Pakaian tradisional masyarakat Melayu Riau memiliki berbagai jenis dan tata cara pemakaian yang mengandung simbol dan makna budaya tertentu. Unsur-unsur pakaian seperti bahan, corak, warna, dan cara pemakaian mencerminkan status sosial, jenis kelamin, dan kepatutan seseorang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.
4. Pakaian merupakan symbol
budaya yang menandai
perkembangan akulturasi dan
kekhasan budaya tertentu.
Pakaian juga dapat pula menjadi
penanda bagi pemikiran
masyarakat, termasuk pakaian
tradisional melayu Riau.
5.
6. Pakaian harian adalah pakaian yang dikenakan ketika melakukan kegiatan
sehari-hari. Berdasarkan kelompok pemakai, pakaian harian dapat dibedakan
menjadi pakaian anak-anak, pakaian dewasa, dan pakaian orang tua atau
setengah baya.
· Pakaian Anak-anak
Pakaian anak laki-laki yang masih kecil disebut baju monyet. Setelah
beranjak besar, anak laki-laki memakai Baju Teluk Belanga atau Baju Cekak
Musang. Terkadang juga memakai celana setengah bawah lutut, kopiah, dan
tutup kepala dari kain segi empat. Anak laki-laki juga memakai sarung etika
pada saat mengaji dan beribadah. Sedangkan untuk anak perempuan yang
belum dewasa memakai baju kurung yang selaras dengan kain bermotif
bunga atau satu warna dengan kain tersebut.
7. · Pakaian Dewasa
Pakaian anak laki-laki yang telah dewasa disebut Baju Kurung Cekak
Musang yang dilengkapi dengan kain samping berupa sarung perekat
dan kopiah atau ikat kepala. Sedangkan untuk perempuan memakai
Baju Kurung Laboh, Baju Kebaya Pendek, dan Baju Kurung Tulang
Belut. Baju ini dipadukan dengan kain sarung batik dan penutup kepala
berupa selendang atau tudung lingkup. Perempuan yang melakukan
kegiatan di ladang atau sawah biasanya memakai tutup kepala berupa
selendang atau kain belacu yang dinamakan tengkuluk.
· Pakaian Orangtua
Pakaian untuk perempuan tua setengah baya ada berbagai macam, seperti
Baju Kurung Teluk Belanga (Baju Kurung Tulang Belut), Kebaya Laboh, dan
Baju Kebaya sedikit lebih panjang. Kerudung untuk menutupi kepala berupa
selendang segi empat yang dibentuk segitiga sehingga menyerupai jilbab.
Sedangkan untuk laki-laki orang tua dan setengah baya memakai Baju Kurung
Teluk Belanga atau Baju Kurung Cekak Musang. Bahan pakaian ini adalah kain
katun atau kain lejo. Baju ini agak longgar sehingga nyaman dipakai..
8. Pada zaman dahulu, pakaian resmi dipakai ketika menghadiri pertemuan
resmi yang diadakan oleh kerajaan. Sedangkan di masa sekarang,
pakaian resmi dikenakan dalam berbagai acara pemerintahan. Pakaian
resmi untuk laki-laki adalah Baju Kurung Cekak Musang lengkap dengan
kopiah, kain samping yang terbuat dari kain tenun Siak, Indragiri,
Daik, dan daerah-daerah di Riau lainnya.
Bahan Baju Kurung Cekak Musang berupa kain sutra, kain satin, atau
kain berkualitas tinggi lainnya. Sebagai perlengkapannya antara lain
kopiah dan kain samping. Bahan untuk kain samping adalah bahan yang
terpilih, seperti kain songket dan kain tenun lainnya. Sistem memakai
kain samping ini ada dua macam, yaitu ikat dagang dalam dan ikat
dagang luar.
9. Pakaian resmi untuk perempuan dewasa adalah Baju Melayu Kebaya
Laboh dan Baju Kurung Cekak Musang.
Bahan untuk membuat kedua baju ini adalah kain songket atau kain
terpilih lainnya seperti Tenun Siak, Tenun Indragiri, Tenun
Trengganu, dan lain-lain. Bentuk Baju Kurung atau Kebaya Laboh ini
mengikuti bentuk tubuh si pemakai, namun tidak terlalu longgar dan
tidak terlalu sempit.
Panjang baju perempuan yang masih gadis adalah tiga jari di atas
lutut, sedangkan untuk orang tua panjang bajunya tiga jari di
bawah lutut.
10. Upacara yang pada zaman dulu diadakan oleh pihak kerajaan
yang ada di Riau, kini dilanjutkan oleh Lembaga Adat Melayu
Riau atau oleh pemerintah daerah. Beberapa upacara
tersebut seperti upacara penobatan raja, upacara
pelantikan, upacara penyambutan tamu, upacara penerimaan
anugerah, dan lain sebagainya.
Pakaian tradisional yang dipakai pada saat upacara adat
dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pakaian untuk
perempuan dan pakaian untuk laki-laki.
11. Pakaian upacara untuk perempuan yang masih gadis berbeda dengan
pakaian untuk perempuan yang sudah menikah. Jenis pakaian yang
dipakai untuk perempuan tua adalah Baju Kurung Tulang Belut.
Sedangkan untuk perempuan setengah baya dan gadis adalah Baju
Kebaya Laboh Cekak Musang berwarna hitam yang terbuat dari
bahan sutra. Warna hitam pada pakaian ini hanya dipakai pada
waktu upacara adat penobatan raja, menteri, atau datuk.
Sedangkan untuk upacara adat yang lain, semisal upacara
penerimaan tamu agung atau pun upacara penerimaan anugerah, para
perempuan memakai baju berwarna kuning. Selain memakai baju
kurung dan kebaya, perempuan Melayu yang menghadiri upacara
adat juga memakai sanggul. Sanggul tersebut berbentuk sanggul
joget, sanggul lipat pandan yang berhiaskan bunga goyang di
atasnya. Di sebelah kanan sanggul dihiasi jurai panjang dan di
sebelah kiri dihiasi jurai pendek.
12. Selain Baju Kurung Cekak Musang, pakaian pengantin laki-
laki adalah kain samping motif yang serupa dengan celana
dan baju, distar berbentuk mahkota dipakai di kepala, sebai
warna kuning di bahu kiri, rantai panjang berbelit dua
dikalungkan di leher, canggai yang dipakai di kelingking,
sepatu runcing di bagian depan, dan keris hulu burung
serindit pendek yang diselipkan di sebelah kiri.
Baju pengantin laki-laki Melayu adalah Baju Kurung
Cekak Musang atau Baju Kurung Teluk Belanga.
Untuk daerah Limo Koto Kampar baju pengantin
laki-laki berbentuk jubah yang terbuat dari kain
beludru. Baju Kurung Teluk Belanga terbuat dari
bahan tenunan Siak, Indragiri, Daek, maupun
Trengganu dengan warna merah, biru, kuning, dan
hitam.
13. Kepala hanya memakai sanggul yang dihiasi
dengan bunga-bunga. Pakaian pengantin
perempuan pada Upacara Akad Nikah
adalah Baju Kebaya Laboh atau Baju Kurung
Teluk. waktu upacara Bersanding adalah
Kebaya Laboh atau Baju Kurung Teluk
Belanga
Busana yang dikenakan pengantin perempuan
berbeda-beda, tergantung jenis upacara
adatnya. Pengantin perempuan pada upacara
Malam Berinai memakai Baju Kurung Teluk
Belanga. Sedangkan saat Upacara
Barandam, pengantin perempuan memakai
Baju Kurung Kebaya Laboh atau Kebaya
Pendek.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27. Setiap simbol mengandung makna tertentu “ada benda ada
maknanya, ada cara ada artinya, dan ada letak ada sifatnya”.
Begitu pula dalam pakaian melayu yang memiliki simbol dalam
pakaian yang dikenakan orang melayu.
Dilihat dari carak atau motifnya pakaian melayu memiliki simbol
dan makna tertentu:
· . Corak ini dikaitkan dengan makna yang
mengacu pada sifat kerukunan dan gotong royong.
· . Corak ini dikaitkan dengan dengan kerukunan
dan persatuan, tidak terpecah belah.
· . Corak ini dihubungkan dengan legenda
tentang tentang naga sebagai penguasa lautan, gagah berani, dan
pejuang.
· . corak ini dikaitkan dengan keindahan,
kecantikan, dan kesucian.
28. · Kuning. Digunakan untuk raja-raja dan bangsawan sebagai
lambang kekuasaan
· Merah. Digunakan untuk masyarakat secara umum sebagai
lambang kerakyatan.
· Hijau dan putih. Digunakan untuk alim ulama sebagai lambang
agama islam
· Biru. Digunakan untuk orang besar kerajaan sebagai lambang
orang patut-patut.
· Hitam. Digunakan pemangku dan pemuka adat sebagai lambang
“hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Warna hitam juga
dipakai sebagai warna kebesaran hulubalang atau panglima.
29. 1. pakaian sebagai penutup malu, yang berarti pakaian berfungsi
sebagai alat penutup aurat, menutup aib dan malu dalam arti yang
luas. Kalau salah memakai menimbulkan malu, kalau salah corak juga
menimbulkan malu, oleh karena itu pakaian harus dibuat, ditata dan
dikenakan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku didalam
masyarakat.
2. pakaian sebagai penjemput budi, yang berarti pakaian berfungsi
untuk membentuk budi pekerti, membentuk kepribadian, membentuk
watak sehingga si pemakai tahu diri dan berakhlak mulia.
3. Pakaian penjunjung adat, yang berarti pakaian harus mencerminkan
nilai-nilai luhur yang terdapat didalam adat dan tradisi yang hidup
dalam masyarakat.
4. Pakaian sebagai penolak bala, yang bermakna berpakaian dengan
cara yang benar dan patut akan menghindarkan pemakainya dari
mendapat bahaya atau malapetaka
5. Pakaian menjunjung bangsa, yang berarti dengan bersepadunya
lambang-lambang dan nilai-nilai yang tertera dipakaian maka
terjemalah kepribadian bangsa atau masyarakat pemakainya. Pakaian
dalam budaya melayu harus mampu menunjukkan jati diri pemakainya.
30.
31. Baju Melayu Cekak Musang
Tata cara pemakaian: Bagi laki-laki, Baju cekak musang dipakai
dengan baju dipakai di luar (menutupi) celana dan kain samping.
Baju ini dipakai dengan bagian lehernya dikaitkan dengan satu
kancing.
Baju Melayu Teluk Belanga
Tata cara pemakaian: Cara pemakaian Baju Kurung Teluk belanga
mirip dengan Baju Kurung cekak musang. Namun khusus bagi
kaum lelaki, baju kurung dimasukkan ke dalam kain samping
(kain samping menutupi baju). Ini kebalikan dari Baju Kurung
Cekak musang yang bajunya dipakai di luar (menutupi) kain
samping.
32. Pemakaian Kain Samping
Pemakaian kain samping dapat berbeda-beda
berdasarkan status, acara yang sedang didatangai dan
sebagainya.
33. Dalam memakai kain sampin terdapat ketentuan, lambang dan makna tertentu.
1. Untuk anak2 muda/ bujangan : panjang/labuh kain sampinnya antara 2 jari
sampai telempap diatas lutut
2. Lelaki beristri : panjang kain sampinnya tepat pada tempurung lutut
3. Lelaki yg dituakan/berkedudukan tinggi /terpandang : panjang/labuh kain
sampinnya setelempap dibawah lutut
4. Ulama : panjang labuh kain dua telempap di bawah lutut
1. Ikatan Lingkup
Ini adalah cara memakai kain samping yang
paling sering dipakai orang. Kain sarung
digulung ke atas dan dilingkup ke bahagian
depan atau bahagian samping. Mirip dengan
cara memakai sarung untuk keperluan sehari-
hari.
34. 2. Ikatan pancung
Cara memakai kain samping yang menggunakan kain
lepas. Kain dililitkan di pinggang dan sebelum sampai ke
hujung kain, kain ini "dipancung", iaitu kain disemat
sambil membiarkan hujung kain terkulai ke bawah.
3. Ikatan Kembung
Ini adalah cara memakai kain samping yang biasa dipakai
oleh mempelai laki-laki dalam acara pernikahan adat
Melayu. Kata "kembung" berasal dari kesan
menggembung saat memakai ikatan ini. Kain sarung
ditarik ke bahagian tengah atau tepi badan untuk
kemudian diikat dan disimpul dalam berbagai macam cara
agar melekat di pinggang.
35. Pemakaian Kepala Kain
1. Untuk anak-anak dara (gadis), mukai kain atau kepala kain
diletakkan pada bagian depan
2. Untuk Perempuan yang sudah kawin dan masih bersuami, muka
kainnya diletakkan disebelah belakang
3. Perempuan yang menjadi isteri patut-patut atau orang
terkemuka, maka muka kainnya diletakkan disebelah kanannya
4. Sedangkan bagi perempuan yang sudah janda, muka kainnya
diletakkan disebelah kirinya
Terhadap kaum lelaki, ketentuan letak muka kain atau kepala kain tidaklah
secara menyeluruh, tetapi pada sebahagian wilayah kesatuan adat Melayu
menetapkan bagi yang sudah beristeri, letak muka kainnya dibelakang.
bagi yang dituakan atau orang patut-patut, letak muka kainnya disebelah
kanan, sedangkan yang menduda letak muka kainnya disebelah kiri.
Kepala Kain
36.
37. Secara umum gasing terbuat dari kayu
keras dengan bentuk badan
bulat, lonjong, piring terbang (pipih),
kerucut, silinder dan bentuk-bentuk
lainnya yang merupakan ciri khas
kedaerahan dengan ukuran bervariasi,
terdiri dari bagian kepala, bagian badan
dan bagian kaki.
Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu
Riau yang sampai saat ini masih eksis meski pengaruh
modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan
zaman.
38.
39. Gasing dimainkan dengan tali yang
cukup panjang dan digulungkan pada
kayu bulat, runcing pada bagian bawah
dan terdapat katup pada bagain atas.
Dilempar dengan keras ke tanah
sehingga gasing tersebut berputar
dengan kencang. Aturan permainan
gasing ini tergantung pada para
pemainnya, untuk kalangan anak-anak
biasanya menggunakan sistem bertahan
lama putaran gasing.
Cara bermain Gasing
40. Nilai pelestarian budaya. Memainkan atau bahkan
mempertandingkan gasing berarti pula ikut
melestarikan kebudayaan tradisional. Pada permainan
gasing, pelestarian budaya sebenarnya tidak hanya
terlihat dari penyelenggaraan permainan gasing itu saja,
akan tetapi juga pelestarian pakaian adat. Hal itu
dikarenakan pada setiap pertandingan pemain
diharuskan memakai pakaian adat.
Nilai seni. Nilai ini tercermin dari pembuatan gasing
yang tentu saja memerlukan keterampilan seni ukir dan
kayu yang mumpuni. Oleh sebagian pengrajin, gasing
terkadang dibuat dengan serutan yang sangat halus,
sehingga gasing juga dapat dijadikan benda seni yang
dapat dikoleksi. Bentuk gasing yang kecil bagian atasnya
dan besar bagian bawahnya seperti kendi atau teko
tempat minum mengingatkan pada bentuk dewa rezeki
dalam kepercayaan orang Cina.
41. Nilai sportivitas (kejujuran). Pertandingan gasing
tentu saja mengajarkan pada pemain khususnya dan
masyarakat umumnya tentang nilai kejujuran. Hal ini
dikarenakan pemain dapat saja tidak jujur dalam
bertanding, misalnya dengan memukul gasing musuh
terlalu dekat atau bersekutu dengan juri
pertandingan sehingga dimenangkan.
Nilai menjaga kekompakan tim. Pada beberapa
pertandingan gasing, terkadang pertandingan memang
sengaja diatur berdasarkan tim bukan perseorangan.
Jika atas nama tim maka satu tim harus menjaga
kekompakan dan kerjasama yang baik. Pelatih dan
pemain harus jeli dalam membuat strategi, khususnya
ketika mencarikan lawan pemainnya. Jika salah dalam
mencarikan lawan pemainnya tentu saja akan
mengakibatkan kekalahan.
42. Congkak ialah permainan tradisional Melayu yang
menggunakan papan kayu berlubang atau lubang di atas tanah
dan buahnya daripada biji congkak, biji getah, biji guli dan
lain-lain. Di utara semenanjung ianya dipanggil juga Jongkok.
Permainan ini telah wujud sejak zaman Kesultanan Melayu
Melaka, dan kemudian tersebar ke Asia Tenggara terutama
di kerajaan Malaka melalui dunia perdagangan.
Pada zaman dulu, congkak hanya dimainakan oleh keluarga
istana, seperti putri-putri raja. Tetapi sejalan dengan waktu,
sekarang congkak telah dikenal oleh rakyat-rakyat biasa.
Congkak mempunyai sebutan yang berbeza-beza bergantung
dengan negaranya.
43.
44. Dua orang pemain duduk berhadapan menghadap papan congkak, lalu kedua-dua
pemain serentak mencapai buah di kampung masing-masing dan memasukkan buah
satu demi satu di dalam lubang kampung dengan pergerakan dari kanan ke kiri hingga
ke rumah dan kampung lawan.Gerakan diteruskan hingga buah yang terakhir pada
tangan dimasukkan dalam kampung kosong di kawasan sendiri atau lawan dan pemain
hendaklah berhenti, sekiranya buah itu jatuh atau mati di kampung sendiri.
Pemain itu boleh menembak kampung lawan yang setentang dengan kampungnya iaitu
mengaut kesemua buah (jika ada) di dalam kampung tersebut.Pihak lawan mengambil
giliran meneruskan permainan hingga buahnya mati.
Sekiranya buah terakhir jatuh di dalam rumah sendiri, pemain boleh meneruskan
permainan dengan mengambil buah yang masih banyak di mana-mana kampung sendiri.
Jika buah terakhir jatuh di kampung kosong pihak lawan, maka permainan itu mati di
situ dan pihak lawan boleh memulakan permainan seterusnya hingga mati.
Setelah tamat pusingan pertama, setiap pemain mengisi semula kampung dengan
buah congkak dan jika ada kampung yang tidak cukup buah, ia dianggap terbakar.
Kampung ini tidak boleh diisi apabila bermain pada pusingan yang kedua, ketiga dan
seterusnya hingga pihak lawan mengaku kalah.
Cara bermain congkak
45. Nilai budaya
Ketelitian, kecerdasan dan kejujuran sangat dibutuhkan di dalam
permain congkak ini. Ketelitian dituntut agar ketika memasukkan buah
congkak tidak salah, seperti salah memasukkan buah congkak ke lubang
induk pemain lawan, atau kesalahan-kesalahan lain; kecerdasan
dibutuhkan agar seorang pemain bisa memenangkan permainan
tersebut; sementara kejujuran diharapkan agar masing-masing pemain
bersikap sportif, dan tidak menipu lawannya ketika lawan tersebut
dalam keadaan lengah.
46. Berasal dari anak-anak yang ada di perkampungan
nelayan, namun lama-kelamaan menjadi kegemaran
dan diambil alih oleh anak-anak bangsawan
Kesultanan Riau abad XVII. Dalam
perkembangannya saat ini,
main canang kembali lagi menjadi permainan
rakyat. Artinya, tidak hanya dilakukan oleh anak-
anak
bangsawan saja, tetapi siapa saja dapat
memainkannya.
Canang atau patok lele dapat dimainkan oleh
kaum laki-laki atau perempuan. Jadi, tidak ada
kaitannya dengan perbedaan
jenis kelamin. Permainan yang dilakukan oleh
orang yang berusia 7--20 tahun ini, biasanya
hanya
dimainkan oleh 2--5 orang.
47.
48. Cara bermain Patok Lele
Permainan ini dapat dikatakan tidak membutuhkan tempat yang luas, dan
dapat dimainkan di berbagai tempat seperti, badan-badan jalan, baik itu di
lembah, lereng gunung, ataupun pantai. Perlatannya cukup sederhana, yaitu
berupa dua buah kayu patok lele yang ukurannya berbeda. Kayu yang
disebut induk canang berkuruan panjang kurang lebih 30 cm dan lebar 2,5
cm. Sedangkan anak canang berukuran panjang kurang lebih 18 cm dan
lebar 0,75 cm.
Kelengkapan lainnya adalah sebuah lubang
berukuran panjang kurang lebih 30 cm, lebar
kurang lebih 5 cm, dan dalam kurang lebih 3--
5 cm. Lubang ini dibuat di pangkal arena
sebagai sentral atau pusat arena. Selain itu,
ada sebuah garis batas tikam atau biasa
disebut garis benteng. Garis ini berfungsi
sebagai penentu sah atau tidak jatuhnya kayu
canang yang dilentingkan oleh pemain.
49. Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan ini adalah
kecermatan, keagamaan (Islam) dan sportivitas. Nilai
kecermatan tercermin dalam usaha setiap pemain agar
jatuhnya kayu canang dinilai sah karena ada garis batas
tikam yang berfungsi sebagai penentu syah atau tidak
jatuhnya kayu canang yang dilentingkan oleh pemain. Nilai
keagamaan tercermin dalam pembagian kelompok yang
sejenis untuk menghindari segala sesuatu yang tidak
diinginkan karena bukan muhrimnya. Nilai sportivitas
tercermin dari adanya kesadaran bahwa dalam permainan
tentunya ada pihak yang kalah dan menang. Oleh karena
itu, setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan
lapang dada.
50. Sepak raga merupakan hasil kombinasi permainan
sepak bola dengan bola volley yang menggunakan
lapangan berukuran seperti lapangan ganda
bulutangkis.
Permainan sepak raga bersifat kompetisi yang dimainkan
secara kolektif oleh dua regu. Setiap regu terdiri dari tiga orang
pemain: tekong (server), apit kanan (right inside) dan apit kiri
(left inside).
Tekong adalah pemain yang berada di tengah-tengah lapangan,
berfungsi sebagai tukang servis bola, menerima dan menahan
serangan dari regu lawan di bagian belakang lapangan; apit
kanan dan apit kiri adalah pemain yang posisinya di sebelah
kanan dan kiri bagian depan tekong, berada di dekat net,
bertugas sebagai pelempar bola ke tekong, penerima dan
pemblok bola dari pihak lawan.
51.
52. Cara bermain sepak raga
1. Setiap regu terdiri dari 3 orang pemain: tekong, apit
kanan dan apit kiri.
2. Tugas pemain adalah melempar, menendang dan
menanduk bola. Pemain yang betugas untuk melempar
bola ketika bola diservis adalah apit kanan atau apit
kiri, sementara yang menendang bola hanya tekong.
Setelah bola diservis, apit kanan dan apit kiri boleh
menendang seperti tekong, menanduk atau memblok
bola dari pihak lawan sesuai dengan aturan permainan.
3. Setiap pemain boleh menyentuh bola dengan kepala,
dada dan kaki sebanyak tiga kali berturutturut, tidak
boleh menyentuhnya dengan tangan.
4. Posisi pemain tidak bertukar seperti dalam permainan
bola volley.
5. Regu yang berhasil memasukkan bola ke daerah lawan,
dan lawan tidak bisa memblok atau mengembalikannya,
mendapat nilai 1 poin.
6. Skor permainan dibagi menjadi tiga babak, setiap babak
terdiri dari 15 poin.
7. Regu yang memenangkan dua babak permainan
dinyatakan sebagai pemenang.
53. Nilai Budaya
Permainan sepak raga pertama-tama dimainkan oleh para elit
kerajaan sekedar untuk hiburan. Saat itu, permainan ini tidak
boleh dimainkan oleh rakyat biasa untuk menjaga martabat
para pemainnya, sebab, jika elit kerajaan bermain sepak raga
dengan rakyat biasa berarti telah menjatuhkan martabat elit
kerajaan tersebut. Tetapi bila dimainkan oleh sesama keluarga
istana, hal tersebut tidak merendahkan martabat elit kerajaan
ini.
Namun, dengan perubahan zaman, olah raga yang dianggap
sakral ini tidak hanya dimainkan oleh kalangan elit kerajaan,
tetapi juga oleh masyarakat biasa. Nilai-nilai sakral berubah
menjadi hal yang biasa, dari olah raga bermartabat, sekedar
hiburan, aturan longgar dan berskala lokal, menjadi olah raga
yang merakyat, kompetitif, lebih ketat dan disiplin dan
berskala internasional. Dengan demikian, sepak raga sudah
menjadi milik dunia, tetapi berawal dari elit kerajaan istana.
54. Di daerah Riau Daratan, permainan galah panjang ini
disebut main cak bur atau main belon. Permainan
galah termasuk dalam kategori permainan hiburan
yang dirmainkan secara kolektif oleh dua kelompok:
penyerang dan penghadang. Biasanya, anak-anak
bermain galah pada waktu sore atau malam hari di
saat terang bulan.
Jumlah pemain per kelompok antara 3-6 orang dengan usia
antara 7-20 tahun, boleh dimainkan oleh anak laki-laki, anak
perempuan atau campuran antara keduanya. Main galah
dilakukan di tanah lapang yang
berukuran 12 x 6 m. Di tanah lapang tersebut dibuatkan garis
lurus memanjang dan garis galah lintang. Garis lurus
memanjang disebut garis galah panjang atau lunas galah,
letaknya di tengah-tengah, lurus
pada garis-garis lintangnya; sementara garis galah lintang pada
posisi sejajar, jaraknya sama antara satu dengan lainnya,
berjumlah sesuai dengan jumlah pemain dikurangi 1.
55.
56. Cara bermain Galah Panjang
Ada dua jenis tangkap dalam permainan
ini: tangkap lekat dan tangkap sekedar
menyentuh tubuh atau anggota badan
lainnya. Bila yang disepakati adalah
tangkap lekat, maka penghadang harus
menangkap penyerang dengan cara
merangkul hingga bergumul. Si
penyerang boleh meronta, tapitidak
boleh meninju;
sebaliknya, bila yang disepakati hanya
dengan menyentuh tubuh atau anggota
badan penyerang, maka penghadang
cukup menyentuh tubuh atau anggota
badan penyerangtersebut.
Bila pihak penghadang memangkah kaki penyerang hingga terjatuh, maka penyerang
dibebaskan naik ke galah atas dan dibebaskan pula turun hingga mendapatkan nilai
caboo (mendapatkan point)Sekali.
Bila penyerang keluar dari garis permainan, atau memperlambat waktu dengan cara
duduk-duduk di lapangan permainan, maka dilakukan tukar bebas, yaitu penghadang
berganti posisi menjadi penyerang, karena penyerang dianggap telah melakukan
kesalahan.
58. Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan
untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau
Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian
hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya.
Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis
makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida
kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan
empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar
dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa
marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).
Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905),
tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka
memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu
Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu
jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk
Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu
sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada
yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu
jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan
pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang
tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).
59. Pemain Pacu Jalur
Pacu jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun secara beregu.
Setiap regu jumlah anggotanya antara 40--60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota
sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi
aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan
cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi
tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain
pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya
perlombaan dan menetapkan pemenang.
Aturan Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu
antarbanjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; dan (3) pacu
antarkecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi. Aturan dalam
ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah, yaitu
regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu lain,
dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya
dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur
untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh
besar.
60. Nilai Budaya Pacu Jalur
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja
keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai
kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang
berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai
ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang
dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur
agar dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam. Nilai
kerja sama tercermin dari anggota regu yang berusaha
bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat
dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin
tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang
saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima
kekalahan dengan lapang dada.
61. Kolek
Kolek atau biasa juga disebut dengan sampan, adalah
sebuah perahu yang pada umumnya digunakan
sebagai alat transportasi untuk menyeberangi laut
dari satu pulau ke pulau yang lain dan juga untuk
mencari ikan.
Dalam membuat kolek, sebelum digunakan untuk keperluan
sehari-hari, para nelayan biasanya akan menguji-cobanya
terlebih dahulu. Konon, pada saat uji coba tersebut, yang
kadang diturunkan 2--3 buah kolek baru sekaligus,
menimbulkan suatu inisiatif para pembuatnya untuk
melombakan koleknya sebagai hiburan setelah bekerja
berhari-hari membuat kolek. Lama-kelamaan, karena
banyak orang yang tertarik untuk menonton, dari kegiatan
yang hanya bersifat “main-main” tersebut akhirnya
berkembang menjadi suatu permainan yang disebut
dengan lomba kolek.
62.
63. Pemain
Lomba kolek hanya dilakukan oleh para laki-laki yang
berusia antara 15--40 tahun secara beregu. Jumlah
anggotanya bergantung dari ukuran kolek. Dalam hal ini
kolek kecil (3 orang, kolek sedang (4 orang), kolek
menengah (5 orang); kolek besar (7 orang), dan kolek
lambung (9 orang). Untuk kolek kecil hingga menengah
umumnya didominasi oleh para nelayan dan penggemar
kolek yang mempunyai dana “pas-pasan”, sehingga “hanya
mampu” membuat kolek yang dapat memuat 3--5 orang.
Sedangkan, untuk kolek besar dan lambung biasanya dimiliki
oleh nelayan dan penggemar kolek yang dapat dikategorikan
sebagai “orang kaya”.
Aturan Permainan
Aturan dalam perlombaan kolek tergolong mudah, yaitu regu kolek yang
dapat memutari arena dan mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu
lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Selain adu cepat menuju garis finish,
para peserta juga diharuskan untuk melewati bendera-bendera yang
dipancang di sekitar belokan-belokan jalur lintasan lomba.
64. Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam lomba kolek adalah:
kerja keras, ketangkasan, keuletan, kecermatan, kerja sama
dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat
para pemain yang berusaha agar koleknya dapat mendahului
kolek regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin
dari teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu
dalam menjalankan kolek agar dapat melaju dengan cepat
dan tidak tenggelam. Nilai kecermatan tercermin dari usaha
para regu kolek untuk sedapat mungkin melewati pancang-
pancang yang ditetapkan oleh panitia lomba sebagai arah
belok kolek. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu
yang berusaha bersama-sama mengendalikan kolek agar
dapat melaju cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai
sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain
yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan,
tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
65. Layang-layang Bengkalis
sejak zaman penjajahan (Belanda) permainan itu tidak asing lagi
bagi masyarakat Bengkalis, khususnya di daerah Sungai Pakning.
Jenis-jenis layang-layang yang dapat dijumpai di Bengkalis
adalah layang-layang: Kawau, Sahari bulan/Sri Bulan, Gasing,
Camar, dan Serawai.
Layang-layang Kawau rangkanya terbuat dari bilah bambu.
Jumlahnya ada 6 buah, dengan rincian: kepak 2 buah, batang 2
buah dan ekor 2 buah.
Layang-layang Sahari Bulan/Sri Bulan rangkanya terbuat dari
bilah bambu. Jumlahnya ada 5 buah, dengan rincian: kepak 2
buah, batang sebuah dan ekor 2 buah.
Layang-layang Gasing rangkanya terbuat dari bilah bambu.
Jumlahnya ada 4, dengan rincian: kepak 2 buah, batang sebuah
dan ekor sebuah.
Layang-layang Camar rangkanya terbuat dari bilah bambu.
Jumlahnya ada 7 buah, dengan rincian: kepak 2 buah, batang
sebuah dan ekor 4 buah.
Layang-layang Serawai rangkanya terbuat dari bilah bambu.
Jumlahnya ada 4 buah, dengan rincian: kepak 2 buah, batang
sebuah dan ekor sebuah.
66.
67. Pemain
Layang-layang dapat dikatakan sebagai permainan
lelaki karena umumnya yang melakukannya adalah para
lelaki, baik tua, muda maupun anak-anak. Agar layang-
layang dapat naik ke angkasa dan stabil diperlukan
keahlian atau pengetahuan khusus, mengenai: arah
angin, kapan harus megulur benang, dan kapan harus
menariknya.
Aturan dan Proses Permainan
Kemarau adalah musim yang pas untuk bermain layang-layang,
biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari. Ada dua jenis
permainan beserta aturannya yang ditumbuh-kembangkan oleh
masyarakat Bengkalis, yaitu permainan bergelas dan permainan
yang mengutamakan bentuk serta keindahan. Permainan pertama
(bergelas) hanya untuk layang-layang serawai. Dalam permainan
ini para pemain berusaha untuk membelitkan benang layang-
layangnya pada benang layang-layang lawan di atas ketinggian
kurang lebih 150 meter dari permukaan tanah.
Pemain yang layang-layangnya tetap di udara adalah yang
menang, sedangkan yang putus adalah yang kalah. Permainan
kedua adalah dengan mempertandingkan keindahan bentuk dan
bunyi layang-layang tanpa melihat ukuran layang-layang. Dalam
permainan ini para juri menilai keindahan bentuk dan bunyi
layang-layang yang berada di ketinggian kurang lebih 150 meter
dari permukaan tanah. Dalam sebuah pertandingan layang-layang
bisa memakan waktu kurang lebih 2 jam.
68. Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan layang-layang ini
tidak hanya kompetitif tetapi juga kreatif, sportif, dan
estetik (seni). Nilai kompetitif tercermin dari semangat
setiap pemain yang berusaha untuk menjadi pemenang.
Dengan perkataan lain, setiap pemain menjadi pesaing
pemain lainnya.
Nilai sportif tercermin dari kesadaran bahwa dalam
suatu permainan pasti akan ada yang menang dan ada
yang kalah, kalah dan atau menang suatu hal yang lumrah
dalam suatu permainan. Nilai kreatif tercermin dari
pembuatan layang-layang yang sedemikan rupa, sehingga
bisa tampil “beda”. Sedangkan, nilai estetik tercermin
dari tampilnya layang-layang yang tidak hanya bisa
mengudara, tetapi sedap dipandang mata. Jadi, ada unsur
keindahannya.
69. Guli atau kelereng termasuk permainan rakyat yang digemari oleh
anak-anak untuk mengisi waktu senggang pada pagi atau sore
hari, biasanya di tempat-tempat teduh. Guli biasanya dimainkan
ketika musim panas/kemarau, karena membutuhkan lubang yang
digali di tanah kering. Bila tanah agak becek, maka permainan guli
ini tidak mengasyikkan, karena buah guli akan lengket.
Pada zaman dulu, guli dibuat dari potongan-potongan
kayu yang dibulatkan dengan ukuran sebesar telur
ayam, atau dari kulit kima, yakni sejenis karang besar
yang terdapat di dasar laut atau di tebing-tebing
karang. Dengan perubahan zaman, terutama setelah
Perang Dunia Pertama, guli kemudian dibuat dari bahan
kapur yang diaduk dengan semen, ukurannya sebesar
ibu jari kaki. Akhir-akhir ini, guli dibuat dari bahan kaca
dengan ukuran yang beragam, dari ukuran jari
kelingking hingga ibu jari kaki.
70. Pemain
Permainan guli dikelompokkan menjadi dua: main beraje dan main berundung. Main beraje
dilakukan secara perorangan atau satu lawan satu, dimainkan oleh anak laki-laki atau
anak perempuan dengan jumlah pemain antara 2-5 orang yang berumur antara 6-12
tahun. Sedangkan main berundung adalah permainan yang terdiri dari dua regu, masing-
masing regu terdiri dari 2-4 orang, dimainkan oleh anak laki-laki, anak perempuan atau
campuran keduanya.
Proses permainan
•Proses main beraje.
Dalam permainan ini, ada istilah pemain I, II dan III. Urutan ini
diperoleh dari pengundian yang dilakukan dengan cara
menggelindingkan guli dari lubang raja ke lubang bawah. Guli pemain
yang paling dekat dengan lubang bawah menjadi pemain pertama
yang akan melakukan setikan (jentikan), disusul oleh guli pemain
kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya, pemain tersebut
menyetikkan gulinya dari lubang raja ke lubang tengah. Jika masuk,
maka ia ambek raje dengan cara menggelindingkan gulinya ke lubang
raje. Jika tidak masuk, maka giliran pemain kedua yang akan
menggelindingkan gulinya dengan dua pilihan: memasukkan gulinya ke
lubang tengah atau memangkah guli pemain pertama agar jauh dari
lubang tengah, dan kemudian memasukkan gulinya ke lubang tengah
tersebut..
71. Bila pemain pertama dapat memasukkan gulinya ke lubang
tengah dan lubang bawah, maka ia berusaha lagi
memasukkan gulinya ke lubang tengah sebagai bentuk nurun.
Jika gagal, maka permainan dilanjutkan oleh pemain kedua,
dan seterusnya. Namun, bila berhasil, maka ia dinyatakan
sebagai pemenang dan memiliki hak untuk menghalau guli-guli
lawannya yang ingin masuk ke garis kandang atau kandang
raja. Sementara pemain kedua, ketiga dan seterusnya
dinyatakan sebagai pemain yang kalah atau lenget. Sebagai
sanksinya, pemain-pemain yang kalah menyerahkan mata kaki
bagian luar atau dalam untuk dipangkah dengan guli sang
pemenang. Setelah itu, permainan dilanjutkan dengan
mamasuki babak kedua dengan proses permainan yang sama.
Apabila pemain kedua ini tidak dapat memasukkan gulinya ke lubang
tengah, maka giliran pemain ketiga yang akan memasukkan gulinya
seperti yang dilakukan oleh pemain sebelumnya. Jika pemain kedua,
ketiga dan seterusnya abus dan tidak dapat memasukkan gulinya ke
lubang tengah, maka pemain pertama yang mendapat giliran melanjutkan
permainan. Pemain pertama ini boleh memangkah guli lawannya dengan
cara kusen atau sekuru agar guli-guli lawannya jauh dari lubang yang
dituju, sehingga dapat dengan mudah melanjutkan permainannya
72. •Proses main berundung
Proses main berundung tidak berbeda jauh dengan main beraje,
hanya dalam main berundung para pemainnya dibentuk per regu,
misalnya regu A dan regu B, dan perlu adanya kerjasama yang
baik antara anggota kelompok tersebut. Selain itu, dalam main
berundung terdapat pembagian kerja antara satu anggota dengan
yang lain. Misalnya, jika salah satu dari regu A gagal melanjutkan
permainan, maka anggota lainnya akan meneruskan permainan
tersebut. Tetapi, jika semuanya gagal, maka permainan dibawakan
oleh regu B dengan cara berbagi tugas. Pemain pertama
menghalau guli-guli yang dekat dengan lubang tengah, pemain
kedua mengambil lubang tengah, kemudian lubang bawah, dan
begitulah seterusnya. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa
perbedaan yang mencolok antara main beraje dengan main
berundung ini terletak pada kerjasama antara masing-masing
anggota dalam kelompok tersebut.
Regu yang terlebih dahulu menguasai lubang tengah dan menjadi
raja dinyatakan sebagai pemenang, sebaliknya regu yang tidak
bisa menguasai lubang tengah dinyatakan sebagai pihak yang
kalah. Sebagai sanksinya, mereka menyerahkan mata kaki untuk
dipangkah oleh regu yang menang. Inilah akhir dari permainan guli
jenis main berundung ini.
73. Nilai budaya
Dalam permainan ini tidak ditemukan perbedaam status sosial,
setiap orang boleh memainkannya, dari anak para nelayan,
petani, hingga anak pegawai negeri, dan lain-lain.
Selain itu, tingkat kekompakan juga menjadi salah satu syarat
untuk meraih kemenangan, terutama dalam main berundung.
Untuk itu, para pemain harus memiliki rasa solidaritas yang tinggi
dengan menafikan sikap individualis dari masing-masing pemain
tersebut.
Dengan demikian, permainan guli ini dapat dijadikan sebagai
perekat nilai-nilai persatuan dalam suatu masyarakat.
74.
75.
76. Pada dasarnya keluarga masyarakat Melayu sejak
zaman bahari telah melakukan beragam cara untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Melayu juga
memiliki dan menguasai bermacam-macam teknologi, mulai
dari teknologi yang menghasilkan makanan dan tumbuh-
tumbuhan (yang kemudian menjadi pertanian), berburu
(yang berkembang menjadi usaha peternakan), menangkap
ikan (yang berkembang menjadi usaha perikanan dengan
berbagai teknologi penangkapan yang dipakai), serta cara
mengangkut hasil-hasil usaha yang disebutkan diatas.
77. Keragaman mata pencaharian masyarakat Melayu dibagian
daratan Sumatera ( Riau Daratan) dapat dijadikan dasar
untuk menelusuri keragaman teknologi yang ada dalam
masyarakat. Setiap jenis mata pencaharian biasanya
mempunyai beberapa cara dan alat. Alat dan cara
penggunannya akan menampakkan teknologinya. Peralatan dan
cara penggunaannya dipengaruhi oleh lingkungan dan
sumberdaya yang akan di olah, sehingga lahir berbagai
teknologi.
Walaupun teknologi itu menghasilkan hal yang sama atau
mempunyai fungsi yang sama, tapi teknologi tetap berbeda.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Melayu
mampu secara aktif menghasilkan berbagai teknologi dan
sekaligus mengembangkannya sesuai dengan fungsi dan
pengaruh lingkungan tempat digunakannya teknologi tersebut.
Masyarakat Melayu tidak canggung dengan perubahan
teknologi, asal teknologi tersebut lebih menguntungkan dan
mudah diterapkan , seperti teknologi dalam pertanian.
78. Jadi, mata pencaharian masyarakat
melayu riau antara lain:
• Pertanian
• Peternakan
• Perikanan
• Perkebunan
• Berniaga (berdagang)
• Selain itu, masyarakat melayu juga
memanfaatkan hasil hutan, seperti mengambil
kelapa, dan enau.
79.
80. Pada dasarnya pertanian didaerah ini adalah pertanian dengan system
ladang. Disamping itu ada pula usaha perkebunan karet rakyat. Alat-alat yang
digunakan untuk perladangan ini sangatlah sederhananya, terdiri dari : beliung,
parang panjang, parang pendek atau candung, tuai atau ani-ani, bakul, lesung,
dan antan (alu), dan nyiru (tampah).
candung Tajak
beliung Sabit
81. Pertanian dengan system ladang ini, cara
pengolahan tanahnya sangatsederhana, tidak
memerlukan cangkol atau pacul. Tahap-
tahapnya :
1. Memilih tempat (. Hutan yang dianggap subur )
2. Membersihkan sekeliling tempat yang akan dibakar dari
daun-daun kering supaya api tidak menjalar ke hutan
sekitarnya.
3. Menebas tumbuh-tumbuhan kecil.
4. menebang pohon-pohon dan dahan-dahannya dipotong
supaya gampang nantinya dimakan api.
5. membakar hutan dilakukan setelah 1 atau 2 bulan .
6. Pembakaran dimulai dari atas angin, sehingga dengan
bantuan angin api akan menjalar keseluruh lapangan.
7. Setelah abu pembakaran tersebut dingin, biasanya pada
hari kedua atau ketiga setelah dibakar, bibit tanaman pun
mulai disemai.
82.
83. Upacara menentukan tempat
berkebun :
Upacara ini dilakukan untuk mencari tempat yang cocok untuk dibuat ladang.
Dan tidak mengganggu keserasian makhluk hidup yang ada. Upacara ini
dipimpin oleh orang yang mengetahui tradisi ini yang disebut tok bomo atau
tok pawang. Acara ini dilakukan ditempat orang yang hendak membuat
ladang.
Peralatan yang digunakan adalah tali daun pandan kering delapan helai.
Peralatan lain yang digunakan adalah kunyit, kemejan, dan sesajen.tali
pandan kering ini dipakai tok bomo untuk berkomunikasi dengan makhlus
halus, diterima atau tidak untuk membuka lahan.
Tok pawang duduk sambil mebakar kemenyan, sekiranya makhluk halus telah
datang dimulai dialog dengan membaca surat an-nas dan al-ikhlas.
84. Upacara Panen Padi :
Upacara dilakukan ketika akan memanen padi. Upacara
ini dilakukan secara beramai-ramai dengan batobo.
Jika hasil petani mencapai nisab/zakat maka akan
diadakan acara doa yang diikuti dengan dzikir dan
rebana
Upacara Mengilang tebu:
Pekerjaan kebun tebu ini pada saat mengilang
dilakukan secara bersama-sama. Cara mengilang tebu
yaitu dikilang dalam suatu kilang yang terbuat dari 3
buah kilang , ketiga kiang tersebut di rangkai dan
diputar pada kanan kirinya secara teratur dan searah
sambil tebu dimasukkan disela-sela kilang . Air tebu
yang keluar ditampung. Proses pengilangan diiringi
dengan kesenian rarak.
85. Upacara Doa Padang :
Upacara ini dilakukan dengan berdoa diladang atau sawah ketika akan
turun berladang atau bersawah. Upacara ini dilakukan oleh pemuka
daerah atau kampung. Upacara ini dilaksanakan dengan disertai
pemotongan kambing atau sapi. Upacara ini diiringi kesenian rarak dan
puncaknya mengadakan dzikir dan doa
86.
87.
88. Sebagai budaya dan tradisi masyarakat melayu, ritual
atau panjat do'a dengan istilah tepung tawar sudah
menjadi tradisi yang tidak bisa dihilangkan. Seluruh
masyarakat percaya dengan tradisi ini karena do'a
yang dipanjatkan bisa menangkal bahaya atau untuk
keselamatan awak kapal selama melaut.
Tradisi ini dilaksanakan ketika salah satu nelayan hendak
menurunkan kapalnya ke laut. Dan kapal yang diturunkan adalah
kapal yang baru saja selesai di buat. Untuk menurunkan kapal,
nelayan harus mengundang seluruh warga yang ada disekitarnya.
Mereka diajak untuk menurunkan kapal ke laut.
Tradisi menurunkan Kapal
89. Tujuan dari melaksanakan tepung tawar adalah untuk memanjatkan do'a
kepada sang pencipta supaya seluruh masyarakat yang hadir bisa diberikan
keselamatan, rezeki dan diberikan kemudahan dalam menjalankan aktifitas
sehari-sehari. tujuan supaya si pemilik kapal diberikan keselamatan selama
berlayar dan mendapatkan hasil yang melimpah saat pergi melaut.
Kemudian, setelah melaksanakan tepung tawar, masyarakat
yang terdiri dari ketua RT, sesepuh atau orang yang dituakan
untuk membaca tepung tawar, harus mencicipi bubur kacang
yang sudah disediakan oleh tuan rumah atau si pemilik kapal.
bahan-bahan untuk tepung tawar itu dari daun-daunan seperti
daun pinang, daun nagka cempedak, daun durian, daun ribu, daun
penuh dan daun gading serta nasi kuning. Beberapa bahan ini
selalu ada setiap kali melaksanakan tepung tawar.
90. Upacara menyembah Laut
Upacara ini dilakukan untuk memberikan persembahan kepada
makhlus halus yang bernama raja nuh yang berkuasa ditengah laut,
Tuk Putih yang berkuasa di sekitar pantai dan Tuk Jaten Kecik
pembantu raja Nuh dan Tuk Putih. Dengan dilakukannya upacara ini
diharapkan dapat terhindar dari makhluk halus yang berasal dari
laut.
Perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan upacara ini antara
lain, sebiji telur, kapir sirih dan batang rokkok yang terbuat dari
nipah.
Tata cara dalam upacara ini sangat sederhana yaitu meletakkan
persembahan tersebut kedalam piring kemudian ditaburkan dilaut
dengan mengucap mantra :
Hai Raja Nuh ditengah Laut , Tuk Putih dilaut , Tuk Jaten kecik
dilaut , tolong sematkan aku dalam perjalanan dilaut.
91.
92. Salah satu yang menjadi bahan perburuan masyarakat melayu
adalah burung punai karena, dapat dikomsumsi.
Orang melayu menggunakan burung pengati (burung punai yang
sudah jinak). Lalu burung pengati itu diikat dipohon dimana
kelompok burung-burung punai sering terbang.
Apabila ada burung punai yang mendekati, burung punai akan
terjerat pada kayu dahan pohon yang sudah diberi diberi perekat.
Selain menggunakan perekat , penangkapan burung punaijuga
dilakukan menggunakn jaring yang dipasang pada malam hari, dan
yang memburu mengamati dari kejauhan . Selain burung punai
burung yang bisa diburu adalah burung puyuh dan burung balam
serta burung quaran (sudah punah). Selain dimakan, burung-burung
tersebut juga dapat dijual.
96. Perdagangan dalam budaya Melayu merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan masyarakat. Kebiasaan berdagang dan berjual
beli tidak hanya dilakukan Raja atau Sultan tetapi juga oleh
masyarakat. Pada masanya Sultan berdagang ke Singapore,
Johor dan Semenanjung Melaka dengan membawa hasil alam
termasuk hasil produksi masyarakat hingga keberbagai
mancanegara. Kebiasaan berdagang dan berjual beli telah lama
tertanam dalam masyarakat Melayu, terutama dilakukan di
daerah pesisir dan sungai yang merupakan urat nadi
perekonomian masyarakat.
Bahkan diawali melalui perdagangan barter sampai dengan
perdagangan dengan menggunakan mata uang. Nilai-nilai
kewirausahaan ditunjukkan oleh sang pemimpin terhadap
rakyatnya, artinya masyarakat tidak hanya menanam,
berproduksi dan menghasilkan sesuatu tetapi lebih dari itu
harus mampu menjual hingga sampai kengeri orang lain. Falsafah
inilah yang melandasi bahwa orang Melayu itu pandai berdagang,
melaut dan berlayar hingga sampai ke Madagaskar.
97. Bakat dan mental kewirausahaan dalam masyarakat Melayu telah
ada sejak dahulu hingga sekarang ini sehingga disebut sebagai
bangsa ”Peniaga”, artinya sudah ada bakat dan mental
kewirausahaan yang tertanam, sehingga kalau adanya ungkapan yang
mengatakan bangsa Melayu itu ”Pemalas”, sangat bertentangan
dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh pemimpin orang Melayu
sejak dahulu. Kini orang Melayu mulai bangkit seiring kemajuan di
era globalisasi sekarang ini, tidak hanya berproduksi tetapi sudah
banyak menjadi ”Peniaga Yang Handal” dalam pengembangan budaya
Melayu.
Sebagai masyarakat yang relegius dan agamis, nilai-nilai
kewirausahaan yang terkandung didalamnya bersendikan norma dan
aturan dalam ketentuan agama. Wirausaha adalah profesi
terhormat, yang dinyatakan dalam hadist. Pertama; Seorang
sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW; pekerjaan apakah
yang paling baik ya Rasulullah ? Rasulullah menjawab : Seseorang
bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih
(HR. Al Bazzar). Kedua; pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah
bersama-sama Nabi, orang shadiqin dan para syuhada (HR.Tirmidzi
dan Hakim).
98. Nilai-nilai kewirausahaan orang Melayu sangat
dilandasi oleh; keyakinan dalam berusaha karena
berusaha itu adalah ibadah, kejujuran sebagai
modal dasar untuk menanamkan kepercayaan pada
orang lain, mewarisi dan mengembangkan nilai-
nilai tradisional dan kultural dari orang tua, tidak
menggantungkan hidup pada orang lain, artinya
menumbuhkan semangat kemandirian dalam
berusaha memenuhi kebutuhan keluarga,
mengikuti anjuran agama dan pemimpin, dan
banyak lagi nilai-nilai sosial yang terkandung
didalam falsafah orang Melayu dalam berdagang
dan berniaga.