Dokumen tersebut membahas tentang pembentukan holding BUMN yang dianggap perlu ditinjau kembali aspek hukum dan tata kelolanya agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dokumen juga menyinggung perlunya melihat kinerja setiap perusahaan secara kasus demi kasus untuk menentukan apakah perlu digabung atau dipisah.
3. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 3
HOLDING BUMN
JANGAN ASAL KEJAR TAYANG
semakin besar sehingga ia lebih mudah mencari dana
tambahan. Tapi, di pihak lain, ada kalanya perusahaan
perlu dipecah untuk menciptakan kompetisi. Prinsip
asal gabung dan asal besar tak boleh menjadi dasar.
Setiap perusahaan harus diperiksa kasus demi kasus,
tidak hanya diteropong dari atas berdasarkan sektornya.
Pembentukan Holding dan superHolding BUMN
dengan demikian harus kembali dikaji secara matang.
Jika tidak, aksi korporasi ini bisa-bisa menciptakan
masalah baru, seperti kendali manajemen, supervisi,
tata kelola, dan beban finansial serta inefisiensi. Seperti
kita ketahui, ketimpangan kinerja antar-BUMN bukan
lagi rahasia. Data peringkat kinerja BUMN versi majalah
Infobank pada 2016 menyebutkan, dari 122 BUMN,
terdapat 58 perusahaan berpredikat sangat bagus, 18
perusahaan bagus, 12 perusahaan cukup bagus, dan 25
perusahaan tidak bagus. Sebanyak 9 perusahaan bahkan
tidak mendapatkan peringkat karena data tidak lengkap.
Kemudian yang tak kalah penting, secara legal,
pembentukan Holding dan superHolding BUMN
juga berpotensi melahirkan persoalan. Misalnya
mengenai transfer kepemilikan (inbreng), yang bisa
menjadi celah terjadinya penjualan perusahaan negara
secara sembunyi-sembunyi. Kecurigaan itu bukan
tidak berdasar. PP No. 72 Tahun 2016 mengundang
polemik terutama di dalam Pasal 2A yang menyatakan
bahwa penyertaan modal negara tanpa harus melalui
mekanisme APBN. Itu artinya, proses pembentukan
Holding ini tanpa harus melalui persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Atas hal itu, telah banyak
kalangan masyarakat yang mengajukan gugatan hukum
agar pemerintah merevisi atau bahkan membatalkan PP
yang berpotensi melanggar Undang-Undang.
Pada akhirnya, kita harus mengingat apa
yang disampaikan Presiden Joko Widodo terkait
pembentukan Holding BUMN: harus hati-hati, jangan
sampai bertentangan dengan Undang-Undang yang
sudah ada. Sekali lagi, pembentukan Holding BUMN
merupakan langkah yang baik akan tetapi perlu dikaji
secara mendalam terutama aspek legalnya. Pemerintah
tidak perlu terburu-buru. Selamat membaca.[]
R
edaksi Majalah Keuangan Negara mengucapkan
terimakasih atas kesetiaan dan kesediaan
pembaca terus mengikuti perjalanan majalah ini
sehingga kami dapat menerbitkan kembali edisi ke-6 ini.
Dalam edisi kali ini, liputan utama yang kami sajikan
adalah seputar pembentukan induk Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) ditinjau dari sisi hukum, bisnis, dan
tata kelolanya.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 2016 telah diterbitkan oleh Presiden Joko
Widodo pada 30 Desember 2016 yang lalu—sebagai
payung hukum pembentukan Holding BUMN. Bukan
tanpa alasan, sepanjang tahun 2016 pemerintah
memang sudah bekerja keras agar pembentukan enam
Holding BUMN dapat terealisasi. Namun sepertinya,
sepanjang tahun 2016 itu pula masih terjadi tarik-
menarik sehingga Penetapan PP pembentukan Holding
baru terealisasi akhir tahun.
Dalam konteks tata kelola BUMN di Indonesia,
rencana Holding BUMN bukanlah wacana yang baru.
Sejak zaman Menteri Tanri Abeng, salah satu opsi dalam
restrukturisasi BUMN adalah Holding sebagai upaya
untuk menguatkan struktur permodalan dan efisiensi.
Hal tersebut berdasar pertimbangan banyaknya BUMN
kita yang “tercecer” dengan segala macam bentuk usaha
yang dilakukan. Hingga saat ini baru terbentuk tiga
Holding, yakni di bidang industri pupuk, semen, dan
kehutanan/perkebunan.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo,
rencana yang tertunda itu dikebut. Presiden telah
menyetujui pembentukan enam Holding baru sesuai
dengan usul Menteri BUMN Rini Soemarno, yaitu
Holding sektor minyak dan gas bumi, pertambangan,
perumahan, jalan tol, jasa keuangan, dan pangan.
Bahkan Menteri Rini menargetkan pembentukan
superHolding BUMN pada 2019 sebagai pengganti
Kementrian BUMN.
Pemerintah mesti memahami bahwa pembentukan
perusahaan induk bukanlah satu-satunya solusi
mengatasi masalah BUMN. Pada sejumlah kasus,
pendirianHoldingmemangmembuatmodalperusahaan
Editorial)
4. LAPORAN UTAMA
08 |
Kejar Tayang Holding BUMN
Telah direncanakan jauh-jauh hari, rencana pembentukan induk usaha perusahaanperusahaan pelat
merah kerap tersandung di tengah jalan. Kementerian Badan Usaha Milik Negara pun melakukan
berbagai siasat untuk mempercepat Holding BUMN..
16 |
Wanti-Wanti Presiden
Jokowi
Dalam acara bertajuk Executive
Leadership Program (ELP) di Istana
Negara Jakarta (25/1/2017), Presiden
Joko Widodo berpesan agar pembuatan
aturan pembentukan Holding serta
dalam hal pelaksanaannya jangan sampai
bertentangan dengan Undang-Undang
yang sudah ada.
20 |
Holding BUMN
Pemerintah Terkesan
Memaksakan
26 |
Holding BUMN Dan
Revaluasi Aset
28 |
Konsekuensi
Restrukturisasi Badan
Usaha
DAFTAR ISID
PEMBINA Achmad Djazuli, Amin Adab Bangun, Jariyatna, Krishna Hamzah l PENASEHAT HUKUM
Haryo Budi Wibowo, SH, MH l PIMPINAN REDAKSI Prasetyo l SEKRETARIS REDAKSI Abdulloh Hilmi
l SIDANG REDAKSI Achmad Djazuli, Jariyatna, Krishna Hamzah, Megel Jekson, Prasetyo l REDAKTUR
PELAKSANA Megel Jekson l REPORTER Anisa Amisepti, Aprilia Hariani, Manta Supriyatna, Sutrisno,
Taufik Adi Rismawan l LAYOUT Boedy S. Pasoepati l MARKETING/IKLAN Edi Purwanto l SIRKULASI/
PENJUALAN Rojaul Huda, Syahroni l ALAMAT REDAKSI/TATA USAHA/IKLAN Kantor Pusat Kajian
Keuangan Negara Jl. Kartini Raya No. 17B, Jakarta Pusat Telepon: (021) 29922743 Fax: (021) 29922743 l PERSON CONTACT 081348489334 l WEB
www.keuangan.co, www.keuangan.or.id l E-MAIL keuangan.negara@gmail.com, marketing@keuangan.or.id l TWITTER: @keuangannegara l FB:
Majalah Keuangan Negara l REKENING BANK: Giro Bank Rakyat Indonesia KCP BPKP No Acc: 1148.01.000117.307 a/n Pusat Kajian Keuangan
Negara l PENERBIT: Pusat Kajian Keuangan Negara l ISSN: 24607304 l SK No. 0005.24607304/JI.3.2/SK.ISSN/2015.08 - 20 Agustus 2015
Redaksi menerima kontribusi tulisan yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
5. OPINI
24 |
Holding BUMN Perlukah?
98 |
Sinergi Fungsi Pengawasan
DPRD dengan Pemeriksaan BPK
----------------------------------
SUCCESS STORY
52 |
Cerdas Kelola Dana Bagi Hasil
Migas
----------------------------------
PROFIL DAERAH
56 |
Inovasi Klinik Akuntansi
Kabupaten Aceh Tamiang
ANTAR LEMBAGA
60 |
Akuntabilitas Pengadaan Barang
Dan Jasa Perlunya Sinergi
Antarlembaga
33 |
Dengan Gotong RoyongBPJS Kesehatan
Optimis Capai Target Kelembagaan
-------------------------------------------------
38 |
Pegang Teguh Sembilan Prinsip
Kelembagaan
-------------------------------------------------
42 |
Perlu Penguatan Kewenangan
-------------------------------------------------
44 |
Inovasi Teknologi Informasi BPJS
Kesehatan
46 |
Perjalanan Implementasi Dana Kapitasi
JKN
LIPUTAN KHUSUS
62 |
Hasil Audit BPK RI Terhadap
Pengadaan Barang dan Jasa
70 |
Forum Diskusi BPK Dengan
Lembaga Peradilan Dan APH
Menyatukan Pemahaman Kerja
BPK Dengan Penegak Hukum
----------------------------------
WAWANCARA
64 |
Jurus KPPU Cegah Kartel Dan
----------------------------------
KAJIAN
72 |
Analisis Tingkat Efisiensi
Perbankan Dengan Pendekatan
Data Envelopment Analysis
(DEA)
----------------------------------
SOSOK
80 |
Prof. Dr. Ermaya Suradinata,
SH, MH, MS: Kampus Pelopor
Penggerak Revolusi Mental
84 |
Gubernur Awang Faroek: Pantas
Mendapat Tanda Kehormatan
85 |
Bupati Eka: Luncurkan Buku
Investasi Hati
----------------------------------
PESONA INDONESIA
86 |
Tanah Lot Surganya Para Traveler
Sejati
6. keuangan negara | no. 006 vol. iii 20176
SURAT PEMBACAF
DILEMATIS SEKTOR
HULU DAN HILIR
MIGAS
Di tengah banyaknya
tekanan yang terjadi di Indonesia
dengan fenomena politik yang
semakin memanas, terlihat dari
berlangsungnya social media war
terkait isu Pilgub, SARA, Makar,
Trumph’s policy, perekonomian
Indonesia ikut terkena imbasnya.
Ekonomi melesu ditandai dengan
daya beli masyarakat menurun dan
harga kebutuhan pokok melambung
tinggi. Walaupun pemerintah sudah
berupaya dengan berbagai macam
paket kebijakan, negara yang terkenal
dengan julukan megabiodiversity ini
tetap dihadapkan dengan pilihan
untuk menambah pembiayaan negara
atau hutang lagi untuk menutup
defisit anggaran.Terlebih jika terjadi
defisit keseimbangan primer, maka
pemerintah menutup hutang dengan
hutang lagi.
Satu hal yang patut diperhatikan
dan hal ini terus dikeluhkan oleh
masyarakat adalah dicabutnya subsidi
BBM yang berimbas pada kenaikan
bbm dan diikuti dengan kenaikan
harga kebutuhan pokok. Akan tetapi
berbanding terbalik dengan fakta
bahwa harga minyak dunia yang
terus mengalami kemerosotan.Tanda
tanya besar dibenak masyarakat
awam mengapa harga bbm tidak
diturunkan?
Saya melihat adanya dilematis
kebijakan pemerintah untuk
memberikan positioning yang tepat
pada pertamina. Hal ini terkait
dengan sektor hulu dan hilir migas
yang saling tarik menarik, mana
yang akan diutamakan. Anjloknya
pemasukan negara dari sektor migas
terkait dengan menurunnya harga
minyak dunia yang mengakibatkan
sektor hulu goyang dengan
menurunnya pendapatan produksi
dan pendapatan ekspor. Apalagi
pertamina sudah melakukan
investasi miliaran dolar AS untuk
eksplorasi (mencari) dan exploitasi
(memproduksi) minyak. Mau tidak
mau, pertamina akan memangkas
pengeluaran operasi hulu untuk
menyeimbangkan harga minyak saat
ini.
Sektor migas menjadi salah satu
sumber pendapatan andalan negara.
Ketergantungan ini terlihat dari hasil
penerimaan migas mencapai 30%
dari total penerimaan pemerintah.
Menjadi momok bagi bangsa ini
adalah saat anjloknya setoran PPh
migas sebesar 40% pada semester I
2016. Data terakhir menunjukkan
Pajak Penghasilan Migas 31,8 T
dan Penerimaan SDA Migas 35 T
Per November 2016. Dimana pada
Desember 2015, Pajak Penghasilan
Migas 49,7 T dan Penerimaan SDA
Migas 78,4 T. Kemudian disusul
dengan penurunan aliran investasi
luar negeri terhadap Migas, sehingga
akan berujung pada sumbangan
sektor migas terhadap GDP semakin
menurun.
Hal inilah yang menjadi dasar
pertamina belum menurunkan
harga bbm. Saat sektor hulu anjlok,
jalan yang ditempuh adalah dengan
memaksimalkan keuntungan dari
kegiatan hilir yaitu menaikkan
margin dari penjualan produk minyak
kepada masyarakat. Inilah yang
menjadi dasar dilematis kebijakan apa
yang akan diambil pemerintah untuk
mempertahankan pemasukan negara
dari sektor migas atau penurunan
harga jual produk minyak kepada
rakyat.
Saya sangat mendukung jika
pemerintah lebih mengutamakan
keberpihakan terhadap sektor hilir
yaitu dengan menetapkan harga bbm
sesuai harga pasar. Efek domino yang
dirasakan adalah, ikut menurunnya
biaya produksi nasional dan
penurunan harga-harga kebutuhan
pokok sehingga akan mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Pada
dasarnya kesejahteraan masyarakat
adalah bukti sukses kerja keras
pemerintah. Jangan sampai mengejar
sumber dana dalam pembiayaan
pemerintahan mengorbankan public
service.
Anisa Amisepti
Akuntan, Bekasi
PEMBANGUNAN
INFRASRUKTUR
Pembangunan infrastruktur
yang terjadi pada pemerintah Jokowi
saat ini menjadi sorotan banyak
publik. Pembangunan infrastruktur
ini menjadi prioritas dan menjadi
program andalan pemerintah yang
terjadi pada saat ini dapat dilihat dari
pembangunan yang dilakukan dil
ingkukan sekitar dan dari media yang
memberitakan bahwa pemerintah
Jokowi lebih memfokuskan untuk
membangun dan mengembangkan
infrastruktur yang nantinya berguna
untuk membangun negara Indonesia
lebih baik lagi. Fokus pemerintah
keuangan negara | no. 006 vol. iii 20176
7. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 7
Pembaca dipersilahkan mengirimkan
surat pembaca atau komentar mengenai
kebijakan/layanan publik, konten artikel
di halaman opini, ataupun pemberitaan
di Majalah Keuangan Negara. Surat
pembaca atau komentar dikirim ke
email: keuangannegara.magazine@
gmail.com, dengan menuliskan nama
lengkap, alamat, dan nomor telepon
yang bisa dihubungi, disertai dengan
fotokopi atau scan identitas diri.
untuk membenahi infrastruktur
yang dimiliki negara kita ternyata
cukup serius, hal ini sesuai dengan
pernyataan menteri keuangan
Sri Mulyani yang memaparkan
bahwasannya anggaran belanja
infrastruktur untuk tahun 2017
387,3 triliun, angka ini meningkat
40,8 triliun dari pagu RAPBN 2017
yang dialokasikan 346,6 triliun
(antaranews, 2017).
Fokus pembangunan untuk
infrastruktur ini harus diapresiasi
bagi warga negara indonesia, karena
sebagai warga negara indonesia kita
harus mendukung penuh kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah
indonesia. Hanya saja yang harus
diperhatikan ialah pengawasan
yang ketat untuk membuat rencana
pembangunan yang direncanakan
ini berjalan sesuai rencana. Hanya
saja rencana yang dimaksud ini
bukan hanya suatu proyek yang
dikerjakan selesai dikerjakan secara
kasat mata, tetapi benar benar selesai
dan manfaatnya bisa dirasakan oleh
masyarakat banyak. Jangan sampai
pembangunan yang sudah selesai
dikemudian hari malah ditemukan
kesalahannya sehingga pembangunan
ini hanya menyebabkan kerugian bagi
negara. Sehingga pengawasan yang
ketat diperlukan untuk mengawasi
proyek-proyek yang ada pada saat ini,
baik itu proyek yang dilakukan oleh
perusahaan dalam negri maupun dari
luar negri.
Untuk proyek yang dilakukan
oleh perusahaan asing sendiri saya
rasa perlu diperhatikan khusus. Boleh
saja negara indonesia melakukan
kerjasama dengan perusahaan negara
asing, hanya saja harus kontrak
kerjasama ini harus di perhatikan
lebih serius. Jangan sampai kontrak
kerja ini malah merugikan negara
indonesia, misalnya tenaga kerja yang
mengerjakan proyek ini lebih banyak
dari negara asing dari pada tenaga
kerja asal indonesia, bahkan dalam
hal pekerja kasar yang seharusnya
menggunakan buruh lokal beralih
menjadi menggunakan buruh asing
karena dampak dari kerjasama
dengan pihak asing. Hal ini sekiranya
dapat menyebabkan kecemburuan
sosial yang berdampak pada pola pikir
tenaga kerja indonesia yang berfikir
bahwasannya kualitas yang dimiliki
oleh tenaga kerja indosenia kalah
saing dengan tenaga kerja luar negeri,
selain itu dapat berdampak pada
peningkatan angka pengangguran
yang dimiliki oleh indonesia.
Saya berharap pembangunan
infrastruktur yang sedang dibangun
ini nantinya bisa dirasakan oleh
masyarakat banyak, diselesaikan
secara bijak, tepat waktu dan menjadi
infrastruktur yang membanggakan
bagi negara Indonesia.
Faris Fauza
Mahasiswa, Jakarta
PILKADA DAN TATA
KELOLA KEUANGAN
DAERAH
Pemilihan Kepala Daerah
serentak tahun 2017 telah
dilaksanakan. Pesta demokrasi ini
telah menguras tenaga, pikiran,
dan biaya yang besar. Para kandidat
berusaha menawarkan visi, misi dan
program yang akan dijalankan ketika
mereka terpilih kelak. Sepanjang
saya perhatikan, masih jarang para
kandidat yang menawarkan visi
dan program yang komprehensif
mengenai tata kelola keuangan
di daerah. Padahal, tata kelola
keuangan daerah selama ini masih
menjadi perhatian serius karena
masih banyaknya kebocoran, fraud,
inefisiensi, bahkan korupsi.
Saya sangat sedikit memperoleh
informasi yang jelas bagaimana
para kandidat menjelaskan aspek
perencanaan anggaran, bagaimana
cara dan strategi meningkatan
pendapatan daerah, dan bagaimana
mengelola anggarannya agar
mampu menopang pembangunan
di daerahnya. Yang muncul di ruang
publik justru isu-isu pinggiran yang
kurang menarik.
Saya berharap ke depan para
kandidat serta kandidat yang terpilih
dalam Pilkada serentak tahun 2017
ini mampu melaksanakan tugasnya
dengan baik, serta mampu mengelola
anggaran daerahnya secara transparan
dan akuntabel, sehingga konstituen
dapat merasakan janji-janji kepala
daerah terpilih. Semoga.
Ibnu Haryanto
Karyawan, Sulawesi Barat
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 7
8. keuangan negara | no. 006 vol. iii 20178
LAPORAN UTAMAL
P
ada Mei 2016 yang lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan
pemerintah menargetkan pembentukan enam pembentukan
induk usaha (Holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dapat tuntas di akhir tahun 2016. Bahkan, Presiden berharap ke
depan akan terbentuk semacam superHolding BUMN. Seperti diketahui,
enam Holding yang sedang disiapkan saat ini adalah BUMN sektor
pertambangan, energi, jalan tol, perumahan, perbankan, dan konstruksi.
Rencana Holding BUMN memang selalu muncul dalam setiap
pemerintahan. Konsep mengenai national Holding company misalnya,
Telah direncanakan
jauh-jauh
hari, rencana
pembentukan induk
usaha perusahaan-
perusahaan pelat
merah kerap
tersandung di
tengah jalan.
Kementerian Badan
Usaha Milik Negara
pun melakukan
berbagai siasat
untuk mempercepat
Holding BUMN.
Kejar Tayang
Holding BUMN
9. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 9
telah diperkenalkan sejak zaman
Tanri Abeng, dan terus berlanjut pada
era Menteri Sofyan Djalil.
Tanri Abeng pernah menyusun
cetak biru penataan BUMN
yang dikenal dengan istilah
Reformasi BUMN Gelombang I
dan Gelombang II. Dalam skema
Reformasi BUMN Gelombang I,
pemerintah saat itu melandaskan tiga
tahapan penting. Yaitu restrukturisasi,
profitisasi dan privatisasi. Sementara,
fokus Reformasi BUMN Gelombang
II adalah business refocusing and
regrouping. Isu penting dalam
Reformasi Gelombang II adalah
restrukturisasi 128 BUMN menjadi
beberapa kelompok usaha. Adapun
akhir dari masterplan ini adalah
restrukturisasi BUMN menjadi
tiga kelompok: (1) BUMN yang
dikelompokkan menjadi Holding,
(2) BUMN yang di-merjer atau
didivestasi, dan (3) karena sifat-sifat
khususnya, BUMN tertentu tetap
berdiri sendiri.
Senada dengan itu, Sofyan
Djalil memandang urgensi
pembentukan Holding sebagai
strategi untuk mendongkrak
kinerja dan meningkatkan level
persaingan BUMN. Bahkan, Sofyan
berharap menjadi menteri terakhir
yang mengurus BUMN, karena ia
membayangkan Kementerian BUMN
dapat bertransformasi menjadi
organisasi pengelola korporasi
modern dalam bentuk superHolding.
Yakni perusahaan Holding induk
yang dipimpin oleh Chief Executive
Officer (CEO) yang dapat melaporkan
kinerja perusahaan langsung kepada
presiden. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh grup Temasek di
Singapura maupun Khazanah di
Malaysia.
“Konsolidasi ke dalam Holding
induk BUMN memungkinkan
proses alokasi sumber daya finansial
dan sumber daya manusia secara
lebih fleksibel dan dinamis dari satu
perusahaan ke perusahaan lainnya,”
ungkapnya saat itu.
Dalam Master Plan 2005-
2009 yang kemudian dilanjutkan
dalam Master Plan 2010-2014,
Kementerian BUMN telah
menyusun program restrukturisasi
untuk mencapai jumlah dan skala
BUMN yang lebih ideal atau dikenal
dengan istilah rightsizing. Hal itu
melihat kondisi kinerja perusahaan
pelat merah yang 90%-nya masih
didominasi sekitar 22-25 BUMN
saja.Terdapat beberapa opsi untuk
mewujudkan program rightsizing
tersebut salah satunya melalui
pembentukan Holding.
Diketahui, dalam Master
Plan BUMN 2005-2009 tertulis
Kementerian BUMN menargetkan
jumlah BUMN akan menyusut
dari sekitar 139 BUMN menjadi
62 BUMN pada 2009. Kemudian,
program rightsizing berlanjut dalam
Master Plan BUMN 2010-2014,
yang kemudian diperbarui dalam
Rencana Strategis BUMN 2012-
2014.
Dalam dokumen tersebut tertulis,
Kementerian BUMN menargetkan
jumlah BUMN akan berkurang dari
141 menjadi sekitar 91 BUMN pada
2014. BUMN sektor perkebunan,
farmasi, konstruksi, industri strategis,
pertambangan merupakan beberapa
sektor yang telah dikaji untuk
masuk dalam program rightsizing
tersebut. Selain Holding, pelaksanaan
rightsizing juga bisa dilakukan
melalui merger/kondolidasi, divestasi,
stand alone, ataupun likuidasi.
Demikian pula pada Master
Plan BUMN 2014-2019 yang
kemudian diterjemahkan ke dalam
rencana strategis BUMN 2015-
2019, Kementerian BUMN bahkan
menargetkan Kementerian BUMN
akan bertransformasi atau dihapuskan
untuk menjadi superHolding. Induk
usaha super inilah yang akan
membina sejumlah Holding BUMN
tersebut.
“Saya menteri satu-satunya
yang menargetkan menghilangkan
dok:keuangannegara
10. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201710
Menteri BUMN Rini Soemarno saat menjelaskan rencana Holding
BUMN di Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta (19/1/2017)
dok:bisnisindonesia
kementerian,” kata Menteri BUMN
Rini Soemarno dalam acara buka
puasa bersama sejumlah direktur
utama BUMN dan media massa di
Gedung Bank Mandiri, 22 Juni 2016
yang lalu. Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Kabinet Gotong
Royong era 2001-2004 tersebut
menargetkan Kementerian BUMN
sudah tidak ada lagi dan menjelma
jadi superHolding sebelum akhir 2019.
PRO DAN KONTRA
Menurut Rini, pembentukan
superHolding ini lebih mengacu
kepada entitas sejenis di Indonesia,
yaitu Khazanah Berhad. BUMN
investasi negeri jiran itu masih
memiliki program untuk kepentingan
masyarakat luas. Berbeda dengan
Temasek, perusahaan investasi
milik Singapura, yang semata
mengedepankan kepentingan
komersial dalam menjalankan
usahanya.
Jadi, superHolding BUMN yang
dibentuk Menteri Rini lebih seperti
Khazanah Malaysia. “SuperHolding
Indonesia ini tidak akan seperti itu
(Temasek),” katanya.
Sedangkan
mengenai
pembentukan induk
usaha BUMN
berbagai sektor, Rini
menyatakan, langkah
itu berdasarkan situasi dan
kondisi yang berkembang saat
ini. Ia mencontohkan, bank-bank di
Indonesia akan sangat sulit bersaing,
terutama di luar negeri, karena
modalnya kecil.
Dengan terbentuknya
Holding BUMN keuangan maka
pertumbuhan empat bank pelat
merah akan semakin cepat. Sebab,
punya kapasitas lebih besar untuk
mencari pendanaan dan menambah
permodalan. “Jadi nanti Holding
company yang ada di situ semuanya
profesional untuk memberikan
pembinaan ke anak-anak BUMN.
Kalau sekarang saya rasa deputi
kurang kuat. Kami maunya
profesional bukan PNS,” ujar Rini.
Sekadar informasi, rencana
Kementerian BUMN membentuk
lima Holding BUMN beragam
sektor masih berjalan. Hingga kini,
proses pembentukan Holding sektor
energi sudah lebih maju dengan
menempatkan PT Pertamina
(Persero) sebagai induk usahanya.
Sedangkan PT Perusahaan Gas
Negara Tbk (PGN) menjadi anak
usahanya.
Menurut Rini, proses
pembentukan Holding sektor
pertambangan, keuangan,
infrastruktur, dan perumahan juga
disiapkan. Namun, dia belum mau
bercerita banyak sampai adanya
Peraturan Pemerintah (PP). Yang
jelas, Rini menargetkan kelima
induk usaha itu sudah
terbentuk dan beroperasi
paling lambat akhir
tahun ini.
Kalangan
politisi Senayan
menilai secara umum
Holding BUMN
merupakan salah satu
aksi korporasi untuk
mendorong bisnis agar lebih
kompetitif dan memperkuat
struktur dan modal. Di banyak negara
juga dilakukam Holding terhadap
BUMN mereka. Namun, anggota
Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah
menilai saat ini BUMN kita belum
siap dan perlu evaluasi internal.
Menurut Siti Mukaromah, empat
hal utama yang menjadi sorotan
Komisi VI antara lain: Pertama,
Corporate Culture. Saat ini pemegang
jabatan BUMN masih bermental
birokrat. Sehingga cenderung tidak
kreatif dalam mengembangkan
perusahaan. Padahal, untuk
mengelola perusahaan diperlukan
pejabat yang korporat.
Kedua, kinerja perusahaan. Saat
ini kinerja perusahaan BUMN yang
satu dengan yang lain sangat variatif.
Ada yang sangat siap bersaing dan
LAPORAN UTAMAL
11. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 11
ada yang sangat lemah dan terus
merugi. Maka harus ada pemetaan
BUMN sakit dan BUMN sehat
untuk bisa mengambil kebijakan-
kebijakan lanjut.
Ketiga, memperjelas peran
BUMN. Sebagaimana rekomendasi
BPK, agar BUMN dibagi dalam
3 kategori; BUMN strategis, yaitu
BUMN dengan ruang lingkup
dan aset yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan potensi
dalam negeri. Seperti PTDI dan
PINDAD. Kedua, BUMN Komersil;
yaitu BUMN yang siap dan mampu
bertarung dengan swasta seperti
BUMN BUMN Karya dan yang
ketiga adalah BUMN PSO; yang
melakukan tugas negara dalam
menyelenggarakan kebutuhan hajat
hidup orang banyak seperti Bulog.
Keempat, kerancuan hukum. Saat
ini, payung hukum BUMN adalah
UU No. 19 tahun 2003 tentang
BUMN, yang sedang dibahas oleh
komisi VI. Mengingat Undang-
undang ini banyak pasal yang sudah
tidak relevan dengan kondisi sekarang
ini.
Sementara itu, pengamat
ekonomi Sunarsip menyatakan,
penyatuan sejumlah perusahaan
BUMN dalam satu bendera banyak
positifnya. Salah satunya sebagai
upaya memperbesar pendanaan
sehingga akan menjadikan
perusahaan lebih kompetitif.
Imbasnya, BUMN akan menjadi
besar dan ketergantungan pada
penambahan modal negara (PMN)
bisa dikurangi.
“Kalau semua BUMN
besar, maka akan semakin lincah
mendapatkan pendanaan. Karena
sudah besar dan sudah dilihat untuk
mendapatkan sumber pendanaan
eksternal jadi lebih mudah,” ujar
pria lulusan Magister Ekonomi
Universitas Indonesia kepada
Majalah Keuangan Negara, Senin, 23
Januari yang lalu.
Saat menjadi tenaga ahli Menteri
BUMN Sugiharto (2004-2007),
Sunarsip mengakui dirinya ikut
ambil bagian menyusun
rencana induk BUMN
yang di dalamnya
ada konsep Holding
pada 2005 sampai
2009. Dia juga
ikut menyusun
Master Plan BUMN.
Menurutnya, jumlah
119 BUMN itu cukup
banyak, sehingga perlu
dibuat sejumlah Holding. “119
perusahaan itu skalanya terlalu
jomplang,” tambahnya.
Sunarsip menambahkan, berdasar
hitungan saat itu, ada 25 BUMN
terbesar yang menguasai pangsa
asset revenue dan net income sebesar
90% dari total BUMN. Artinya jika
misalnya BUMN digabung jadi 50
perusahaan, itu tidak mempengaruhi.
Sebab, yang pegang asset revenue dan
net income itu tetap 25 perusahaan
besar BUMN tersebut. “Dan lebih
simpel mengelola sekitar 25-50
perusahaan besar BUMN dengan
tingkat yield yang lebih tinggi,”
kata Sunarsip yang pernah menjadi
Komisaris Independen Bank BRI ini.
Namun, Sunarsip tidak sepakat
jika Holding diterapkan pada BUMN
perbankan. Menurutnya, pangsa
pasarnya itu hanya 30% terhadap
industri. Selebihnya dikuasai industri
perbankan yang sudah diversifikasi
dalam banyak pelaku dengan tingkat
penguasaan pasar yang merata.
“Saya sarankan bank-bank BUMN
itu menjadi induk sendiri-sendiri
sesuai dengan core bisnisnya masing-
masing,” ungkapnya.
Seiring waktu, pengelolahan
BUMN memang dirasakan terus
membaik dalam dua dekade terakhir.
BUMN tak lagi sekadar menjadi alat
pemerintah terkait perencanaan dan
pembangunan ekonomi, tetapi saat
ini BUMN lebih diorientasikan
untuk mencari keuntungan.
“Jadi ada semacam
ketegasan dalam
pengelolaan mana
yang pure atau murni
tugas pemerintah dan
mana yang menjadi
tanggung jawab
manajemen BUMN
(mencari keuntungan),”
ujar Sunarsip.
Pendapat berbeda dilontarkan
Faisal Basri. Pengamat Ekonomi
dari UI ini mengaku tidak setuju
dengan Holding BUMN. Faisal
bahkan mengaku gerah dengan
wacana ini. “Sejauh ini terkesan upaya
menambah modal dilakukan dengan
meningkatkan kapasitas pendanaan
atau agar bisa berutang lebih banyak,”
kata Faisal kepada Majalah Keuangan
Negara, Senin 23 Januari silam.
Alasan pembentukan BUMN
induk agar kapasitas berutang
lebih besar dengan basis aset
yang bertambah,
menurutnya
bukan
merupakan
insentif
positif
untuk
mendorong
manajemen
secara
sungguh-
sungguh
membenahi
perusahaan. “Doronglah BUMN
mencari dana sendiri.Terbukti
Pelindo III dan Pelindo II bisa
meraup pendanaan miliaran dollar
12. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201712
pemerintah adalah menggabung BNI
dengan Bank Mandiri.Tujuannya
kan membuat bank yang besar di
Indonesia agar bisa bersaing di
ASEAN,” ujarnya.
Ia menyatakan, jika tetap berdiri
terpisah seperti saat ini, maka
perbankan BUMN akan susah
bersaing di ASEAN. Atas dasar hal
tersebut diperlukan merger untuk
memperkuat modal. “Kalau pecah-
pecah seperti ini, bank di Indonesia
masih di bawah Malaysia dan
Singapura. Kalau digabung bakal
besar di ASEAN,” jelasnya. “Apa
bedanya Bank Mandiri dan BNI?
Tidak ada sekarang. Dulu memang
tiap bank ada bagiannya sendiri.
Kalau BRI sampai BTN kan memang
khusus ya. Jangan diotak-atik dulu,”
imbuhnya.
Selain itu, ia menilai adanya
penggabungan bank bakal baik
bagi kinerja dan penyaluran kredit.
Pasalnya, penggabungan bank bisa
menekan biaya dana (cost of fund)
yang akan mendukung kinerja. “Kalau
perbankan besar kan cost of fund
turun, dan pada akhirnya bunga turun
dan kredit semakin luas,” ucapnya.
Atas dasar hal tersebut, ia menilai
Perlu saya garisbawahi,
hati-hati untuk
kalkulasinya. Cepat,
tetapi kalkulasinya
harus matang. Jangan
asal digabung, jangan
asal besar. Arah dan
tujuannya memang baik,
namun prosesnya harus
benar-benar hati-hati.
Presiden Jokowi
Amerika Serikat. Arahkan juga agar
bisa meraup dana dengan merangkul
mitra strategis,” jelasnya.
Menurut mantan Ketua Tim
Reformasi Tata Kelola Minyak
dan Gas Bumi (Migas) tersebut,
tantangan terbesar yang dihadapi
perusahaan-perusahaan migas
nasional adalah memperkokoh
ketahanan energi. Bukan dibentuk
agar mempermudah PT Pertamina
(Persero) yang diproyeksi sebagai
Holding BUMN migas untuk
berutang.
“Sudah lama kita mengalami
defisit minyak. Produksi sudah
di bawah 800 ribu barel per hari
(bph). Sedangkan konsumsi minyak
sekitar 1,6 juta bph. Ada 800 ribu
bph yang harus diimpor setiap hari
untuk memenuhi kebutuhan BBM,”
ujarnya.
Faisal menilai pembentukan
Holding migas bukanlah suatu
hal yang penting saat ini. Ia
menganjurkan agar pemerintah
mendorong Pertamina lebih fokus di
hulu dengan menggalakkan ekplorasi
dan eksploitasi serta menggalakkan
pemilikan ladang minyak di luar
negeri yang cadangannya besar.
Langkah tersebut bertujuan untuk
memasok kebutuhan kilang di dalam
negeri yang direncanakan bakal
bertambah.
Sementara itu, PT Perusahaan
Gas Negara (PGN) yang
direncanakan melebur dengan PT
Pertamina Gas sebagai anak usaha
Pertamina bisa didorong untuk lebih
kokoh di hilir sebagai perusahaan
utilitas, memasok gas untuk rumah
tangga, industri, dan bisnis.
Faisal menilai adanya rencana
pembentukan Holding BUMN
merupakan bentuk kegagalan
wacana merger yang sempat muncul
sebelumnya. “Yang harus dilakukan
pembentukan Holding sebenarnya
merupakan buah dari kegagalan
pemerintah melakukan merger
antar bank BUMN. Faisal mengaku
heran dengan kebijakan kementerian
BUMN saat ini. “Makanya saya
bingung, ini maksudnya apa bikin
Holding? Mau niru Temasek? Kalau
Temasek itu seluruh BUMN di
Singapura. Beda dengan kita,”
katanya.
Faisal menyatakan pemerintah
sebaiknya berkaca diri sebelum
melaksanakan hal tersebut. Pasalnya,
dengan hal tersebut ia menilai
pemerintah melupakan rencana
awal untuk memperbaiki industri
perbankan. “Sedih saya. Pemerintah
kan minta bank swasta untuk merger,
tapi dirinya sendiri tidak melakukan,”
katanya.
HATI HATI
Pada era kepemimpinan Menteri
BUMN Rini Soemarno, program
pembentukan Holding maupun
konsolidasi BUMN juga masih
tercantum dalam rencana strategis
BUMN 2015-2019. Hal itu melihat
jumlah BUMN yang masih tetap
banyak, pengawasan birokrasi yang
memakan waktu, duplikasi sektor
industri yang sama, serta kompetisi
internal yang mengarah kepada
kanibalisasi. Melihat jejak rencana
pembentukan Holding BUMN,
memang membutuhkan waktu yang
tidak sebentar.
Misalnya saja pembentukan
Holding perkebunan yang sudah
diwacanakan sejak era kepemimpinan
Sofyan Djalil saja baru dapat
terealisasi pada September 2014
dengan ditandanganinya peraturan
pemerintah oleh Presiden. Sementara
itu, rencana penggabungan BUMN
farmasi hingga saat ini belum
ada kelanjutannya. Lambatnya
LAPORAN UTAMAL
13. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 13
progress aksi korporasi BUMN ini
karena dalam pelaksanaanya harus
melibatkan banyak lembaga.
Sebelum meminta persetujuan
Presiden, aksi korporasi itu juga
perlu dibahas dengan Kementerian
Keuangan dan Komisi VI DPR
RI. Belum lagi jika BUMN itu
telah melepas sahamnya ke publik
dan menjadi perusahaan terbuka,
maka porsi kepemilikan publik
juga harus dipertimbangkan ketika
hendak melakukan Holding ataupun
penggabungan BUMN.
Implementasi Masterplan
2014‐2019 Kementerian BUMN
yang diterjemahkan melalui
Rencana Strategis BUMN 2015-
2019 terutama sehubungan dengan
restrukturisasi BUMN, memang
acapkali terhambat oleh karena
realisi perencanaan tersebut harus
disertai dengan produk hukum,
yakni Peraturan Pemerintah (PP).
Hal ini yang kemudian menjadi
salah satu kelemahan restrukturisasi
BUMN. Banyaknya stakeholder
terkait, membuat proses pengambilan
keputusan harus melewati proses
birokrasi yang panjang dan rumit.
Sebagai studi kasus misalnya
pembentukan Holding BUMN
Industri Pupuk dan Semen telah
berjalan saat ini, adalah hasil proses
inisiasi pembentukan Holding yang
telah dimulai sejak tahun 1990‐an. Di
mana cikal bakal pembentukan Pupuk
Indonesia Holding Company (PIHC),
telah dimulai sejak Pupuk Sriwijaya
menjadi induk perusahaan bagi empat
BUMN sektor industri pupuk pada
tahun 1997.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut, wajar apabila Kementerian
BUMN terus mendesak Presiden
Jokowi agar cepat menerbitkan PP
bagi payung hukum pembentukan
Holding. Bahkan, Presiden dalam
kesempatan bertemu dengan 600
direksi BUMN mengatakan Holding
perlu dipercepat.
“Perlu saya garisbawahi, hati-
hati untuk kalkulasinya. Cepat, tetapi
kalkulasinya harus matang. Jangan
asal digabung, jangan asal besar. Arah
dan tujuannya memang baik, namun
prosesnya harus benar-benar hati-
hati,”ungkap Presiden di hadapan
direksi-direksi BUMN dalam acara
Executive Leadership Program (ELP),
di Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Presiden ingin agar proses
pembentukan Holding BUMN
dilakukan hati-hati, mulai dari sisi
manajemen, supervisi, tata kelola,
efisiensi, hingga beban finansialnya.
“Tapi hati-hati, karena lincah
kalau dipecah-pecah juga.Tolong
garisbawahi, hati-hati kalkulasinya,”
kata Jokowi. Menurut mantan
Gubernur Jakarta itu, meski Holding
bisa terbentuk cepat, namun
kalkulasinya haruslah matang.
Oleh karena itu, ia mengharapkan
pembentukan Holding bukan sekadar
asal gabung dan asal besar tetapi juga
berdampak baik.
Selain itu, Presiden juga meminta
BUMN membuka diri dan melibatkan
banyak institusi sehingga semakin
terbuka untuk perbaikan.“Saya
optimistis sekali BUMN akan menjadi
baik tapi hati-hati,”kata Jokowi.[]
16. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201716
Dalam acara bertajuk Executive Leadership Program (ELP) di Istana Negara
Jakarta (25/1/2017), Presiden Joko Widodo berpesan agar pembuatan aturan
pembentukan Holding serta dalam hal pelaksanaannya jangan sampai
bertentangan dengan Undang-Undang yang sudah ada.
Wanti-Wanti
Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo memberikan arahan dalam acara Executive Leadership Program (ELP) di Istana Negara Jakarta.
dok:SekretariatKepresidenan
D
i depan 600 petinggi
Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Presiden Joko
Widodo kembali menegaskan agar
pembentukan induk usaha BUMN
agar cepat dilaksanakan, karena niat
pembentukannya sudah sangat baik.
Melalui strategi Holding, Presiden
menilai nantinya BUMN Indonesia
berpeluang mencapai lompatan
karena modal bertambah besar dan
mudah mencari sumber dana.
Presiden ingin agar proses
pembentukan Holding BUMN
dilakukan hati-hati, mulai dari sisi
manajemen, supervisi, tata kelola,
efisiensi, hingga beban finansialnya.
“Tapi hati-hati, karena lincah
kalau dipecah-pecah juga.Tolong
garisbawahi, hati-hati kalkulasinya,”
kata Jokowi. Menurut mantan
Gubernur Jakarta itu, meski Holding
bisa terbentuk cepat, namun
kalkulasinya haruslah matang.
Oleh karena itu, ia mengharapkan
pembentukan Holding bukan sekadar
asal gabung dan asal besar tetapi juga
berdampak baik.
Selain itu, Presiden juga
meminta BUMN membuka diri dan
melibatkan banyak institusi sehingga
semakin terbuka untuk perbaikan.
“Saya optimistis sekali BUMN akan
menjadi baik tapi hati-hati,” kata
Jokowi.
Seperti diketahui, payung
hukum pembentukan Holding
BUMN sudah terbit dengan
lahirnya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 Tahun 2016. Dengan
terbitnya PP tersebut, pemerintah
memproyeksikan 6 Holding BUMN
LAPORAN UTAMAL
17. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 17
bisa segera terealisasi. Saat ini pun
prosesnya masih menunggu aturan
turunan berupa PP yang membahas
struktur perusahaan Holding di
masing-masing sektor. Dua sektor
yang dianggap paling siap dibentuk
Holding adalah BUMN Migas dan
BUMN Tambang.
Terkait terbitnya payung
hukum Holding BUMN, secara
eksplisit Presiden Jokowi juga
menyinggung, agar dalam proses
pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan UU yang ada. Ia pun
menekankan agar dalam pembuatan
aturan pembentukan Holding
serta dalam hal pelaksanaannya,
jangan sampai bertentangan UU
yang sudah ada. Karena menurut
Jokowi, niat pembentukan Holding
BUMN sudah sangat baik karena
dapat meningkatkan kualitas
BUMN. Namun bila dalam proses
pelaksanaannya bertentangan dengan
UU yang ada, maka niat baik itu bisa
tertutup dan hanya kesalahan yang
dilihat.
KONTROVERSI
Bisa jadi, arahan Presiden
Jokowi dalam acara Executive
Leadership Program (ELP) adalah
untuk merespon adanya kontroversi
terhadap PP No. 72/2016 yang
akhir-akhir semakin menghangat di
ruang publik. Pemantik kontroversi
ialah adanya ketentuan di dalam
Pasal 2A PP tersebut yang berbunyi:
“Penyertaan Modal Negara yang
berasal dari kekayaan negara berupa
saham milik negara pada BUMN
atau Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf d kepada BUMN atau
Perseroan Terbatas lain, dilakukan
oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui
mekanisme Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.”
Oleh sebagian kalangan,
ketentuan Pasal 2A itu
bertentangan dengan
isi Pasal 2, di
mana disebutkan
penyertaan modal
negara dari APBN
yaitu saham negara
di BUMN atau
Perseroan Terbatas
(swasta). Namun pada
Pasal 2A disebutkan
saham negara di BUMN
atau Perseroan Terbatas Tidak
Perlu Pakai Mekanisme APBN.
Di sisi lain, semua hal yang
terkait dengan masalah keuangan dan
kekayaan negara merupakan obyek
APBN, di mana pembahasannya
sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23
ayat (1), (2), dan (3) yang intinya
setiap bentuk pengambilalihan
atau perubahan status kepemilikan
saham yang termasuk kekayaan
negara haruslah sepengetahuan
dan mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Itu
juga merupakan ketentuan UU
No. 17/2003 tentang Keuangan
Negara dan UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) mempertanyakan aturan
baru yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun
2016 tentang perubahan atas PP
nomor 44 Tahun 2005 tentang tata
cara penyertaan dan penatausahaan
modal negara pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Sebab, dalam PP tersebut,
pemerintah bisa mengalihkan saham
BUMN tanpa perlu persetujuan
DPR. Padahal, kekayaan BUMN
masuk sebagai keuangan negara
sehingga harus melalui persetujuan
DPR. “Kok jadi seperti itu ya?
BUMN itu adalah keuangan negara
dan tunduk terhadap UU Keuangan
Negara dan UU Kekayaan Negara,”
ujar Anggota BPK
Achsanul Qasasih
dalam keterangannya
kepada wartawan,
Kamis (12/1/2017).
Menurutnya,
aturan ini akan
bertabrakan dan
melanggar aturan
lainnya tentang
kekayaan negara.
“Semua pengurangan
kekayaan negara harus
mendapat persetujuan rakyat (DPR),”
tegasnya.
Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI Azam Azman Natawijana
mengatakan, terbitnya PP No.
72/2016 cacat hukum karena belum
ada ketentuan yang lebih tinggi
mengaturnya. Dengan demikian,
secara politik seharusnya aturan ini
tidak dapat berjalan. “Tidak boleh
PP melampaui UU,” kata Azam. Ia
menambahkan, bila kebijakan ini
tetap diberlakukan oleh pemerintah,
maka akan ada konsekuensi yang
bakal ditanggung. Oleh karena itu,
Komisi VI mengharapkan klarifikasi
dari Menteri BUMN atas terbitnya
ketentuan ini.
Namun dalam berbagai
kesempatan, Menteri BUMN Rini
Soemarno menyatakan bahwa
ketentuan PP No. 72/2016 telah
sesuai dan pihaknya akan tetap
mengimplementasikan rencana
Holding tanpa harus persetujuan
DPR. Di sisi lain, DPR melarang hal
tersebut. Menurut Rini, PP tersebut
tidak dapat dilihat sepotong-potong
tetapi harus dikaitkan dengan aturan
yang lainnya.
“Tidak bisa dilihat PP 72
tahun 2016 saja,” kata Rini, Selasa
(24/1/2017). Menurut Rini, sejak
awal ia sudah menjelaskan bahwa
PP tersebut tidak terpisah dari PP
Nomor 44 Tahun 2005 tentang tata
18. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201718
cara penyertaan dan penatausahaan
modal negara pada Badan Usaha
Milik Negara. Kehadiran PP
Nomor 72 Tahun 2016 dianggap
menyempurnakan PP Nomor 44
Tahun 2005. “Jadi harus dibaca secara
keseluruhan,” kata Rini.
Salah satu beleid yang berkaitan
dengan PP No. 72/2016 adalah
PP No. 44/2005 tentang tata cara
penyertaan dan penatausahaan
modal negara pada BUMN. Selain
itu berkaitan pula dengan Undang-
Undang (UU) tentang BUMN dan
UU tentang Keuangan Negara.
Sementara itu, Anggota Komisi
VI DPR RI Siti Mukaromah
menyesalkan pemerintah terkesan
terburu-buru menerbitkan PP No.
72/2016 di tengah-tengah DPR
sedang membahas revisi undang-
undang BUMN. “Sebenarnya di sini
kementerian terkesan memaksakan
dan buru-buru untuk melakukan
Holding BUMN,” katanya kepada
Majalah Keuangan Negara.
Menurut politisi PKB tersebut,
persoalan mendasar sejak keluarnya
PP No. 72/2016 adalah poin dan
ketentuan pokok mengenai, Pertama,
ayat 1 pasal 2 A yang menyatakan
bahwa penyertaan modal Negara
(PMN) kepada BUMN yang berasal
dari kekayaan negara berupa saham,
tidak perlu melewati mekanisme
APBN. Alasanya, dapat dilihat pada
bagian penjelasan ayat 1, di mana
pemerintah menganggap bahwa
saham milik Negara pada BUMN
hakekatnya merupakan kekayaan
Negara yang sudah dipisahkan dari
APBN.
Kedua, aneh jika saham Negara
yang dananya berasal dari APBN
tetapi mekanisme penyertaanya
tidak melalui pengelolaan APBN.
Pasal 4 PP No. 44 tahun 2005
sendiri menyebutkan bahwa setiap
penyertaan dan penambahan modal
begara yang dananya berasal dari
APBN dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang keuangan negara.
Oleh sebab itu, segala
hal yang menyangkut dengan
penyertaan modal negara perlu
melewati mekanisme dan tahapan
pembahasan APBN bersama
parlemen (DPR) sebagai representasi
rakyat dalam menjalankan fungsi
anggarannya. Lagi pula dalam pasal
46 UU No 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara disebutkan
jika pemindahtanganan barang
milik Negara selain tanah dan/
atau bangunan menjadi otoritas
pemerintah lebih dari Rp. 100 Milyar
harus mendapat persetujuan DPR.
Ketiga, lebih lanjut ketentuan
pada ayat 2 hingga ayat 5 pasal 2A
dalam PP 72/2016 itu memang
terkesan menunjukkan bahwa
pemerintah masih memiliki legitimasi
terhadap anak perusahaan BUMN
yang baru terbentuk. Legitimasi
tersebut seperti adanya hak istimewa
yang diatur dalam anggaran dasar
seperti pengangkatan direksi,
perubahan anggaran dasar dan
struktur kepemilikan saham, maupun
rencana akuisisi dan merger oleh
perusahaan lain.
Selanjutnya, jika melihat
penjelasan pasal 6 negara tidak
dapat mengontrol langsung anak
perusahaan BUMN, kontrol
dilakukan melalui BUMN induk
sebagai pemegang saham mayoritas
eks BUMN yang menjadi anak
perusahaan serta terkait dengan
perlakukan “disamakan dengan
BUMN”. Padahal dalam Undang-
Undang No. 19 tahun 2003
tentang BUMN, anak perusahaan
bukanlah BUMN. Ketentuan ini
jelas bertentangan dengan amanat
konstitusi karena aset Negara hanya
boleh dikelola BUMN sebagai
kepanjangan tangan dari pemerintah.
BEDA PANDANGAN
Para pakar hukum tata negara
juga turut berbicara. Mantan Hakim
Konstitusi Jimly Asshiddiqie
mengatakan, PP No. 72/2016 masih
mengisyaratkan adanya kontrol dari
DPR. “Holding BUMN niatnya baik,
tetapi pelaksanaanya jangan salah.
Tetap memperhatikan pengawasan
DPR,” kata Jimly. Dalam kebijakan
Holding BUMN, status kepemilihan
perusahaan masih sama yakni
pemerintah. Sehingga, tidak ada
kekayaan negara yang berpindah
tangan. Jimly berpandangan bila PP
ini dapat tetap dijalankan.
Sementara itu, pakar hukum tata
negara Hamdan Zoelva menyatakan
bahwa bila bentuk dari aksi korporasi
yang dilakukan oleh BUMN tersebut
tidak berupa privatisasi, namun masih
dalam satu induk kepemilikan yang
sama, maka hal tersebut tidak perlu
dipersoalkan. Menurut Hamdan, yang
perlu dicatat dalam garis pengawasan
yang dilakukan oleh DPR ialah
kementerian yang bertanggung jawab.
Namun, dalam ranah politik DPR
sah-sah saja melakukan pengawasan
terhadap perusahaan BUMN.
Pengamat ekonomi Indef
Mohammad Reza H Akbar menilai
ada beberapa kelemahan di dalam
PP No. 72/2016. Pertama, penerapan
konsep inbreng saham milik negara
pada BUMN atau perseroan terbatas
(PT) sebagai sumber penyertaan
modal negara yang diatur di Pasal 2
ayat 2 huruf d PP No 72/2016 tak
masuk dalam UU BUMN sebagai
sumber penyertaan modal negara di
BUMN.
“Artinya, bila konsep inbreng
akan diterapkan, pemerintah juga
LAPORAN UTAMAL
19. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 19
harus memasukkannya dalam revisi
UU BUMN yang kini tengah
digodok. Sehingga UU Keuangan
Negara juga harus diubah, karena
ini menyangkut uang APBN,”
ungkapnya.
Kedua, ketentuan pasal 2A ayat
1 PP No 72/2016 yang mengatur
penyertaan modal negara dari
kekayaan negara berupa saham milik
negara pada BUMN ke BUMN lain
dilakukan oleh pemerintah pusat
tanpa melalui mekanisme APBN.
Sehingga ia menilai, ketentuan ini
mengesampingkan peran pengawasan
dan fungsi audit BPK terhadap
BUMN.
“Secara hukum, pasal ini
tak bisa menjadi dasar hukum
penyertaan modal negara tanpa
mekanisme APBN. Sebab, secara
prinsip, ketentuan itu mengubah
ketentuan UU Keuangan Negara dan
bertentangan dengan UU BUMN
dan UU Keuangan Negara,” jelasnya.
Ketiga, pasal 2A ayat 2,6, dan 7
yang mengatur anak usaha BUMN.
Reza bilang, dalam UU BUMN dan
PP No. 44/2005, ketentuan tentang
anak usaha BUMN dan derivasi
bisnisnya belum diatur. Oleh karena
itu, bila ketentuan tersebut ingin
dimasukkan, perlu regulasi setingkat
UU.
Atas terbitnya PP tersebut,
Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA) bahkan secara
resmi telah mengajukan gugatan
kepada Mahkamah Agung (MA) atas
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
72 tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal
Negara pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Perseroan
Terbatas (PT) harus dibatalkan.
Menurut Sekjen Fitra, Yenny
Sucipto, Holding BUMN dinilai
berpotensi merugikan BUMN dan
bertentangan dengan perundang-
undangan. “Atas pertimbangan itu,
kita telah sampaikan permohonan
uji materi ke MA atas PP Nomor 72
tahun 2016,” jelasnya kepada Majalah
Keuangan Negara, Rabu, (25/1/17).
SEJARAH BERULANG
Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Keuangan Negara, Prasetyo, menilai
bahwa keluarnya PP No. 72/2016
adalah bagian dari strategi yang
telah disiapkan oleh pemerintah
agar pembentukan Holding dapat
dipercepat. Ia menyatakan rencana
Holding sebenarnya halal hukumnya
sepanjang dilakukan dengan cara-
cara yang baik dan elegan.Tetapi,
Prasetyo menyayangkan PP tersebut
bagian dari upaya untuk memisahkan
keuangan negara dan BUMN.
“Ini mengingatkan kita tentang
diskursus keuangan negara dan
BUMN yang sempat memanas tahun
2013 silam. Perlu diingat Forum
Hukum BUMN bersama Pusat
Kajian Masalah Strategis Universitas
Indonesia mengajukan uji materi
(judicial review) Undang-Undang No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yang intinya mereka tidak
setuju apabila kekayaan negara yang
dipisahkan menjadi modal atau
saham BUMN adalah bagian dari
keuangan negara,” ujarnya dalam
Diskusi Keuangan Negara dua pekan
lalu.
Atas permohonan uji materi
itu, Mahkamah Konstitusi (MK)
menolak upaya hukum yang
bermaksud memisahkan ranah
keuangan negara dan BUMN
tersebut. Berdasarkan putusan
Nomor 48/PPU-XI/2013 MK
kesimpulan atas uji materi tersebut
adalah Pertama, para pemohon
tidak memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian ketentuan
pasal 2 huruf g dan huruf I
UU Keuangan Negara karena
permohonan para pemohonan tidak
terkait dengan konstitusionalitas
norma.
Kedua, hukum positif terkait
kekayaan negara dipisahkan dan
penyertaan modal pemerintah pada
BUMN yang ada saat ini sangat
memadai dan telah memberikan level
of playing field yang equel bagi BUMN
bahkan memberikan previlege bahwa
negara berada di belakang BUMN.
Di sisi lain, regulasi-regulasi yang ada
juga secara memadai memberikan
kewenangan pemerintah untuk
mengawasi dan mengamankan
kekayaan negara yang dipisahkan.
Ketiga, permohonan para
pemohon sama sekali tidak terdapat
relevansi dan sebab akibat antara hak
konstitusional para pemohon dengan
ketentuan pasal yang dimohonkan
untuk diuji a quo sehingga dianggap
bertentangan dengan pasal 23 ayat (1)
dan Pasal 28 UUD 1945 dan secara
nyata tidak terbukti dalam perjalanan
BUMN selama ini. Keempat, bahwa
ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf
I UU Keuangan Negara dan Pasal
6 ayat (1), pasal 9 ayat (1) pasal 10
ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 11
huruf a UU BPK sama sekali tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Penolakan MK terhadap uji
materi UU Keuangan Negara
di atas menjadi yurisprudensi
sekaligus pintu masuk bagi evaluasi
atau koreksi terhadap ketentuan-
ketentuan peraturan yang dikeluarkan
pemerintah terkait kedudukan
BUMN dalam sistem kenegaraan
kita. Sebab itulah, perlu kiranya
pemerintah mempertimbangkan
kembali ketentuan di dalam Pasal 2A
PP No 72/2016 sembari menunggu
DPR RI mengesakan UU BUMN.[]
20. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201720
Pemerintah
Terkesan Memaksakan
Holding BUMN
Wawancara
Siti Mukaromah
Anggota Komisi VI DPR RI
dok:istimewa
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201720
LAPORAN UTAMAL
21. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 21
masih ambigu-nya peran BUMN, serta kerancuan
hukum.
Di tengah upaya membenahi tata kelola BUMN
tersebut, pemerintah pada tahun 2016 mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas PP No. 44 tahun 2005 terkait Tata
Cara Penyertaaan dan Penatausahaan Modal Negara
Pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Pada saat
bersamaan, DPR sesungguhnya sedang membahas
revisi Undang-Undang BUMN untuk memperjelas
arah tata kelola BUMN ke depan.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana
pandangan DPR tentang skema Holding dan
implikasi PP 72 tahun 2016, berikut petikan
wawancara Majalah Keuangan Negara dengan Siti
Mukaromah:
R
encana Holding BUMN ditanggapi
dengan beragam pendapat oleh banyak
kalangan. Anggota Komisi VI DPR RI
Siti Mukaromah berpendapat bahwa
Holding merupakan salah satu aksi korporasi yang
telah banyak diadopsi oleh banyak negara. Tujuan
utama Holding ialah untuk mendorong bisnis
perusahaan plat merah agar lebih kompetitif serta
mampu memperkuat struktur dan modal. Sehingga
diharapkan,ke depan perusahaan-perusahaan negara
mampu bersaing dalam tataran global dengan tetap
tidak melupakan misinya sebagai agentofdevelopment.
Kendati Holding BUMN di Indonesia menjadi
suatukeniscayaan,tetapiSitiMukaromahmencermati
empat hal penting yang mengindikasikan tata kelola
BUMN kita belum siap sepenuhnya.Empat hal yang
dimaksud ialah corporate culture, kinerja perusahaan,
Bagaimana tanggapan DPR terkait
rencana Holding BUMN?
Secara umum Holding BUMN
memang merupakan salah satu
aksi korporasi untuk mendorong
bisnis agar lebih kompetitif dan
memperkuat struktur dan modal.
Di banyak negara juga dilakukam
Holding terhadap BUMN mereka.
Misalnya Temasek Singapura dan
Khazanah Malaysia. Dan kontribusi
kedua BUMN ini dilihat dari
indikator profit margin, di tahun
2014 Khazanah berada di urutan
pertama sebesar 40,4 persen dari total
pendapatan,Temasek sebesar 19,48
persen, sedangkan 20 BUMN Tbk
kita hanya 15,57 persen.
Namun demikian, saat ini kami
menganggap BUMN kita belum siap
dan perlu evaluasi internal.
Apa yang menjadi catatan DPR?
Empat hal utama yang kami
sorot antara lain: Pertama, Corporate
Culture. Saat ini pemegang jabatan
BUMN masih bermental birokrat.
Sehingga cenderung tidak kreatif
dalam mengembangkan perusahaan.
Padahal, untuk mengelola perusahaan
diperlukan pejabat yang korporat.
Kedua, kinerja perusahaan. Saat
ini kinerja perusahaan BUMN yang
satu dengan yang lain sangat variatif.
Ada yang sangat siap bersaing dan
ada yang sangat lemah dan terus
merugi. Maka harus ada pemetaan
BUMN sakit dan BUMN sehat
untuk bisa mengambil kebijakan-
kebijakan lanjut.
Ketiga, memperjelas peran
BUMN. Sebagaimana rekomendasi
BPK, agar BUMN dibagi dalam
3 kategori; BUMN strategis, yaitu
BUMN dengan ruang lingkup
dan aset yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan potensi
dalam negeri. Seperti PTDI dan
PINDAD. Kedua, BUMN Komersil;
yaitu BUMN yang siap dan mampu
bertarung dengan swasta seperti
BUMN BUMN Karya dan yang
ketiga adalah BUMN PSO; yang
melakukan tugas negara dalam
menyelenggarakan kebutuhan hajat
hidup orang banyak seperti Bulog.
Keempat, kerancuan hukum. Saat
ini, payung hukum BUMN adalah
UU No. 19 tahun 2003 tentang
BUMN, yang sedang dibahas oleh
komisi VI. Mengingat Undang-
undang ini banyak pasal yang sudah
tidak relevan dengan kondisi sekarang
ini.
Lantas bagaimana tentang PP 72
tahun 2016 dalam kerangka Holding
BUMN?
Di tengah-tengah DPR sedang
membahas revisi undang-undang
BUMN ini, pemerintah dalam hal ini
kementerian BUMN mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 72
tahun 2016 tentang perubahan atas
PP No. 44 tahun 2005 terkait Tata
Cara Penyertaaan dan Penatausahaan
Modal Negara Pada BUMN dan
Perseroan Terbatas.
Sebenarnya di sini kementerian
terkesan memaksakan dan buru-buru
untuk melakukan Holding BUMN.
Dan, bahkan dalam PP No. 72 Tahun
2016 tersebut terdapat pasal yang
menyatakan bahwa penyertaan modal
Negara (PMN) kepada BUMN
yang berasal dari kekayaan Negara
berupa saham, tidak perlu melewati
mekanisme APBN. Hal ini berarti
melangkahi DPR, karena DPR dan
BPK memiliki hak untuk melakukan
fungsi pengawasan dan audit atas
perlakuan saham negara tersebut
sesuai amanat konstitusi pasal 2 huruf
g UU No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Selain itu, hal yang paling
mendasar adalah, secara konten, PP
No. 72 Tahun 2016 ini cacat karena
mengandung unsur yang seharusnya
ada di UU tetapi dimasukkan dalam
PP. Dalam PP ini membicarakan
“saham” yang seharusnya sudah diatur
dalam peraturan di atasnya yaitu
UU.Tetapi faktanya di UU BUMN
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 21
22. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201722
yang ada tidak membicarakan ‘saham’
tetapi ‘uang negara’.
Itu artinya PP 72 Tahun 2016
tersebut bertentangan dengan
norma hukum di atasnya?
Persoalan mendasar sejak
keluarnya PP No. 72 Tahun 2016
yang terdapat poin dan ketentuan
pokok mengenai, Pertama, ayat 1
pasal 2 A yang menyatakan bahwa
penyertaan modal Negara (PMN)
kepada BUMN yang berasal dari
kekayaan negara berupa saham,
tidak perlu melewati mekanisme
APBN. Alasanya, dapat dilihat pada
bagian penjelasan ayat 1, di mana
pemerintah menganggap bahwa
saham milik Negara pada BUMN
hakekatnya merupakan kekayaan
Negara yang sudah dipisahkan dari
APBN.
Kedua, aneh jika saham Negara
yang dananya berasal dari APBN
tetapi mekanisme penyertaanya
tidak melalui pengelolaan APBN.
Pasal 4 PP No. 44 tahun 2005
sendiri menyebutkan bahwa setiap
penyertaan dan penambahan modal
begara yang dananya berasal dari
APBN dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang keuangan
negara. Oleh sebab itu, segala
hal yang menyangkut dengan
penyertaan modal negara perlu
melewati mekanisme dan tahapan
pembahasan APBN bersama
parlemen (DPR) sebagai representasi
rakyat dalam menjalankan fungsi
anggarannya. Lagi pula dalam pasal
46 UU No 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara disebutkan
jika pemindahtanganan barang
milik Negara selain tanah dan/
atau bangunan menjadi otoritas
pemerintah lebih dari Rp. 100 Milyar
harus mendapat persetujuan DPR.
Ketiga, lebih lanjut ketentuan
pada ayat 2 hingga ayat 5 pasal
2A dalam PP 72 tahun 2016 itu
memang terkesan menunjukkan
bahwa pemerintah masih memiliki
legitimasi terhadap anak perusahaan
BUMN yang baru terbentuk.
Legitimasi tersebut seperti adanya
hak istimewa yang diatur dalam
anggaran dasar seperti pengangkatan
direksi, perubahan anggaran dasar
dan struktur kepemilikan saham,
maupun rencana akuisisi dan merger
oleh perusahaan lain.
Selanjutnya, jika melihat
penjelasan pasal 6 negara tidak
dapat mengontrol langsung anak
perusahaan BUMN, kontrol
dilakukan melalui BUMN induk
sebagai pemegang saham mayoritas
eks BUMN yang menjadi anak
perusahaan serta terkait dengan
perlakukan “disamakan dengan
BUMN”. Padahal dalam Undang-
Undang No. 19 tahun 2003
tentang BUMN, anak perusahaan
bukanlah BUMN. Ketentuan ini
jelas bertentangan dengan amanat
konstitusi karena aset Negara hanya
boleh dikelola BUMN sebagai
kepanjangan tangan dari pemerintah.
Ada pintu masuk untuk
memprivatisasi BUMN dong?
Muatan yang terdapat dalam
PP 72 tahun 2016 menurut saya
lebih cenderung menjadi jalan
pintas untuk meloloskan rencana
pembentukan Holding di enam
sektor superHolding tanpa harus
berkoordinasi dengan DPR. Model
jalan pintas ini dilakukan pemerintah
yang ingin segera menggerakkan
roda ekonomi nasional, namun tentu
sinkronisasi regulasi dan tahapan
konstitusi, apalagi yang berurusan
dengan pengelolaan sumber daya dan
hajat hidup orang banyak, tidak boleh
dilangkahi begitu saja.
Upaya terdekat apa yang akan
dilakukan Komisi VI untuk
merespon rencana ini?
Yang paling penting tentunya
kami akan menyempurnakan RUU
BUMN yang sedang kami godok.
Dan kami juga akan mengawasi
peraturan-peraturan yang muncul di
bawah UU. Karena ternyata, kami
melihat pemerintah cenderung
memanfaatkan peraturan-
peraturan yang di bawah UU untuk
menghindari pantauan DPR. Seperti
PP No 72 tahun 2016 ini saja. Kami
sudah menemukan unsur cacat di situ.
Pada tataran konsep kebijakan
perlu dimatangkan terlebih dahulu
Holding BUMN sepatutnya tidak
sebatas aksi korporasi saja untuk
menambah modal dan aset BUMN
sehingga meningkatkan kapasitas
pendanaan agar dapat berutang
lebih banyak. Jangan sampai BUMN
yang memiliki performa baik,
malah dicaplok oleh BUMN yang
penyakitan, semata-mata untuk
menyelamatkan BUMN sakit
tersebut. Oleh sebab itu, penerapan
prinsip GCG dan perubahan
kultur kerja yang professional wajib
dipenuhi dulu oleh seluruh BUMN
sebelum Holding.
Di samping itu pemerintah
seharusnya melempar kejelasan
bentuk Holding BUMN apakah
berupa operasional Holding, strategic
Holding, atau sebatas investment
Holding.Tentu, dari ke enam sektor
yang direncanakan, serta tidak
tertutup kemungkinan sektor yang
lain, bentuk dan model Holdingnya
berbeda satu sama lain.
Terakhir yang tidak kalah
penting, pada tataran filosofis tidak
boleh dilupakan bahwa BUMN
memegang mandat Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara 1945. Hal itu
diakibatkan saat ini BUMN lebih
berorientasi pada profit dan tidak
sedikit BUMN yang meninggalkan
core business-nya. Oleh sebab itu,
BUMN perlu digiring kembali
kepada ruhnya dan tidak melupakan
misi terpenting hadirnya BUMN,
yaitu mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.[]
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201722
LAPORAN UTAMAL
23. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 23
6EDISI BERLANGGANAN
jabodetabek
luar jabodetabek
Rp300.000, -
Rp350.000, -
12EDISI BERLANGGANAN
jabodetabek
luar jabodetabek
Rp600.000, -
Rp650.000, -
Ya! saya mau berlangganan
Nama: ________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
Alamat Pengiriman: Kantor Rumah:
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
Kode Pos: ____________________________________________________________________
Telp/Fax: ____________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
E-Mail: ________________________________________________________________________
Data Pelanggan
Beri tanda pada paket yang dipilih
6 EDISI 12 EDISI
Jumlah Eksemplar: ____________________________________________
Ingin berlangganan mulai:
Bulan: _________________________________ Tahun _________________
Pilih Paket Berlangganan
P
Kirim Formulir Berlangganan melalui Fax: 021-29922743
atau E-Mail: keuangan.negara@gmail.com
dengan subject BERLANGGANAN.
Info lebih lanjut hubungi EDY PURWANTO 081348489334
Berlangganan
&
KINI HADIR DI TOKO BUKU GRAMEDIA TERDEKAT DI KOTA ANDA
FORMULIR BERLANGGANAN
24. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201724
D
alam acara Executive Leadership Program
(ELP) tanggal 25 Januari 2017, Presiden
Joko Widodo mengatakan bahwa
pembentukan induk usaha BUMN
(Holding) merupakan sebuah terobosan baru
karena menjadikan modal perusahaan menjadi besar. Di sisi
lain, BUMN akan lebih mudah untuk mencari pendanaan.
Namun demikian, Presiden meminta pembentukan
induk BUMN dilakukan penuh perhitungan dengan
memperhatikan seluruh undang-undang.
Penulis menilai apa yang disampaikan Presiden
sudah tepat, karena suatu niat dan tujuan yang baik perlu
didukung dengan cara-cara yang baik pula. Niat, tujuan,
dan cara ini pada gilirannya bagaikan satu keping mata
uang yang tidak bisa dipisahkan. Apabila salah satu atau
lebih dari unsur tersebut pincang, sudah barang tentu akan
menghasilkan keluaran yang kurang maksimal.
Dalam kaitannya dengan rencana pembentukan
enam induk usaha BUMN, kita perlu mencermati
bagaimana dasar pembentukan Holding sebagai payung
hukum pelaksanaan aksi korporasi tersebut. Sebagaimana
diketahui, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
PP No. 44 tahun 2005 terkait Tata Cara Penyertaaan dan
Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan
Terbatas. Setelah PP ini keluar, saat ini pemerintah juga
sedang merancang PP yang lebih teknis sebagai basis
pelaksanaan Holding per sektoral.
Payung hukum pelaksanaan Holding ini patut
dicermati dengan seksama, mengingat saat ini terjadi pro
dan kontra atau kontroversi sehubungan dengan beberapa
ketentuan di dalam PP 72/2016 yang dinilai kurang
memperhatikan ketentuan undang-undang yang mengatur
tentang BUMN. Ketentuan di dalam PP 72/2016 yang
memantik kontroversi tersebut ialah sebagaimana tertulis
di dalam pasal 2A yang berbunyi: “Penyertaan Modal
Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham
milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan
oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.”
Perlu digarisbawahi di dalam pasal 2A itu adalah
kalimat yang menyatakan “… tanpa perlu mekanisme
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.” Sedangkan
sebelum direvisi, dalam PP 44/2005 pada pasal 4 tertulis:
“Setiap Penyertaan dan penambahan Penyertaan Modal
Negara yang dananya berasal dari APBN dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
keuangan negara.”
Berbagai pandangan menyatakan bahwa pasal 2A
itu justu bertentangan dengan Pasal 2 yang menyebutkan
penyertaan modal negara dari APBN yaitu saham negara
di BUMN atau Perseroan Terbatas (swasta) bersumber
dari (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (b).
kapitalisasi cadangan; dan/atau (c). sumber lainnya. Kedua
pasal ini terkesan bertentangan, karena mustahil jika
mekanisme penyertaan modal negara dari APBN tidak
memerlukan mekanisme APBN.
Bersamaan dengan itu, pasal 2A ini pun memantik
reaksi dari politisi Senayan. Karena tidak melalui
mekanisme APBN, sudah barang tentu ini bisa ditafsirkan
melangkahi fungsi pengawasan yang dilakukan selama
ini oleh DPR RI. Cara-cara seperti inilah, yang menurut
penulis terlalu memaksakan. Seperti terburu-buru
mengejar tayang. Suatu cara yang tidak elegan dan tidak
memperhatikan arahan Presiden Jokowi seperti ditulis di
awal tulisan ini.
SEJARAH BERULANG
Diskursus hubungan antara keuangan negara dan
BUMN sesungguhnya telah berlangsung cukup lama.
Dan terbitnya PP 72/2016 ini mengingatkan uji materi
(judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada tahun 2013.
Para penggugat menilai bahwa UU Keuangan Negara
tidak relevan diterapkan dalam tata kelola BUMN. Mereka
menafsirkan bahwa modal negara dari APBN yang berasal
dari “kekayaan negara yang dipisahkan” tidak lagi menjadi
ranah keuangan negara. Karena telah masuk menjadi
bagian dari modal perseroan, maka tata kelola uang
tersebut mesti mengikuti UU Perseroan Terbatas.
Di sisi lain, para penggugat berdalih bahwa perlakuan
hukum terhadap BUMN seperti itu menjadikan
perusahaan-perusahaan pelat merah relatif tidak memiliki
level of playing yang sama dengan perusahaan-perusahaan
swasta (privat).
Atas permohonan uji materi itu, Mahkamah Konstitusi
Holding BUMN
Perlukah?
OPINIO
25. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 25
(MK) berdasarkan putusan Nomor 48/PPU-XI/2013
MK kesimpulan atas uji materi tersebut adalah: pertama,
para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan pengujian
ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf I UU Keuangan
Negara karena permohonan para pemohonan tidak terkait
dengan konstitusionalitas norma.
Kedua, hukum positif terkait kekayaan negara
dipisahkan dan penyertaan modal pemerintah pada
BUMN yang ada saat ini sangat memadai dan telah
memberikan level of playing field yang equal bagi BUMN
bahkan memberikan previlege bahwa negara berada di
belakang BUMN. Di sisi lain, regulasi-regulasi yang ada
juga secara memadai memberikan kewenangan pemerintah
untuk mengawasi dan mengamankan kekayaan negara
yang dipisahkan.
Ketiga, permohonan para pemohon sama sekali
tidak terdapat relevansi dan sebab akibat antara hak
konstitusional para pemohon dengan ketentuan pasal
yang dimohonkan untuk diuji a quo sehingga dianggap
bertentangan dengan pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28 UUD
1945 dan secara nyata tidak terbukti dalam perjalanan
BUMN selama ini. Keempat, bahwa ketentuan pasal 2
huruf g dan huruf I UU Keuangan Negara dan Pasal 6
ayat (1), pasal 9 ayat (1) pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), serta
pasal 11 huruf a UU BPK sama sekali tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Penolakan MK terhadap uji materi UU Keuangan
Negara di atas menjadi yurisprudensi sekaligus pintu masuk
bagi evaluasi atau koreksi terhadap ketentuan-ketentuan
peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait kedudukan
BUMN dalam sistem kenegaraan kita. Karena itu, terbitnya
PP No. 72/2016 penulis pandang merupakan upaya kedua
yang dilakukan oleh beberapa pihak yang secara formalitas
konstitusi gagal memperjuangkan pemisahan keuangan
negara dan BUMN.
PERLUKAH?
Pembentukan Holding memang penting sebagai bagian
dari skema restrukturisasi BUMN. Pembentukan induk
usaha ini juga bukan isu baru dalam tata kelola BUMN
di Indonesia, karena telah mengemuka sejak zaman
Menteri Tanri Abeng. Kita ingat, beliau pernah menyusun
cetak biru penataan BUMN yang dikenal dengan istilah
Reformasi BUMN Gelombang I dan Gelombang II.
Walhasil, Reformasi BUMN (1997–1998)
membuahkan kinerja perbaikan BUMN, antara lain terjadi
peningkatan jumlah BUMN yang sehat dari 82 buah
bertambah menjadi 87 buah (dari 59,6% menjadi 68%) dari
seluruh total populasi BUMN. Dari sisi pendapatan juga
terjadi peningkatan, yaitu sebesar 155,2%, kemudian laba
usaha meningkat sebesar 207,1%, dan laba sebelum pajak
meningkat sebesar 194,1%.
Dari studi kasus tersebut, dapat dilihat bahwa Holding
merupakan salah satu opsi yang dirasa perlu sebagai upaya
menguatkan struktur, permodalan, meningkatkan efisiensi
dan koordinasi, serta memudahkan investasi. Dengan
Holding, ke depan BUMN dapat berangsur-angsur tumbuh
secara mandiri, tanpa mengandalkan Penyertaan Modal
Negara (PMN) serta semakin profesional.
Namun demikian, proses pembentukan Holding perlu
dikalkulasi secara matang baik dari sisi regulasi maupun
teknis. Kita bisa belajar misalnya pembentukan Holding
BUMN Industri Pupuk dan Semen telah berjalan saat
ini, adalah hasil proses inisiasi pembentukan Holding yang
telah dimulai sejak tahun 1990‐an. Di mana cikal bakal
pembentukan Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC),
telah dimulai sejak Pupuk Sriwijaya menjadi induk
perusahaan bagi empat BUMN sektor industri pupuk pada
tahun 1997.
Pemerintah perlu menentukan skala prioritas, BUMN
sektor mana yang menjadi unggulan untuk di-Holding.
Misalnya BUMN sektor pangan, sektor infrastruktur/
karya dan sektor perumahan. Ketiga sektor inilah yang
memiliki hubungan erat dengan misi BUMN sebagai
agent of development. Sedangkan BUMN sektor energi,
tambang, dan jasa keuangan perlu dilakukan kajian lagi
secara mendalam oleh sebab sektor-sektor ini relatif telah
memiliki kekuatan modal dan pasar tersendiri.
Sebagai penutup, Holding BUMN merupakan
salah satu opsi yang dapat dipilih untuk menguatkan
perusahaan negara di masa depan, akan tetapi perlu
menggunakan cara-cara yang elegan dan tidak menabrak
peraturan dan undang-undang. Perlu kiranya pemerintah
mempertimbangkan kembali ketentuan di dalam Pasal 2A
PP No. 72/2016 sembari menunggu DPR RI mengesahkan
UU BUMN.[]
Bahrullah Akbar
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri
26. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201726
T
erobosan revaluasi aset
Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) pernah terjadi
pada era pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid. Setelah
dilakukan revaluasi aset terhadap
Perusahaan Listrik Negara (PLN)
pada tahun 2000, diketahui bahwa
perusahaan yang hampir mengalami
collapse tersebut menaikkan asetnya
4 kali lipat dari Rp50 triliun dan
ekuitasnya semula minus Rp90
triliun, naik menjadi Rp104 triliun.
Saat ini, pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, rencana
revaluasi aset BUMN kembali
mengemuka. Menteri BUMN Rini
Soemarno menjelaskan bahwa
dengan dilakukannya revaluasi aset
BUMN, maka total aset BUMN
pada tahun 2015 meningkat menjadi
Rp5.395 dari sebesar Rp4.577
triliun pada tahun 2014. Itu artinya,
terobosan ini mampu meningkatkan
aset BUMN sebesar Rp818 triliun.
Dalam kaitannya dengan
rencana pembentukan induk usaha
(Holding) BUMN, apabila semua
BUMN yang akan diHolding
tersebut melaksanakan revaluasi
aset sebagaimana pernah dilakukan
sebelumnya, maka setidaknya
berdampak pada tiga hal, yaitu dari
sisi perpajakan, Standar Akuntansi
Keuangan, dan value perusahaan.
Pertama, perpajakan. pemerintah
telah mengeluarkan paket kebijakan
salah satunya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008
mengenai perusahaan yang
melakukan revaluasi aset tetap untuk
tujuan perpajakan dan Nomor 191/
PMK.010/2015, Pasal 1 ayat 2 yang
mengatur mengenai adanya perlakuan
khusus bagi perusahaan yang
mengajukan revaluasi (revaluasi) aset
tetap untuk tujuan perpajakan pada
tahun 2015 dan 2016.
Bagi perusahaan BUMN
maupun non-BUMN yang
mengajukan dan melakukan revaluasi
aset tetapnya akan dikenakan
Pajak Penghasilan bersifat Final
sebesar 10%, seperti yang diketahui
berdasarkan PMK Nomor 79/
PMK.03/2008. Kemudian, ada
perlakuan khusus di tahun 2015
dan 2016 bagi perusahaan yang
mengajukan dan melakukan
revaluasi aset tetapnya akan
dikenakan pengampunan pajak
mulai 3%, 4%, dan 6% tergantung
dari periode pengajuan, hal tersebut
tercamtum dalam PMK Nomor 191/
PMK.010/2015.
Meskipun dengan terbitnya
PMK tersebut di satu sisi
memberatkan wajib pajak
badan, karena perusahaan harus
mengeluarkan aset lancar berupa
kas baik kepada negara maupun jasa
penilai, sehingga hal tersebut dinilai
dapat merugikan perusahaan. Dan,
perusahaan pun tidak mendapatkan
kas dari hasil revaluasi tersebut. Oleh
Holding BUMN Da
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201726
LAPORAN UTAMAL
27. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 27
an Revaluasi Aset
karena itu, kebijakan tersebut dinilai
tidak adil karena salah satu pihak
dirugikan. Padahal, jika berkaca
pada kasus PLN di atas, program
revaluasi aset tetap merupakan ladang
perbaikan dan peningkatan baik dari
segi permodalan maupun persaingan
usaha dari hasil revaluasi.
Kedua, Standar Akuntansi
Keuangan. SAK merupakan pedoman
dan petunjuk bagi perusahaan
dalam menyusun dan menyajikan
informasi laporan keuangan secara
handal dan relevan. Relevansi
dan keandalan laporan keuangan
sangat dibutuhkan oleh seluruh
pihak yang berkepentingan baik
pihak eksternal (pemegang saham,
kreditur, pemerintah) dan internal
perusahaan (tingkat direktur,
manajemen, dan pengawasan),
supaya informasi keuangan jauh dari
kesalahan material. Sehubungan
dengan perlakuan akuntansi daripada
revaluasi aset tetap perusahaan
sudah diatur dalam PSAK nomor
16 paragraf 31, 39, 40, dan 43 yang
mengatur mengenai pengukuran pada
saat melakukan revaluasi aset tetap,
penyesuaian selisih nilai antara nilai
revaluasian dan nilai tercatat.
Ketiga, value perusahaan. Perlu
diketahui bahwa revaluasi ini dapat
menyebabkan nilai perusahaan
menjadi kuat dan lemah. Nilai
perusahaan akan menjadi lebih kuat
dan baik, apabila hasil revaluasi
menunjukkan peningkatan nilai dari
nilai tercatat saat ini. Peningkatan
tersebut dapat memberikan
peluang yang sangat besar untuk
mendapatkan pendanaan dari pihak
eksternal (investor dan kreditor)
dan mengoptimalkan produktifitas
untuk meningkatkan laba di
masa mendatang, sehingga dapat
meningkatan penyetoran ke Kas
negara.
Sebaliknya, muncul kekhawatiran
apabila hasil revaluasian
menunjukkan penurunan, karena
dapat memberikan ancaman
tersendiri bagi BUMN yang
dikhawatirkan pada keberlangsungan
perusahaan. Ancaman tersebut dapat
menurunkan produktifitas dalam
menciptakan laba dan kepercayaan
pihak eksternal.
Di sisi lain, revaluasi terhadap
aset dapat memberikan keuntungan
terhadap negara. Pertama, negara
diuntungkan dengan adanya
penambahan pemasukan ke kas
negara. Selain itu, perusahaan
memiliki nilai aset yang sesuai
dengan nilai wajar atau pasar saat
ini. Dengan demikian, revaluasi aset
merupakan alternatif bagi pemerintah
untuk perusahaan BUMN yang
diharapkan mampu meningkatkan
sumber permodalan dan juga
memperkuat daya saing BUMN
terhadap perusahaan swasta, sehingga
penerimaan ke kas negara semakin
meningkat dan perekonomian bangsa
menjadi kuat.[]
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 27
dok:istimewa
28. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201728
R
estrukturisasi badan usaha terdiri dari empat opsi, diantaranya adalah pembentukan Holding,
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Konsekuensi dari restrukturisasi suatu badan
usaha adalah perubahan perlakuan dalam beberapa aspek internal perusahaan. Beberapa aspek
tersebut diantaranya adalah aspek teknis (operasional), aspek legal, aspek organisasi dan sumber
daya manusia, dan aspek perpajakan. Di mana menurut aspek legal, keempat bentuk restrukturisasi
tersebut memiliki beberapa perbedaan.
Konsekuensi Restrukturisasi
Badan Usaha
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201728
LAPORAN UTAMAL
29. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 29keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 29
sumber: Riset Pusat Kajian Keuangan Negara
30. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201730
P
ada tahun 2016, Perum Jamkrindo
telah berupaya menumbuhkan
kinerjanya dengat secara agresif
sesuai road map penguatan daya
saing peningkatan kinerja dan kompetensi
perusahaan dalam menghadapi
persaingan menuju perusahaan
penjaminan terdepan yang mendukung
perkembangan perekonomian nasional
sebagaimana perumusan visi, misi dan
tata nilai perusahaan yang ditetapkan
dalam Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan (RKAP) Tahun Buku 2016.
Dilihat dari kinerja perusahaan
manajemen berhasil membukukan kinerja
yang cukup baik. Total realisasi jumlah
kredit yang dijamin sampai dengan tanggal
31 Desember tahun 2016 tercatat sebesar
Rp119 Triliun atau sudah mencapai 104
persen dari target yang ditetapkan tahun
ini sebesar Rp115 triliun. Porsi terbesar
112 persen atau Rp76,54 triliun diperoleh
dari penjaminan Non KUR dan sisanya
penjaminan KUR sebesar Rp47,01 triliun.
Total Aset sampai dengan 31
Desember 2016 berkisar Rp15.50
triliun atau meningkat pada posisi yang
sama tahun lalu, begitupun pencapaian
ekuitasnya meningkat menjadi sekitar
Rp12,63 triliun.
Pada awal tahun 2017 ini, Perum
Jamkrindo akan berupaya meningkatkan
kinerjanya dengan pesat sebagaimana
yang ditetapkan dalam Rencana Kerja
dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun
Buku2017.PerumJamkrindomengusulkan
kepada pemilik modal (KBUMN) target
volume penjaminan tahun 2017 sebesar
Rp135 triliun. Porsi kredit di luar kredit
usaha rakyat (KUR) masih akan menjadi
kontributor utama terhadap penjaminan
kredit tahun depan yakni untuk penjaminan
kredit Non KUR masing-masing sebesar
Rp. 85 triliun dan penjaminan Kredit KUR
sebesar Rp. 50 triliun. Sedangkan target
volume penjaminan konsolidasian tahun
2017 sebesar Rp145, 9 triliun.
Beberapa hal yang menjadi strategi
Perum Jamkrindo tahun 2017 adalah
pengelolaan database pemeringkatan
UMKM, pendampingan dan konsultasi
Out Look Bisnis 2017: Kinerja
Perum Jamkrindo Targetkan
Meningkat Pesat
31. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 31
manajemen terhadap UMKM dengan
bekerjasama dengan beberapa Perguruan
Tinggi terkahit pada 29 November
dengan 7 Perguruan Tinggi. Perusahaan
juga melakukan pemeringkatan UMKM
bersama yang sudah dijalankan bersama
mitra.
Berdasarkan PP No. 1/2016 di
mana Perum Jamkrindo ditunjuk sebagai
Lembaga Pelaksana Penjaminan Sistem
Resi Gudang (SRG), guna meningkatkan
kesejahteraan petani untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional sesuai
nawacita Pemerintah. Artinya, perusahaan
penjaminan kredit pelat merah ini siap
ikut berperan menjaga stabilitas harga
komoditas, sesegera mungkin setelah
menerima PMN. Sebagai LPP-SRG,
Jamkrindo berfungsi melindungi hak
Pemegang Resi Gudang Dan/Atau
Penerima Hak Jaminan apabila terjadi
kegagalan, ketidakmampuan, dan/
atau kebangkrutan pengelola gudang
dalam menjalankan kewajibannya dan
memelihara stabilitas dan integritas
Sistem Resi Gudang sesuai dengan
kewenangannya
Bersamaan dengan itu,
pemerintah meluncurkan program yang
mengintegrasikan SRG dan Pasar Lelang
Komoditas Online dan sistem Pasar Lelang
Komoditas Terpadu pada Desember
2016 yang peluncurannya dilakukan oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
dan dihadiri oleh Para Menteri Bidang
Ekonomi, Gubernur, Bupati/ WaIikota dari
beberapa daerah, petani dan kelompok
tani.
“Dengan adanya integrasi SRG
dan Pasar Lelang Komoditas menjadi
salah satu solusi karena keduanya
berjalan sendiri-sendiri dan parsial. Untuk
itu, diperlukan sinergitas antar kedua
instrumen tersebut, baik pada tataran
kebijakan, regulasi, dukungan teknologi
informasi yang terpadu.”Semoga integrasi
Sistem Resi Gudang dan Pasar Lelang
Komoditas dapat memberdayakan pertani
dan sekaligus menciptakan efisiensi
perdagangan,” kata Diding S. Anwar,
Direktur Utama Perum Jamkrindo.
Saat ini Pasar Lelang yang dibina dan
diawasi oleh Bappebti telah dilaksanakan
di 15 daerah dengan 17 penyelenggara,
namun jenis komoditas dan kualitas sangat
beragam, penjual dan pembeli juga masih
terbatas, sedangkan Sistem Resi Gudang
yang telah dilaksanakan di 98 gudang
yang tersebar di 75 kabupaten pada 21
provinsi masih sebatas instrumen tunda
jual dan pembiayaan tanpa terkoneksi
dengan pasar. Tercacat, komoditi yang
bisa disimpan oleh pengelola gudang
dalam rangka pelaksanaan SRG antara
lain rotan, gabah, gambir, beras, teh,
jagung, dan karet. Ada pula komoditi
rumput laut, kopi, kakao, timah, lada,
kopra, dan garam.
Untuk memberikan kemudahan
dan meningkatkan pemanfaatan SRG
oleh para petani dan pelaku usaha
lainnya, pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan mengembangkan aplikasi
SRG Mobile. Aplikasi dan yang dapat
diakses melalui telepon seluler ini
memberikan kemudahan kepada pemilik
barang maupun pengelola gudang
untuk melakukan penyimpanan barang,
memperoleh referensi harga dan membuat
rencana pemasaran melalui Pasar Lelang
Komoditas.
Selain itu Sistem Pasar Lelang
Komoditas Terpadu yang mengoptimalkan
pemanfaatan teknologi internet untuk
meningkatkan peluang dan memperluas
jangkauan pasar, serta mengatasi kendala
jarak maupun waktu. Pemanfaatan aplikasi
ini diharapkan dapat meningkatkan
kepesertaan penjual maupun pembeli,
mengefisiensikan pemasaran dan
membuka akses pemasaran bagi petani.
Penerima manfaat dari kegiatan
integrasi Sistem Resi Gudang dan Pasar
Lelang Komoditas Online adalah Solusi
terpadu untuk membuka akses pasar
dan pembiayaan dengan 3M (mudah,
murah, manfaat). Pemberdayaan petani
dan Pelaku Usaha Kecil dan Menengah,
Efisiensi perdagangan dan peningkatan
daya saing, Peningkatan daya saing
komoditas nasional, dan munculnya
peluang bisnis bagi pelaku usaha (Jasa
Pergudangan, Grading, Jasa Keuangan/
Perbankan).
32. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201732
LIPUTAN KHUSUSL
Dengan Gotong Royong
BPJS Kesehatan
Optimis Capai Target
Kelembagaan
33. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 33
Tahun 2017 menjadi titik krusial dalam menjaga
kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional
dan Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Kinerja BPJS
Kesehatan sepanjang tahun 2016 yang dinilai semakin
positif, menjadi modal yang sangat penting dalam
menuju cakupan semesta (universal health coverage)
jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia
pada tahun 2019 nanti.
T
ahun 2017 ini, Program JKN-KIS telah memasuki
tahun ke-4. Menurut laporan BPJS Kesehatan,
pelaksanaan program JKN-KIS selama ini telah
dilewati dengan pencapaian kinerja yang terus
membaik. Di usianya yang masih sangat muda,
program ini telah dirasakan manfaatnya oleh
lebih dari setengah penduduk Indonesia, dari yang di kota
hingga yang ada di pelosok negeri.
Diketahui, kepesertaan BPJS Kesehatan per 10 Februari
2017 telah mencapai lebih dari 174.324.644 jiwa atau hampir
mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah
peserta tersebut terdiri dari 514 Kabupaten/Kota di Indonesia,
441 Kabupaten/Kota dari 32 Provinsi telah mengintegrasikan
Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan dengan jumlah kepesertaan
16 juta jiwa.
Sebagai informasi, visi BPJS Kesehatan 2021 yaitu
“Terwujudnya JKN-KIS Semesta yang Berkualitas dan
Berkesinambungan bagi Seluruh Penduduk Indonesia”.
Dalam upaya mendukung pencapaian visi tersebut, BPJS
Kesehatan juga telah menetapkan lima Misi BPJS Kesehatan
2016-2021, yaitu: (1) Meningkatkan kualitas layanan
yang berkeadilan, (2) Memperluas kepesertaan JKN-KIS
mencakup seluruh Penduduk Indonesia, (3) Menjaga
kesinambungan Program JKN-KIS, (4) Memperkuat
kebijakan dan implementasi Program JKN-KIS, serta (5)
Memperkuat kapasitas dan tata kelola organisasi.
“Visi dan Misi 2016-2021 ini diharapkan dapat semakin
mengoptimalkan penyelenggaraan Program JKN-KIS melalui
suatu kerangka program yang sustain dan berkualitas, guna
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia,”
kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris dalam kegiatan
Pembukaan Rapat Kerja Nasional BPJS Kesehatan tahun 2017 di
Palembang (23/1/2017).
***
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017
34. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201734
Hingga akhir tahun
2016, penambahan
kepesertaan Jaminan
Kesehatan Nasional
tercatat sebesar 66
persen penduduk
dari 188 juta warga
yang ditargetkan
terdaftar program
Jaminan Kesehatan
Nasional-Kartu Indonesia
Sehat (JKN-KIS). Namun,
hingga 16 Desember, baru 171,67
juta peserta JKN-KIS atau 91 persen dari target. Padahal,
target kepesertaan semesta JKN-KIS atau 95 persen
warga ditargetkan tercapai pada 1 Januari 2019. Jadi, BPJS
Kesehatan hanya punya waktu dua tahun menambah
sekitar 80 juta warga sebagai peserta baru.
Menurut Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN), Zainal Abidin, penambahan peserta JKN- KIS
tersebut cenderung melambat dan butuh kerja besar
agar target kepesertaan semesta (universal coverage)
tercapai di waktu tersisa. Pemantauan dan evaluasi DJSN
menunjukkan, banyak warga belum terdaftar JKN-KIS
karena tidak punya Nomor Induk Kependudukan (NIK)
sebagai syarat utama pendaftaran JKN-KIS. Hal itu banyak
ditemukan pada pekerja perkebunan dan pertambangan
dari luar daerah yang bekerja tanpa dokumen
kependudukan memadai.
Masalah lain, banyak warga tak mampu membayar
iuran JKN-KIS. Apalagi, aturan pendaftaran JKN-KIS
menuntut pendaftaran semua anggota keluarga di kartu
keluarga sekaligus, tak bisa beberapa anggota keluarga lebih
dulu. “Jika tak mampu, mereka seharusnya jadi Penerima
Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayar pemerintah.
Nyatanya tidak,” ucap Zainal seperti dikutip Kompas,
Selasa (27/12).
Penyebab lain yang membuat warga belum mendaftar
JKN-KIS adalah jarang sakit, tempat kerja belum
mendaftarkan, layanan BPJS Kesehatan dinilai buruk, dan
punya asuransi swasta. Hal itu karena prinsip JKN-KIS
sebagai asuransi sosial belum dipahami.
Sementara itu, menurut Kepala Departemen
Hubungan Eksternal dan Humas BPJS Kesehatan
Irfan Humaidi, pihaknya belum tahu penyebab pasti tak
tercapainya target itu. Kondisi tersebut bisa terjadi karena
target terlalu progresif atau kondisi riil di lapangan belum
memungkinkan penambahan peserta berjumlah besar.
Pihak BPJS Kesehatan mendapat tugas besar. Hanya
dalam lima tahun, hampir semua penduduk Indonesia atau
255 juta orang harus jadi peserta JKN- KIS. Itu membuat
JKN-KIS jadi program jaminan kesehatan terbesar dan
terprogresif sedunia. “BPJS Kesehatan optimistis dalam
dua tahun bisa menjangkau 80 juta peserta baru,” kata
Irfan.
Meski demikian, optimisme itu butuh dukungan
para pihak karena banyak soal muncul berada di luar
kewenangan BPJS Kesehatan untuk menuntaskannya,
seperti masalah NIK dan penetapan PBI. Untuk
mendukung penambahan peserta itu, BPJS Kesehatan
akan menambah cabang dan pegawai baru disertai berbagai
kemudahan demi mendorong kian banyak warga terdaftar
JKN-KIS.
***
Di tahun 2017 ini, BPJS Kesehatan telah menyusun
arah dan kebijakan untuk mendorong percepatan kinerja.
Terdapat tiga fokus utama yang akan dijalankan BPJS
Kesehatan di tahun 2017. Pertama, keberlangsungan
finansial. Bagaimana menjamin keberlangsungan
program JKN menuju cakupan semesta. Caranya adalah
dengan peningkatan rekrutmen peserta potensial dan
meminimalkan adverse selection, peningkatan kolektibilitas
iuran peserta dan seluruh segmen, peningkatan kepastian
dan kemudahan pembayaran iuran, penerpan law
enforcement bagi fasilitas kesehatan, peserta JKN-KIS dan
Badan Usaha yang melanggar, serta efisiensi dan efektivitas
pengelolaan dana operasional serta optimalisasi kendali
mutu dan kendali biaya Dana Jaminan Sosial (DJS)
Kesehatan.
Kedua, kepuasan peserta. Dilakukan dengan
perbaikan sistem pelayanan online untuk seluruh peserta,
implementasi Coordination of Benefit (COB) untuk Peserta
Pekerja Penerima Upah, dan perluasan dan peningkatan
kualitas fasilitas kesehatan (tingkat pertama dan lanjutan)
khususnya optimalisasi peran FKTP sebagai link pelayanan
tingkat pertama, serta kemudahan penanganan keluhan
pelanggan dan akses informasi peserta.
Ketiga, menuju cakupan semesta. Dilakukan dengan
cara percepatan rekrutmen peserta, mobilisasi peran
strategis kelembagaan baik pemerintah maupun non
pemerintah untuk menggerakan partisipasi dan peran
serta masyarakat agar sadar memiliki jaminan kesehatan,
serta peran aktif Kader JKN-KIS melalui organisasi
kemasyarakatan, keagamaan yang memiliki struktur
nasional daerah berbasis masyarakat dengan pola kerjasama
dan pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk merealisasikan target tersebut, Direktur Utama
BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengharapkan dukungan
masyarakat serta stakeholder terkait agar dapat mencapai
jaminan kesehatan yang menjangkau seluruh Indonesia,
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201734
LIPUTAN KHUSUSL
35. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 35
berkualitas, dan berkelanjutan. “Program JKN yang dikelola
BPJS Kesehatan adalah reaktualisasi dari nilai asli bangsa
ini, yaitu gotong royong, kebersamaan,” tegas Fahmi.
Fahmi berharap di tahun 2017, Duta BPJS Kesehatan
di seluruh Indonesia, dapat terus mengoptimalkan
pengelolaan dan menjaga sustainabilitas Program Jaminan
Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS),
di tengah berbagai tantangan yang semakin kompleks dan
dinamis.
“Tidak mudah memang untuk menjalankan amanah
mulia ini. Namun kami yakin, dengan dukungan dari para
stakeholder serta dengan kerja keras dari seluruh Duta
BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia, pencapaian
target kelembagaan ini akan dapat berhasil
diraih dengan gemilang, meskipun di
tengah tantangan dan permasalahan
yang tidak pula ringan,” tambah
Fahmi.
Dalam teknis pelaksanaan,
Direktur Hukum Komunikasi
dan Hubungan Antar Lembaga
BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi
menyatakan pihaknya saat ini
perlu penguatan kewenangan
untuk mendukung pencapaian
target kelembagaan. Oleh sebab
itu, ia berharap adanya penambahan
kewenangan baik berupa Perpres
maupun undang-undang. Penambahan
kewenangan tersebut dimaksudkan agar badan
ini tuntas menjalankan amanat yang diberikan oleh
negara.
Bayu Wahyudi menambahkan, dari kewenangan
tersebut nantinya pihaknya dapat menegur badan-badan
usaha baik swasta maupun BUMN agar mengikutsertakan
pegawainya ke dalam BPJS. “Kita belum punya power
untuk hal tersebut,” lanjut mantan Direktur Utama RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung (2010-2014) tersebut.
Tak hanya itu, lulusan Doktor Ilmu Kedokteran
Universitas Padjajaran ini berharap nantinya BPJS
Kesehatan juga memiliki kewenangan yang cukup untuk
memberikan sanksi kepada peserta baik individu maupun
kolektif yang menunggak iuran selama beberapa bulan.
“Seperti yang sudah diterapkan di Philhealth, Philipina,”
ujarnya mencontohkan.
Keterbatasan wewenang yang dimiliki BPJS kesehatan
dalam hal revenue collecting atau memberikan sanksi kepada
peserta yang menunggak iuran, dirasa menjadi hal yang
berbeda dengan Philhealth di Philipina. Badan tersebut
telah memiliki kekuatan atau kewenangan yang full
sehingga program jaminan kesehatan di negara tersebut
dapat berjalan dengan baik. “Di Filipina sudah ada yang
seperti itu. Kalau sekarang kita tidak bisa, cuma bisa
menagih dan mengingatkan. Jadi perlu di revisi undang-
undangnya atau peraturannya,” tegas Bayu.
Sementara itu, Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan
Rakyat, Dede Yusuf mengungkapkan apresiasinya terhadap
kinerja BPJS Kesehatan. Dede mengungkapkan, pada saat
ini negara kita sedang kekurangan dana untuk membiayai
program-program pemerintah, namun Program JKN-KIS
yang dikelola BPJS Kesehatan sanggup bertahan dengan
jumlah peserta yangsaat ini telah hampir menyentuh angka
180 juta peserta.
“Capaian kepesertaan merupakan prestasi yang
sangat luar biasa. Program JKN-KIS yang
dikelola BPJS Kesehatan adalah program
terbaik yang saat ini dimiliki oleh
negara Indonesia Komisi IX akan
mendukung & mem-protect
BPJS Kesehatan untuk dapat
melaksanakan amanat undang-
undang ini,” ujar Dede.
***
Suksesnya pelaksanaan
program Jaminan Kesehatan
Nasional tidak terlepas dari
pembenahan tata kelola atau
manajemen pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP). Sekretaris
Jenderal Kementerian Kesehatan, Untung
Suseno Sutarjo menjelaskan, masalah yang muncul
dari pelaksanaan BPJS Kesehatan tidak lepas dari tata
kelola atau manajemen di daerah.Terjadinya kesemrawutan
program BPJS Kesehatan di rumah sakit-rumah sakit,
karena sistem di FKTP seperti Puskesmas atau Klinik
Pratama yang masih semrawut atau asal-asalan saat
merujuk pasien ke rumah sakit.
Padahal, lanjut Untung,
Kementerian Kesehatan
bersama BPJS Kesehatan
telah menyusun skema
atau prosedur yang
harus diikuti
untuk merujuk
pasien peserta
BPJS Kesehatan,
termasuk jadwal
yang diberikan
rumah sakit.
‘’Dalam banyak
kasus yang terjadi,
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 35
36. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201736
kebanyakan rujukannya itu tidak mengikuti jadwal.
Kemudian dirujuk juga tidak dipersiapkan dengan baik,
tidak diberitahu rumah sakitnya, sehingga numpuk
jadinya,’’ tegas Untung kepada Majalah Keuangan Negara,
di ruang kerjanya, Jum’at (13/1/2017).
Atas hal tersebut, Kementerian Kesehatan pun
melakukan pembenahan perujukan terhadap FKTP untuk
meminimalisir kasus-kasus serupa. Seperti di kota Makasar,
Jakarta dan Samarinda, proses rujukan dilakukan melalui
sistem digital, di mana pasien Puskesmas mengajukan
pasien peserta BPJS Kesehatan yang ingin dirujuk dalam
sistem digital, kemudian menunggu pihak rumah sakit
yang siap menampung pasien tersebut. Sehingga pasien
yang dirujuk tahu pasti rumah sakit tujuannya.
Menurut Untung, pihaknya sedang mengupayakan
replikasi sistem digital tersebut ke seluruh daerah lain,
agar pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan menjadi
maksimal. Puskesmas juga dapat memantau rujukannya.
Selain itu, Kementerian Kesehatan sedang melakukan
peningkatan fasilitas kesehatan, mulai dari perbaikan
fasilitas di Puskesmas hingga penambahan tempat tidur.
Tujuannya agar Puskesmas bisa mengurus pasien secara
mandiri dan tidak melulu merujuk pasien ke rumah sakit.
Kementerian Kesehatan menyatakan terus melakukan
pembenahan, terutama pada FKTP, agar pelayanan
kesehatan dapat ditingkatkan. Hal ini mengingat banyak
kasus yang terjadi pada peserta BPJS Kesehatan karena
tidak optimalnya FKTP. Kementerian Kesehatan pun
menggunakan sistem dana kapitasi yang berbasis pada
pelayanan FKTP.
Dana kapitasi adalah dana atau anggaran yang
diberikan di muka kepada pemberi pelayanan kesehatan
agar dapat maksimal dalam memberikan pelayanan pada
pasien. Dengan sistim tersebut, pemberi layanan kesehatan
bisa memanfaatkan lebih dulu anggaran yang ada sehingga
mampu mengurangi jumlah pasien yang dirujuk ke rumah
sakit.
Misalnya, terang Untung, untuk membeli kebutuhan
obat dan alat agar fasilitas yang ada mumpuni menangani
pasien. Kementerian Kesehatan menilai, selama ini banyak
FKTP tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk
menangani pasien, sehingga membuat FKTP merujuk
pasien ke rumah sakit hingga menyebabkan lonjakan
rujukan yang tidak terkendali di rumah sakit.
Ia menilai, mempromosikan cara hidup sehat juga
perlu dilakukan sebagai bagian dari peningkatan fasilitas
sekaligus tindakan pencegahan. Misalnya, pelayanan
pemeriksaan kesehatan dini, agar penyakit berat dapat
diantisipasi sejak di FKTP. “Misalnya suruh periksa
kesehatan dini, kalau ada yang sakit kita perbaiki
kesehatannya supaya dia sembuh. Kalau misalnya dia darah
tinggi sesuai hasil pemeriksaan, kita kasih obat terus jangan
sampai putus obatnya. Nah itu bisa dilaksanakan di FKTP,”
jelas Untung.
Ia menambahkan, dana kapitasi juga digunakan untuk
meningkatkan jasa pelayanan kesehatan. Hal ini sudah
diatur porsinya berdasarkan profesi, pengalaman kerja, serta
beberapa kriteria lain. Dengan pemberian insentif yang
optimal di FKTP diharapkan dapat meningkatkan kinerja
pelayanan kesehatan masyarakat tanpa perlu mengantre di
rumah sakit.
Untuk mengantisipasi penyalahgunaan dana kapitasi,
Kementerian Kesehatan telah menugaskan Dinas
Kesehatan setempat untuk mengkoordinir dan mengawasi
seluruh FKTP agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan.
“Jangan sampai ribut lah di puskesmas, kadang-kadang
kan bagi-baginya yang tidak sesuai. Itu yang dijaga. Jadi
dalam menilai puskesmas itu apakah dia melaksanakan apa
yang diharapkan itu memang ada tim,” tuturnya.[]
keuangan negara | no. 006 vol. iii 201736
dok:istimewa
LIPUTAN KHUSUSL
37. keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 37
K
omisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menggelar
pertemuan dengan
Kementerian Kesehatan dan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan)
dalam rangka melakukan
pencegahan terhadap indikasi fraud
pada program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Dari pertemuan tersebut dihasilkan
kesepakatan untuk membuat Satuan
Tugas (Satgas) untuk mencegah
penyimpangan dalam sistem
Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Satgas ini juga berasal dari
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini
disampaikan Menteri Kesehatan
Nila Djuwita F Moeloek usai
bertemu Deputi Pencegahan KPK,
Pahala Nainggolan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/2).
“Tadi kami rapat karena Pak Pahala (Pahala
Nainggolan) adalah (Deputi) Pencegahan. Kita mencoba
membuat Satgas untuk membuat pendoman pencegahan
fraud di JKN. Kami baru bentuk satgasnya,” kata Nila.
Pahala menjelaskan, berdasar data 2015 untuk satu
semester terdapat sekitar 175.000 klaim kepada BPJS
dengan nilai mencapai Rp 400 miliar yang terdeteksi
terjadi kecurangan. Jumlah tersebut belum termasuk
adanya dugaan penyimpangan.
“Sekarang ada sekitar 1 juta klaim yang terdeteksi.
Oleh karena itu kita pikir secara sistematik kita harus
bangun sistem pengendalian fraud. Pencegahannya harus
jelas,” kata Pahala.
Untuk itu, Pahala menjelaskan, saat ini pihaknya
berupaya memperbaiki sistem klaim. Hal ini lantaran
penyimpangan yang terjadi dapat disebabkan sistem yang
belum jelas. “Penanganannya harus A, B, C tapi mereka
lakukan yang lain. Nah ini kita berusaha supaya sistem ini
jelas,” katanya.
Dikatakan, data klaim yang terdeteksi menyimpang
akan dianalisis oleh Inspektorat Kemkes.Tak hanya itu,
data ini juga akan diverifikasi ke lapangan. Hal ini untuk
mendalami penyebab tingginya angka klaim. “Pada 2017
Satgas akan bekerja perbaiki sistem, mengujicoba sehingga
Kemkes bisa deteksi dan verifikasi satuan intern BPJS
hasil data deteksi dari sistem. Paralel dengan itu verifikasi
di lapangan juga berjalan. Per transaksi jalan tapi Dirjen
Kemkes akan lakukan analisa besar kenapa di daerah ini
klaimnya seragam atau rumah saksi ini selalu minta cesar.
Ada pedoman akan bangun dan ada
mekanisme dan ini tindaklanjut
dari Kemkes dengan KPK
tahun lalu,” paparnya.
Dikatakan, untuk saat
ini, dengan sistem yang masih
diperbaiki, pihaknya hanya
memperingatkan rumah sakit
yang kedapatan mengajukan
klaim fiktif atau curang. Demikian juga jika
kedapatan anggaran yang tercantum dalam sistem klaim
INA-CBGs (Indonesia Base Groups) yang diterapkan saat
ini masih terlalu rendah, KPK meminta untuk diperbesar
agar tidak terjadi kecurangan kembali.
“Kalau memang curang benar mungkin tahun ini
masih diperingatkan diminta perbaiki sistem. Kalau ada
perbaikan sistem di kita misalnya INA-CBGs (
) kurang besar kita usulkan diperbesar agar
tidak terjadi kecurangan di lapangan,” katanya.
Namun Pahala mengingatkan, setelah sistem
diperbaiki, pihaknya meminta Kemkes sebagai regulator
maupun BPJS untuk menindak rumah sakit yang
mengajukan klaim fiktif. Dikatakan, KPK meminta agar
rumah sakit yang melakukan kecurangan untuk diberikan
sanksi berupa denda. “Kami usulkan gunakan perdata. Jadi
siapa yang sistemnya fraud kita minta ditambahkam klausul
misalnya ada denda. Rumah yang klaim sesuatu yang fiktif
kita minta didenda. Berikutnya, tentu saja pidana. Kita
minta kerjasama kejaksaan tapi di tahun 2018,” tegasnya.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama BPJS
Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, pihaknya terus
mendorong Litbang KPK di bawah Deputi Pencegahan
untuk terus memperbaiki sistem JKN dalam hubungannya
dengan indikasi atau potensi fraud ini.
“Concern KPK sangat baik. Kemarin bersama beberapa
pegawai BPJS Kesehatan, KPK mengikuti training course
di Amerika Serikat untuk memperkuat tim pencegahan
bersama,” kata Fahmi melalui sambungan telepon, Rabu
(22/2/2017).[prs]
KPK, Kementerian Kesehatan
dan BPJS Kesehatan
Sepakat Bentuk Satgas JKN
keuangan negara | no. 006 vol. iii 2017 37
38. keuangan negara | no. 006 vol. iii 201738
U
ndang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial memberikan landasan bahwa sistem jaminan sosial
nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Direktur
Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga Bayu Wahyudi
menekankan bahwa amanat yang terkandung di dalam UU No. 24 Tahun 2011
sudah jelas, di mana tujuan akhirnya adalah mewujudkan sumber daya manusia
Indonesia yang lebih baik dan mencapai kesejahteraan.
“Jadi asasnya manfaat, kemanusian, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.Tapi, di negara manapun belum yang bisa menanggung secara full
jaminan kesehatan. Itulah mengapa diperlukan gotong-royong,” jelas Bayu
kepada Majalah Keuangan Negara, di ruang kerjanya, Rabu (8/2/2017).
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kinerja BPJS Kesehatan dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, berikut petikan wawancara Majalah
Keuangan Negara dengan Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar
Lembaga, Bayu Wahyudi:
Bagaimana BPJS Kesehatan memainkan perannya sebagai
penyelenggara Sistem Jaminan Kesehatan Nasional?
Jadi BPJS adalah badan hukum publik yang bertanggungjawab pada
Presiden. Karena badan ini implementasi dari amanat Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang
BPJS. Ini adalah implementasi dari Undang-Undang Dasar yang memberi
amanat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Dr. dr. Bayu Wahyudi, SpOG., MPHM., MHKes., MM
Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga
BPJS Kesehatan
Pegang Teguh
Sembilan Prinsip
Kelembagaan
LIPUTAN KHUSUSL