MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
1. A. Definisi Masyarakat
Adanya macam-macam wujud kesatuan kelompok manusia menyebabkan
bahwa kita memerlukan beberapa istilah untuk membedakan berbagai macam
kesatuan manusia. Menurut koentjaraningrat (2009:116) masyarakat adalah
sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah saling
“berinteraksi”.
Menurut setyawan (2012:2) masyarakat adalah sebagai suatu bentuk sistem
sosial, dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar akan selalu berusaha
mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar yang seoptimal mungkin.
Menurut Syani (2013:30) mendefinisikan bahwa: Masyarakat sebagai
community dapat dilihat dari dua sudut pandang; Perta memandang comunity
sebagai unsur statis, artinya comunity terbentuk dalam suatu wadah/ tempat dengan
batas-batas tertentu, maka ia menunjukan bagian dari kesatuan masyarakat
sehinggga ia dapat pula disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung ,
dusun atau kota-kota kecil.
Menurut soejono soekanto dalam setyawan (2012:2) masyarakat adalah
menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (secara
Geografis) dengan batas-batas tertentu, dimana yang menjadi dasarnya adalah
interaksi yang lebih besar dari anggota-anggotanya dibandingkan dengan penduduk
di luar batas wilayahnya.
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dengan lingkungan sekitar
yang akan selalu berusaha mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Ikatan
yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyakat adalah pola tingkah
laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu.
B. Unsur-unsur Masyarakat
Masyarakat sebagai Suatu Sistem, individu-individu yang terdapat di
dalam masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi satu sama lain,
misalnya dengan melakukan kerja sama guna memenuhi kebutuhan hidup
masing-masing. Apabila kita mengikuti pengertian masyarakat baik secara
2. natural maupun kultural, maka akan tampak bahwa keberadaan kedua
masyarakat itu merupakan satu-kesatuan.
Menurut koentjaraningrat (2009:115) Adanya bermacam-macam wujud
kesatuan kelompok manusia menyebabkan bahwa kita memerlukan beberapa istilah
untuk membedakan berbagai macam kesatuan manusia.
Menurut koenjtaraningrat (2009:115) ada istilah lain untuk menyebut
kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat yaitu
kategori sosial, golongan sosial, kelompok, dan perkumpulan.
1. Kategori sosial
Menurut Koentjaraningrat (2009:120) kategori sosial adalah kesatuan
manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri-ciri obyektif yang
dikenakan pada manusia-manusia tersebut. Sejumlah manusia yang hidup
bersama dalam waktu yang relative lama, didalamnya manusia dapat saling
mengerti dan merasa dan mempunyai harapan-harapan sebagai akibat dari
hidup bersama itu. Terdapat system komunikasi dan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat tersebut.
2. Golongan sosial
Golongan sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya sebagai
hasil proses pertumbuhan masyarakat. Faktor penyebabnya antara lain:
kemampuan/kepandaian, umur, jenis kelamin, sifat keaslian, keanggotaan
masyarakat dan lain-lain. Faktor penentu dari setiap masyarakat berbeda-
beda, misalnya pada masyarakat berburu faktor
Dasar-Dasar Pembentukan Golongan Sosial
Menurut Soekanto (2014:20), kriteria yang dipergunakan sebagai ukuran
dalam menggolongkan masyarakat ke dalam golongan sosial atau
pelapisan sosial adalah:
a) Ukuran Kekayaan
b) Unsur kekuasaan atau wewenang
c) Ukuran Ilmu Pengetahuan
d) Unsur kehormatan (keturunan)
3. 3. perkumpulan
Menurut Koentjaraningrat (2009:125) Suatu perkumpulan merupakan suatu
masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya. Dengan adanya sistem
interaksi antara para anggota, dengan adanya adat-istiadat serta norma yang
mengatur interaksi tersebut.
4. Kelompok
Kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki ciri-ciri: sistem
organisasi yang merupakan pengelompokkan individu pada masa-masa
tertentu dan berulang-ulang, memiliki unsur pimpinan dan memiliki
aturan-aturan tertentu.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur
masyarakat terdiri dari kategori sosial, golongan sosial, perkumpulan,
kelompok, dalam unsur-unsur tersebut sangatlah penting karena setiap
masyarakat merupakan suatu kesatuan dari individu yang satu dengan lain
berada dalam hubungan berinteraksi.
C. Keterkaitan unsur masyarakat dalam pelaksanaan BK
Dalam bidang konseling, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik.
Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang
mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk
mengetahui maknanya secara pasti atau benar.
Lestari (2013:9) Pelaksanaan konseling dipangaruhi oleh beragam entitas.
Salah satu entitas di maksud adalah faktor budaya. Faktor budaya tersebut imerge
dalam hubungan konselor-konseli. Keberbedaan dan keberagaman budaya yang
menjadi latar pribadi konselor dan konseli cenderung dapat menghambat
pelaksanaan konseling.
George F. Kneller, 1965 dalam Hartinah (2014:2) kata budaya sendiri
bermakna semua cara-cara hidup yang dilakukan orang dalam suatu masyarakat.
Menurut Sciarra dalam Hartinah (2014:3) bahwa konselor yang terdidik
dengan tradisi Barat harus peka terhadap perbedaan-perbedaan itu bila bekerja
dengan siswa Amerika keturunan Asia dan orang tua mereka.
4. Ivey, 1988 dalam Hartinah (2014:6) menyarankan bahwa penggunaan
keterampilan komunikasi konseling hendaknya memperhatikan latar belakang
budaya dan kebiasaan konseli perorangan, timbul dilematis tentang nilai-nilai
budaya yang relevan untuk penerapan dalam komunikasi konseling dan
penerapannya. Nilai-nilai budaya yang relevan itu antara lain:
1) Hubungan konselor-konseli bersifat hirarkis, bukan sederajat seperti di
Barat;
2) Pengembangan diri berfokus pada keluarga atau kelompok, dan mereka
saling bergantung;
3) Kematangan psikologis berarti kemampuan meningkat dalam pengendalian
emosi;
4) Sumber kendali dan sumber tanggung jawab terletak di luar diri (external
bukan internal seperti Barat);
5) Pemecahan masalah menjadi tanggung jawab konselor;
6) Empati atau tenggang rasa yaitu peka dan memahami perasaan orang lain;
7) Menghormati dan setia kepada orang tua;
8) Komunikasi dengan pengaruh tinggi konteks atau situasi;
9) Keserasian dengan lingkungan alam dan orang lain;
10) Berorientasi waktu lalu dan kini, bukan waktu datang seperti orientasi waktu
Barat.
Konselor harus memiliki kesadaran adanya perbedaan karakteristik (pribadi,
nilai, moral, budaya) antara dirinya dengan konselinya. konselor perlu memiliki
kepekaan budaya agar dapat memahami dan membantu konseli sesuai dengan
konteks budayanya. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari
benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan dalam
proses konseling akan membawa karakteristik tersebut.
Konselor berwawasan lintas budaya adalah konselor yang memiliki kepekaan
budaya dan mampu melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan yang responsif secara
kultural.
Menurut Supriyatna, 2011 dalam Lestari (2013:5) Sedikitnya ada tiga
pendekatan dalam konseling lintas budaya, pertama, pendekatan universal atau etik
5. yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-
kelompok. Kedua, pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang menyoroti
karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka.
Supriatna, 2013 dalam lestari (2013:7) menjelaskan untuk memasukkan unsur
keberwawasan budaya dalam merancang dan mengimplementasikan program
bimbingan dan konseling disekolah, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam
rangka menjawab tantangan utama bagi seseorang konselor sekolah.
Menurut petrus (2012:96) bimbingan konseling lintas budaya Contohnya
seperti bimbingan kelompok didalam budaya Hibua Lamo tujuan bimbingan
kelompok ini adalah untuk menumbuh kembangkan semangat persaudaraan,
kekeluargaan, kekerabatan dan kesetaraan yang saling menghargai satu dengan
yang lainnya diantara siswa sebagaimana makna falsafah Hibua Lamo yaitu Nanga
Tau Mahirete atau dengan sebutan lain Ngone O’Ria Dodoto. Prayitno,2004 dalam
petrus (2012:99) secara umum menjelaskan bahwa tujuan bimbingan kelompok
adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan
komunikasi peserta layanan. Kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi
seseorang sering terganggu oleh perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap
yang tidak obyektif, sempit dan terkungkung serta tidak efektif.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa Konseling
berwawasan lintas-budaya adalah sebuah layanan bantuan kepada konseli dengan
memperhatikan latar budayanya dalam hal ini Hubungan konselor dan konseli pada
dasarnya merupakan hubungan dua orang yang memiliki perbedaan budaya.
Perhatian terhadap latar budaya konseli penting untuk dilakukan mengingat faktor
budaya memiliki kontribusi terhadap pelaksanaan konseling.
6. REFRENSI:
Anonim, 2015. Pengertian masyarakat. [Online]. Tersedia:
http://infodanpengertian.blogspot.co.id/2015/12/pengertian-masyarakat-
menurut-para-ahli.html. Diakses pada tanggal 20 April 2016.
Hartinah, Sitti. 2014. konseling bercorak budaya : penerapannya dalam
komunikasi konseling. [Online]. Tersedia:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116910&val=5332&titl
e=KONSELINGBERCORAKBUDAYAPENERAPANNYADALAMKOM
UNIKASIKONSELING. Diakses pada tanggal 20 April 2016
Koentjaraningrat. 2009. Ilmu pengantar antropologi. Jakarta: Rineka cipta.
Lestari, Indah. 2013. Konseling Berwawasan Lintas Budaya. [Online]. Tersedia:
http://eprints.umk.ac.id/3636/3/artikel.pdf. Diakses pada tanggal 20 April
2016.
Petrus, Jerizal. Sugiyo. 2012. Model bimbingan kelompok berbasis nilai-nilai
budaya hibua lamo untuk meningkatkan kecerdasan sosial siswa part 2.
[Online].
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/download/761/788.
Diakses pada tanggal 20 April 2016.
Setyawan, Aditya, Dodiet. 2012. Konsep dasar masyarakat. Surakarta: Poltekes
kemenkes surakarta.
Soekanto, soejono. 2014. Sosiologi suatu pengantar. Bandung: Rajawali Pers.