pemerintah, dengan
bekal selembar sertifikat, telah membuat ia berfikir ia
pemilik mutlak tanah tersebut, mau ditelantarkan
terserah dia; mungkin ini yang perlu kita fikirkan ulang.
4. Mengksploitasi kemiskinan. Pemilik selalu enak, yang
tidak punya tanah menyewa karena terpaksa dan sering
menderita. Dalam perjalanan Saya sebagai peneliti
Sosiologi Pertanian khususnya agraria, umumnya pemilik
memang enak. Bagiannya selalu lebih besar
dibandingkan si penyewa. Semakin kecil rasio lahan per
petani di swatu wilayah, semakin ongkang-ongkang kaki
lah pemilik. Tanpa resiko, duit lancar mengalir ke
kantong tiap musim. Tercapainya kesepakatan sewa
menyewa berlangsung dalam suasana yang tidak
seimbang tersebut. Para penyewa terpaksa menyewa, dan
terpaksa membayar sewa tinggi, karena tidak punya
pilihan lain.
Pendapat yang Membolehkan Sewa Menyewa Lahan
Di sisi lain, bagi yang pro penyewaan, berargumen bahwa
penyewaan lahan dengan perjanjian untuk jangka waktu
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
84
tertentu memiliki kebaikan, masih bisa menguntungkan
kedua belah pihak. Si pengusaha yang ahli sejak awal bisa
memperhitungkan keuntungan dan memudahkan
penghitungan, misalnya untuk tanaman tahunan yang butuh
waktu lama baru menghasilkan.
Dalam UU No 21 tahun 2008 tenang Perbankan Syariah, ada
peluang penyewaan untuk barang bergerak atau tidak
bergerak kepada nasabah. Yakni ijarah untuk sewa, dan ijarah
muntahiya bittamlik untuk sewa beli. Akad ijarah merupakan
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau
manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Beda dengan ijarah muntahiya bittamlik, terjadi
pemindahan kepemilikan barang kepada penyewa.
Menyewa dengan nilai yang jelas juga didukung riwayat lain.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Handolah
bin Qois Al Anshori: “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij
tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia
berkata tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan
tanah pada masa sebelum rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan
bendungan dan dengan bagian ternetu dari hasil tanam, sehingga
bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini
selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan
sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini
dilarang. Adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas
diketahui, maka tidak apa-apa” (HR Muslim).
Disebutkan pula bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri
menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan
keadilan dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata:
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
85
"Muzara'ah lebih halal daripada kira'. Pada kira’, yang satu
(pemilik) pasti dapat, yang kedua (penyewa) belum tentu”.
Jadi Mas dan Mba, tampaknya dalil yang mendukung
penyewaan lahan kurang kuat ya, dan yang mendukung juga
tidak banyak. Wallahu a’lam.
Analisis Boleh Tak Boleh
Jika coba dicermati dengan lebih dalam, mungkin situasinya
begini. Boleh dan tidak bolehnya penyewaan lahan (dengan
nilai tetap) pada hakekatnya adalah karena kondisi
keagrariaan utamanya rasio lahan terhadap petani di satu
wilayah. Penyewaan yang dilarang di zaman Nabi, karena
saat itu terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang
berakibat kepada konflik. Banyak para sahabat yang
memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan
tanahnya sehingga menjadi tidka adil. Yakni dibedakan
antara petak tanah yang mana dan besar sewanya berapa.
Sebagian ditetapkan nilainya dari hasil tanah baik berupa
takaran ataupun timbangan, sedang petak lainnya dengan
pola dibagi dua. Ini tidak adil, karena kadang-kadang suatu
tanah tidak menghasilkan sesuai yang ditentukan itu.
Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan
mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita
kerugian besar, atau malh tidak dapat sama sekali. Atau
sebaliknya, kadang-kadang suatu petak tanah tidak
menghasilkan apa-apa, sehingga si pemilik tidak mendapat
apa-apa, namun penyewa dapat semua.
Maka itulah, biar adil disarankan pola bagi hasil. Jika hasilnya
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya,
dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
86
sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-
apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.
Alasan lain kenapa penyewaan dilarang, mungkin karena
soal pertengkaran yang ditimbulkannya. Untuk menghindari
ini, Rasul menggariskan bahwa masing-masing dari pemilik
tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang
tinggi. Si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi,
sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik
tanah."Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan
menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya
satu sama lain bersikap lemah-lembut." (HR Tarmizi). Lihat,
dalam hadits ini disebut muzara’ah yang makna “bagi hasil”.
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf.
Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang
Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas
atau perak (uang), tetapi dengan sepertiga atau seperempat.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi
melarang menyewakan tanah, maka Thawus menganggap
bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah
penyewaan dengan uang (emas dan perak), adapun
muzara'ah tidak apa-apa.
Bagaimana menghitung nilai sewa?
Jika kita setuju dengan persewaan, lalu bagaimana
menentukan nilai sewa? Dalam satu riwayat, nilai sewa
berdasarkan kesuburannya, atau potensi produksinya. Dari
hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebut berdasarkan
atas “tanaman yang keluar darinya” dan “bagian yang dialiri
air”.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Aa’ad bin Abi Waqqash
bahwa: “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
87
darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu
dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air
(maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air).
Maka Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan hal itu
danbeliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakananya
dengan emas atau perak” (HR Abu Dawud).
Pada masa jahiliyah, jika seseorang menyewa tanah, maka dia
tidak perlu membayar uang pada waktu akan menyewa.
Penyewa hanya perlu menyerahkan hasil panen dari sebagian
areal lahan tertentu. Misalnya tanah bagian sebelah utara atau
selatan, bisa pula bagian tanah yang di atas atau di bawah,
dan lain-lain. Saat panen, maka hasil dari bagian tanah tadi
diberikan ke si pemilik. Sewanya dibayar belakangan namun
besarnya sudah ditetapkan di awal. Wallahu a’lam.
Namun, di era Rasulullah, pola ini dilarang; diganti dengan
nilai yang jelas pada waktu akad, dan dibayar langsung
dengan emas atau perak. Cara ini diyaikini lebih jelas dan
tidak akan saling mendzalimi. Cara jahiliah kemungkinan
menimbulkan gharar (tipuan atau ketidak jelasan).
Cara sewa bayar di depan ini bisa saja terkesan tidak adil,
misalnya jika panen gagal. Namun, kuncinya di sini adalah
pada kesempurnaan akad. Tentu saja, seseorang yang berani
menyewa tanah tersebut sudah memiliki pengetahuan dan
keyakinan tentang keberhasilan usahanya nanti.
Pertimbangannya tentu dengan melihat tingkat keberhasilan
produksi tanah tersebut tahun-tahun sebelumnya. Pembeda
model Islam dengan model jahiliyah adalah akadnya lebih
jelas saat awal akad termasuk nominalnya.
Untuk menentukan berapa nilai sewa mungkin bisa
menggunakan prinsip batasan mengambil keuntungan pada
berdagang. Dari beberapa fatwa, pointnya adalah tidak elok
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
88
mematok harga sewa setinggi-tingginya, meskipun karena
terpaksa tetap ada orang yang mau menyewa. Perilaku “tuan
tanah kerjam” seperti ini bisa tergolong penipuan. Mohon
diingat bahwa pada tanah selalu melekat kewajiban sosial,
karena keberadaannya yang tetap dan terbatas.
Yang paling indah tentunya adalah masing-masing dari
pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi yang
tinggi. Si pemilik tanah tidak minta terlalu tinggi, sedangkan
dari si penyewa juga jangan merugikan si pemilik.
Kondisi yang Melahirkan Sewa Menyewa Lahan di
Indonesia
Coba kita fahami kenapa kultur sewa menyewa lahan begitu
marak di Indonesia? Bukan untuk mendukung pro atau
kontra ya. Dari berbagai hasil riset, pada wilayah yang
terbuka dimana kompetisi untuk memperoleh tanah garapan
tinggi, maka sewa lahan banyak berkembang. Ada
kecenderungan, bagi hasil mengindikasikan pertanian
tradisional, sedangkan sewa merupakan ciri pertanian
modern. Penerapan bagi hasil lebih adil, karena penyakap
pastilah berasal dari kelas yang lebih rendah. Sedangkan
petani yang berani memilih sewa umumnya dari kelas
ekonomi yang lebih tinggi. Jadi, bagi hasil merupakan
mekanisme untuk mewujudkan nilai sosial dari tanah, beda
dengan sistem sewa.
Dari penelusuran Saya sebagai peneliti, relasi pemilik tanah
dengan penyewa lebih impersonalistik, tidak akrab dan
lebih kalkulatif. Jasa (uang sewa) dibayarkan di depan, sering
untuk beberapa musim atau tahun sekaligus. Si
pemilik ga akan rugi.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
89
Pada bagi hasil, penyakap bisanya dari strata ekonomi lebih
rendah. Namun pada persewaan, penggarap atau penyewa
bisa dari kelas ekonomi lebih tinggi. Ia sering memiliki modal
yang lebih kuat dibanding si pemilik tanah. Beda dengan
pada bagi hasil, di persewaan ini otoritas lebih besar ada pada
si penyewa. Dapat dikatakan, si penyewa lebih berkuasa.
Pemilik tanah kadang-kadang merasa telah beruntung karena
ada orang yang mau menyewa lahannya dengan nilai besar.
Gampangnya Saya katakan: pada relasi sewa menyewa ini,
aroma kapitalistik individualistis nya lebih terasa. Pertanyaan
nya adalah: apakah ini relasi muamalah bertani yang
dibayangkan Islam?
Jadi, setelah membaca dan mencermati berbagai ayat dan
hadits di atas, lalu dikomparasikan dengan praktek sewa
menyewa lahan selama ini yang cenderung eksploitatif; Saya
merasa kita perlu berhati-hati menerapkan ini. Saya rasanya
belum pernah ketemu petani penyewa yang happy dengan
kondisinya. Namun mereka adalah kaum voiceless, yang
selain tidak tahu mau mengadu kemana, juga mungkin belum
pernah dapat tausiyah dari Ustadz bahwa Rasul
sesungguhnya begitu peduli kepada nasib penyewa-penyewa
seperti mereka.
.3.3. BAGI HASIL PERTANIAN
Dibandingkan dengan penyewaan lahan, Saya kira kerjasama
usaha pertanian dengan bagi hasil ini (muzara’ah) lebih baik
dan lebih disarankan. Banyak hadits yang menguatkannya.
Lagi pula, dalam Ekonomi Islam ”bagi hasil” merupakan
salah satu produk yang sangat umum dalam pembiayaan.
Bahkan kalangan awam menyebut bahwa Ekonomi Islam
adalah ”Ekonomi Bagi Hasil”.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
90
Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang
diperbolehkan oleh ajaran islam dan banyak dijumpai di
masyarakat luas saat ini. Pola ini insyaAllah bermanfaat yang
bagi kedua pihak, sama-sama untung. Dalam dunia sosial
ekonomi pertanian dikenal “hubungan penyakapan” (tenancy
relation) yang memiliki pengertian yang luas, mencakup
berbagai bentuk hubungan sementara yang terjadi akibat
penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik.
Hubungan penyakapan diagi dua yakni sewa dan bagi hasil.
Ya, makna ”tenancy relation” tampaknya berimpit persis
dengan makna ”muzara’ah” yakni segala bentuk kerjasama
penggarapan tanah orang lain; mencakup sewa dan bagi
hasil.
Sebagai tambahan, menggadai lahan sebenarnya tidak masuk
ke dalam konsep muzara’ah, karena dalam menggadai lahan
hanya jaminan. Namun, Bapa Ibu sekalian, praktek di
masyarakat kita saat ini, sebagaimana Saya amati sebagai
peneliti; menggadai lahan akhirnya menjadi cara untuk
mendapatkan lahan juga. Ini menjadi tenancy relation padahal
sebenarnya tidak masuk dalam makna ”muzara’ah”.
Pengertian dan ragam muzara’ah (bagi hasil)
Walaupun muzara’ah semestinya mencakup sewa dan bagi
hasil, namun banyak hadits, entah mungkin karena
penerjemahannya; semakin mengerucut bahwa muzara’ah
untuk “bagi hasil”, sedangkan penyewaan tanah memakai
istilah ijarah atau kira’. Maka, “muzara’ah” di sini dibatasi
sebagai kerjasama penggarapan lahan dimana seseorang
memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami,
yang hasilnya nanti dibagi. Secara bahasa, “muzara’ah” berarti
muamalah atas tanah dengan pembagian yang
dihasilkannya.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
91
Hasil penelusuran dari berbagai bacaan, Saya temukan
beberapa varian pola bagi hasil sebagai berikut:
Satu, pola musaqat. Dalam pola ini buruh diserahkan
memelihara sebidang lahan yang sudah ada tanamannya
misalnya kurma, lalu nanti memperoleh upah dari bagian
hasilnya. Artinya, saat buruh itu datang tanamannya sudah
besar, mungkin sudah berbuah atau belum. Ini banyak
berlaku untuk tanaman perkebunan. Tampaknya ini yang
diterapkan Rasul kepada petani penduduk Khaibar.
Pengertian musaqat sendiri adalah seseorang memberikan
pohon kepada orang yang akan mengairi dan memelihara
dengan upah tertentu dari buahnya. Ini berbeda karena
dibayar harian. Lebih kurang, varian yang kita temukan di
Indonesia seperti “bawon” pada padi, yang punya kewajiban
menanam dan memanen, namun yang memelihara (mengairi,
menyemprot) adalah si pemilik. Petani bawon nanti
memperoleh gaji saat panen, bisanya 1/6 atau 1/7 bagian dari
panen kotor.
Musaqat diperbolehkan dengan dalil kerjasama Rasul dan
para khulafaur rasyidin sepeninggal beliau. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rosululloh
SAW menyuruh penduduk Khaibar menggarap tanah
Khaibar dengan bagian setengah dari tanaman atau buah
yang dihasilkan lahan tersebut. Akad yang sama juga
dilakukan oleh Abu Bakar RA, Umar bin Khaththab RA,
Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abu Thalib RA.
Dua, Benih dari pemilik. Beberapa hadits menyebutkan
bahwa pemilik harus menyediakan benih. Makna dari
kewajiban ini bisa dikembalikan kepada konsep dasar
“pemilikan” tanah, bahwa sesungguhnya seseorang petani
tidak benar-benar memiliki secara mutlak tanah apapun, dia
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
92
hanya berhak pada pemanfaatannya. Dengan masih
memberikan benih, maka setidaknya masah ada “ikatan” nya
pada kewajiban pemanfaatan tersebut. Jika pemilik sudah
tidak memberikan apa-apa, kesannya bahwa tanah dimilki
secara penuh.
Imam Bukhari menceritakan dalam kitab Sahihnya, bahwa
Umar bin Khattab RA mempraktekkan ini, dimana bibit
disediakan Umar sebagai pemiliki dan dia mendapat lebih
dari separuh hasil. Namun, jika bibit dari petani, maka
mereka dapat lebih dari separuh juga.
Bagaimana pola bagi hasil yang benar? Saya belum dapat
referensi yang bagus tentang ini. Namun, praktek bagi hasil
oleh Rasulullah dan Khalifah bagian petani penyakap tidak
kurang dari separuh, sebagaimana dilakukan kepada petani
Yahudi Khaibar. Tidak layak kalau bagian pemilik tanah
lebih tinggi daripada bagian penyakap.
Tiga,Benih dari petani penyakap. Berkenaan dengan cerita
pada petani Khaibar yang berlangsung sampai Rasul
meninggal dunia, salah satu hadits menyebutkan petani
yang menangung biaya dan bibit, bukan dari Nabi. Artinya,
bibit boleh dari pihak petani atau pemilik, atau boleh juga
dari kedua belah pihak.
Ini yang banyak dipraktekkan di Indonesia, biasanya pemilik
dapat 1/3 dari hasil kotor. Penggarap yang telah
mengeluarkan benih, pupuk, dan biaya olah tanah; mendapat
2/3. , Tampaknya ini tidak ada di era Rasul. Nah, satu yang
menarik, setelah Saya coba uji, rupanya bagian pemilik lebih
kurang sama walau ia mengeluarkan benih dan pupuk
dengan pola “bagi dua”. Rupanya masyarakat petani tersebut
telah berhitung dengan sangat baik, sehingga walau berbeda
cara, bagian kewajiban dan haknya menjadi mirip. Perbedaan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
93
pola bagi dimungkinkan berbeda karena kesuburan lahannya,
dan utamanya adalah rasio lahan terhadap petani. Semakin
banyak petani tak berlahan, bagian petani penyakap ditekan
sampai sekecil-kecilnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dari
pada tidak punya garapan; penyakap tetap menerimanya.
Meskipun kita sudah punya Undang-Undang No 2 tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian.
Prioritas Kerjasama Penyakapan Lahan
Dalam hal relasi keagrariaan ini, dimana banyak pola yang
mungkin, jika kita sederhanakan maka logical frame nya lebih
kurang sebagai berikut:
Pilihan pertama, Garaplah sendiri.
Pilihan yang utama adalah lahan diolah sendiri oleh
pemiliknya. Jika tidak sanggup, maka lahan tidak boleh
dianggurkan atau diberakan belaka. Maka, jika pemilik tidak
sanggup, entah karena tidak ada waktu (punya profesi lain)
atau ketiadaan biaya, lahan boleh dikerjasamakan dengan
petani lain. Hadits Rasulullah bahwa memberikan tanah
kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak
tertentu.
Pilihan kedua: Lahan “dipinjamkan” ke orang lain, tanpa
memungut apapun.
Ini banyak haditsnya. Jika pun pemilik membantu dengan
alat, bibit, atau meminjamkan hewan untuk mengolah tanah,
sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya kecuali
berharap pahala dari Allah SWT; merupakan shadaqah jariah
yang sangat baik. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, maka
tanamilah atau berikan kepada kawannya”. Dalam riwayat lain,
Rasul menyatakan: “Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
94
sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak,
tinggalkanlah”. Jadi, meminjamkan lahan begitu saja tanpa
meminta imbalan jauh lebih dianjurkan.
Pilihan ketiga: Muzara’ah (bagi hasil), atau sering disebut juga
musaqat atau mukhabarah.
Si pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada
yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan
mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya ½ atau 1/3
atau dengan pola yang lain asalkan sepakat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah diterangkan,
bahwa Rasulullah SAW menyewakan tanah kepada
penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk
pemilik tanah. Pola muzara’ah dipraktekkan Rasul, para
Kahlifah sesudahnya, dan bahkan dilanjutkan pula oleh isteri-
isteri Nabi sepeninggal beliau.
Sebenarnya ada pilihan keempat, yakni muzaarah namun
petani “lepas tangan”. Sepanjang bacaan yang saya temukan,
pola ini tidak ada dalilnya. Padahal pola ini sangat banyak
diterapkan di Indonesia, biasanya pemilik mendapat 1/3 dari
hasil panen kotor.
Dasar hukum muzara’ah sangat kuat, karena selain secara
logika keislaman sangat sesuai, juga sudah biasa
dipraktekkan di zaman Rasul. Tidak sebagaimana penyewaan
lahan yang dalam kondisi tertentu dilarang, pada muzara’ah
ini Rasul membolehkan.
Pada dasarnya, muzara’ah ini merupakan kerjasama yang
saling menguntungkan, dalam kondisi banyak petani yang
ahli dan butuh lahan, sementara banyak juga pemilik yang
kebetulan tidak mampu menanaminya. Muzara’ah menjadi
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
95
solusi jalan tengah bagi keduanya. Ini dipraktekkan di era
Rasul di Madinah dan banyak kaum muhajirin, dilanjutkan
khulafaur rasyidin dan sampai ke Umar bin Abdul Aziz yang
hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi
hasil.
Bentuk Muzara’ah yang Terlarang
Hadits yang melarang muzaarah agak jarang dan konon
katanya lemah. Dan kalau dicermati, pelarangan tersebut
lebih kepada karena adanya bagian yang tidak diketahui atau
tidak jelas dalam perjanjian yang dibuat antar kedua pihak.
Jadi, muzaarah dilarang jika ada unsur gharar. Apakah
gharar?
Gharar atau taghrir adalah istilah hukum yang berarti
keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk
merugikan orang lain. Garar terjadi bisa karena akad yang
mengandung unsur penipuan karena dibuat longgar atau
mengambang, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad,
besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan
objek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Maka, gharar
merupakan akad yang dilarang dalam Islam. Gharar juga
bisa terjadi dengan mengubah sesuatu yangbersifat certain
menjadi uncertain.
Gharar juga bermakna pertaruhan. Al-harar adalah al-
mukhatarah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasasan)
sehingga termasuk ke dalam perjudian. Maka, dalam jual beli
bisa terdapat gharar. Yakni ketika transaksinya mengandung
ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian; misalnya karena
menjual buah yang masih di pohon, atau ikan yang masih di
dalam air.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
96
Ada berbagai alasan mengapa muzaara’ah dilarang. Rasul
pernah melarang muzara’ah setelah sebelumnya
diperbolehkan. Dalilnya berasal hadits yang menceritakan
bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang
berselisih tentang muzara’ah, sehingga bahkan sudah sampai
pada sikap untuk saling membunuh. Menghadapi konflik ini,
Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang
terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukan muzara’ah.
Ceritanya bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar
tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada
Nabi, maka jawab Nabi: “Kalau ini persoalanmu, maka janganlah
kamu menyewakan tanah”.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum muzara’ah ini
termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin
Tsabit dengan mengatakan bahwa ia lebih mengetahui
tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’ bin Khudaij. Lebih
lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang
melakukan muzara’ah. Dengan adanya bantahan dari Zaid ini,
maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum
diperbolehkannya muzara’ah.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah
SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di
mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat
dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu
bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum,
melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu
untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila
bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 100 are
yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak
atas tanaman yang tumbuh di area 40 are tertentu (mungkin
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
97
karena lebih subur), sedangkan penggarap berhak atas area
60 are yang lain yang kurang subur.
Cara membagi yang benar adalah semua hasil panen
dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai
prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu,
sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 40 are dan
60 are; si buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua
lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 60 are itu saja.
Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya
lagi (yang 40 are) menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti
larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah
satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan
yang 40 are itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen di lahan yang 60 are yang gagal, maka
buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa
hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu,
setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian
prosentase.
Jangan sampai pas panen, hanya pemilik yang dapat, atau
hanya penyakap yang dapat hasil. Oleh karena itu
seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu
dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui
bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak
akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-
duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau
samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya
akan menderita kerugian.
Di zaman sebelum Rasul, pemilik biasa menyewakan tanah
yang dekat sumber air dan yang dekat dengan parit-parit
dibedakan dengan yang jauh dair air. Ini yang dilarang.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
98
Penyakapan harus dilakukan untuk seluruh lahan. Tidak bisa
dibeda-bedakan. Rasul melarang membeda-bedakan
muzara’ah pada petak lahan berbeda dalam satu lahan. “ ….
kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang
tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu
ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami
dilarang” (HR Bukhari). Intinya, Nabi sangat berkeinginan
untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam
masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang
menyebabkan sumber konflik di kalangan masyarakat Islam.
Praktek bagi hasil di masyarakat kita: ceblokan vs Bagi
Hasil
Pada pertanian sawah di Jawa dikenal “ceblokan”, yang
merupakan bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan
buruh tak bertanah. Ini tergolong sebagai ”bagi usaha”.
Sistem ”ceblokan” atau “kedokan” sesungguhnya adalah upah
menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara
natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon.
Hanya ditemukan pada usaha padi sawah. Satu ha di sawah
kadang dibagi untuk 3 sampai 10 penceblok.
Biasanya penceblok terdiri dari keluarga (suami isteri)
Namun, saking terbatasnya lahan, kadang berlangsung
penyakapan berganda. Si penyakap (penceblok) kadang-
kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu
kepada orang lain. Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala
involusi pertanian dahulu, atau bisa juga sebagai bentuk baru
involusi pertanian yang rupanya belum berakhir juga di
Indonesia.
Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang
memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen
yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
99
terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil
dan bagi usaha yang melibatkan empat pihak sekaligus.
Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap,
petani yang melakukan kedokan, dan penderep. Tampak bahwa
konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian
kompleksnya, yang mungkin belum terpikirkan dalam
produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar
pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara
mereka yang sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini
hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip bagi hasil
yang perolehan tiap pihak lebih mudah
menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama di Jawa,
telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa
antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif.
Pertanyaanya, apakah pola ini boleh? Disini sesungguhnya
berlangsung dua pola yaitu pengupahan (yang
pembayarannya ditunda), dan bagi hasil (yang nilainya
bergantung hasil panen nanti). Jika digolongkan sebagai upah
kerja, kita tahu ada hadits yang harus segera membayar
sebelum “keringatnya kering”. Jadi, sebenarnya ini lebih tepat
disebut apa? Tampaknya para ahli agama perlu
mendudukkannya, sehingga tidak menjadi mudhorat bagi
umat.
Tidak sebagaimana basi hasil, disini petani penceblok hanya
menyediakan tenaga kerja. Upahnya adalah berupa natura
dari panen, disebut bawon. Biasanya sepertujuh bagian dari
panen, atau seperenam bagian, tergantung wilayah.
Untuk aktivitas panen dibedakan antara “sistem ceblokan”
dengan “sistem keroyokan”. Pemanenan dengan
sistem ceblokan adalah pemanenan padi yang dilakukan oleh
tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang sebelumnya
mereka ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
100
ikut menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik
sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak
dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara
teknis, panen dengan ceblokan lebih baik, karena tidak
berebutan dan buru-buru dalam pekerjaannya.
Disinilah uniknya Indonesia, Saya sebut dengan fenomena
“kegembiraan panen”. Sudah menjadi tradisi di kita
“merayakan” saat panen dengan banyak berbagi. Sudah
menjadi kebiasaan, upah buruh panen seringkali lebih besar
dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain untuk jam kerja yang
sama, dan suguhan nya pun beda. Makan dan snack nya lebih
“mewah”.
Bentuk kegembiraan yang lain adalah membagi hasil panen
kepada banyak orang, termasuk “membayar” penceblok saat
panen. Panen secara sengaja tidka sengaja bahkan dibagi
pada orang yang tidak terlibat pada proses produksi, yakni
untuk para “pengasak”. “Pengasak” adalah orang-orang,
biasanya ibu-ibu berumur, yang mengumpulkan butiran-butiran
gabah dari tumpukan jerami sisa penggilingan batang padi.
Sering tukang arit “menyisakan” agak banyak butir-butir gabah di
sawah biar dipungut mereka. Dan itu dianggap lumrah.
Membagikan kegembiraan seperti ini jelas sangat dianjurkan
Islam. Sahabat Urwah bin Zubair adalah seorang yang
dermawan. Beliau memiliki sebidang kebun yang luas di
Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang
rindang serta buahnya yang lebat. Beliau memasang pagar
yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakan, namun
tatkala buahnya telah masak dan siap panen dibukalah pintu-
pintu sebagai jalan masuk bagi siapa pun yang
menghendakinya.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
101
“Mengislamkan” Bagi Hasil Pertanian Tradisional
Bagi hasil merupakan jantung perekonomian Islam. Bagi hasil
juga merupakan produk unggulan bank syariah. Karena itu,
tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang
mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”.
Bagi hasil akan lebih menjamin keadilan antar pelakunya, dan
keadilan merupakan hakekat perekonomian Islam. Namun,
sebelum bank Islam ramai di Indonesi sekitar tahun 1990-an,
praktek bagi hasil sudah sangat biasa di pertanian kita,
namun tampaknya tidak berbasiskan ajaran Islam.
Secara umum, bagi hasil yang berlaku adalah pembagian
hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda
disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam
pengusahaan tanah di dunia (Scheltema, 1985). Bagi hasil di
dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah,
dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi
(modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan
tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura.
Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (deelbouw). Pembagian
dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan,
dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan
pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama
mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan
hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih
besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli
bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika nilai sarana
produksi menjadi besar, ditemukan berbagai pola bagi hasil.
Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya
ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.
Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah,
umumnya pembagian dilakukan terhadap hasil kotor,
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
102
meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah
hasil bersih yang lebih adil. Untuk perhitungan dari hasil
bersih yakni setelah biaya-biaya dikeluarkan sesuai dengan
sumbangannya, jika hasil panen anjlok, maka kedua belah
pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian meskipun
kecil.
Namun jika pembagian dari hasil kotor, penyakap bisa
memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka
bisa bisa saja itu sudah habis untuk membayar sarana
produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh apapun,
bahkan bisa minus. Bagi hasil kotor akan menzalimi
penggarap ketika hasil panen anjlok, karena ia sudah
mengeluarkan biaya untuk beli benih, pupuk, dan biaya olah
tanah; namun hasilnya masih berbagi dengan pemilik yang
lebih parahnya jika tidak mengeluarkan biaya apapun.
Praktek di Indonesia, pada usahatani padi misalnya,
adakalanya input produksi ditanggung sendiri oleh pemilik
atau ditanggung bersama dengan penggarap. Demikian pula
dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah
terlibat atau tidak sama sekali.
Penerapan bagi hasil pertanian lahir secara alamiah, dan
dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi ekonomi,
baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi
hasil sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak
dahulu mulai dari Aceh, Bali, sampai Ternate, Toraja dan
Gorontalo.
Meskipun demikian, bagi hasil yang berjalan pada
masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu
dicermati, kuatir tidak sejalan dengan Islam. Sebaliknya,
penerapan bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum
tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah mengakar di
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
103
tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang
menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam
prakteknya yang mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas
untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi
bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini.
Penerapan bagi hasil di masyarakat pedesaan khususnya ada
pada strata bawah. Secara umum, penerapannya dilandasi
semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi
subsistensi. Satu ciri yang khas, sistem ini mentolerir
ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan
berlangsung melalui relasi sosial yang bersifat intim. Di
perbankan syariah sangat beda. Bagi hasil utamanya pada
padi sawah dan pemeliharaan ternak, merupakan hal yang
sudah mentradisi dan dikonstruk secara alamiah. Ini
berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh pemilik
lahan, buruh tani, buruh ceblokan, tukang arit, buruh pacul,
dan mbok-mbok buruh tandur. Ciri lain adalah tidak formal
dan tidak tercatat. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran
dalam batas-batas tertentu. Pemilik tanah tahu bahwa
penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen
sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini
dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah”
tersebut. Prinsipnya memang untuk ”saling menghidupi”.
Kadar kerjasama mungkin lebih kental motivasi sosialnya
dibanding ekonomi. Sering ditemukan seseorang
memberikan sawahnya untuk digarap orang lain lebih karena
merasa ”kasihan”. Motivasinya untuk berbagi, saling
menghidupkan, saling tolong. Pengawasan dilakukan secara
halus dan tersembunyi. Pemilik lahan mengawasi usaha
secara halus dalam hubungan yang intim berformat
hubungan patron-klien. Kepercayaan (trust) merupakan
modal unik yang dibangun melalui hubungan yang cukup
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
104
lama. Biasanya tidak ada surat perjanjian, dan sangat
personal.
Jika dikembalikan kepada tuntunan bagi hasil dalam Islam,
kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang
sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah.
Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan
keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha.
Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh
sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai,
barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan.
Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan
pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber
modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia tidak
terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan
sepenuhnya kepada pengelola (mudharib). Mudharabah juga
dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung
berposisi sebagai pemilik modal dan bank sebagai
pengelolanya.
Bagi hasil juga ditemukan pada usaha peternakan dan
perikanan tangkap laut. Bagi hasil umumnya lahir pada
usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki
resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2
tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi
Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun
implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai
saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini.
Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain untuk
dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya
“dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat
diuangkan. Sebagai imbalan dalam pemeliharaannya, maka
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
105
induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk
membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.
Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu
didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan
jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang
“diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang
membedakannya dengan ideologi ekonomi lain.
Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya
perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah
ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh
nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”,
memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian
secara lebih besar dengan tidak menginformasikan secara
benar tentang harga es, garam, dan bahan bakar yang
menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan.
Bapak Ibu, ada banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil
ke depan. Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil
merupakan produk yang fitrah alamiah yang akan selalu
eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya
pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan
dengan barisan manusia yang hanya mengandalkan tenaga
dan ketrampilannya. Bagi perbankan syariah, ada kendala
antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara
modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada
penerapan bagi hasil pada masyarakat kita yang cenderung
mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas
tradisional dan terkesan fleksibel.
UU No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
relatif pendek, hanya terdiri atas 17 Pasal dengan tujuan agar
pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan
atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
106
hukum yanglayak bagi para penggarap. Dalam UU ini,
dinyatakan “Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama
apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan
seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-
undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan
pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.” Beberapa
persyaratan yang penting, misalnya semua perjanjian bagi-
hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan Kepala Desa
perlu pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama
perjanjian untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan
bagi tanah-kering sekurang-kurangnya lima tahun. Ini untuk
memberi kepastian usaha kepada penggarap.
Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 menyatakan bahwa ini
ditetapkan di tiap kabupaten/kota oleh kepala daerah dengan
memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-
faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat
setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi
uang atau benda apapun kepada pemilik sebagai sogokan,
memberi ke penggarap dengan niat ijon. Pedoman
pembagian yang berlaku untuk padi di
sawah dengan perbandingan 1:1 (satu banding satu).
Sedangkan untuk tanaman palawija di sawah serta tanaman
di tanah kering, penggarap mendapatkan 2/3 bagian
sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Lalu,
jika terjadi gagal panen, maka resiko ditanggung
bersama. Artinya, pembagian hasil atau kerugiannya juga
ditanggung bersama.
Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada
pasangannya di perikanan yakni UU Pokok Bagi Hasil
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
107
Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun 1964. UU ini
sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon
sering diperas juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga
uang, sama-sama tidak diterapkan.
Terlepas dari ini semua, di luar soal besaran bagian, mereka
yang sungguh-sungguh bekerja, yakni petani penyakap atau
penggarap, tetap lah lebih utama. Ia lah yang bekerja
sesungguhnya yang menggarap lahan dari Allah. Sedikt atau
banyaknya hasil, atau berapa besar keberkahan dari Allah
untuk kebunnya tersebut, bergantung pada kesolehannya.
Maaf, bukan dari kesolehan si pemilik. Kira-kira begitu.
Ini ada kisah yang mendukungnya. Diceritakan ada seorang
sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair dan
sunyi, tiba-tiba dia mendengar suara dari awan:“Siramilah
kebun si fulan!”. Maka awan itu menepi (menjauh) lalu
menumpahkankan airnya di tanah dengan bebatuan hitam.
Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi dengan air di
situ, dan lalu ia menelusuri (mengikuti) jalannya air tersebut.
Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berada di
kebunnya yang sedang mengalirkan air dengan cangkulnya.
Kemudian dia bertanya, “Wahai hamba Alloh, siapakah nama
anda?”Dia menjawab, dan namanya persis seperti yang
didengarnya tadi di awan. Kemudian orang itu balik
bertanya, “Mengapa anda menanyakan namaku?”.Dia menjawab,
“Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah airnya,
mengatakan siramilah kebun si Fulan, yaitu nama anda. Maka
apakah yang telah anda kerjakan?”
Si petani menjawab, saya membagi apa yang dihasilkan oleh
kebun ini yakni sepertiganya saya sedekahkan, sepertiganya
lagi saya makan bersama keluarga, dan sepertiganya lagi saya
kembalikan lagi ke kebun (untuk ditanam kembali). Dalam
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
108
riwayat lain disebutkan:“Dan aku jadikan sepertiganya untuk
orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang
sedang dalam perjalanan).”Point pelajaran dari kisah ini adalah
betapa sikap berbagi hasil kebun merupakan amal yang
mengundang pertolongan Allah.
Demikianlah, wallahu ’alam.
.3.4. GADAI LAHAN PERTANIAN
Point penting yang ingin diluruskan di soal gadai-menggadai ini
adalah bahwa ini sesungguhnya urusan hutang piutang,
bukan soal menguasai harta orang melalui hutang. Itu salah.
Barang yang digadai adalah jaminan saja,
bukan untuk dikangkangi suka-suka.
Kenapa ini penting? Karena tampaknya, gadai-menggadai
lahan di kita sudah agak melenceng. Petani yang mendapat
gadai boleh memanfaatkan itu lahan sampai-sampai nilai
tambahnya melebihi jumlah hutang itu sendiri. Sebutlah ada
orang berhutang Rp 50 juta, lalu lahan nya digadaikan 1 ha.
Jika ditanami padi yang semusimnya bisa dapat Rp 10 juta,
maka dalam 3 tahun atau 6 musim, penerima gadai telah
memperoleh nilai tambah Rp 60 juta. Nah, jika pas panen di
musim ke-6 tersebut si penggadai membayar hutangnya
(tanpa bunga), maka petani penerima gadai menerima Rp 110
juta. Jika dianalogkan dengan pinjaman di bank komersial, itu
setara dengan bunga 40 persen per tahun. Besar sekali.
Bagaimanapun utang-piutang tidak dapat dihindari. Untuk
mengimbangi ketidakpercayaan, maka meminta jaminan
berupa barang berharga dengan meminjamkan hartanya.
Menggadaikan tanah pertanian kepada orang lain dengan
pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, adalah metode
yang sederhana, praktis, dan berbasiskan kekeluargaan.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
109
Gadai sesungguhnya menjadi opsi kerjasama berekonomian.
Karena pentingnya, pemerintah pun ikut memfasilitasi
masalah gadai ini, sehingga didirikanlah lembaga Perum
Pegadaian untuk membantu masyarakat yang ingin
meminjam uang dengan cara gadai. Bagamana dengan gadai
dalam pertanian, khususnya gadai sawah yang sering
dilakukan oleh para petani kita?
Islam mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan, pemberi utang dan masyarakat.
Penggadai mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi
kebutuhannya, atau untuk modal usaha. Adapun pihak
pemberi utang akan menjadi tenang serta merasa aman atas
haknya dan dia pun mendapatkan keuntungan. Bila semua
berniat baik dan dilandasi hukum Allah, insyaAllah semua
menjadi amal soleh. Secara makro, ini akan menggerakkan
ekonomi.
Namun, metode gadai tidak selalu berakhir happy. Ketiadaan
ketegasan masa gadai, kadang menyulitkan si pemegang
gadai misalnya untuk melakukan investasi, sebutlah
perbaikan saluran air dan pematang menjadi lebih baik.
Semakin lama sering penggadai (pemilik tanah) semakin sulit
membayar, karena anjloknya pendapatan semenjak lahan
yang merupakan sumber ekonomi keluarga digasikan ke
orang lain. Sering terjadi akhirnya penggadai terpaksa
melepas tanahnya dengan harga murah.
Penggadai sering kali petani berlahan sempit yang butuh
uang tunai mendesak, misalnya untuk biaya pesta kawin,
sakit, atau karena ada anggota keluarga meninggal. Jika
mencari pinjaman sulit, gadai terpaksa dipilih, padahal lahan
tersebut satu-satunya sumber pendapatan.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
110
Unsur gadai (rahn) terdiri atas barang gadi (marhun),
penggadai (rahin), dan pemegang gadaian (murtahin).
Makna Rhan (Gadai)
Gadai (rahn) adalah meminjam uang dalam batas waktu
tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan.
Jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu
menjadi hak yang memberi pinjaman. Benda gadai (marhun)
harus diserahkan kepada kreditor (murtahin), meskipun
pemilikan tidak pindah. Namun pengambil alihan tersebut
tidak sederhana.
Makna “rahn” secara etimologi adalah “tertahan”
sebagaimana dalam ayat: “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk
mempertanggung-jawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya”
(Al-Muddatstsir: 38). Makna lain adalah “diam tidak
bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram
bagai seseorang kencing diair yang rahin, yaitu air yang tidak
bergerak”. Sementara, makna gadai menurut istilah ahli fiqh
adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila
tidak dapat melunasinya”. Menurut istilah agama, “rhan” ialah
memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang
dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala
yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.
Kata “rahinah” yang bermakna “tertahan” pada surat Al-
Muddatstsir ayat 38 bermakna hampir sama dengan yang
pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.
Menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak
atau tidak. Dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama
dengan ungkapan “Menjadikan harta benda sebagai jaminan
utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si
peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
111
Ar-rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan.
Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap
dan langgeng), juga berarti al-habs (penahanan). Secara syar‘i,
ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang
(pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak
yang wajib membayarnya, jika dia gagal menunaikannya.
Inilah beda gadai dengan hutang biasa, karena barang
gadaian bisa diuangkan jika hutang belum terbayarkan saat
jatuh tempo. Diuangkan tentu dengan menjualnya, baik
kepada si pemegang gadai atau ke orang lain.
Gadai dalam arti akad, yaitu menjadikan barang sebagai
jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila
orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya tersebut.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa jika masanya tiba, si
pemberi pinjaman berhak menjual barang tersebut jika yang
punya tanah belum sanggup membayar hutanya.
Gadai diawali urusan hutang piutang biasa. Barang jaminan
tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya penyerahan dhiman
(jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan
perjanjian utang). Nah, ar-rahn (gadaian) semata-mata sebagai
jaminan utang dengan barang yang memungkinkan
pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai
barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasinya. Jadi, barang gadaian yang awalnya sebagai
pengikat untuk menimbulkan kepercayaan berubah menjadi
jaminan apabila uang pinjaman tidak dikembalikan pada
waktu nya.
Rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk
dilakukan, yakni saat dalam perjalanan. Sementara, penulisan
perjanjian utang tidak wajib dilakukan, tentu termasuk pula
penggantinya tersebut yakni ar-rahn. Namun, dalam keadaan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
112
safar alu berhutang dan tidak mendapatkan seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Ini bermakna perintah.
Binatang bisa menjadi barang gadaian. “Binatang tunggangan
boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya)
bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan.
Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan.” (HR Al-Bukhari).
Rukun Menggadai
Rukun menggadai terdiri atasempat, yaitu ar-rahn (barang
yang digadaikan), al-marhun bih (utang), shighah (akad
transaksi), dan pihak yang bertransaksi yaitu rahin (orang
yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang), serta
qadh (serah terima). Para pihak tentu haruslah baligh, berakal,
dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
Berkenaan dengan pemeliharaan barang. Biaya pemeliharaan
pada hakekatnya tanggung jawab rahin (orang yang
menggadaikan). Namun, jika murtahin memberikan
perawatan, Ia berhak atas manfaatnya, tentu secara
proposional. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan
atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin
diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya
sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai
tersebut. Kata kunci yang perlu dicatat adalah “sesuai
bersarnya nafkah yang ia berikan”.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat perjanjian gadai
dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari
pemberi gadai. Syarat benda yang dijadikan jaminan ialah
benda itu tidak rusak. Rasul bersabda: ”Setiap barang yang bisa
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
113
diperjualbelikan boleh dijadikan jaminan gadai”. Artinya, itu
adalah benda ekonomi yang bisa diuangkan. Syarat barang
yang digadaikan adalah dapat diserah terimakan, bermanfaat,
milik dan dikuasai orang yang menggadaikan (rahin), jelas,
tidak bersatu dengan harta lain, harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
Gadai dianggap berakhir ketika barang telah dikembalikan
kepada rahin, rahin telah membayar hutangnya, barang dijual
dengan perintah hakim atas persetujuan rahin, pembebasan
hutang dengan cara apapun.
Dasar Hukum Gadai
Dasar hukum gadai di antaranya surat AI-Baqarah ayat 283,
bahwa: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Lalu juga ada hadits
diriwayatkan dari Aisyah RA: “Rasulullah S.A.W pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan
pembayarannya lalu Baginda menyerahkan baju besi sebagai
gadaiannya”.
Untuk di Indonesia, gadai telah diatur dengan cukup serius.
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No 25/DSNMUI/III/2002
tentang gadai. Salah satu aturannya adalah masa berlaku
gadai yang dibatasi selama 7 tahun, serta berbagai aturan
yang mengikutinya.
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
114
Apakah barang gadai boleh dimanfaatkan?
Mungkin pertanyaan ini terdengar aneh bagi kita. Karena di
Indonesia hampir pasti barang gadaian, utamanya berupa
tanah, diolah dan dimanfaatkan pemilik gadai. Justeru
disitulah motivasinya memberi pinjaman. Pertanyaan boleh
dan tidak boleh memanfaatkan sebenarnya berlaku baik
untuk rahin maupun murtahin.
Unsur gadai terdiri atas barang gadaian, penggadai gadai,
dan pemegang gadai. Barang gadai bisa berbagai bentuk, bisa
berupa barang produktif (misalnya lahan dan hewan ternak)
atau tidak (misal emas). Umumnya untuk pertanian di
Indonesia, lahan yang digadai hampir selalu dimanfaatkan
pemegang gadai. Bahkan, kesempatan untuk mengolahnya
itulah sesungguhnya yang menjadi perhatian penting
murtahin.
Ya, barang gadaian untuk sementara dikuasai murtahin.
“Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah
mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib
menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-
Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan
murtahin. Namun, itu bukan berarti murtahin boleh
memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah
tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadits di atas,
tetap menjadi hak pemiliknya (rahin). Karena itu, ar-râhin
berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga
berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan
rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang
lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak
mengurangi manfaat barang yang diagunkan. Ia juga boleh
menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
115
lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-
murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.
Meskipun sudah digadai, bukan berarti harus diusahakan
pemegang gadai. Mayoritas ulama fikih dari Mazhab
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang
tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai.
Pemanfaatan barang tetap hak penggadai. Dalilnya dari
sabda Rasul: “Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib
baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (HR Ad-
Daruquthni dan al-Hakim)
Jika lahan tetap pada penggadai, maka ada tiga bentuk
pengelolaaannya yakni:
1. Pemegang gadai tetap mengerjakan sendiri sawah gadai
nya. Ini dimungkinkan, karena yang penting adalah saat
jatuh tempo bayar hutang Ia mampu melunasi. Jika tidak
sanggup barulah dibuat perhitungan dengan sawah
gadaian tadi, apakah mau dijual ke pihak yang
membayar gadai atau ke pihak kelitga.
2. Penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya,
kemudian kedua belah pihak membagi hasil sawah sama
seperti “bagi hasil”.
3. Pemegang gadai menyewakan atau bagi hasil sawah
gadai tersebut kepada pihak ketiga.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia
tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu
akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga,
berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk
kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin),
dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat,
yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan
menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
116
(hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan
pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka
dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
Jika terjadi pertumbuhan atau pertambahan nilai barang
gadai, misalnya gadai hewan ternak; ada beberapa pendapat.
Sebagian ulama berpendapat mestinya juga dibagi, namun
ulama lain berpandangan itu sepenuhnya milik yang punya,
dan ada yang berprinsip adalah sesuai yang menafkahinya.
Apakah pihak yang menerima gadaian (murtahin) boleh
memanfaatkan dan mengambil nilai ekonomi dari barang
gadaian?
Satu, Boleh. Yang jelas, barang gadai tersebut berada di
tangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut,
dimana barang tanggungan dipegang oleh yang berpiutang sesuai
surat Al-Baqarah ayat 283. Jika barang tersebut butuh
perawatan, misalnya unta, maka yang memegang wajib
memberinya makan dan minum.
Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg
jika diizinkam oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan
barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta
ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir sama
dengan pendapat Syafi’iyah.
Ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka
berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh
memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya
sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh
rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh
dimanfaatkan tanpa siizin rahin.Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
117
murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya.
Dua, tidak boleh. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan sebab
dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh
memanfaatkannya. Ada yang berpendapat, jika
memanfaatkan lahan tersebut lalu memperoleh manfaat yang
besar, bahkan lebih besar dari utang yang telah diberikan;
bisa bermakna sebagai “peminjaman hutang yang
menghasilkan manfaat”. Ini ibarat bunga pada bank.
Menurut satu sumber bacaan, mayotitas ulama fiqih dari
Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah memandang murtahin
tidak boleh mengambil manfaat barang gadai, kecuali karena
telah mengeluarkan biaya pemeliharaan sebagaimana
dicontohkan hadits dengan hewan ternak yang menghasilkan
susu. Murtahin boleh mengambil susunya karena telah
merawat dan memberi makan setiap hari. Nilai susu yang
diambil sama dengan pengorbanannya menjaga, dan
memberi makan minum si unta.
Intinya, untuk barang gadai: rahin memiliki hak kepemilikan,
sedangkahn murtahin memiliki atasnya sebagai hak jaminan.
Bila barang gadai tersebut di tangannya, lalu tidak dinaiki
dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan
hilang secara sia-sia. Sehingga sesuai tuntutan keadilan,
analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang
barang gadai (murtahin) dari hewan tersebut, murtahin boleh
mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan
menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut).
Jika akad ar-rahn untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu
utang yang janjinya harus dibayar dengan jenis dan sifat yang
sama, bukan nilainya; maka murtahin tidak boleh
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
118
mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu
merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu
termasuk riba dan hukumnya haram. Rasul bersabda: "kullu
qardhin jarra manfa'atan fahuwa majhun min wujûhi ar-ribâ.
(Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu
termasuk salah satu bentuk riba.) (HR al-Baihaqi). Pinjaman
al-qardh misalnya pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah atau
beras 1 ton, maka pengembaliannya persis sama uang Rp 50
juta atau beras 1 ton.
Namun, jika rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn,
yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan
tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar,
properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung
berdasarkan nilainya, maka murtahin boleh memanfaatkan
barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat
barang agunan itu tetap menjadi milik ar-rahin.
Ketentuan di atas berlaku jika pemanfaatan barang agunan
itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai
kompensasi, seperti rahin menyewakan agunan itu kepada
murtahin, maka murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam
akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya
bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi
karena dia menyewanya dari ar-rahin, dengan ketentuan
sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada
murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka
statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai
kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh,
dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn.
Kapan mulai boleh dimanfaatkan? Sebagian ulama menyebut
yakni setelah diserahterimakan. Bahkan murtahin boleh
memaksa menyerahkan barangnya jika akad sudah
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
119
dilakukan. Penyerahan dilakukan dengan sebelumnya
dilakukan pennimbangan dan pengukuran.
Akad gadai dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan
jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan
dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor
(murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang
digadaikan sekalipun diizinkan oleh kreditor (rahin).
Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qiradh
yang menguntungkan dan setiap bentuk qiradh yang
menguntungkan adalah riba. Hal tersebut berlaku apabila
barang bukan berbentuk binatang tunggangan atau binatang
ternak yang bisa diperah susunya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula
murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin.
Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
Sementara, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin
dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak
menyebabkan nilai barang berkurang. Ia tidak perlu meminta
izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan sebagainya.
Tapi jika menyebabkan nilai barang berkurang, seperti sawah,
kebun; rahin harus meminta izin.
Jika Waktu Gadai Berakhir
Maka ada pertanyaan, apakah ada jangka waktunya, jika
tidak bagaimana? Apakah diambil si pemegang gadai? Ada
beberapa pendapat.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa murtahin boleh menjual
barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga
kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan
tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
120
rahin. Jika lebih dikembalikan, jika masih kurang menjadi
kewajiban rahin. Namun, Imam al-Ghazali menegaskan
bahwa hak murtahin untuk menjual tersebut tidak serta-
merta, namun harus dikembalikan kepada hakim atau izin
rahin.
Coba kita lihat regulasi formal. Pasal 1150 Kitab UU Hukum
Perdata menyebutkan: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya
oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya,
dan yang memberiwewenang kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan
mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya
penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu,
yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus
didahulukan”. Jadi, di pasal ini si pemberi hutang boleh agak
memaksa.
Pasal 1155 KUH Perdata menambahkan bahwa jika telat lewat
dan sudah diperingatkan, maka dimungkinkan barang dijual
kepada umum sesuai kebiasaan setempat. Kreditur berhak
menjual objek hak gadai jika sampai debiturnya lalai
memenuhi perjanjian. Namun, kondisi lalai tersebut ada
beberapa persyaratan tertentu. Mengacu pada ketentuan
pasal ini, ada dua cara untuk mengeksekusi objek hak gadai
yakni secara tertutup atau lewat lembaga lelang.
Kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam, apabila yang
menggadaikan barang tidak mampu megembalikan
pinjaman, maka ia tidak berhak lagi atas barangnya dan
barang tersebut menjadi hak pemegang gadai. Islam
kemudian membatalkan dan melarang cara tersebut.
Jika tempo telah jatuh, maka orang yang menggadaikan
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
121
berkewajiban melunasi utangnya, apabila ia tidak mampu
melunasinya dan ia tidak mengizinkan barangnya dijual
untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk
melunasi atau menjual barang yang dijadikan jaminan
tersebut. Apabila hakim telah menjual barang tersebut dan
kemudian ada kelebihan nilai atau harga barang, maka
kelebihan menjadi milik pihak yang menggadaikan. Dan
apabila masih kurang nilai harganya dengan utang, maka
kreditor wajib melunasi sisa utangnya. Saya kira ini lebih adil.
Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far meriwayatkan bahwa
seseorang telah menggadaikan sebuah rumah di Madinah
untuk masa waktu tertentu. Setelah jatuh tempo, pihak
debitor menyatakan rumah tersebut sebagai miliknya.
Rasulullah kemudian bersabda: “Janganlah pemegang harta
gadai menghalangi hak atas barang gadai tersebut dari peminjam
yang menggadaikan. Peminjam berhak memperoleh bagiannya dan
dia berkewajiban membayar dendanya”. (HR. Syafii, Atsram dan
Daruquthni). Hadits ini ada yang bilang sahih ada yang
bilang diragukan.
Artinya: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang
menggadaikannya, keuntungannya untuknya dan kerugiannya
menjadi tanggungannya” (HR. Daruquthni dan Hakam).
Apabila pada akad gadai ada persyaratan bahwa apabila
jatuh tempo maka barang gadai akan dijual, maka syarat
tersebut dibolehkan. Dan merupakan hak debitor untuk
menjual barang jaminan tersebut. Imam Syafii berbeda
pendapat akan hal tersebut dan berpandangan bahwa dengan
syarat tersebut, akad gadai telah batal.
Jadi, barang gadai tidak otomatis berpindah kepemilikannya
kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya,
kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya karena
SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020)
122
tidak mampu melunasi utangnya. Dulu di era jahiliyah, bila
utang telah jatuh tempo, si murtahin boleh langsung
menyitanya.
Islam membatalkan cara zalim ini. Maka, rahin lah yang
berhak memutuskan akan menjualnya atau tidak. Murtahin
tidak boleh memaksa harus menjual ke dirinya. Intinya,
barang gadai sejatinya adalah milik rahin (orang yang
menggadaikan). Adalah hak rahin untuk menjual ke siapa dan
harga berapa.urusan dengan murtahin adalah urusan hutang.
Jika rahin bisa membayar hutangnya, maka urusan selesai.
Persoalan muncul jika sudah jatuh tempo, hutang belum
dibayar, namun rahin tidak mau menjual barang tersebut,
baik ke murtahin ataupun ke orang lain. Ada ulama yang
berpendapat bahwa pemerintah dapat memaksa rahin segera
menjualnya. Bentuk pemaksaan tersebut boleh dengan
memenjarakan rahin, atau pemerintah yang melakukan
penjualannya. Jika pun dijual, maka yang diberikan ke
murtahin hanya sebatas besarnya hutang, bukan seluruh nilai
penjualan tanah tersebut yang bisa saja lebih mahal. Sisanya
harus dikembalikan ke rahin. Jika rahin meninggal dunia atau
pailit maka murtahin lebih berhak atas marhun daripada
semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi
piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama
para kreditur terhadap harta peninggalan rahin.
Bagaimana bila barang rusak atau hilang? Pada asalnya
barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin).
Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian
tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau
hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan
dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new
Drfat 1   15 april 2020 bab 3 new

More Related Content

Similar to Drfat 1 15 april 2020 bab 3 new

Sistem ekonomi islam
Sistem ekonomi islamSistem ekonomi islam
Sistem ekonomi islamsiauwfelix
 
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAMfissilmikaffah1
 
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp021sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02Hamzah Robbani
 
Sistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamSistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamMuhammad Jamhuri
 
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdf
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdfsistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdf
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdfssuser132e7e
 
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 201402 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014Encep Bahauddin
 
Tugas pertanahan resume
Tugas pertanahan resumeTugas pertanahan resume
Tugas pertanahan resumeAdyPrabowo1
 
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptx
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptxkharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptx
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptxnimalfaiz1
 
hukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptxhukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptxParminParmin4
 
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanian
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanianMateriibc10jakarta hukum bisnispertanian
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanianislamicbusinesscoaching
 
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamBab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamwahyudinia112
 
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptx
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptxSEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptx
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptxWARDIMAN5
 
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfBahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfrizkihapiz
 
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)Early Ridho Kismawadi
 

Similar to Drfat 1 15 april 2020 bab 3 new (20)

Sistem ekonomi islam
Sistem ekonomi islamSistem ekonomi islam
Sistem ekonomi islam
 
Kharaj
KharajKharaj
Kharaj
 
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
03 KONSEP HARTA & KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
 
Agama
AgamaAgama
Agama
 
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp021sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
 
Sistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamSistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islam
 
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdf
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdfsistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdf
sistemekonomiislam-101104183222-phpapp01.pdf
 
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 201402 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014
02 konsep harta dan kepemilikan dalam islam 2014
 
Tugas pertanahan resume
Tugas pertanahan resumeTugas pertanahan resume
Tugas pertanahan resume
 
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptx
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptxkharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptx
kharajpptfix-141206095818-conversion-gate02.pptx
 
Hukum tanah asri
Hukum tanah asriHukum tanah asri
Hukum tanah asri
 
hukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptxhukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptx
 
Mudharabah
MudharabahMudharabah
Mudharabah
 
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanian
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanianMateriibc10jakarta hukum bisnispertanian
Materiibc10jakarta hukum bisnispertanian
 
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamBab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
 
Aktualisasi syariah
Aktualisasi syariahAktualisasi syariah
Aktualisasi syariah
 
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptx
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptxSEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptx
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.pptx
 
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfBahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
 
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)
Kepemilikan Umum (Al Milkiyyat Al 'Ammah/ Public Property)
 
Hukum Agraria
Hukum AgrariaHukum Agraria
Hukum Agraria
 

More from Syahyuti Si-Buyuang

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airSyahyuti Si-Buyuang
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfSyahyuti Si-Buyuang
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptSyahyuti Si-Buyuang
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Syahyuti Si-Buyuang
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 

More from Syahyuti Si-Buyuang (20)

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
 

Recently uploaded

Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfssuser4743df
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfkaramitha
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxSDN1Wayhalom
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaAnggrianiTulle
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...laila16682
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumfebrie2
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxresidentcardio13usk
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxSyabilAfandi
 
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxIKLASSENJAYA
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)ratnawijayanti31
 
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptx
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptxFisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptx
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptxPutriAriatna
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxSitiRukmanah5
 

Recently uploaded (12)

Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
 
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
 
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptx
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptxFisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptx
Fisika Dasar Usaha dan Energi Fisika.pptx
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
 

Drfat 1 15 april 2020 bab 3 new

  • 1. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 64 Bab III. MENJALANKAN PERTANIAN: Bertani Yang Islami .3.1. PADA AWALNYA: TANAH DAN AIR Bagian berikut ini berawal dari urusan dengan sumber daya utama pertanian: tanah dan air. Tanah yang menjadi penentu seseorang disebut petani pemilik, petani penyakap, atau buruh tani. Soal tanah dan kondisi air lah yang lalu berkembang menjadi urusan tentang sewa, bagi hasil, jual- beli, dan zakat; membentuk kultur agraria. Karena begitu pentingnya urusan ini, maka Islam pun mengaturnya sedemikian ketat. Jangan main-main dengan tanah. Maju mundur, kaya sengsara, aman atau kacaunya dunia ini sedikit banyak bersumber dari bagaimana politik pertanahan yang kita jalankan. Mari kita cermati, apakah praktek kita saat ini tentang tanah dan air sudah sejalan dengan Islam atau belum? Hukum pertanahan dalam Islam berkaitan dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah. Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Ada yang mengaitkan dengan hukum tata negara menurut Islam. Ya, untuk bisa memahami dinamika agraria pada level mikro perlu memahami politik makronya dulu.
  • 2. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 65 Filosofi Kepemilikan Tanah dan Urgensi penataan Sumber- Sumber Agraria berbasiskan Hukum Allah SWT Dalam pandangan Islam, segala apapun yang ada di langit dan bumi, termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. "Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)" (An-Nuur : 42). "Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al- Hadid: 2). Lalu apa posisi manusia? Allah SWT memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelolanya. Artinya manusia hanya “meminjam”. Maka, kelola lah barang-barang tersebut, termasuk tanah, menurut hukum-hukum pemiliknya yaitu Allah. Salah satu asmaul husna Allah adalah Al Baasith artinya yang maha melapangkan. Betul, hukum-hukum Allah tentang tanah sejatinya demi memberi kelapangan kepada manusia, tidak untuk merepotkan manusia. Firman Allah SWT: "Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" (Al-Hadid : 7). Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Maka, mulai saat ini mari kita terapkan hukum Allah dalam menata tanah. Kita perlu formulasi ulang segala ide dan pemikiran tentang agraria. Soal hukum ini Allah telah gariskan dengan tegas: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum" (Al-Kahfi: 26).
  • 3. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 66 Kepemilikan Tanah dan Implikasinya Kepemilikan (milkiyah) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). Hak kepemilikan pada seseorang ada karena ketentuan hukum Allah pada benda itu. Untuk tanah, ada dua aspek yang perlu dibedakan, yakni kepemilikan zat tanahnya (raqabah al-ardh) dan kepemilikan manfaat tanahnya (manfaah al-ardh). Lalu, dalam Syariah Islam ada dua macam tanah yaitu: (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). Dalam sejarahnya, kita mengenal Tanah Usyriah yakni tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah serta tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang. Maka, tanah usyriah ini milik individu, baik zatnya maupun pemanfaatannya. Si pemilik boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya. Jika berbentuk tanah pertanian, maka atasnya dikenai kewajiban usyr (zakat pertanian) sebesar 10 persen jika berupa tadah hujan, dan 5 persen jika berupa irigasi. "Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (hadits riwayat Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud). Jika tanah ini diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. Jenis kedua adalah Tanah Kharajiyah, yakni tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan, misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian(al-shulhu), misalnya tanah
  • 4. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 67 Bahrain dan Khurasan. Untuk tanah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin. Pengelolaannya negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara, namun pemanfaatannya adalah individu. Tanah ini juga bisa diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan; namun tidak boleh diwakafkan sebab zatnya milik negara. Untuk tanah kharajiyah, jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah), yang diambil negara setahun sekali sesuai kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, pajak tetap harus dibayar. Jika tanah kharajiyah bukan berbentuk tanah pertanian, tidak terkena kewajiban kharaj, juga tidak terkena kewajiban zakat; namun terkena kewajiban zakat perdagangan jika diperjualbelikan. Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah Menurut Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya “As- Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla”, tanah dapat dimiliki dengan enam cara yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). Seseorang yang menghidupkan tanah terlantar, ihya`ul mawat, berhak menguasainya dengan dasar hadits: "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari). Demikian pula dengan tahjir: "Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad). Nah, di masyarakat kita, entah bagaimana awalnya, setiap keluarga yang membuka tanah yang biasanya yang paling awal datang ke suatu wilayah, sangat-sangat ditinggikan kedudukannya dan dihargai sebagai tetua kampung sampai ke keturunannya. Ada
  • 5. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 68 kesejajaran nilai disini, antara local wisdom dengan nilai-nilai Islam. Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Umar bin Khathab berkata: "Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat. Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh). (Sedikit intermezo, di Indonesia pemerintah keder ga bisa mengurusi tanah-tanah terlantar, meskipun sudah Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2010. Padahal tu tanah ga pernah digarap berpuluh tahun, hanya diambil kayunya oleh pemilik HGU, lalu dikangkangin ga jelas. Ga Islami banget ya). Niat regulasi Islami ini adalah pemanfaatan tanah (at-tasharruf fi al-ardh) semaksimalnya, karena sumber daya tanah begitu beharga. Harus produktif. Untuk itu negara dapat
  • 6. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 69 membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti dilakukan di era Khalifah Umar bin Khathab kepada para petani. Namun, jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Selaras dengan ini, maka lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Ini sejalan dengan rumusan kalangan akademis global, bahwa menjadikan tanah sebagai komoditas (komodifikasi) adalah sumber krisis berulang pada ekonomi dunia selama ini. Namun, penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil (muzara'ah) dibolehkan. Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar. Muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Hima (tanah negara) sebagai common land Islam juga mengenal kepemilikan tanah oleh negara (hima), demi kemaslahatan bersama. Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, misalnya area tambang. Tanah yang di dalamnya mengandung bahan tambang (minyak, emas, perak, tembaga, dll), jika hasilnya sedikit tetap menjadi milik pribadi, namun menjadi milik negara (umum) jika hasil tambangnya banyak.
  • 7. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 70 Selain itu, Rasulullah pernah menetapkan hima pada tempat- tempat tertentu misal untuk Naqi` (padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, dan Rabdzah (padang rumput juga khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat). Selain pada daratan, juga ada yang disebut dengan “hariem”, yaitu tempat yang harus dijaga dan dilindungi dalam konteks yang berupa daerah air. Hariem-nya air bisa berupa daerah aliran sungai, danau, rawa-rawa, dan sumur yang digali (mata air). Hadits: “Hariem sebuah sumur adalah sejauh panjang tali timbanya.” Hadits itu mengajarkan kita supaya tidak mencemari air dan juga tidak mendekatkan sumber air dengan sumber-sumber limbah. Wallahu a'lam. Zalim Merampas dan Menggeser Batas Tanah Muslim dilarang merampas tanah dan mengubah tanda batas tanah. Merampas tanah jelas-jelaslah sebuah perbuatan zalim. Tidak beradab, melawan hukum, dan tergolong sebagai dosa besar. Pelakunya diancam di akherat dengan azab yang keras dan pedih. Mengambil tanah orang, meskipun sejengkal adalah dosa. Diriwayatkan dari Aisyah RA dan juga dari Sa’id bin Zaid RA, bahwasanya telah bersabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang berbuat zhalim (dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.” Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dimana sabda Rosululloh:“Barang siapa yang mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar tujuh lapis bumi.”
  • 8. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 71 Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit RA, ia berkata Aku mendengar Rosululloh bersabda: “Barangsiapa yang mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani dengan membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar”. Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah merampas atau mengambil tanah orang lain. Mengerikan ! Rampas merampas ini rupanya terjadi sejak dulu sampai sekarang. Merampas zaman sekarang beda dengan dulu. Sekarang disebut dengan “land grabbing”. Ini menjadi masalah serius di dunia. Perampasan terjadai secara kasar dan halus, dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan kekuatan politik, dari yang kuat kepada yang lemah. Laporan internasional memaparkan perampasan lahan-lahan petani di dunia ketiga oleh pengusaha-pengusaha besar, melalui kerjasama dengan para politikus lokal. Baca misalnya laporan dari www.globalwitness.com berjudul “The Land Grabbing Crisis”. Juga tulisan berjudul “The global land-grab phenomenon” pada situs www.downtoearth-indonesia.org. Perampasan berlangsung melalui korupsi dan penyalahgunaan kekuasaaan, sehingga tanah-tanah masyarakat, yang umumnya belum bersertifikat, diambil alih para pengusaha-pengusaha pertanian internasional. Ini lah yang terjadi juga pada kita. Jutaan lahan hutan menjadi kebun-kebun sawit milik pengusaha asing dengan cara-cara maksa. Maksud dari dikalungi dari tujuh lapis bumi adalah Allah membebaninya dengan apa yang dia ambil (secara zalim) dari tanah tersebut, pada hari kiamat sampai ke padang mahsyar dan menjadikannya sebagaimana membebani di lehernya atau dia disiksa dengan menenggelamkan ke tujuh lapis bumi, dan mengambil seluruh tanah tersebut dan
  • 9. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 72 dikalungkan di lehernya. Ada ulama yang mengatakan dimana lehernya menjadi keras dan panjang kemudian dikalungkan tanah yang dirampasnya sebagai balasan kezalimannya tersebut. Begitu hinanya mereka nanti di hari kiamat. Termasuk dosa besar, kezaliman besar. Maka janganlah meremehkan kezaliman tentang tanah meski sekecil apapun, misalnya dengan menggeser batas tanah sejengkal demi sejengkal, menggeser pematang, mengikis tebing orang, merubah aliran air sehingga menggerus tanah orang lain. Dalil tentang larangan merubah tanda batas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA: ”Rasululloh memberitahukan kepadaku empat kalimat, salah satunya adalah “Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah.” (HR. Imam Muslim). Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (Manarul Ardhi) yaitu tanda atau simbol yang membedakan antara tanah yang menjadi hakmu dan menjadi hak tetanggamu, termasuk merubah dengan memajukan atau memundurkan tanda tersebut. Untuk kezaliman ini, maka wajib mengembalikan tanah yang diambil itu kepada pemiliknya. Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya”. Karena sabda Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.” Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah di atasnya ataupun menanam tanaman di atasnya maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan dan tanaman itu harus
  • 10. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 73 dicabut, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah dan penanaman tanaman tersebut. Atau rumah itu tidak dirobohkan dan tanaman tersebut tidak dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya”. Intinya, sesuai sabda Rosulullah SAW: “Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.” Ketika timbul pertengkaran, dimana salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Maka Rasulullah memutuskan tanah tetap menjadi milik si empunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohon kurmanya dan beliau bersabda:“Akar yang zhalim tidak mempunyai hak. Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil.” (Al-Baqarah: 188). Mengapa hukuman bagi orang yang mengambil tanah orang lain seberat tujuh lapis tanah. Tanah memang unik. Dengan memiliki sepetak lahan, seseorang menguasai ke bawah dan ke atas nya sekaligus. Ke bawah sampai tujuh lapis ke perut bumi, dan ke atas ada ruang udara tak terbatas pula. “Allah yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula.” (Ath Thalaq: 12). Begitu diakuinya sebidang tanah, maka seandainya tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya memanjang ke tanahmu dan ranting-rantingnya menjadi menutupi tanahmu, maka sesungguhnya tetanggamu harus membengkokkan dahan tersebut dari tanahmu. Jika tidak bisa dibengkokkan, maka dahan tersebut harus dipotong. Kecuali kamu mengizinkannya. Berkata Imam Al-Qurthubi, maka “…. merampas tanah termasuk dosa besar.”
  • 11. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 74 Bagi para perampas tanah orang lain maka wajib bagi dia mengembalikan tanah yang dia ambil itu kepada pemiliknya. Syaikh Abdul Azhim Al Badawi menyampaikan bahwa barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya. Dan apabila dia menanam tanamannya dengan biaya tertentu, maka dia mengambil biayanya dan tanaman bagi pemilik tanah. Al hadits:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.” Jika terlanjur menanam, maka harus dicabut. Bahkan jika perampas membangun rumah di atasnya, maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah tadi. Atau, jika tidak dirobohkan dan dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya. Karena Rosulullah bersabda:“Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.” Intinya adalah “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil” (Al-Baqarah: 188). “Penghormatan” pada Air Cukup banyak hadits-hadits tentang air. Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W pernah bersabda: ”Kelebihan air tidak boleh dihalang (ditahan- genangkan) karena ia akan mencegah tumbuhnya rumput ternakan (gulma)”. Lalu hadits yang diriwayatkan Abu Musa RA yang
  • 12. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 75 menyampaikan betapa menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi. Adakalanya tetesan tadi jatuh di tempat gersang, adakalanya di tempat subur. Tempat yang subur perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama Allah dan memanfaatkan seluas-luasnya. Kedudukan dan Pentingnya Air Dalam Kehidupan disampaikan pada banyak ayat dan hadits.“…Dan Kami jadikan dari air itu segala sesuatu yang hidup….” (Al - Anbiya: 30). Sebagai mana tanah, jumlah air di dunia ini tetap, Cuma wujudnya saja yang berbeda. Karena itu, air harus dikelola dengan bijak dan adil. ”Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran dan kami jadikan air itu menetap di bumi” (Al Mu’minuun:18). Penggunaan air yang paling boros dibanding komoditas lain adalah padi di sawah. Maka, untuk menghindari pemborosan, karena boros adalah rekannya setan; para ahli menemukan teknologi pengairan berselang (intermitten irigation), dengan prinsip gunakan air secukupnya. Teknologi ini banyak manfaatnya. Selain menghemat air sehingga area sawah terariri menjadi lebih luas, manfaat lain adalah memberi kesempatan kepada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah keracunan besi, mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar, mengurangi kerebahan tanaman, mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, memudahkan aplikasi pupuk, dan juga memudahkan pengendalian hama keong mas serta menekan penyebaran wereng coklat, penggerek batang, dan tikus.
  • 13. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 76 Karena air, maka tumbuh collective action, kebersamaan. Hadits Ahmad dan Abu Dawud: “Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api”. Sebagaimana tanah, pada air ada kepemilikan sosial juga. Maka, mata air dan sumur wajib dimanfaatkan bagi orang umum. Seseorang yang mempunyai sumber air wajib mengizinkan orang lain mengambil airnya, tidak dibenarkan memonopoli untuk diri dan keluarganya saja. Karena air begitu berharga, air harus sangat dijaga. Islam melarang membuang kotoran di tempat-tempat yang mengakibatkan tercemarnya air sehingga tidak dapat dimanfaatkan kembali. “Sesungguhnya Nabi melarang kencing di air yang tidak mengalir” (HR. Muslim). Air tidak boleh disia- siakan bahkan ketika air melimpah sekalipun. Air merupakan nikmat utama yang diberikan Allah kepada makhluk Nya. Melalui air lah Allah menciptakan, memelihara, menumbuhkan dan mengembangkan seluruh makhluq yang ada di muka bumi ini. “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nur: 45). Penghormatan terhadap air merupakan kultur yang mengakar pula pada berbagai masyarakat kita. Mereka melakukan ritual sebagai simbolnya, misalnya upacara irung- irung, ritual grebeg tirto aji, mapag toya, dan mapag cai. Lalu ada upacara nglampet di mata air Sumber Pakel di Lumajang, dawuhan menjaga air di Karang anyar, dan Hajat Huluwotan memelihara bagian hulu sumber air. Sedekah air
  • 14. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 77 Islam mengajarkan kita untuk mensedekahkan air. Yang paling terkenal adalah kisah “Sumur Raumah”, yakni sumur yang dibeli Usman bin Affan RA milik orang Yahudi di Madinah untuk umat Islam. Pada saat itu di Madinah ada sumur milik seorang Yahudi, namun Yahudi kikir ini menjual airnya kepada umat Islam dengan harga tinggi. Tentu saja umat menjadi resah. Kabar ini akhirnya sampai kepada Rasulullah. Rasulullah lantas menyeru kepada para sahabatnya untuk menyelesaikan persoalan air dan sumur tersebut. Beliau menjanjikan siapapun yang membeli sumur milik Yahudi itu dan mewakafkannya untuk umat Islam, maka kelak ia akan mendapatkan minuman di surga, sebanyak air dalam sumur tersebut. Utsman bin Affan RA langsung mendatangi si Yahudi. Setelah tawar menawar, si pemilik bersedia menjual sumurnya dengan harga 12.000 dirham, namun hanya untuk separuh saja, yakni sehari milik Usman sehingga umat Islam bebas mengambil air pada hari itu, sementara hari berikutnya untuk Yahudi. Pada hari sumur milik Usman, Muslim memanfaatkan semaksimalnya, sehingga besoknya tidak perlu membeli dari Yahudi. Merasa kalah strategi, akhirnya sumur dijual seluruhnya, dan langsung diwakafkan Usman bi Affan RA sehingga umat Islam bebas mengambil air kapan pun mereka butuh. Ini menjadi satu-satunya sumur pada zaman Rasulullah yang masih mengeluarkan air hingga hari ini, selain sumur zamzam tentunya. Berikut kisah sedekah air pada hewan. Suatu ketika seorang laki-laki sedang berjalan dan dia merasa sangat kehausan, lalu ia turun di satu sumur dan minum darinya. Kemudian dia keluar dan ternyata dia mendapati seekor anjing menjulurkan lidahnya (sambil) menjilat pasir karena kehausan. Laki-laki tersebut berkata, “Sungguh anjing ini
  • 15. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 78 sangat kehausan seperti yang aku rasakan.” Kemudian dia turun dan memenuhi kedua sepatunya (dengan air) dan membawa dengan mulutnya seraya naik keatas dan memberi minum anjing itu. Allah bersyukur kepadanya dan memberi ampunan baginya. .3.2. SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN Sepanjang yang bisa Saya baca, ada perbedaan pendapat tentang sewa menyewa ini. Ada yang menyatakan boleh ada yang mengatakan tidak, entah mana yang lebih benar. Namun menurut analisis mendalam Jamaksari (2016), kelompok yang menolak sebenarnya minoritas. Saya tidak berani ambil kesimpulan, karena dibandingkan dengan bagi hasil misalnya, referensi tentang sewa menyewa dalam sejarah masyarakat Islam sepanjang yang bisa Saya temukan masih terbatas. Wallahu a’lam. Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam ekonomi. Atas dasar alasan ini, Islam menolak kepemilikan absolut atas tanah serupa eigendom (hak milik tetap atas tanah). Karena terbatasnya keberadaan lahan ini, maka seseorang yang “menguasai” tanah tidak boleh menelantarkannya tanpa digarap. Jika si pemilik tanah tidak sanggup mengolahnya sendiri karena alasan keahlian atau alasan lainnya, ia harus menyerahkan tanahnya pada orang lain untuk diolah. Bentuk kerjasamanya bisa berupa sewa (ijarah) atau bagi hasil (muzaarah). Untuk sewa menyewa dalam Islam, terdapat dua pendapat berbeda. Menurut Jamaksari (2016), kelompok yang membolehkan penyewaan tanah adalah Imam Asy-Asyafi’I dan jumhur ulama, sedangkan yang melarang sewa adalah
  • 16. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 79 Thawus, Abu bakar bin Abdurrahman ibnu Hazm. Kesimpulannya, ulama yang membolehkan adalah asalkan dilakukan dengan prinsip kemaslahatan dengan menggunakan uang, dinar, dirham atau apapun juga. Sementara yang menolak, Ibnu Hazm, karena kuatir ada satu pihak akan mengalami kerugian. Maka disarankan memilih bentuk bagi hasil, karena akan lebih adil bagi kedua pihak. Disebutkan oleh penulisnya, perbedaan ini karena yang pro menggunakan metode qiyas (analogi), sedangkan yang menolak menggunakan nasikh massukh. Metode qiyas kira-kira maksudnya adalah menyamakan ketentuan hukum antara sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya dengan sesuatu yang lain yang belum diatur hukumnya. Sedangkan nasikh massukh secara bahasa bermakna menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, dan menulis. Kira-kira maksudnya adalah dengan menghilangkan hukum yang ada dengan dalil yang lebih dahulu dengan dalil yang datang setelahnya. Wallahu a’lam. Pendapat yang Melarang Sewa Menyewa Lahan Rasul pernah melarang lahan pertanian disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk tunai. Namun, ini harus difahami secara kritis, dalam kondisi bagaimana dan kapan pelarangan itu disampaikan. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadits sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadits-hadits ini
  • 17. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 80 dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh). Sebagian ulama membolehkan penyakapan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar. Dalil ini kurang kuat untuk mendukung sistem sewa, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. Larangan penyewaan disini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh- boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah ini. Ada yang berpandangan bahwa sewa lahan pertanian dilarang karena menyerupai riba. Mengapa demikian? Karena, penyewa memberikan biaya sewa di depan, sedangkan ia belum tentu mendapatkan hasil. Bagaimana jika panennya gagal, padahal sejak awal sudah bayar sewa? Para alim ulama yang melarang sewa menyewa berpedoman kepada hadits-hadits berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abi
  • 18. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 81 Nu’aim, bahwa Rafi’ bin Khudaij telah bercerita kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah SAW. Rasul bertanya kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa ini tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik lahan memperoleh separoh. Lalu Rasul berkata: kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu” (HR Abu Dawud). Sepintas hadits ini seolah melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya, maka hadits ini justru mempertegas makna hadits sebelumnya. Mungkin yang dimaksud “riba” oleh Rasullullah disini adalah pola jahiliah yang telah dipraktekkan lama. Menghadapi perbedaan ini, antara boleh dan tidak boleh, ada yang memiliki sikap wara’, yaitu memilih sesuatu yang terbaik dari dua hal yang sama-sama diperbolehkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan Salim bin Abdullah bin Umar(HR Abu Dawud), yang menceritakan dimana Abdullah bin Umar akhirnya memilih untuk tidak menyewakan tanah, karena khawatir Rasulullah telah membuat suatu keputusan baru. Ada yang berpendapat, menyewa tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah boleh, sementara menyewa tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram). Dan ada yang yakni sewa menyewa bukanlah sesuatu yang dapat disamakan dengan riba. Salah seorang ulama` modern yang terkemuka, Yusuf al- Qardawi berpendapat bahwa ia melarang sewa tanah dengan uang atau dengan sewa tetap. Pendapat Yusuf al-Qardawi layak dikaji karena berani melarang sewa tanah dengan sewa
  • 19. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 82 tetap, sedang ulama lainnya banyak yang membolehkan misalnya Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagainya. Menurut para ahli yang menganalisis dengan dalam, pendapat Yusuf Al-Qardawi tersebut dilontarkan saat dikomprasikan dengan bagi hasil. Pelarangan ini didasarkan atas berbagai alasan, yaitu antara lain adanya ketikadilan dalam sistem sewa tanah dengan uang. Keadilan adalah asas dalam Islam, sehingga jika asas ini tidak ada maka hukum sesuatu itu menjadi haram karena tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam. Hal menonjol yang menyebabkan ketidakadilan dalam sewa tanah dengan uang adalah manfaat tanah yang tidak pasti. Wallahu alam bissawab. Ini sungguh masalah yang sensitif. Jujur Saya ga yakin dengan ini mana yang benar. Maka, mohon pembaca menyikapinya dengan bijak. Bertanyalah kepada para ulama dan guru-guru agama yang bisa menjelaskan ini secara lebih tepat. Jika disimpulkan, menurut Saya, pelarangan sewa disebabkan oleh hal-hal berikut: 1. Kurang adil. Ada potensi akan merugikan si penyewa, jika panen gagal atau setengah gagal. Sebaliknya, pemilik tanah sudah pasti untung, karena ia sudah terima sewa di awal musim secara tunai. Maka, opsi yang disarankan adalah bagi hasil. 2. Sumber daya tanah sungguh unik, tidak ada duanya di dunia, maka perlu hukum khusus. Seorang penyewa belum dapat apa-apa jika tidak menggarapnya, menanami, memelihara, sampai memanen. Ia juga perlu biaya untuk beli benih dan pupuk, uang untuk buruh, dan curahan keringat sendiri; baru ada hasilnya. Kalau
  • 20. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 83 menyewa kost-kostan jelas bisa ditiduri. Karena alasan ini lah, sikap qias yakni menganalogkan atau menyamakan persewaan tanah dengan persewaan barang lain adalah keliru. 3. Tanah milik Allah SWT, bukan milik si Tuan Tanah. Jika pun seseorang disebut “memiliki” tanah, hanya sebatas pemanfaatannya. Zat nya tetap milik Allah. Maka, sesuai hadits, jika memang tidak ada tenaga dan waktu untuk menggarapnya, ya serahkan lah ke orang lain. Tidak ada haknya menyewakan ke orang lain. Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki orang seorang. Jika otoritas pemerintah, dengan bekal selembar sertifikat, telah membuat ia berfikir ia pemilik mutlak tanah tersebut, mau ditelantarkan terserah dia; mungkin ini yang perlu kita fikirkan ulang. 4. Mengksploitasi kemiskinan. Pemilik selalu enak, yang tidak punya tanah menyewa karena terpaksa dan sering menderita. Dalam perjalanan Saya sebagai peneliti Sosiologi Pertanian khususnya agraria, umumnya pemilik memang enak. Bagiannya selalu lebih besar dibandingkan si penyewa. Semakin kecil rasio lahan per petani di swatu wilayah, semakin ongkang-ongkang kaki lah pemilik. Tanpa resiko, duit lancar mengalir ke kantong tiap musim. Tercapainya kesepakatan sewa menyewa berlangsung dalam suasana yang tidak seimbang tersebut. Para penyewa terpaksa menyewa, dan terpaksa membayar sewa tinggi, karena tidak punya pilihan lain. Pendapat yang Membolehkan Sewa Menyewa Lahan Di sisi lain, bagi yang pro penyewaan, berargumen bahwa penyewaan lahan dengan perjanjian untuk jangka waktu
  • 21. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 84 tertentu memiliki kebaikan, masih bisa menguntungkan kedua belah pihak. Si pengusaha yang ahli sejak awal bisa memperhitungkan keuntungan dan memudahkan penghitungan, misalnya untuk tanaman tahunan yang butuh waktu lama baru menghasilkan. Dalam UU No 21 tahun 2008 tenang Perbankan Syariah, ada peluang penyewaan untuk barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah. Yakni ijarah untuk sewa, dan ijarah muntahiya bittamlik untuk sewa beli. Akad ijarah merupakan penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Beda dengan ijarah muntahiya bittamlik, terjadi pemindahan kepemilikan barang kepada penyewa. Menyewa dengan nilai yang jelas juga didukung riwayat lain. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Handolah bin Qois Al Anshori: “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian ternetu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. Adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa” (HR Muslim). Disebutkan pula bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata:
  • 22. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 85 "Muzara'ah lebih halal daripada kira'. Pada kira’, yang satu (pemilik) pasti dapat, yang kedua (penyewa) belum tentu”. Jadi Mas dan Mba, tampaknya dalil yang mendukung penyewaan lahan kurang kuat ya, dan yang mendukung juga tidak banyak. Wallahu a’lam. Analisis Boleh Tak Boleh Jika coba dicermati dengan lebih dalam, mungkin situasinya begini. Boleh dan tidak bolehnya penyewaan lahan (dengan nilai tetap) pada hakekatnya adalah karena kondisi keagrariaan utamanya rasio lahan terhadap petani di satu wilayah. Penyewaan yang dilarang di zaman Nabi, karena saat itu terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada konflik. Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya sehingga menjadi tidka adil. Yakni dibedakan antara petak tanah yang mana dan besar sewanya berapa. Sebagian ditetapkan nilainya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan, sedang petak lainnya dengan pola dibagi dua. Ini tidak adil, karena kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan sesuai yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar, atau malh tidak dapat sama sekali. Atau sebaliknya, kadang-kadang suatu petak tanah tidak menghasilkan apa-apa, sehingga si pemilik tidak mendapat apa-apa, namun penyewa dapat semua. Maka itulah, biar adil disarankan pola bagi hasil. Jika hasilnya banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat
  • 23. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 86 sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa- apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Alasan lain kenapa penyewaan dilarang, mungkin karena soal pertengkaran yang ditimbulkannya. Untuk menghindari ini, Rasul menggariskan bahwa masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi, sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah."Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut." (HR Tarmizi). Lihat, dalam hadits ini disebut muzara’ah yang makna “bagi hasil”. Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau perak (uang), tetapi dengan sepertiga atau seperempat. Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus menganggap bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak), adapun muzara'ah tidak apa-apa. Bagaimana menghitung nilai sewa? Jika kita setuju dengan persewaan, lalu bagaimana menentukan nilai sewa? Dalam satu riwayat, nilai sewa berdasarkan kesuburannya, atau potensi produksinya. Dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebut berdasarkan atas “tanaman yang keluar darinya” dan “bagian yang dialiri air”. Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Aa’ad bin Abi Waqqash bahwa: “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar
  • 24. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 87 darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan hal itu danbeliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakananya dengan emas atau perak” (HR Abu Dawud). Pada masa jahiliyah, jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan menyewa. Penyewa hanya perlu menyerahkan hasil panen dari sebagian areal lahan tertentu. Misalnya tanah bagian sebelah utara atau selatan, bisa pula bagian tanah yang di atas atau di bawah, dan lain-lain. Saat panen, maka hasil dari bagian tanah tadi diberikan ke si pemilik. Sewanya dibayar belakangan namun besarnya sudah ditetapkan di awal. Wallahu a’lam. Namun, di era Rasulullah, pola ini dilarang; diganti dengan nilai yang jelas pada waktu akad, dan dibayar langsung dengan emas atau perak. Cara ini diyaikini lebih jelas dan tidak akan saling mendzalimi. Cara jahiliah kemungkinan menimbulkan gharar (tipuan atau ketidak jelasan). Cara sewa bayar di depan ini bisa saja terkesan tidak adil, misalnya jika panen gagal. Namun, kuncinya di sini adalah pada kesempurnaan akad. Tentu saja, seseorang yang berani menyewa tanah tersebut sudah memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang keberhasilan usahanya nanti. Pertimbangannya tentu dengan melihat tingkat keberhasilan produksi tanah tersebut tahun-tahun sebelumnya. Pembeda model Islam dengan model jahiliyah adalah akadnya lebih jelas saat awal akad termasuk nominalnya. Untuk menentukan berapa nilai sewa mungkin bisa menggunakan prinsip batasan mengambil keuntungan pada berdagang. Dari beberapa fatwa, pointnya adalah tidak elok
  • 25. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 88 mematok harga sewa setinggi-tingginya, meskipun karena terpaksa tetap ada orang yang mau menyewa. Perilaku “tuan tanah kerjam” seperti ini bisa tergolong penipuan. Mohon diingat bahwa pada tanah selalu melekat kewajiban sosial, karena keberadaannya yang tetap dan terbatas. Yang paling indah tentunya adalah masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi yang tinggi. Si pemilik tanah tidak minta terlalu tinggi, sedangkan dari si penyewa juga jangan merugikan si pemilik. Kondisi yang Melahirkan Sewa Menyewa Lahan di Indonesia Coba kita fahami kenapa kultur sewa menyewa lahan begitu marak di Indonesia? Bukan untuk mendukung pro atau kontra ya. Dari berbagai hasil riset, pada wilayah yang terbuka dimana kompetisi untuk memperoleh tanah garapan tinggi, maka sewa lahan banyak berkembang. Ada kecenderungan, bagi hasil mengindikasikan pertanian tradisional, sedangkan sewa merupakan ciri pertanian modern. Penerapan bagi hasil lebih adil, karena penyakap pastilah berasal dari kelas yang lebih rendah. Sedangkan petani yang berani memilih sewa umumnya dari kelas ekonomi yang lebih tinggi. Jadi, bagi hasil merupakan mekanisme untuk mewujudkan nilai sosial dari tanah, beda dengan sistem sewa. Dari penelusuran Saya sebagai peneliti, relasi pemilik tanah dengan penyewa lebih impersonalistik, tidak akrab dan lebih kalkulatif. Jasa (uang sewa) dibayarkan di depan, sering untuk beberapa musim atau tahun sekaligus. Si pemilik ga akan rugi.
  • 26. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 89 Pada bagi hasil, penyakap bisanya dari strata ekonomi lebih rendah. Namun pada persewaan, penggarap atau penyewa bisa dari kelas ekonomi lebih tinggi. Ia sering memiliki modal yang lebih kuat dibanding si pemilik tanah. Beda dengan pada bagi hasil, di persewaan ini otoritas lebih besar ada pada si penyewa. Dapat dikatakan, si penyewa lebih berkuasa. Pemilik tanah kadang-kadang merasa telah beruntung karena ada orang yang mau menyewa lahannya dengan nilai besar. Gampangnya Saya katakan: pada relasi sewa menyewa ini, aroma kapitalistik individualistis nya lebih terasa. Pertanyaan nya adalah: apakah ini relasi muamalah bertani yang dibayangkan Islam? Jadi, setelah membaca dan mencermati berbagai ayat dan hadits di atas, lalu dikomparasikan dengan praktek sewa menyewa lahan selama ini yang cenderung eksploitatif; Saya merasa kita perlu berhati-hati menerapkan ini. Saya rasanya belum pernah ketemu petani penyewa yang happy dengan kondisinya. Namun mereka adalah kaum voiceless, yang selain tidak tahu mau mengadu kemana, juga mungkin belum pernah dapat tausiyah dari Ustadz bahwa Rasul sesungguhnya begitu peduli kepada nasib penyewa-penyewa seperti mereka. .3.3. BAGI HASIL PERTANIAN Dibandingkan dengan penyewaan lahan, Saya kira kerjasama usaha pertanian dengan bagi hasil ini (muzara’ah) lebih baik dan lebih disarankan. Banyak hadits yang menguatkannya. Lagi pula, dalam Ekonomi Islam ”bagi hasil” merupakan salah satu produk yang sangat umum dalam pembiayaan. Bahkan kalangan awam menyebut bahwa Ekonomi Islam adalah ”Ekonomi Bagi Hasil”.
  • 27. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 90 Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas saat ini. Pola ini insyaAllah bermanfaat yang bagi kedua pihak, sama-sama untung. Dalam dunia sosial ekonomi pertanian dikenal “hubungan penyakapan” (tenancy relation) yang memiliki pengertian yang luas, mencakup berbagai bentuk hubungan sementara yang terjadi akibat penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik. Hubungan penyakapan diagi dua yakni sewa dan bagi hasil. Ya, makna ”tenancy relation” tampaknya berimpit persis dengan makna ”muzara’ah” yakni segala bentuk kerjasama penggarapan tanah orang lain; mencakup sewa dan bagi hasil. Sebagai tambahan, menggadai lahan sebenarnya tidak masuk ke dalam konsep muzara’ah, karena dalam menggadai lahan hanya jaminan. Namun, Bapa Ibu sekalian, praktek di masyarakat kita saat ini, sebagaimana Saya amati sebagai peneliti; menggadai lahan akhirnya menjadi cara untuk mendapatkan lahan juga. Ini menjadi tenancy relation padahal sebenarnya tidak masuk dalam makna ”muzara’ah”. Pengertian dan ragam muzara’ah (bagi hasil) Walaupun muzara’ah semestinya mencakup sewa dan bagi hasil, namun banyak hadits, entah mungkin karena penerjemahannya; semakin mengerucut bahwa muzara’ah untuk “bagi hasil”, sedangkan penyewaan tanah memakai istilah ijarah atau kira’. Maka, “muzara’ah” di sini dibatasi sebagai kerjasama penggarapan lahan dimana seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami, yang hasilnya nanti dibagi. Secara bahasa, “muzara’ah” berarti muamalah atas tanah dengan pembagian yang dihasilkannya.
  • 28. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 91 Hasil penelusuran dari berbagai bacaan, Saya temukan beberapa varian pola bagi hasil sebagai berikut: Satu, pola musaqat. Dalam pola ini buruh diserahkan memelihara sebidang lahan yang sudah ada tanamannya misalnya kurma, lalu nanti memperoleh upah dari bagian hasilnya. Artinya, saat buruh itu datang tanamannya sudah besar, mungkin sudah berbuah atau belum. Ini banyak berlaku untuk tanaman perkebunan. Tampaknya ini yang diterapkan Rasul kepada petani penduduk Khaibar. Pengertian musaqat sendiri adalah seseorang memberikan pohon kepada orang yang akan mengairi dan memelihara dengan upah tertentu dari buahnya. Ini berbeda karena dibayar harian. Lebih kurang, varian yang kita temukan di Indonesia seperti “bawon” pada padi, yang punya kewajiban menanam dan memanen, namun yang memelihara (mengairi, menyemprot) adalah si pemilik. Petani bawon nanti memperoleh gaji saat panen, bisanya 1/6 atau 1/7 bagian dari panen kotor. Musaqat diperbolehkan dengan dalil kerjasama Rasul dan para khulafaur rasyidin sepeninggal beliau. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rosululloh SAW menyuruh penduduk Khaibar menggarap tanah Khaibar dengan bagian setengah dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Akad yang sama juga dilakukan oleh Abu Bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abu Thalib RA. Dua, Benih dari pemilik. Beberapa hadits menyebutkan bahwa pemilik harus menyediakan benih. Makna dari kewajiban ini bisa dikembalikan kepada konsep dasar “pemilikan” tanah, bahwa sesungguhnya seseorang petani tidak benar-benar memiliki secara mutlak tanah apapun, dia
  • 29. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 92 hanya berhak pada pemanfaatannya. Dengan masih memberikan benih, maka setidaknya masah ada “ikatan” nya pada kewajiban pemanfaatan tersebut. Jika pemilik sudah tidak memberikan apa-apa, kesannya bahwa tanah dimilki secara penuh. Imam Bukhari menceritakan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar bin Khattab RA mempraktekkan ini, dimana bibit disediakan Umar sebagai pemiliki dan dia mendapat lebih dari separuh hasil. Namun, jika bibit dari petani, maka mereka dapat lebih dari separuh juga. Bagaimana pola bagi hasil yang benar? Saya belum dapat referensi yang bagus tentang ini. Namun, praktek bagi hasil oleh Rasulullah dan Khalifah bagian petani penyakap tidak kurang dari separuh, sebagaimana dilakukan kepada petani Yahudi Khaibar. Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyakap. Tiga,Benih dari petani penyakap. Berkenaan dengan cerita pada petani Khaibar yang berlangsung sampai Rasul meninggal dunia, salah satu hadits menyebutkan petani yang menangung biaya dan bibit, bukan dari Nabi. Artinya, bibit boleh dari pihak petani atau pemilik, atau boleh juga dari kedua belah pihak. Ini yang banyak dipraktekkan di Indonesia, biasanya pemilik dapat 1/3 dari hasil kotor. Penggarap yang telah mengeluarkan benih, pupuk, dan biaya olah tanah; mendapat 2/3. , Tampaknya ini tidak ada di era Rasul. Nah, satu yang menarik, setelah Saya coba uji, rupanya bagian pemilik lebih kurang sama walau ia mengeluarkan benih dan pupuk dengan pola “bagi dua”. Rupanya masyarakat petani tersebut telah berhitung dengan sangat baik, sehingga walau berbeda cara, bagian kewajiban dan haknya menjadi mirip. Perbedaan
  • 30. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 93 pola bagi dimungkinkan berbeda karena kesuburan lahannya, dan utamanya adalah rasio lahan terhadap petani. Semakin banyak petani tak berlahan, bagian petani penyakap ditekan sampai sekecil-kecilnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dari pada tidak punya garapan; penyakap tetap menerimanya. Meskipun kita sudah punya Undang-Undang No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Prioritas Kerjasama Penyakapan Lahan Dalam hal relasi keagrariaan ini, dimana banyak pola yang mungkin, jika kita sederhanakan maka logical frame nya lebih kurang sebagai berikut: Pilihan pertama, Garaplah sendiri. Pilihan yang utama adalah lahan diolah sendiri oleh pemiliknya. Jika tidak sanggup, maka lahan tidak boleh dianggurkan atau diberakan belaka. Maka, jika pemilik tidak sanggup, entah karena tidak ada waktu (punya profesi lain) atau ketiadaan biaya, lahan boleh dikerjasamakan dengan petani lain. Hadits Rasulullah bahwa memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu. Pilihan kedua: Lahan “dipinjamkan” ke orang lain, tanpa memungut apapun. Ini banyak haditsnya. Jika pun pemilik membantu dengan alat, bibit, atau meminjamkan hewan untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya kecuali berharap pahala dari Allah SWT; merupakan shadaqah jariah yang sangat baik. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya”. Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan: “Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah
  • 31. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 94 sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah”. Jadi, meminjamkan lahan begitu saja tanpa meminta imbalan jauh lebih dianjurkan. Pilihan ketiga: Muzara’ah (bagi hasil), atau sering disebut juga musaqat atau mukhabarah. Si pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya ½ atau 1/3 atau dengan pola yang lain asalkan sepakat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah diterangkan, bahwa Rasulullah SAW menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah. Pola muzara’ah dipraktekkan Rasul, para Kahlifah sesudahnya, dan bahkan dilanjutkan pula oleh isteri- isteri Nabi sepeninggal beliau. Sebenarnya ada pilihan keempat, yakni muzaarah namun petani “lepas tangan”. Sepanjang bacaan yang saya temukan, pola ini tidak ada dalilnya. Padahal pola ini sangat banyak diterapkan di Indonesia, biasanya pemilik mendapat 1/3 dari hasil panen kotor. Dasar hukum muzara’ah sangat kuat, karena selain secara logika keislaman sangat sesuai, juga sudah biasa dipraktekkan di zaman Rasul. Tidak sebagaimana penyewaan lahan yang dalam kondisi tertentu dilarang, pada muzara’ah ini Rasul membolehkan. Pada dasarnya, muzara’ah ini merupakan kerjasama yang saling menguntungkan, dalam kondisi banyak petani yang ahli dan butuh lahan, sementara banyak juga pemilik yang kebetulan tidak mampu menanaminya. Muzara’ah menjadi
  • 32. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 95 solusi jalan tengah bagi keduanya. Ini dipraktekkan di era Rasul di Madinah dan banyak kaum muhajirin, dilanjutkan khulafaur rasyidin dan sampai ke Umar bin Abdul Aziz yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil. Bentuk Muzara’ah yang Terlarang Hadits yang melarang muzaarah agak jarang dan konon katanya lemah. Dan kalau dicermati, pelarangan tersebut lebih kepada karena adanya bagian yang tidak diketahui atau tidak jelas dalam perjanjian yang dibuat antar kedua pihak. Jadi, muzaarah dilarang jika ada unsur gharar. Apakah gharar? Gharar atau taghrir adalah istilah hukum yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Garar terjadi bisa karena akad yang mengandung unsur penipuan karena dibuat longgar atau mengambang, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Maka, gharar merupakan akad yang dilarang dalam Islam. Gharar juga bisa terjadi dengan mengubah sesuatu yangbersifat certain menjadi uncertain. Gharar juga bermakna pertaruhan. Al-harar adalah al- mukhatarah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasasan) sehingga termasuk ke dalam perjudian. Maka, dalam jual beli bisa terdapat gharar. Yakni ketika transaksinya mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian; misalnya karena menjual buah yang masih di pohon, atau ikan yang masih di dalam air.
  • 33. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 96 Ada berbagai alasan mengapa muzaara’ah dilarang. Rasul pernah melarang muzara’ah setelah sebelumnya diperbolehkan. Dalilnya berasal hadits yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara’ah, sehingga bahkan sudah sampai pada sikap untuk saling membunuh. Menghadapi konflik ini, Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukan muzara’ah. Ceritanya bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi: “Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah”. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum muzara’ah ini termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan mengatakan bahwa ia lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’ bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan muzara’ah. Dengan adanya bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah. Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat. Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 100 are yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 40 are tertentu (mungkin
  • 34. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 97 karena lebih subur), sedangkan penggarap berhak atas area 60 are yang lain yang kurang subur. Cara membagi yang benar adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 40 are dan 60 are; si buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 60 are itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi (yang 40 are) menjadi hak pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 40 are itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 60 are yang gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase. Jangan sampai pas panen, hanya pemilik yang dapat, atau hanya penyakap yang dapat hasil. Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua- duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Di zaman sebelum Rasul, pemilik biasa menyewakan tanah yang dekat sumber air dan yang dekat dengan parit-parit dibedakan dengan yang jauh dair air. Ini yang dilarang.
  • 35. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 98 Penyakapan harus dilakukan untuk seluruh lahan. Tidak bisa dibeda-bedakan. Rasul melarang membeda-bedakan muzara’ah pada petak lahan berbeda dalam satu lahan. “ …. kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang” (HR Bukhari). Intinya, Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang menyebabkan sumber konflik di kalangan masyarakat Islam. Praktek bagi hasil di masyarakat kita: ceblokan vs Bagi Hasil Pada pertanian sawah di Jawa dikenal “ceblokan”, yang merupakan bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan buruh tak bertanah. Ini tergolong sebagai ”bagi usaha”. Sistem ”ceblokan” atau “kedokan” sesungguhnya adalah upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Hanya ditemukan pada usaha padi sawah. Satu ha di sawah kadang dibagi untuk 3 sampai 10 penceblok. Biasanya penceblok terdiri dari keluarga (suami isteri) Namun, saking terbatasnya lahan, kadang berlangsung penyakapan berganda. Si penyakap (penceblok) kadang- kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada orang lain. Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala involusi pertanian dahulu, atau bisa juga sebagai bentuk baru involusi pertanian yang rupanya belum berakhir juga di Indonesia. Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah
  • 36. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 99 terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha yang melibatkan empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap, petani yang melakukan kedokan, dan penderep. Tampak bahwa konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin belum terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama di Jawa, telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif. Pertanyaanya, apakah pola ini boleh? Disini sesungguhnya berlangsung dua pola yaitu pengupahan (yang pembayarannya ditunda), dan bagi hasil (yang nilainya bergantung hasil panen nanti). Jika digolongkan sebagai upah kerja, kita tahu ada hadits yang harus segera membayar sebelum “keringatnya kering”. Jadi, sebenarnya ini lebih tepat disebut apa? Tampaknya para ahli agama perlu mendudukkannya, sehingga tidak menjadi mudhorat bagi umat. Tidak sebagaimana basi hasil, disini petani penceblok hanya menyediakan tenaga kerja. Upahnya adalah berupa natura dari panen, disebut bawon. Biasanya sepertujuh bagian dari panen, atau seperenam bagian, tergantung wilayah. Untuk aktivitas panen dibedakan antara “sistem ceblokan” dengan “sistem keroyokan”. Pemanenan dengan sistem ceblokan adalah pemanenan padi yang dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang sebelumnya mereka ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau
  • 37. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 100 ikut menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara teknis, panen dengan ceblokan lebih baik, karena tidak berebutan dan buru-buru dalam pekerjaannya. Disinilah uniknya Indonesia, Saya sebut dengan fenomena “kegembiraan panen”. Sudah menjadi tradisi di kita “merayakan” saat panen dengan banyak berbagi. Sudah menjadi kebiasaan, upah buruh panen seringkali lebih besar dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain untuk jam kerja yang sama, dan suguhan nya pun beda. Makan dan snack nya lebih “mewah”. Bentuk kegembiraan yang lain adalah membagi hasil panen kepada banyak orang, termasuk “membayar” penceblok saat panen. Panen secara sengaja tidka sengaja bahkan dibagi pada orang yang tidak terlibat pada proses produksi, yakni untuk para “pengasak”. “Pengasak” adalah orang-orang, biasanya ibu-ibu berumur, yang mengumpulkan butiran-butiran gabah dari tumpukan jerami sisa penggilingan batang padi. Sering tukang arit “menyisakan” agak banyak butir-butir gabah di sawah biar dipungut mereka. Dan itu dianggap lumrah. Membagikan kegembiraan seperti ini jelas sangat dianjurkan Islam. Sahabat Urwah bin Zubair adalah seorang yang dermawan. Beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau memasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakan, namun tatkala buahnya telah masak dan siap panen dibukalah pintu- pintu sebagai jalan masuk bagi siapa pun yang menghendakinya.
  • 38. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 101 “Mengislamkan” Bagi Hasil Pertanian Tradisional Bagi hasil merupakan jantung perekonomian Islam. Bagi hasil juga merupakan produk unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil akan lebih menjamin keadilan antar pelakunya, dan keadilan merupakan hakekat perekonomian Islam. Namun, sebelum bank Islam ramai di Indonesi sekitar tahun 1990-an, praktek bagi hasil sudah sangat biasa di pertanian kita, namun tampaknya tidak berbasiskan ajaran Islam. Secara umum, bagi hasil yang berlaku adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia (Scheltema, 1985). Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi (modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi besar, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya. Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah, umumnya pembagian dilakukan terhadap hasil kotor,
  • 39. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 102 meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih yang lebih adil. Untuk perhitungan dari hasil bersih yakni setelah biaya-biaya dikeluarkan sesuai dengan sumbangannya, jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian meskipun kecil. Namun jika pembagian dari hasil kotor, penyakap bisa memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh apapun, bahkan bisa minus. Bagi hasil kotor akan menzalimi penggarap ketika hasil panen anjlok, karena ia sudah mengeluarkan biaya untuk beli benih, pupuk, dan biaya olah tanah; namun hasilnya masih berbagi dengan pemilik yang lebih parahnya jika tidak mengeluarkan biaya apapun. Praktek di Indonesia, pada usahatani padi misalnya, adakalanya input produksi ditanggung sendiri oleh pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap. Demikian pula dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat atau tidak sama sekali. Penerapan bagi hasil pertanian lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu mulai dari Aceh, Bali, sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo. Meskipun demikian, bagi hasil yang berjalan pada masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu dicermati, kuatir tidak sejalan dengan Islam. Sebaliknya, penerapan bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah mengakar di
  • 40. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 103 tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini. Penerapan bagi hasil di masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi. Satu ciri yang khas, sistem ini mentolerir ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan berlangsung melalui relasi sosial yang bersifat intim. Di perbankan syariah sangat beda. Bagi hasil utamanya pada padi sawah dan pemeliharaan ternak, merupakan hal yang sudah mentradisi dan dikonstruk secara alamiah. Ini berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh pemilik lahan, buruh tani, buruh ceblokan, tukang arit, buruh pacul, dan mbok-mbok buruh tandur. Ciri lain adalah tidak formal dan tidak tercatat. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam batas-batas tertentu. Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Prinsipnya memang untuk ”saling menghidupi”. Kadar kerjasama mungkin lebih kental motivasi sosialnya dibanding ekonomi. Sering ditemukan seseorang memberikan sawahnya untuk digarap orang lain lebih karena merasa ”kasihan”. Motivasinya untuk berbagi, saling menghidupkan, saling tolong. Pengawasan dilakukan secara halus dan tersembunyi. Pemilik lahan mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien. Kepercayaan (trust) merupakan modal unik yang dibangun melalui hubungan yang cukup
  • 41. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 104 lama. Biasanya tidak ada surat perjanjian, dan sangat personal. Jika dikembalikan kepada tuntunan bagi hasil dalam Islam, kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah. Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha. Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan. Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola (mudharib). Mudharabah juga dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung berposisi sebagai pemilik modal dan bank sebagai pengelolanya. Bagi hasil juga ditemukan pada usaha peternakan dan perikanan tangkap laut. Bagi hasil umumnya lahir pada usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini. Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya “dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai imbalan dalam pemeliharaannya, maka
  • 42. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 105 induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah. Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang membedakannya dengan ideologi ekonomi lain. Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”, memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar dengan tidak menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan bahan bakar yang menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan. Bapak Ibu, ada banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil ke depan. Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang fitrah alamiah yang akan selalu eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan manusia yang hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bagi perbankan syariah, ada kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada masyarakat kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas tradisional dan terkesan fleksibel. UU No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian relatif pendek, hanya terdiri atas 17 Pasal dengan tujuan agar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan
  • 43. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 106 hukum yanglayak bagi para penggarap. Dalam UU ini, dinyatakan “Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang- undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.” Beberapa persyaratan yang penting, misalnya semua perjanjian bagi- hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan Kepala Desa perlu pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama perjanjian untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya lima tahun. Ini untuk memberi kepastian usaha kepada penggarap. Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 menyatakan bahwa ini ditetapkan di tiap kabupaten/kota oleh kepala daerah dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor- faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi uang atau benda apapun kepada pemilik sebagai sogokan, memberi ke penggarap dengan niat ijon. Pedoman pembagian yang berlaku untuk padi di sawah dengan perbandingan 1:1 (satu banding satu). Sedangkan untuk tanaman palawija di sawah serta tanaman di tanah kering, penggarap mendapatkan 2/3 bagian sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Lalu, jika terjadi gagal panen, maka resiko ditanggung bersama. Artinya, pembagian hasil atau kerugiannya juga ditanggung bersama. Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada pasangannya di perikanan yakni UU Pokok Bagi Hasil
  • 44. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 107 Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun 1964. UU ini sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon sering diperas juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga uang, sama-sama tidak diterapkan. Terlepas dari ini semua, di luar soal besaran bagian, mereka yang sungguh-sungguh bekerja, yakni petani penyakap atau penggarap, tetap lah lebih utama. Ia lah yang bekerja sesungguhnya yang menggarap lahan dari Allah. Sedikt atau banyaknya hasil, atau berapa besar keberkahan dari Allah untuk kebunnya tersebut, bergantung pada kesolehannya. Maaf, bukan dari kesolehan si pemilik. Kira-kira begitu. Ini ada kisah yang mendukungnya. Diceritakan ada seorang sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair dan sunyi, tiba-tiba dia mendengar suara dari awan:“Siramilah kebun si fulan!”. Maka awan itu menepi (menjauh) lalu menumpahkankan airnya di tanah dengan bebatuan hitam. Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi dengan air di situ, dan lalu ia menelusuri (mengikuti) jalannya air tersebut. Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berada di kebunnya yang sedang mengalirkan air dengan cangkulnya. Kemudian dia bertanya, “Wahai hamba Alloh, siapakah nama anda?”Dia menjawab, dan namanya persis seperti yang didengarnya tadi di awan. Kemudian orang itu balik bertanya, “Mengapa anda menanyakan namaku?”.Dia menjawab, “Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah airnya, mengatakan siramilah kebun si Fulan, yaitu nama anda. Maka apakah yang telah anda kerjakan?” Si petani menjawab, saya membagi apa yang dihasilkan oleh kebun ini yakni sepertiganya saya sedekahkan, sepertiganya lagi saya makan bersama keluarga, dan sepertiganya lagi saya kembalikan lagi ke kebun (untuk ditanam kembali). Dalam
  • 45. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 108 riwayat lain disebutkan:“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).”Point pelajaran dari kisah ini adalah betapa sikap berbagi hasil kebun merupakan amal yang mengundang pertolongan Allah. Demikianlah, wallahu ’alam. .3.4. GADAI LAHAN PERTANIAN Point penting yang ingin diluruskan di soal gadai-menggadai ini adalah bahwa ini sesungguhnya urusan hutang piutang, bukan soal menguasai harta orang melalui hutang. Itu salah. Barang yang digadai adalah jaminan saja, bukan untuk dikangkangi suka-suka. Kenapa ini penting? Karena tampaknya, gadai-menggadai lahan di kita sudah agak melenceng. Petani yang mendapat gadai boleh memanfaatkan itu lahan sampai-sampai nilai tambahnya melebihi jumlah hutang itu sendiri. Sebutlah ada orang berhutang Rp 50 juta, lalu lahan nya digadaikan 1 ha. Jika ditanami padi yang semusimnya bisa dapat Rp 10 juta, maka dalam 3 tahun atau 6 musim, penerima gadai telah memperoleh nilai tambah Rp 60 juta. Nah, jika pas panen di musim ke-6 tersebut si penggadai membayar hutangnya (tanpa bunga), maka petani penerima gadai menerima Rp 110 juta. Jika dianalogkan dengan pinjaman di bank komersial, itu setara dengan bunga 40 persen per tahun. Besar sekali. Bagaimanapun utang-piutang tidak dapat dihindari. Untuk mengimbangi ketidakpercayaan, maka meminta jaminan berupa barang berharga dengan meminjamkan hartanya. Menggadaikan tanah pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, adalah metode yang sederhana, praktis, dan berbasiskan kekeluargaan.
  • 46. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 109 Gadai sesungguhnya menjadi opsi kerjasama berekonomian. Karena pentingnya, pemerintah pun ikut memfasilitasi masalah gadai ini, sehingga didirikanlah lembaga Perum Pegadaian untuk membantu masyarakat yang ingin meminjam uang dengan cara gadai. Bagamana dengan gadai dalam pertanian, khususnya gadai sawah yang sering dilakukan oleh para petani kita? Islam mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan, pemberi utang dan masyarakat. Penggadai mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya, atau untuk modal usaha. Adapun pihak pemberi utang akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya dan dia pun mendapatkan keuntungan. Bila semua berniat baik dan dilandasi hukum Allah, insyaAllah semua menjadi amal soleh. Secara makro, ini akan menggerakkan ekonomi. Namun, metode gadai tidak selalu berakhir happy. Ketiadaan ketegasan masa gadai, kadang menyulitkan si pemegang gadai misalnya untuk melakukan investasi, sebutlah perbaikan saluran air dan pematang menjadi lebih baik. Semakin lama sering penggadai (pemilik tanah) semakin sulit membayar, karena anjloknya pendapatan semenjak lahan yang merupakan sumber ekonomi keluarga digasikan ke orang lain. Sering terjadi akhirnya penggadai terpaksa melepas tanahnya dengan harga murah. Penggadai sering kali petani berlahan sempit yang butuh uang tunai mendesak, misalnya untuk biaya pesta kawin, sakit, atau karena ada anggota keluarga meninggal. Jika mencari pinjaman sulit, gadai terpaksa dipilih, padahal lahan tersebut satu-satunya sumber pendapatan.
  • 47. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 110 Unsur gadai (rahn) terdiri atas barang gadi (marhun), penggadai (rahin), dan pemegang gadaian (murtahin). Makna Rhan (Gadai) Gadai (rahn) adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Benda gadai (marhun) harus diserahkan kepada kreditor (murtahin), meskipun pemilikan tidak pindah. Namun pengambil alihan tersebut tidak sederhana. Makna “rahn” secara etimologi adalah “tertahan” sebagaimana dalam ayat: “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggung-jawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya” (Al-Muddatstsir: 38). Makna lain adalah “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram bagai seseorang kencing diair yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”. Sementara, makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. Menurut istilah agama, “rhan” ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. Kata “rahinah” yang bermakna “tertahan” pada surat Al- Muddatstsir ayat 38 bermakna hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
  • 48. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 111 Ar-rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng), juga berarti al-habs (penahanan). Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal menunaikannya. Inilah beda gadai dengan hutang biasa, karena barang gadaian bisa diuangkan jika hutang belum terbayarkan saat jatuh tempo. Diuangkan tentu dengan menjualnya, baik kepada si pemegang gadai atau ke orang lain. Gadai dalam arti akad, yaitu menjadikan barang sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya tersebut. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jika masanya tiba, si pemberi pinjaman berhak menjual barang tersebut jika yang punya tanah belum sanggup membayar hutanya. Gadai diawali urusan hutang piutang biasa. Barang jaminan tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya penyerahan dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Nah, ar-rahn (gadaian) semata-mata sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya. Jadi, barang gadaian yang awalnya sebagai pengikat untuk menimbulkan kepercayaan berubah menjadi jaminan apabila uang pinjaman tidak dikembalikan pada waktu nya. Rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan, yakni saat dalam perjalanan. Sementara, penulisan perjanjian utang tidak wajib dilakukan, tentu termasuk pula penggantinya tersebut yakni ar-rahn. Namun, dalam keadaan
  • 49. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 112 safar alu berhutang dan tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Ini bermakna perintah. Binatang bisa menjadi barang gadaian. “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR Al-Bukhari). Rukun Menggadai Rukun menggadai terdiri atasempat, yaitu ar-rahn (barang yang digadaikan), al-marhun bih (utang), shighah (akad transaksi), dan pihak yang bertransaksi yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang), serta qadh (serah terima). Para pihak tentu haruslah baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). Berkenaan dengan pemeliharaan barang. Biaya pemeliharaan pada hakekatnya tanggung jawab rahin (orang yang menggadaikan). Namun, jika murtahin memberikan perawatan, Ia berhak atas manfaatnya, tentu secara proposional. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut. Kata kunci yang perlu dicatat adalah “sesuai bersarnya nafkah yang ia berikan”. Barang yang digadaikan harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi gadai. Syarat benda yang dijadikan jaminan ialah benda itu tidak rusak. Rasul bersabda: ”Setiap barang yang bisa
  • 50. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 113 diperjualbelikan boleh dijadikan jaminan gadai”. Artinya, itu adalah benda ekonomi yang bisa diuangkan. Syarat barang yang digadaikan adalah dapat diserah terimakan, bermanfaat, milik dan dikuasai orang yang menggadaikan (rahin), jelas, tidak bersatu dengan harta lain, harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Gadai dianggap berakhir ketika barang telah dikembalikan kepada rahin, rahin telah membayar hutangnya, barang dijual dengan perintah hakim atas persetujuan rahin, pembebasan hutang dengan cara apapun. Dasar Hukum Gadai Dasar hukum gadai di antaranya surat AI-Baqarah ayat 283, bahwa: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Lalu juga ada hadits diriwayatkan dari Aisyah RA: “Rasulullah S.A.W pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu Baginda menyerahkan baju besi sebagai gadaiannya”. Untuk di Indonesia, gadai telah diatur dengan cukup serius. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No 25/DSNMUI/III/2002 tentang gadai. Salah satu aturannya adalah masa berlaku gadai yang dibatasi selama 7 tahun, serta berbagai aturan yang mengikutinya.
  • 51. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 114 Apakah barang gadai boleh dimanfaatkan? Mungkin pertanyaan ini terdengar aneh bagi kita. Karena di Indonesia hampir pasti barang gadaian, utamanya berupa tanah, diolah dan dimanfaatkan pemilik gadai. Justeru disitulah motivasinya memberi pinjaman. Pertanyaan boleh dan tidak boleh memanfaatkan sebenarnya berlaku baik untuk rahin maupun murtahin. Unsur gadai terdiri atas barang gadaian, penggadai gadai, dan pemegang gadai. Barang gadai bisa berbagai bentuk, bisa berupa barang produktif (misalnya lahan dan hewan ternak) atau tidak (misal emas). Umumnya untuk pertanian di Indonesia, lahan yang digadai hampir selalu dimanfaatkan pemegang gadai. Bahkan, kesempatan untuk mengolahnya itulah sesungguhnya yang menjadi perhatian penting murtahin. Ya, barang gadaian untuk sementara dikuasai murtahin. “Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al- Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni) Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan murtahin. Namun, itu bukan berarti murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadits di atas, tetap menjadi hak pemiliknya (rahin). Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan. Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang
  • 52. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 115 lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al- murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan. Meskipun sudah digadai, bukan berarti harus diusahakan pemegang gadai. Mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan barang tetap hak penggadai. Dalilnya dari sabda Rasul: “Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (HR Ad- Daruquthni dan al-Hakim) Jika lahan tetap pada penggadai, maka ada tiga bentuk pengelolaaannya yakni: 1. Pemegang gadai tetap mengerjakan sendiri sawah gadai nya. Ini dimungkinkan, karena yang penting adalah saat jatuh tempo bayar hutang Ia mampu melunasi. Jika tidak sanggup barulah dibuat perhitungan dengan sawah gadaian tadi, apakah mau dijual ke pihak yang membayar gadai atau ke pihak kelitga. 2. Penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya, kemudian kedua belah pihak membagi hasil sawah sama seperti “bagi hasil”. 3. Pemegang gadai menyewakan atau bagi hasil sawah gadai tersebut kepada pihak ketiga. Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi
  • 53. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 116 (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. Jika terjadi pertumbuhan atau pertambahan nilai barang gadai, misalnya gadai hewan ternak; ada beberapa pendapat. Sebagian ulama berpendapat mestinya juga dibagi, namun ulama lain berpandangan itu sepenuhnya milik yang punya, dan ada yang berprinsip adalah sesuai yang menafkahinya. Apakah pihak yang menerima gadaian (murtahin) boleh memanfaatkan dan mengambil nilai ekonomi dari barang gadaian? Satu, Boleh. Yang jelas, barang gadai tersebut berada di tangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, dimana barang tanggungan dipegang oleh yang berpiutang sesuai surat Al-Baqarah ayat 283. Jika barang tersebut butuh perawatan, misalnya unta, maka yang memegang wajib memberinya makan dan minum. Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Syafi’iyah. Ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan
  • 54. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 117 murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya. Dua, tidak boleh. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Ada yang berpendapat, jika memanfaatkan lahan tersebut lalu memperoleh manfaat yang besar, bahkan lebih besar dari utang yang telah diberikan; bisa bermakna sebagai “peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat”. Ini ibarat bunga pada bank. Menurut satu sumber bacaan, mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah memandang murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai, kecuali karena telah mengeluarkan biaya pemeliharaan sebagaimana dicontohkan hadits dengan hewan ternak yang menghasilkan susu. Murtahin boleh mengambil susunya karena telah merawat dan memberi makan setiap hari. Nilai susu yang diambil sama dengan pengorbanannya menjaga, dan memberi makan minum si unta. Intinya, untuk barang gadai: rahin memiliki hak kepemilikan, sedangkahn murtahin memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut di tangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga sesuai tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dari hewan tersebut, murtahin boleh mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Jika akad ar-rahn untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang janjinya harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya; maka murtahin tidak boleh
  • 55. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 118 mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. Rasul bersabda: "kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa majhun min wujûhi ar-ribâ. (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) (HR al-Baihaqi). Pinjaman al-qardh misalnya pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah atau beras 1 ton, maka pengembaliannya persis sama uang Rp 50 juta atau beras 1 ton. Namun, jika rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya, maka murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-rahin. Ketentuan di atas berlaku jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti rahin menyewakan agunan itu kepada murtahin, maka murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin, dengan ketentuan sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn. Kapan mulai boleh dimanfaatkan? Sebagian ulama menyebut yakni setelah diserahterimakan. Bahkan murtahin boleh memaksa menyerahkan barangnya jika akad sudah
  • 56. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 119 dilakukan. Penyerahan dilakukan dengan sebelumnya dilakukan pennimbangan dan pengukuran. Akad gadai dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh kreditor (rahin). Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qiradh yang menguntungkan dan setiap bentuk qiradh yang menguntungkan adalah riba. Hal tersebut berlaku apabila barang bukan berbentuk binatang tunggangan atau binatang ternak yang bisa diperah susunya. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah. Sementara, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan nilai barang berkurang. Ia tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan sebagainya. Tapi jika menyebabkan nilai barang berkurang, seperti sawah, kebun; rahin harus meminta izin. Jika Waktu Gadai Berakhir Maka ada pertanyaan, apakah ada jangka waktunya, jika tidak bagaimana? Apakah diambil si pemegang gadai? Ada beberapa pendapat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada
  • 57. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 120 rahin. Jika lebih dikembalikan, jika masih kurang menjadi kewajiban rahin. Namun, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa hak murtahin untuk menjual tersebut tidak serta- merta, namun harus dikembalikan kepada hakim atau izin rahin. Coba kita lihat regulasi formal. Pasal 1150 Kitab UU Hukum Perdata menyebutkan: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberiwewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan”. Jadi, di pasal ini si pemberi hutang boleh agak memaksa. Pasal 1155 KUH Perdata menambahkan bahwa jika telat lewat dan sudah diperingatkan, maka dimungkinkan barang dijual kepada umum sesuai kebiasaan setempat. Kreditur berhak menjual objek hak gadai jika sampai debiturnya lalai memenuhi perjanjian. Namun, kondisi lalai tersebut ada beberapa persyaratan tertentu. Mengacu pada ketentuan pasal ini, ada dua cara untuk mengeksekusi objek hak gadai yakni secara tertutup atau lewat lembaga lelang. Kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam, apabila yang menggadaikan barang tidak mampu megembalikan pinjaman, maka ia tidak berhak lagi atas barangnya dan barang tersebut menjadi hak pemegang gadai. Islam kemudian membatalkan dan melarang cara tersebut. Jika tempo telah jatuh, maka orang yang menggadaikan
  • 58. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 121 berkewajiban melunasi utangnya, apabila ia tidak mampu melunasinya dan ia tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut. Apabila hakim telah menjual barang tersebut dan kemudian ada kelebihan nilai atau harga barang, maka kelebihan menjadi milik pihak yang menggadaikan. Dan apabila masih kurang nilai harganya dengan utang, maka kreditor wajib melunasi sisa utangnya. Saya kira ini lebih adil. Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far meriwayatkan bahwa seseorang telah menggadaikan sebuah rumah di Madinah untuk masa waktu tertentu. Setelah jatuh tempo, pihak debitor menyatakan rumah tersebut sebagai miliknya. Rasulullah kemudian bersabda: “Janganlah pemegang harta gadai menghalangi hak atas barang gadai tersebut dari peminjam yang menggadaikan. Peminjam berhak memperoleh bagiannya dan dia berkewajiban membayar dendanya”. (HR. Syafii, Atsram dan Daruquthni). Hadits ini ada yang bilang sahih ada yang bilang diragukan. Artinya: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungannya untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya” (HR. Daruquthni dan Hakam). Apabila pada akad gadai ada persyaratan bahwa apabila jatuh tempo maka barang gadai akan dijual, maka syarat tersebut dibolehkan. Dan merupakan hak debitor untuk menjual barang jaminan tersebut. Imam Syafii berbeda pendapat akan hal tersebut dan berpandangan bahwa dengan syarat tersebut, akad gadai telah batal. Jadi, barang gadai tidak otomatis berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya karena
  • 59. SYAHYUTI – Bertani dan Berdagang Secara Islami (draft I – April 2020) 122 tidak mampu melunasi utangnya. Dulu di era jahiliyah, bila utang telah jatuh tempo, si murtahin boleh langsung menyitanya. Islam membatalkan cara zalim ini. Maka, rahin lah yang berhak memutuskan akan menjualnya atau tidak. Murtahin tidak boleh memaksa harus menjual ke dirinya. Intinya, barang gadai sejatinya adalah milik rahin (orang yang menggadaikan). Adalah hak rahin untuk menjual ke siapa dan harga berapa.urusan dengan murtahin adalah urusan hutang. Jika rahin bisa membayar hutangnya, maka urusan selesai. Persoalan muncul jika sudah jatuh tempo, hutang belum dibayar, namun rahin tidak mau menjual barang tersebut, baik ke murtahin ataupun ke orang lain. Ada ulama yang berpendapat bahwa pemerintah dapat memaksa rahin segera menjualnya. Bentuk pemaksaan tersebut boleh dengan memenjarakan rahin, atau pemerintah yang melakukan penjualannya. Jika pun dijual, maka yang diberikan ke murtahin hanya sebatas besarnya hutang, bukan seluruh nilai penjualan tanah tersebut yang bisa saja lebih mahal. Sisanya harus dikembalikan ke rahin. Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak atas marhun daripada semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin. Bagaimana bila barang rusak atau hilang? Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah