SlideShare a Scribd company logo
1 of 32
Download to read offline
STUDI KOMPARATIF KONSEP TANZIL ARKOUN DAN AZ-ZARQANI
                     Anwar Ma'rufi1


A. Pendahuluan

             Belakangan ini, paradigma definisi al-Qur'an mulai bergeser dari
    konsep tanzil, menjadi sesuatu yang tercipta oleh sosio-historis. Mengenai
    konsep tanzil sendiri, ulama telah sepakat bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah
    yang di-tanzil-kan kepada Muhammad saw melalui Malaikat Jibril, baik lafazh
    maupun maknanya,2 yang susunan ayat maupun surah al-Qur'an merupakan
    hak Allah sebagai pemilik kitab tersebut.3 Hanya Allahlah yang mengetahui
    alasan mengenai susunan al-Qur'an yang menurut manusia modern dianggap
    kurang ilmiah.4 Dan Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Qu'ran
    yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslim, dimana detail bacaan dari
    tafkhimat,5 tarqiqat,6 imalat,7 al-ishmam,8 wasal dan waqaf9 terpelihara
    sebagaimana pada zaman Nabi.10


        1
           Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
         2
           Lihat Abdul Shabur Syahin, Tarikh al-Quran, (Mesir: Nahdlah Mishr, 2007), hal. 23.
         3
           M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis
Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 74.
         4
           Ibid
         5
           Secara bahasa adalah menebalkan bacaan, ibarat kekuatan masuk pada bunyi huruf
hingga bunyinya memenuhi mulut. Huruf Tafkhim terdiri dari tujuh huruf yang terkandung di
dalam bait syair ( ‫)قظ ضغط خص‬
         6
           Secara bahasa adalah menipiskan bacaan. Secara istilah ilmu tajwid adalah gambaran
perubahan yang berlaku pada bunyi huruf yang mengakibatkan bunyi tersebut tidak memenuhi
mulut.
         7
           Imalah menurut bahasa adalah miring, sedangkan menurut istilah adalah membaca
harakat fathah dengan menyandarkan kepada harkat kasrah sekitar dua pertiganya. Ini adalah
bacaan yang dikhususkan untuk huruf Ra' saja. Ra' dibaca dengan tipis kerana baris atas yang
cenderung kepada baris bawah. Huruf Alif yang cenderung kepada Ya' terdapat di dalam satu
kalimah saja di dalam al-Quran yaitu kalimah(‫.) مجراھا‬
         8
           Isymam menurut bahasa adalah moyang, sedangkan menurut istilah adalah
mengkombinasikan atau mencampur adukan harakat fathah dengan dammah sambil memoyang
(mecucu).
         9
           Waqaf menurut bahasa adalah berhenti, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan
bacaan, baik untuk tidak diteruskan atau mengambil nafas untuk melanjutkan bacaan selanjutnya
         10
            Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi
al-Qairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab' lil Imam al-Muqri' Abi Muhammad
Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi yang dikutip oleh Ali
Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. Januari
2005, hal. 51-52.
Pemahaman mengenai tanzil di atas kemudian didekonstruksi oleh
    Arkoun, yang kini sering dirujuk oleh kalangan Islam liberal.11 Secara tegas
    Arkoun menyatakan bahwa wahyu ketika di-tanzil-kan oleh Allah telah
    terpengaruh oleh realitas sejarah dan sosial budaya Arab. Menurutnya al-
    qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang disampaikan pada manusia,
    dikonstruksi dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh suara
    manusia, dan di bakukan dalam bentuk tertulis.12 Transmisi dari wahyu oral ke
    dalam tulisan ini menjadikannya sama dengan Kitab-kitab dunia lainya.
    Menurutnya al-Qu'ran lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya
    ketika masih dalam bentuk oral dibandingkan dengan ketika dalam bentuk
    tertulis.13 Karenanya, Arkoun menolak kesucian al-Qur’an yang kita miliki
    sekarang. Baginya yang Suci itu adalah yang ada di al-Lauh al-Mahfudh,
    bukan yang termanifestasikan dalam Mushaf. Dalam pandangan Arkoun,
    Mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang
    disebabkan semata-mata oleh kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.14 Jadi
    konsepsi bahwa al-Qur'an, lafazh dan maknanya, adalah dari Allah swt
    merupakan angan-angan keagamaan saja (al-khayal ad-diny).
             Pendapat Arkoun di atas sangat bertentangan dengan az-Zarqani, ia
    menyatakan al-Qu'ran adalah Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh yang
    diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.15
    Rincinya ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah
    swt. dengan cara sima'an (mendengarkan), yang lafazh-nya, dari surat al-
    Fatikhah hingga al-Nas, merupakan mu'jizat. Dan lafazh tersebut adalah kalam
    Allah yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril dan Nabi

        11
            Banyak kalangan Islam yang merujuk pendapatnya menganai wahyu, diantaranya
adalah Ulil Absar Abdala, Abd Muqsith Ghazali, dan Lutfi Assyaukani dalam bukunya yang
berjudul 'Metodolgi Studi Al-Quran" yang mana, nalar berpikirnya persis dengan Arkoun ketika
mengatakan wahyu pada masa aural atau oral dan ketika wahyu sudah berubah menjadi tertulis.
Lihat Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodolgi Studi Al-Quran, (Jakarta: Gramedia, 2009).
         12
            Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa:
Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 41.
         13
            Muhammad Arkoun, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr
al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, (Beirut: Dar al-Saqi, 1995), hal. 59.
         14
            Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta:
Gema Insani, 2005), hal. 65.
         15
            Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I,
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995), hal. 20.
Muhammad dalam pembentukannya maupun tartib-nya.16 Ia adalah kitab yang
    memuat aturan-aturan hidup dari Sang Pencipta untuk manusia di bumi.
    Dengannya manusia berakidah, beribadah, bermuamalah, berakhlak dan
    membangun peradaban Islam.17
             Kedua pendapat di atas mengenai tanzil memang sangat bertolak
    belakang. Pendapat Az-Zarqani mewakili pandangannya umat Islam secara
    keseluruhan, sedangkan Arkoun menggambarkan pemikir postmodern. Namun
    apakah benar bahwa al-qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang
    dikonstruksi dalam bahasa manusia, Mushaf Usmani adalah hasil sosial budaya
    yang tidak suci lagi dan al-Qur'an sekrang ini tidak sama ketika pada masa
    Nabi Muhammad. Persoalan ini penting dibahas, karena pemahaman yang
    tepat mengenai konsep tanzil, wahyu dan al-Qu'ran merupakan langkah awal
    dalam menentukan metodologi penafsiran al-Qur'an. Jika asumsi dasar
    mengenai wahyu dan tanzil-nya salah maka bagaimana akan membangun
    penafsiran di atas pondasi yang rapuh. Karenanya, penulis menganggap
    penting membahas permasalahan tersebut dengan cara studi komparatif.
             Melalui makalah singkat ini, penulis akan membahas bagaimana
    sejatinya landasan epistemologi pemikiran Arkoun dan pandangannya terhadap
    tanzil dan al-Qur'an. Kemudian penulis komparasikan dengan pandangan az-
    Zarqani.

B. Landasan Metodologi Arkoun dan az-Zarqani
    1. Metodologi Arkoun
             Validitas ilmu tergantung metodologi dan epistemologi seseorang.
    Karenanya keduanya menempati kedudukan penting dalam dunia pemikiran. Ia
    tidaklah muncul secara tiba-tiba dalam diri seseorang yang tidak memiliki latar
    belakang atau tradisi keilmuan. Ia merupakan produk langsung dari
    worldview18 yang dimilikinya. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi


        16
           Ibid, hal. 43.
        17
           Ibid, hal. 12.
        18
            Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan,
bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing.
Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya
dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview
pengetahuan dalam pikiran seseorang, baik a priori (pengetahuan yang
    diperoleh melalui asumsi atau cara berpikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa
    obesevasi atau pengalaman khusus) maupun a posteriori (pengetahuan yang
    diperoleh tidak secara a priori), konsep-konsep serta sikap mental yang
    dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya.19
            Demikian halnya Muhammad Arkoun dan az-Zarqani, pandangannya
    terhadap al-Qu'ran merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada
    dalam pikirannya. Arkoun sendiri mengakui bahwa seluruh periode yang
    dilalui dalam menempuh pendidikan memainkan peran yang cukup besar
    dalam membentuk pemikirannya.20 Arkoun tumbuh pada saat pesatnya
    perkembangan science, baik yang sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu alam di
    dunia Barat, begitu juga dengan az-Zarqani. Namun, tampaknya Arkoun
    memang lebih menyukai Barat (sarang orientalis, Prancis) dari pada tanah
    airnya sendiri (Aljazair). Karena milleu masyarakatnya yang rasionalis,
    Arkoun mampu berpikir dengan bebas tanpa ada rasa takut. Dia juga termasuk
    pendukung paham pluralisme agama versi John Hick.21
            Kajian Arkoun mengenai al-Qur'an tergolong cukup berani dan radikal.
    Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang
    transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen,22 yakni Kalam
    Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka
    dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis.
    Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui bahwa

Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN
II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20.
         19
            Ibid, hal 13.
         20
            Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 221.
         21
            Lihat Malki Ahmad Nasir, Dekonstruksi Arkoun…, hal. 61. Dalam pluralisme Agama
terdapat dua mazhab, yang pertama adalah aliran John Hick dan yang kedua adalah Fithjof Schuon.
Yang pertama, mengemukakan bahwa walau Tuhan memiliki banyak nama, namun sejatinya para
penganutnya menyembah pada Wujud yang terakhir. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama,
alih bahasa: Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Interfidei, 2006), hal. 74.
Sedangkan Fithjof Schuon punya asumsi bahwa sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama
berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, masih ada apa yang ia sebut sebagai
"a common ground". Kesamaan asas ini, olehnya disebut dengan Religion Perennis (Agama abadi).
Lihat Adnin Armas, Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam
ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER
2004, hal. 9.
         22
            Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 99
dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang
    mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran teologis
    tradisional.23 Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang tidak takjub
    terhadap fenomena wahyu dan keajaiban (baca: mukijzat) penurunannya
    (tanzil).24 Hal tersebut dapat dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah
    turun dalam bentuk bahasa Arab.
             Keberanian Arkoun ini dapat dipahami juga sebagai konsekuensi
    pendekatannya terhadap al-Qur'an melalui perangkat linguistik modern,
    antropologi strukturalisme dan filsafat post-modern. Dengan linguistik modern,
    meminjam istilahnya Ferdinand de Saussure, Arkoun menyamakan teks al-
    Qur'an sebagaimana teks-teks sastra lain yang tidak memandang lagi subjek
    pembicara, yakni maksud Allah. Model pembacaannya adalah dengan
    penjelajahan sinkronis dan diakronis25 dalam memahami al-Quran dan tanzil-
    nya. Hasil dari penelusuran diakronis, Arkoun merekonstruksi tanzil al-Quran
    yang akan penulis paparkan nanti. Dari Saussure, Arkoun juga meminjam
    istilah parole dan langue untuk penamaan Kalam Allah.
             Dengan pendekatan antropologi, Arkoun berusaha menyelami gagasan
    wahyu dalam tradisi semitis, konsep masyarakat berkitab, mitos, angan-angan
    masyarakat keagamaan, kesakralan, kebahasaan dan pemikiran dalam
    masyarakat berkitab.26 Antropologi strukturalisme yang digagas oleh Claud
    Levi Strauss bertujuan untuk menyelami logika simbolis atas budaya-budaya
    manusia. Budaya dalam pandangan Strauss, ibarat bahasa yang memiliki
    logika internalnya yang mengikat manusia dalam kerja dan intuisinya yang
    secara kuat didominasi oleh ketidaksadaran.27


        23
            Muhammad Arkoun, Rethinking,… hal. 58.
        24
            Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS,
2003), hal. 96.
         25
            Asal kata dari istilah singkronis dan diakronis dari kata Yunani, yaitu khronos (waktu)
dan dua awalan syn dan dia, masing-masing berarti "bersama" dan "melalui". Maka dari itu
sinkroni dapat dijelaskan sebagai "bertepatan menurut waktu". Diakroni adalah pendekatan historis
sedangkan sinkroni menujukan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni
adalah peninjauan ahistoris. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 204.
         26
            Baedhowi, Antropologi,...hal. 174.
         27
             Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,
2010), hal. 379.
Arkoun juga tidak secara keseluruhan mengambil ide-ide filsafat post-
    modern. Ia hanya meramu pemikirian-pemikiran filsuf Barat sehingga
    melahirkan pemikiran Arkoun yang rumit. Ia terkesan hanya mencomot
    sebagian sambil mengabaikan perdebatan sengit antar aliran filsafat. Semisal
    perdebatan aliran strukturalisme dengan fenomenologi dan eksitensialisme.28
    Hal ini akan memperparah sikap objektivitas (jika ada), karena ia akan
    memilih-milih metodologi yang sesuai dengan ideologinya.29
             Selain konsen dengan dialektika wacana di Barat, Arkoun juga sangat
    kagum dengan kajian-kajian orientalis. Tokoh orientalis yang dikagumi
    semisal Th. Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, R. Blachere, John Wansbrough,
    Johan Gottfried Herder, dan lain sebagainya. Menurutnya, Noldeke telah
    berjasa besar dalam meperkenalkan persoalan yang tak terelakkan dari sejarah
    kritis naskah al-Qu'ran dalam karyanya Geschichte des Qorans.30 Arkoun
    sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak sarjana
    Yahudi-Kristen.31
             Demikian gambaran landasan metodologi pemikiran Arkoun. Dalam
    menganalisa konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an, Arkoun banyak dipengaruhi
    berbagai wacana yang berkembang di Barat. Pemikirannya yang terbilang
    rumit, sehingga banyak pemikir yang kesulitan untuk mengidentifikasikannya
    dalam satu mazhab. Kadang Arkoun masuk pada kategori strukturalis dan di

        28
            Contoh perdebatannya adalah mengenai kesadaran. Bagi Descartes, kesadaran
merupakan hakikat manusia. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Kant dan Hegel yang
berpangkal pada kesadaran yang sering disebut sebagai "filsafat reflektif". Fenomenologi dan
eksistensialisme termasuk dalam tradisi filsafat reflektif ini. Pada puncaknya Nietzsche
menproklamirkan "kematian Tuhan". Namun pendirian ini ditolak oleh penganut strukturalisme,
menurutnya manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom yang tidak dapat diasalkan dari suatu
yang lain. Subjektifitas merupakan buah hasil suatu proses strukturisasi yang tidak dikuasai oleh
manusia. Jadi manusia berdiri pada ketidaksadaran. Momentum ini dimanfaatkan oleh Foucault
dengan ramalanya "kematian manusia". Lihat K. Bertens, Filsafat Barat..., hal. 244-245.
         29
            Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 486.
         30
            Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah,
(Bandung: Pustaka, 1998), hal. 26-27.
         31
            Dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Robert D. Lee dalam
Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Arkoun menyatakan: "It is
unfortunate that philosophical critique ofsacred texts - which has been applied to the Hebrew Bible
and to the New Testament without thereby engendering negative consequences for the notion of
revelation - continues to be rejected by Muslim scholarly opinion. The works of the German school
continue to be ignored, and erudite Muslims do not dare draw upon such research even though it
would strengthen the scientific foundations of the history of the mushaf and of the theology of
revelation. " Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible ..., hal.
lain kesempatan dia tergolong post-strukturalis, post-modernis atau juga post-
    tradisionalis. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa landasan metodologi Arkoun
    banyak terpengaruh oleh metode historis-materialis yang merupakan produk
    worldview Barat.

    2. Metodologi az-Zarqani
             Berbeda dengan Arkoun, Az-Zarqani32 sebagaimana ulama klasik
    lainya memiliki metodologi yang sudah sejak dahulu dipraktikkan oleh Nabi,
    sahabat, tabi'in, dan ulama salaf shalih. Konsepsinya mengenai tanzil dan al-
    Qur'an, tidak berbeda dengan kebanyakan ulama mayoritas. Dalam hal perkara
    yang bersifat metafisis, Az-Zarqani lebih sering mengkonsepsikannya dari
    sumber khabar shadiq, yakni al-Qur'an, sunnah dan perkataan sahabat. Contoh
    hasil konsepsinya akan penulis paparkan ketika menjelaskan pandangannya
    terhadap tanzil al-Qur'an. Inilah yang membedakannya dengan Arkoun yang
    sangat mengabaikan data riwayat mengenai fenomena wahyu beserta tanzil-
    nya.
             Metode yang az-Zarqani gunakan dikenal dengan istilah metode tafsir
    bil-ma'tsur. Ini adalah metode tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan
    yang shahih, yakni khabar shadiq. Yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-
    Qur'an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan
    perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau
    dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi'in karena pada umumnya
    mereka menerimanya dari para sahabat.33
             Demikian metodologi pemikiran az-Zarqani mengenai wahyu, tanzil
    dan al-Qur'an yang besifat meta-historis. Bagi mayoritas ulama, semua aktifitas
    intelektual dimaksudkan untuk menambah keimanan kepada Allah. Begitu juga
    az-Zarqani, dalam mengeksplorasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an semata-

        32
             Nama lengkapnya Muhammad Abdul 'Adzim az Zarqani, ia termasuk dari keluarga
Ja'fariyah dari Propinsi Gharbeyya-Mesir. Namanya dinisbahkan ke daerah yang beranama Zarqan
di kawasan propinsi Manovia-mesir. Beliau termasuk Ulama Azhar bermadzhab Asya'iroh.Beliau
menimba ilmu Ma'had al-Ahmadi pada tahun 1911 M. beliau kuliah di fakultas Ushuludin al-Azhar
skaligus menadapat gelar Syeh pada tahun 1925. Ia menjadi guru di Ma'had Zagozig tahun 1926.
Kemudian pindah ke Ma'had Thanta dan terpilih menjadi Imam, kemudian pindah ke Ma'had
Kairo dan mengajar di kuliah Ushuludin tahun 1939. Buku beliau yang lain adalah 'Al Manhal Al
Hadits Fi 'Ulumil Hadis. Beliau wafat tahun 1367 H.
          33
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, juz II, hal. 12-13
mata hanya untuk mendapatkan ridlo-Nya agar kelak dapat bertemu Allah
    dengan bekal intelektual yang hasanah. Dalam merumuskan pemikirannya dia
    juga senantiasa berdoa agar dibimbing oleh-Nya. Kenyataan seperti inilah yang
    luput dari pemikir kontemporer.
             Landasan epistemologi kedua pemikir muslim di atas memang sangat
    berbeda. Epistemologi yang dibangun oleh Arkoun untuk merombak dan
    mendekonstruksi ilmu keislaman banyak mengadopsi wacana dialektika Barat,
    seperti, dekonstruksi, antropologi, linguistik-semiotika, demitologisasi dan
    sosiologi.     Penggunaan       wacana-wacana         tersebut     dimaksudkan        untuk
    membangun "masyarakat Kitab", yakni paham pluralisme gaya baru yang
    intinya dilarang mengakui bahwa kitab sucinya yang paling orisinil dan
    otentik. Ini adalah hasil dari adopsi worldview Barat.
             Berbeda dengan Arkoun, az-Zarqani lebih banyak menggunakan
    analisa data-data riwayat atau khabar shadiq untuk menganalisa konsep tanzil
    al-Qur'an. Ini adalah metodologi yang telah diwariskan sejak zaman Nabi
    hingga sekarang ini yang masih peduli dengan informasi meta-historis, yakni
    tradisi dari worldview Islam. Metodologi analisa az-Zarqani bertujuan untuk
    menambahkan keimanan umat Islam sendiri, bukan untuk mengikis
    keyakinannya terhadap keotentikan al-Qur'an..
             Sejauh mana keabsahan di antara keduanya, alangkah baiknya penulis
    kutip peringatan Margaret Marcus (Maryam Jameela).34 Beliau mengingatkan
    jika pandangan hidup Barat menelusup ke dalam sistem kepercayaan Islam,
    tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.35 Karena menurut Yusuf
    Qardawi, Peradaban Barat Modern adalah Peradaban Sekular yang jauh dari
    nilai-nilai ketuhanan.36



        34
            Maryam Jameela (Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934) adalah seorang
muallaf. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga
Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional. Ia adalah seorang intelektual dan penulis
di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks al-Qur'an dengan keimanan
yang tinggi. Lihat http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010.
         35
            Lihat Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425, hal. 119.
         36 Yusuf al-Qaradawi, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1416
H/1995 M), hal. 13-14.
Dalam artikel pendeknya Hamid Fahmi Zarkasy menyatakan, Barat
adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam,
Hindu, bahkan jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun
kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki
karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan
hidup dimasuki oleh pandangan hidup lain, maka akan terjadi confusion alias
kebingungan.37
        Metodologi yang mengadopsi produk pandangan hidup Barat ini,
seperti linguistik modern, antropologi strukturalis atau filsafat post-modern,
tidak dapat menjangkau fenomena al-Qur'an dan tanzil-nya yang bersifat
metafisis. Metodologi ini mempunyai eksposisi bahwa setiap teks (suci
maupun manusiawi) pasti dilahirkan oleh lingkungan sosiololgis dan
antropologis saat teks itu diciptakan. Pemahaman seperti inilah yang dikenal
dengan tafsir materialis atas sejarah yang menyatakan bahwa segala hal yang
terjadi di pentas sejarah harus berasal dari faktor sosio-historis yang
melingkupinya.38 Arkoun sebagai pemakainya, dalam konsepsinya terhadap
tanzil dan al-Qur'an yang akan penulis paparkan nanti, sangat jelas bahwa ia
penganut     historis-materialis.       Dalam      hal   ini   Muhammad    al-Kattani
menjelaskan:
        "Jika kita sepakat dengan logika materialisme historis, kita akan anggap
        remeh embusan spirit yang menghasilkan lompatan sejarah. Memahami
        fenomena sejarah tak cukup hanya dengan pendekatan materialistik,
        sehingga sejarah yang tak diterima oleh logika materialistik ini dinilai
        mitos dan transenden. Namun ada banyak pertanyaan yang segera
        menyergap kita dari berbagai sudut jika kita hanya mengakui logika
        materialis untuk menafsirkan sejarah."39
        Keberatan ini sebenarnya bukan saja karena metodologi itu berasal dari
Barat. Namun adanya unsur ideologi sekuler yang diinfiltrasikan ke dalam
Islam melalui metodologi nir-Islami itulah alasannya. Dan jika benar-benar
diterapkan dalam kajian al-Qur'an, maka akan bertentangan dengan hal-hal
aksioma di dalam Islam.40 Selain itu metodologi Barat (ilmu-ilmu humaniora)


   37
      Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, hal. 119.
   38
      Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 260.
   39
      Ibid
   40
      Ibid, hal. 490.
juga masih memiliki problem internal. Metodologi Barat ini, dalam kajiannya
   tak pernah mengenal tahap final. Karena perkembangan metodologi humaniora
   Barat masih dalam tahap pematangan dan berproses untuk menjadi sesuatu.
   Oleh karena itu, mustahil bagi umat Islam untuk bisa sampai kepada
   pengetahuan yang pasti jika menggunakan metodologi tersebut.41 Suasana
   kompetisi antar ilmuwan Barat, yakni kawasan Eropa Barat dan Amerika
   Serikat, juga turut memperparah ramuan metodologinya. Pasalnya, mereka
   terbiasa menyisipkan pengalaman individu ke dalam penafsiran objek
   kajiannya. Dan pada akhirnya teori-teori temuannya tidak mampu menembus
   dilema-dilema yang mereka hadapi, bahkan semakin memperparah krisis
   pemikiran di Barat.42
            Kiranya sudah jelas, dalam hal ini, Arkoun telah keliru mengambil
   metodologi dan pandangan hidupnya (worldview). Karena pada dasarnya setiap
   metodologi, konsep atau worldview memiliki tempat dan rumahnya masing-
   masing. Menurut al-Attas, manusia yang ber-adab adalah yang dapat
   meletakkan makna pada setiap konsep dan terminologinya.43 Ketiadaan adab
   akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.
   Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kebodohan
   menurut al-Ghazali adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan
   tertentu, sedangkan kegilaan adalah perjuangan berdasarkan tujuan dan
   maksud yang salah.44 Alih-alih ingin memajukan Islam dari dalam, namun
   sebenarnya Arkoun telah merusak tatanan dasar epistemologi dan worldview
   Islam.

C. Tanzil al-Qur'an dalam Pandangan Arkoun dan az-Zarqani
   1. Konsep Tanzil Arkoun
            Agar tidak ada kerancuan dalam memahami wahyu dan tanzil al-
   Qur'an, sebaiknya penulis bahas mengenai terminologi wahyu terlebih dahulu.
   Secara umum, pengertian wahyu dapat dilihat dari dua sisi makna. Pertama,


      41
         Ibid, hal. 486.
      42
         Ibid, hal. 487.
      43
         Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…,hal. 292.
      44
         Ibid, hal. 199.
wahyu dalam makna ihaa, yakni proses penyampaian wahyu. Kedua, wahyu
    dalam makna al-muha bihi yakni objek wahyu itu sendiri.45 Wahyu dalam
    makna proses penyampaian Kalam Allah (tanzil) inilah yang akan menjadi
    kajian komparasi antara Arkoun dengan az-Zarqani. Dimana kita akan melihat
    perbedaan yang sangat serius di antara mereka.
             Bagi Arkoun, selama ini kalangan ortodoks muslim46 (az-Zarqani
    termasuk dalam kritikannya Arkoun) telah banyak memanipulasi konsep tanzil,
    wahyu dan al-Qur'an. Karenanya, Islam bersifat ekslusif, selalu memandang
    bahwa ia yang unggul dari agama-agama yang lain. Untuk itu, dengan
    perspektif      antropologi       dan      fenomenologi,47         Arkoun       berusaha
    mendekonstruksi48 konsep wahyu yang masing-masing agama saling
    berlainan.49 Baru kemudian, Arkoun merekonstruksi bagaimana al-Qu'ran bisa


        45
            H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian
Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005, hal. 86.
         46
            Ortodoksi didefinisikan oleh Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan representasi-
representasi mitologis yang melaluinya, dan dengannya, sebuah kelompok masyarakat yang telah
ada menerima dan menghasilkan sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, ia adalah sebuah sistem
nilai yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin perlindungan dan keamanan kelompok tersebut.
Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 102.
         47
            Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak
dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt
(kembalilah kepada realitas itu sendiri. Seorang fenomenolog harus menanggalkan segenap teori,
praanggapan serta presangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Fenomenologi
Husserl bertujuan untuk mencari yang essensial atau eidos (essensi) dari apa yang disebut
fenomena. Metodenya adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi
dengan perasangka (presuppositionlessness) Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas
Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008),
hal. 146. Lihat juga Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet.
Kedua, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 105.
         48
            Dekonstruksi adalah ide dari filsuf asal Perancis, Derrida, ia menekankan bahwa
dekonstruksi tidak sama dengan destruksi (pemusnahan), karena ia tidak memusnahkan atau
menghapuskan sesuatu wacana. Dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkirbalikkan,
mencemaskan, tetapi ia hanya mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal-
hal baru dan menemukan makna baru. Ia membuka pemikiran yang tertutup. Lihat Kevin
O'Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), hal. 58. Tesisnya Derrida oleh Arkoun
lebih diperjelas dengan menyatakan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) harus disertai
rekonstruksi (pembangunan kembali) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan
keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana sebelumnya. Lihat juga Asep Ahmad
Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2006), hal. 231.
         49
            Pengertian wahyu dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai "Firman Tuhan" dalam
pengertian yang benar-benar harfiah. Sehingga dalam tradisi mereka sering dikatakan, "Thus say
the Lord…" demikian Tuhan berfirman. Dalam Bible (terutama di kalangan kaum fundamentalis
Kristen) juga demikian. Meskipun dalam perkembangan belakangan, wahyu dalam pengertian
Kristen dimaknai bukan melulu secara verbal-redaksional dalam bentuk firman tertulis, tetapi
sampai kepada Nabi Muhammad saw dan hingga saat ini. Tujuannya agar
    terwujud Islam yang inklusif, terbuka dengan peradaban selainnya.
             Ide rekonstruksi tanzil al-Qur'an ini merupakan buah dari penjelajahan
    diakronis. Hasilnya, Arkoun membagi konsep tanzil menjadi empat fase.50
    Pertama adalah fase Kalam Allah. Kalam Allah merujuk kepada logos, ide
    atau sabda Allah yang tidak terbatas, yang kekal bersama-Nya, dan transenden.
    Kalam Allah yang turun kepada manusia hanyalah penggalan dari logos
    tersebut. Fase ini juga sering disebut sebagai wahyu yang masih menjadi
    parole51 (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite),
    besifat abadi serta mengandung kebenaran tertinggi. Akan tetapi, kebenaran
    absolute ini di luar jangkauan manusia,52 alasannya karena bentuk wahyu yang
    seperti itu diamankan dalam al-lauh al-Mahfuzh53 (the well preserved tablet)




pribadi Yesus juga dianggap sebagai wahyu yang "mendaging". Dalam perkembangan yang lebih
belakangan, Wahyu dilingkungan Kristeb dimengerti sebagai "tindakan" atau "karya" Tuhan secara
keseluruhan. Dalam agama-agama non-Semit, seperti agama-agama Timur, wahyu cenderung
dimengerti sebagai rekamang sabda yang diucapkan oleh orang-orang bijak atau guru-guru suci
dalam sejarah agama yang bersangkutan. Lihat Moqshit GHazali, Metodologi…, hal. 56-58.
          50
             Muhammad Arkoun, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih,
(London: Dar al-Saqi, 1998), hal 89.
          51
             Istilah parole ini diadopsi dari pemikirannya Saussure. Menurut Saussure fenomena
bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara
parole dan langue. Parole adalah tindakan individu kegiatan seleksi dan aktualisasi,51 ia adalah
bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Pertama-tama parole terdiri atas kombinasi-
kombinasi yang digunakan si subjek agar bisa menggunakan kode langue untuk mengungkapkan
pemikiran pribadinya, dan selanjutnya parole terdiri atas mekanisme psiko-fisik yang
memungkinkan si subjek tadi meng-eksterior-kan kombinasi-kombinasi tadi. Satu hal yang menjadi
karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Sedangkan Langue
adalah suatu institusi sosial dan sistem valuer-valuer (nilai). Sebagai institusi sosial, Langue sama
sekali bukan suatu tindakan. Secara esensial, Langue adalah suatu kontrak kolektif, siapapun yang
ingin menggunakannya untuk berkomunikasi maka harus tunduk sepenuhnya pada aturan-
aturannya.51 Ia adalah sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa
tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai
bahasa tersebut. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar
Herwinarko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17.
          52
             Konsepsi ini sama dengan pemikirannya Nasr Hamid, menurutnya teks yang mutlak dan
suci (al-Qur'an), hanyalah yang berada di al-lauh al-mahfudz. Teks suci tersebut ridak pernah
diketahui oleh seorang muslim pun. Lihat Henri Shalahuddin, al-Qur'an Dihujat, (Jakarta: al-
Qolam, 2007), hal. 27.
          53
             Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Bahkan yang didustakan mereka
itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam al-Lauh al-Mahfuzh." (al-Buruj [85]: 21-
22)
atau umm al-Kitab (the Archetype Book)54 dan tetap berada bersama Tuhan
    sendiri.55
             Secara tidak langsung, Arkoun menganggap bahwa pada fase ini, al-
    Qur'an masih berwujud "ide" atau pengetahuan ('ilm) Allah. Ia belum
    terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh atau teks, lebih-lebih tersusun dalam surah
    atau ayat dengan sistematika yang ada untuk sekarang ini. "Ide" dan
    pengetahuan Allah ini mampu dipahami oleh manusia ketika pada fase kedua,
    yakni fase pembentukan lafazh-lafazh al-Qur'an. Anggapannya memiliki
    konsekuensi logis bahwa lafazh al-Qur'an merupakan hasil kerja sama antara
    Nabi Muhammad dengan Tuhannya. Di sini, Arkoun berbeda dengan az-
    Zarqani. Mengenai bagaimana perbedaannya akan penulis paparkan kemudian.
             Fase kedua berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M). Periode ini
    menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah.56 Ia diistilahkan sebagai wacana
    kenabian (verbal) atau wacana Qur'an.57 Pada fase ini, wahyu menampakkan
    diri sebagai langue. Ia bersinggungan langsung dengan realitas sejarah. Pada
    peringkat inilah, wahyu menjelma dalam bahasa manusia, yakni bahasa Arab
    yang berupa lafazh-lafazh. Dengan pemahaman seperti ini, meminjam
    pemikiran Saussure, parole Allah yang ada di al-lauh al-Mahfuzh harus tunduk
    pada aturan-aturan langue bahasa Arab.58

        54
            Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab
(Lauh Mahfuzh)." (Ar-Rad [13]: 39).
         55
            Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun: Sebuah Kritik,
dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hal.
22.
         56
            Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi
Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal. 72.
         57
            Wacana Qur'an adalah sebuah hubungan komunikasi yang terkait dengan situasi
wacana. Situasi wacana bukan suasana lingkungan pewahyuan (asbab al-nuzul). Ia adalah
pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang
pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan, dan kemungkinan bagi yang kedua
untuk bereaksi secara langsung. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan
situasi wacana atau lingkungan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung,
yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang lagi. Lihat Thohatul Choir dkk, Islam
dalam…, hal. 105. dan lihat juga Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca
al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09
Juli 2002.
         58
            Dalam hal ini, pemikiran Arkoun mirip dengan kajiannya Nasr Hamid Abu Zayd. Nashr
Hamid memanfaatkan pembedaan dari Ferdinand de Saussure, antara "langue" (lughah) dan
"parole" (kalâm), Nashr Hamid mengatakan bahwa teks al-Qur'an merupakan parole dan bahasa
arab adalah langue.58 Dengan kata lain Kalam Tuhan tunduk kepada bahasa manusia.
Sesuai dengan kajian semiotika juga, pada masa Prophetic Discourse,
   al-Qur'an masih berbentuk ujaran-ujaran lisan yang didengarkan. Muqsith
   Ghazali menjelaskan, ujaran tersebut bukanlah dalam pengertian "suara" yang
   dihasilkan secara fisik oleh anggota tubuh manusia seperti yang kita alami
   dalam percakapan sehari-hari. Yang dimaksud dengan ujaran di sini adalah
   sebuah "ide" yang cemerlang serta mempunyai daya yang tak terelakkan
   sehingga ia menyerupai suara yang didengarkan. Ini dapat dipahami, yang
   terjadi adalah komunikasi melalui ide dan gagasan.59 Masih menggunakan
   analisa semiotika, pada masa pengujaran ini suasana komunikasi, studi
   pengucapan, daftar dan tingkatan kode-kode budaya, dan susunan serta fungsi-
   fungsi cerita masih terpelihara dengan baik.60 Namun wacana Qur'ani sudah
   hilang sama sekali karena terjadi hanya sekali ketika pengujaran.
            Masa wacana kenabian (verbal), dalam pandangan Arkoun, lebih layak
   menyandang predikat sakral serta lebih dipercaya ketimbang fase-fase
   setelahnya. Karena al-Qur'an pada fase ini (verbal) masih terbuka untuk semua
   makna, sementara pada fase berikutnya (tekstual) telah turun derajatnya dari
   kitab yang diwahyukan menjadi kitab yang biasa, sehingga ia tidak berhak lagi
   menyandang predikat sakral dan kesucian.61
            Pandangan Arkoun mengenai wacana kenabian (verbal) mirip dengan
   Johan Gottfried Herder (1744-1803 M). Gagasan Gottfried dimaksudkan untuk
   menolak tiga versi Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikarenakan
   mengabaikan Injil-Injil versi selain tiga tersebut. Gottfried mengatakan dengan
   jelas bahwa masing-masing Bible yang tidak digunakan memiliki tujuan,
   waktu, dan tempatnya sendiri yang khusus bagi mereka, dengan menekankan
   bahwa Injil yang asasi adalah yang berbentuk verbal daripada tertulis. Bentuk
   Injil yang paling awal adalah penjelasan verbal dari Almasih.62
            Al-Qur'an pada fase ketiga, berlangsung ketika koleksi dan penetapan
   mushaf. Al-Qur'an pada periode ini sudah mensejarah63 yang diistilahkan

       59
          Abd Moqsith Ghazali dkk., Metodologi…, hal. 40-41.
       60
          Baedhowi, Antropologi…, hal. 169.
       61
          Muhammad Arkoun, Min Faishal..., hal. 59.
       62
          Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 161-162.
       63
          Statemen Arkoun yang menyatakan bahwa teks al-Qur'an sudah mensejarah mirip
dengan gagasan Wilhem Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai
sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).64 Berdasar pada
    periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Qur'an sebagai sebuah Korpus
    resmi yang selesai (tertutup) dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa
    Arab.65 Dikatakan "resmi" karena teks-teks al-Qur'an merupakan akibat dari
    seperangkat keputusan yang diambil oleh "otoritas-otoritas" yang diakui oleh
    komunitas. Dikatakan "tertutup" karena tidak seorang lagipun diperkenankan
    untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan
    dalam Korpus yang sekarang dinyatakan otentik.66 Dan dikatakan "terbuka"
    karena korpus ini masih memungkinkan untuk dipahami dan digali makna-
    makna yang tereliminasi.
             Fase ini berlanjut sampai masa ortodoksi, yakni masa standarisasi
    Mushaf (324 H./ 936 M.). Pada periode ini, menurut Arkoun kalangan ortodoks
    telah banyak memasukan secara diam-diam berbagai hasil suatu ilmu, lalu
    menegaskan secara tak terbantah bahwa ia sama sekali tidak memodifikasi
    ajaran-ajaran yang telah dicapai berbagai disiplin ilmu tradisional.67
    Menurutnya lagi, kalangan ortodoks telah menggunakan berbagai bahan,
    prosedur dan suatu kerangka historiografis untuk mendehistorisasikan masa
    wahyu serta masa pengumpulan dan pembakuan Mushaf.68
             Masih menurut Arkoun, Ibn Mujahidlah yang sebenarnya bertanggung
    jawab atas pembaruan yang menentukan pada tahun 324 H. Tindakannya ini
    ternyata harus dibayar dengan keterputusan epistemis dan epistemologi. Lebih-
    lebih setelah pembaruan Ibn Mujahid dengan adanya penerbitan edisi buku al-
    Qur'an di Kairo pada tahun 1924.69
             Dengan membandingkan bentuk lisan dan tulisan dari al-Qur'an,
    Arkoun menyatakan dengan tegas bahwa ia lebih suci, autentik dan dapat

otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Lihat Ilham B. Saenong,
Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi, (Teraju: Jakarta,
2002), hal. 36.
         64
            Dalam kajian semiotika, istilah korpus dimaksudkan untuk suatu koleksi terbatas
material-material yang ditentukan sebelumnya oleh si analis, menurut suatu arbitrer tertentu (yang
tidak terhindarkan) dan atas korpus itulah si analis akan bekerja. Lihat Roland Barthes,
Petualangan Semiologi…, hal. 87.
         65
            Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 13
         66
            Muhammad Arkoun, Rethinking…, hal. 50.
         67
            Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 16.
         68
            Ibid, hal. 17.
         69
            Ibid, hal. 17-18
dipercaya ketika masih dalam diskursus dibanding dengan ketika dalam bentuk
    tertulis.70 Alasannya menurut Arkoun adalah karena al-Qur'an terbuka untuk
    semua arti ketika dalam bentuk lisan, dan dalam bentuk tulisan tidak lagi
    begitu. Sebaliknya dia mengatakan, penggunaan alat-alat tulis seperti pena dan
    kertas telah mengurangi status al-Qur'an yang bersifat ketuhanan menjadi
    sebuah buku dunia.71
             Fase keempat adalah fase korpus tertafsir. Fase ini dikaitkan Arkoun
    dengan produktivitas teks, bukan produktifitas wacana. Tradisi keagamaan
    dihasilkan dari penafsiran teks tertulis, bukan penafsiran terhadap wacana
    Qur'an. Para pembaca menuliskan kembali teks sesuai dengan kisi-kisi persepsi
    dan prinsip penafsirannya. Kisi dan prinsip tersebut, menurut Arkoun, terkait
    dengan budaya pembaca dan determinasi kelompok pada masanya. Dalam
    konteks itulah terjadi penggandaan semantis, simbolis, dan ideologis atas teks
    dalam ruang sejarah sosial, politik, dan kebudayaan.72 Mushaf standar ini telah
    kehilangan daya magnetik dan fungsionalitasnya, karena ditempatkan pada
    posisi yang begitu tinggi yang digambarkan seolah-olah tidak ada lagi orang
    yang mampu memahaminya selain para imam maksum dan Mujtahid dan
    bahwa makna mushaf telah tergali secara keseluruhan oleh meraka.
    Kemungkinan besar, ini terjadi akibat berlapis-lapisnya teks-teks tafsiran
    terhadap teks pertama, Mushaf yang menurut Arkoun menyerupai lapisan
    geologis pada bumi.73
             Dengan rekonstruksi tahapan turunnya wahyu kepada audiens, Arkoun
    ingin memberikan porsi pendekatan antropologis dan semiotis kepada wahyu
    sebelum ia dipahami oleh para ulama dan menjadi cabang-cabang keilmuan
    Islam. Tiga tahap terakhir turunnya wahyu dipandang Arkoun sebagai tahap


        70
            Muhammad Arkoun, Min Faishal…,hal. 59.
        71
            Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an…, hal 23.
         72
            Gagasan Arkoun mengenai kaitannya produksi teks dengan konteks ideologi sama
dengan gagasan Nasr Hamid Abu Zayd. Al-Qur'an dalam tataran immanen tidak lepas dari proses
budaya dan dipahami dalam konteks budaya tertentu. Zayd juga melihat proses ideologi (talwiin)
dibalik pembakuan ushlf fiqh yang disusun oleh as-Syafi'i, dengan sentralitas bahasa Arab Qurays
sebagai standar pemahamannya. Zayd menyebut proses tersebut sebagai "pemihakkan ideologis".
Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 106.
         73
            Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender,
(Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004), hal. 90-91.
semio-linguistik karena ketiganya berada dalam tataran sejarah dan budaya
manusia.74
          Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin
ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari
wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur'an yang tertulis, yang kemudian
dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam
ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang
terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku.
Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana
masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata
memunculkan masalah tersendiri.75
          Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada
masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur'an sudah mengalami perubahan.
Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur'an masih berupa "ide" atau
pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh
manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan
surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam
Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan
yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada
lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun
juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun
menganggap al-Qur'an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi
Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di
atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya.

          Setelah penulis paparkan dan simpulkan inti dari pemikiran Arkoun,
selanjutnya penulis sandingkan dengan hasil dari kajian az-Zarqani mengenai
tanzil-nya al-Qur'an. Meski az-Zarqani termasuk dalam jajaran ulama yang
dikritik Arkoun, namun tidak ada salahnya penulis paparkan konsepsinya
mengenai tanzil, dengan tujuan apakah tepat kritikan Arkoun di atas.



   74
        Ibid, hal. 107-108.
   75
        Baedhowi, Antropologi…, hal. 201.
2. Tanzil dalam Pandangan Az-Zarqani
             Jika Arkoun tidak mendefinisikan sekaligus mengagumi fenomena
    wahyu yang luar biasa dan menggambarkannya secara detail, maka az-Zarqani
    sebaliknya. Wahyu dalam pengertian, al-muha bihi, yakni objek wahyu itu
    sendiri dibagi menjadi dua macam. Pertama, al-matlu (yang dibaca). Kedua,
    ghairu al-matlu (yang tidak terbaca). Wahyu yang dibaca adalah al-Quran
    yang Allah jadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. dan menjadi penjamin
    pemeliharaannya dari perubahan-perubahan.76 Sedangkan wahyu yang tidak
    dibaca ialah hadits Nabi Muhammad saw.77 Yang termasuk hadits ialah
    perkataan, perbuatan dan keputusan Nabi serta sifat-sifatnya.78
             Menurut pandangan az-Zarqani, wahyu dalam pengertian ihaa (proses
    penyampaian wahyu) mempunyai arti pemberitahuan (i'lam) dari Allah swt
    kepada hamba pilihan-Nya, berupa hidayah atau ilmu pengetahuan dengan cara
    yang amat rahasia dan lain dari kebiasaan manusia.79 Fenomena wahyu ini
    bukanlah peristiwa baru yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saja. Jauh
    sebelumnya sudah dikenal oleh kebanyakan orang. Namun, khusus untuk al-
    Qur'an (al-muha bihi) proses pewahyuannya memiliki kekhususan tersendiri.
    Menurut az-Zarqani, proses pewahyuan al-Qur'an semuanya melalui perantara
    Malaikat Jibril,80 tidak seperti para Nabi sebelumnya.81 Di sini terdapat
    perbedaan dengan Arkoun. Hasil rekonstruksinya terhadap wahyu, Arkoun
    menyatakan bahwa semua Kitab Suci (al-Qur'an, Taurat dan Injil) adalah
    Firman Tuhan yang dimanifestasikan, dijelmakan dalam bahasa manusia,
    ditransmisikan secara oral oleh bahasa manusia, atau ditetapkan dalam bahan-
    bahan tertulis.82 Arkoun tidak menyinggung perbedaan-perbedaan cara
    pewahyuan masing-masing Kitab Suci, juga tidak mengindahkan pemberitaan
        76
            Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Kami menurunkan adh-Dhikra (al-Quran)
dan Kami yang memeliharanya." (Al-Hijr [15]: 9)
         77
            Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa
nafsunya, tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya." (al-Najm [53]: 3-4)
         78
            H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 87.
         79
            Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 55.
         80
            Ibid,
         81
            Sebagaimana yang dialami oleh nabi Musa as. Proses pewahyuannya berupa
pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara langsung tanpa perantara. Dasarnya Firman Allah
yang artinya: "....dan (ketahuilah) Allah telah berbicara langsung dengan Musa." (Al-Nisa' [4]:
164 ).
         82
            Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 41.
tentang penyelewengan (tahrif) terhadap wahyu Allah dalam kitab-kitab
    sebelumnya.
             Az-Zarqani secara khusus melukiskan turunnya wahyu ke dalam hati
    Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan beberapa cara.83
    Secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua (2) bentuk; Pertama,
    kadangkala Nabi diperlihatkan bentuk rupa malaikat penyampai wahyu
    sebagaimana wujud aslinya atau dalam wujud manusia. Ketika malaikat Jibril
    datang kepada Muhammad saw dengan menampakkan dirinya sebagai
    manusia, para sahabat mampu melihat dan mendengarkannya. Bentuk Kedua
    inilah yang paling sering, yakni kedatangan malaikat tanpa memperlihatkan
    bentuk rupanya, tetapi Nabi hanya mendengar suara seperti suara lebah atau
    suara lonceng. Yang diketahui oleh para sahabatnya hanyalah tanda-tanda
    lahiriah seperti merasa adanya beban berat atau berkeringat dan lain
    sebagainya.84 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dalam hadits
    al-Bukhari, ketika sahabat Harits bin Hisyam bertanya, "Wahai Rasulallah
    bagaimana kedatangan wahyu kepadamu"? Rasulallah menjawab, "Kadangkala
    ia datang seperti suara lonceng yang sangat keras namun aku tetap sadar
    menangkap suara itu. Kadang-kadang lewat malaikat yang tampil berupa
    seorang laki-laki kemudian ia menyampaikan wahyu kepadaku, akupun
    menyadari pesan-pesan wahyu tersebut”.85 Data-data riwayat seperti ini tidak
    disinggung oleh Arkoun, bagi yang menggunakan data-data riwayat (sunnah
    dan perkataan sahabat) malah dituduh sebagai muslim ortodoks yang telah
    banyak memanipulasi wahyu.
             Mengenai bagaimana al-Qu'ran (al-muha bihi) di-tanzil-kan, az-
    Zarqani tidak mengartikan secara harfiah bahwa al-Qur'an diturunkan dari
    langit, yakni laksana turunnya (tanzil) benda dari atas ke bawah. Alasannya,
    karena al-Qur'an bukanlah berupa benda yang membutuhkan tempat. Az-


        83
            Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi,
hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
         84
            Siti 'Aisyah, Ummul Mu'minin ra. mengatakan: "Pada suatu hari yang amat dingin
kulihat beliau sedang menerima wahyu. Kulihat dahi beliau bercucuran keringat." Lihat, Shahih
al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
         85
            Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi,
hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
Zarqani menganggap bahwa kata tanzil dalam Firman Allah86 dan hadits
    Nabi87 dipahami sebagai majas/metafor saja. Baginya tanzil diartikan sebagai
    i'lam (pemberitahuan).88
                Sebagaimana ulama klasik lainnya, az-Zarqani menjelaskan tanzil-nya
    al-Qur'an dengan tiga fase: pertama, al-Qur'an awal mulanya berada di al-lauh
    al-Mahfuzh.89 Ditempat ini, al-Qu'ran sudah dalam bentuk yang utuh, yakni
    sudah terbentuk dalam lafazh-lafazh yang sistematis seperti sekarang ini.
    Tentang bagaimana dan kapan keberadaannya di sana, semua tidak ada yang
    mengetahui kecuali Allah swt.90 Ibnu 'Asyur dalam kajian tafsirnya
    menjelaskan, bahwa al-Qu'ran sebelum turun ke bumi sudah tertulis91 di al-
    lauh al-Mahfuzh sebagaimana Taurat-nya Nabi Musa a.s. Ia terpelihara dari
    bentuk tambahan, pengurangan, penyimpangan dan perubahan.92 Pandangan
    az-Zarqani ini sangat berbeda dengan Pendapatnya Arkoun. Menurutnya, pada
    level ini Kalam Allah masih berupa parole dan belum terkonsepsikan dalam
    lafazh-lafazh bahasa Arab. Ia masih berbentuk "ide" atau "ilmu" Tuhan.
                Az-Zarqani memang membedakan Kalam Allah menjadi dua, yakni
    Kalam nafsi dan Kalam lafdhi. Yang pertama menunjuk pada ke-qadim-an al-
    Qur'an yang berwujud ide dan pengetahuan ('ilm) yang telah ada sejak zaman
    azali sebelum ter-lafazh-kan dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad.93 Jadi


         86
              Diantaranya adalah Firman Allah:                    yang artinya: "Dan Kami turunkan
(Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa)
kebenaran". (al-Isra' [17]: 105)
        87
           Diantaranya adalah hadits :                       yang artinya: "sesungguhnya
al-Qur'an itu diturunkan dengan tujuh huruf" (HR. Al-Bukhari) no. 4706.
          88
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 38.
          89
             Dalam 'ilmu qira'at, bacaan lafadh al-Mahfuzh diriwayatkan dengan dua versi bacaan
yang berbeda. Pertama kata Mahfuzh dibaca dengan katsratain Mahfuzhin sebagai kata sifat dari
kata lauhin yaitu penulisan al-Qur'an pertama kali. Maksudnya ialah bahwa apa yang terkandung
dan tertulis di dalam lauh sungguh-sungguh terpelihara. Bacaan kedua adlah kata Mahfuzh dibaca
marfu' (dammatain) yakni Mahfuzhun berarti posisinya sebagai kata sifat dari kata Qur'anun,
sehingga berarti bahwa al-Qur'an terpelihara di lauh. Lihat jalaludin as-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-
Qur'an, jus 1, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 1988), hal. 116 yang dikutip oleh H.M Idris A.
Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 84-85.
          90
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 39.
          91
             Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: " Dan telah Kami tuliskan untuk Musa
pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…".
(al-'Araf [7]: 145)
          92
             Lihat Ibn 'Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16, hal. 202.
          93
              Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 18.
segala peristiwa yang termaktub dalam al-Qur'an sudah dalam pengetahuan
    Allah semenjak azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah adalah qadim, dan
    tidak terbatasi dengan ruang dan waktu.94 Kajian ini menjadi ciri khas ulama
    ahli kalam. Yang kedua, Kalam lafdhi, merujuk pada Kalam Allah yang sudah
    terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Untuk yang kedua ini, biasanya menjadi
    pusat kajian fuqaha. Konsepsinya Arkoun tentang Parole Allah boleh
    dikatakan hampir sama dengan dengan az-Zarqani. Bedanya, Arkoun
    menyebutkannya untuk yang di al-lauh al-Mahfuzh. Sedangkan az-Zarqani
    merujuk pada sifat Kalam Allah sendiri.
             Menurut az-Zarqani, meskipun ada perbedaan sudut pandang diantara
    ulama ahli ilmu kalam dengan Fuqaha mengenai Kalam Allah, namun mereka
    sepakat bahawa al-Qur'an berupa lafazh (Kalam Allah) yang diturunkan (al-
    munazzal) kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surah al-Fatikhah hingga
    surah al-Nas yang ditulis dalam mushaf, ditransmit secara mutawatir, dan
    membacanya termasuk ibadah.95 Perbedaan mereka hanya seputar konsentrasi
    kajiannya saja.
             Fase kedua, setelah al-Qur'an berada di al-lauh al-Mahfuzh kemudian
    diturunkan ke langit dunia, bait al-'izzah96 pada malam al-qadar.97 Pada tahap
    yang kedua ini, al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan, baru kemudian turun
    ke bumi selama 20 tahun atau 23 tahun sesuai dengan perbedaan ulama tentang
    lama berdiamnya Nabi saw di Makkah setelah diangkat menjadi Rasul.98

        94
             Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr Hamid
dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-
AGUSTUS 2004, hal. 41.
          95
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 21.
          96
             Penamaan bait al-'izzah berdasarkan keterangan Ibn Abbas r.a. beliau berkata: "Allah
menurunkan al-Qur'an sekaligus (dari al-lauh al-makhfud), dan meletakkannya di bait al-'izzah di
langit dunia baru kemudian diturunkan oleh Mmalaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk
menjawab perkataan manusia dan segala amalnya" lihat at-Thabrani, Mu'jam al-Kabir, Juz 12,
(Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, 1983), hal 32. dalam riwayat yang lain Ibn Abbas berkata; "Al-
Qur'an dipisahkan dari ad-Dzikr (al-lauh al-makhfud) kemudian diletakkanya di bait al'izzah di
langit dunia baru kemudian Malaikat Jibril as menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw."
Lihat Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40. Menurut Imam Suyuti,
hadits ini dianggap shahih, karena diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas yang dinilai marfu' kepada Nabi
Muhammad saw. Dan diperbolehkan berhujjah dengan hadits ini. Muhammad 'Abd al-'Adzim az-
Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40.
          97
             Dasarnya adalah Firman-Nya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an)
pada malam lailatul qadar." (al-Qadr [97]: 1)
          98
             Ibid, hal. 40.
Pandangan az-Zarqani ini didukung oleh kebanyakan ulama. Ibnu
              99
    Katsir,        al-Qurthubi,100 as-Syaukani,101 Fahrudin ar-Razi,102 dan yang lainnya
    juga memiliki pendapat yang sama dengan az-Zarqani, bahwa sebelum al-
    Qur'an disampaikan kepada Nabi Muhammad, ia diturunkan sekaligus ke
    langit dunia, yaitu bait al'izzah pada malam al-qadar. Sumbernya adalah
    riwayat dari Ibn Abbas r.a. Seperti biasanya, Arkoun juga tidak tertarik dengan
    data-data riwayat seperti ini. Apa lagi ini adalah perkataan sahabat Nabi.
              Fase ketiga, al-Qur'an diturunkan sedikit demi sedikit (gradual) melalui
    perantara malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad saw, baru kemudian beliau
    mendakwahkannya sebagai hidayah dan pelita kehidupan bagi manusia di
    dunia.103 Hikmah diturunkannya secara gradual adalah untuk menguatkan atau
    meneguhkan hati Rasulullah saw, tarbiyah bagi umat Islam dari segi keilmuan
    dan pengamalan, kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pertahapan dalam
    penerapan hukum, dan menunjukan bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah
    swt104 yang berupa lafazh-lafazh105 yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi
    Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.106
              Mengenai apa yang diturunkan oleh Allah, az-Zarqani menjelaskan
    bahwa yang dibawa oleh malaikat Jibril adalah al-Qur'an, yang berupa lafazh-
    lafazh dalam artian hakiki, mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas.
    Dan lafalh-lafalh tersebut adalah Kalam Allah swt sendiri yang tidak
    terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw.
    Dialah Allah yang menyusun107 sendiri lafazh-lafazh al-Qur'an.108 Adapun


        99
            Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, (Daar Thayyibah, 1999), hal 105.
        100
             Lihat al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II, (tp, tt), hal. 297.
         101
             Lihat as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, (tp, tt), hal. 240.
         102
             Lihat Fahrudin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 17, (tp, tt), hal. 125.
         103
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 42.
         104
             Ibid, hal. 48-52.
         105
             Azh-Zhahabi menambahkan sekaligus dengan maknanya. Tanzil al-Qur'an dengan
lafadh dan maknanya adalah definisi yang digunakan oleh jumhur ulama ahli syariah. Lihat
Muhammad Husain Azh-Zhahabi, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da'wah, (Mesir: Dar
al-Hadits, 2005), hal. 267.
         106
             Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 20.
         107
             Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi interuksi kepada
para penulis tentang letak ayat pada setiap surah. Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup
ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisanya dan
berkata, "Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam surah seperti yang beliau sebut." Zaid bin Tsabit
menegaskan, "Kami akan kumpulkan al-Qur'an di depan Nabi Muhammad." Menurut Usman bin
bagaimana caranya Malaikat Jibril mengambil dari Allah swt, az-Zarqani
    menjelaskan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah swt.
    dengan cara sima'an (mendengarkan).109 Yakni mendengarkan Kalam Allah
    yang berupa lafazh-lafazh-Nya tadi.110
            Mengenai bahasa al-Quran, az-Zarqani berpandangan bahwa bahasa
    yang dipakai oleh al-Qur'an adalah bahasa yang disusun sendiri oleh Allah swt.
    tanpa ada campur tangan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw, lebih-
    lebih terkonstruk oleh sosial budaya masyarakat Arab. Lebih lanjut az-Zarqani
    mengatakan bahwa al-Qu'ran adalah sumber tata bahasa Arab.111 Pemahaman
    az-Zarqani di atas sangat berbeda dengan Arkoun, dengan teori ilmu linguistik-
    semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah sebagai parole, yang ketika
    di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Agar parole
    ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan
    diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole
    harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dari sinilah
    Arkoun mengatakan bahwa al-Quran telah terkontaminasi oleh sejarah
    manusia yang profan. Maka dari itu, al-Qur'an yang sekarang ini tidak layak
    diberi label sakral.
            Pandangan az-Zarqani tentunya sangat argumentatif. Hal ini dikuatkan
    oleh al-Attas. Menurutnya justru Al-Qur'an telah mengislamkan bahasa Arab

Abi al-'As, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat
tertentu. Lihat M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis
Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 75.
          108
              Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 43-44.
          109
              Ibid., hal. 43. Dasarnya adalah Firman Allah, yang artinya: "Dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan
dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah:
"Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari
yang besar (kiamat)." (Yunus [10]: 15)
          110
              Ada yang mengatakan bahwa Jibril menghafalnya dari al-lauh al-Mahfuzh. Selain itu
ada yang mengatakan bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadh-nya adalah
redaksi dari Malaikat Jibril, atau dari lafadh-nya Nabi Muhammad saw. Menurut Manna' Khalil al-
Qattan, pendapat pertama tidak bisa dijadikan pegangan, sebab adanya al-Qur'an di al-lauh al-
Mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib lainnya. Dan pendapat ketiga lebih sesuai untuk Hadits, sebab
Hadits itu wahyu dari Allah kepada Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw secara maknawi saja. Kemudian hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau
sendiri. Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedang al-
Qur'an tidak. Lihat Manna' Khalil al-Qattan, Mabahits…, hal. 35-36.
          111
              Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal.12.
pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah,
    dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-
    bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang
    dibawa oleh al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata
    pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan
    konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang
    bukan dari pandangan hidup Islam.112
              Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata
    penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah
    bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr-
    Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak,
    kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-
    Qur'an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan
    memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan:
    "Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling
    bertakwa."113
              Selain itu, al-Qur'an juga merubah semantik dasar dari kata karim.
    Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur'an: Kitab Karim atau ucapan
    kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam
    tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words
    or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan
    membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah),
    yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan
    darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur'an lagi-lagi mengubah ini
    dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar
    keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.114



        112
            Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 341.
        113
            Ayat al-Qur'annya adalah surat al-Hujuraat ayat 13 yang artinya: "Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
        114
            Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 342.
Jika lafazh dan bahasa al-Qur'an terpengaruh oleh sejarah dan sosial
    budaya Arab, maka bahasa al-Qur'an akan dengan mudah dipahami oleh orang
    Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak
    semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran
    dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun,
    Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah
    di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu115
              Melihat kenyataan tersebut di atas, tesis Arkoun mengenai bahasa Arab
    al-Qur'an (wahyu langue) terpengaruh atau harus menyesuaikan dengan situasi
    sosial atau semantik bahasa Arab pra-Islam, adalah tidak tepat. Justru
    sebaliknya, al-Qur'an telah merubah budaya pagan Arab dan pandangan
    hidupnya serta semantik bahasa Arab.
              Selain itu, Arkoun juga mempermasalahkan urutan surah dan ayat
    dalam al-Qur'an. Kenyataan yang ada sekarang, baginya sangat menyulitkan
    untuk menguraikan kembali situasi wacana yang dapat membantu untuk
    menyusun kembali tindak penuturan lisan al-Qur'an. Namun bagi az-Zarqani,
    mengutip pendapatnya jumhur ulama, suasana wacana tanzil al-Qur'an (asbab
    an-nuzul) tidaklah menjadi orientasi penafsiran atau pengambilan hukum.
    Yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yanng
    khusus (al-'ibrah bi 'umum al-lafazh la bi khusus as-sabab). Asbab an-nuzul
    hanya berfungsi sebagai penjelas saja. Jadi mengenai urutan surah atau ayat al-
    Qu'ran bukan menjadi problem, karena yang berwenang membuat urutan
    tersebut adalah Allah sang Pemilik al-Qur'an.116
              Banyak riwayat yang mengetengahkan tentang tartib surah dan ayat al-
    Qur'an. Diantaranya Ubbay bin Ka'b menjelaskan, "Kadang-kadang permulaan
    surah     itu   diwahyukan      kepada     Nabi     Muhammad,        kemudian       saya
    menuliskannya, dan wahyu yang lain turun pada beliau lalu berkata, "Ubbay!
    Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu." Dalam kesempatan lain
    wahyu diturunkan kepada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak

        115
              Lihat Adnin Armas, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam
http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-
quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas diambil tanggal 6 Juni 2010.
          116
              Lihat selengkapnya M. M. al-A'zami, Sejarah Teks…, hal. 74.
diberikan sehingga beliau memberi tahu tempat yang sesuai dari suatu ayat."
Mengenai penamaan surah juga sudah ada pada waktu zaman Nabi. Abu
Mas'ud al-Badri memberi laporan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Ayat
terakhir dari surah al-Baqarah dapat mencukupi bagi siapa saja yang membaca
di waktu malam."117
          Melihat kenyataan adanya perbedaan dalam perintah meletakkan ayat-
ayat dalam surah tertentu, serta keunikan susunan al-Qur'an yang merupakan
wewenang Allah, telah memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan
bebas, independen unit, di mana tidak tergantung pada kronologi turunnya
ayat-ayat al-Qur'an. Dalam hal ini, upaya Arkoun yang menekankan wacana
Qur'ani dari pada teks-teks al-Qur'an (al-'ibrah bi khusus as-sabab, la bi
'umum al-lafzh) adalah kurang tepat.
          Masih menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat,
dimanapun tempat al-Qu'ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh
al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit,
terukir di atas batu, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam
Allah yang masih terjada baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang
mengingkarinya dia telah kafir.118 Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani.
Ia mengatakan bahwa al-Qur'an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika
masih di al-lauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya.
          Pandangan az-Zarqani ini bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman
bahwa al-Qur'an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya
pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur'an atau wahyu yang
di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua
pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya
Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur'an dengan
sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang




   117
         Ibid, hal. 76
   118
         Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 19.
menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur'an telah diwahyukan dengan sempurna
    kepada umat manusia.119 Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat.
              Di sini az-Zarqani tidak mempermasalahkan adanya standarisasi
    mushaf al-Qur'an. Berbeda dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan
    adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama
    persis ketika pada masa kenabian. Pandangan az-Zarqani dikuatkan oleh
    Isma'il Raji al-Faruqi. Ia menyatakan bahwa makna bentukan al-Quran, yakni
    makna yang sama persis ketika masa kenabian tidaklah berubah secara
    konseptual dan semantiknya, meskipun perbendaharaan kata-kata akarnya
    telah sedikit bertambah untuk mengimbangi perkembangan-perkembangan
    baru.120
              Dalam memahami mushaf al-Qur'an, Arkoun memang salah paham, ia
    menganggap yang namanya al-Qur'an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah
    dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur'an
    bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan "bacaan"
    (qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya
    maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui
    lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan
    membaca al-Qur'an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi
    sebagai penunjang semata.121
              Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur'an atau dibakukannya
    dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga
    setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya.122 Lagi pula, dengan
    adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih
    tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin
    memperbaiki bacaan al-Qur'an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan
    mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur'an dengan


        119
           Lihat al-Maidah ayat 3 yang artinya: "…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agama bagimu..."
       120
           Isma'il Raji al-Earuqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 29.
       121
           Syamsudin Arif, Orientalis…, hal. 10.
       122
           Abdul Shabur Syahin, Saat al-Qur'an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal.
110.
metode langsung dan sima'i kepada para ahli baca al-Qur'an, 123 bukan kepada
    orang Mushafi atau shahafi.124

D. Analisis dan Kesimpulan
              Konsepsi kedua cendekiawan muslim di atas mengenai Kalam Allah,
    wahyu, al-Qur'an dan tanzil-nya sangat berbeda sekali. Berbagai pendekatan
    ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk merekonstruksi konsep tanzil al-
    Qur'an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun
    menyamakan status al-Qur'an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat
    dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri.
    Tujuannya Arkoun dengan dekonstruksi dan rekonstruksi tanzil al-Qur'an
    adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis
    seperti Taurat dan Injil.
              Anggapan Arkoun mengenai tanzil dan al-Qur'an, semuanya keliru.
    Dan sekalil lagi penulis tegaskan, al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-
    kan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad, lafazh dan maknanya serta tartib surah
    maupun ayatnya, melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur'an yang tertulis atau
    dihafal semuanya adalah Kalam Allah, dan tidak ada permasalahan mengenai
    transformasi al-Qur'an dari lisan (orale) ke tulisan, pasalnya tulisan al-Qur'an
    selalu mengikuti bacaan lisan. Selain itu, tulisan berfungsi sebagai penunjang
    semata.




        123
           Ibid, hal. 25.
        124
           Para ahli baca al-Qur'an tempo dulu mengatakan, "Janganlah kalian mempelajari dari
orang mushafi. Dan jangan pula kalian mengambil ilmu dari seorang shahafi." Yang dimaksud
dengan mushafi adalah orang yang mempelajari al-Qur'an dan ia bersandar pada bacaan yang
terdapat dalam mushaf, tanpa ada seorang ahli bacaan yang memperbaiki dan meluruskan
bacaannya. Sedang yang dimaksud dengan shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari
mushaf-mushaf, bukan dari ulama. Lihat Ibid, hal. 25-26.
DAFTAR PUSTAKA



Al-Qur'an al-Kariim

Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr
         Hamid dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan
         Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004

Al-A'zami, M. M., 2005, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai
          Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
          Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha,
          Jakarta: Gema Insani

Al-Qattan, Manna' Khalil, 1990, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Riyadh:
          Mansyurat al'Ashr al-Hadits

al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II

Arif, Syamsudin, Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA,
          Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni
          2005

------------, 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gemas Insani

Arkoun, Muhammad, 1995, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina
         Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih,
         Beirut: Dar al-Saqi

------------, 2005, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih
             bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

------------, 1996, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

------------, 1998, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih,
              London: Dar al-Saqi

------------, 1998, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah,
              Bandung: Pustaka

------------, 2003, al-Fikr al-Usuli wa Istilahat al-Ta'sil Nahwa Tarikhin Akhar
              lil Fikr al-Islami, alih bahasa Hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi

Armas, Adnin Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama,
         dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam,
         THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004
.................., 2005, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis,
                  Jakarta: Gema Insani

---------------, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam
              http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&i
              d=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-
              armas

ar-Razi, Fahrudin Mafatih al-Ghaib, Juz 17

as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I

'Asyur, Ibn, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16

at-Thabrani, 1983, Mu'jam al-Kabir, Juz 12, Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam

Azh-Zhahabi, Muhammad Husain, 2005, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa
         ad-Da'wah, Mesir: Dar al-Hadits

az-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Adzim, 1995, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-
           Quran, juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi

Baedhowi, 2009, Antropologi Al-Qur'an, Yogyakarta: Lkis

Barthes, Roland, 2007, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar
          Herwinarko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia
          Pustaka Utama

Bleicher, Josef, 2007, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai
           metode, Filsafat, dan kritik, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta:
           Fajar Pustaka

Choir Thohatul dkk, 2009, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
         Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2002, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
         M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmy Zarkasy dkk.,
         Jakarta: Mizan

Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono
          Soemargono, cet. Kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

Ghazali, Abd Moqsith dkk., 2009, Metodologi Studi Al-Qur'an, Jakarta:
          Gramedia
Harb, Ali, 2003, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi,
          Yogyakarta: LkiS

Hick, John, 2006, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan
          Taufik Aminuddin, Yogyakarta: Interfidei

Hidayat, Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa,
          Makna dan Tanda, Bandung: PT Remaja Rosda Karya

http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010

http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli
            2002

Ibn Katsir, 1999, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, Daar Thayyibah

Muslih, Mohammad, 2008, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar
         Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:
         Belukar

O'Donnell, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisisus

Saenong, Ilham B., 2002, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-
          Qur'an Menurut Hasan Hanafi, Teraju: Jakarta

Salim, Fahmi, 2010, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, Jakarta:
          Perspektif

Shalahuddin, Henri, 2007, al-Qur'an Dihujat, Jakarta: al-Qolam

Shahih al-Bukhari

Sholihan, 2009, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik
          Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo
          Press

Shomad, H.M Idris A., Al-Qu'ran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal
         Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005

Solihu, Abdul Kabir Hussain, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun:
          Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban
          Islam, THN I No.2/Juni-Agustus 2004

Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
         Kanisius

Sunan Abu Daud
Syahin, Abdul Shabur, 2007, Tarikh al-Quran, Mesir: Nahdlah Mishr

Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar
          Taesir Gender, Yogyakarta: Safira Insani Press

Yusuf al-Qaradawi, 1995, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, Cairo: Maktabah
          Wahbah

Zarkasy, Hamid Fahmy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan
          Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425

------------, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA,
              Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni
              2005

More Related Content

What's hot

Pengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSIPengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSI
Marhamah Saleh
 
Masuknya hermeneutika dalam penafsiran
Masuknya hermeneutika dalam penafsiranMasuknya hermeneutika dalam penafsiran
Masuknya hermeneutika dalam penafsiran
Sida El Nurya
 
Tugas ppt pak rofiq
Tugas ppt pak rofiqTugas ppt pak rofiq
Tugas ppt pak rofiq
innaarina3
 
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Hulu Kujang
 
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsirTafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
Hibatul Wafi
 
Hadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islamHadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islam
Remaja Sufi
 
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusydkonsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
Ltfltf
 

What's hot (20)

Pengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSIPengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSI
 
sumber sumber ajaran islam
sumber sumber ajaran islamsumber sumber ajaran islam
sumber sumber ajaran islam
 
Masuknya hermeneutika dalam penafsiran
Masuknya hermeneutika dalam penafsiranMasuknya hermeneutika dalam penafsiran
Masuknya hermeneutika dalam penafsiran
 
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
 
Tugas ppt pak rofiq
Tugas ppt pak rofiqTugas ppt pak rofiq
Tugas ppt pak rofiq
 
Bab dua
Bab duaBab dua
Bab dua
 
Al Ghazali Kritik kepada Filosuf
Al Ghazali  Kritik kepada FilosufAl Ghazali  Kritik kepada Filosuf
Al Ghazali Kritik kepada Filosuf
 
Bab 13 sumber hukum yang disepakati ulama (alquran, sunnah, ijma' dan qiyas)
Bab 13 sumber hukum yang disepakati ulama (alquran, sunnah, ijma' dan qiyas)Bab 13 sumber hukum yang disepakati ulama (alquran, sunnah, ijma' dan qiyas)
Bab 13 sumber hukum yang disepakati ulama (alquran, sunnah, ijma' dan qiyas)
 
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
 
pengantar studi islam
pengantar studi islampengantar studi islam
pengantar studi islam
 
Ulumul Quran
Ulumul QuranUlumul Quran
Ulumul Quran
 
Buwaih makalah
Buwaih makalahBuwaih makalah
Buwaih makalah
 
Al qur’an Definisi dan Sejarah
Al qur’an Definisi dan SejarahAl qur’an Definisi dan Sejarah
Al qur’an Definisi dan Sejarah
 
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsirTafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
Tafsir feminis tantangan terhadap konsep wahyu dan tafsir
 
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan TasawufAkhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
 
Hadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islamHadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islam
 
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusydkonsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu rusyd
 
BAB I
BAB IBAB I
BAB I
 
Hadis Sebagai sumber Ajaran islam
Hadis Sebagai sumber Ajaran islamHadis Sebagai sumber Ajaran islam
Hadis Sebagai sumber Ajaran islam
 
Ulumul Quran
Ulumul QuranUlumul Quran
Ulumul Quran
 

Viewers also liked

6ja250 mcdonalds-eng
6ja250 mcdonalds-eng6ja250 mcdonalds-eng
6ja250 mcdonalds-eng
xxxxj
 
Tecnicas para tratar enfermedades respiratorias
Tecnicas para tratar enfermedades respiratoriasTecnicas para tratar enfermedades respiratorias
Tecnicas para tratar enfermedades respiratorias
Marco Loza Mendez
 
Insanityybest
InsanityybestInsanityybest
Insanityybest
lindsayhb
 
St petri kyrka
St petri kyrkaSt petri kyrka
St petri kyrka
falster5
 
Hair ton cream presentation
Hair ton cream presentationHair ton cream presentation
Hair ton cream presentation
Dr. Hani Malkawi
 
Kompanihuset
KompanihusetKompanihuset
Kompanihuset
falster5
 
Mr Good MGD
Mr Good MGDMr Good MGD
Mr Good MGD
Jyeston
 

Viewers also liked (20)

6ja250 mcdonalds-eng
6ja250 mcdonalds-eng6ja250 mcdonalds-eng
6ja250 mcdonalds-eng
 
X22686506
X22686506X22686506
X22686506
 
Tecnicas para tratar enfermedades respiratorias
Tecnicas para tratar enfermedades respiratoriasTecnicas para tratar enfermedades respiratorias
Tecnicas para tratar enfermedades respiratorias
 
History lesson
History lessonHistory lesson
History lesson
 
Dog pile
Dog pileDog pile
Dog pile
 
Service Desk by InfraManager ITSM
Service Desk by InfraManager ITSMService Desk by InfraManager ITSM
Service Desk by InfraManager ITSM
 
2ª guerra mundial ppt sobre el desarrollo
2ª guerra mundial ppt sobre el desarrollo2ª guerra mundial ppt sobre el desarrollo
2ª guerra mundial ppt sobre el desarrollo
 
Email Advertising
Email AdvertisingEmail Advertising
Email Advertising
 
Proyecto investigación
Proyecto investigación Proyecto investigación
Proyecto investigación
 
How to increase engagement and conversions
How to increase engagement and conversionsHow to increase engagement and conversions
How to increase engagement and conversions
 
Insanityybest
InsanityybestInsanityybest
Insanityybest
 
St petri kyrka
St petri kyrkaSt petri kyrka
St petri kyrka
 
5 servidor web
5 servidor web5 servidor web
5 servidor web
 
Virtually Anywhere
Virtually AnywhereVirtually Anywhere
Virtually Anywhere
 
A short tutorial on why good companies do well by doing good & what americans...
A short tutorial on why good companies do well by doing good & what americans...A short tutorial on why good companies do well by doing good & what americans...
A short tutorial on why good companies do well by doing good & what americans...
 
Hair ton cream presentation
Hair ton cream presentationHair ton cream presentation
Hair ton cream presentation
 
The Technion Library System - 2015
The Technion Library System - 2015The Technion Library System - 2015
The Technion Library System - 2015
 
Kompanihuset
KompanihusetKompanihuset
Kompanihuset
 
Mr Good MGD
Mr Good MGDMr Good MGD
Mr Good MGD
 
Catalogue-Oil Cooled-Resin Cast CTs-PTs-ATS
Catalogue-Oil Cooled-Resin Cast CTs-PTs-ATSCatalogue-Oil Cooled-Resin Cast CTs-PTs-ATS
Catalogue-Oil Cooled-Resin Cast CTs-PTs-ATS
 

Similar to Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani

Contoh modul pai, sk,kd,id dan lks
Contoh modul pai, sk,kd,id dan lksContoh modul pai, sk,kd,id dan lks
Contoh modul pai, sk,kd,id dan lks
Akram Atjeh
 
Metode Studi Islam
Metode Studi IslamMetode Studi Islam
Metode Studi Islam
azzahracaem
 
121472359 madzhab-madzhab-tafsir
121472359 madzhab-madzhab-tafsir121472359 madzhab-madzhab-tafsir
121472359 madzhab-madzhab-tafsir
s4gito
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Anwar Ma'rufi
 

Similar to Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani (20)

Al qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsirAl qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsir
 
Pemikiran M arkoun
Pemikiran M arkounPemikiran M arkoun
Pemikiran M arkoun
 
KONSEP-KONSEP DASAR SEPUTAR AL-QURAN DAN ILMU AL-QURAN SERTA KEDUDUKAN AL-QUR...
KONSEP-KONSEP DASAR SEPUTAR AL-QURAN DAN ILMU AL-QURAN SERTA KEDUDUKAN AL-QUR...KONSEP-KONSEP DASAR SEPUTAR AL-QURAN DAN ILMU AL-QURAN SERTA KEDUDUKAN AL-QUR...
KONSEP-KONSEP DASAR SEPUTAR AL-QURAN DAN ILMU AL-QURAN SERTA KEDUDUKAN AL-QUR...
 
Al qur'an di era modern
Al qur'an di era modernAl qur'an di era modern
Al qur'an di era modern
 
STUDI AL-QUR’AN.pptx
STUDI AL-QUR’AN.pptxSTUDI AL-QUR’AN.pptx
STUDI AL-QUR’AN.pptx
 
PPT Ulumul Qur'an Kelompok 1.pdf
PPT Ulumul Qur'an Kelompok 1.pdfPPT Ulumul Qur'an Kelompok 1.pdf
PPT Ulumul Qur'an Kelompok 1.pdf
 
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
 
Studi al qur'an
Studi al qur'anStudi al qur'an
Studi al qur'an
 
PROPOSAL SEKRIPSI ZAKI.docx
PROPOSAL SEKRIPSI ZAKI.docxPROPOSAL SEKRIPSI ZAKI.docx
PROPOSAL SEKRIPSI ZAKI.docx
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
 
Contoh modul pai, sk,kd,id dan lks
Contoh modul pai, sk,kd,id dan lksContoh modul pai, sk,kd,id dan lks
Contoh modul pai, sk,kd,id dan lks
 
Metode Studi Islam
Metode Studi IslamMetode Studi Islam
Metode Studi Islam
 
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Shella Anjeli Astari. SM IV MD-E FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Shella Anjeli Astari. SM IV MD-E FDK UINSU 2019/2020TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Shella Anjeli Astari. SM IV MD-E FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH Shella Anjeli Astari. SM IV MD-E FDK UINSU 2019/2020
 
Maraimbang Daulay - etika alquran menurut fazlur rahman
Maraimbang Daulay - etika alquran menurut fazlur rahmanMaraimbang Daulay - etika alquran menurut fazlur rahman
Maraimbang Daulay - etika alquran menurut fazlur rahman
 
121472359 madzhab-madzhab-tafsir
121472359 madzhab-madzhab-tafsir121472359 madzhab-madzhab-tafsir
121472359 madzhab-madzhab-tafsir
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalam
 
Husein muhammad alquran
Husein muhammad alquranHusein muhammad alquran
Husein muhammad alquran
 
Overview Studi Al-Qur'an (SMT I)
Overview Studi Al-Qur'an (SMT I)Overview Studi Al-Qur'an (SMT I)
Overview Studi Al-Qur'an (SMT I)
 
Makalah Al-Qur'an Sebagai Sumber Agama Islam UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printin...
Makalah Al-Qur'an Sebagai Sumber Agama Islam UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printin...Makalah Al-Qur'an Sebagai Sumber Agama Islam UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printin...
Makalah Al-Qur'an Sebagai Sumber Agama Islam UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printin...
 

Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani

  • 1. STUDI KOMPARATIF KONSEP TANZIL ARKOUN DAN AZ-ZARQANI Anwar Ma'rufi1 A. Pendahuluan Belakangan ini, paradigma definisi al-Qur'an mulai bergeser dari konsep tanzil, menjadi sesuatu yang tercipta oleh sosio-historis. Mengenai konsep tanzil sendiri, ulama telah sepakat bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-kan kepada Muhammad saw melalui Malaikat Jibril, baik lafazh maupun maknanya,2 yang susunan ayat maupun surah al-Qur'an merupakan hak Allah sebagai pemilik kitab tersebut.3 Hanya Allahlah yang mengetahui alasan mengenai susunan al-Qur'an yang menurut manusia modern dianggap kurang ilmiah.4 Dan Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Qu'ran yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslim, dimana detail bacaan dari tafkhimat,5 tarqiqat,6 imalat,7 al-ishmam,8 wasal dan waqaf9 terpelihara sebagaimana pada zaman Nabi.10 1 Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. 2 Lihat Abdul Shabur Syahin, Tarikh al-Quran, (Mesir: Nahdlah Mishr, 2007), hal. 23. 3 M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 74. 4 Ibid 5 Secara bahasa adalah menebalkan bacaan, ibarat kekuatan masuk pada bunyi huruf hingga bunyinya memenuhi mulut. Huruf Tafkhim terdiri dari tujuh huruf yang terkandung di dalam bait syair ( ‫)قظ ضغط خص‬ 6 Secara bahasa adalah menipiskan bacaan. Secara istilah ilmu tajwid adalah gambaran perubahan yang berlaku pada bunyi huruf yang mengakibatkan bunyi tersebut tidak memenuhi mulut. 7 Imalah menurut bahasa adalah miring, sedangkan menurut istilah adalah membaca harakat fathah dengan menyandarkan kepada harkat kasrah sekitar dua pertiganya. Ini adalah bacaan yang dikhususkan untuk huruf Ra' saja. Ra' dibaca dengan tipis kerana baris atas yang cenderung kepada baris bawah. Huruf Alif yang cenderung kepada Ya' terdapat di dalam satu kalimah saja di dalam al-Quran yaitu kalimah(‫.) مجراھا‬ 8 Isymam menurut bahasa adalah moyang, sedangkan menurut istilah adalah mengkombinasikan atau mencampur adukan harakat fathah dengan dammah sambil memoyang (mecucu). 9 Waqaf menurut bahasa adalah berhenti, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan, baik untuk tidak diteruskan atau mengambil nafas untuk melanjutkan bacaan selanjutnya 10 Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab' lil Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi yang dikutip oleh Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. Januari 2005, hal. 51-52.
  • 2. Pemahaman mengenai tanzil di atas kemudian didekonstruksi oleh Arkoun, yang kini sering dirujuk oleh kalangan Islam liberal.11 Secara tegas Arkoun menyatakan bahwa wahyu ketika di-tanzil-kan oleh Allah telah terpengaruh oleh realitas sejarah dan sosial budaya Arab. Menurutnya al- qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang disampaikan pada manusia, dikonstruksi dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh suara manusia, dan di bakukan dalam bentuk tertulis.12 Transmisi dari wahyu oral ke dalam tulisan ini menjadikannya sama dengan Kitab-kitab dunia lainya. Menurutnya al-Qu'ran lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya ketika masih dalam bentuk oral dibandingkan dengan ketika dalam bentuk tertulis.13 Karenanya, Arkoun menolak kesucian al-Qur’an yang kita miliki sekarang. Baginya yang Suci itu adalah yang ada di al-Lauh al-Mahfudh, bukan yang termanifestasikan dalam Mushaf. Dalam pandangan Arkoun, Mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang disebabkan semata-mata oleh kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.14 Jadi konsepsi bahwa al-Qur'an, lafazh dan maknanya, adalah dari Allah swt merupakan angan-angan keagamaan saja (al-khayal ad-diny). Pendapat Arkoun di atas sangat bertentangan dengan az-Zarqani, ia menyatakan al-Qu'ran adalah Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.15 Rincinya ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah swt. dengan cara sima'an (mendengarkan), yang lafazh-nya, dari surat al- Fatikhah hingga al-Nas, merupakan mu'jizat. Dan lafazh tersebut adalah kalam Allah yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril dan Nabi 11 Banyak kalangan Islam yang merujuk pendapatnya menganai wahyu, diantaranya adalah Ulil Absar Abdala, Abd Muqsith Ghazali, dan Lutfi Assyaukani dalam bukunya yang berjudul 'Metodolgi Studi Al-Quran" yang mana, nalar berpikirnya persis dengan Arkoun ketika mengatakan wahyu pada masa aural atau oral dan ketika wahyu sudah berubah menjadi tertulis. Lihat Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodolgi Studi Al-Quran, (Jakarta: Gramedia, 2009). 12 Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 41. 13 Muhammad Arkoun, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, (Beirut: Dar al-Saqi, 1995), hal. 59. 14 Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 65. 15 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995), hal. 20.
  • 3. Muhammad dalam pembentukannya maupun tartib-nya.16 Ia adalah kitab yang memuat aturan-aturan hidup dari Sang Pencipta untuk manusia di bumi. Dengannya manusia berakidah, beribadah, bermuamalah, berakhlak dan membangun peradaban Islam.17 Kedua pendapat di atas mengenai tanzil memang sangat bertolak belakang. Pendapat Az-Zarqani mewakili pandangannya umat Islam secara keseluruhan, sedangkan Arkoun menggambarkan pemikir postmodern. Namun apakah benar bahwa al-qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang dikonstruksi dalam bahasa manusia, Mushaf Usmani adalah hasil sosial budaya yang tidak suci lagi dan al-Qur'an sekrang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad. Persoalan ini penting dibahas, karena pemahaman yang tepat mengenai konsep tanzil, wahyu dan al-Qu'ran merupakan langkah awal dalam menentukan metodologi penafsiran al-Qur'an. Jika asumsi dasar mengenai wahyu dan tanzil-nya salah maka bagaimana akan membangun penafsiran di atas pondasi yang rapuh. Karenanya, penulis menganggap penting membahas permasalahan tersebut dengan cara studi komparatif. Melalui makalah singkat ini, penulis akan membahas bagaimana sejatinya landasan epistemologi pemikiran Arkoun dan pandangannya terhadap tanzil dan al-Qur'an. Kemudian penulis komparasikan dengan pandangan az- Zarqani. B. Landasan Metodologi Arkoun dan az-Zarqani 1. Metodologi Arkoun Validitas ilmu tergantung metodologi dan epistemologi seseorang. Karenanya keduanya menempati kedudukan penting dalam dunia pemikiran. Ia tidaklah muncul secara tiba-tiba dalam diri seseorang yang tidak memiliki latar belakang atau tradisi keilmuan. Ia merupakan produk langsung dari worldview18 yang dimilikinya. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi 16 Ibid, hal. 43. 17 Ibid, hal. 12. 18 Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview
  • 4. pengetahuan dalam pikiran seseorang, baik a priori (pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berpikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa obesevasi atau pengalaman khusus) maupun a posteriori (pengetahuan yang diperoleh tidak secara a priori), konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya.19 Demikian halnya Muhammad Arkoun dan az-Zarqani, pandangannya terhadap al-Qu'ran merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada dalam pikirannya. Arkoun sendiri mengakui bahwa seluruh periode yang dilalui dalam menempuh pendidikan memainkan peran yang cukup besar dalam membentuk pemikirannya.20 Arkoun tumbuh pada saat pesatnya perkembangan science, baik yang sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu alam di dunia Barat, begitu juga dengan az-Zarqani. Namun, tampaknya Arkoun memang lebih menyukai Barat (sarang orientalis, Prancis) dari pada tanah airnya sendiri (Aljazair). Karena milleu masyarakatnya yang rasionalis, Arkoun mampu berpikir dengan bebas tanpa ada rasa takut. Dia juga termasuk pendukung paham pluralisme agama versi John Hick.21 Kajian Arkoun mengenai al-Qur'an tergolong cukup berani dan radikal. Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen,22 yakni Kalam Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis. Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui bahwa Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20. 19 Ibid, hal 13. 20 Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 221. 21 Lihat Malki Ahmad Nasir, Dekonstruksi Arkoun…, hal. 61. Dalam pluralisme Agama terdapat dua mazhab, yang pertama adalah aliran John Hick dan yang kedua adalah Fithjof Schuon. Yang pertama, mengemukakan bahwa walau Tuhan memiliki banyak nama, namun sejatinya para penganutnya menyembah pada Wujud yang terakhir. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Interfidei, 2006), hal. 74. Sedangkan Fithjof Schuon punya asumsi bahwa sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, masih ada apa yang ia sebut sebagai "a common ground". Kesamaan asas ini, olehnya disebut dengan Religion Perennis (Agama abadi). Lihat Adnin Armas, Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004, hal. 9. 22 Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 99
  • 5. dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran teologis tradisional.23 Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang tidak takjub terhadap fenomena wahyu dan keajaiban (baca: mukijzat) penurunannya (tanzil).24 Hal tersebut dapat dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah turun dalam bentuk bahasa Arab. Keberanian Arkoun ini dapat dipahami juga sebagai konsekuensi pendekatannya terhadap al-Qur'an melalui perangkat linguistik modern, antropologi strukturalisme dan filsafat post-modern. Dengan linguistik modern, meminjam istilahnya Ferdinand de Saussure, Arkoun menyamakan teks al- Qur'an sebagaimana teks-teks sastra lain yang tidak memandang lagi subjek pembicara, yakni maksud Allah. Model pembacaannya adalah dengan penjelajahan sinkronis dan diakronis25 dalam memahami al-Quran dan tanzil- nya. Hasil dari penelusuran diakronis, Arkoun merekonstruksi tanzil al-Quran yang akan penulis paparkan nanti. Dari Saussure, Arkoun juga meminjam istilah parole dan langue untuk penamaan Kalam Allah. Dengan pendekatan antropologi, Arkoun berusaha menyelami gagasan wahyu dalam tradisi semitis, konsep masyarakat berkitab, mitos, angan-angan masyarakat keagamaan, kesakralan, kebahasaan dan pemikiran dalam masyarakat berkitab.26 Antropologi strukturalisme yang digagas oleh Claud Levi Strauss bertujuan untuk menyelami logika simbolis atas budaya-budaya manusia. Budaya dalam pandangan Strauss, ibarat bahasa yang memiliki logika internalnya yang mengikat manusia dalam kerja dan intuisinya yang secara kuat didominasi oleh ketidaksadaran.27 23 Muhammad Arkoun, Rethinking,… hal. 58. 24 Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 96. 25 Asal kata dari istilah singkronis dan diakronis dari kata Yunani, yaitu khronos (waktu) dan dua awalan syn dan dia, masing-masing berarti "bersama" dan "melalui". Maka dari itu sinkroni dapat dijelaskan sebagai "bertepatan menurut waktu". Diakroni adalah pendekatan historis sedangkan sinkroni menujukan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni adalah peninjauan ahistoris. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 204. 26 Baedhowi, Antropologi,...hal. 174. 27 Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hal. 379.
  • 6. Arkoun juga tidak secara keseluruhan mengambil ide-ide filsafat post- modern. Ia hanya meramu pemikirian-pemikiran filsuf Barat sehingga melahirkan pemikiran Arkoun yang rumit. Ia terkesan hanya mencomot sebagian sambil mengabaikan perdebatan sengit antar aliran filsafat. Semisal perdebatan aliran strukturalisme dengan fenomenologi dan eksitensialisme.28 Hal ini akan memperparah sikap objektivitas (jika ada), karena ia akan memilih-milih metodologi yang sesuai dengan ideologinya.29 Selain konsen dengan dialektika wacana di Barat, Arkoun juga sangat kagum dengan kajian-kajian orientalis. Tokoh orientalis yang dikagumi semisal Th. Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, R. Blachere, John Wansbrough, Johan Gottfried Herder, dan lain sebagainya. Menurutnya, Noldeke telah berjasa besar dalam meperkenalkan persoalan yang tak terelakkan dari sejarah kritis naskah al-Qu'ran dalam karyanya Geschichte des Qorans.30 Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak sarjana Yahudi-Kristen.31 Demikian gambaran landasan metodologi pemikiran Arkoun. Dalam menganalisa konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an, Arkoun banyak dipengaruhi berbagai wacana yang berkembang di Barat. Pemikirannya yang terbilang rumit, sehingga banyak pemikir yang kesulitan untuk mengidentifikasikannya dalam satu mazhab. Kadang Arkoun masuk pada kategori strukturalis dan di 28 Contoh perdebatannya adalah mengenai kesadaran. Bagi Descartes, kesadaran merupakan hakikat manusia. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Kant dan Hegel yang berpangkal pada kesadaran yang sering disebut sebagai "filsafat reflektif". Fenomenologi dan eksistensialisme termasuk dalam tradisi filsafat reflektif ini. Pada puncaknya Nietzsche menproklamirkan "kematian Tuhan". Namun pendirian ini ditolak oleh penganut strukturalisme, menurutnya manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom yang tidak dapat diasalkan dari suatu yang lain. Subjektifitas merupakan buah hasil suatu proses strukturisasi yang tidak dikuasai oleh manusia. Jadi manusia berdiri pada ketidaksadaran. Momentum ini dimanfaatkan oleh Foucault dengan ramalanya "kematian manusia". Lihat K. Bertens, Filsafat Barat..., hal. 244-245. 29 Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 486. 30 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 1998), hal. 26-27. 31 Dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Robert D. Lee dalam Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Arkoun menyatakan: "It is unfortunate that philosophical critique ofsacred texts - which has been applied to the Hebrew Bible and to the New Testament without thereby engendering negative consequences for the notion of revelation - continues to be rejected by Muslim scholarly opinion. The works of the German school continue to be ignored, and erudite Muslims do not dare draw upon such research even though it would strengthen the scientific foundations of the history of the mushaf and of the theology of revelation. " Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible ..., hal.
  • 7. lain kesempatan dia tergolong post-strukturalis, post-modernis atau juga post- tradisionalis. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa landasan metodologi Arkoun banyak terpengaruh oleh metode historis-materialis yang merupakan produk worldview Barat. 2. Metodologi az-Zarqani Berbeda dengan Arkoun, Az-Zarqani32 sebagaimana ulama klasik lainya memiliki metodologi yang sudah sejak dahulu dipraktikkan oleh Nabi, sahabat, tabi'in, dan ulama salaf shalih. Konsepsinya mengenai tanzil dan al- Qur'an, tidak berbeda dengan kebanyakan ulama mayoritas. Dalam hal perkara yang bersifat metafisis, Az-Zarqani lebih sering mengkonsepsikannya dari sumber khabar shadiq, yakni al-Qur'an, sunnah dan perkataan sahabat. Contoh hasil konsepsinya akan penulis paparkan ketika menjelaskan pandangannya terhadap tanzil al-Qur'an. Inilah yang membedakannya dengan Arkoun yang sangat mengabaikan data riwayat mengenai fenomena wahyu beserta tanzil- nya. Metode yang az-Zarqani gunakan dikenal dengan istilah metode tafsir bil-ma'tsur. Ini adalah metode tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih, yakni khabar shadiq. Yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al- Qur'an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi'in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.33 Demikian metodologi pemikiran az-Zarqani mengenai wahyu, tanzil dan al-Qur'an yang besifat meta-historis. Bagi mayoritas ulama, semua aktifitas intelektual dimaksudkan untuk menambah keimanan kepada Allah. Begitu juga az-Zarqani, dalam mengeksplorasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an semata- 32 Nama lengkapnya Muhammad Abdul 'Adzim az Zarqani, ia termasuk dari keluarga Ja'fariyah dari Propinsi Gharbeyya-Mesir. Namanya dinisbahkan ke daerah yang beranama Zarqan di kawasan propinsi Manovia-mesir. Beliau termasuk Ulama Azhar bermadzhab Asya'iroh.Beliau menimba ilmu Ma'had al-Ahmadi pada tahun 1911 M. beliau kuliah di fakultas Ushuludin al-Azhar skaligus menadapat gelar Syeh pada tahun 1925. Ia menjadi guru di Ma'had Zagozig tahun 1926. Kemudian pindah ke Ma'had Thanta dan terpilih menjadi Imam, kemudian pindah ke Ma'had Kairo dan mengajar di kuliah Ushuludin tahun 1939. Buku beliau yang lain adalah 'Al Manhal Al Hadits Fi 'Ulumil Hadis. Beliau wafat tahun 1367 H. 33 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, juz II, hal. 12-13
  • 8. mata hanya untuk mendapatkan ridlo-Nya agar kelak dapat bertemu Allah dengan bekal intelektual yang hasanah. Dalam merumuskan pemikirannya dia juga senantiasa berdoa agar dibimbing oleh-Nya. Kenyataan seperti inilah yang luput dari pemikir kontemporer. Landasan epistemologi kedua pemikir muslim di atas memang sangat berbeda. Epistemologi yang dibangun oleh Arkoun untuk merombak dan mendekonstruksi ilmu keislaman banyak mengadopsi wacana dialektika Barat, seperti, dekonstruksi, antropologi, linguistik-semiotika, demitologisasi dan sosiologi. Penggunaan wacana-wacana tersebut dimaksudkan untuk membangun "masyarakat Kitab", yakni paham pluralisme gaya baru yang intinya dilarang mengakui bahwa kitab sucinya yang paling orisinil dan otentik. Ini adalah hasil dari adopsi worldview Barat. Berbeda dengan Arkoun, az-Zarqani lebih banyak menggunakan analisa data-data riwayat atau khabar shadiq untuk menganalisa konsep tanzil al-Qur'an. Ini adalah metodologi yang telah diwariskan sejak zaman Nabi hingga sekarang ini yang masih peduli dengan informasi meta-historis, yakni tradisi dari worldview Islam. Metodologi analisa az-Zarqani bertujuan untuk menambahkan keimanan umat Islam sendiri, bukan untuk mengikis keyakinannya terhadap keotentikan al-Qur'an.. Sejauh mana keabsahan di antara keduanya, alangkah baiknya penulis kutip peringatan Margaret Marcus (Maryam Jameela).34 Beliau mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup ke dalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.35 Karena menurut Yusuf Qardawi, Peradaban Barat Modern adalah Peradaban Sekular yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan.36 34 Maryam Jameela (Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934) adalah seorang muallaf. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional. Ia adalah seorang intelektual dan penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks al-Qur'an dengan keimanan yang tinggi. Lihat http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010. 35 Lihat Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425, hal. 119. 36 Yusuf al-Qaradawi, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1416 H/1995 M), hal. 13-14.
  • 9. Dalam artikel pendeknya Hamid Fahmi Zarkasy menyatakan, Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh pandangan hidup lain, maka akan terjadi confusion alias kebingungan.37 Metodologi yang mengadopsi produk pandangan hidup Barat ini, seperti linguistik modern, antropologi strukturalis atau filsafat post-modern, tidak dapat menjangkau fenomena al-Qur'an dan tanzil-nya yang bersifat metafisis. Metodologi ini mempunyai eksposisi bahwa setiap teks (suci maupun manusiawi) pasti dilahirkan oleh lingkungan sosiololgis dan antropologis saat teks itu diciptakan. Pemahaman seperti inilah yang dikenal dengan tafsir materialis atas sejarah yang menyatakan bahwa segala hal yang terjadi di pentas sejarah harus berasal dari faktor sosio-historis yang melingkupinya.38 Arkoun sebagai pemakainya, dalam konsepsinya terhadap tanzil dan al-Qur'an yang akan penulis paparkan nanti, sangat jelas bahwa ia penganut historis-materialis. Dalam hal ini Muhammad al-Kattani menjelaskan: "Jika kita sepakat dengan logika materialisme historis, kita akan anggap remeh embusan spirit yang menghasilkan lompatan sejarah. Memahami fenomena sejarah tak cukup hanya dengan pendekatan materialistik, sehingga sejarah yang tak diterima oleh logika materialistik ini dinilai mitos dan transenden. Namun ada banyak pertanyaan yang segera menyergap kita dari berbagai sudut jika kita hanya mengakui logika materialis untuk menafsirkan sejarah."39 Keberatan ini sebenarnya bukan saja karena metodologi itu berasal dari Barat. Namun adanya unsur ideologi sekuler yang diinfiltrasikan ke dalam Islam melalui metodologi nir-Islami itulah alasannya. Dan jika benar-benar diterapkan dalam kajian al-Qur'an, maka akan bertentangan dengan hal-hal aksioma di dalam Islam.40 Selain itu metodologi Barat (ilmu-ilmu humaniora) 37 Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, hal. 119. 38 Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 260. 39 Ibid 40 Ibid, hal. 490.
  • 10. juga masih memiliki problem internal. Metodologi Barat ini, dalam kajiannya tak pernah mengenal tahap final. Karena perkembangan metodologi humaniora Barat masih dalam tahap pematangan dan berproses untuk menjadi sesuatu. Oleh karena itu, mustahil bagi umat Islam untuk bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti jika menggunakan metodologi tersebut.41 Suasana kompetisi antar ilmuwan Barat, yakni kawasan Eropa Barat dan Amerika Serikat, juga turut memperparah ramuan metodologinya. Pasalnya, mereka terbiasa menyisipkan pengalaman individu ke dalam penafsiran objek kajiannya. Dan pada akhirnya teori-teori temuannya tidak mampu menembus dilema-dilema yang mereka hadapi, bahkan semakin memperparah krisis pemikiran di Barat.42 Kiranya sudah jelas, dalam hal ini, Arkoun telah keliru mengambil metodologi dan pandangan hidupnya (worldview). Karena pada dasarnya setiap metodologi, konsep atau worldview memiliki tempat dan rumahnya masing- masing. Menurut al-Attas, manusia yang ber-adab adalah yang dapat meletakkan makna pada setiap konsep dan terminologinya.43 Ketiadaan adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami. Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kebodohan menurut al-Ghazali adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kegilaan adalah perjuangan berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.44 Alih-alih ingin memajukan Islam dari dalam, namun sebenarnya Arkoun telah merusak tatanan dasar epistemologi dan worldview Islam. C. Tanzil al-Qur'an dalam Pandangan Arkoun dan az-Zarqani 1. Konsep Tanzil Arkoun Agar tidak ada kerancuan dalam memahami wahyu dan tanzil al- Qur'an, sebaiknya penulis bahas mengenai terminologi wahyu terlebih dahulu. Secara umum, pengertian wahyu dapat dilihat dari dua sisi makna. Pertama, 41 Ibid, hal. 486. 42 Ibid, hal. 487. 43 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…,hal. 292. 44 Ibid, hal. 199.
  • 11. wahyu dalam makna ihaa, yakni proses penyampaian wahyu. Kedua, wahyu dalam makna al-muha bihi yakni objek wahyu itu sendiri.45 Wahyu dalam makna proses penyampaian Kalam Allah (tanzil) inilah yang akan menjadi kajian komparasi antara Arkoun dengan az-Zarqani. Dimana kita akan melihat perbedaan yang sangat serius di antara mereka. Bagi Arkoun, selama ini kalangan ortodoks muslim46 (az-Zarqani termasuk dalam kritikannya Arkoun) telah banyak memanipulasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an. Karenanya, Islam bersifat ekslusif, selalu memandang bahwa ia yang unggul dari agama-agama yang lain. Untuk itu, dengan perspektif antropologi dan fenomenologi,47 Arkoun berusaha mendekonstruksi48 konsep wahyu yang masing-masing agama saling berlainan.49 Baru kemudian, Arkoun merekonstruksi bagaimana al-Qu'ran bisa 45 H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005, hal. 86. 46 Ortodoksi didefinisikan oleh Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan representasi- representasi mitologis yang melaluinya, dan dengannya, sebuah kelompok masyarakat yang telah ada menerima dan menghasilkan sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, ia adalah sebuah sistem nilai yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin perlindungan dan keamanan kelompok tersebut. Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 102. 47 Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri. Seorang fenomenolog harus menanggalkan segenap teori, praanggapan serta presangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Fenomenologi Husserl bertujuan untuk mencari yang essensial atau eidos (essensi) dari apa yang disebut fenomena. Metodenya adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan perasangka (presuppositionlessness) Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 146. Lihat juga Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 105. 48 Dekonstruksi adalah ide dari filsuf asal Perancis, Derrida, ia menekankan bahwa dekonstruksi tidak sama dengan destruksi (pemusnahan), karena ia tidak memusnahkan atau menghapuskan sesuatu wacana. Dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkirbalikkan, mencemaskan, tetapi ia hanya mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal- hal baru dan menemukan makna baru. Ia membuka pemikiran yang tertutup. Lihat Kevin O'Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), hal. 58. Tesisnya Derrida oleh Arkoun lebih diperjelas dengan menyatakan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) harus disertai rekonstruksi (pembangunan kembali) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana sebelumnya. Lihat juga Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 231. 49 Pengertian wahyu dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai "Firman Tuhan" dalam pengertian yang benar-benar harfiah. Sehingga dalam tradisi mereka sering dikatakan, "Thus say the Lord…" demikian Tuhan berfirman. Dalam Bible (terutama di kalangan kaum fundamentalis Kristen) juga demikian. Meskipun dalam perkembangan belakangan, wahyu dalam pengertian Kristen dimaknai bukan melulu secara verbal-redaksional dalam bentuk firman tertulis, tetapi
  • 12. sampai kepada Nabi Muhammad saw dan hingga saat ini. Tujuannya agar terwujud Islam yang inklusif, terbuka dengan peradaban selainnya. Ide rekonstruksi tanzil al-Qur'an ini merupakan buah dari penjelajahan diakronis. Hasilnya, Arkoun membagi konsep tanzil menjadi empat fase.50 Pertama adalah fase Kalam Allah. Kalam Allah merujuk kepada logos, ide atau sabda Allah yang tidak terbatas, yang kekal bersama-Nya, dan transenden. Kalam Allah yang turun kepada manusia hanyalah penggalan dari logos tersebut. Fase ini juga sering disebut sebagai wahyu yang masih menjadi parole51 (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), besifat abadi serta mengandung kebenaran tertinggi. Akan tetapi, kebenaran absolute ini di luar jangkauan manusia,52 alasannya karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam al-lauh al-Mahfuzh53 (the well preserved tablet) pribadi Yesus juga dianggap sebagai wahyu yang "mendaging". Dalam perkembangan yang lebih belakangan, Wahyu dilingkungan Kristeb dimengerti sebagai "tindakan" atau "karya" Tuhan secara keseluruhan. Dalam agama-agama non-Semit, seperti agama-agama Timur, wahyu cenderung dimengerti sebagai rekamang sabda yang diucapkan oleh orang-orang bijak atau guru-guru suci dalam sejarah agama yang bersangkutan. Lihat Moqshit GHazali, Metodologi…, hal. 56-58. 50 Muhammad Arkoun, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, (London: Dar al-Saqi, 1998), hal 89. 51 Istilah parole ini diadopsi dari pemikirannya Saussure. Menurut Saussure fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah tindakan individu kegiatan seleksi dan aktualisasi,51 ia adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Pertama-tama parole terdiri atas kombinasi- kombinasi yang digunakan si subjek agar bisa menggunakan kode langue untuk mengungkapkan pemikiran pribadinya, dan selanjutnya parole terdiri atas mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan si subjek tadi meng-eksterior-kan kombinasi-kombinasi tadi. Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Sedangkan Langue adalah suatu institusi sosial dan sistem valuer-valuer (nilai). Sebagai institusi sosial, Langue sama sekali bukan suatu tindakan. Secara esensial, Langue adalah suatu kontrak kolektif, siapapun yang ingin menggunakannya untuk berkomunikasi maka harus tunduk sepenuhnya pada aturan- aturannya.51 Ia adalah sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17. 52 Konsepsi ini sama dengan pemikirannya Nasr Hamid, menurutnya teks yang mutlak dan suci (al-Qur'an), hanyalah yang berada di al-lauh al-mahfudz. Teks suci tersebut ridak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Lihat Henri Shalahuddin, al-Qur'an Dihujat, (Jakarta: al- Qolam, 2007), hal. 27. 53 Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam al-Lauh al-Mahfuzh." (al-Buruj [85]: 21- 22)
  • 13. atau umm al-Kitab (the Archetype Book)54 dan tetap berada bersama Tuhan sendiri.55 Secara tidak langsung, Arkoun menganggap bahwa pada fase ini, al- Qur'an masih berwujud "ide" atau pengetahuan ('ilm) Allah. Ia belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh atau teks, lebih-lebih tersusun dalam surah atau ayat dengan sistematika yang ada untuk sekarang ini. "Ide" dan pengetahuan Allah ini mampu dipahami oleh manusia ketika pada fase kedua, yakni fase pembentukan lafazh-lafazh al-Qur'an. Anggapannya memiliki konsekuensi logis bahwa lafazh al-Qur'an merupakan hasil kerja sama antara Nabi Muhammad dengan Tuhannya. Di sini, Arkoun berbeda dengan az- Zarqani. Mengenai bagaimana perbedaannya akan penulis paparkan kemudian. Fase kedua berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M). Periode ini menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah.56 Ia diistilahkan sebagai wacana kenabian (verbal) atau wacana Qur'an.57 Pada fase ini, wahyu menampakkan diri sebagai langue. Ia bersinggungan langsung dengan realitas sejarah. Pada peringkat inilah, wahyu menjelma dalam bahasa manusia, yakni bahasa Arab yang berupa lafazh-lafazh. Dengan pemahaman seperti ini, meminjam pemikiran Saussure, parole Allah yang ada di al-lauh al-Mahfuzh harus tunduk pada aturan-aturan langue bahasa Arab.58 54 Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." (Ar-Rad [13]: 39). 55 Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hal. 22. 56 Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal. 72. 57 Wacana Qur'an adalah sebuah hubungan komunikasi yang terkait dengan situasi wacana. Situasi wacana bukan suasana lingkungan pewahyuan (asbab al-nuzul). Ia adalah pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan, dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkungan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang lagi. Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 105. dan lihat juga Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002. 58 Dalam hal ini, pemikiran Arkoun mirip dengan kajiannya Nasr Hamid Abu Zayd. Nashr Hamid memanfaatkan pembedaan dari Ferdinand de Saussure, antara "langue" (lughah) dan "parole" (kalâm), Nashr Hamid mengatakan bahwa teks al-Qur'an merupakan parole dan bahasa arab adalah langue.58 Dengan kata lain Kalam Tuhan tunduk kepada bahasa manusia.
  • 14. Sesuai dengan kajian semiotika juga, pada masa Prophetic Discourse, al-Qur'an masih berbentuk ujaran-ujaran lisan yang didengarkan. Muqsith Ghazali menjelaskan, ujaran tersebut bukanlah dalam pengertian "suara" yang dihasilkan secara fisik oleh anggota tubuh manusia seperti yang kita alami dalam percakapan sehari-hari. Yang dimaksud dengan ujaran di sini adalah sebuah "ide" yang cemerlang serta mempunyai daya yang tak terelakkan sehingga ia menyerupai suara yang didengarkan. Ini dapat dipahami, yang terjadi adalah komunikasi melalui ide dan gagasan.59 Masih menggunakan analisa semiotika, pada masa pengujaran ini suasana komunikasi, studi pengucapan, daftar dan tingkatan kode-kode budaya, dan susunan serta fungsi- fungsi cerita masih terpelihara dengan baik.60 Namun wacana Qur'ani sudah hilang sama sekali karena terjadi hanya sekali ketika pengujaran. Masa wacana kenabian (verbal), dalam pandangan Arkoun, lebih layak menyandang predikat sakral serta lebih dipercaya ketimbang fase-fase setelahnya. Karena al-Qur'an pada fase ini (verbal) masih terbuka untuk semua makna, sementara pada fase berikutnya (tekstual) telah turun derajatnya dari kitab yang diwahyukan menjadi kitab yang biasa, sehingga ia tidak berhak lagi menyandang predikat sakral dan kesucian.61 Pandangan Arkoun mengenai wacana kenabian (verbal) mirip dengan Johan Gottfried Herder (1744-1803 M). Gagasan Gottfried dimaksudkan untuk menolak tiga versi Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikarenakan mengabaikan Injil-Injil versi selain tiga tersebut. Gottfried mengatakan dengan jelas bahwa masing-masing Bible yang tidak digunakan memiliki tujuan, waktu, dan tempatnya sendiri yang khusus bagi mereka, dengan menekankan bahwa Injil yang asasi adalah yang berbentuk verbal daripada tertulis. Bentuk Injil yang paling awal adalah penjelasan verbal dari Almasih.62 Al-Qur'an pada fase ketiga, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf. Al-Qur'an pada periode ini sudah mensejarah63 yang diistilahkan 59 Abd Moqsith Ghazali dkk., Metodologi…, hal. 40-41. 60 Baedhowi, Antropologi…, hal. 169. 61 Muhammad Arkoun, Min Faishal..., hal. 59. 62 Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 161-162. 63 Statemen Arkoun yang menyatakan bahwa teks al-Qur'an sudah mensejarah mirip dengan gagasan Wilhem Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai
  • 15. sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).64 Berdasar pada periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Qur'an sebagai sebuah Korpus resmi yang selesai (tertutup) dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab.65 Dikatakan "resmi" karena teks-teks al-Qur'an merupakan akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh "otoritas-otoritas" yang diakui oleh komunitas. Dikatakan "tertutup" karena tidak seorang lagipun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam Korpus yang sekarang dinyatakan otentik.66 Dan dikatakan "terbuka" karena korpus ini masih memungkinkan untuk dipahami dan digali makna- makna yang tereliminasi. Fase ini berlanjut sampai masa ortodoksi, yakni masa standarisasi Mushaf (324 H./ 936 M.). Pada periode ini, menurut Arkoun kalangan ortodoks telah banyak memasukan secara diam-diam berbagai hasil suatu ilmu, lalu menegaskan secara tak terbantah bahwa ia sama sekali tidak memodifikasi ajaran-ajaran yang telah dicapai berbagai disiplin ilmu tradisional.67 Menurutnya lagi, kalangan ortodoks telah menggunakan berbagai bahan, prosedur dan suatu kerangka historiografis untuk mendehistorisasikan masa wahyu serta masa pengumpulan dan pembakuan Mushaf.68 Masih menurut Arkoun, Ibn Mujahidlah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembaruan yang menentukan pada tahun 324 H. Tindakannya ini ternyata harus dibayar dengan keterputusan epistemis dan epistemologi. Lebih- lebih setelah pembaruan Ibn Mujahid dengan adanya penerbitan edisi buku al- Qur'an di Kairo pada tahun 1924.69 Dengan membandingkan bentuk lisan dan tulisan dari al-Qur'an, Arkoun menyatakan dengan tegas bahwa ia lebih suci, autentik dan dapat otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Lihat Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi, (Teraju: Jakarta, 2002), hal. 36. 64 Dalam kajian semiotika, istilah korpus dimaksudkan untuk suatu koleksi terbatas material-material yang ditentukan sebelumnya oleh si analis, menurut suatu arbitrer tertentu (yang tidak terhindarkan) dan atas korpus itulah si analis akan bekerja. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi…, hal. 87. 65 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 13 66 Muhammad Arkoun, Rethinking…, hal. 50. 67 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 16. 68 Ibid, hal. 17. 69 Ibid, hal. 17-18
  • 16. dipercaya ketika masih dalam diskursus dibanding dengan ketika dalam bentuk tertulis.70 Alasannya menurut Arkoun adalah karena al-Qur'an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, dan dalam bentuk tulisan tidak lagi begitu. Sebaliknya dia mengatakan, penggunaan alat-alat tulis seperti pena dan kertas telah mengurangi status al-Qur'an yang bersifat ketuhanan menjadi sebuah buku dunia.71 Fase keempat adalah fase korpus tertafsir. Fase ini dikaitkan Arkoun dengan produktivitas teks, bukan produktifitas wacana. Tradisi keagamaan dihasilkan dari penafsiran teks tertulis, bukan penafsiran terhadap wacana Qur'an. Para pembaca menuliskan kembali teks sesuai dengan kisi-kisi persepsi dan prinsip penafsirannya. Kisi dan prinsip tersebut, menurut Arkoun, terkait dengan budaya pembaca dan determinasi kelompok pada masanya. Dalam konteks itulah terjadi penggandaan semantis, simbolis, dan ideologis atas teks dalam ruang sejarah sosial, politik, dan kebudayaan.72 Mushaf standar ini telah kehilangan daya magnetik dan fungsionalitasnya, karena ditempatkan pada posisi yang begitu tinggi yang digambarkan seolah-olah tidak ada lagi orang yang mampu memahaminya selain para imam maksum dan Mujtahid dan bahwa makna mushaf telah tergali secara keseluruhan oleh meraka. Kemungkinan besar, ini terjadi akibat berlapis-lapisnya teks-teks tafsiran terhadap teks pertama, Mushaf yang menurut Arkoun menyerupai lapisan geologis pada bumi.73 Dengan rekonstruksi tahapan turunnya wahyu kepada audiens, Arkoun ingin memberikan porsi pendekatan antropologis dan semiotis kepada wahyu sebelum ia dipahami oleh para ulama dan menjadi cabang-cabang keilmuan Islam. Tiga tahap terakhir turunnya wahyu dipandang Arkoun sebagai tahap 70 Muhammad Arkoun, Min Faishal…,hal. 59. 71 Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an…, hal 23. 72 Gagasan Arkoun mengenai kaitannya produksi teks dengan konteks ideologi sama dengan gagasan Nasr Hamid Abu Zayd. Al-Qur'an dalam tataran immanen tidak lepas dari proses budaya dan dipahami dalam konteks budaya tertentu. Zayd juga melihat proses ideologi (talwiin) dibalik pembakuan ushlf fiqh yang disusun oleh as-Syafi'i, dengan sentralitas bahasa Arab Qurays sebagai standar pemahamannya. Zayd menyebut proses tersebut sebagai "pemihakkan ideologis". Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 106. 73 Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004), hal. 90-91.
  • 17. semio-linguistik karena ketiganya berada dalam tataran sejarah dan budaya manusia.74 Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur'an yang tertulis, yang kemudian dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku. Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata memunculkan masalah tersendiri.75 Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur'an sudah mengalami perubahan. Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur'an masih berupa "ide" atau pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun menganggap al-Qur'an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya. Setelah penulis paparkan dan simpulkan inti dari pemikiran Arkoun, selanjutnya penulis sandingkan dengan hasil dari kajian az-Zarqani mengenai tanzil-nya al-Qur'an. Meski az-Zarqani termasuk dalam jajaran ulama yang dikritik Arkoun, namun tidak ada salahnya penulis paparkan konsepsinya mengenai tanzil, dengan tujuan apakah tepat kritikan Arkoun di atas. 74 Ibid, hal. 107-108. 75 Baedhowi, Antropologi…, hal. 201.
  • 18. 2. Tanzil dalam Pandangan Az-Zarqani Jika Arkoun tidak mendefinisikan sekaligus mengagumi fenomena wahyu yang luar biasa dan menggambarkannya secara detail, maka az-Zarqani sebaliknya. Wahyu dalam pengertian, al-muha bihi, yakni objek wahyu itu sendiri dibagi menjadi dua macam. Pertama, al-matlu (yang dibaca). Kedua, ghairu al-matlu (yang tidak terbaca). Wahyu yang dibaca adalah al-Quran yang Allah jadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. dan menjadi penjamin pemeliharaannya dari perubahan-perubahan.76 Sedangkan wahyu yang tidak dibaca ialah hadits Nabi Muhammad saw.77 Yang termasuk hadits ialah perkataan, perbuatan dan keputusan Nabi serta sifat-sifatnya.78 Menurut pandangan az-Zarqani, wahyu dalam pengertian ihaa (proses penyampaian wahyu) mempunyai arti pemberitahuan (i'lam) dari Allah swt kepada hamba pilihan-Nya, berupa hidayah atau ilmu pengetahuan dengan cara yang amat rahasia dan lain dari kebiasaan manusia.79 Fenomena wahyu ini bukanlah peristiwa baru yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saja. Jauh sebelumnya sudah dikenal oleh kebanyakan orang. Namun, khusus untuk al- Qur'an (al-muha bihi) proses pewahyuannya memiliki kekhususan tersendiri. Menurut az-Zarqani, proses pewahyuan al-Qur'an semuanya melalui perantara Malaikat Jibril,80 tidak seperti para Nabi sebelumnya.81 Di sini terdapat perbedaan dengan Arkoun. Hasil rekonstruksinya terhadap wahyu, Arkoun menyatakan bahwa semua Kitab Suci (al-Qur'an, Taurat dan Injil) adalah Firman Tuhan yang dimanifestasikan, dijelmakan dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh bahasa manusia, atau ditetapkan dalam bahan- bahan tertulis.82 Arkoun tidak menyinggung perbedaan-perbedaan cara pewahyuan masing-masing Kitab Suci, juga tidak mengindahkan pemberitaan 76 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Kami menurunkan adh-Dhikra (al-Quran) dan Kami yang memeliharanya." (Al-Hijr [15]: 9) 77 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya." (al-Najm [53]: 3-4) 78 H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 87. 79 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 55. 80 Ibid, 81 Sebagaimana yang dialami oleh nabi Musa as. Proses pewahyuannya berupa pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara langsung tanpa perantara. Dasarnya Firman Allah yang artinya: "....dan (ketahuilah) Allah telah berbicara langsung dengan Musa." (Al-Nisa' [4]: 164 ). 82 Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 41.
  • 19. tentang penyelewengan (tahrif) terhadap wahyu Allah dalam kitab-kitab sebelumnya. Az-Zarqani secara khusus melukiskan turunnya wahyu ke dalam hati Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan beberapa cara.83 Secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua (2) bentuk; Pertama, kadangkala Nabi diperlihatkan bentuk rupa malaikat penyampai wahyu sebagaimana wujud aslinya atau dalam wujud manusia. Ketika malaikat Jibril datang kepada Muhammad saw dengan menampakkan dirinya sebagai manusia, para sahabat mampu melihat dan mendengarkannya. Bentuk Kedua inilah yang paling sering, yakni kedatangan malaikat tanpa memperlihatkan bentuk rupanya, tetapi Nabi hanya mendengar suara seperti suara lebah atau suara lonceng. Yang diketahui oleh para sahabatnya hanyalah tanda-tanda lahiriah seperti merasa adanya beban berat atau berkeringat dan lain sebagainya.84 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dalam hadits al-Bukhari, ketika sahabat Harits bin Hisyam bertanya, "Wahai Rasulallah bagaimana kedatangan wahyu kepadamu"? Rasulallah menjawab, "Kadangkala ia datang seperti suara lonceng yang sangat keras namun aku tetap sadar menangkap suara itu. Kadang-kadang lewat malaikat yang tampil berupa seorang laki-laki kemudian ia menyampaikan wahyu kepadaku, akupun menyadari pesan-pesan wahyu tersebut”.85 Data-data riwayat seperti ini tidak disinggung oleh Arkoun, bagi yang menggunakan data-data riwayat (sunnah dan perkataan sahabat) malah dituduh sebagai muslim ortodoks yang telah banyak memanipulasi wahyu. Mengenai bagaimana al-Qu'ran (al-muha bihi) di-tanzil-kan, az- Zarqani tidak mengartikan secara harfiah bahwa al-Qur'an diturunkan dari langit, yakni laksana turunnya (tanzil) benda dari atas ke bawah. Alasannya, karena al-Qur'an bukanlah berupa benda yang membutuhkan tempat. Az- 83 Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam. 84 Siti 'Aisyah, Ummul Mu'minin ra. mengatakan: "Pada suatu hari yang amat dingin kulihat beliau sedang menerima wahyu. Kulihat dahi beliau bercucuran keringat." Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam. 85 Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
  • 20. Zarqani menganggap bahwa kata tanzil dalam Firman Allah86 dan hadits Nabi87 dipahami sebagai majas/metafor saja. Baginya tanzil diartikan sebagai i'lam (pemberitahuan).88 Sebagaimana ulama klasik lainnya, az-Zarqani menjelaskan tanzil-nya al-Qur'an dengan tiga fase: pertama, al-Qur'an awal mulanya berada di al-lauh al-Mahfuzh.89 Ditempat ini, al-Qu'ran sudah dalam bentuk yang utuh, yakni sudah terbentuk dalam lafazh-lafazh yang sistematis seperti sekarang ini. Tentang bagaimana dan kapan keberadaannya di sana, semua tidak ada yang mengetahui kecuali Allah swt.90 Ibnu 'Asyur dalam kajian tafsirnya menjelaskan, bahwa al-Qu'ran sebelum turun ke bumi sudah tertulis91 di al- lauh al-Mahfuzh sebagaimana Taurat-nya Nabi Musa a.s. Ia terpelihara dari bentuk tambahan, pengurangan, penyimpangan dan perubahan.92 Pandangan az-Zarqani ini sangat berbeda dengan Pendapatnya Arkoun. Menurutnya, pada level ini Kalam Allah masih berupa parole dan belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh bahasa Arab. Ia masih berbentuk "ide" atau "ilmu" Tuhan. Az-Zarqani memang membedakan Kalam Allah menjadi dua, yakni Kalam nafsi dan Kalam lafdhi. Yang pertama menunjuk pada ke-qadim-an al- Qur'an yang berwujud ide dan pengetahuan ('ilm) yang telah ada sejak zaman azali sebelum ter-lafazh-kan dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad.93 Jadi 86 Diantaranya adalah Firman Allah: yang artinya: "Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran". (al-Isra' [17]: 105) 87 Diantaranya adalah hadits : yang artinya: "sesungguhnya al-Qur'an itu diturunkan dengan tujuh huruf" (HR. Al-Bukhari) no. 4706. 88 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 38. 89 Dalam 'ilmu qira'at, bacaan lafadh al-Mahfuzh diriwayatkan dengan dua versi bacaan yang berbeda. Pertama kata Mahfuzh dibaca dengan katsratain Mahfuzhin sebagai kata sifat dari kata lauhin yaitu penulisan al-Qur'an pertama kali. Maksudnya ialah bahwa apa yang terkandung dan tertulis di dalam lauh sungguh-sungguh terpelihara. Bacaan kedua adlah kata Mahfuzh dibaca marfu' (dammatain) yakni Mahfuzhun berarti posisinya sebagai kata sifat dari kata Qur'anun, sehingga berarti bahwa al-Qur'an terpelihara di lauh. Lihat jalaludin as-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al- Qur'an, jus 1, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 1988), hal. 116 yang dikutip oleh H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 84-85. 90 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 39. 91 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: " Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…". (al-'Araf [7]: 145) 92 Lihat Ibn 'Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16, hal. 202. 93 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 18.
  • 21. segala peristiwa yang termaktub dalam al-Qur'an sudah dalam pengetahuan Allah semenjak azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah adalah qadim, dan tidak terbatasi dengan ruang dan waktu.94 Kajian ini menjadi ciri khas ulama ahli kalam. Yang kedua, Kalam lafdhi, merujuk pada Kalam Allah yang sudah terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Untuk yang kedua ini, biasanya menjadi pusat kajian fuqaha. Konsepsinya Arkoun tentang Parole Allah boleh dikatakan hampir sama dengan dengan az-Zarqani. Bedanya, Arkoun menyebutkannya untuk yang di al-lauh al-Mahfuzh. Sedangkan az-Zarqani merujuk pada sifat Kalam Allah sendiri. Menurut az-Zarqani, meskipun ada perbedaan sudut pandang diantara ulama ahli ilmu kalam dengan Fuqaha mengenai Kalam Allah, namun mereka sepakat bahawa al-Qur'an berupa lafazh (Kalam Allah) yang diturunkan (al- munazzal) kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas yang ditulis dalam mushaf, ditransmit secara mutawatir, dan membacanya termasuk ibadah.95 Perbedaan mereka hanya seputar konsentrasi kajiannya saja. Fase kedua, setelah al-Qur'an berada di al-lauh al-Mahfuzh kemudian diturunkan ke langit dunia, bait al-'izzah96 pada malam al-qadar.97 Pada tahap yang kedua ini, al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan, baru kemudian turun ke bumi selama 20 tahun atau 23 tahun sesuai dengan perbedaan ulama tentang lama berdiamnya Nabi saw di Makkah setelah diangkat menjadi Rasul.98 94 Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr Hamid dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI- AGUSTUS 2004, hal. 41. 95 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 21. 96 Penamaan bait al-'izzah berdasarkan keterangan Ibn Abbas r.a. beliau berkata: "Allah menurunkan al-Qur'an sekaligus (dari al-lauh al-makhfud), dan meletakkannya di bait al-'izzah di langit dunia baru kemudian diturunkan oleh Mmalaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk menjawab perkataan manusia dan segala amalnya" lihat at-Thabrani, Mu'jam al-Kabir, Juz 12, (Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, 1983), hal 32. dalam riwayat yang lain Ibn Abbas berkata; "Al- Qur'an dipisahkan dari ad-Dzikr (al-lauh al-makhfud) kemudian diletakkanya di bait al'izzah di langit dunia baru kemudian Malaikat Jibril as menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw." Lihat Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40. Menurut Imam Suyuti, hadits ini dianggap shahih, karena diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas yang dinilai marfu' kepada Nabi Muhammad saw. Dan diperbolehkan berhujjah dengan hadits ini. Muhammad 'Abd al-'Adzim az- Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40. 97 Dasarnya adalah Firman-Nya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam lailatul qadar." (al-Qadr [97]: 1) 98 Ibid, hal. 40.
  • 22. Pandangan az-Zarqani ini didukung oleh kebanyakan ulama. Ibnu 99 Katsir, al-Qurthubi,100 as-Syaukani,101 Fahrudin ar-Razi,102 dan yang lainnya juga memiliki pendapat yang sama dengan az-Zarqani, bahwa sebelum al- Qur'an disampaikan kepada Nabi Muhammad, ia diturunkan sekaligus ke langit dunia, yaitu bait al'izzah pada malam al-qadar. Sumbernya adalah riwayat dari Ibn Abbas r.a. Seperti biasanya, Arkoun juga tidak tertarik dengan data-data riwayat seperti ini. Apa lagi ini adalah perkataan sahabat Nabi. Fase ketiga, al-Qur'an diturunkan sedikit demi sedikit (gradual) melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad saw, baru kemudian beliau mendakwahkannya sebagai hidayah dan pelita kehidupan bagi manusia di dunia.103 Hikmah diturunkannya secara gradual adalah untuk menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah saw, tarbiyah bagi umat Islam dari segi keilmuan dan pengamalan, kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pertahapan dalam penerapan hukum, dan menunjukan bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah swt104 yang berupa lafazh-lafazh105 yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.106 Mengenai apa yang diturunkan oleh Allah, az-Zarqani menjelaskan bahwa yang dibawa oleh malaikat Jibril adalah al-Qur'an, yang berupa lafazh- lafazh dalam artian hakiki, mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas. Dan lafalh-lafalh tersebut adalah Kalam Allah swt sendiri yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw. Dialah Allah yang menyusun107 sendiri lafazh-lafazh al-Qur'an.108 Adapun 99 Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, (Daar Thayyibah, 1999), hal 105. 100 Lihat al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II, (tp, tt), hal. 297. 101 Lihat as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, (tp, tt), hal. 240. 102 Lihat Fahrudin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 17, (tp, tt), hal. 125. 103 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 42. 104 Ibid, hal. 48-52. 105 Azh-Zhahabi menambahkan sekaligus dengan maknanya. Tanzil al-Qur'an dengan lafadh dan maknanya adalah definisi yang digunakan oleh jumhur ulama ahli syariah. Lihat Muhammad Husain Azh-Zhahabi, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da'wah, (Mesir: Dar al-Hadits, 2005), hal. 267. 106 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 20. 107 Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi interuksi kepada para penulis tentang letak ayat pada setiap surah. Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisanya dan berkata, "Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam surah seperti yang beliau sebut." Zaid bin Tsabit menegaskan, "Kami akan kumpulkan al-Qur'an di depan Nabi Muhammad." Menurut Usman bin
  • 23. bagaimana caranya Malaikat Jibril mengambil dari Allah swt, az-Zarqani menjelaskan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah swt. dengan cara sima'an (mendengarkan).109 Yakni mendengarkan Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh-Nya tadi.110 Mengenai bahasa al-Quran, az-Zarqani berpandangan bahwa bahasa yang dipakai oleh al-Qur'an adalah bahasa yang disusun sendiri oleh Allah swt. tanpa ada campur tangan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw, lebih- lebih terkonstruk oleh sosial budaya masyarakat Arab. Lebih lanjut az-Zarqani mengatakan bahwa al-Qu'ran adalah sumber tata bahasa Arab.111 Pemahaman az-Zarqani di atas sangat berbeda dengan Arkoun, dengan teori ilmu linguistik- semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah sebagai parole, yang ketika di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Agar parole ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dari sinilah Arkoun mengatakan bahwa al-Quran telah terkontaminasi oleh sejarah manusia yang profan. Maka dari itu, al-Qur'an yang sekarang ini tidak layak diberi label sakral. Pandangan az-Zarqani tentunya sangat argumentatif. Hal ini dikuatkan oleh al-Attas. Menurutnya justru Al-Qur'an telah mengislamkan bahasa Arab Abi al-'As, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu. Lihat M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 75. 108 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 43-44. 109 Ibid., hal. 43. Dasarnya adalah Firman Allah, yang artinya: "Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." (Yunus [10]: 15) 110 Ada yang mengatakan bahwa Jibril menghafalnya dari al-lauh al-Mahfuzh. Selain itu ada yang mengatakan bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadh-nya adalah redaksi dari Malaikat Jibril, atau dari lafadh-nya Nabi Muhammad saw. Menurut Manna' Khalil al- Qattan, pendapat pertama tidak bisa dijadikan pegangan, sebab adanya al-Qur'an di al-lauh al- Mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib lainnya. Dan pendapat ketiga lebih sesuai untuk Hadits, sebab Hadits itu wahyu dari Allah kepada Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw secara maknawi saja. Kemudian hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri. Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedang al- Qur'an tidak. Lihat Manna' Khalil al-Qattan, Mabahits…, hal. 35-36. 111 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal.12.
  • 24. pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah, dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang- bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang dibawa oleh al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam.112 Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr- Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak, kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al- Qur'an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa."113 Selain itu, al-Qur'an juga merubah semantik dasar dari kata karim. Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur'an: Kitab Karim atau ucapan kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur'an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.114 112 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 341. 113 Ayat al-Qur'annya adalah surat al-Hujuraat ayat 13 yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." 114 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 342.
  • 25. Jika lafazh dan bahasa al-Qur'an terpengaruh oleh sejarah dan sosial budaya Arab, maka bahasa al-Qur'an akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu115 Melihat kenyataan tersebut di atas, tesis Arkoun mengenai bahasa Arab al-Qur'an (wahyu langue) terpengaruh atau harus menyesuaikan dengan situasi sosial atau semantik bahasa Arab pra-Islam, adalah tidak tepat. Justru sebaliknya, al-Qur'an telah merubah budaya pagan Arab dan pandangan hidupnya serta semantik bahasa Arab. Selain itu, Arkoun juga mempermasalahkan urutan surah dan ayat dalam al-Qur'an. Kenyataan yang ada sekarang, baginya sangat menyulitkan untuk menguraikan kembali situasi wacana yang dapat membantu untuk menyusun kembali tindak penuturan lisan al-Qur'an. Namun bagi az-Zarqani, mengutip pendapatnya jumhur ulama, suasana wacana tanzil al-Qur'an (asbab an-nuzul) tidaklah menjadi orientasi penafsiran atau pengambilan hukum. Yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yanng khusus (al-'ibrah bi 'umum al-lafazh la bi khusus as-sabab). Asbab an-nuzul hanya berfungsi sebagai penjelas saja. Jadi mengenai urutan surah atau ayat al- Qu'ran bukan menjadi problem, karena yang berwenang membuat urutan tersebut adalah Allah sang Pemilik al-Qur'an.116 Banyak riwayat yang mengetengahkan tentang tartib surah dan ayat al- Qur'an. Diantaranya Ubbay bin Ka'b menjelaskan, "Kadang-kadang permulaan surah itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad, kemudian saya menuliskannya, dan wahyu yang lain turun pada beliau lalu berkata, "Ubbay! Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu." Dalam kesempatan lain wahyu diturunkan kepada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak 115 Lihat Adnin Armas, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al- quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas diambil tanggal 6 Juni 2010. 116 Lihat selengkapnya M. M. al-A'zami, Sejarah Teks…, hal. 74.
  • 26. diberikan sehingga beliau memberi tahu tempat yang sesuai dari suatu ayat." Mengenai penamaan surah juga sudah ada pada waktu zaman Nabi. Abu Mas'ud al-Badri memberi laporan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Ayat terakhir dari surah al-Baqarah dapat mencukupi bagi siapa saja yang membaca di waktu malam."117 Melihat kenyataan adanya perbedaan dalam perintah meletakkan ayat- ayat dalam surah tertentu, serta keunikan susunan al-Qur'an yang merupakan wewenang Allah, telah memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan bebas, independen unit, di mana tidak tergantung pada kronologi turunnya ayat-ayat al-Qur'an. Dalam hal ini, upaya Arkoun yang menekankan wacana Qur'ani dari pada teks-teks al-Qur'an (al-'ibrah bi khusus as-sabab, la bi 'umum al-lafzh) adalah kurang tepat. Masih menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat, dimanapun tempat al-Qu'ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit, terukir di atas batu, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam Allah yang masih terjada baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang mengingkarinya dia telah kafir.118 Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani. Ia mengatakan bahwa al-Qur'an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika masih di al-lauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya. Pandangan az-Zarqani ini bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman bahwa al-Qur'an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur'an atau wahyu yang di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur'an dengan sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang 117 Ibid, hal. 76 118 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 19.
  • 27. menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur'an telah diwahyukan dengan sempurna kepada umat manusia.119 Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat. Di sini az-Zarqani tidak mempermasalahkan adanya standarisasi mushaf al-Qur'an. Berbeda dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama persis ketika pada masa kenabian. Pandangan az-Zarqani dikuatkan oleh Isma'il Raji al-Faruqi. Ia menyatakan bahwa makna bentukan al-Quran, yakni makna yang sama persis ketika masa kenabian tidaklah berubah secara konseptual dan semantiknya, meskipun perbendaharaan kata-kata akarnya telah sedikit bertambah untuk mengimbangi perkembangan-perkembangan baru.120 Dalam memahami mushaf al-Qur'an, Arkoun memang salah paham, ia menganggap yang namanya al-Qur'an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur'an bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan "bacaan" (qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca al-Qur'an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata.121 Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur'an atau dibakukannya dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya.122 Lagi pula, dengan adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin memperbaiki bacaan al-Qur'an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur'an dengan 119 Lihat al-Maidah ayat 3 yang artinya: "…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..." 120 Isma'il Raji al-Earuqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 29. 121 Syamsudin Arif, Orientalis…, hal. 10. 122 Abdul Shabur Syahin, Saat al-Qur'an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 110.
  • 28. metode langsung dan sima'i kepada para ahli baca al-Qur'an, 123 bukan kepada orang Mushafi atau shahafi.124 D. Analisis dan Kesimpulan Konsepsi kedua cendekiawan muslim di atas mengenai Kalam Allah, wahyu, al-Qur'an dan tanzil-nya sangat berbeda sekali. Berbagai pendekatan ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk merekonstruksi konsep tanzil al- Qur'an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun menyamakan status al-Qur'an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri. Tujuannya Arkoun dengan dekonstruksi dan rekonstruksi tanzil al-Qur'an adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis seperti Taurat dan Injil. Anggapan Arkoun mengenai tanzil dan al-Qur'an, semuanya keliru. Dan sekalil lagi penulis tegaskan, al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil- kan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad, lafazh dan maknanya serta tartib surah maupun ayatnya, melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur'an yang tertulis atau dihafal semuanya adalah Kalam Allah, dan tidak ada permasalahan mengenai transformasi al-Qur'an dari lisan (orale) ke tulisan, pasalnya tulisan al-Qur'an selalu mengikuti bacaan lisan. Selain itu, tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. 123 Ibid, hal. 25. 124 Para ahli baca al-Qur'an tempo dulu mengatakan, "Janganlah kalian mempelajari dari orang mushafi. Dan jangan pula kalian mengambil ilmu dari seorang shahafi." Yang dimaksud dengan mushafi adalah orang yang mempelajari al-Qur'an dan ia bersandar pada bacaan yang terdapat dalam mushaf, tanpa ada seorang ahli bacaan yang memperbaiki dan meluruskan bacaannya. Sedang yang dimaksud dengan shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari mushaf-mushaf, bukan dari ulama. Lihat Ibid, hal. 25-26.
  • 29. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'an al-Kariim Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr Hamid dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004 Al-A'zami, M. M., 2005, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, Jakarta: Gema Insani Al-Qattan, Manna' Khalil, 1990, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Riyadh: Mansyurat al'Ashr al-Hadits al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II Arif, Syamsudin, Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005 ------------, 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gemas Insani Arkoun, Muhammad, 1995, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, Beirut: Dar al-Saqi ------------, 2005, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar ------------, 1996, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar ------------, 1998, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi ------------, 1998, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung: Pustaka ------------, 2003, al-Fikr al-Usuli wa Istilahat al-Ta'sil Nahwa Tarikhin Akhar lil Fikr al-Islami, alih bahasa Hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi Armas, Adnin Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004
  • 30. .................., 2005, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani ---------------, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&i d=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin- armas ar-Razi, Fahrudin Mafatih al-Ghaib, Juz 17 as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I 'Asyur, Ibn, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16 at-Thabrani, 1983, Mu'jam al-Kabir, Juz 12, Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam Azh-Zhahabi, Muhammad Husain, 2005, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da'wah, Mesir: Dar al-Hadits az-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Adzim, 1995, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al- Quran, juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi Baedhowi, 2009, Antropologi Al-Qur'an, Yogyakarta: Lkis Barthes, Roland, 2007, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bleicher, Josef, 2007, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai metode, Filsafat, dan kritik, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta: Fajar Pustaka Choir Thohatul dkk, 2009, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2002, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmy Zarkasy dkk., Jakarta: Mizan Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya Ghazali, Abd Moqsith dkk., 2009, Metodologi Studi Al-Qur'an, Jakarta: Gramedia
  • 31. Harb, Ali, 2003, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LkiS Hick, John, 2006, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, Yogyakarta: Interfidei Hidayat, Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, Bandung: PT Remaja Rosda Karya http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010 http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002 Ibn Katsir, 1999, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, Daar Thayyibah Muslih, Mohammad, 2008, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar O'Donnell, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisisus Saenong, Ilham B., 2002, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al- Qur'an Menurut Hasan Hanafi, Teraju: Jakarta Salim, Fahmi, 2010, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif Shalahuddin, Henri, 2007, al-Qur'an Dihujat, Jakarta: al-Qolam Shahih al-Bukhari Sholihan, 2009, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press Shomad, H.M Idris A., Al-Qu'ran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005 Solihu, Abdul Kabir Hussain, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.2/Juni-Agustus 2004 Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius Sunan Abu Daud
  • 32. Syahin, Abdul Shabur, 2007, Tarikh al-Quran, Mesir: Nahdlah Mishr Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, Yogyakarta: Safira Insani Press Yusuf al-Qaradawi, 1995, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, Cairo: Maktabah Wahbah Zarkasy, Hamid Fahmy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425 ------------, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005