Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis-Makassar yang terbuat dari kain muslin, salah satu kain tertua di dunia. Warna dan model baju bodo berbeda-beda untuk menunjukkan status sosial pemakainya seperti usia, pernikahan, dan kasta. Baju ini masih dipakai dalam upacara adat dan pesta pernikahan di Sulawesi Selatan.
1. Baju Bodo
Baju Bodo adalah pakaian adat suku Bugis-Makassar dan
diperkirakan sebagai salah satu busana tertua di dunia.
Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslim yang
menjadi bahan dasar baju bodo.
Jenis
kain
yang
dikenal
dengan
sebutan
kain
Muslin
(Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur),
atau Ruhm (Arab) pertama kali diperdagangkan di kota
Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada catatan seorang
pedagang
Arab
bernama
Sulaiman
pada
abad
ke-19.
Sementara pada tahun 1298, dalam buku yang berjudul
2. “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo menggambarkan
kalau
kain
Muslin
dibuat
di
Mosul
(Irak)
dan
diperdagangkan oleh pedagang yang disebut Musolini.
Namun kain yang ditenun dari pilinan kapas yang dijalin
dengan benang katun ini sudah lebih dahulu dikenal oleh
masyarakat
abad
Sulawesi
ke-9,
jauh
Selatan,
sebelum
yakni
pada
masyarakat
pertengahan
Eropa
yang
baru
mengenalnya pada abad ke-17, dan populer di Perancis
pada abad ke-18. Kain Muslin memiliki rongga-rongga dan
jarak
benang-benangnya
yang
renggang
membuatnya
terlihat transparan dan cocok dipakai di daerah tropis
dan daerah-daerah yang beriklim panas.
Sesuai dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju
ini memang berlengan pendek. Dahulu Baju Bodo dipakai
tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara dan
lekuk-lekuk
dada
pemakainya,
dan
dipadukan
dengan
sehelai sarung yang menutupi bagian pinggang ke bawah
badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh Islam di
daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun
mengalami
perubahan.
Busana
transparan
ini
kemudian
dipasangkan dengan baju dalaman berwarna sama, namun
lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa
sarung sutera berwarna senada.
3. Baju
Bodo
perempuan
memang
yang
pakaian
dalam
tradisional
penggunaannya
khusus
untuk
memiliki
aturan
berdasarkan warna yang melambangkan tingkat usia dan
kasta perempuan pemakainya.
Warna jingga untuk perempuan berusia 10 tahun, jingga
dan merah darah untuk perempuan berusia 10 sampai 14
tahun, merah darah untuk perempuan berusia 17 sampai 25
tahun, warna putih dipakai para inang dan dukun, warna
hijau khusus dipakai para puteri bangsawan, dan warna
ungu dipakai oleh para janda.
Pakaian
adat,
tradisional
seperti
ini
upacara
penggunaan
Baju
Bodo
kegiatan,
misalnya
sering
dipakai
pernikahan.
mulai
untuk
Tetapi
acara
sekarang,
meluas
berbagai
menari
lomba
untuk
atau
upacara
penyambutan tamu-tamu kehormatan. Meski belakangan ini
semakin
terpinggirkan
akibat
pengaruh
busana-busana
modern, tetapi di kampung-kampung Bugis yang jauh dari
perkembangan
dan
tren
mode
busana,
Baju
Bodo
masih
dikenakan oleh para pengantin perempuan saat upacara
akad nikah dan resepsi pernikahan, begitu juga dengan
ibu pengantin, pendamping mempelai, dan para pagar ayu.
4. Baju Bodo, Lipa' Sa'be : Tulolonna Sulawesi
Baju
bodo
Bugis,
adalah
Makassar,
pakaian
dan
tradisional
Mandar,
di
perempuan
propinsi
suku
Sulawesi
Selatan, Indonesia. Kata "baju bodo" merupakan bahasa
Makassar
(baju=baju,
bodo=pendek),
sedangkan
orang
Bugis kadang menyebutnya dengan waju tokko, yang sama
artinya dengan baju bodo.
Baju
bodo
berbentuk
segi
empat,
biasanya
berlengan
pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju
bodo juga dikenal sebagai salah satu busana tertua di
dunia. Baju bodo atau waju tokko, telah dikenal oleh
masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX .
Kain
yang
digunakan
sebagai
bahan
dasar
baju
bodo
5. disebut
kain
kain
dari
muslin
benang
yang
kapas
merupakan
hasil
sejenis
tenunan
yang
lembaran
dijalin
dengan benang katun. Kain muslin memiliki rongga dan
kerapatan benang yang renggang sehingga sangat cocok
untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering.
Kain
muslin
tercatat
pertama
kali
dibuat
dan
diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, merujuk pada
catatan
abad
seorang
IX.
pedagang
Didalam
Arab
masyarakat
bernama
Sulaiman
pada
Sulawesi
Selatan,
kain
muslin telah dikenal dibanding masyarakat Eropa, yang
baru mengenalnya pada abad XVII dan baru populer di
Perancis pada abad XVIII.
6. Pada awalnya, tampilan baju bodo masih tipis, longgar
dan transparan sehingga menampakkan payudara, pusar dan
lekuk tubuh pemakainya.
Pada awal abad ke-19, Don
Lopez comte de Paris, seorang assiten Gubernur Jenderal
Deandels memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa
Indonesia disebut “kutang”, yang pada zaman itu dipakai
oleh kaum perempuan di Jawa.
Masuknya Islam sebagai agama resmi di beberapa kerajaan
di Sulawesi Selatan di abad ke-17, menjadi isu besar
bagi
para
ditegaskan
pakaian
pemangku
adat.
bahwa,
pakaian
yang
menutup
Dalam
ajaran
yang
aurat,
agama
dibenarkan
tidak
Islam
adalah
menampakkan
lekuk
tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah.
Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan
Gowa,
dikenal
hingga
dengan
muncullah
nama
baju
modifikasi
la’bu
baju
(serupa
bodo
yang
dengan
baju
bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga ke
lutut) dan terbuat dari kain sutera.
Adanya baju la’bu
ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam
dan juga tidak menghilangkan nilai adat.
Konon, setiap warna baju bodo atau waju tokko yang
dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia
ataupun
martabat
pemakainya.
Warna
kuning
gading
dipakai oleh anak perempuan berumur dibawah 10 tahun,
7. yang dalam Bahasa Bugis disebut waju pella-pella (baju
kupu-kupu), sebagai penggambaran terhadap dunia anak
yang penuh keriangan. Warna ini juga sebagai harapan
agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan
hidup.
Anak perempuan yang berumur 10-14 tahun memakai baju
berwarna jingga atau merah muda, disebut bakko (Bugis)
atau bakka' (Makassar) yang berarti setengah matang.
Umur 14-17 tahun, masih memakai warna jingga atau merah
muda, tapi dibuat berlapis/ bersusun dua, karena pada
masa ini diyakini payudara sang gadis mulai tumbuh.
Warna ini juga dipakai oleh mereka yang telah menikah
namun belum memiliki keturunan.
8. Bagi
yang
berumur
17-25
tahun,
telah
menikah
dan
mempunyai anak, memakai warna merah darah dengan kain
berlapis/ bersusun.
Filosofinya bahwa sang perempuan
dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya. Umur
25-40 tahun memakai, warna hitam. Warna putih digunakan
oleh para inang/ pengasuh raja atau para dukun atau
bissu
(pendeta
dianggap
agama
memiliki
Bugis-Makassar).
titisan
darah
Para
berwarna
bissu
putih,
terlepas dari kepentingan syahwat, sehingga inilah yang
mengantarkan
mereka
mampu
menjadi
penghubung
dengan
Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan
ale kawa (dunia roh).
9. Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam
bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah
bangsawan)
memakai
warna
hijau.
Dalam
bahasa
Bugis,
warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata natakku dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang
menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.”
Warna ungu dipakai oleh para janda. Dalam bahasa Bugis,
warna
ungu
lebamnya
disebut
bagian
kemummu
tubuh
yang
yang
juga
terkena
dapat
berarti
pukulan
atau
benturan benda keras. Dalam pranata sosial masyarakat
Bugis
zaman
dahulu,
menikah
dengan
seorang
janda
merupakan sebuah aib.
Baju bodo dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’
Sa'be (sarung sutera) yang bermotif kotakkotak cerah. Selain kaum perempuan, lipa' sa'be juga
dapat dikenakan oleh kaum lelaki.
dipakai,
juga
menunjukkan
status
Kualitas sarung yang
sosial
pemakainya,
karena semakin tinggi kualitas sarung suteranya, maka
harganya
akan
semakin
mahal,
sehingga
status
sosial
orang yang memakainya akan dipandang semakin tinggi.
10. Lipa’
sa’be
dipakai
seperti
memakai
sarung
yang
diperkuat dengan tali atau ikat pinggang agar tidak
melorot.
Bila
pemakainya
perempuan,
pada
bagian
pinggang, baju bodo dibiarkan menjuntai menutupi ujung
sarung bagian atas. Sipemakai biasanya memegang salah
satu
ujung
baju
bodo
lalu
disampirkan
di
lengan.
Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang panjang,
anting, dan bando atau tusuk konde di kepala. Ada pula
yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut.
Sampai sekarang, baju bodo dikenakan sebagai pakaian
pesta
upacara
atau
upacara
menyambut
adat
tamu
seperti
penting,
pesta
juga
pernikahan,
dikenakan
oleh
12. Oscal
Lawalata
menyebutkan
bahwa
baju
bodo
dalam
masyarakat Sulawesi Selatan adalah salah satu busana
etnik tertua di dunia, dan dunia international belum
mengetahuinya.
Berikut ini penulis menyingkap rahasia baju bodo dalam
masyarakat
Bugis
–
Makassar,
warna
dan
filosofinya,
sebagai berikut:
1. Anak di bawah 10 tahun (gadis cilik), memakai “waju
tokko” (baju bodo) yang disebut “waju pella-pella”
(baju kupu-kupu), berwarna kuning gading. Disebut
“walu
pella-pella”
adalah
penggambaran
terhadap
dunia anak kecil yang penuh keriangan, warna kuning
gading adalah analogi agar sang anak cepat matang
dalam
menghadapi
tantangan
hidup.
Warna
kuning
gading dalam kalimat bahasa Bugis “maridi” yang jika
di
tulis
dalam
aksara
lontara'
Bugis
bisa
dibaca menjadi “mariddi” yang berarti matang.
juga
13. 2. Anak usia 10 - 14 tahun (gadis remaja), memakai
“waju tokko” (baju bodo) berwarna jingga atau merah
muda. Pemilihan warna jingga/ merah muda karna warna
ini
dianggap
paling
mendekati
warna
merah
darah/
merah tua, yaitu warna yang dipakai oleh wanita yang
sudah menikah. Selain itu warna jingga atau merah
muda yang dalam bahasa bugis disebut bakko, adalah
representasi dari kata bakka, yang berarti setengah
matang.
3. Gadis usia 14 - 17 tahun (remaja), memakai “waju
tokko” (baju bodo) berwarna jingga/merah muda juga,
tapi
khusus
pada
usia
ini
dibuat
berlapis
atau
bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah
mulai menanjak remaja, juga dipakai oleh mereka yang
sudah menikah tapi belum punya anak.
14. 4. Remaja usia 17 - 25 tahun (wanita muda), memakai
“waju tokko” (baju bodo) warna merah darah, berlapis
dan
bersusun.
Dipakai
oleh
perempuan
yang
sudah
menikah dan memiliki anak. Berasal dari filosofi,
bahwa sang wanita tadi dianggap sudah mengeluarkan
darah dari rahimnya yang berwarna merah tua/ merah
darah.
15. 5. Wanita umur 25 - 40 tahun, memakai “waju tokko”
(baju bodo) berwarna hitam.
6. Adapun
“waju
tokko”
(baju
bodo)
berwarna
putih
dipakai para inang/ pengasuh raja/ para dukun/ bissu
dan bissu dianggap memiliki titisan darah berwarna
putih yang mampu menjadi penghubung “botting langi”
(kayangan)
peritiwi
(dunia
kawa” (dunia bawah/ roh).
nyata/
bumi)
dan
“ale
16. 7. Sedangkan para bangsawan dan keturunanya atau dalam
bahasa
hijau).
Bugis
di
Adalah
sebut
alasan
"maddara
mengapa
takku"
“waju
(berdarah
tokko”
(baju
bodo) berwarna hijau hanya boleh dipakai oleh para
putra-putri raja, karena warna hijau dalam bahasa
bugis disebut “kudara” berasal dari kata “na takku
dara-na” ungkapan ini kemudian berubah menjadi “ku
dara”, secara harfiah dapat diartikan bahwa mereka
yang
memakai
adalah
“waju
mereka
kebangsawananya
tokko”
yang
berwarna
menjunjung
“kudara”
tinggi
ini
harkat