1. A. Pengertian adiponektin
Adiponektin adalah salah satu protein spesifik yang disekresikan jaringan
lemak. Adiponektin dapat dideteksi didalam sirkulasi dan mempunyai efek
protektif sebagai antiaterogenik. Jaringan lemak adalah jaringan yang terdapat
pada banyak organ, dan letaknya pada jaringan subkutan, intraabdomen, dan
intratorakal. Jaringan lemak diketahui sebagai kunci pengatur keseimbangan
energi, memiliki peran penting pada penyimpanan lemak dan buffering, serta
mensintesis dan mensekresikan produk endokrin yang beragam dan kemungkinan
besar berperan dalam patogenesis dari komplikasi yang berhubungan dengan
obesitas. Produk endokrin yang disekresikan oleh jaringan lemak dikenal dengan
adipokines atau adipocytokines yang jumlahnya lebih dari 100, dan salah satunya
adalah adiponektin (adiponectin). (Gotera W, et all, 2006)
Adipokines memberikan kontribusi terhadap patofisiologi kelainan yang
berhubungan dengan obesitas melalui kemampuannya untuk memodulasi
inflamasi dan proses metabolisme. Level dari beberapa adipokines termasuk
leptin, TNF-, plasminogen, ctivator inhibitor tipe-1, interleukin 1(IL-1 ), IL-6, IL-
8, meningkat pada kegemukan dan cenderung berfungsi sebagai pro-inflammatory
manner. Sebaliknya, level adiponektin menurun pada subjek yang obese, dan
fungsi adipokine ini untuk menghambat proses inflamasi.2 Studi klinik dan
eksperimental menunjukkan bahwa penurunan level adiponektin memberikan
kontribusi terhadap obesity-linked illness termasuk penyakit kardiovaskular,
insulin resisten, dan inflamasi, dan sering disebut bahwa adiponektin mempunyai
efek antidiabetes, antiaterogenik, dan antiinflamasi. (Santoso A, 2008)
Adiponektin, juga disebut sebagai ACRP30, AdipoQ, dan gelatin binding
protein-28, sebuah peptide yang terdiri dari 244 asam amino, diproduksi oleh
adiposit dan jumlahnya kurang lebih 0,01% dari total plasma protein. Rangkaian
protein primer dari adiponektin mengandung sebuah collagen like domain pada N
terminus, dan sebuah globular domain pada C terminus, serupa dengan collagen
VIII, X, dan complement factor C1q. Sejumlah 30 kDa monomer adiponektin
ditunjukkan untuk mengagregasi ke dalam beberapa bentuk polimer pada plasma
2. manusia dan tikus, termasuk bentuk trimeric, hexameric, dan high molecular
weight oligomeric. Sebagai tambahan ke dalam bentuk oligomerik, adiponektin
dapat pula diproses dengan proteolisis, dan sebuah smaller globular domain
fragment dapat pula dideteksi pada plasma.
3. B. Hubungan adiponektin dengan penyakit periodontitis
Penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri mulut yang memulai lokal dalam respon
peradangan yang memulai tanda-tanda klinis perdarahan saat probing (BOP), kehilangan
perlekatan, tulang dan gigi. Infeksi periodontal telah dikaitkan dengan kondisi sistemik dan
penyakit, seperti penyakit jantung, diabetes, obesitas, dan sindrom metabolik.
Kami baru-baru ini menunjukkan bahwa adiponektin, suatu adiposit berasal sitokin, dapat
berfungsi sebagai faktor protektif diabetes tipe 2. Ini memiliki efek menurunkan gula darah,
meningkatkan sensitivitas insulin, anti-inflamasi, anti-aterosklerosis dan mengatur metabolisme
tulang. Periodontitis dianggap sebagai komplikasi keenam diabetes. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ada sebuah hubungan yang erat antara periodontitis dan diabetes, yang
sering mempengaruhi satu sama lain. Interaksi adiponektin dan periodontitis tidak jelas. (Xin Z,
2011)
Diabetes tipe 2 dan obesitas meningkat di seluruh dunia dan terkait dengan periodontitis,
penyakit kronis yang ditandai oleh kerusakan ireversibel jaringan gigi-mendukung, yaitu,
periodonsium. Mekanisme yang mendasari hubungan antara diabetes mellitus dan obesitas
dengan kerusakan periodontal dan penyembuhan periodontal dikompromikan tidak dipahami
dengan baik, tetapi penurunan kadar plasma adiponektin, seperti yang ditemukan pada individu
diabetes dan obesitas, mungkin link mekanistik kritis. Tujuan dari penelitian ini adalah in vitro
untuk memeriksa efek adiponektin pada ligamen periodontal (PDL) sel dalam kondisi normal
dan regeneratif, dan untuk mempelajari regulasi adiponektin dan reseptor dalam sel-sel ini.
Adiponektin dirangsang secara signifikan ekspresi faktor pertumbuhan dan matriks ekstraselular,
proliferasi, dan in vitro penyembuhan luka, mengurangi secara signifikan tumor necrosis factor-α
ekspresi konstitutif, dan menyebabkan peningkatan regulasi yang signifikan ekspresi sendiri.
Tindakan menguntungkan enamel matriks derivatif pada sejumlah fungsi sel PDL penting untuk
regenerasi periodontal yang sebagian ditingkatkan dengan adiponektin. The periodontopathogen
Porphyromonas gingivalis menghambat ekspresi adiponektin dan merangsang ekspresi reseptor.
Kesimpulannya, mengurangi tingkat adiponektin, seperti yang ditemukan pada diabetes tipe 2
dan obesitas, dapat membahayakan kesehatan periodontal dan penyembuhan. (Nokhbehsaim M,
2014)
4. C. Hubungan adiponektin dyang menyebabkan resistensi insulin
Insulin merupakan hormon yang berperan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Insulin meningkatkan transpor glukosa dari darah ke dalam sel target di jaringan perifer
(otot,otak, jaringan lemak, hati, dan lain-lain) melalui transporter glukosa (GLUT-4). Insulin
juga berperan dalam penghambatan lipolisis pada jaringan lemak dan mengurangi kadar asam
lemak bebas dalam plasma. Resistensi insulin merupakan suatu kondisi yang berhubungan
dengan kegagalan organ target yang secara normal merespon aktivitas hormon insulin.
Mekanisme terjadinya resistensi insulin dapat diterangkan oleh beberapa jalur. Yang pertama
adalah induksi resistensi insulin karena faktor inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan
resistensi insulin pertama kali dicetuskan oleh Hotamisligil et al pada tahun 1993 yang
menyatakan bahwa sitokin proinflamatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat
menginduksi resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas akan meningkatan
produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6 (Interleukin-6), resistin, leptin,
adiponectin, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Protein-1), PAI-1 (Plasminogen Activator
Inhibitor-1), dan angiotensinogen yang bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik subakut
pada obesitas. Pengikatan molekul sitokin ini pada reseptor spesifik akan mengaktifkan jalur
JNK (Janus Kinase) dan IKKβ dan selanjutnya akan mengatifkan faktor trankripsi Nuclear
Factor κβ (NF-κβ). Translokasi NF-κβ ke dalam nucleus akan meninduksi transkripsi berbagai
macam mediator inflamatorik yang dapat mengarah pada keadaan resistensi insulin3. Jalur JNK
dan IKKβ/NF-κβ juga dapat diaktivasi oleh ikatan dari pattern recognition receptor (PRR) pada
permukaan membran dengan substansi dari luar sel. PRR pada membrane sel ini antara lain
adalah TLRs (Toll-Like Receptor) dan Receptor for advanced glycation end products (RAGE).
Ligan untuk TLRs adalah produk dari mikroba seperti Lipopolisakarida. RAGE akan berikatan
dengan endogenous advanced glycation end products (AGEs)8. AGEs ini merupakan subtansi
nonenzymatic yang merupakan produk dari metabolism glukosa dan protein dengan laju
turnover yang lambat. Resistensi insulin juga dapat diinduksi oleh faktor yang berasal dari dalam
sel. Stres intraseluler seperti Reactive Oxygen Species (ROS) atau Reactive Nitrogen Species
(RNS), stres pada retikulum endoplasmikum, ceramide, and beragam isoform dari PKC (Protein
Kinase C). Beragam faktor intrasel ini akan mengaktifkan jalur JNK dan IKKβ/NF-κβ dan lebih
lanjut dapat menginduksi resistensi insulin pada sel Target. (Sulistyoningrum E, 2010)
5. Mekanisme resistensi insulin yang kedua adalah yang disebabkan oleh obesitas. Obesitas
dapat menimbulkan resistensi insulin melalui peningkatan produksi asam lemak bebas. Asam
lemak bebas yang terakumulasi di jaringan akan menginduksi resistensi insulin terutama pada
hati dan otot. Hipotesis Randle menyatakan mekanisme induksi resistensi insulin oleh asam
lemak ini terjadi akibat kompetisi asam lemak dan glukosa untuk berikatan dengan reseptor
insulin. Oksidasi asam lemak akan menyebabkan peningkatan asetil koA pada mitokondria dan
inaktivasi enzim piruvat dehidrogenase. Mekanisme ini akan menginduksi peningkatan kadar
sitrat intraselular yang akan menghambat akumulasi fosfo-fruktokinase dan glukosa-6 phosphat
yang menyebabkan akumulasi glukosa interselular dan mengurangi uptake glukosa dari ekstrase.
Teori baru mengenai resistensi insulin yang diinduksi oleh asam lemak menyebutkan bahwa
akumulasi asam lemak dan metabolitnya di dalam sel akan menyebabkan aktivasi jalur
serin/threonin kinase. Aktivasi jalur ini menyebabkan fosforilasi pada gugus serin dari kompleks
IRS, sehingga fosforilasi dari gugus tironin seperti pada mekanisme kerja insulin yang normal
akan terhambat. Hambatan pada fosforilasi gugus tironin kompleks IRS ini menyebabkan tidak
teraktivasi jalur PI3 kinase dan menyebabkan glukosa tetap berada di ekstrasel. Resistensi insulin
menyebabkan penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin di jaringan perifer menjadi
berkurang. Kekurangan insulin atau resistensi insulin maka akan menyebabkan kegagalan
fosforilasi kompleks IRS, penurunan translokasi GLUT-4 dan penurunan oksidasi glukosa
sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akan terjadi kondisi hiperglikemia. Sel β-
pankreas pada awalnya akan melakukan kompensasi untuk merespon keadaan hiperglikemi
dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini menyebabkan keadaan
hiperinsulinemia. Kegagalan sel β dalam merespon kadar glukosa darah yang tinggi, akan
menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel β dan terjadi resistensi insulin.
Resistensi insulin pada sel β pankreas menyebabkan aktivasi jalur caspase dan peningkatan kadar
ceramide yang menginduksi apoptosis sel β fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel β
di pankreas. Pengurangan massa sel β-pankreas ini akan menyebabkan sintesis insulin berkurang
dan menyebabkan DM tipe 2. Resistensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa yang
dimediasi oleh insulin di jaringan perifer menjadi berkurang11. Kekurangan insulin atau
resistensi insulin maka akan menyebabkan kegagalan fosforilasi kompleks IRS, penurunan
translokasi GLUT-4 dan penurunan oksidasi glukosa sehingga glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel dan akan terjadi kondisi hiperglikemi. Sel β-pankreas pada awalnya akan melakukan
6. kompensasi untuk merespon keadaan hiperglikemi dengan memproduksi insulin dalam jumlah
banyak dan kondisi ini menyebabkan keadaan hiperinsulinemia. Kegagalan sel β dalam
merespon kadar glukosa darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi
sinyal insulin pada sel β dan terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin pada sel β pankreas
menyebabkan aktivasi jalur caspase dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi
apoptosis sel β fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel β di pankreas. Pengurangan
massa sel β-pankreas ini akan menyebabkan sintesis insulin berkurang dan menyebabkan DM
tipe 2. Resistensi insulin juga berhubungan dengan kejadian hipertensi. Studi Bogalusa
melaporkan terdapat korelasi positif antara kadar insulin dan tekanan darah yang bersifat
independen terhadap IMT. Kadar insulin secara signifikan mengalami peningkatan pada subyek
dewasa muda dengan hipertensi esensial dan hipertensi ringan dibandingkan dengan subyek
normotensif. Individu dengan resistensi insulin cenderung memiliki tekan(Sulistyoningrum E,
2010)an darah yang lebih tinggi. Peningkatan tekanan darah pada resistensi insulin terjadi karena
insulin meningkatkan retensi natrium pada ginjal. Resistensi insulin juga berhubungan dengan
peningkatan aktivitas saraf simpatis dan hipertrofi otot polos pada dinding pembuluh darah.
Obesitas merupakan faktor predisposisi gangguan metabolik yang dikenal sebagai
sindrom metabolik (SM), terutama pola obesitas abdominal. Saat ini telah diketahui dengan baik
bahwa sebagai awal DM-2, resistensi insulin (RI) dengan sindrom yang menyertainya,
merupakan dasar utama kerentanan terhadap DM-2 dan PJK. Dalam metabolisme jaringan,
signaling insulin melalui jalur phosphatidylinositol-3-kinase (PI3-K) mengakibatkan ambilan
glukosa dimana dalam keadaan RI terjadi hiperglikemia, faktor lain seperti dislipidemia dan
hipertensi juga meningkat. Faktor yang berperan terhadap terjadinya SM adalah nonesteri! ed
fatty acids, sitokin inß amasi, plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1), adiponektin, leptin dan
resistin. Resistensi insulin dalam sel lemak mengakibatkan peningkatan lipolisis dan pelepasan
asam lemak bebas (ALB),1 yang mengakibatkan inaktivasi mitochondrial pyruvate
dehydrogenase dan akhirnya penurunan ambilan glukosa. Peningkatan kadar ALB dapat
menghambat transpor glukosa dan aktivitas hexokinase, secara tidak lansung menghambat
signaling melalui reseptor insulin. Kadar insulin plasma merupakan surrogate marker RI namun
masih belum dibakukan karena variasi antar laboratorium klinik. Sekresi insulin puasa
berhubungan dengan lemak viseral, tiap peningkatan insulin puasa sebesar 5% pertahun
berhubungan dengan penambahan lemak visceral 1 cm2 pertahun tanpa dipengaruhi lemak
7. subkutan abdomen. Tiap perbedaan 1 cm2 lemak subkutan pada pengukuran awal berhubungan
dengan peningkatan insulin puasa 0,2% pertahun.8,9 Hubungan antara Homeostasis Model
Assesment of Insulin Resistance (HOMA-IR) dan insulin puasa pada subyek non diabetik
adalah 0,98. (Suastika K, et all, 2009)
Penduduk Asian Indian berisiko tinggi terhadap DM-2 dan PJK, dan memiliki suatu
fenotipe RI, ditandai oleh masa otot rendah, adipositas tubuh atas, dan persentase lemak tubuh
tinggi. Walaupun RI terjadi dalam keluarga dan mungkin memiliki dasar genetic, faktor gaya
hidup sering menjadi pencetus proses penyakit kardiometabolik. Dengan pengaruh cepatnya
industrialisasi dan urbanisasi, konsekuensi perubahan gaya hidup yang kurang beraktivitas akan
meningkat. (Suastika K, et all, 2009)
Adiponektin secara spesiÞ k diekspresikan dan diproduksi dalam adiposit dan berperan
penting dalam metabolisme glukosa dan RI. Penurunan kadar adiponektin dilaporkan pada
pasien-pasien obesitas dan DM-2. Konsentrasi adiponektin plasma, diukur dengan sistem
ELISA, didapatkan secara terbalik lebih rendah pada orang obes dibandingkan dengan non obes.
Penurunan konsentrasi adiponektin serum juga ditemukan pada pasien PJK, menunjukkan bahwa
adiponektin memegang peranan dalam menghambat formasi aterosklerosis, suatu komponen
penting dalam terjadinya PJK. (Suastika K, et all, 2009)