Selama dua tahun memimpin Indonesia, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terlihat masih mencari formula yang tepat untuk menjejakkan Nawacita ke dalam politik anggaran serta kebijakan pembangunan.
3. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 3
6EDISI BERLANGGANAN
jabodetabek
luar jabodetabek
Rp300.000, -
Rp350.000, -
12EDISI BERLANGGANAN
jabodetabek
luar jabodetabek
Rp600.000, -
Rp650.000, -
Ya! saya mau berlangganan
Nama: ________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
Alamat Pengiriman: Kantor Rumah:
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
Kode Pos: ____________________________________________________________________
Telp/Fax: ____________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
E-Mail: ________________________________________________________________________
Data Pelanggan
Beri tanda pada paket yang dipilih
6 EDISI 12 EDISI
Jumlah Eksemplar: ____________________________________________
Ingin berlangganan mulai:
Bulan: _________________________________ Tahun _________________
Pilih Paket Berlangganan
P
Kirim Formulir Berlangganan melalui Fax: 021-29922743
atau E-Mail: keuangan.negara@gmail.com
dengan subject BERLANGGANAN.
Info lebih lanjut hubungi EDY PURWANTO 081348489334
Berlangganan
&
KINI HADIR DI TOKO BUKU GRAMEDIA TERDEKAT DI KOTA ANDA
FORMULIR BERLANGGANAN
4. keuangan negara | no. 005 vol. ii 20164
M
ajalah Keuangan Negara adalah majalah kajian dengan
frekuensi terbitan triwulanan. Kami berupaya menyajikan
kajian-kajian faktual berupa informasi dan gagasan terkait
tata kelola keuangan negara. Dengan harapan, sajian di majalah ini
dapat membantu para pengambil kebijakan dalam mengakselerasi
program dan kebijakan.
Dalam edisi 5 kali ini, redaksi menyajikan Laporan Utama tentang
Jejak Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Melalui riset yang mendalam, kami berusaha menghadirkan jejak dan
pencapaian agenda prioritas pemerintah selama dua tahun ini.
Dalam lingkup perencanaan, kita melihat adanya “kesenjangan”
antara idealitas yang dicita-citakan di dalam Nawacita dengan
RPJMN 2015-2019. Meskipun pemerintah berupaya menyelaraskan
visi, misi, dan agenda prioritasnya ke dalam perencanaan nasional,
namun faktanya kurang didukung oleh politik anggaran (APBN)
yang mumpuni. Fenomena tersebut menjelaskan alasan Presiden
Jokowi melakukan 2 (dua) kali perombakan kabinet—khususnya tim
ekonomi—yang notabene dinilai kurang memahami cita rasa Nawacita
yang diramu oleh sang Presiden.
Apalagi, RPJMN 2015-2019 yang diterbitkan pemerintah pada 15
Januari 2015, disusun dengan kerangka makro ekonomi yang sangat
ambisius. Misalnya tingkat kemiskinan dicanangkan dapat ditekan
sampai 7,0-8,0 persen pada 2019, pengangguran terbuka dikurangi
menjadi 4,0-5,0 persen di tahun 2019 serta pertumbuhan ekonomi
dipatok 8% pada 2019. Di tengah kondisi perekonomian yang masih
kurang menguntungkan, sudah barang tentu target dan sasaran
tersebut perlu disokong dengan kerja ekstra keras dan gotong royong.
Beralih ke rubrik lain, di rubrik Success Strory, kami menayangkan
rekam jejak beberapa Bupati yang kaya akan prestasi, antara lain;
Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah, Bupati Kutai Kartanegara, Rita
Widyasari, Bupati Tabanan, Ni Eka Wiryastuti, dan Bupati Minahasa
Selatan, Tety Paruntu.
Redaksi juga menyajikan kajian yang tak kalah menarik antara lain
kajian mengenai Efisiensi Anggaran, kajian tentang Reposisi Auditor
Internal dalam Audit Barang dan Jasa, kajian tentang Hubungan
Kelembagaan Antara BPK RI, DPR RI dan DPD RI, kajian mengenai
Tata Kelola Dana Partai Politik, serta kajian mengenai pengelolaan
keuangan daerah.
Redaksi terus berupaya memperbaiki kualitas majalah baik dari
segi tampilan maupun konten. Karena itulah partisipasi pembaca
diperlukan bagi perbaikan Majalah Keuangan Negara yang baru
berusia seumur jagung. Selamat membaca.[]
SOKONG DENGAN
GOTONG ROYONG
EDITORIAL
PEMBINA
Achmad Djazuli
Amin Adab Bangun
Jariyatna
Krishna Hamzah
PENASEHAT HUKUM
Haryo Budi Wibowo, SH, MH
PIMPINAN REDAKSI
Prasetyo
SEKRETARIS REDAKSI
Abdulloh Hilmi
SIDANG REDAKSI
Achmad Djazuli
Jariyatna
Krishna Hamzah
Megel Jekson
Prasetyo
REDAKTUR PELAKSANA
Megel Jekson
REPORTER
Ahmad Sutrisno
Afuan Abdul Halim
Aprilia Hariani
Manta Supriyatna
Taufik Adi Rismawan
FOTOGRAFER
Aprilia Hariani
LAYOUT
Boedy S. Pasoepati
MARKETING/IKLAN
Edi Purwanto
SIRKULASI/PENJUALAN
Rojaul Huda
Syahroni
ALAMAT REDAKSI/TATA USAHA/IKLAN:
Kantor Pusat Kajian Keuangan Negara
Jl. Kartini Raya No. 17B, Jakarta Pusat
Telepon: (021) 29922743
Fax: (021) 29922743
PERSON CONTACT: 081348489334
WEB: www.keuangan.co
www.keuangan.or.id
E-MAIL: keuangan.negara@gmail.com,
marketing@keuangan.or.id
TWITTER: @keuangannegara
FB: Majalah Keuangan Negara
REKENING BANK: Giro Bank Rakyat
Indonesia KCP BPKP
No Acc: 1148.01.000117.307
a/n Pusat Kajian Keuangan Negara
PENERBIT: Pusat Kajian Keuangan Negara
ISSN: 24607304
SK No. 0005.24607304/JI.3.2/
SK.ISSN/2015.08 - 20 Agustus 2015 Redaksi menerima kontribusi tulisan yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak
mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
6. keuangan negara | no. 005 vol. ii 20166
daftarisi
LAPORAN UTAMA
10 |
Nawacita Dalam Bingkai Perencanaan Nasional
Selama Dua Tahun Memimpin Indonesia, Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla Terlihat Masih Mencari
Formula Yang Tepat Untuk Menjejakkan Nawacita Ke Dalam Politik Anggaran Serta Kebijakan
Pembangunan.
16 |
Utak-Atik Politik
Anggaran
Pemerintah Nampak Masih Meramu Politik
Anggarannya Agar Serasi Dengan Visi Dan
Misi.
22 |
Kerja Keras Kejar Target
Pembangunan
Pemerintah Pontang-Panting Kerja Keras
Mengejar Target RPJMN 2015-2019.
Belakangan, Bappenas Mengkaji Kemungkinan
Revisi RPJMN Yang Dinilai Sudah Tidak
Realistis.
28 |
Arah Otonomi Daerah Di
Era Nawacita
Esensi Otonomi Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Adalah
Pemberian Pemberian Kewenangan Kepada
Pemerintah Daerah Dalam Menyelenggarakan
Pemerintahan Secara Mandiri. Sejauh Mana
Implementasi Otonomi Daerah Selama Ini?
34 |
Nawacita Dan Problem Kemiskinan
Desa
Kemiskinan Masih Berpusat Di Desa. Fenomena Ini Patut
Menjadi Perhatian Utama Pemerintah. Upaya Sistematis Untuk
Mengentaskan Kemiskinan Desa Ini Sesuai Dengan Nawacita
Ketiga Yaitu Membangun Indonesia Dari Pinggiran Dengan
Memperkuat Daerah-Daerah Dan Desa Dalam Kerangka
Negara Kesatuan. Persoalannya, Bagaimana Efektivitas Program
Pembangunan Desa Selama Ini?
37 |
Di Tengah Tantangan Kemiskinan
Dan Ketimpangan
Sejak Presiden Jokowi Dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Dilantik
Pada 20 Oktober 2014 Silam, Pemerintah Berusaha Mendesain
Politik Anggaran Di Dalam APBN Agar Sesuai Dengan Platform,
Visi, Dan Misi Yang Tertuang Di Dalam Nawacita Dan Trisakti.
Hampir 2 Tahun Memimpin Indonesia, Nawacita Yang Dulu
Bergelora Nampak Sayup Di Tengah Gelombang Kemiskinan Dan
Ketimpangan.
foto:tempo
7. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 7
PERSPEKTIF
25 |
Mimpi (Bersama) Presiden Jokowi
---------------------------------------
SUCCESS STORY
42 |
Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah
Bupati Penuh Inovasi Dan Prestasi
---------------------------------------
AUDIT
62 |
Inilah Penyebab Pengecualian
WTP Atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat Tahun
Anggaran 2015
66 |
Reposisi Peran Auditor Internal
Dalam Audit Pengadaan Barang
Dan Jasa Pemerintah
---------------------------------------
AKUNTABILITAS
68 |
17 Pemerintah Daerah Konsisten
Mendapatkan Opini WTP
70 |
Akuntansi Berbasis Akrual:
Pembinaan Kemendagri
Terkendala Di Regulasi
48 |
Menata Belanja Negara
--------------------------------------------------------
50 |
Pemerintah Kencangkan Ikat Pinggang
--------------------------------------------------------
56 |
Menata Ulang Dana Politik Di Indonesia
ANGGARAN
76 |
Asas-Asas Umum Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah
---------------------------------------
ANTARLEMBAGA
78 |
Mensinergikan Fungsi
Pengawasan Keuangan Negara
Antara BPK, DPR Dan DPD
84 |
Peran Badan Akuntabilitas Publik
DPD Dalam Menindaklanjuti
Temuan BPK
---------------------------------------
PESONA INDONESIA
92 |
Strategi Kemenpar Genjot
Pariwisata Indonesia
97 |
Pariwisata Mendorong Ekonomi
Masyarakat
98 |
Pengembangan Tanah Lot
Lestarikan Nilai Luhur Budaya
100 |
Sinergitas Pengelolaan Tanah Lot
101 |
Kontribusi Pengelolaan Objek
Wisata Tanah Lot
---------------------------------------
RESENSI
102 |
Perusahaan Negara, Masa Depan
Bangsa
102 |
Tata Kelola Aset, Untuk
Kesejahteraan Rakyat
---------------------------------------
TOKOH
104 |
Bupati Dedi Mulyadi Bicara
Efisiensi
105 |
Tito Karnavian, Papua Tak Bisa
Lepas Dari Hati
105 |
Lukas Enembe, Papua: Antara
Uang dan Kewenangan
---------------------------------------
KOLOM HUKUM
106 |
Mencegah Kriminalisasi Terhadap
Penyelenggara Negara
-------------------------------------
8. keuangan negara | no. 005 vol. ii 20168
negara yang diderita. Korban lain
dari korupsi adalah masyarakat
yang menderita akibat perilaku
korup.
Misalnya korupsi berupa
mark up anggaran dalam proyek
tertentu telah menyebabkan hasil
proyek memiliki kualitas buruk
yang merugikan atau bahkan
membahayakan masyarakat.
Dalam ilmu viktimologi,
terdapat victim precipitation
theory yaitu teori dimana korban
ikut serta berperan terhadap
terjadinya kejahatan. Menurut
Von Hentig, korban melakukan
perilaku-perilaku yang mendorong
munculnya kejahatan terhadap
diri mereka. Dalam hal ini
korban memberikan peluang
terhadap terjadinya kejahatan atau
melakukan provokasi-provokasi
yang dapat menjadikan kejahatan
terjadi.
Dalam kasus korupsi, victim
precipitation tersebut dapat
berupa tata kelola maupun budaya
kerja yang dikembangkan dalam
instansi pemerintah sangatlah
buruk sehingga rentan terhadap
terjadinya korupsi. Sebagai
gambaran, tidak adanya contoh
dan keteladanan akan perilaku
yang baik dalam organisasi
pemerintah maupun tidak adanya
kode etik dan aturan perilaku
yang harus dipatuhi tentu akan
menumbuhkan peluang terhadap
terjadinya korupsi.
Korupsi juga dapat terjadi
ketika sistem pengendalian dan
pengawasan dalam instansi
pemerintah tidak dapat berjalan
dengan efektif sehingga
memudahkan terjadinya korupsi.
Misalnya saja sistem akuntabilitas
kinerja dalam instansi pemerintah
yang dilaksanakan dengan asal-
asalan, pengawasan transaksi yang
lemah hingga sistem informasi
yang mudah diakses siapa saja
tentu memberikan kesempatan
terhadap terjadinya korupsi.
FEED BACK
penjualan pinang, noken, dan
memberikan bantuan yang nyata
untuk usaha kecil masyarakat yang
ada di Papua. Cegah Pemerintah
Daerah Papua untuk melakukan
utang kepada luar negeri dengan
alasan pemerintah pusat tidak
membantu pembangunan Papua.
Jangan biarkan negeri kita terlalu
banyak utang. Semua masalah di
daerah bisa diselesaikan dengan
cara musyawarah mufakat dan
gotong royong.
Bapak Presiden, mohon juga
pertegas status freeport. Jadikan
milik negara atau lepaskan saja
karena keadaan Timika semakin
memburuk dengan adanya freeport.
Dan, yang terakhir berikan
kepercayaan kepada pejabat yang
memang gerakannya tidak ada
unsur menghianati negara.
Semoga Majalah Keuangan
Negara menjadi salah satu media
yang menjadi kepercayaan
rakyat karena selama ini telah
memberikan berita yang seimbang.
Ratih Amalia Lestari
Aktifis Muda NU, tinggal di Papua
VIKTIMOLOGI DALAM
KASUS KORUPSI
Sebagaimana kita semua
ketahui, korupsi yang terjadi di
Indonesia saat ini telah menjadi
sangat masif dan dilakukan pada
berbagai level dan tingkatan.
Dalam kasus korupsi, sering kali
kita hanya melihat kasus korupsi
dari sisi pelaku, bukan dari sisi
korban. Padahal sebenarnya selain
ilmu kriminologi, ada pula ilmu
viktimologi.
Viktimologi adalah ilmu yang
mempelajari perilaku kriminal dari
sisi korban (victim), bukan dari
sudut si pelaku. Dengan demikian,
inti dari ilmu viktimologi adalah
pada korban kejahatan itu sendiri.
Dalam kasus korupsi, korban
perilaku korup meliputi negara
berupa kerugian keuangan negara
atau kerugian perekonomian
SURAT PENDEK
UNTUK BAPAK
PRESIDEN
Assalamualaikum Wr.Wb,
Yth Bapak Presiden dan
pengemban amanah di seluruh
Indonesia,
Melalui surat pembaca ini
saya ingin menyampaikan yang
sebenarnya terjadi di Papua, agar
tidak ada lagi kesalahpahaman
antara Papua dan Jakarta
(Pemerintah Pusat). Program yang
perlu Bapak Presiden fokuskan di
Papua adalah pengelolaan Dana
Otsus harus merata agar kemajuan
Papua bisa mengikuti daerah
lainnya. Selama ini Otsus dirasa
masih belum terlalu memberikan
dampak yang efektif dan efisien
untuk pembangunan Papua.
Berikutnya, Bapak perlu
mencermati kelompok radikal di
Papua yang memecah persatuan
di Papua. Mohon berikanlah
peringatan yang tegas agar kami
sebagai masyarakat Papua tidak
menjadi korban konflik. Bapak
Presiden mesti menelusuri
daerah-daerah tertinggal di
Papua yang sama sekali tidak
tersentuh bantuan pemerintah
baik dalam bentuk pendidikan,
sarana ibadah maupun kesehatan.
Jalinlah komunikasi yang baik dan
satu tujuan untuk membangun
Indonesia antara pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah
Papua.
Lestarikanlah kekayaan Papua
dan lindungi ciri khas Papua
seperti burung cenderawasih,
keuangan negara | no. 005 vol. ii 20168
9. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 9
sosial ini melalui satu media untuk
menjamin kevalidan data. Untuk
merealisasikan ide ini memang
kita menghadapi tantangan, yaitu
masih amburadulnya tata kelola
pembuatan e-KTP di seluruh
daerah di Indonesia, dan juga ruang
memori e-KTP yang tergolong
masih terbatas.
Informasi dari kementerian
Dalam Negeri, KTP El generasi
pertama telah tertanam chip
dengan kapasitas 8 kilobyte berisi
data kependudukan dan disimpan
di server pusat dengan kapasitas
total 724 terabyte. Memori ini
tergolong kecil mengingat KTP El
di Malaysia telah tertanam chip
dengan kapasitas memori sebesar
32 kilobyte. Semakin besar ruang
kapasitas memori tersebut maka
semakin banyak informasi yang
bisa dimasukkan di dalamnya,
termasuk informasi pemegang
KTP El tersebut apakah masuk
dalam penerima bantuan sosial atau
subsidi langsung.
Selanjutnya, para penerima
akan mencairkan dana bantuan
sosial atau dana subsidi langsung
melalui agen LKD yang tersebar
di seluruh Indonesia. Masalah
agen bank ini sangat penting dan
pemerintah perlu untuk melakukan
upaya perekrutan agen bank secara
masif namun tetap memperhatikan
faktor kehati-hatian sesuai dengan
peraturan di bidang perbankan yang
berlaku.
Ike Kurniati
Programer & Web Developer, tinggal di
Jakarta Selatan
BUKAN NAWACITA
YANG DIHARAPKAN
Nawacita adalah agenda
politik yang menjadi prioritas
kerja Jokowi serta pasangannya
jika memenangkan pemilu. Bagi
masyarakat, Nawacita adalah janji
suci Jokowi untuk mengembalikan
kehidupan masyarakat ke
arah yang lebih baik. Dengan
Melalui implementasi
ilmu viktimologi dalam kasus
korupsi maka kita akan dapat
memahami kasus korupsi dengan
lebih komprehensif sehingga
memudahkan dalam memberantas
korupsi di Nusantara.
Adreno Kurniawan
Auditor Inspektorat Kabupaten Sleman,
Yogyakarta
INTEGRASI BANTUAN
SOSIAL MELALUI
E-KTP
Di zaman modern seperti
sekarang ini, kecanggihan teknologi
informasi perlu dimanfaatkan
dengan maksimal, khususnya
dalam meningkatkan pelayanan
publik. Di sektor perpajakan kita
sudah mulai menggunakan e-Billing
pajak guna mempermudah wajib
pajak membayar kewajiban pajak.
Pemerintah membuat berbagai
kartu, misalnya Kartu Indonesia
Pintar, dan rencana pembuatan
Kartu Indonesia Sejahtera.
Guna meningkatkan pelayanan
publik, khususnya di bidang
sosial, saya kira perlu dipikirkan
bagaimana membuat sistem
informasi yang terintegrasi sebagai
identifikasi resmi bagi penduduk
miskin penerima bantuan sosial
dalam bentuk apapun. Masyarakat
miskin sangat berpeluang untuk
mendapatkan lebih dari satu macam
bantuan sosial dan subsidi, misalnya
ketika seseorang memenuhi kriteria
sebagai rumah tangga sasaran
program PKH, dan di saat yang
bersamaan akan memenuhi pula
kriteria untuk program PSKS dan
bantuan subsidi beras miskin.
Dan tidak menutup kemungkinan
apabila dia merupakan petani
kecil maka dia berhak untuk
mendapatkan subsidi benih dan
subsidi pupuk.
Nah, pemerintah,
khususnya Kementerian Sosial
perlu memikirkan bagaimana
mengintegrasikan dana bantuan
keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 9
mengedepankan sembilan landasan
kerja pemerintah ini, masyarakat
sekali lagi bisa berharap akan
hidup yang lebih baik.
Sayangnya, baru dua tahun
menjabat mebel yang dibeli
masyarakat sudah mulai lapuk.
Angin segar yang sempat terasa
kini hilang entah kemana. Janji
untuk mengedepankan dialog
dalam penyelesaian tak bakal
terlaksana selama menterinya
melulu mengancam ‘libas’ pada
tiap pendapat yang beda.
Realita yang terjadi saat ini
sungguh berbeda dengan harapan
yang dulu sempat terlihat dari
sang tukang mebel. Mengharapkan
pemerintah dari sipil yang
memiliki karakter kuat untuk
menyelesaikan persoalan bangsa
sungguh tidak terlaksana. Bolehlah
Jokowi mengejar pembangunan
ekonomi dengan membuka ruang
investasi selebar-lebarnya. Tapi
membangun ekonomi tentu tidak
berarti mengorbankan hidup
masyarakat demi masuknya
investasi. Bukannya memberikan
rasa aman pada seluruh warga
negara sebagaimana tercantum
dalam Nawacita?
Kriminalisasi 26 aktivis
yang melakukan aksi penolakan
terhadap Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan. Pembubaran begitu
banyak acara diskusi tentang
pelanggaran HAM di berbagai
kota. Serta paket kebijakan
ekonomi yang begitu menyiksa
tanpa bisa ditolak apalagi
ditimbang usul kita. Semua yang
terjadi justru berkebalikan dengan
janji suci nawacita. Janji untuk
mengedepankan dialog serta
kemandirian ekonomi seperti
khayalan belaka. Sungguh bukan
seperti Nawacita yang diharapkan.
Aditia Purnomo
Mahasiswa Ilmu Dakwah dan ilmu
Komunikasi UIN Jakarta
10. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201610
Selama dua tahun memimpin Indonesia,
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terlihat masih
mencari formula yang tepat untuk menjejakkan
Nawacita ke dalam politik anggaran serta
kebijakan pembangunan.
NAWACITA
DALAM BINGKAI
PERENCANAAN NASIONAL
LAPORAN UTAMA
Divisi Riset Pusat Kajian Keuangan Negara
11. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 11
S
ejarah mencatat, setiap presiden membawa ideologi
(belief on goodness) ekonominya masing-masing.
Presiden Sukarno mengusung Ekonomi Gotong
Royong. Presiden pertama Indonesia tersebut juga
mencetuskan ajaran Trisakti. Kemudian saat Presiden
Suharto memimpin, pemerintah mempopulerkan
jargon Ekonomi Pembangunan yang bertumpu pada
trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan
pemerataan.
Selanjutnya di era reformasi, ideologi ekonomi
Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid
dan Presiden Megawati nampak masih samar, karena
konsentrasi era pemerintahan ini lebih condong pada
konsolidasi kebangsaan. Kemudian, ketika Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi orang nomor
satu di negeri ini, dia memperkenalkan apa yang disebut
SBYnomics yang terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu pro growth,
pro job, dan pro poor.
Sementara itu, Presiden Jokowi tampil di panggung
kekuasaan hasil Pemilu Presiden tahun 2014 dan
mengusung ideologi Jokowinomics. Adapun, Jokowinomics
tersebut dapat dibaca melalui Nawacita atau sembilan
program yang menjadi agenda prioritas pemerintah
periode 2014-2019.
Bagaimana strategi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla
dalam menerjemahkan Nawacita ke dalam kebijakan
pembangunan?
PROBLEM PERENCANAAN NASIONAL
Sebelum menilai pencapaian Nawacita selama dua
tahun ini, ada baiknya kita mendiskusikan kembali
perencanaan nasional sebagai legitimasi formal
kenegaraan. Secara teoritis, menurut Conyers dan Hills
(1984), perencanaan adalah proses yang kontinyu, terdiri
dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk
menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran
12. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201612
Gambar 1. Tahapan Pembangunan dan Arah Kebijakan RPJPN 2005-2025
untuk mencapai tujuan tertentu di
masa mendatang.
Dari definisi tersebut, diketahui
perencanaan nasional sangat penting
sebagai indikator pencapaian tujuan
dalam rentang waktu tertentu. Dalam
konteks pembangunan nasional,
Indonesia memiliki jejak sejarah pola
perencanaan nasional yang terpadu
dan menyeluruh. Sebagai contoh, di
era Presiden Soekarno pemerintah
menerapkan Pola Pembangunan
Nasional Semesta dan Berencana
(PNSB). Kemudian di era Orde Baru,
Presiden Soeharto menggunakan
Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sebagai dasar perencanaan
nasional.
Pada aspek Pola PNSB tahap
pertama (1961-1969) sebagaimana
diatur dalam TAP MPRS No II/
MPRS/1960, aspek pembangunan
yang diatur juga berkaitan
dengan aspek-aspek fundamental.
Pembangunan tidak hanya
dititikberatkan pada pembangunan
fisik, tetapi juga termasuk
pembangunan revolusi mental dalam
membangun karakter kebangsaan
manusia Indonesia seutuhnya.
Sementara, GBHN era Presiden
Soeharto—meskipun sama-sama
ditetapkan oleh MPR seperti PNSB—
ruang lingkupnya hanya berisi
haluan pembangunan pemerintahan
pusat yang dilaksanakan oleh
eksekutif saja. Sedangkan orientasi
aspek pembangunan GBHN terlalu
menitikberatkan kepada aspek
pembangunan fisik. Sementara itu,
aspek pembangunan karakter nasional
bangsa banyak diabaikan.
Selanjutnya pada era reformasi,
pemerintah menerbitkan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN). Pola
perencanaan ini terbagi dibreakdown
ke dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM).
Bila dibandingkan dengan
kedua sistem perencanaan di era
sebelumnya, SPPN dibuat oleh
masing-masing Presiden terpilih,
dan cenderung lebih eksklusif. Selain
hanya mengatur haluan pemerintahan
selama lima tahun—yang merupakan
visi dan misi capres/cawapres—SPNN
juga disusun dan diputuskan sendiri
oleh pemerintah.
Berpangkal pada hal tersebut,
banyak kalangan memberikan kritik
terhadap SPNN yang terasa parsial
dan belum mencerminkan pola
pembangunan yang berkelanjutan.
Saat dikukuhkan menjadi Guru
Besar Ilmu Pemerintahan Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (2015),
Bahrullah Akbar menyinggung
beberapa permasalahan terkait
perencanaan nasional.
Pertama, jargon perencanaan
pembangunan masih bersifat
seremonial, business as usual tanpa
arah yang komprehensif. Artinya,
perencanaan masih mengedepankan
pekerjaan administratif dan
seremonial, dibandingkan bagaimana
membahas kualitas perencanaan
dan hubungan perencanaan pusat
dan daerah, yang terkorelasi dengan
tujuan berbangsa bernegara.
Menyedihkan untuk mengatakan 71
Tahun Indonesia belum ada blue print
jangka panjang sebagai acuan tujuan
berbangsa dan bernegara.
Kedua, kita tidak mempunyai
dashboard Keuangan Negara
berupa perhitungan sumber potensi
keuangan negara atau penggalian
revenue centre yang komprehensif
dan integratif bagi negara. Sebagai
contoh antara lain berupa potensi
pajak dan cukai yang belum tergali,
timpangnya kemampuan pendapatan
LAPORAN UTAMA
13. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 13
asli daerah (retribusi) dengan dana
transfer, optimalisasi sumber daya
alam, seperti antara lain; leverage
asset perhitungan cadangan minyak,
gas bumi, minerba serta potensi
kemaritiman dan hasil laut.
Ketiga, tidak adanya koordinasi
dan arah yang jelas dalam penyusunan
perencanaan strategis pemerintah
pusat dan pemerintah daerah
untuk mencapai tujuan bernegara,
antara lain tidak meet and match
kepentingan pusat dan daerah dalam
belanja tugas pembantuan dan
dekonsentrasi.
Keempat, bahwa kekayaan
negara yang dipisahkan yang berada
di BUMN, BUMD dan BLU masih
belum terjangkau dalam penyusunan
perencanaan pembangunan
komprehensif dan integratif.
Kelima, perencanaan strategis
yang disusun selama ini masih
belum mempola secara khusus
pembangunan manusia Indonesia
secara utuh (nation and character
building). Permasalahan di atas
menandakan bahwa sumber daya
manusia kita belum mendapat
perhatian secara khusus. Sasaran
pembangunan hanya terfokus kepada
pencapaian indikator pertumbuhan
ekonomi. Dengan kata lain, kita
belum sepenuhnya membangun
jiwa dan raga secara utuh dan
fundamental.
Lalu, bagaimana upaya
pemerintahan Presiden Jokowi dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
memperbaiki perencanaan nasional,
dan sekaligus menerjemahkan visi,
misi dan janjinya ke dalam kebijakan
pembangunan?
NAWACITA DAN RPJMN
Sekalipun perencanaan nasional
kita dewasa ini dihadapkan pada
problema seperti diutarakan di atas,
kita melihat upaya pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla untuk melakukan
perubahan-perubahan pada RPJMN
2015-2019. Sekadar mengingat, proses
penyusunan RPJMN 2015-2019 telah
dimulai pada Januari 2014, seiring
diterbitkannya Peraturan Menteri
PPN/Kepala Bappenas Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-
2019 yang ditandatangani Armida S.
Alijahbana pada 3 Januari 2014.
Di sinilah letak tantangannya.
Pemerintahan baru di bawah Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
dikejar “deadline” untuk merumuskan
kembali RPJMN dan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) sesuai dengan visi,
misi, dan program prioritas presiden
dan wakil presiden terpilih.
Walhasil, dalam waktu kurang
dari 3 (tiga) bulan, yaitu tertanggal 15
Januari 2015 secara resmi pemerintah
Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
14. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201614
menerbitkan RPJMN 2015-2019
melalui Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 2015. Begitupula dengan RKP
2015, yang disusun pada tahun 2014
oleh Pemerintahan SBY-Boediono,
kemudian direvisi seiring dengan
penyusunan RAPBN Perubahan
2015 yang disahkan pada tanggal 14
Februari 2015.
Banyak kritik dialamatkan pada
dokumen resmi perencanaan nasional
jangka menengah tersebut. Setidaknya
terdapat empat model masalah yang
dapat kita telisik, antara lain; pertama,
indikator Nawacita dan RPJMN tidak
sama. Kedua, Nawacita memiliki
indikator, sedangkan RPJMN
tidak punya. Ketiga, RPJMN punya
indikator, sedangkan Nawa Nawacita
tidak punya. Keempat, Nawacita
memiliki indikator global, sedangkan
RPJMN penuh dengan indikator
detail tanpa ada yang global.
Sebagai contoh, Nawacita
memiliki sebuah indikator untuk
menjadikan sektor UMKM dan
ekonomi kreatif sebagai penyumbang
60 persen PDB. Sementara itu,
RPJMN tidak memiliki indikator
itu, hanya terdapat indikator-
indikator kecil seperti UMKM
mencapai 7,5 persen dari
PDB, keanggotaan koperasi
mencapai jumlah tertentu, dan
lain-lain. Selanjutnya, problem
paradigmatik yang penting
disorot adalah jargon Revolusi
Mental yang tidak “bunyi”
dalam RPJMN.
Pada mulanya, politikus PDI
Perjuangan Eva Kusuma Sundari,
juga melayangkan kritik terhadap
RPJMN 2015-2019. Dia mengatakan,
target Nawacita seperti penurunan
gini rasio dan mal nutrisi tidak bunyi
di RPJMN Teknokratis.
“Justru program MP3EI yang
dominan karena rancangan RPJMN
sudah disusun Februari 2014, saat
era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY),” terang dia dalam
Diskusi RPJMN di Jakarta, Minggu
(11/1/2015).
Eva menyebut, beberapa contoh
kesenjangan RPJMN dan Nawacita
yakni; pertama, Nawacita memberi
tekanan pada misi mengurangi
kesenjangan ekonomi dengan target
0,30 persen pada 2019, sedangkan
RPJMN tidak memberikan perhatian
pada target ini.
Kedua, Nawacita memberikan
perhatian besar pada pengurangan
barang impor bahan baku dan
barang modal 5 persen per tahun.
RPJMN tidak memberi perhatian
pada target tersebut. Ketiga, Nawacita
mencanangkan target rasio pajak
16 persen terhadap GDP hingga
2019, sementara RPJMN hanya
menargetkan optimalisasi penerimaan
negara.
Kesenjangan keempat, beberapa
target bidang kesehatan RPJMN
cenderung konservatif. Angka
kematian ibu dan anak dalam RPJMN
ditargetkan 306 per 100 ribu pada
2019. Sementara Nawacita memasang
target 102.
Kelima, Nawacita
memproyeksikan prevelensi bayi
gizi buruk nol persen sampai lima
tahun mendatang dan RPJMN hanya
turun sampai 17 persen di 2019.
Sementara itu, indikator dalam bidang
pendidikan pun masih dalam rangka
implementasi kurikulum 2013, karena
hampir pasti tidak akan terlaksana
oleh Kementerian Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Namun belakangan, ketika
dihubungi redaksi, Eva mengatakan
kritiknya telah dijawab pemerintah.
“Kritik itu sudah direspon, gini ratio
turun sedikit. Dengan pemotongan
APBN-P kita harus hati-hati. Yang
krusial justru concentration of wealth
yang trend-nya lebih kuat,” katanya,
Senin (5/9/2016).
AMBISIUS ATAU UTOPIS?
Apabila mendalami isi RPJMN
dan dokumen Nawacita, memang
masih terdapat beberapa kesenjangan
antara sasaran, target dan indikator
yang ditetapkan dari masing-masing
dokumen.
Sebagai contoh misalnya,
indikator indeks pembangunan
manusia (IPM) di Nawacita
ditetapkan 76.60, tetapi sasaran
RPJMN menetapkan 76.30.
Sedangkan realitas tahun 2015 sebesar
69.55. Selain itu, indeks gini ratio di
Nawacita memproyeksikan 0.30, tetapi
di dalam RPJMN dipatok 0.36. Dan,
realitas tahun 2016 indeks gini
ratio sebesar 69.55.
Kesenjangan yang juga
mencolok misalnya sasaran
pertumbuhan ekonomi, yang
disasar Nawacita sebesar 6.0%-
7.5%, namun di RPJMN malah
dipatok lebih tinggi yaitu
sebesar 8%.
Sementara itu, penurunan
tingkat kemiskinan dipatok realtif
moderat, Nawacita mencanangkan
kurang dari 8%, sedangkan RPJMN
mematok kisaran 7-8%. Begitupula
dengan tingkat pengangguran
terbuka, Nawacita menargetkan 4%
dan RPJMN mematok 4-5%.
Bersandar pada acuan indikator
Nawacita dan RPJMN tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Nawacita belum
sepenuhnya diterjemahkan ke dalam
perencanaan nasional. Padahal,
indikator-indikator tersebut menjadi
basis acuan penilai masyarakat
LAPORAN UTAMA
15. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 15
Sasaran dan Indikator Nawacita dan RPJMN 2015-2019
terhadap pencapaian, serta janji dan
visi misi Presiden Jokowi.
Karena itu, untuk mewujudkan
sasaran pembangunan nasional,
pemerintah perlu bekerja keras
mengejar target-target yang ambisius
tersebut, dan sekaligus mewaspadai
realitas yang terjadi saat ini. Ambil
contoh misalnya untuk mewujudkan
IPM sebesar 76.30 tahun 2019.
Berbekal pencapaian IPM tahun 2015
sebesar 69.55, maka pemerintah perlu
bekerja keras menambah sekitar 1.69
point setiap tahunnya.
Adapun, pembentuk IPM
terdiri atas 3 (tiga) dimensi yaitu
umur panjang dan hidup sehat
(kesehatan), pengetahuan (kualitas
pendidikan), dan standar hidup layak
(perekonomian). Dari ketiga dimensi
tersebut, kita masih dihadapkan pada
sejumlah kekhawatiran.
Dari dimensi kesehatan, kita
menghadapi kekhawatiran sebagai
berikut; pertama infrastruktur
kesehatan belum merata dan
kurang memadai. Dari sekitar 9.599
Puskesmas dan 2.184 rumah sakit
yang ada di Indonesia, sebagian besar
masih berpusat di kota-kota besar. Hal
ini juga berkelindan dengan tingkat
ketersediaan kamar, khususnya
rawat inap di rumah sakit untuk
memberikan pelayanan terhadap
peserta BPJS Kesehatan yang kini
jumlahnya telah mencapai 142 juta.
Kedua, distribusi tenaga
kesehatan yang belum merata. Data
terakhir Kementerian Kesehatan
RI memang mencatat, sebanyak
52,8 persen dokter spesialis berada
di Jakarta, sementara di NTT dan
provinsi di bagian Timur Indonesia
lainnya hanya sekitar 1%-3%.
Kemudian dimensi pendidikan,
kita juga dibayangi oleh berbagai
permasalahan. Menurut data dari
UNESCO (2015) pendidikan di
Indonesia menempati peringkat ke-
10 dari 14 negara berkembang. Hal
tersebut disebabkan karena kualitas
pendidikan di Indonesia yang masih
kurang baik, yang ditandai dengan
rendahnya sarana dan prasarana
pendidikan, kualitas guru, prestasi
siswa, serta pemerataan kesempatan
pendidikan.
Sementara itu dari dimensi
standar hidup layak, fenomena
ketimpangan pendapatan masih
menjadi momok yang mewarnai 71
kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan
data BPS (2016), tingkat ketimpangan
pendapatan Indonesia yang diukur
dengan menggunakan gini ratio pada
Maret 2016 mengalami perbaikan
menjadi sebesar 0,397. Pencapaian
tersebut mendekati batas berbahaya
level ketimpangan sebesar 0,40.
Diketahui, belakangan Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) akan mengkaji
kemungkinan adanya revisi atas
RPJMN 2015-2019 yang dinilai sudah
tidak realistis. Kepala Bappenas
Bambang Brodjonegoro berkilah
rencana tersebut dilakukan karena
perencanannya waktu itu kurang
menggambarkan kondisi yang
sebenarnya.
“Rencana itu kan selalu awal di
depan, begitu sudah berjalan kita
harus review apakah yang dilakukan
selama ini sudah sesuai sasaran atau
belum, atau mungkin perencanannya
waktu itu kurang menggambarkan
kondisi yang sebenarnya,” kata
Bambang di Jakarta, Kamis
(28/7/2016).[tim]
16. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201616
S
ejak dilantik pada 20 Oktober
2014 silam, pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla dihadapkan
pada awan mendung perekonomian
nasional. Pertumbuhan ekonomi lesu.
Berdasarkan data Bank Indonesia,
pada tahun 2010 ekonomi Indonesia
mampu tumbuh sebesar 6,4 persen,
kemudian terus merosot menjadi 6,2
persen (2011),6,0 persen (2012),5,6
persen (2013),5,0 persen (2014), dan
menukik sampai titik terendah di
tahun 2015, hanya tumbuh melambat
sebesar 4,8 persen.
Kita juga mencatat pada akhir
tahun 2014 diwarnai oleh fenomena
depresiasi rupiah terhadap dollar
yang menembus level 12.900 per dolar
AS. Nilai ini lebih rendah dibanding
saat krisis ekonomi global 2008 yaitu
Rp12.650 per dolar AS. Pelemahan
rupiah tersebut dipicu terutama
karena pemulihan ekonomi Amerika
Serikat dan rencana Bank Sentral
AS atau the Fed untuk menaikkan
suku bunga. Apalagi, di akhir tahun
2014, kebutuhan dolar di Indonesia
meningkat untuk pembayaran utang
korporasi, negara, dan keperluan
liburan.
Selain itu, dari sisi domestik,
makro ekonomi Indonesia pada
tahun 2014 sedang mendapat
tantangan terutama bersumber dari
risiko meningkatnya defisit ganda
(twin deficits), yaitu defisit transaksi
berjalan dan defisit fiskal.
Berdasarkan Laporan
Perekonomian Indonesia (LPI) 2014
yang dikeluarkan Bank Indonesia,
sumber permasalahan struktural
tersebut berasal dari: pertama,
struktur ekspor nasional sampai
tahun 2014 masih didominasi oleh
komoditas primer seperti batubara,
Crude Palm Oil (CPO) dan tembaga.
Ekspor komoditas primer tersebut
memiliki nilai tambah yang rendah,
rentan terhadap pergerakan harga
komoditas global, dan cenderung
terkonsentrasi pada negara
berkembang seperti Tiongkok dan
India.
Kedua, besarnya subsidi energi
menyebabkan meningkatnya risiko
fiskal terutama ketika penerimaan
fiskal turun sejalan dengan
menurunnya harga komoditas.
Di samping itu, besarnya subsidi
semakin membatasi kemampuan
sumber pembiayaan pemerintah
untuk pembangunan berbagai proyek
infrastruktur yang sangat diperlukan
dalam meningkatkan kapasitas
ekonomi dan daya saing dalam negeri.
Ketiga, rendahnya ketahanan
energi di dalam negeri semakin
mengemuka dalam tiga tahun
terakhir. Defisit neraca perdagangan
migas tercatat terus tinggi. Di tengah
produksi minyak Indonesia yang terus
menurun dan kemajuan program
diversifikasi energi yang belum
signifikan, kebutuhan energi tidak
dapat dipenuhi dari dalam negeri,
yang pada akhirnya terus membebani
transaksi berjalan.
Kombinasi dinamika ekonomi
global yang kurang kondusif dan
sejumlah permasalahan domestik
tersebut menyebabkan peningkatan
risiko kestabilan makroekonomi pada
tahun 2014. Pertama, penyesuaian
defisit neraca transaksi berjalan masih
berjalan lambat akibat tetap tingginya
defisit perdagangan migas di tengah
mulai membaiknya defisit neraca
pedagangan non migas.
Kedua, meningkatnya risiko
fiskal akibat rendahnya penerimaan
dan masih tingginya beban subsidi
mengharuskan pemerintah untuk
melakukan penghematan yang
UTAK-ATIKPOLITIKANGGARAN
Pemerintah nampak masih meramu politik
anggarannya agar serasi dengan visi dan misi.
LAPORAN UTAMA
Betapapun beratnya
beban permasalahan
perekonomian
yang dipanggul
pemerintahan baru,
sesungguhnya kita
melihat upaya
pemerintah untuk
menyelaraskan
visi dan misi
dengan kebijakan
pembangunan dan
politik anggaran
17. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 17
memperlambat pertumbuhan
permintaan domestik di tengah
permintaan global yang juga masih
terbatas.
Ketiga, tingginya kepemilikan
asing pada pasar keuangan
nasional yang masih dangkal dan
meningkatnya ULN swasta di tengah
kondisi keuangan global yang masih
penuh ketidakpastian menimbulkan
risiko terhadap keberlangsungan
pembiayaan eksternal. Tingginya
kepemilikan asing pada pasar
keuangan nasional yang masih
dangkal dapat meningkatkan risiko
tekanan nilai tukar ketika terjadi
pembalikan arus modal, terutama
terkait rencana normalisasi kebijakan
moneter the Fed.
Keempat, tahun 2014 sebagai
tahun transisi pemerintahan juga
menambah ketidakpastian dan
terhambatnya pengambilan keputusan
yang strategis seperti reformasi subsidi
yang seyogyanya dapat dilakukan
lebih cepat, yang berdampak pada
masih tingginya ekspektasi inflasi. Hal
ini menyebabkan bauran kebijakan
moneter dan fiskal serta reformasi
struktural tidak dapat secara
optimal dilakukan dalam merespon
tantangan global dan mencapai tujuan
pembangunan ekonomi nasional.
SANDARAN ANGGARAN
Betapapun beratnya beban
permasalahan perekonomian yang
dipanggul pemerintahan baru,
sesungguhnya kita melihat upaya
pemerintah untuk menyelaraskan
visi dan misi dengan kebijakan
pembangunan dan politik anggaran.
Tetapi kita juga melihat bahwa
upaya tersebut masih terkesan
“serampangan” atau dengan kata lain
terlalu dipaksakan.
Dari sisi kebijakan fiskal,
pemerintah mengajukan percepatan
perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) Tahun
2015 pada Februari 2015. Pemerintah
menilai APBN warisan pemerintahan
sebelumnya belum cukup mampu
memberikan ruang gerak fiskal untuk
mengakomodir agenda-agenda prioritas.
Walhasil, utak atik politik
anggaran di dalam APBNP 2015
mengerucut pada 2 (dua) hal
pokok. Pertama, di sisi pendapatan,
pemerintah merevisi target
penerimaan pajak, yang dalam APBN
2015 versi pemerintahan sebelumnya
sudah tinggi dengan kenaikan 20
persen, kemudian dilakukan revisi
menjadi 30 persen.
Banyak kalangan menilai revisi
target penerimaan pendapatan
pajak ini terlalu ambisius, di tengah
kemunduran perekonomian global
maupun nasional. Ekonom senior
INDEF, Faisal Basri misalnya,
memperingatkan agar pemerintah
tidak terlalu ambisius mengejar target
yang tidak realistik itu.
“Kementerian Keuangan pontang
panting dan menggunakan jurus-
jurus akrobat. Ternyata realisasi
penerimaan pajak tahun 2015 jauh
di bawah target, hanya meningkat
8 persen. Boleh jadi pemerintah
sudah memperhitungkan tambahan
penerimaan dari pengampunan pajak
atau tax amnesty yang ternyata tidak
kesampaian. Tentu saja memasukkan
unsur yang belum ada dan belum
pasti di dalam APBN tergolong
tindakan yang gegabah,” ujar Faisal
dalam tulisannya Tax Amnesty dan
Kredibilitas Anggaran.
Faisal menilai, komplikasi
permasalahan anggaran berawal dari
target penerimaan pajak tahun 2015
yang “selangit” dengan kenaikan 30
persen dibandingkan dengan realisasi
tahun 2014. Padahal, pertumbuhan
ekonomi Indonesia sedang
mengalami tekanan. Bukan baru
terjadi pada tahun 2015, melainkan
sudah berlangsung lima tahun sejak
2015. Pemerintah mematok target
pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi,
yatu 5,7 persen untuk tahun 2015.
Realisasinya jauh meleset, hanya 4,8
persen.
APBN-P 2015 sepenuhnya
disusun oleh pemerintahan Jokowi-
Jusuf Kalla. Target pertumbuhan
ekonomi memang diturunkan dari 5,8
persen pada APBN 2015. “Namun,
anehnya target pajak dinaikkan dari
Rp1.380 triliun (APBN 2015) menjadi
Rp1.489 triliun (APBN-P 2015) atau
meningkat sebesar 7,9 persen. Target
APBN 2015 saja sudah naik 20,3
persen dibandingkan dengan realisasi
APBN 2014,” jelas mantan Ketua Tim
Reformasi Tata Kelola Migas ini.
Kedua, dari sisi belanja,
pemerintah melakukan efisiensi
belanja subsidi melalui penghematan
subsidi BBM yang dilakukan pada
November 2014 dan penerapan
subsidi tetap (fixed subsidy) untuk
18. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201618
minyak solar serta penghapusan
subsidi untuk premium mulai awal
tahun 2015. Dalam postur APBN-P
2015, belanja subsidi BBM ditekan
sampai 73 persen dari Rp240 triliun
menjadi Rp65 triliun.
Upaya yang dilakukan
pemerintah untuk mencari ruang
gerak fiskal tersebut dinilai sebagai
langkah untuk mengakomodir
belanja negara prioritas yang telah
direncanakan Jokowi-Jusuf Kalla.
Belanja negara prioritas yang
dimaksud ialah belanja pembangunan
infrastruktur, yang notabene menjadi
andalan pemerintahan saat ini. Di
dalam APBN-P 2015, alokasi belanja
infrastruktur dikerek naik sebesar 41
persen, dari Rp206 triliun menjadi
Rp290 triliun.
Sementara itu, belanja transfer ke
daerah juga mengalami kenaikan, dari
semula Rp647 triliun di APBN 2015
menjadi Rp664,6 triliun. Di samping
itu, dana desa juga mengalami
peningkatan dari Rp9 triliun menjadi
Rp20,7 triliun.
Seperti diketahui, pembangunan
infrastruktur memang jadi jurus
andalan pemerintah, menyusul
kondisi infrastruktur Indonesia
yang jauh tertinggal dari negara-
negara tetangga di kawasan ASEAN.
Pemerintah menilai buruknya
infrastruktur menjadi hambatan
utama untuk membuat growth engine
baru agar ekonomi Indonesia bisa
bangkit.
“Perbaikan infrastruktur penting
untuk menekan biaya produksi,
menekan biaya transportasi, menekan
ongkos distribusi, menekan biaya
distribusi,” ungkap Jokowi di hadapan
para pengusaha dan ekonom pada
forum “Paparan Presiden Menjawab
Tantangan Ekonomi”, di Jakarta
Convention Center (JCC), Jakarta,
Kamis (9/7/2015).
Adapun target infrastruktur
yang akan dibangun pemerintah
sampai tahun 2019 nanti di antaranya
meliputi 225 proyek strategis nasional
dan 30 proyek infrastruktur prioritas
senilai Rp851 triliun. Proyek tersebut
mendapat fasilitas jaminan politik,
perizinan, dan finansial yang tertuang
dalam Peraturan Presiden (Perpres)
No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional.
TRAGEDI BERULANG
Tata kelola kebijakan fiskal
dalam APBN 2016 pada dasarnya
tidak banyak berbeda dengan
tahun anggaran sebelumnya.Target
penerimaan pajak dalam APBN
2016 kembali dipatok kelewat tinggi,
Rp1.547 triliun atau naik 25 persen
dari realisasi “semu” APBN 2015
sebesar Rp1.240 triliun. Kesempatan
untuk melakukan koreksi dalam
pajak yang diterima baru 26,8 persen
dari target Rp1.360,2 triliun dalam
APBN 2016. “Dibanding tahun lalu,
ini masih minus,” kata Kepala Pusat
Harmonisasi dan Analisis Kebijakan
Kementerian Keuangan Luky
Alfirman di Direktorat Jenderal Pajak,
Jakarta, (10/7/2016).
Tercatat pada Mei 2015, realisasi
penerimaan pajak mencapai
Rp377,028 triliun dari target
penerimaan pajak pada APBN-P
2015 sebesar Rp1.294,258 triliun,
realisasinya sebesar 29,13 persen.
Sementara itu, penerimaan pajak lain
juga negatif, seperti pajak penghasilan
migas dan pajak pertambahan
nilai (PPN). Secara keseluruhan,
pemerintah menargetkan penerimaan
perpajakan (pajak ditambah bea
dan cukai) pada APBN 2016 sebesar
Rp1.546,7 triliun dan baru tercapai
sebesar Rp406,9 triliun pada Mei
2016. Sedangkan target penerimaan
negara bukan pajak baru tercapai
Rp89,1 triliun dari target Rp273,8
triliun.
Secara implisit, tampak Menteri
Keuangan sebelumnya, Bambang
Brodjonegoro, ragu atas target
penerimaan di APBN 2016. Keraguan
itu terlihat dari mempercepat dan
memperbesar penerbitan surat
utang negara (SUN). Ditambah
oleh beberapa ketentuan baru yang
mewajibkan lembaga keuangan
membeli SUN dan konversi dana
daerah ke SUN. Sejak awal 2015
pertumbuhan deposito terjun bebas,
dari sekitar 25 persen menjadi hanya
1,9 persen pada April 2016.
Pertumbuhan kredit pun turun
mengiringi penurunan deposito.
Kredit yang biasanya tumbuh dua
digit, bahkan sempat di atas 20 persen,
turun ke titik terendah 8 persen pada
April 2016. Lalu, sempat naik sedikit
menjadi 8,3 persen pada Mei 2016.
Dampak makroekonomi dari
tekanan terhadap perbankan tersebut
adalah penurunan pertumbuhan
investasi (pembentukan modal tetap
bruto), yakni dari pertumbuhan 5,57
persen pada triwulan I-2016 menjadi
5,06 pada triwulan II-2016. Padahal,
pada triwulan II-2016 investasi
LAPORAN UTAMA
APBN-P 2016 tidak dimanfaatkan.
Sebab, target penerimaan pajak dalam
APBN-P 2016 hanya diturunkan Rp8
triliun menjadi Rp1.539 triliun.
Bayang-bayang pesimisme
gagal target penerimaan pajak pun
menyeruak, bersamaan dengan
pengumuman Direktorat Jenderal
Pajak bahwa penerimaan pajak hingga
akhir Mei 2016 hanya mencapai
Rp364,1 triliun. Artinya, setoran
Perbaikan
infrastruktur
penting untuk
menekan biaya
produksi,
menekan biaya
transportasi,
menekan
ongkos
distribusi.
Presiden Jokowi
19. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 19
menyumbang 32 persen, sedangkan
belanja konsumsi pemerintah hanya
9 persen.
GEBRAKAN SRI MULYANI
Kehadiran ekonom terkemuka
Sri Mulyani dalam jajaran Kabinet
Kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla dinilai tepat. Mantan Direktur
Pelaksana Bank Dunia tersebut
dipandang mampu memberikan terapi
agar APBN semakin kredibel
dan realistis. Dan benar,
di hari pertamanya
sebagai menteri
keuangan,
Sri Mulyani
melakukan
gebrakan
ulang yaitu
penghematan
anggaran.
Sri
Mulyani
menegaskan
bahwa APBN
Perubahan (APBNP)
2016 terlalu ambisius.
Karena itulah, penghematan anggaran
dan belanja negara diambil sebagai
langkah untuk mengembalikan neraca
keuangan negara yang lebih realistis.
Menurutnya, saat ini sedang
terjadi kondisi stagnasi sekuler pada
perekonomian global. Bahkan, di
beberapa tahun terakhir, lembaga-
lembaga dunia selalu merevisi
pertumbuhan ekonomi dunia ke
bawah, akibat kondisi itu. Secara riil,
kata dia, terjadi ekses suplai barang
dan jasa, sementara permintaan tetap
tak bisa terangkat. “Pergulatan ini
terjadi di seluruh dunia, di mana
harus ada adjustment,” ujar Sri
Mulyani, di Jakarta (25/8/2016).
Kebijakan penghematan
anggaran nampaknya ditujukan untuk
mengantisipasi melesetnya target
realisasi penerimaan perpajakan 2016.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 4 Tahun 2016, Presiden
memerintahkan penghematan di 87
instansi dan Kementerian/Lembaga
(K/L) sebesar Rp50,02 triliun.
Namun tampaknya, penghematan
tersebut masih belum mencukupi
sehingga pemerintah berencana
untuk terus menambah penghematan
hingga mencapai Rp70 triliun.
Dengan demikian, pemerintah
memiliki sedikit nafas jika nantinya
kebijakan tax amnesty tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
Penghematan juga menunjukkan
keseriusan pemerintah setelah
sebelumnya Presiden mewajibkan
seluruh Kementerian/Lembaga
(K/L) mempercepat proses
tender pengadaan belanja
khususnya belanja
infrastruktur. Hasilnya,
sepanjang Januari
2016 saja realisasi
belanja pemerintah
sudah menyentuh
angka 7,6 persen
atau setara Rp160
triliun dari pagu
APBN 2016. Jumlah
tersebut sangat
signifikan dibandingkan
periode yang sama di
tahun 2015 sebesar Rp106
triliun atau 5,3 persen total belanja
negara. Jauh lebih besar lagi jika
dibandingkan realisasi Januari 2014
yang hanya mencapai Rp96,84 triliun
atau 5,3 persen dari pagu APBN 2014.
Belanja transfer ke daerah juga
mengalami perubahan kebijakan,
seiring dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 125/PMK.07/2016 tentang
Penundaan Penyaluran Sebagian Dana
Alokasi Umum Tahun Anggaran
2016 yang ditandatangani Menteri
Keuangan Sri Mulyani pada 16
Agustus 2016. Penundaan penyaluran
DAU tersebut ditujukan kepada 169
daerah dengan nilai total sebesar
Rp19,4 triliun.
Di dalam Pasal 1 ayat (2)
PMK tersebut diterangkan bahwa
“Penentuan daerah dan besaran
penundaan penyaluran sebagian dana
alokasi umum sebagaimana dimaksud
didasarkan pada perkiraan kapasitas
fiskal, kebutuhan belanja, dan posisi
kas di daerah pada akhir tahun 2016,
yang dikategorikan sangat tinggi,
tinggi, cukup tinggi, dan sedang.”
Selain beberapa langkah
penghematan di atas, upaya
pemerintah untuk menata kebijakan
fiskal juga nampak di dalam RAPBN
2017, sebagaimana disampaikan
Presiden Jokowi dalam Pidato
Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus
2016 di Gedung DPR/MPR.
Presiden Jokowi mengungkapkan
RAPBN 2017 disusun dengan
strategi fiskal yang diarahkan untuk
memperkuat stimulus, memantapkan
daya tahan, dan kesinambungan
fiskal dalam jangka menengah.
Secara keseluruhan, baik target
penerimaan negara maupun pagu
belanja mengalami penurunan.
Namun, dengan arah yang ekspansif,
defisit dalam RAPBN 2017 diusulkan
senilai Rp332,8 triliun, naik 12,2%
dibandingkan patokan dalam APBNP
2016 senilai Rp296,7 triliun.
Anggota Badan Anggaran DPR,
Dony Ahmad Munir menilai RAPBN
2017 yang disusun pemerintah cukup
optimis. Setidaknya dari sisi asumsi
makro, terlihat bahwa ada kenaikan
dari sisi pertumbuhan ekonomi dan
inflasi juga tetap rendah.
“Kalau target seperti inflasi
dan pertumbuhan ekonomi itu bisa
dicapai, tentu sebuah perkembangan
yang menggembirakan bagi ekonomi
kita. Sebab ekonomi global masih
melemah, tetapi ekonomi kita justru
masih meningkat. Meski demikian,
kita tidak boleh berpuas diri, karena
gejolak eksternal masih berpotensi
20. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201620
mengganggu kinerja ekonomi kita,”
katanya saat ditemui di Gedung
DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 23
Agustus 2016.
Meski demikian, kondisi makro
ekonomi yang kian membaik,
ternyata belum mampu mendorong
perkembangan sektor riil dan
penurunan angka kemiskinan dan
pengangguran secara signifikan.
“Seharusnya dengan inflasi yang
menurun dan pertumbuhan yang
cukup tinggi bisa menekan angka
kemiskinan dan pengangguran secara
lebih cepat. Untuk itulah kualitas
pertumbuhan ekonomi harus terus
ditingkatkan sehingga kemampuan
menekan angka kemiskinan dan
pengangguran menjadi lebih baik,”
kata Dony.
PERGESERAN
PARADIGMA
Dari ulasan di atas, kita melihat
pemerintah tengah berupaya mencari
titik pijak yang kuat sembari menata
kebijakan fiskal dan makro ekonomi.
Pemerintah juga terlihat berupaya
mengharmonisasikan Nawacita
sebagai penerjemahan visi dan misi
Presiden ke dalam politik anggaran
dan kebijakan pembangunan.
Anggota Komisi XI DPR RI
Eva Kusuma Sundari berpendapat,
saat ini sedang terjadi fase peralihan
paradigma pembangunan (shift
paradigm). “Peralihan paradigma
sedang berlangsung, dan orientasinya
adalah Nawacita. Misalnya dari Jawa
Centris ke Indonesia Centris, dari
konsumsi ke produksi (pembangunan
infrastruktur), dari land ke maritim,”
ujarnya saat dihubungi redaksi di
Jakarta, Selasa (23/8/2016). Reformasi
fiskal dengan demikian merupakan
jawaban agar pembangunan nasional
dapat seiring dan sejalan dengan nafas
dan semangat Nawacita.
Pendapat yang bernada moderat
muncul dari pengamat ekonomi
dari Universitas Atmajaya, A
Prasetyantoko, yang melihat bahwa
program Nawacita dengan 9 agenda
prioritas yang dijalankan oleh
pemerintah sangat berat untuk dicapai
dalam waktu dekat ini. Alasannya,
visi misi tersebut sangat
jauh berbeda dengan
kondisi dan situasi
perekonomian saat ini.
“Nawacita sangat
berat, di mana dinamika
situasi politik dan
ekonomi dulu saat dirancang dengan
sekarang berbeda sekali,” ucapnya
saat menggelar dialog dengan
International Monetery Fund (IMF) di
Ruang Rektorat Universitas Atmajaya,
Jakarta, Senin (21/3/2016).
Prasetyantoko menilai
pemerintah Jokowi cukup ambisius
mematok pertumbuhan ekonomi
7 persen pada 2019. Sementara
situasi perekonomian global
maupun Indonesia sekarang ini
tengah mengalami perlambatan.
Bahkan untuk menembus kembali
pertumbuhan ekonomi 5 persen harus
kerja keras.
Dari uraian di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa jalan perubahan
yang ditawarkan pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla sebagaimana
dirumuskan di dalam Nawacita dan
Trisakti, sesungguhnya merupakan
paradigma yang dirindukan oleh
bangsa Indonesia sejak 71 tahun
silam. Tantangan mewujudkan
Nawacita—baik yang berasal dari
internal maupun eksternal—perlu
dipikul bersama sesuai dengan
semangat gotong-royong.
Mengenai hal ini, bahkan
Presiden Jokowi menyadari bahwa
upaya merevolusi paradigma
pembangunan yang didasarkan atas
idealitas bukanlah perkara mudah. “…
Untuk menjadi bangsa pemenang kita
harus berani keluar dari zona nyaman.
Kita harus kreatif, harus optimis,
harus bahu membahu, dan melakukan
terobosan-terobosan. Semua itu
demi mempercepat pembangunan
nasional, demi meningkatkan daya
saing kita sebagai bangsa,” kata
Presiden Jokowi dalam Pidato
Kenegaraan di MPR,16
Agustus 2016.[tim]
LAPORAN UTAMA
keuangan negara | no. 005 vol. ii 201620
Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Pemerintah Tahun 2016 di Istana Negara, Jakarta pada Selasa (20/09)
22. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201622
LAPORAN UTAMA
T
ingkat kepuasan publik
terhadap kinerja pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla mengalami
peningkatan dari 50,6% pada Oktober
2015 menjadi 60,5% pada Agustus
2016. Demikian kesimpulan survei
yang dirilis Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) pada 13
September kemarin.
Akan tetapi, dari empat bidang
utama kinerja pemerintah yang
disurvei, terlihat kinerja bidang
perekonomian menempati posisi
paling buncit dengan skor 46,8%.
Sementara, kinerja bidang hukum
(62,1%), bidang politik (53,0%), dan
bidang maritim (63,9%).
Berkelindan dengan itu,
keyakinan publik terhadap program
pemerintah dalam bidang ekonomi
rata-rata sebesar 63,5% dari lima
sub bidang yang disurvei. Sebagai
contoh, keyakinan publik akan
komitmen meningkatkan ketahanan
pangan sebesar 68,2%, komitmen
meningkatkan industri dalam negeri
(66,9%), komitmen melindungi
Usaha Kecil dan Menengah (64,9%),
komitmen meningkatkan daya beli
masyarakat (62.9%), komitmen
menaikkan pertumbuhan ekonomi
6-7% (59,1%) dan komitmen
menumbuhkan iklim investasi
(58,8%).
Survei 2 tahun kepemimpinan
Jokowi-Jusuf Kalla tersebut
setidaknya dapat menjadi potret,
khususnya kinerja pemerintah di
bidang perekonomian yang masih
memerlukan berbagai pembenahan.
Apalagi, jika disandingkan dengan
target-target yang tercantum di dalam
RPJMN 2015-2019, pemerintah perlu
kerja ekstra keras agar sasaran yang
ditetapkan dapat dicapai dengan baik.
KERJA KERAS
Perencanaan nasional jangka
menengah yang ditetapkan tanggal
8 Januari 2015 melalui Peraturan
Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019,
pada mulanya menjadi perdebatan
hangat di ruang publik. Perdebatan
yang muncul tersebut pada umumnya
KERJA KERAS
KEJAR TARGET PEMBANGUNAN
Pemerintah pontang-panting kerja keras
mengejar target RPJMN 2015-2019. Belakangan,
Bappenas mengkaji kemungkinan revisi RPJMN
yang dinilai sudah tidak realistis.
Divisi Riset Pusat Kajian Keuangan Negara
ilustrasi:bspasoepati
23. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 23
menanggapi target dan sasaran
RPJMN yang sangat ambisius, bahkan
dinilai kurang realistis dengan kondisi
perekonomian dewasa ini.
Mari cermati lima variabel utama
yang menjadi sasaran pembangunan
di dalam RPJMN 2015-2019.
Pertama, RPJMN mematok tingkat
pertumbuhan ekonomi 8% di tahun
2019. Diketahui pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2015 4,79%
dan naik menjadi 5,18% di triwulan
II tahun 2016. Jika angka 5,18%
kita jadikan basis line, maka untuk
mengejar target pertumbuhan 8% di
tahun 2019, pemerintah perlu bekerja
keras menambah paling tidak 0,94%
di setiap tahunnya.
Mengejar target penambahan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,94
basis point per tahun tentu bukan
perkara mudah di tengah kondisi
perekonomian yang belum kondusif.
Di sisi lain, pemerintah tengah
merombak kebijakan fiskal dan makro
ekonomi di bawah Menteri Keuangan
Sri Mulyani. Bahkan, pemerintah dan
DPR mematok pertumbuhan ekonomi
tahun 2017 hanya 5,1%. Kendati
dinilai realistis, namun target tersebut
masih jauh di bawah ekspektasi untuk
mencapai target 8% di tahun 2019.
Selama ini, penyebab utama
melemahnya pertumbuhan ekonomi
adalah kemerosotan pembentukan
modal tetap domestik bruto
(PMTDB), karena pertumbuhan
investasi swasta melemah. Padahal,
investasi swasta merupakan
komponen sangat dominan dalam
PMTDB, yaitu lebih dari 90 persen.
Sedangkan sisanya yang tidak sampai
10 persen disumbang oleh investasi
(belanja modal) pemerintah.
Berdasarkan analisis World Bank
(2016), perluasan fiskal saja—seperti
yang sedang dijalani pemerintah—
tidak bisa menaikkan pertumbuhan
menjadi di atas 5%. Hal ini akan
bergantung pada perbaikan aktivitas
24. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201624
sektor swasta, khususnya investasi.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat
tetap moderat pada kuartal terakhir
tahun 2015, sementara pendapatan
dari manufaktur dan ekspor
komoditas terus turun. Menurut
World Bank, pulihnya ekonomi
Indonesia akan bergantung pada
kebijakan untuk memperbaiki iklim
usaha, menarik investasi swasta
yang lebih banyak, serta diversifikasi
ekonomi.
Kedua, indeks pembangunan
manusia (IPM). Di era pemerintah
sebelumnya, tahun 2010-2014,
penambahan IPM rata-rata per tahun
sebesar 0.64 point, dengan pencapaian
IPM tahun 2014 sebesar 68.90.
Sementara itu, RPJMN mematok
target pencapaian IPM di tahun
2019 sebesar 76.30. Dengan bekal
pencapaian IPM tahun 2015 sebesar
69.55 maka pemerintah perlu bekerja
keras menambah sekitar 1.69 point
setiap tahunnya. Itu artinya, upaya
yang harus dilakukan pemerintah
untuk mengejar target di tahun 2019
mesti dua kali lipat dibandingkan era
pemerintahan sebelumnya.
Seperti diketahui, faktor
pembentuk IPM terdiri atas 3 (tiga)
dimensi yaitu umur panjang dan
hidup sehat (kesehatan), pengetahuan
(kualitas pendidikan), dan standar
hidup layak (perekonomian).
Tragisnya, ketiga dimensi tersebut
masih mengalami sejumlah
masalah yang mengkhawatirkan.
Di sektor kesehatan, pemerintah
perlu mewaspadai perbandingan
lonjakan peserta BPJS Kesehatan—
yang kini jumlah mencapai 142 juta
penduduk—dengan infrastruktur
(fasilitas) kesehatan seperti jumlah
hunian rumah sakit dan tenaga
kesehatan.
Di sektor pendidikan, meskipun
jumlah angka buta huruf dan angka
putus sekolah mengalami penurunan,
namun belum terlihat peta jalan yang
jelas untuk meningkatkan kualitas
pendidikan kita. Selain itu, belum
terdapat benang merah yang tegas
untuk menjadikan ranah pendidikan
sebagai cikal bakal Revolusi Mental.
Dalam bidang pendidikan, kurikulum
yang dipakai saat ini juga dirasakan
belum mampu menjawab berbagai
tantangan zaman serta kebutuhan
pendidikan masa kini.
Sementara itu, di sektor
peningkatan standar hidup layak,
pemerintah perlu mewaspadai
jurang ketimpangan yang semakin
melebar antara penduduk kaya dan
penduduk miskin, serta ketimpangan
antarwilayah di Indonesia, seperti
tercermin dalam indeks gini.
Ketiga, gini rasio (indeks gini)
ditetapkan di dalam RPJMN sebesar
0.36. Berpaling pada pencapaian
era pemerintahan sebelumnya,
penurunan gini rasio tahun 2010-
2014 cenderung stagnan, dan justru
mengalami kenaikan dari 0.380 di
tahun 2010 menjadi 0.41 di tahun
2014. Pada tahun 2016, indeks gini
berhasil diturunkan sebesar 0.003
poin dari 0.40 di tahun 2015 menjadi
0.397. Untuk mencapai target di
tahun 2019, berarti pemerintah
perlu menurunkan setidaknya 0.012
point setiap tahunnya. Itu artinya,
pemerintah perlu kerja empat kali
lebih keras dibandingkan pencapaian
tahun 2016 ini.
Keempat, tingkat kemiskinan.
Pada periode pemerintahan
sebelumnya, rata-rata penurunan
tingkat kemiskinan per tahun adalah
sebesar 0.006%. Di dalam RPJMN
dipatok target penurunan tingkat
kemiskinan sebesar 7%-8%. Di
tahun 2015 dan 2016, pemerintah
baru berhasil mengurangi tingkat
kemiskinan sebesar 0.003% dari
11.13% di tahun 2015 menjadi 10.86%
di tahun 2016. Untuk mencapai target
RPJMN, misalnya diambil angka
tengah tingkat kemiskinan 7.5%, maka
selama 3 tahun ke depan pemerintah
perlu kerja keras menurunkan
angka kemiskinan minimal 0.012%
setiap tahun. Artinya, pemerintah
perlu kerja keras dua kali lipat dari
pemerintahan sebelumnya, dan empat
kali lipat ekstra keras dari pencapaian
tahun 2015-2016.
Kelima, tingkat pengangguran.
Pengurangan pengangguran pada
periode 2010-2014 rata-rata per tahun
sebesar 0.003%. Kemudian pada
tahun 2015-2016 pemerintah telah
bekerja keras mengurangi tingkat
pengangguran sebesar 0.005% dari
6.18% di tahun 2015 menjadi 5.70% di
tahun 2016. Namun, untuk mencapai
target tahun 2019 sebesar 4% maka
pemerintah perlu 3 kali lipat kerja
keras dari pencapaian selama ini. Jika
tidak, dengan asumsi pengurangan
tingkat pengangguran sama seperti
periode 2015-2016 maka tingkat
pengangguran tahun 2019 masih
berkisar 4.26%.
Pada akhirnya, berbekal
keyakinan publik yang masih relatif
tinggi terhadap kinerja pemerintahan,
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla perlu melipatgandakan
kinerjanya lebih keras, sembari
meyakinkan bahwa hanya dengan
gotong royong semua akan tertolong.
Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing.[tim]
LAPORAN UTAMA
Sasaran dan Pencapaian RPJM dari waktu ke waktu
25. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 25
K
ita patut mengapresiasi mimpi pemerintahan Jokowi-
Jusuf Kalla dalam lima tahun kepemimpinannya.
Mimpi tersebut bisa kita baca melalui Nawacita dan
RPJMN 2015-2019 sebagai dokumen formal perencanaan
nasional.
Dalam konteks perencanaan nasional yang berlaku di
Indonesia, RPJMN pada umumnya mencerminkan aspirasi
dua arah: visi presiden dan pendekatan praktis-teknokratik.
Di situlah Presiden Jokowi dan timnya berupaya menyusun
sasaran dan indikator makro ekonomi yang tertuang di
dalam Nawacita ke dalam kebijakan pembangunan nasional.
Adapun secara garis besar, sasaran makro ekonomi
RPJMN era Jokowi lebih ambisius dibandingkan pada era
pemerintahan sebelumnya.
Pertama, tingkat pertumbuhan ekonomi dipatok 8%
di tahun 2019. Jika menggunakan base line pertumbuhan
ekonomi tahun 2015 sebesar 4,79%, itu artinya setiap tahun
pemerintah mesti menaikkan pertumbuhan ekonominya
paling tidak 80 basis point (0,80%) untuk memenuhi
target. Padahal, pencapaian pertumbuhan ekonomi di era
pemerintahan sebelumnya (2010-2014) justru mengalami
kontraksi sebesar 1,79%.
Kedua, target defisit APBN sebesar 1% dari PDB. Kerja
keras apa saja yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi jika
menilik prestasi pemerintahan SBY defisit justru merangkak
naik dari -1,44% (2004) menjadi -2,40% (2014)?
Ketiga, penurunan gini rasio sebesar 0,30 pada tahun
2019. Jika menggunakan basis line tahun 2016 indeks
gini 0.397, maka untuk mencapai target pemerintah perlu
menurunkan setidaknya 0,012 basis point setiap tahunnya.
Pemerintah perlu kerja empat kali lipat dibandingkan
MIMPI (BERSAMA)
PRESIDEN JOKOWI
Oleh: Prasetyo
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara
pencapaian tahun 2016 ini.
Keempat, tingkat kemiskinan dipatok turun sampai
7%-8%. Per Maret 2016, tingkat kemiskinan dapat ditekan
menjadi 10.86%. Untuk mencapai target—misalnya diambil
angkatengahtingkatkemiskinan7.5%—makaselama3tahun
ke depan pemerintah perlu menurunkan tingkat kemiskinan
minimal 0.012% setiap tahun. Artinya, pemerintah perlu
kerja keras dua kali lipat dari pemerintahan sebelumnya,
dan empat kali lipat ekstra keras dari pencapaian tahun ini.
Kelima, tingkat pengangguran ditarget turun sampai
4% di tahun 2019. Pengurangan tingkat pengangguran
pada 2010-2014 rata-rata per tahun sebesar 0,003%. Pada
2015-2016, pemerintah berhasil mengurangi tingkat
pengangguran sebesar 0,005% dari 6,18% di tahun 2015
menjadi 5,70% di tahun 2016. Jadi, untuk mencapai target
pemerintah perlu tiga kali lipat kerja keras dari pencapaian
tahun ini. Jika tidak, maka tingkat pengangguran tahun 2019
masih akan berkisar di angka 4,26%.
Bersandar pada realitas saat itu, di saat perekonomian
kurang menggeliat serta kondisi fiskal yang kurang sehat,
maka upaya mewujudkan mimpi bersama tersebut bukanlah
perkara mudah. Karena itu, Presiden perlu memastikan
bahwa mimpi tersebut juga menjadi mimpi para menteri,
pejabat setingkat menteri, serta dipahami oleh para
pemangku pemerintah daerah. Presiden perlu menegaskan
bahwa agenda prioritas yang telah dicanangkan mampu
diterjemahkan dengan cepat, cekat, tepat, dan akuntabel
untuk mengakselerasi pencapaian Nawacita.
Meski banyak tantangan menghadang, sepatutnya kita
semua menyokong pemerintah dengan kerja nyata dan
gotong royong, agar mimpi tidak berubah menjadi utopi.[]
28. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201628
ARAH OTONOMI DAERAH
DI ERA NAWACITA
Esensi otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah pemberian
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Sejauh mana
implementasi otonomi daerah selama ini?
LAPORAN UTAMA
M
enteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
mengatakan Presiden Jokowi dengan Nawacita
itu membangun komitmen bersama untuk
mempercepat pembagunan di berbagai bidang. Karena
itulah, penguatan otonomi daerah harus terprogram,
terutama bertujuan untuk menguntungkan dan
memperkuat daerah dan pusat.
Adapun pembangunan penguatan sistem tata kelola
hubungan pemerintah pusat dan daerah yang efektif,
efisien, taat pada hukum, dan mempercepat reformasi
birokrasi. Ia menambahkan, bahwa sejak tahun 2000
sd 2005, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, dan Instruksi
Menteri sebanyak 2.933 buah. Dari jumlah tersebut
telah dicabut sebanyak 175, diubah sebanyak 57, dan
akan dicabut/diubah sebanyak 157 untuk memperlancar
Birokrasi dan investasi yang sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Secara terperinci Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, mengatakan,
UU tentang kebijakan otonomi daerah pada prinsipnya
diarahkan dalam tiga hal. Pertama, yang paling
prinsip, adalah untuk meningkatkan pelayanan publik
untuk masyarakat dengan mudah, murah, dan efisien.
Ilustrasi Otonomi Daerah
29. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 29
2004 menjadi UU No. 23 tahun 2014. Perubahan ini
cukup signifikan karena dapat mengisi kekosongan dan
kekurangan dari apa yang dilakukan pada UU No. 32 tahun
2004. Termasuk di dalamnya proses pemberian sanksi
apabila daerah bawahan tidak mentaati kebijakan yang di
atasnya.
Kedua, ditandai dengan pengalihan. Urusan-urusan
pemerintahan yang semula ditangani oleh Pemerintah
Kabupaten, saat ini ditangani Pemerintah Provinsi.
Misalnya pendidikan tingkat SMA atau pertambangan
yang tadinya ditangani oleh kabupaten sekarang menjadi
kewenangan provinsi. Jadi, regulasi ini mengubah struktur
otonomi daerah menjadi signifikan dari sisi regulasi dan
kebijakan otonomi daerah, yaitu ke arah kebijakan yang
sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi. Perubahan yang
mengarahkan untuk membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat desa dan daerah.
Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran.
Pemerintah memperkuat pembangunan dari bawah (desa
dan daerah) seperti dengan mengalokasikan dana desa
dengan anggaran yang luar biasa. Hampir rata-rata setiap
desa mendapatkan dana desa kurang lebih sampai Rp500
juta dengan anggaran di APBN hampir Rp47 triliun dan
akan terus meningkat.
Sumarsono menilai hal tersebut adalah sebuah
paradigma baru untuk memperkuat desa-desa. UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa dengan eksplisit menempatkan
desa sebagai subjek pembangunan, tidak lagi menjadi
objek seperti sebelum UU Desa dikeluarkan. Kementerian
Dalam Negeri pun berharap dengan transfer dari pusat ke
daerah yang lebih lebih besar dapat menjadi stimulus bagi
kemajuan daerah.
“Artinya, bahwa pemerintah pusat makin percaya ke
daerah. Sehingga dapat diharapkan terjadi kapitalisasi,
sirkulasi uang itu ada di daerah,” jelas Sumarsono yang juga
Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.
Menurutnya, melalui pelayanan
publik seperti, kesehatan,
pendidikan, dan perumahan
rakyat, maka standar minimum
masyarakat akan terpenuhi.
“Partisipasi masyarakat
dalam berbagai bidang akan
menciptakan masyarakat yang
peduli terhadap pembangunan
di daerahnya. Pemerintah
bertugas untuk menyiapkan
kebutuhan tersebut,” kata Sumarsono
kepada Majalah Keuangan Negara akhir
Juni 2016.
Dengan demikian, arah otonomi daerah sesungguhnya
adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Dengan regulasi yang mendukung, maka iklim investasi
akan sehat dan menjadi daya saing kuat bagi daerah dalam
membangun daerahnya,” tambah pejabat yang akrab
dipanggil Pak Soni ini.
Kedua, arah otonomi daerah untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat. Memang demikian, di era
demokratisasi sekarang ini partisipasi masyarakat sangat
penting dalam mendukung pembangunan daerah.
Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kebijakan
pemerintah diwujudkan melalui forum seperti Musyarawah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dengan
pemikiran bahwa pola pembangunan saat ini dilandasi oleh
prinsip bottom up dan berbasis kebutuhan masyarakat. Di
dalam Musrenbang itulah, unsur-unsur masyarakat dapat
mengusulkan perencanaan pembangunan yang berkualitas
dan tepat sasaran.
Ketiga, peningkatan daya saing daerah. Sumarsono
menegaskan bahwa otonomi daerah juga menjadi
peluang atau kesempatan bagi pemerintah daerah untuk
berkompetisi dalam membangun daerahnya. Sumarsono
berharap, otonomi daerah dapat dimanfaatkan untuk
mendongkrak kinerja dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Baik itu
melalui pelayanan publik, partisipasi
dan daya saing.
Di situlah muncul kreasi dan
inovasi dalam rangka meningkatkan
daya saing. Baik antardaerah, mau
pun dengan daerah lain di luar negeri.
“Hal ini menunjukkan gejala positif
kebijakan otonomi dareah,” tukas Pria
kelahiran Tulungagung,22 Februari
1959 ini.
IMPLEMENTASI
Dalam lima terakhir, implementasi
otonomi daerah ditandai dengan
tiga ciri. Pertama, adanya perubahan
regulasi dari UU No. 32 tahun
30. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201630
PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH
Kebijakan otonomi daerah yang didukung oleh alokasi
anggaran transfer ke daerah yang terus meningkat ini
diharapkan dapat menjangkau seluruh pojok daerah yang
selama ini kurang tersentuh. Sebab, selama ini banyak
daerah perbatasan atau kepulauan terpinggir menghadapi
persoalan pelik berupa buruknya infrastruktur, kondisi
geografis, dan kesulitan transportasi.
Dewasa ini, upaya mewujudkan otonomi daerah yang
berkualitas ditandai dengan perubahan paradigma yang
meliputi perubahan kelembagaan dan personil di daerah.
Sumarsono mengakui, paradigma lama yang bertumpu
pada “Besar Struktur, Miskin Fungsi” menjadi penghambat
bagi terwujudnya otonomi daerah yang sehat. Maka,
paradigma tersebut kemudian diubah menjadi “Tepat
Struktur, Tepat Fungsi” yang diyakini akan membawa
implikasi efisiensi.
Sumarsono menyontohkan misalnya adanya
penyesuaian yang lebih ramping dan proposional
antara belanja modal dibandingkan belanja
operasional. Seperti diketahui, bahwa
perbandingan antara belanja operasi dan
belanja modal pada struktur APBD
dewasa ini terlihat timpang dan belum
proposional. Berdasarkan analisis Pusat
Kajian Keuangan Negara, rata-rata
alokasi belanja operasional di dalam
APBD tahun 2014 adalah sebesar 70
persen, lebih besar dibandingkan alokasi
belanja modal dengan rata-rata 30 persen.
Karena itulah, Kementerian Dalam
Negeri mendorong agar pemerintah daerah
untuk memperbesar alokasi belanja investasi atau
belanja modal. “Dengan alokasi belanja modal yang lebih
besar yang tidak terserap birokrasi, rakyat lebih bisa
menikmat hasilnya. Itu prinsipnya,” tegas Sumarsono.
Maka, birokrasi harus ditampilkan dengan perubahan
“Tepat Struktur, Tepat Fungsi” dengan diikuti kompetensi
SDM, ada standar kompetensi aparat sipil kerakyatan yang
menduduki jabatan tersebut. Sumarsono optimis dengan
menata ulang organisasi pemerintah daerah dan struktur
estetika sebagai pendekatan paradigma akan membawa
kinerja pemerintah daerah yang lebih baik dalam
membangun daerahnya.
Perubahan paradigma tata kelola pemerintahan daerah
juga didukung oleh regulasi yang tepat. Saat ini, pemerintah
menyiapkan standar aturan sekitar 22 Peraturan
Pemerintah,2 Peraturan Presiden dan 6 Peraturan Menteri
Dalam Negeri sebagai acuan implementasi turunan dan
penjabaran dari UU No. 23 tahun 2014.
Ada beberapa poin di dalam PP tersebut, pertama
di dalam PP ada dua PP lain, yaitu PP mengenai PP
Penataan Struktur Organisasi. Kedua, perubahan struktur
mengenai standardisasi SDM yang mengisi struktur. Ini
sangat signifikan terhadap perubahan-perubahan yang
akan terjadi. Ketiga adalah kebijakan, dari sisi kelembagaan
juga ada kebijakan pendekatan pengelolaan anggaran.
Jadi, perubahan paradigmanya setiap fungsi itu yang dulu
mengikuti “money follow function” menjadi “money follow
program.” Karena itulah mulai tahun 2017 pemerintah
daerah harus fokuskan pada program khusus, sementara
yang lainnya mengikuti program utama.
“Money follow program lebih bisa menjamin program-
program dan lebih punya daya dongkrak,” Sumarsono
menjelaskan.
INOVASI DAERAH
Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN),
Ermaya Suradinata menyatakan perlunya inovasi dalam
pembangunan daerah. Hal itu ia ungkapkan pada seminar
nasional dengan tema “Inovasi Pemerintahan Daerah Pada
Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” di Griya Agung,
Palembang, Selasa (19/7/2016).
“Inovasi sangat diperlukan dalam membangun
termasuk di daerah supaya tepat sasaran dan
efisiensi. Inovasi memang sebagai modal dalam
membangun agar dana yang ada dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin,” kata
Ermaya.
Menurut mantan Gubernur
Lemhannas RI itu, dengan inovasi
atau terobosan maka semua
pembangunan yang dilaksanakan akan
semakin berkembang sekaligus dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat.
Dengan adanya inovasi maka tanpa
modal daerah yang besar pembangunan bisa
dilaksanakan secara berkelanjutan.
Kebijakan tonomi daerah memang dapat menjadi
stimulus bagi munculnya kreatifitas dan inovasi daerah.
Otonomi daerah juga memberikan landasan bagi
penguatan kemandirian daerah. Implikasinya, pemerintah
daerah mesti berjuang dan bekerja keras agar rasio
ketergantungan kepada pemerintah pusat lamban laun
menjadi berkurang.
Esensi inovasi itu sendiri adalah sebuah proses
pembaruan atau perbaikan kebijakan pemerintah daerah
yang dapat mempercepat pembangunan daerahnya,
termasuk dalam hal pelayanan publik. Lebih lanjut, inovasi
daerah juga dapat mendukung kemajuan-kemajuan daerah
dan menjadi jawaban atas permasalahan khusus di daerah.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 menjamin pemerintah
daerah dalam melakukan inovasi, selama hal tersebut
dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri. “Dalam
waktu dekat kita akan terbitkan PP mengenai inovasi
daerah yang bisa menjadi dan mendorong untuk kreaktif
dan mencari terobosan percepatan-percepatannya,” terang
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono.
Meski demikian, implementasi inovasi memiliki
tantangan tersendiri terutama munculnya kekhawatiran
banyak daerah untuk mencairkan anggaran dalam APBD
LAPORAN UTAMA
31. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 31
guna pembiayaan program dan kegiatan daerah, yang
memicu kelambanan penyerapan anggaran. Menurut
Pengajar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan
Tjandra, kekhawatiran tersebut semestinya tidak terjadi
apabila pemerintah daerah memahami dengan tepat UU
No. 23 tahun 2014.
Pasalnya, dengan telah berlakunya UU No 23/2014 jis
UU No 2/2015 dan UU No 9/2015 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda) dan UU No 30/2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP), di satu sisi telah
terjadi perluasan wilayah administrasi dalam kebijakan
penganggaran dan di sisi lain terjadi penyempitan wilayah
pidana korupsi.
Adapun pengaturan perihal inovasi daerah pada Bab
XXI Pasal 386-390 UU Pemda dan diskresi pada Bab
VI Pasal 22-32 UU AP telah mengontrol secara ketat
kriminalisasi kebijakan pemerintah daerah, termasuk
dalam pencairan anggaran daerah. Kelahiran ketentuan-
ketentuan tersebut sejatinya ingin mengonstruksi garis
demarkasi baru wilayah administrasi kebijakan dengan
wilayah pidana korupsi yang selama ini dianggap kabur.
Lebih lanjut, di dalam Pasal 386 UU Pemda dengan
tegas menyatakan, dalam rangka peningkatan kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah
dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua bentuk
pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
harus berpedoman pada sejumlah prinsip penting, seperti
peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan
kualitas pelayanan, dan sejenisnya.
“Bahkan, Pasal 389 UU Pemda menegaskan, dalam
hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan
pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran
yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tak dapat
dipidana. Namun, pelaksanaan inovasi itu mengharuskan
dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang
cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang
dalam pelaksanaan inovasi daerah,” Riawan Tjandra
dalam artikelnya berjudul Inovasi, Diskresi dan Korupsi
(Kompas,22 September 2015).
UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur bahwa
pejabat pemerintah diberi kewenangan menggunakan
diskresi dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, penggunaan
wewenang diskresi tersebut harus didasarkan atas tujuan
yang bersifat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal 22
Ayat (2) UU AP, antara lain, melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi
stagnasi pemerintahan.
Berdasarkan asas tersebut, sejauh norma hukum
inovasi daerah dan diskresi diterapkan dalam koridor
tujuan pembentukan norma hukum tersebut untuk
memperlancar penyelenggaraan pemerintahan di daerah
dalam rangka memberikan pelayanan publik kepada rakyat,
dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemda untuk tak
perlu khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi.
Senada dengan itu, Kementerian Dalam Negeri
menyatakan dalam membuat diskresi harus melaporkan
kepada Kemendagri. Memang ada batasan-batasan dalam
mengembangkan inovasi daerah, yaitu mana yang bisa
dilaksanakan dan yang tidak boleh dilaksanakan. “Secara
umum, inovasi itu diperbolehkan untuk satu pelayanan
publik yang lebih cepat dan murah. Dengan otonomi
daerah, daerah bisa improvisasi untuk memberikan
pelayanan terbaik untuk daerah secara kreatif dan inovatif,”
jelas Sumarsono. [tim]
32. BUPATI KUTAI KARTANEGARA
RITA WIDYASARI
IMPLEMENTASI NAWACITA
MELALUI PROGRAM
GERBANG RAJA
antarwilayah dengan membangun
jalan darat sepanjang 1.000 Km,
Pengembangan teknologi informasi
melalui Smart City dan Tower
Pintar. Keenam, membangun
“Sistem Siklikal”, dalam
pengelolaan limbah. Ketujuh,
membangun Shelter Rehabilitasi
Narkoba dan Traumatik Kekerasan
terhadap perempuan dan anak di
Kecamatan Tenggarong.
Lalu bagaimana strategi dalam
membangun hubungan dengan
SKPD yang notabene merupakan
pelaksana teknis program yang
telah ditetapkan? Apakah ada
strategi khusus agar SKPD di
Kutai Kartanegara benar-benar
melaksanakan program sesuai
dengan ketetapan?
Ya, selain terus melakukan
evaluasi dan monitoring pekerjaan
SKPD, saya juga melakukan
K
abupaten Kutai Kartanegara konsisten menjalankan program
Gerakan Pembangunan Rakyat Sejahtera, atau disebut Gerbang
Raja. Secara filosofi, Gerbang Raja diartikan sebagai pintu depan
atau pintu pengantar menuju kesejahteraan rakyat. Gerbang Raja juga
diilhami dari jejak masa lalu, yang merupakan aset historis sejarah
dan budaya bangsa yang dahulu dikenal dengan kerajaan tertua di
Indonesia, Kerajaan Mulawarman.
Bagaimana Rita Widyasari—yang juga menjabat sebagai Wakil
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(Apkasi), mengelola pemerintahannya sehingga mampu memberikan
pelayanan publik yang terbaik? Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara menerjemahkan
Nawacita yang menjadi visi
Presiden Jokowi?
Dalam kegiatan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi
Kalimantan Timur tahun 2016 lalu,
terdapat 5 isu strategis yaitu: (a)
Pendayagunaan dan Pembangunan
Infrastruktur Dalam Rangka
Menuju Daya Saing Daerah; (b)
Perwujudan Pemerintah Yang
Bersih, Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik dan Kondusifitas
Daerah; (c) Kualitas SDM dan
Kesejahteraan Masyarakat; (d)
Ekonomi dan Pertanian Dalam
Arti Luas (Ketahanan Pangan); (e)
Pengelolaan SDA & Lingkungan
Menuju Tata Kelola Yang Lebih
Baik.
Secara lebih spesifik,
Kabupaten Kutai Kartenegara telah
menyusun misi yang tertuang di
dalam program Gerbang Raja II,
yang terdiri dari 7 poin. Pertama,
penguatan peran dan fungsi
kecamatan dalam pembangunan
wilayah “Membangun Kutai
Kartanegara dari Kecamatan”
(Desentralisasi Kecamatan). Kedua,
meningkatkan kualitas SDM dan
transformasi mental melalui
Gerakan Etam Mengaji “Gema”
serta pengentasan kemiskinan
melalui model Album Kemiskinan
“Nebas Tapak Kemiskinan”.
Ketiga, PAD Cerdas dan
integrasi CSR melalui penyediaan
sistem informasi integrasi
CSR. Keempat, penguatan
pembangunan pertanian melalui
keterpaduan urusan pemerintahan
daerah dengan alikasi anggaran
10% dari Belanja Daerah. Kelima,
konektivitas dan aksesibilitas
Indeks Pembangunan
Manusia Kabupaten
Kukar tahun 2012
berada pada angka
69,12 kemudian naik
menjadi 70,71 di
tahun 2013 dan pada
tahun 2014 melejit
ke angka 71,20.
33. assesmen bagi semua PNS
di Kukar, membacakan pakta
intergritas, juga beberapa
poin dari masalah-masalah di
Kukar wajib di bacakan saat
mutasi dan berkomitmen untuk
menyelesaikannya. Jadi kuncinya
memang ada di komitmen. Dan
saya berusaha semaksimal
mungkin untuk membangun
komitmen.
Dalam hal tata kelola keuangan
daerah, Kabupaten Kutai
Kartanegara kembali mendapat
Opini WTP pada LKPD tahun
anggaran 2015. Adakah pesan
yang ingin Ibu katakan terkait
perolehan opini ini?
Iya, Alhamdulillah ini keempat
kali kami meraih WTP dan murni
tanpa catatan. Saya bangga.
Artinya kami menyajikan laporan
keuangan sesuai standar, ada
pengendalian internal dan sesui
dengan sistem akuntasi dan peran
BPK harus lebih ditegaskan lagi
karena kami merasa sudah di
awasi dengan BPK saat sampling
dan harus ada perbaikan paska itu.
Sehingga peran BPK sangat baik
bagi tertibnya administrasi serta
fisik di Kukar.
Terkait dengan tata kelola APBD,
bagaimana Ibu dan stakeholder’s
mendesain politik anggaran (APBD)
Kabupaten Kutai Kartanegara agar
benar-benar mencerminkan Visi
Nawacita?
Saya membuat skala prioritas.
Di dalam Nawacita terdapat (1)
Rasa aman, dengan bekerjasama
dengan Forkompinda dan
tokoh masyarakat agar dapat
menciptakan suasana yang
kondusif, aman, dan tentram. (2)
Tata kelola pemerintahan bersih,
efektif, demokratis terpercaya,
yaitu dengan mereformasi
tata kelola pemerintahan dan
melaksanakannya dengan e-data.
Saat ini Kukar memiliki 64 e-data
online. (3) Membangun dari
daerah pinggiran, kami
melaksanakannya
dengan desentralisasi
ke kecamatan.
(4) Penegakan
hukum. (5) Wajib
belajar 12 tahun
bebas pungutan.
(6) Meningkatkan
produktifitas di
pasar internasional,
kami membuat
festival bertaraf
internasional.
(7) Kemandirian
ekonomi, kami
konsisten
meningkatkan sektor pertanian
dan pariwisata. (8) Revolusi
karakter, melalui gemar mengaji
dan Nebas Tapak Kemiskinian. (9)
Memperteguh kebhinekaan, akan
membangun tempat ibadah di
semua agama di satu tempat.
Apa harapan Ibu ke depan dalam
pembangunan di Kutai Kartanegara
agar input dan proses pelaksanaan
program dapat menghasilkan
output atau bahkan outcome yang
maksimal?
Sesuai misi, menjadikan Kukar
Maju, Profesional, Sejahtera dan
Berkeadilan. Adapun goal ingin
yang ingin dicapai Kabupaten
Kutai Kartanegara adalah (1)
Meningkatkan lanju pertumbuhan
ekonomi daerah (2-3% pertahun);
(2) Mengendalikan tingkat inflasi
daerah (4-5%); (3) Meningkatkan
Indeks Pembangunan Manusia
(76,8); (4) Menurunkan Gini Rasio
(<2,9); (5) Menurunkan tingkat
kemiskinan (<7%); (6) Menurunkan
tingkat pengangguran terbuka
(<8%); dan (7) Menurunkan Indeks
Ketimpangan Wilayah/Indeks
Williamson (<0,45).[tim]
GERBANG RAJA
(Gerakan Pembangunan Rakyat Sejahtera):
- PemantapanTata Kelola
Kepemerintahan
- Peningkatan SDM yang Berkualitas dan
Berdaya Saing
- Pengembangan Sentra Perekonomian
Berbasis Usaha Kerakyatan Melalui
Pembangunan Investasi
- Pengembangan Potensi dan Daya Saing
Agribisnis, Industri, dan Pariwisata
- Peningkatan Pembangunan
Infrastruktur dalam Rangka
Pemerataan Fasilitas Pelayanan Publik
- Pelestarian SDA dan Lingkungan
- Pengarusutamaan Gender dan
Perlindungan Anak
34. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201634
Provinsi yang berhasil mengurangi
jumlah penduduk miskin. Provinsi
Sulawesi Tenggara tercatat mampu
mengurangi jumlah penduduk miskin
paling tinggi yaitu sebesar 54,79% dari
total penduduk miskin di wilayahnya.
Disusul kemudian Provinsi Bali
sebesar 12,23%, Provinsi Sulawesi
Utara sebesar 8,35% dan Provinsi Riau
sebesar 6,83%. Sisanya, 17 Provinsi
hanya mampu mengurangi jumlah
penduduk miskin di masing-masing
wilayahnya kurang dari 5%.
Selanjutnya, Divisi Riset Pusat
Kajian Keuangan Negara juga
menemukan bahwa, pada medio
September 2015 sampai dengan Maret
2016, tercatat 22 Provinsi mampu
mengurangi jumlah penduduk
miskin di perdesaan. Provinsi yang
paling tinggi persentase penurunan
kemiskinan desa adalah Sulawesi
Tenggara, yaitu dari 288.250 jiwa
menjadi 109.144 jiwa atau sebesar
54,79% dari total penduduk miskin
di wilayahnya. Disusul kemudian
Provinsi Bali berhasil menurunkan
jumlah penduduk miskin desa
sampai 12,23%, Provinsi Sulawesi
Utara (8,35%), dan Provinsi Riau
(6,83%). Adapun 18 Provinsi lainnya
persentase pengurangan penduduk
miskin desa di bawah 4%.
Sementara itu, terdapat 11
Provinsi yang bertambah jumlah
penduduk miskin di perdesaan pada
medio September 2015 s/d Maret
2016. Penambahan terbesar terjadi di
Provinsi Kalimantan Tengah (9,29%),
Kepulauan Bangka Belitung (7,34%),
Bengkulu (4,39%), serta Sulawesi
Tengah (4,28%).
Nawacita dan Problem
Kemiskinan Desa
Kemiskinan masih berpusat di desa. Fenomena ini patut menjadi perhatian utama pemerintah.
Upaya sistematis untuk mengentaskan kemiskinan desa ini sesuai dengan Nawacita Ketiga
yaitu Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan. Persoalannya, bagaimana efektivitas program
pembangunan desa selama ini?
LAPORAN UTAMA
B
erdasarkan analisis Divisi Riset
Pusat Kajian Keuangan Negara,
dengan didasarkan atas data
BPS, diketahui jumlah penduduk
miskin di perdesaan pada medio
Maret 2016 mencapai 17,55 juta.
Adapun jumlah penduduk miskin
di Indonesia pada medio yang sama
berjumlah sekitar 27,9 juta jiwa. Dari
jumlah tersebut, penduduk miskin
desa terbanyak terdapat di Pulau
Jawa (53,48%) dan Pulau Sumatera
(22,41%).
Sedangkan tingkat kemiskinan
di perdesaan tergolong fluktuatif.
Misalnya pada Maret 2014 persentase
penduduk miskin di perdesaan
mencapai 62,82% dari total penduduk
miskin, kemudian naik menjadi
63,18% dari total penduduk miskin
per September 2014. Pada tahun
2015, persentase penduduk miskin
perdesaan tercatat turun menjadi
62,75% (Maret) dari total penduduk
miskin lalu naik tipis menjadi 62,76%
(September) dari total penduduk
miskin.
Adapun persentase penduduk
miskin di perdesaan dengan
jumlah penduduk miskin paling
tinggi terdapat di Provinsi Papua
(96,61%), Provinsi Nusa Tenggara
Timur (91,05%), Provinsi Papua
Barat (90,72%), Provinsi Gorontalo
(88,15%), dan Provinsi Sulawesi
Selatan (87,65%).
Kemudian jika dilihat dari
persentase penurunan penduduk
miskin di perdesaan, terdapat 21
Ilustrasi penduduk miskin perdesaan
35. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 35
Direktur Eksekutif Pusat
Kajian Keuangan Negara Prasetyo
mengatakan, penurunan jumlah
penduduk miskin di perdesaan
selama medio 2015 sampai dengan
Maret 2016 sangatlah kecil, belum
berimbang dengan semangat Nawacita
Ketiga Presiden Joko Widodo.
“Penduduk miskin desa hanya turun
1,20% saja atau sekitar 336 ribu jiwa
per Maret 2016. Ini tak sebanding
dengan semangat membangun
Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah dan desa,”
katanya di Jakarta, Senin (15/8/2016).
Prasetyo pesimis pemerintah
mampu menurunkan tingkat
kemiskinan sampai 7%-8% sesuai
dengan RPJMN 2015-2019, jika
pemerintah tidak mengubah strategi
dan pola penanggulangan kemiskinan
desa selama ini yang cenderung tidak
tepat sasaran, tidak efektif, dan belum
menjadi agenda prioritas semua
pemangku kepentingan.
“Politik anggaran pemerintah
memang berusaha didesain agar
sesuai dengan Nawacita. Dari segi
anggarannya juga sangat besar, dengan
estimasi Kemenkeu total dana yang
akan masuk ke desa sampai tahun
2019 sebesar Rp175.494,9 milyar atau
rata-rata perdesa senilai Rp2.368,6
juta. Dana ini akan mubazir apabila
tidak didukung oleh stakaholder’s
yang lain yaitu Pemerintah Daerah
dan perbankan,” urainya.
Diketahui, berdasarkan data
Kemenkeu pada tahun 2015, Dana
Desa (DD) yang dialokasikan di
APBNP sebesar Rp20.766,2 milyar
sehingga rata-rata DD per Desa
Rp280,3 juta. Selain DD dana lain
yang masuk ke desa adalah Alokasi
Dana Desa sebesar Rp32.666,4 milyar,
bagi hasil Pajak Daerah dan Retribusi
milyar sehingga rata-rata DD perdesa
sebesar Rp1.509,5 juta. Sedangkan
tambahan dana lain yang masuk
ke desa berupa ADD Rp60.278,0
milyar, bagi hasil PDRD Rp3.376,7
milyar. Sehingga total dana yang akan
masuk ke desa diperkirakan sebesar
Rp175.494,9 milyar atau rata-rata
perdesa senilai Rp2.368,6 juta.
Atas fenomena tersebut,
Pusat Kajian Keuangan Negara
merekomendasikan agar pemerintah
dapat mereformulasi strategi
penanggulangan kemiskinan,
khususnya di desa agar sejalan dengan
visi Nawacita. Lebih lanjut Prasetyo
mengatakan, penduduk miskin yang
paling besar jumlahnya adalah yang
bekerja pada subsektor tanaman
pangan yakni 62.97 persen dari total
penduduk miskin sektor pertanian.
Karena itulah pembangunan
pertanian perlu menjadi perhatian
semua kalangan.
“Dana desa itu dampaknya jangka
panjang. Karena itu pemerintah
perlu memberikan stimulus lain
salah satunya seperti menugaskan
BUMN dan BUMD agar fokus
menyalurkan kredit usaha rakyat
(KUR) ke sektor pertanian dan
perkebunan. Kelompok-kelompok
tani dikonsolidasikan kembali agar
dapat meningkatkan gairah penduduk
desa,” pungkas Pras.[]
Daerah (PDRD) sebesar Rp2.091
milyar. Sehingga total dana yang
masuk ke desa tahun 2015 adalah
sebesar Rp55.523,6 milyar atau rata-
rata per desa sebesar Rp749,4 juta.
Tahun 2016, DD diperkirakan
sebesar Rp47.684,7 milyar sehingga
rata-rata DD perdesa sebesar Rp643,6
juta. ADD senilai Rp37.564,4 milyar,
bagi hasil PDRD Rp2.412,4 milyar.
Sehingga diperoleh total sebesar
Rp87.661,5 milyar dan rata-rata
perdesa Rp1.183,1 juta.
Tahun 2017, DD diperikaran
senilai Rp81.184,3 milyar sehingga
rata-rata DD per Desa Rp1.095,7
juta. Tambahan dari ADD sebesar
Rp42.285,9 milyar, bagi hasil PDRD
Rp2.733,8 milyar sehingga total
dana yang ditransfer ke desa sebesar
Rp126.204,2 milyar sehingga rata-rata
per desa didapat Rp1.703,3 juta.
Tahun 2018, DD yang
dialokasikan dari APBN diperkirakan
naik menjadi Rp103.791,1 milyar
dengan rata-rata DD per desa
Rp1.400,8 juta. Tambahan dana dari
ADD sebesar Rp55.939,8 milyar,
bagi hasil PDRD Rp3.055,3 milyar.
Sehingga total dana yang didapat oleh
Desa sebesar Rp162.786,3 milyar atau
rata-rata per Desa senilai Rp2.197,1
juta.
Tahun 2019, DD diperkirakan
meningkat lagi menjadi Rp111.840,2
Pada medio
September 2015 s/d
Maret 2016, tercatat
22 Provinsi mampu
mengurangi jumlah
penduduk miskin di
perdesaan
Ilustrasi penduduk miskin perdesaan
36. keuangan negara | no. 005 vol. ii 201636
Jakarta—Kesehatan merupakan investasi
dalam mendukung pembangunan Nasional.
AmandemenUndang-UndangDasarNegaraRepublik
Indonesia Tahun 1945 pasal 28 H menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Fokus kebijakan Kementerian Kesehatan RI
untuk periode 2015-2019 adalah salah satunya
adalah penguatan pelayanan kesehatan primer.
Penguatan pelayanan primer mencakup 3 hal
yaitu fisik (pembenahan infrastruktur), sarana
(pembenahan fasilitas) dan sumber daya manusia
(penguatan tenaga kesehatan selain dokter).
Tidak bisa dipungkiri, pelayanan kesehatan
belum dapat dinikmati secara adil dan merata
oleh seluruh masyarakat, khususnya masyarakat
yang tinggal di Daerah Tertinggal, Perbatasan,
dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK). Masyarakat yang tinggal di
DTPK dan DBK masih mengalami kesulitan untuk
mengakses pelayanan kesehatan dasar yang
berkualitas. Oleh karena itu perlu perhatian dan
pendekatan secara khusus.
Demikian pernyataan Menteri kesehatan
RI, Nila Farid Moeloek, dalam sambutannya pada
acara penandatanganan Nota Kesepahaman
(MOU) antara kementerian Kesehatan dengan 41
Pemerintah Kabupaten/Kota tentang penempatan
Tim Nusantara Sehat (NS) Batch 4 dan Batch 5
tahun 2016 di Jakarta, (26/9).
Untuk membantu meningkatkan kesehatan
di wilayah DTPK dan PDB, hari ini sebanyak 41
Bupati menandatangani Nota Kesepahaman dengan
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, dr.
Untung Suseno Sutarjo, M.Kes, yang disaksikan
langsung oleh 22 Kadinkes Provinsi dan 41 Kadinkes
Kabupaten. Penandatanganan nota kesepahaman
ini dilakukan untuk mendukung penugasan khusus
tenaga kesehatan Berbasis Tim (Team Based) dalam
Mendukung Pelaksanaan Program NS.
Menkes menjelaskan pembentukan dari tim
Nusantara Sehat (NS) merupakan implementasi
dari program Indonesia sehat, yang terdiri dari 3
komponen, yaitu: 1). Mewujudukan paradigm sehat;
2). Penguatan Pelayanan Kesehatan; 3). Jaminan
Kesehatan Nasional. Oleh karena itu, dalam rangka
penguatan pelayanan kesehatan di DTPK dan
di DBK, Kementerian Kesehatan menempatkan
penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim
(team based) untuk mendukung Program Nusantara
Sehat.
Melalui program tersebut diharapkan
Kementerian Kesehatan bersama pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/
kota mampu meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan yang berkualitas secara
terintegrasi, terpadu dan komprehensif di DTPK dan
DBK sebagai wujud tanggung jawab Negara hadir
ditengah-tengah masyarakat, ujar Menkes dalam
sambutannya.
Tim Nusantara Sehat merupakan
pendayagunaan secara khusus Tenaga Kesehatan
berbasis tim dalam kurun waktu tertentu dengan
jumlah dan jenis tertentu guna meningkatkan akses
dan mutu pelayanan kesehatan pada fasilitas
pelayanan kesehatan primer di DTPK dan DBK.
Tujuan pendayagunaan secara khusus
Tenaga Kesehatan berbasis tim (Tim Nusantara
Sehat) adalah terwujudnya pelayanan kesehatan
primer yang dapat dijangkau oleh setiap anggota
masyarakat, terutama oleh mereka yang tingal di
DTPK dan DBK yang memiliki sarana pelayanan
kesehatan dasar (puskesmas) denga kriteria
terpencil dan sangat terpencil di berbagai pelosok
Indonesia.
Tim Nusantara Sehat merupakan tenaga
profesional kesehatan dengan berbabgai latar
belakang kesehatan seperti dokter, dokter gigi,
perawat, bidan, Tenaga Kesehatan Masyarakat,
Tenaga Kesehatan Lingkungan, Ahli Teknologi
Laboratorium Medik, tenaga gizi, dan kefarmasian,
yang bersedia ditempat selama 2 (dua) tahun
untuk terjun langsung memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dan memiliki
semangat untuk mendukung pemerintah dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Tahapan implementasi Penugasan Khusus Tenaga
Kesehatan Berbasis Tim (Team Based) dalam
mendukung Program Nusantara Sehat diawali
dengan Survey dan Penentuan Lokasi penugasan,
Seleksi (administrasi dan Psikologi), pembekalan
tim, Penempatan tim, serta monitoring dan Evaluasi.
Lokasi penugasan Tenaga Kesehatan
Nusantara Sehat adalah puskesmas dengan kriteria
sangatterpencildanterpencildiDTPKdanDBK.Pada
tahun 2015, Kemenkes telah menempatkan 694
Tenaga Kesehatan Nusantara Sehat. Sementara itu
pada bulan Juni Tahun 2016 Kementerian Kesehatan
kembali menempatkan tenaga kesehatan Nusantara
Sehat Periode I (Batch 3) tahun 2016 berjumlah 194
Tenaga Kesehatan yang tersebar di 38 Puskesmas
25 Kabupaten, dan 16 Provinsi, serta Pada periode
II (Batch 4) tahun 2016 Kementerian Kesehatan
telah merekrut tenaga kesehatan Nusantara Sehat
dimana saat ini sedang mengikuti pembekalan di
Pusat Pendidikan Kesehatan TNI Angkatan Darat,
tanggal 02 September sd 10 Oktober 2016 yang
berjumlah 297 orang, yang nantinya direncanakan
penempatan di 46 Puskesmas yang tersebar di 25
kabupaten dan 16 Provinsi.
Menkes juga menambahkan bahwa
pembekalan tenaga kesehatan Nusantara Sehat
bertujuan memaksimalkan kinerja Team Based
melalui Program Nusantara Sehat, oleh karena
itu Kementerian Kesehatan melakukan upaya
peningkatan kompetensi dan profesionalisme Tenaga
Kesehatan melalui pembekalan yang berkualitas.
Dalam proses pelaksanaan pembekalan
diharapkan anggota Tim NS memiliki kemampuan
untuk mengembangkan peran sebagai tim
pendukung pelaksana layanan kesehatan primer
di Puskesmas dengan menjalankan fungsi
penguatan program kesehatan, mendukung
pelaksanaan layanan kesehatan primer, melakukan
motivasi dan pemberdayaan kepada masyarakat,
mengembangkan manajemen puskesmas,
melakukan penguatan program kesehatan serta
tetap menjunjung tinggi jiwa bela Negara, tambah
Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline
1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021)
5223002, 52921669, dan alamat email kontak[at]
kemkes[dot]go[dot]id.
Sekjen Kemenkes dan 41 BupatiTandatangani
MoU PenempatanTim Nusantara Sehat
37. keuangan negara | no. 005 vol. ii 2016 37
LAPORAN UTAMA
D
alam Pidato Kenegaraan di
Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tanggal 16
Agustus 2016, Presiden Jokowi
mengatakan bahwa kemiskinan
dapat ditekan menjadi 10,8 persen
dan pengangguran 5,5 persen.
Presiden Jokowi menambahkan,
sementara Indeks Pembangunan
Manusia yang menunjukkan akses
masyarakat terhadap sumber
ekonomi, pendidikan, dan kesehatan
terus mengalami kemajuan hingga
mencapai angka 69,55 pada tahun
2015.
Tak berselang lama, pada 19
Agustus 2016, Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis data terbaru tentang
ketimpangan. Indeks ketimpangan
yang diukur dengan gini ratio pada
Maret 2016 turun menjadi 0,397.
Penurunan gini ratio menjadi
di bawah 0,4 membuat tingkat
ketimpangan di Indonesia kembali
dalam kategori rendah (<0,4).
Kategori sedang 0,4-0.5 dan ketegori
ketimpangan tinggi atau parah
>0,5. Rentang gini ratio adalah nol
(timpang sempurna) hingga 1 (merata
sempurna). Gini ratio tertinggi
sepanjang sejarah terjadi pada
September 2014. Setelah itu terus
mengalami penurunan hingga Maret
2016. Berarti selama pemerintahan
Presiden Joko Widodo mengalami
perbaikan hingga kembali ke kategori
rendah.
Data tersebut dapat menjadi
sandaran kendati terjadi perbaikan,
namun penurunan kemiskinan
masih relatif belum sebanding
dengan semangat Nawacita dan
Trisakti. Demikian pula untuk
indeks ketimpangan, walaupun terus
mengalami penurunan namun juga
belum seimbang dengan fakta bahwa
crony capitalism index Indonesia
menduduki peringkat ketujuh.
Artinya, sebagian besar kekayaan
Indonesia masih dikuasai oleh
segilintir orang saja.
Di Tengah Tantangan
Kemiskinan Dan Ketimpangan
Sejak Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik pada 20 Oktober
2014 silam, pemerintah berusaha mendesain politik anggaran di dalam APBN
agar sesuai dengan platform, visi, dan misi yang tertuang di dalam Nawacita
dan Trisakti. Hampir 2 tahun memimpin Indonesia, Nawacita yang dulu
bergelora nampak sayup di tengah gelombang kemiskinan dan ketimpangan.
Ilustrasi Penduduk Miskin di Desa