SlideShare a Scribd company logo
1 of 34
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian pustaka dalam penelitian ini berisi tentang konsep tingkat populasi
ternak ayam, jarak kandang, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA).
2.1.Populasi Ternak Ayam
2.1.1.Perkembangan Ayam Ras di Indonesia
Perkembangan ayam broiler di Indonesia dimulai pada pertengahan
dasawarsa 1970-an dan mulai terkenal pada awal tahun 1980-an. Laju
perkembangan usaha ayam broiler sejalan dengan pertumbuhan populasi
penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi
ekonomi politik, serta kondisi keamanan (Fadilah 2006).
Usaha komersial ayam broiler tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Daerah dengan populasi ayam broiler tersebar di Indonesia bagian barat yaitu
Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan data Ditjen Peternakan (2011), populasi
ayam broiler terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan
Jawa Tengah. Menurut Fadilah (2006), Indonesia bagian barat menjadi daerah
penyebaran ayam broiler komersial karena hampir semua perusahaan pembibitan
ayam broiler komersial serta pangsa pasar terbesar masih didominasi oleh
Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa.
Laju perkembangan usaha ayam broiler sejalan dengan pertumbuhan
populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan
11
situasi ekonomi politik, serta kondisi keamanan (Fadilah 2006). Usaha komersial
ayam broiler tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah dengan populasi
ayam broiler tersebar di Indonesia bagian barat yaitu Pulau Jawa dan Sumatera.
Berdasarkan data Ditjen Peternakan (2011), populasi ayam broiler terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Menurut
Fadilah (2006), Indonesia bagian barat menjadi daerah penyebaran ayam broiler
komersial karena hampir semua perusahaan pembibitan ayam broiler komersial
serta pangsa pasar terbesar masih didominasi oleh Indonesia bagian barat,
khususnya Pulau Jawa.
Peternakan ayam di Indonesia mulai marak pada tahun 1980. Hal ini
didukung oleh kesadaran masyarakat mengkonsumsi daging ayam. Pada tahun
1981 usaha peternakan ayam broiler banyak dikuasai oleh pengusaha dengan
skala besar, sedangkan peternak kecil semakin sulit dalam melakukan usaha ini.
Dalam rangka melindungi peternak kecil yang semakin tertekan karena dominasi
pengusaha ayam broiler skala besar, pemerintah pada saat itu mengeluarkan
kebijakan berupa Keputusan Presiden No.51 yang intinya membatasi jumlah ayam
petelur konsumsi paling banyak 5.000 ekor dan ayam broiler sebanyak 750 ekor
per minggu.
Munculnya kebijakan tersebut akhirnya menghambat perkembangan
peternakan ayam broiler di Indonesia. Selama sembilan tahun berjalan, kebijakan
tersebut menyebabkan sektor peternakan tidak berkembang. Oleh karena itu
akhirnya Keputusan Presiden No.51 tersebut dicabut dan diganti dengan kebijakan
tanggal 28 Mei 1990. Kebijakan ini merangsang berdirinya peternakan-peternakan
12
besar untuk tujuan ekspor dan menjadi industri peternakan yang handal dan
menjadi sektor penggerak perekonomian (Suharno, 2002).
Perubahan drastis terjadi pada sektor peternakan saat krisis moneter tahun
1997. Industri perunggasan merupakan salah satu sektor peternakan yang
mengalami kemunduran. Harga bahan baku impor untuk industri perunggasan
menjadi sangat tinggi, sementara harga ayam dan telur domestik terus menurun
seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat. Akibatnya, permintaan pakan
dan DOC juga menurun dan berdampak pada penurunan populasi ternak di
Indonesia. Pada tahun 1998 populasi ayam broiler berkurang hingga 80 persen
dari tahun sebelumnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa agribisnis ayam
broiler belum memiliki ketangguhan dan kemampuan penyesuaian diri
menghadapi perubahan besar lingkungan ekonomi eksternal. Faktor penyebabnya
adalah ketergantungan peternakan Indonesia pada impor bahan baku utama yaitu
pakan dan bibit (Saragih 2001). Pada akhir tahun 1998, usaha peternakan unggas
mulai berkembang. Harga daging ayam dan telur mulai dapat dikendalikan dan
memberi keuntungan bagi para peternak, walaupun pada saat ini mayoritas
peternak sudah tidak berusaha secara mandiri melainkan bergabung menjadi mitra
perusahaan terpadu (Suharno 2002).
2.1.2.Ayam Broiler
Ayam ras merupakan ayam yang mempunyai sifat tenang, bentuk tubuh
besar, pertumbuhan cepat, kulit putih dan bulu merapat ke tubuh (Suprijatna et al.,
2005). Ayam ras pedaging memiliki daging lembut, kulit halus dan tulang dada
yang lunak (Esminger, 1980). Ayam ras pedaging merupakan ayam penghasil
13
daging yang memiliki kecepatan tumbuh pesat dalam kurun waktu yang singkat
(Yuwanta, 2004). Pada bangsa ayam penghasil daging (broiler), tujuan
pemeliharaan adalah bagaimana daging dapat dihasilkan dalam waktu yang
singkat tetapi dengan bobot yang maksimal, supaya jaringan daging tumbuh lebih
cepat maka zat makanan protein haruslah diberikan secara maksimal tetapi karena
yang menggerakkan kegiatan menghasilkan daging ini adalah energi juga harus
diberikan secara maksimal (Widodo, 2014).
Ayam ras pedaging disebut juga Broiler, yang merupakan jenis ras unggulan
hasil dari persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas
tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam pedaging adalah jenis
ternak bersayap dari kelas aves yang telah didomestikasikan dan cara hidupnya
diatur oleh manusia dengan tujuan untuk memberikan nilai ekonomis dalam
bentuk daging (Yuwanta, 2004).
Ayam potong atau ayam ras pedaging lebih dikenal dengan nama ayam
broiler. Pada awalnya, ayam broiler komersial hanya berkembang di benua
Amerika dan Eropa. Sejalan dengan perkembangan globalisasi, penyebaran
penduduk, sarana transportasi, ayam broiler komersial yang telah dikembangkan
potensi genetiknya menyebar hampir ke seluruh pelosok dunia. Selama 2 abad
terakhir ini lebih dari 300 galur murni dan bermacam-macam jenis ayam telah
dikembangkan. Tetapi hanya ada beberapa yang bertahan untuk usaha komersial
di industri perunggasan. Pada saat awal usaha komersial industri perunggasan,
banyak usaha perkembangbiakan ayam dengan menyilangkan beberapa galur
murni untuk meningkatkan produktivitas dari ayam sehingga berkembanglah jenis
14
ayam baru (Intani, 2006). Dengan berbagai macam strain ayam ras pedaging yang
telah beredar dipasaran, peternak tidak perlu risau dalam menentukan pilihannya.
Sebab semua jenis strain yang telah beredar memiliki daya produktifitas relatif
sama. Artinya seandainya terdapat perbedaan, perbedaannya tidak menyolok atau
sangat kecil sekali. Dalam menentukan pilihan strain apa yang akan dipelihara,
peternak dapat meminta daftar produktifitas atau prestasi bibit yang dijual di
Poultry Shoup (Murni, 2009).
Menurut Rasyaf (2006), ayam pedaging adalah ayam jantan dan ayam
betina muda yang berumur dibawah 6 minggu ketika dijual dengan bobot badan
tertentu, mempunyai pertumbuhan cepat, serta dada yang lebar dengan timbunan
daging yang banyak.Broiler adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil
budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu
pertambahan bobot badan yang cepat, konversi ransum yang baik dan dapat
dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih
cepat dan efisien serta menghasilkan kualitas daging yang baik (Fitria, 2011).
Murtidjo dalam Fitria (2011), menyatakan bahwa ayam broiler dapat
digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara
khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri berikut:
kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat,
lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.
Ayam pedaging mempunyai peranan penting sebagai sumber protein
hewani. Menurut Amrullah (2004), ayam pedaging merupakan ayam yang
mempunyai kemampuan menghasilkan daging yang banyak dengan kecepatan
15
pertumbuhan yang cepat dalam satuan waktu yang singkat untuk mencapai berat
badan tertentu.
2.1.3.Kepadatan Populasi Ternak Ayam
Tujuan dari mengatur kepadatan ayam dalam kandang adalah untuk
menjaga agar lingkungan dalam kandang tetap nyaman dan ayam mempunyai
ruang yang cukup untuk makan dan minum, sehingga pertumbuhan lebih seragam
dan kualitas karkas baik secara optimal dalam pencapaian indek performance-nya.
Tingkat kepadatan yang cukup tinggi dalam kandang dapat menurunkan daya
dukung lingkungan untuk ayam. Tingkat kepadatan ayam yang cukup tinggi
dalam kandang akan meningkatkan temperatur lingkungan kandang, ruang untuk
ayam dapat makan dan minum menjadi sempit sehingga ayam kesulitan untuk
mencapai tempat makan dan minum, serta kualitas udara dalam kandang pun
menjadi menurun. Kondisi ini tentunya menyebabkan ayam jadi mudah
mengalami stress dan dapat menurunkan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi
penyakit serta pertumbuhan ayam menjadi tidak merata (Primavatecom, 2005).
Kandang yang panas dan lembab akan menyulitkan ternak menyeimbangkan
panas tubuhnya untuk itu maka kepadatan kandang optimum 8 ekor/m2
(Nuriyasa, 2003). Kepadatan yang normal biasanya 1 m : 10 ekor, ini dikarenakan
dengan sistem kandang tertutup maka suhu ruangan bisa diatur lebih dingin,
sehingga untuk kepadatan lebih efisien (Sulistyoningsih, 2003).
16
2.2.Jarak Kandang
2.2.1.Perkandangan
Perkandangan pada ternak unggas merupakan kumpulan dari unit-unit
kandang dalam peternakan unggas. Pada pemeliharaan unggas secara ekstensif,
kandang hanya berfungsi sebagai tempat istirahat atau tidur di malam hari dan
bertelur. Pada pemeliharaan secara semi intensif, fungsi kandang meningkat selain
sebagai tempat istirahat atau tidur di malam hari juga berperan dalam melakukan
sebagian kegiatan seperti makan dan berproduksi. Pada pemeliharaan secara
intensif kandang berperan sangat besar sebagai tempat unggas untuk istirahat,
makan, minum, berproduksi, dan semua aktifitas unggas dilakukan di dalam
kandang (Achmanu dan Muharlien, 2011).
Ada beberapa macam tipe perkandangan yaitu kandang terbuka (Open
House) dan kandang tertutup (Closed House). Kandang merupakan bangunan
yang digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berteduh dari cuaca yang
beriklim panas, hujan, angin kencang dan gangguan lainnya serta memberikan
rasa nyaman bagi ayam (Mulyantini, 2010).
Closed house merupakan kandang sistem tertutup yang dapat menjamin
keamanan biologis pada ayam seperti kontak dengan organisme menggunakan
pengaturan ventilasi yang baik sehingga suhu didalam kandang menjadi lebih
rendah di banding suhu luar kandang, kelembapan, kecepatan angin dan cahaya
yang masuk kedalam kandang dapat diatur secara optimal sehingga tercipta
kondisi yang nyaman bagi ayam, hal ini akan dapat menghindari stress pada ayam
secara berlebihan (Wurlina et al., 2011). Prinsip closed house yaitu menyediakan
17
udara yang sehat. Membangun kandang ayam dengan menyediakan udara yang
sehat dengan sistem ventilasi yang baik dan pergantian udara yang lancar yaitu
menghadirkan udara yang sebanyak-banyaknya mengandung oksigen dan
mengeluarkan sesegera mungkin gas berbahaya seperti karbondioksida dan
amoniak (Ratnani et al., 2009).
2.2.2.Letak Kandang
Lokasi peternakan yang ideal biasanya jauh dari lokasi pemukiman
penduduk, namum memiliki akses transportasi yang lancar. Jarak antar peternakan
juga perlu diperhatikan, minimal 1 km (Sudaryani dan Santosa, 2003). Pemilihan
letak kandang harus memperhatikan kondisi tanah, masuknya sinar matahari,
ketersediaan sumber air, arah angin, transportasi lancar, terisolir dan mudah
diperluas (Mulyantini, 2010).
Pendirian sebuah peternakan ayam seharusnya memilih tempat yang
lokasinya jauh dengan pemukiman masyarakat. Hal ini untuk menjaga agar
dampak yang ditimbulkan oleh kandang ayam tidak sampai ke pemukiman
masyarakat. Arah kandang sebaiknya disesuaikan dengan kecenderungan arah
angin agar penularan penyakit lewat hembusan angin dapat di hindari semaksimal
mungkin. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2014, disebutkan bahwa jarak terdekat antara kandang dengan bangunan
lain bukan kandang minimal 25 (dua puluh lima) meter. Jarak ini dapat
mengurangi resiko penularan penyakit dan juga mencegah merambatnya api bila
terjadi kebakaran.
18
2.2.3.Konstruksi Kandang
Bangunan atau konstruksi kandang terdiri dari atap, dinding dan lantai.
Konstruksi ini juga dapat dijadikan dasar tipe atau jenis kandang yang digunakan
oleh peternak tersebut (Suprijatna et al., 2005). Konstruksi kandang yang baik
ratarata bisa bertahan 10-20 tahun. Prinsipnya kandang harus dibuat dari bahan
yang kuat dan tahan lama. Banyak bentuk dan konstruksi kandang yang bisa
dibangun tetapi semuanya harus didasarkan pada kegunaan dan rencana usaha
yang dijalankan (Fadilah et al., 2007).
1. Atap
Ada beberapa bentuk atap yang umum digunakan untuk kandang unggas,
dimana setiap bentuk akan berpengaruh terhadap sirkulasi udara dari dalam ke
luar dan dari luar ke dalam kandang. Bentuk monitor menjadikan sirkulasi udara
lebih lancar dan membantu mengeluarkan debu dan ammonia dari dalam kandang.
Pemilihan bahan atap kandang merupakan salah satu usaha untuk mengendalikan
faktor lingkungan sehingga ternak dapat hidup dengan nyaman dalam kandang
(Mulyantini, 2010).
Pemilihan bahan atap kandang juga merupakan salah satu usaha penting
untuk mengendalikan faktor lingkungan sehingga ternak dapat hidup dengan
nyaman dalam kandang, karena masing-masing bahan atap kandang mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda dalam menyimpan dan menyebarkan panas
lingkungan (Charles, 1981). Masing-masing bahan atap yang digunakan
mempunyai daya serap yang berbeda-beda, dengan cara konveksi, konduksi dan
19
radiasi panas yang disebarkan ke dalam ruangan kandang yang dapat berpengaruh
pada produktivitas ayam (Esmay, 1978).
2. Dinding
Pada kandang ayam broiler maupun petelur, dinding yang terbuka terbuat
dari anyaman kawat, biasa dilengkapi dengan tirai plastik atau goni untuk
menghalangi angin langsung dan mempertahankan suhu udara pada malam hari
(Juriah, 2013). Ayam petelur pada umumnya dipelihara pada kandang battery
ditempatkan dalam ruangan yang berdinding. Tirai biasanya berupa terpal atau
plastic tebal, yang dipasang melingkupi seluruh kandang. Fungsinya melindungi
kandang dari cuaca dingin pada saat ayam belum tumbuh bulu, pada malam hari
atau saat musim hujan.
Tirai ini diatur sesuai kebutuhan yaitu umur anak ayam dan bahan yang
digunakan secara umum plastik dan kain (Jayanata dan Harianto, 2011). Dinding
yang baik pada kandang closed house dapat menjamin tidak adanya udara yang
masuk dari dinding (Sudaryani dan Santoso, 2003).
3. Ventilasi
Ventilasi sangat penting untuk mewujudkan kenyamanan dan pertukaran
udara yang terus menerus agar menjaga kesegaran udara (Murtidjo, 1987).
Kandang memiliki sistem ventilasi berupa blower, cooling pad yang berfungsi
untuk mengatur suhu, kecepatan angin dan kelembapan (Kartasudjana dan
Suprijatna, 2010). Cooling pad di pasang di bagian samping kiri dan kanan depan
kandang yang berfungsi untuk memasukkan udara ke dalam kandang, udara kotor
atau panas dapat disaring oleh celdek pada cooling pad yang berfungsi sebagai
20
penyaring dan apabila udara dari luar panas masuk kedalam kandang maka air
pada motor cooling pad akan turun melalui celdek supaya udara yang masuk ke
dalam kandang akan terasa dingin dan ayam akan merasa tetap nyaman pada suhu
lingkungan dalam kandang (Indrawansyah, 2014).
4. Lantai
Ada dua macam lantai yang biasa dipakai oleh peternak di Indonesia, yakni
lantai rapat (litter) dan lantai berlubang. Keuntungan dari lantai litter antara lain
keadaan kandang lebih hangat dan pengelolaannya lebih mudah. Kerugiannya
adalah terjadinya fermentasi litter yang menghasilkan gas metan dan amonia yang
dapat meningkatkan suhu udara dalam kandang sehingga dapat menyebabkan
perubahan tingkah laku yaitu timbulnya sifat agresif (Duncan et al., 1971).
Kandang dengan tipe litter pengelolaannya lebih mudah dan praktis, hemat tenaga
dan waktu, lantai kandang relatif tahan lama, lantai tidak mengakibatkan telapak
kaki ayam terluka dan mengeras. Lantai beralas sering juga disebut sistem litter
yang lantainya diberi alas setebal 5-10 cm (Suprijatna et al., 2005).
5. Peralatan Kandang
Kandang juga harus dilengkapi dengan peralatan penunjang seperti tempat
pakan dan minum, indukan atau brooder serta alat-alat sanitasi. Peralatan
penunjang harus memadai baik secara kualitas maupun kuantitas agar tidak terjadi
kompetisi yang akan mengakibatkan stress terutama pada ayam yang dipelihara
dengan sistem litter karena ayam dipelihara secara berkelompok (Suprijatna et al.,
2005). Peralatan kandang membantu dalam pekerjaan didalam kandang. Peralatan
yang terdapat didalam kandang antara lain: tempat pakan, tempat minum, dan
21
sangkar (nest). Peralatan kandang harus mudah dibersihkan agar menjaga kandang
dari penyakit (Fadilah et al., 2007).
6. Tempat Pakan dan Tempat Minum
Tempat pakan yang umum digunakan pada proses pemeliharaan ayam
pedaging ada 2 macam. Chick feeder tray merupakan tempat pakan yang
digunakan selama proses pemeliharaan satu hari sampai satu atau dua minggu
dengan kapasitas 100 DOC/buah. Setelah itu tempat pakan untuk ayam diganti
seluruhnya dengan tempat pakan ayam dewasa. Pada umumnya menggunakan
round feeder (tempat pakan bundar) dengan kapasitas yang berbeda-beda (Murni,
2009). Ayam pedaging harus memiliki tempat pakan dan minum yang memadai
sesuai umurnya, semakin banyak umurnya maka perlu ditambah jumlah tempat
pakan dan minum. Pada umur pemeliharaan 1 sampai 14 hari minimal diperlukan
lebar tempat pakan dan minum 2 inchi per ekornya. Metode pengisian pakan tidak
perlu dianjurkan untuk mengisi penuh. Hal ini untuk menghindari tercecernya
pakan (Miller and Madsen, 1993).
Terdapat dua jenis tipe tempat minum yang digunakan selama pemeliharaan
ayam pedaging yaitu chick found yang digunakan pada umur satu hari sampai satu
atau dua minggu dengan kapasitas 75 DOC/buah. Tempat air bundar (round
drinker) untuk ayam yang berumur lebih dari 2 minggu baik yang manual atau
secara otomatis (Murni, 2009). Tempat minum yang bisa disediakan untuk ayam
baik yang model konvensional atau yang modern seperti bilahan pipa paralon,
bilahan bambu, botol aqua yang dilubangi tengahnya, nipple (tempat minum
otomatis untuk satuan), gallon minum manual dan gallon minum otomatis.
22
Sebagai patokan dibutuhkan sekitar 3 buah tempat minum ukuran 1 litter untuk
100 ekor anak ayam dan pada umur 6 minggu sampai siap jual dibutuhkan tempat
minum 6 buah dengan ukuran 2 litter untuk jumlah ayam yang sama (Prihatman,
2003).
7. Pemanas
Ayam pedaging membutuhkan sumber panas untuk menjaga suhu tubuh
agar lebih stabil. Pemanas pada 7 hari pertama sangat penting dilakukan saat
memelihara ayam pedaging. Suhu yang rendah akan membuat pertumbuhan
terhambat. Suhu yang tinggi akan membuat ayam pedaging mudah dehidrasi dan
menyebabkan kematian atau pertumbuhan terhambat (Miller and Madsen, 1993).
Pemanasan secara langsung yaitu memanaskan udara dengan alat pemanas secara
konveksi dan memasukkan udara panas tersebut ke dalam ruangan, sedangkan
pemanas tidak langsung adalah memanaskan udara yang ada di dalam ruangan
dengan alat pemanas secara radiasi sehingga meningkatkan temperature ruang
(Risnajati, 2011). Suhu induk buatan yang baik untuk anak ayam tergantung pada
jenis induk buatan yang digunakan. Suhu lantai di bawah induk buatan yaitu 32oC
pada hari pertama, diturunkan kira-kira 2,8oC per minggu. Pada umur 2 minggu
sampai dipasarkan, unggas tidak membutuhkan lagi alat pemanas buatan dan suhu
lingkungan diusahakan tetap 21oC. Alat pemanas bisa terbuat dari lampu pijar,
petromaks, listrik atau infra merah (Mulyantini, 2010).
8. Pencahayaan (lighting)
Program pencahayaan mempunyai tujuan untuk memperlambat kecepatan
pertumbuhan awal dari ayam pedaging untuk mencapai dewasa fisiologis sebelum
23
kecepatan maksimal pertumbuhan atau perkembangan otot (Setianto, 2009).
Pengaruh cahaya pada unggas tergantung 3 faktor yaitu panjang gelombang,
intensitas dan lama pencahayaan. Intensitas cahaya yang cukup dapat
memperbaiki konversi pakan, bobot tubuh dan mengurangi kanibalisme
(Mulyantini, 2010).
2.3.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.3.1.Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan
pengertian sebagai berikut (Yudarmawan, 2012):
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernapasan (respiratory tract).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
24
Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala
biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Menurut
Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit
Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas
mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah
suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran
pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung
tidak lebih dari 14 hari.
2.3.2.Etiologi dan Gejala Penyakit ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia (Depkes
RI, 2005). Bakteri penyebab ISPA seperti: Diplococcus pneumonia,
Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus
influenza, Bacillus Friedlander. Virus seperti : Respiratory syncytial virus, virus
influenza, adenovirus, cytomegalovirus. Jamur seperti : Mycoplasma pneumoces
dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergillus, Candida albicans (Kurniawan
dan Israr, 2009).
Menurut Suhandayani (2007) etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan
25
Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus,
Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur
fungsi siliare (Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang
oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan
dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).
Menurut WHO (2007), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular,
hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh,
misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa
panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut
membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak
terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran
tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum
26
gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza
(pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas).
Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah:
1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal
pada waktu berbicara atau menangis).
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba.
2. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu
tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung
jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan
arloji.
b. Suhu lebih dari 39 oC (diukur dengan termometer).
c. Tenggorokan berwarna merah.
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
27
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
a. Bibir atau kulit membiru.
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
g. Tenggorokan berwarna merah.
2.3.3.Cara penularan penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (WHO, 2007).
28
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah
satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang
biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak
menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah
tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar
kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah
mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak
nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung
zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen
yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2012).
2.3.4.Diagnosis ISPA
Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh
utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS,
malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita
meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita.
Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan
karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi
yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian
terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang
terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011).
Diagnosis etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan
karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan
imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya
29
bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi
paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif
untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosis bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus. Diagnosis pnemonia pada balita
didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai peningkatan
frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Penentuan napas cepat dilakukan
dengan cara menghitung frekuensi pernapasan dengan menggunakan sound timer.
Batas napas cepat (Kemenkes RI, 2011) adalah:
1. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per
menit atau lebih.
2. Pada anak usia 2 bulan – <1 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
3. Pada anak usia 1 tahun – <5 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per
30
menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah
bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala
batuk atau kesukaran bernapas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak
dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk
pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-
pnemonia lainnya.
2.3.5.Klasifikasi ISPA
Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut:
1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38 ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 oC),
pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat,
sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan
abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
2. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
31
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas) tanpa
pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.
e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit
walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang
adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding
dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.
3. Kelompok umur dewasa yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk
terkena pneumonia (Kurniawan dan Israr, 2009), yaitu:
a. Usia lebih dari 65 tahun
b. Merokok
c. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan
penyakit kronis lain.
d. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan
emfisema.
e. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan
penyakit jantung.
f. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ,
kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
32
g. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan
sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
h. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh
virus.
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2005) adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
2.3.6.Distribusi penyakit ISPA
1. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan orang
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum
kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-
anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah,
proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang
anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Djaja et al. (2011) dengan menganalisis data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2015, didapatkan bahwa prevalensi penyakit
33
ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia < 6 bulan (4,5%), 6-11 bulan
(11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59
bulan (8,0%). Prevalensi ISPA pada anak lakilaki (9,4%) hampir sama dengan
perempuan (9,3%).
2. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan
penyebab morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara
berkembang morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi
terutama disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia. Berdasarkan
penelitian Djaja et. al. (2011) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan
sebesar 11,2%, sementara di pedesaan 8,4%; di Jawa-Bali 10,7%, dan di luar
Jawa-Bali 7,8%. Berdasarkan klasifikasi daerah, prevalensi ISPA untuk daerah
tidak tertinggal sebesar 9,7%, sementara di daerah tertinggal 8,4%.
3. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan waktu
Sinaga (2007), dalam penelitiannya yang menganalisis catatan bulanan
didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai signifikan
sebesar 0,552 (> 0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara waktu
dengan jumlah penderita bukan pneumonia pada balita usia 1 – 4 tahun.
2.3.7.Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA
1. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
34
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus,
Coxsackie, dan Echo (WHO, 2007).
2. Manusia
a. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Anom (2016), risiko untuk terkena ISPA
pada anak yang lebih muda umurnya lebih besar dibandingkan dengan anak
yang lebih tua umurnya. Dari hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh
umur terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Dengan demikian, umur
merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja
Puskesmas Blahbatuh II, dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak
Balita yang berumur <3 tahun sebesar 2,56 kali lebih besar daripada anak
Balita yang berumur ≥ 3 tahun. Hal berbeda justru terlihat dari hasil penelitian
Daroham dan Mutiatikum (2009) yang menyebutkan bahwa yang berusia di
atas 15 tahun lebih banyak menderita sakit ISPA (61,83%) dibandingkan
dengan yang berusia di bawah 15 tahun (38,17%).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009)
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama
ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut
beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6 tahun.
35
c. Status gizi
Hasil penelitian Nuryanto (2012) di Palembang menyebutkan bahwa
balita yang status gizinya kurang menyebabkan ISPA sebesar 29,91 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi baik.
d. Berat badan lahir rendah
Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota
Makkasar, didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu
<2.500 gram, menderita pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0.001 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai p < α, berarti ada hubungan antara berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan kejadian pneumonia.
e. Status ASI eksklusif
Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam
proses tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari)
payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat
kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12
bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat.
Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI
Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru
diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa
36
kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan
komplikasi post natal.
Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA
sering lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan
secara parsial sebesar 87,5% dan pola pemberian ASI secara predominan
sebagian besar mengalami ISPA dengan frekuensi jarang (82,1%), sementara
yang tidak mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak dengan pola pemberian
ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak diberikan ASI mengalami
kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih tinggi
dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak ada
hubungan antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi
kejadian ISPA yang sering pada anak usia 6-12 bulan.
f. Status imunisasi
Menurut Depkes RI (1997), imunisasi adalah suatu upaya untuk
melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan
terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada
pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa
jenis penyakit, seperti: polio (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver
(hati), tetanus, dan pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian
dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai
dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG: 0-11 bulan,
DPT 3 kali: 2-11 bulan, Polio 4 x: 0-11 bulan, Campak 1 kali: 9-11 bulan,
37
Hepatitis B 3 kali: 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih
dari 1 kali adalah 4 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Catiyas (2012), ada hubungan yang
bermakna antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.
Balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih
besar untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita dengan
status imunisasi lengkap.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian penyakit
ISPA. Faktor lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar rumah.
Untuk faktor yang berasal dari dalam rumah sangat dipengaruhi oleh kualitas
sanitasi dari rumah itu sendiri, seperti:
a. Kelembaban ruangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah
40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab
ISPA (Kemenkes RI, 2011).
Penelitian Nindya dan Sulistyorini (2005), tentang hubungan sanitasi
rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita yang dilakukan di tiga daerah
yang berbeda, yaitu di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota
Surabaya, Desa Sidomulyo Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, dan di
38
Desa Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara didapatkan
bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap ISPA pada balita.
b. Suhu ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum
18-30 oC. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 18 oC atau di atas
30 oC, keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011).
c. Penerangan alami
Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu
rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan
perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu
ruangan yang terlalu banyak mendapatkan cahaya akan menimbulkan rasa
silau, sehingga ruangan menjadi tidak sehat. Agar rumah atau ruangan
mempunyai sistem cahaya yang baik, dapat dipergunakan dua cara (Kemenkes
RI, 2011), yaitu:
1) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di
alam, seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Pencahayaan alami
dianggap baik jika besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan
dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat
langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain.
Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk
cahaya. Lokasi penempatan jendelapun harus diperhatikan dan diusahakan
agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
39
2) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan.
d. Ventilasi
Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena
ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk dan
keluar angin sekaligus udara dari luar ke dalam dan sebaliknya. Dengan adanya
jendela sebagai lubang ventilasi, maka ruangan tidak akan terasa pengap
asalkan jendela selalu dibuka. Untuk lebih memberikan kesejukan, sebaiknya
jendela dan lubang angin menghadap ke arah datangnya angin, diusahakan juga
aliran angin tidak terhalang sehingga terjadi ventilasi silang (cross ventilation).
Fungsi ke dua dari jendela adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar
(cahaya alam/matahari). Suatu ruangan yang tidak mempunyai sistem ventilasi
yang baik akan menimbulkan beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar
oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu dan
kelembaban udara meningkat. Keadaan yang demikian dapat merugikan
kesehatan dan atau kehidupan dari penghuninya, bukti yang nyata pada
kesehatan menunjukkan terjadinya penyakit pernapasan, alergi, iritasi
membrane mucus dan kanker paru. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan
mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10%
dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
40
Berdasarkan hasil penelitian Yudarmawan (2012), prevalensi rate ISPA
pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 56,5%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 43,5%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05),
nilai sig p=0,003.
e. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam
rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan
hunian ruang tidur menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
adalah minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun (Depkes RI,
1999).
f. Penggunaan anti nyamuk
Pemakaian obat nyamuk bakar merupakan salah satu penghasil bahan
pencemar dalam ruang. Obat nyamuk bakar menggunakan bahan aktif
octachloroprophyl eter yang apabila dibakar maka bahan tersebut
menghasilkan bischloromethyl eter (BCME) yang diketahui menjadi pemicu
penyakit kanker, juga bisa menyebabkan iritasi pada kulit, mata, tenggorokan
dan paru-paru (Kemenkes RI, 2011).
g. Bahan bakar untuk memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat
menyebabkan kualitas udara menjadi rusak, terutama akibat penggunaan energi
41
yang tidak ramah lingkungan, serta penggunaan sumber energi yang relatif
murah seperti batubara dan biomasa (kayu, kotoran kering dari hewan ternak,
residu pertanian) (Kemenkes RI, 2011).
h. Keberadaan perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif.
Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya merupakan racun
antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
(PAHs) dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Nasution et al. (2009) serta Winarni et al.
(2010), didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan asap rokok
dengan kejadian ISPA pada Balita.
i. Debu rumah
Menurut Kemenkes RI (2011a), partikel debu diameter 2,5μ (PM2,5) dan
Partikel debu diameter 10μ (PM10) dapat menyebabkan pneumonia, gangguan
system pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis kronis. PM2,5 dapat masuk
ke dalam paru yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan
kanker paru-paru serta gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS).
Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari pengaruh udara luar
(kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktivitas industri). Sumber dari
dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan
energi masak dari bahan bakar biomasa, dan penggunaan obat nyamuk bakar.
42
j. Dinding rumah
Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga
untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan
juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk
mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising
damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor
penyebab kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding
yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering
disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya
kelembaban dari tanah (rising damp) Dinding dari anyaman bambu yang tahan
terhadap segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah
terbakar dan tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi
(Depkes RI, 1999).
k. Status ekonomi dan pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.
Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan
pengobatan yang akan diterima oleh anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja et al. (2011), didapatkan bahwa bila
rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar,
maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih
banyak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status
43
ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan
dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah. Ibu dengan
pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas
kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati
sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan
minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan
kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini
disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala
penyakit yang diderita oleh balitanya.

More Related Content

Similar to BAB II.docx

MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013
MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013
MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013Gyanti APutry
 
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdf
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdfMANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdf
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdfYuziNosfris
 
FREE TEMPLATE WBB.pptx
FREE TEMPLATE WBB.pptxFREE TEMPLATE WBB.pptx
FREE TEMPLATE WBB.pptxNovaAldi
 
AT Modul 1 kb 1
AT Modul 1 kb 1AT Modul 1 kb 1
AT Modul 1 kb 1PPGhybrid3
 
laporan produksi ternak unggas
laporan produksi ternak unggaslaporan produksi ternak unggas
laporan produksi ternak unggasNurul Afriyanti
 
Teknis budidaya sapi potong
Teknis budidaya sapi potongTeknis budidaya sapi potong
Teknis budidaya sapi potongsujononasa
 
Budidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurBudidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurLaf Fianss
 
Budidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurBudidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurLaf Fianss
 
0812 2838-0678 budidaya beternak kambing
0812 2838-0678 budidaya  beternak kambing0812 2838-0678 budidaya  beternak kambing
0812 2838-0678 budidaya beternak kambingusahakambingternak
 
Saduran prospek pembibitan sapi
Saduran prospek pembibitan sapiSaduran prospek pembibitan sapi
Saduran prospek pembibitan sapiSang Thothon
 
AT Modul 5 kb 1
AT Modul 5 kb 1AT Modul 5 kb 1
AT Modul 5 kb 1PPGhybrid3
 
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdf
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdfBudidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdf
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdfLuxShyn
 

Similar to BAB II.docx (20)

Budidayaayampetelur
BudidayaayampetelurBudidayaayampetelur
Budidayaayampetelur
 
pembahasan.docx
pembahasan.docxpembahasan.docx
pembahasan.docx
 
Bab 1 pendahuluan
Bab 1 pendahuluanBab 1 pendahuluan
Bab 1 pendahuluan
 
MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013
MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013
MATERI PRAKARYA KELAS XI SEMESTER 2 (genap) KURIKULUM 2013
 
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdf
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdfMANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdf
MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK UNGGAS.pdf
 
FREE TEMPLATE WBB.pptx
FREE TEMPLATE WBB.pptxFREE TEMPLATE WBB.pptx
FREE TEMPLATE WBB.pptx
 
AT Modul 1 kb 1
AT Modul 1 kb 1AT Modul 1 kb 1
AT Modul 1 kb 1
 
Budidaya Ayam Petelur
Budidaya Ayam PetelurBudidaya Ayam Petelur
Budidaya Ayam Petelur
 
laporan produksi ternak unggas
laporan produksi ternak unggaslaporan produksi ternak unggas
laporan produksi ternak unggas
 
Teknis budidaya sapi potong
Teknis budidaya sapi potongTeknis budidaya sapi potong
Teknis budidaya sapi potong
 
Ternak Kambing
Ternak KambingTernak Kambing
Ternak Kambing
 
Budidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurBudidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelur
 
Budidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurBudidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelur
 
Budidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelurBudidaya ayam petelur
Budidaya ayam petelur
 
0812 2838-0678 budidaya beternak kambing
0812 2838-0678 budidaya  beternak kambing0812 2838-0678 budidaya  beternak kambing
0812 2838-0678 budidaya beternak kambing
 
Saduran prospek pembibitan sapi
Saduran prospek pembibitan sapiSaduran prospek pembibitan sapi
Saduran prospek pembibitan sapi
 
AT Modul 5 kb 1
AT Modul 5 kb 1AT Modul 5 kb 1
AT Modul 5 kb 1
 
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdf
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdfBudidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdf
Budidaya Unggas Petelur dengan Pengetahuan Dasar.pdf
 
834 852-1-pb
834 852-1-pb834 852-1-pb
834 852-1-pb
 
Ayam pedaging
Ayam pedagingAyam pedaging
Ayam pedaging
 

More from Iwan Hariyanto (20)

DIAGRAM KEMAMPUAN LITERACY.docx
DIAGRAM KEMAMPUAN LITERACY.docxDIAGRAM KEMAMPUAN LITERACY.docx
DIAGRAM KEMAMPUAN LITERACY.docx
 
BAB III.docx
BAB III.docxBAB III.docx
BAB III.docx
 
BAB I.docx
BAB I.docxBAB I.docx
BAB I.docx
 
Proposal bab iii r4
Proposal bab iii r4Proposal bab iii r4
Proposal bab iii r4
 
Proposal bab iii r3
Proposal bab iii r3Proposal bab iii r3
Proposal bab iii r3
 
Proposal bab iii r2
Proposal bab iii r2Proposal bab iii r2
Proposal bab iii r2
 
Proposal bab iii r
Proposal bab iii rProposal bab iii r
Proposal bab iii r
 
Proposal bab iii
Proposal bab iiiProposal bab iii
Proposal bab iii
 
Proposal bab ii
Proposal bab iiProposal bab ii
Proposal bab ii
 
Proposal bab i
Proposal bab iProposal bab i
Proposal bab i
 
Daftar isi
Daftar isiDaftar isi
Daftar isi
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnal
 
Mengukur aktivitas fisik
Mengukur aktivitas fisikMengukur aktivitas fisik
Mengukur aktivitas fisik
 
Rpp bjawa kelas iv santa maria
Rpp bjawa kelas iv santa mariaRpp bjawa kelas iv santa maria
Rpp bjawa kelas iv santa maria
 
Rpp bind kelas iv santa maria
Rpp bind kelas iv santa mariaRpp bind kelas iv santa maria
Rpp bind kelas iv santa maria
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Cover
CoverCover
Cover
 
Bab v
Bab vBab v
Bab v
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
 

Recently uploaded

Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptx
Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptxPersiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptx
Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptxunityfarmasis
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfMeiRianitaElfridaSin
 
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxMODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxsiampurnomo90
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxandibtv
 
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptx
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptxpertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptx
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptxSagitaDarmasari1
 
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024Zakiah dr
 
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.pptTrifenaFebriantisitu
 
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxKONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxmade406432
 
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruh
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruhPPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruh
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruhuntung untung edi purwanto
 
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptx
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptxPPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptx
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptxputripermatasarilubi
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxNadiraShafa1
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxika291990
 
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Codajongshopp
 
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxmarodotodo
 

Recently uploaded (14)

Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptx
Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptxPersiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptx
Persiapan Substansi RPP UU Kesehatan.pptx
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
 
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxMODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
 
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptx
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptxpertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptx
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.pptx
 
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
 
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt
1. ok MODEL DAN NILAI PROMOSI KESEHATAN.ppt
 
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxKONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
 
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruh
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruhPPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruh
PPT ILP PLANTUNGAN. kaji banding, ngangsu kawruh
 
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptx
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptxPPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptx
PPT sidang MAJU PROPOSAL 3 OKTOBER 2022.pptx
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
 
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
 
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
 

BAB II.docx

  • 1. 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka dalam penelitian ini berisi tentang konsep tingkat populasi ternak ayam, jarak kandang, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). 2.1.Populasi Ternak Ayam 2.1.1.Perkembangan Ayam Ras di Indonesia Perkembangan ayam broiler di Indonesia dimulai pada pertengahan dasawarsa 1970-an dan mulai terkenal pada awal tahun 1980-an. Laju perkembangan usaha ayam broiler sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi politik, serta kondisi keamanan (Fadilah 2006). Usaha komersial ayam broiler tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah dengan populasi ayam broiler tersebar di Indonesia bagian barat yaitu Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan data Ditjen Peternakan (2011), populasi ayam broiler terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Menurut Fadilah (2006), Indonesia bagian barat menjadi daerah penyebaran ayam broiler komersial karena hampir semua perusahaan pembibitan ayam broiler komersial serta pangsa pasar terbesar masih didominasi oleh Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Laju perkembangan usaha ayam broiler sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan
  • 2. 11 situasi ekonomi politik, serta kondisi keamanan (Fadilah 2006). Usaha komersial ayam broiler tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah dengan populasi ayam broiler tersebar di Indonesia bagian barat yaitu Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan data Ditjen Peternakan (2011), populasi ayam broiler terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Menurut Fadilah (2006), Indonesia bagian barat menjadi daerah penyebaran ayam broiler komersial karena hampir semua perusahaan pembibitan ayam broiler komersial serta pangsa pasar terbesar masih didominasi oleh Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Peternakan ayam di Indonesia mulai marak pada tahun 1980. Hal ini didukung oleh kesadaran masyarakat mengkonsumsi daging ayam. Pada tahun 1981 usaha peternakan ayam broiler banyak dikuasai oleh pengusaha dengan skala besar, sedangkan peternak kecil semakin sulit dalam melakukan usaha ini. Dalam rangka melindungi peternak kecil yang semakin tertekan karena dominasi pengusaha ayam broiler skala besar, pemerintah pada saat itu mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden No.51 yang intinya membatasi jumlah ayam petelur konsumsi paling banyak 5.000 ekor dan ayam broiler sebanyak 750 ekor per minggu. Munculnya kebijakan tersebut akhirnya menghambat perkembangan peternakan ayam broiler di Indonesia. Selama sembilan tahun berjalan, kebijakan tersebut menyebabkan sektor peternakan tidak berkembang. Oleh karena itu akhirnya Keputusan Presiden No.51 tersebut dicabut dan diganti dengan kebijakan tanggal 28 Mei 1990. Kebijakan ini merangsang berdirinya peternakan-peternakan
  • 3. 12 besar untuk tujuan ekspor dan menjadi industri peternakan yang handal dan menjadi sektor penggerak perekonomian (Suharno, 2002). Perubahan drastis terjadi pada sektor peternakan saat krisis moneter tahun 1997. Industri perunggasan merupakan salah satu sektor peternakan yang mengalami kemunduran. Harga bahan baku impor untuk industri perunggasan menjadi sangat tinggi, sementara harga ayam dan telur domestik terus menurun seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat. Akibatnya, permintaan pakan dan DOC juga menurun dan berdampak pada penurunan populasi ternak di Indonesia. Pada tahun 1998 populasi ayam broiler berkurang hingga 80 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa agribisnis ayam broiler belum memiliki ketangguhan dan kemampuan penyesuaian diri menghadapi perubahan besar lingkungan ekonomi eksternal. Faktor penyebabnya adalah ketergantungan peternakan Indonesia pada impor bahan baku utama yaitu pakan dan bibit (Saragih 2001). Pada akhir tahun 1998, usaha peternakan unggas mulai berkembang. Harga daging ayam dan telur mulai dapat dikendalikan dan memberi keuntungan bagi para peternak, walaupun pada saat ini mayoritas peternak sudah tidak berusaha secara mandiri melainkan bergabung menjadi mitra perusahaan terpadu (Suharno 2002). 2.1.2.Ayam Broiler Ayam ras merupakan ayam yang mempunyai sifat tenang, bentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat, kulit putih dan bulu merapat ke tubuh (Suprijatna et al., 2005). Ayam ras pedaging memiliki daging lembut, kulit halus dan tulang dada yang lunak (Esminger, 1980). Ayam ras pedaging merupakan ayam penghasil
  • 4. 13 daging yang memiliki kecepatan tumbuh pesat dalam kurun waktu yang singkat (Yuwanta, 2004). Pada bangsa ayam penghasil daging (broiler), tujuan pemeliharaan adalah bagaimana daging dapat dihasilkan dalam waktu yang singkat tetapi dengan bobot yang maksimal, supaya jaringan daging tumbuh lebih cepat maka zat makanan protein haruslah diberikan secara maksimal tetapi karena yang menggerakkan kegiatan menghasilkan daging ini adalah energi juga harus diberikan secara maksimal (Widodo, 2014). Ayam ras pedaging disebut juga Broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil dari persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam pedaging adalah jenis ternak bersayap dari kelas aves yang telah didomestikasikan dan cara hidupnya diatur oleh manusia dengan tujuan untuk memberikan nilai ekonomis dalam bentuk daging (Yuwanta, 2004). Ayam potong atau ayam ras pedaging lebih dikenal dengan nama ayam broiler. Pada awalnya, ayam broiler komersial hanya berkembang di benua Amerika dan Eropa. Sejalan dengan perkembangan globalisasi, penyebaran penduduk, sarana transportasi, ayam broiler komersial yang telah dikembangkan potensi genetiknya menyebar hampir ke seluruh pelosok dunia. Selama 2 abad terakhir ini lebih dari 300 galur murni dan bermacam-macam jenis ayam telah dikembangkan. Tetapi hanya ada beberapa yang bertahan untuk usaha komersial di industri perunggasan. Pada saat awal usaha komersial industri perunggasan, banyak usaha perkembangbiakan ayam dengan menyilangkan beberapa galur murni untuk meningkatkan produktivitas dari ayam sehingga berkembanglah jenis
  • 5. 14 ayam baru (Intani, 2006). Dengan berbagai macam strain ayam ras pedaging yang telah beredar dipasaran, peternak tidak perlu risau dalam menentukan pilihannya. Sebab semua jenis strain yang telah beredar memiliki daya produktifitas relatif sama. Artinya seandainya terdapat perbedaan, perbedaannya tidak menyolok atau sangat kecil sekali. Dalam menentukan pilihan strain apa yang akan dipelihara, peternak dapat meminta daftar produktifitas atau prestasi bibit yang dijual di Poultry Shoup (Murni, 2009). Menurut Rasyaf (2006), ayam pedaging adalah ayam jantan dan ayam betina muda yang berumur dibawah 6 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai pertumbuhan cepat, serta dada yang lebar dengan timbunan daging yang banyak.Broiler adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertambahan bobot badan yang cepat, konversi ransum yang baik dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta menghasilkan kualitas daging yang baik (Fitria, 2011). Murtidjo dalam Fitria (2011), menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging. Ayam pedaging mempunyai peranan penting sebagai sumber protein hewani. Menurut Amrullah (2004), ayam pedaging merupakan ayam yang mempunyai kemampuan menghasilkan daging yang banyak dengan kecepatan
  • 6. 15 pertumbuhan yang cepat dalam satuan waktu yang singkat untuk mencapai berat badan tertentu. 2.1.3.Kepadatan Populasi Ternak Ayam Tujuan dari mengatur kepadatan ayam dalam kandang adalah untuk menjaga agar lingkungan dalam kandang tetap nyaman dan ayam mempunyai ruang yang cukup untuk makan dan minum, sehingga pertumbuhan lebih seragam dan kualitas karkas baik secara optimal dalam pencapaian indek performance-nya. Tingkat kepadatan yang cukup tinggi dalam kandang dapat menurunkan daya dukung lingkungan untuk ayam. Tingkat kepadatan ayam yang cukup tinggi dalam kandang akan meningkatkan temperatur lingkungan kandang, ruang untuk ayam dapat makan dan minum menjadi sempit sehingga ayam kesulitan untuk mencapai tempat makan dan minum, serta kualitas udara dalam kandang pun menjadi menurun. Kondisi ini tentunya menyebabkan ayam jadi mudah mengalami stress dan dapat menurunkan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi penyakit serta pertumbuhan ayam menjadi tidak merata (Primavatecom, 2005). Kandang yang panas dan lembab akan menyulitkan ternak menyeimbangkan panas tubuhnya untuk itu maka kepadatan kandang optimum 8 ekor/m2 (Nuriyasa, 2003). Kepadatan yang normal biasanya 1 m : 10 ekor, ini dikarenakan dengan sistem kandang tertutup maka suhu ruangan bisa diatur lebih dingin, sehingga untuk kepadatan lebih efisien (Sulistyoningsih, 2003).
  • 7. 16 2.2.Jarak Kandang 2.2.1.Perkandangan Perkandangan pada ternak unggas merupakan kumpulan dari unit-unit kandang dalam peternakan unggas. Pada pemeliharaan unggas secara ekstensif, kandang hanya berfungsi sebagai tempat istirahat atau tidur di malam hari dan bertelur. Pada pemeliharaan secara semi intensif, fungsi kandang meningkat selain sebagai tempat istirahat atau tidur di malam hari juga berperan dalam melakukan sebagian kegiatan seperti makan dan berproduksi. Pada pemeliharaan secara intensif kandang berperan sangat besar sebagai tempat unggas untuk istirahat, makan, minum, berproduksi, dan semua aktifitas unggas dilakukan di dalam kandang (Achmanu dan Muharlien, 2011). Ada beberapa macam tipe perkandangan yaitu kandang terbuka (Open House) dan kandang tertutup (Closed House). Kandang merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berteduh dari cuaca yang beriklim panas, hujan, angin kencang dan gangguan lainnya serta memberikan rasa nyaman bagi ayam (Mulyantini, 2010). Closed house merupakan kandang sistem tertutup yang dapat menjamin keamanan biologis pada ayam seperti kontak dengan organisme menggunakan pengaturan ventilasi yang baik sehingga suhu didalam kandang menjadi lebih rendah di banding suhu luar kandang, kelembapan, kecepatan angin dan cahaya yang masuk kedalam kandang dapat diatur secara optimal sehingga tercipta kondisi yang nyaman bagi ayam, hal ini akan dapat menghindari stress pada ayam secara berlebihan (Wurlina et al., 2011). Prinsip closed house yaitu menyediakan
  • 8. 17 udara yang sehat. Membangun kandang ayam dengan menyediakan udara yang sehat dengan sistem ventilasi yang baik dan pergantian udara yang lancar yaitu menghadirkan udara yang sebanyak-banyaknya mengandung oksigen dan mengeluarkan sesegera mungkin gas berbahaya seperti karbondioksida dan amoniak (Ratnani et al., 2009). 2.2.2.Letak Kandang Lokasi peternakan yang ideal biasanya jauh dari lokasi pemukiman penduduk, namum memiliki akses transportasi yang lancar. Jarak antar peternakan juga perlu diperhatikan, minimal 1 km (Sudaryani dan Santosa, 2003). Pemilihan letak kandang harus memperhatikan kondisi tanah, masuknya sinar matahari, ketersediaan sumber air, arah angin, transportasi lancar, terisolir dan mudah diperluas (Mulyantini, 2010). Pendirian sebuah peternakan ayam seharusnya memilih tempat yang lokasinya jauh dengan pemukiman masyarakat. Hal ini untuk menjaga agar dampak yang ditimbulkan oleh kandang ayam tidak sampai ke pemukiman masyarakat. Arah kandang sebaiknya disesuaikan dengan kecenderungan arah angin agar penularan penyakit lewat hembusan angin dapat di hindari semaksimal mungkin. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014, disebutkan bahwa jarak terdekat antara kandang dengan bangunan lain bukan kandang minimal 25 (dua puluh lima) meter. Jarak ini dapat mengurangi resiko penularan penyakit dan juga mencegah merambatnya api bila terjadi kebakaran.
  • 9. 18 2.2.3.Konstruksi Kandang Bangunan atau konstruksi kandang terdiri dari atap, dinding dan lantai. Konstruksi ini juga dapat dijadikan dasar tipe atau jenis kandang yang digunakan oleh peternak tersebut (Suprijatna et al., 2005). Konstruksi kandang yang baik ratarata bisa bertahan 10-20 tahun. Prinsipnya kandang harus dibuat dari bahan yang kuat dan tahan lama. Banyak bentuk dan konstruksi kandang yang bisa dibangun tetapi semuanya harus didasarkan pada kegunaan dan rencana usaha yang dijalankan (Fadilah et al., 2007). 1. Atap Ada beberapa bentuk atap yang umum digunakan untuk kandang unggas, dimana setiap bentuk akan berpengaruh terhadap sirkulasi udara dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam kandang. Bentuk monitor menjadikan sirkulasi udara lebih lancar dan membantu mengeluarkan debu dan ammonia dari dalam kandang. Pemilihan bahan atap kandang merupakan salah satu usaha untuk mengendalikan faktor lingkungan sehingga ternak dapat hidup dengan nyaman dalam kandang (Mulyantini, 2010). Pemilihan bahan atap kandang juga merupakan salah satu usaha penting untuk mengendalikan faktor lingkungan sehingga ternak dapat hidup dengan nyaman dalam kandang, karena masing-masing bahan atap kandang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyimpan dan menyebarkan panas lingkungan (Charles, 1981). Masing-masing bahan atap yang digunakan mempunyai daya serap yang berbeda-beda, dengan cara konveksi, konduksi dan
  • 10. 19 radiasi panas yang disebarkan ke dalam ruangan kandang yang dapat berpengaruh pada produktivitas ayam (Esmay, 1978). 2. Dinding Pada kandang ayam broiler maupun petelur, dinding yang terbuka terbuat dari anyaman kawat, biasa dilengkapi dengan tirai plastik atau goni untuk menghalangi angin langsung dan mempertahankan suhu udara pada malam hari (Juriah, 2013). Ayam petelur pada umumnya dipelihara pada kandang battery ditempatkan dalam ruangan yang berdinding. Tirai biasanya berupa terpal atau plastic tebal, yang dipasang melingkupi seluruh kandang. Fungsinya melindungi kandang dari cuaca dingin pada saat ayam belum tumbuh bulu, pada malam hari atau saat musim hujan. Tirai ini diatur sesuai kebutuhan yaitu umur anak ayam dan bahan yang digunakan secara umum plastik dan kain (Jayanata dan Harianto, 2011). Dinding yang baik pada kandang closed house dapat menjamin tidak adanya udara yang masuk dari dinding (Sudaryani dan Santoso, 2003). 3. Ventilasi Ventilasi sangat penting untuk mewujudkan kenyamanan dan pertukaran udara yang terus menerus agar menjaga kesegaran udara (Murtidjo, 1987). Kandang memiliki sistem ventilasi berupa blower, cooling pad yang berfungsi untuk mengatur suhu, kecepatan angin dan kelembapan (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010). Cooling pad di pasang di bagian samping kiri dan kanan depan kandang yang berfungsi untuk memasukkan udara ke dalam kandang, udara kotor atau panas dapat disaring oleh celdek pada cooling pad yang berfungsi sebagai
  • 11. 20 penyaring dan apabila udara dari luar panas masuk kedalam kandang maka air pada motor cooling pad akan turun melalui celdek supaya udara yang masuk ke dalam kandang akan terasa dingin dan ayam akan merasa tetap nyaman pada suhu lingkungan dalam kandang (Indrawansyah, 2014). 4. Lantai Ada dua macam lantai yang biasa dipakai oleh peternak di Indonesia, yakni lantai rapat (litter) dan lantai berlubang. Keuntungan dari lantai litter antara lain keadaan kandang lebih hangat dan pengelolaannya lebih mudah. Kerugiannya adalah terjadinya fermentasi litter yang menghasilkan gas metan dan amonia yang dapat meningkatkan suhu udara dalam kandang sehingga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku yaitu timbulnya sifat agresif (Duncan et al., 1971). Kandang dengan tipe litter pengelolaannya lebih mudah dan praktis, hemat tenaga dan waktu, lantai kandang relatif tahan lama, lantai tidak mengakibatkan telapak kaki ayam terluka dan mengeras. Lantai beralas sering juga disebut sistem litter yang lantainya diberi alas setebal 5-10 cm (Suprijatna et al., 2005). 5. Peralatan Kandang Kandang juga harus dilengkapi dengan peralatan penunjang seperti tempat pakan dan minum, indukan atau brooder serta alat-alat sanitasi. Peralatan penunjang harus memadai baik secara kualitas maupun kuantitas agar tidak terjadi kompetisi yang akan mengakibatkan stress terutama pada ayam yang dipelihara dengan sistem litter karena ayam dipelihara secara berkelompok (Suprijatna et al., 2005). Peralatan kandang membantu dalam pekerjaan didalam kandang. Peralatan yang terdapat didalam kandang antara lain: tempat pakan, tempat minum, dan
  • 12. 21 sangkar (nest). Peralatan kandang harus mudah dibersihkan agar menjaga kandang dari penyakit (Fadilah et al., 2007). 6. Tempat Pakan dan Tempat Minum Tempat pakan yang umum digunakan pada proses pemeliharaan ayam pedaging ada 2 macam. Chick feeder tray merupakan tempat pakan yang digunakan selama proses pemeliharaan satu hari sampai satu atau dua minggu dengan kapasitas 100 DOC/buah. Setelah itu tempat pakan untuk ayam diganti seluruhnya dengan tempat pakan ayam dewasa. Pada umumnya menggunakan round feeder (tempat pakan bundar) dengan kapasitas yang berbeda-beda (Murni, 2009). Ayam pedaging harus memiliki tempat pakan dan minum yang memadai sesuai umurnya, semakin banyak umurnya maka perlu ditambah jumlah tempat pakan dan minum. Pada umur pemeliharaan 1 sampai 14 hari minimal diperlukan lebar tempat pakan dan minum 2 inchi per ekornya. Metode pengisian pakan tidak perlu dianjurkan untuk mengisi penuh. Hal ini untuk menghindari tercecernya pakan (Miller and Madsen, 1993). Terdapat dua jenis tipe tempat minum yang digunakan selama pemeliharaan ayam pedaging yaitu chick found yang digunakan pada umur satu hari sampai satu atau dua minggu dengan kapasitas 75 DOC/buah. Tempat air bundar (round drinker) untuk ayam yang berumur lebih dari 2 minggu baik yang manual atau secara otomatis (Murni, 2009). Tempat minum yang bisa disediakan untuk ayam baik yang model konvensional atau yang modern seperti bilahan pipa paralon, bilahan bambu, botol aqua yang dilubangi tengahnya, nipple (tempat minum otomatis untuk satuan), gallon minum manual dan gallon minum otomatis.
  • 13. 22 Sebagai patokan dibutuhkan sekitar 3 buah tempat minum ukuran 1 litter untuk 100 ekor anak ayam dan pada umur 6 minggu sampai siap jual dibutuhkan tempat minum 6 buah dengan ukuran 2 litter untuk jumlah ayam yang sama (Prihatman, 2003). 7. Pemanas Ayam pedaging membutuhkan sumber panas untuk menjaga suhu tubuh agar lebih stabil. Pemanas pada 7 hari pertama sangat penting dilakukan saat memelihara ayam pedaging. Suhu yang rendah akan membuat pertumbuhan terhambat. Suhu yang tinggi akan membuat ayam pedaging mudah dehidrasi dan menyebabkan kematian atau pertumbuhan terhambat (Miller and Madsen, 1993). Pemanasan secara langsung yaitu memanaskan udara dengan alat pemanas secara konveksi dan memasukkan udara panas tersebut ke dalam ruangan, sedangkan pemanas tidak langsung adalah memanaskan udara yang ada di dalam ruangan dengan alat pemanas secara radiasi sehingga meningkatkan temperature ruang (Risnajati, 2011). Suhu induk buatan yang baik untuk anak ayam tergantung pada jenis induk buatan yang digunakan. Suhu lantai di bawah induk buatan yaitu 32oC pada hari pertama, diturunkan kira-kira 2,8oC per minggu. Pada umur 2 minggu sampai dipasarkan, unggas tidak membutuhkan lagi alat pemanas buatan dan suhu lingkungan diusahakan tetap 21oC. Alat pemanas bisa terbuat dari lampu pijar, petromaks, listrik atau infra merah (Mulyantini, 2010). 8. Pencahayaan (lighting) Program pencahayaan mempunyai tujuan untuk memperlambat kecepatan pertumbuhan awal dari ayam pedaging untuk mencapai dewasa fisiologis sebelum
  • 14. 23 kecepatan maksimal pertumbuhan atau perkembangan otot (Setianto, 2009). Pengaruh cahaya pada unggas tergantung 3 faktor yaitu panjang gelombang, intensitas dan lama pencahayaan. Intensitas cahaya yang cukup dapat memperbaiki konversi pakan, bobot tubuh dan mengurangi kanibalisme (Mulyantini, 2010). 2.3.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.3.1.Definisi ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan pengertian sebagai berikut (Yudarmawan, 2012): a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract). c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
  • 15. 24 Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Menurut Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. 2.3.2.Etiologi dan Gejala Penyakit ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia (Depkes RI, 2005). Bakteri penyebab ISPA seperti: Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. Virus seperti : Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, cytomegalovirus. Jamur seperti : Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergillus, Candida albicans (Kurniawan dan Israr, 2009). Menurut Suhandayani (2007) etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan
  • 16. 25 Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain. ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003). Menurut WHO (2007), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum
  • 17. 26 gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas). Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah: 1. Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Batuk b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada waktu berbicara atau menangis). c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung. d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba. 2. Gejala dari ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji. b. Suhu lebih dari 39 oC (diukur dengan termometer). c. Tenggorokan berwarna merah. d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak. e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
  • 18. 27 f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur). g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut. 3. Gejala dari ISPA Berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Bibir atau kulit membiru. b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas. c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun. d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah. e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas. f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba. g. Tenggorokan berwarna merah. 2.3.3.Cara penularan penyakit ISPA Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (WHO, 2007).
  • 19. 28 ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2012). 2.3.4.Diagnosis ISPA Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011). Diagnosis etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya
  • 20. 29 bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosis bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus. Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Penentuan napas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernapasan dengan menggunakan sound timer. Batas napas cepat (Kemenkes RI, 2011) adalah: 1. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih. 2. Pada anak usia 2 bulan – <1 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih. 3. Pada anak usia 1 tahun – <5 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 40 kali per menit atau lebih. Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per
  • 21. 30 menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non- pnemonia lainnya. 2.3.5.Klasifikasi ISPA Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut: 1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas: a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38 ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 oC), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang. b. Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas. 2. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas: a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
  • 22. 31 b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum. c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada. d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas) tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada. e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan. 3. Kelompok umur dewasa yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk terkena pneumonia (Kurniawan dan Israr, 2009), yaitu: a. Usia lebih dari 65 tahun b. Merokok c. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan penyakit kronis lain. d. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan emfisema. e. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan penyakit jantung. f. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ, kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
  • 23. 32 g. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas. h. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2005) adalah sebagai berikut: 1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis. 2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia. 2.3.6.Distribusi penyakit ISPA 1. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan orang Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak- anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Djaja et al. (2011) dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015, didapatkan bahwa prevalensi penyakit
  • 24. 33 ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia < 6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%). Prevalensi ISPA pada anak lakilaki (9,4%) hampir sama dengan perempuan (9,3%). 2. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan tempat ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia. Berdasarkan penelitian Djaja et. al. (2011) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan sebesar 11,2%, sementara di pedesaan 8,4%; di Jawa-Bali 10,7%, dan di luar Jawa-Bali 7,8%. Berdasarkan klasifikasi daerah, prevalensi ISPA untuk daerah tidak tertinggal sebesar 9,7%, sementara di daerah tertinggal 8,4%. 3. Distribusi penyakit ISPA berdasarkan waktu Sinaga (2007), dalam penelitiannya yang menganalisis catatan bulanan didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai signifikan sebesar 0,552 (> 0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara waktu dengan jumlah penderita bukan pneumonia pada balita usia 1 – 4 tahun. 2.3.7.Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA 1. Agent Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
  • 25. 34 tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo (WHO, 2007). 2. Manusia a. Umur Berdasarkan hasil penelitian Anom (2016), risiko untuk terkena ISPA pada anak yang lebih muda umurnya lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua umurnya. Dari hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh umur terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Dengan demikian, umur merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Blahbatuh II, dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak Balita yang berumur <3 tahun sebesar 2,56 kali lebih besar daripada anak Balita yang berumur ≥ 3 tahun. Hal berbeda justru terlihat dari hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009) yang menyebutkan bahwa yang berusia di atas 15 tahun lebih banyak menderita sakit ISPA (61,83%) dibandingkan dengan yang berusia di bawah 15 tahun (38,17%). b. Jenis kelamin Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6 tahun.
  • 26. 35 c. Status gizi Hasil penelitian Nuryanto (2012) di Palembang menyebutkan bahwa balita yang status gizinya kurang menyebabkan ISPA sebesar 29,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi baik. d. Berat badan lahir rendah Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota Makkasar, didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu <2.500 gram, menderita pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.001 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p < α, berarti ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian pneumonia. e. Status ASI eksklusif Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa
  • 27. 36 kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi post natal. Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA sering lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan secara parsial sebesar 87,5% dan pola pemberian ASI secara predominan sebagian besar mengalami ISPA dengan frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak dengan pola pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak diberikan ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak ada hubungan antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA yang sering pada anak usia 6-12 bulan. f. Status imunisasi Menurut Depkes RI (1997), imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit, seperti: polio (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, dan pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG: 0-11 bulan, DPT 3 kali: 2-11 bulan, Polio 4 x: 0-11 bulan, Campak 1 kali: 9-11 bulan,
  • 28. 37 Hepatitis B 3 kali: 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1 kali adalah 4 minggu. Berdasarkan hasil penelitian Catiyas (2012), ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap. 3. Lingkungan Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian penyakit ISPA. Faktor lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar rumah. Untuk faktor yang berasal dari dalam rumah sangat dipengaruhi oleh kualitas sanitasi dari rumah itu sendiri, seperti: a. Kelembaban ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab ISPA (Kemenkes RI, 2011). Penelitian Nindya dan Sulistyorini (2005), tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita yang dilakukan di tiga daerah yang berbeda, yaitu di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, Desa Sidomulyo Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, dan di
  • 29. 38 Desa Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap ISPA pada balita. b. Suhu ruangan Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-30 oC. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 18 oC atau di atas 30 oC, keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011). c. Penerangan alami Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu ruangan yang terlalu banyak mendapatkan cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga ruangan menjadi tidak sehat. Agar rumah atau ruangan mempunyai sistem cahaya yang baik, dapat dipergunakan dua cara (Kemenkes RI, 2011), yaitu: 1) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di alam, seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Pencahayaan alami dianggap baik jika besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendelapun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
  • 30. 39 2) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan. d. Ventilasi Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk dan keluar angin sekaligus udara dari luar ke dalam dan sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai lubang ventilasi, maka ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu dibuka. Untuk lebih memberikan kesejukan, sebaiknya jendela dan lubang angin menghadap ke arah datangnya angin, diusahakan juga aliran angin tidak terhalang sehingga terjadi ventilasi silang (cross ventilation). Fungsi ke dua dari jendela adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar (cahaya alam/matahari). Suatu ruangan yang tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik akan menimbulkan beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu dan kelembaban udara meningkat. Keadaan yang demikian dapat merugikan kesehatan dan atau kehidupan dari penghuninya, bukti yang nyata pada kesehatan menunjukkan terjadinya penyakit pernapasan, alergi, iritasi membrane mucus dan kanker paru. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
  • 31. 40 Berdasarkan hasil penelitian Yudarmawan (2012), prevalensi rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 56,5%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 43,5%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05), nilai sig p=0,003. e. Kepadatan hunian rumah Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun (Depkes RI, 1999). f. Penggunaan anti nyamuk Pemakaian obat nyamuk bakar merupakan salah satu penghasil bahan pencemar dalam ruang. Obat nyamuk bakar menggunakan bahan aktif octachloroprophyl eter yang apabila dibakar maka bahan tersebut menghasilkan bischloromethyl eter (BCME) yang diketahui menjadi pemicu penyakit kanker, juga bisa menyebabkan iritasi pada kulit, mata, tenggorokan dan paru-paru (Kemenkes RI, 2011). g. Bahan bakar untuk memasak Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak, terutama akibat penggunaan energi
  • 32. 41 yang tidak ramah lingkungan, serta penggunaan sumber energi yang relatif murah seperti batubara dan biomasa (kayu, kotoran kering dari hewan ternak, residu pertanian) (Kemenkes RI, 2011). h. Keberadaan perokok Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Nasution et al. (2009) serta Winarni et al. (2010), didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan asap rokok dengan kejadian ISPA pada Balita. i. Debu rumah Menurut Kemenkes RI (2011a), partikel debu diameter 2,5μ (PM2,5) dan Partikel debu diameter 10μ (PM10) dapat menyebabkan pneumonia, gangguan system pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis kronis. PM2,5 dapat masuk ke dalam paru yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paru-paru serta gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktivitas industri). Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan bakar biomasa, dan penggunaan obat nyamuk bakar.
  • 33. 42 j. Dinding rumah Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising damp) Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi (Depkes RI, 1999). k. Status ekonomi dan pendidikan Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Djaja et al. (2011), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status
  • 34. 43 ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.