Dokumen tersebut membahas tentang peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain perlunya merekonstruksi tujuan pendirian BUMD, transformasi manajemen BUMD agar lebih profesional, serta memanfaatkan peluang besar dari alokasi dana transfer ke daerah untuk mendukung peranan BUMD dalam pembangunan daerah. Dokumen ini juga menampilkan kasus-kasus keberhasilan BUM
3. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 3
T
ahun 2015 telah kita tinggalkan dan kini memasuki tahun baru
2016. pergantian tahun biasanya ditandai dengan instrospeksi diri,
mengingat-ingat apa yang telah dicapai dan membuat rencana yang
lebih baik di tahun berikutnya.
Dalam edisi Januari-Maret ini, Majalah Keuangan Negara menghadirkan
sajian yang menarik, berupa informasi dan kajian seputar pengelolaan
keuangan negara di Indonesia. Liputan utama menyajikan kajian tentang
eksistensi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dilihat dari berbagai perspektif.
Berbicara mengenai eksistensi BUMD, redaksi mencatat setidaknya
tiga hal yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, bagaimana dan
di mana BUMD dapat memainkan peran dalam pembangunan di daerah?
Berdasarkan dasar hukum pendirian Perusahaan Daerah dalam UU No. 5
Tahun 1962, peran BUMD pada intinya adalah melaksanakan kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan daerah; (b) pemupukan
dana bagi pembiayaan pembangunan daerah; (c) mendorong peran serta
masyarakat dalam bidang usaha; (d) memenuhi kebutuhan barang dan jasa
bagi kepentingan publik, dan (e) menjadi perintis kegiatan dan usaha yang
kurang diminati swasta.
Namun dewasa ini, banyak pihak yang mendefinisikan dan
memperlakukan BUMD hanya dilihat sebagai badan usaha untuk memupuk
keuntungan. Karena itu, perlu dirumuskan kembali cara pandang yang
komprehensif mengenai peran BUMD, yaitu sebagai cara bagi pemerintah
daerah untuk memberikan pelayanan publik dan pembangunan daerah
secara umum.
Kedua, mengenai manajemen BUMD. Mengacu pada ketentuan UU No
5 Tahun 1962, pada prinsipnya BUMD dapat dikatakan menganut “bisnis
birokrasi”di mana kebijakan pengembangan sangat ditentukan oleh Pemda
sebagai pihak yang mewakili daerah sebagai pemilik modal. Ketika UU
ini diimplementasikan, direksi dan mayoritas pegawai BUMD merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi Pemda, sehingga pengelolaan
BUMD dalam prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi
(bureaucracy-like operation).
Kencenderungan ini mengakibatkan manajemen BUMD kurang
memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha
guna mencapai tujuan organisasinya. Sebab, budaya birokrasi pemerintahan
ternyatajugaberbedadenganbudayaorganisasibisnis.Banyaknyaintervensi
birokrasi terhadap pengelolaan BUMD acapkali juga menimbulkan kesulitan
bagi manajemen BUMD dalam mengelola usahanya secara profesional.
Ketiga, di mana BUMD dapat memainkan peranan atau mengambil
positioningditengahpergeserankeuangannegaradariPusatkeDaerahyang
demikian besar? Di dalam APBN 2016, Pemerintah Pusat mengalokasikan
dana transfer daerah dan dana desa sebesar Rp770.2 triliun—di mana
sebesar 11,39% akan berputar di desa. Ditambah lagi dengan alokasi Kredit
Usaha Rakyat (KUR) tahun 2016 senilai Rp178 triliun, serta dana-dana lainnya
yang nilainya terus naik setiap tahun. Tentu ini adalah captive market BUMD
yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam kerangka pembangunan
daerah.
Merangkum ketiga pokok bahasan di atas, transformasi BUMD perlu
terus dijalankan, didorong, dan diakselerasi, agar BUMD dapat bergerak
lincah, luwes, dan profesional dalam menangkap dan memanfaatkan
peluang-peluang. Tak mudah memang, namun dengan dilandasi komitmen
dan kebersamaan segenap unsur pemerintah (stakeholder’s) niscaya BUMD
dapat diandalkan untuk mempercepat pembangunan daerah. Semoga.
Pembina: Achmad Djazuli, Krishna Hamzah, Jariyatna Pimpinan Redaksi: Prasetyo Sidang Redaksi: Achmad Djazuli, Krishna Hamzah, Jariyatna, Prasetyo, Megel
Jekson Redaktur Pelaksana: Megel Jekson Reporter: Aprilia Hariani, Ayu Andini, Abdulloh Hilmi Fotografer: Priatna Layout: Budi S. Pasoepati Marketing/Iklan:
Edi Purwanto Sirkulasi/Penjualan: Rojaul Huda Keuangan: Azmi Faiqoh Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan: Kantor Pusat Kajian Keuangan Negara Jl. Multikarya
II Nomor 2 Utan Kayu Matraman, Jakarta Timur Telepon: (021) 21381060 Fax: (021) 21381060 Person contact: 0813-4848-9334
Web: www.keuangan.co - www.keuangan.or.id E-mail: redaksi@keuangan.or.id, marketing@keuangan.or.id Twitter: @keuangannegara
FB: Majalah Keuangan Negara REKENING BANK Giro Bank Rakyat Indonesia KCP BPKP No Acc: 1148.01.000117.307 a/n Pusat Kajian Keuangan Negara
Redaksi menerima kontribusi tulisan yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
Editorial
4. keuangan negara | edisi januari-maret 20164
Kalau Bersih, Kenapa
Tidak Transparan?
Dilansir dari portal Kemendagri
bahwa masih terdapat 23 BUMD yang
belum transparan. Selain itu, menurut
data BPKP tahun 2014 menunjukan
bahwa jumlah BUMD yang nilai aset
mencapai 340 triliun. Namun, jumlah
laba yang dicatatkan hanya berkisar 10
triliun. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ROA sebesar 3% yang mana
jumlah tersebut sangat minim apabila
setoran laba BUMD ini diproyeksikan
untuk Pendapatan Asli Daerah.
Perusahaan-perusahaan di daerah
terutama remote area yang minim
transparansi disinyalir dapat dijadikan
sebagai sarana pencucian uang oleh
oknum-oknum pejabat pemerintahan.
Tipologi pencucian uang yang
melalui uang perusahaan dapat
berupa pencampuran dana, sehingga
seolah-olah dana tersebut berasal dari
proses yang halal. Ataupun pendirian
perusahaan boneka/fiktif.
Keterbukaan informasi di BUMD
merupakan langkah awal pencegahan
tindak pidana pencucian uang. Selain
juga dapat mempermudah instansi
pemerintah untuk melakukan audit,
penelusuran aset, monitoring maupun
pemeriksaan dugaan TPPU. Tentu
hal ini harus didukung oleh regulasi,
political will dari kepala daerah, serta
budaya dan SDM BUMD tersebut.
Sehingga ke depannya BUMD dapat
betul-betul menjadi motor penggerak
perekonomian daerah.
Agustin Takarini
Salah satu auditor di pemerintahan Indonesia.
Transparansi anggaran
di Indonesia
Kalau saya perhatikan, Indonesia
sebenarnya sudah cukup transparan
entah itu dalam APBN, APBD, dan
sebagainya, di mana kita dapat melihat
laporannya setiap tahun. Namun ada
dua hal yang menjadi permasalahan.
Pertama, kurang pedulinya masyarakat
dengan laporan keuangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Hal
ini dikarenakan memang perbedaan
status sosial masyarakat itu sendiri.
Kedua, jika dilihat dari beberapa
kasus, seharusnya semakin tinggi
tingkat transparansi anggaran maka
tingkat korupsi pun seharusnya
semakin minim. Namun yang
terjadi di Indonesia tingkat korupsi
masih tinggi. Hal ini yang menjadi
pertanyaan, apakah yang ditulis di
anggaran tersebut sudah benar dengan
apa yang terjadi sebenarnya?
Evia Zulfah
Mahasiswi UIN Jakarta. Konsentrasi
Ekonomi Pembangunan
Pengelolaan Keuangan
di Indonesia
Pengelolaan keuangan di
Indonesia secara institusi sudah
cukup baik. Jika dilakukan sesuai teori
yang ada akan lebih baik karena di
mana ada koreksi satu sama lain jika
ada pengajuan, pengelolannya juga
secara benar. Mungkin ada saja badan
atau lembaga atau oknum-oknum
tertentu yang tidak suka dengan
adanya transparansi. Tetapi sebagai
masyarakat seharusnya semua ikut
mendorong bersama-sama bahwa
transparansi anggaran itu penting
karena terdapat hajat hidup orang
banyak sehingga evaluasi publiknya
akan semakin baik. Akan tetapi balik
lagi, pada praktiknya masih banyak hal
hal yang berbau politik, dan bagi saya
pribadi masih cukup mengganggu
pengelolaan keuangan di Indonesia.
Lalu kaitan pengelolaan keuangan
dengan dana desa yang akhir akhir ini
menjadi fokus perhatian pemerintah di
indonesia, menurut saya sangat tepat.
Karena dari Nawacita Presiden Jokowi
pun ingin membangun Indonesia dari
pinggiran. Hal ini harus diapresiasi.
Karena pembangunan itu condongnya
ke perkotaan atau kota kota besar.
Ada hal baru di sini di mana Jokowi
ingin mengurangi ketimpangan
antara kota dan pedesaan. Dengan
adanya dana desa ini, diharapkan
bahwa masyarakat masyarakat desa
bisa terakselerasi inovasinya, bisa
terakselerasi infrastruktunya, dan
lain sebagainya. Jadi masyarakat desa
diberikan kesempatan yang sama
dengan masyarakat di kota untuk bisa
berkembang.
Tapi masih banyak catatan
terutama dengan sumber daya aparatur
negara yang ada di desa. Oleh sebab
itu rasanya titik berat capacity building
atau peningkatan kapasitas SDM
di desa menjadi titik krusial bahwa
dana desa akan berjalan dengan baik
dengan memberikan manfaat kepada
masyarakat desa atau malah menjadi
bencana sendiri kedepannya.
Muhammad Reza Hermanto
Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute
Partisipasi Publik Kunci
Akuntabilitas Dana Desa
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa) membawa harapan bagi
keberlangsungan pemerintahan desa
karena besarnya alokasi dana desa
yang diberikan. Besarnya kewenangan
pemerintahan desa melalui alokasi
dana desa, dapat menjadi “bumerang”
bagi pemerintahan desa. Seperti
fenomena korupsi di daerah, hingga
Kemendagri merilis ada 330 kepala
daerah yang tersangkut kasus korupsi,
atau sekitar 86,22 persen (Juli 2014).
Sebagai langkah pencegahan
korupsi di desa dan meningkatkan
akuntabilitas pemerintahan desa,
dibutuhkan pengawalan dari
masyarakat dalam bentuk partisipasi
dalam mengakses Informasi Publik
dalam pemerintahan desa.
UU Desa membuka lebar akses
masyarakat mendapatkan informasi
mengenai pemerintahan desa, seperti
disebut dalam Pasal 68 Ayat (1),
yakni: Meminta dan mendapatkan
informasi dari Pemerintah Desa serta
mengawasi kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
memperoleh pelayanan yang sama dan
adil;danmenyampaikanaspirasi,saran,
dan pendapat lisan atau tertulis secara
bertanggung jawab tentang kegiatan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
Zayanti Mandasari
Mahasiswa UII Yogyakarta
FEED BACK
6. LAPORAN UTAMA
8 Pengantar: Memedulikan Nasib BUMD
10 Di Mana Peran BUMD?
14 Pandai Menangkap Peluang: Captive
Market BUMD Begitu Besar
18 Rekonstruksi Tujuan Pendirian BUMD
26 BUMD Memerlukan Kepastian Hukum
30 Problema Transformasi BUMD
32 Wawancara Ketua Panitia Perancang
Undang-Undang DPD RI Muhammad
Adnan Hadikusumo: Perlu Kesamaan
Visi Membangun BUMD
34 Keluar Dari Zona Nyaman: Seharusnya
BPD Fokus ke Kredit Produktif
42 BPR Konsisten Melayani UMKM
44 Membenahi Sistem Penyediaan Air
Minum
SUCCES STORY
51 Kewajiban Pemimpin Menyejahterakan
Masyarakat
53 Tidak Akan Sengsara, Ketika
Mengorbankan Diri untuk Rakyat
55 Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti:
Membangun Partisipasi Masyarakat
59 Sekilas Kabupaten Tabanan
60 Wawancara Bupati Batang Yoyok Riyo
Sudibyo: Kunci Sukses Pelaksanaan
Transparansi Anggaran
65 Sekilas Kabupaten Batang
REGULASI
66 Bagaimana Penyelesaian Kontrak Yang
Tidak Terselesaikan Sampai Dengan
Tahun Anggaran?
ANGGARAN
70 Evaluasi Kebijakan Dana Insentif Dalam
Transfer Daerah
76 Wawancara Dirjen Anggaran
Kementerian Keuangan Askolani:
Belanja Pemerintah Dipercepat
78 Tahun 2016, Pemerintah Masih Fokus
Garap Infrastruktur
81 Peraturan Baru Ketentuan Dana Desa
INOVASI DAERAH
82 Kualitas Layanan Publik dan Inovasi
Daerah Ujung Tombak Keberhasilan
Pemerintahan dan Pembangunan
KINERJA
90 Komitmen Memperkuat UMKMK
93 Perluas Layanan UMKMK Jamkrindo
Buka 21 Kantor Cabang
94 DPR Sahkan UU Penjaminan
KOLOM
98 Fungsi Pengawasan Keuangan Negara
Sebagai Katalisator Tercapainya Tujuan
Memajukan Kesejahteraan Umum
RESENSI BUKU
102 Korupsi Di Indonesia: Keuangan
Negara, Birokrasi Dan Pengendalian
Intern
103 Membumikan Transparansi Dan
Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik:
Tantangan Berdemokrasi Ke Depan
PESONA INDONESIA
104 Eksotis Pulau Seribu Pura
106 Ulun Danu Beratan yang Menawan
107 Sunset di Tanah Lot
KILAS
110 Penyerapan Anggaran Dipercepat
110 Penyerapan Anggaran Daerah Masih
Rendah
110 BPK-KPK Samakan Persepsi tentang
Kerugian Negara
111 Dana Insentif Daerah Tahun 2016
Mencapai Rp5 Triliun
111 Penerimaan Pajak Sudah Maksimal
111 Penyaluran Kur Ditarget Rp100 Triliun
112 Sumbangan BUMN Minim
112 Hanya 15 Progam Inovasi yang Layak
Jadi Percontohan
112 Pemerintah Berencana Hapus Utang
PDAM Senilai Rp 3,2 Triliun
113 Pemerintah Tetapkan Aturan Konversi
Penyaluran Transfer Daerah ke SBN
113 Dana Desa 2016 Fokus Untuk
Infrastruktur
Perspektif
114 Akuntabilitas Keuangan Negara
daftar
isi
111
51 55 60
76
8. keuangan negara | edisi januari-maret 20168
K
eberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
sebagai lembaga bisnis yang dimiliki dan dikelola
Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki peran
strategis dalam pembangunan ekonomi daerah. Berdirinya
BUMD di suatu daerah diharapkan dapat memberikan
multiplier effect yang besar bagi perekonomian masyarakat.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah—yang dijadikan pijakan
hukum pertama dalam mendirikan BUMD—pada
hakikatnya BUMD didirikan sebagai kelengkapan
pemerintah dalam membangun perekonomian di
wilayahnya. Hal ini dikarenakan terbatasnya ruang gerak
Perangkat Daerah untuk mengemban semua misi, sebagai
contoh pemerintah tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha. Dengan alasan itu juga, BUMD didirikan
dengan 5 (lima) tujuan utama.
Pertama, memupuk keuntungan (profit oriented)
dengan maksud meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dari dividen yang disetorkan ke kas daerah. Dividen
yang diperoleh dari BUMD tersebut kemudian akan
menjadi pendapatan Pemda yang akan meningkatkan
kemampuan APBD dalam membiayai pembangunan
daerah.
Kedua, peningkatan pelayanan publik. Jika tujuannya
adalah peningkatan pelayanan, maka profit bukan menjadi
motif operasi perusahaan. Pendekatan penilaian kinerja
keuangannya dilakukan dengan melihat kemampuannya
dalam melakukan cost recovery dengan tingkat efisiensinya
serta kualitas pelayanannya.
Ketiga, pioneering atau perintis bisnis yang tidak
Memedulikan
Nasib
BUMD
Pengantar
Laporan
Utama
9. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 9
berani dimasuki swasta. Pemda
kadang-kadang harus mengambil
inisiatif untuk masuk ke suatu bisnis
yang memiliki risiko tinggi yang
mungkin tidak berani dimasuki
oleh swasta. Risiko ini harus diambil
alih oleh Pemda karena bisnis
atau industri tersebut sebenarnya
sangat strategis. Dengan demikian,
BUMD yang maksud pendiriannya
sebagai pioneering kemungkinan
bisa mengalami kerugian akibat
risiko bisnis sehingga Pemda harus
menyediakan dana penambahan
modal untuk menutupi kerugian yang
terjadi.
Keempat, prime mover ekonomi
daerah. BUMD yang diposisikan
sebagai prime mover ekonomi daerah
biasanya bergerak di industri hulu, di
mana hasil produksinya digunakan
oleh industri hilir. Dengan berdirinya
industri hulu maka diharapkan
akan menjadi lokomotif tumbuhnya
industri hilir, sehingga akselerasi
pertumbuhan ekonomi daerah
semakin cepat. Industri hulu biasanya
membutuhkan modal yang besar,
mesin yang canggih dan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi
tinggi.
Kelima, membantu golongan
ekonomi lemah. Dalam hal ini,
BUMD juga bisa ditugaskan untuk
membina pengusaha lemah dengan
maksud untuk pemerataan, edukasi
dan pengembangan usaha kecil dan
menengah (UMKMK) untuk bisa naik
kelas yang lebih tinggi.
Sama halnya dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), tujuan
pendirian BUMD juga melekat
tugasnya sebagai agent of development,
suatu posisi unik yang tidak dimiliki
oleh perusahaan swasta. Terkait ini
pula, tentunya BUMD memerlukan
suatu kententuan yang mengatur
(regulasi) yang jelas sehingga tata
kelolanya dapat berjalan secara
profesional.
Adapun payung hukum yang
menaungi tata kelola BUMD dapat
dirunut sejak pemberlakuan UU No.
5/1962 tentang Perusahaan Daerah,
kemudian setelah dinyatakan tidak
berlaku dan diganti UU No. 5/1974
dikelola secara profesional.
Kajian selanjutnya yang dibahas
yaitu tentang kepastian hukum
keberadaan BUMD seperti telah
disinggung sebelumnya. Kepastian
hukum berupa UU yang menaungi
BUMD diperlukan sebagai suatu
langkah untuk menjamin agar BUMD
mampu bergerak dengan luwes,
memiliki independensi, inovatif,
sekaligus dapat memposisikan diri
dalam mengambil peluang-peluang.
Tentu jika skema tersebut dapat
direalisasi, perlu dipertegas bahwa
BUMD tetap menjadi bagian dari
kekayaan daerah.
Redaksi juga melakukan
kajian tentang rekonstruksi tujuan
pendirian BUMD dalam konteks
penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pemahaman mengenai tujuan
pendirian BUMD ini dipandang
sangat penting karena menjadi
arah atau visi yang akan memandu
pengelolaan BUMD. Tentu kita
sepakat bahwa BUMD didirikan
sebagai alat untuk mempercepat
pembangunan daerah (agent of
development). Dalam kerangka
pemikiran ini, BUMD didirikan
bukan hanya untuk mencari
keuntungan (profit) semata, tetapi
juga menjadi jembatan untuk
mempercepat pembangunan daerah.
Selain ketiga hal di atas, dikaji
pula mengenai kinerja BUMD dalam
beberapa tahun terakhir, sebagai alat
analisis untuk melihat sejauhmana
kemampuan entitas ini dalam
mengelola usahanya. Secara umum,
kinerja BUMD dilihat dari aset,
kewajiban, laba-rugi, menunjukkan
kinerja yang baik, khususnya
BUMD yang bergerak di bidang jasa
keuangan (BPD, BPR). Sedangkan
BUMD jenis pelayanan seperti PDAM
masih dirundung berbagai persoalan,
misalnya tentang kerugian yang
dialaminya.
Pada akhirnya, upaya
memperbaiki tata kelola BUMD
sangat tergantung pada kepedulian,
kerjasama dan kesamaan visi para
stakeholder’s untuk menjadikan entitas
ini sebagai penggerak pembangunan
di daerah.[]
tentang Pokok Pokok Pemerintahan di
Daerah. Selanjutnya UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diubah dengan UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan terakhir UU No. 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Di sini dapat dicermati, pasca
dicabutnya UU No. 5/1962, maka
praktis BUMD belum memiliki UU
sendiri. Artinya, sejak tahun 1974
keberadaan BUMD hanya diatur
dalam pasal-pasal tersendiri di dalam
UU tentang Pemerintahan Daerah.
Banyak kalangan menilai langkah
“mencantolkan” BUMD di dalam
pasal tentang Pemerintahan Daerah
mengandung banyak kelemahan,
karena dalam praktiknya mesti
diatur lagi dalam berbagai peraturan
pemerintah. Hal ini tentunya
berbeda dengan entitas bisnis yang
menyerupai BUMD, yaitu BUMN
yang dipayungi UU sendiri yaitu UU
No. 19/2003.
Dalam kondisi demikian—setelah
lebih dari 40 tahun BUMD tidak
memiliki payung hukum sendiri—
beberapa kalangan telah mengusulkan
Rancangan Undang-Undang BUMD,
yang telah diperjuangkan sejak era
Pemerintahan Presiden Megawati.
Sayangnya, upaya mengegolkan
RUU menjadi UU ini sampai akhir
masa sidang DPR/MPR tahun 2015
belum juga menjadi kenyataan.
Diketahui RUU BUMD selalu masuk
dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) namun belum menjadi
prioritas para wakil rakyat di Senayan.
***
Dalam upaya memahami
eksistensi BUMD dewasa ini, Majalah
Keuangan Negara melakukan kajian
yang tertuang di dalam rubrik
Laporan Utama. Redaksi membahas
keberadaan BUMD dilihat dari
beberapa sudut pandang, misalnya
dari sisi tata kelola, entitas ini
sedang melakukan transformasi
untuk memperjelas ruang geraknya.
Dewasa ini dapat dicermati sedang
ada pergeseran paradigma dalam
mengelola BUMD, yaitu dari
paradigma “bisnis birokrasi” menjadi
entitas badan usaha yang harus
Laporan
Utama
10. keuangan negara | edisi januari-maret 201610
Laporan
Utama
DI MANA PERAN
BUMD?
Usia Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia tergolong
cukup tua, terhitung 53 tahun sejak diterbitkannya Undang-Undang
No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Selama kurun waktu
itu, eksistensi BUMD terlihat kurang gemilang.
N
apak tilas kelahiran BUMD di Indonesia, entitas ini
berdiri sejak Pemerintah Indonesia menasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tahun
1959. Pengaturan eksistensinya, kemudian diformalkan
dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang ini sekaligus
mengukuhkan Perusahaan Daerah sebagai wahana untuk
mempercepat produksi dan distribusi barang dan jasa,
termasuk memanfaatkan sumberdaya dan dana yang ada
di daerah, guna mempercepat pemenuhan kebutuhan
masyarakat karena pada tahun 1960-an kondisi kondisinya
serba langka.
Dalam konteks tersebut, keberadaan BUMD sejalan
dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar
11. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 11
Laporan
Utama
RI 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum, yang
selanjutnya diatur lebih rinci dalam Pasal 33 meyatakan:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pasal ini diatur dalam undang-undang.
Di dalam UU 5/1962 Pasal 5
dijelaskan Perusahaan Daerah adalah
suatu kesatuan produksi yang bersifat
memberi jasa, menyelenggarakan
kemanfaatan umum, memumpuk
pendapatan. Sedangkan tujuan dari
Perusahaan Daerah ialah untuk
turut serta dalam pembangunan
daerah khususnya dan pembangunan
ekonomi nasional umumnya dalam
rangka ekonomi terpimpin untuk
memenuhi kebutuhan rakyat dengan
mengutamakan industrialisasi dan
ketenteraman serta kesenangan kerja
dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan
makmur.
Dewasa ini, dalam era otonomi daerah, peran BUMD
dirasakan semakin penting sebagai perintis dalam
sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta.
Di samping itu, BUMD juga mempunyai peran strategis
sebagai pelaksana pelayanan publik (public service/public
utilities), penyeimbang kekuatan-kekuatan pasar, dan
turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi
(UMKMK). BUMD tertentu juga dapat berfungsi sebagai
salah satu penyumbang bagi penerimaan daerah baik dalam
bentuk pajak, dividen dan hasil privatisasi.
Era berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, BUMD tumbuh
dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal,
pertama, pengaruh euforia desentralisasi yang ada dalam
Undang-Undang tersebut, sehingga saat itu terasa menjadi
begitu mudah dalam pendirian BUMD, khususnya terkait
persyaratan dan proses pendiriannya. Kedua, dorongan
yang kuat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang bersumber dari hasil pengelolaan BUMD atau
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
KINERJA BUMD
Berdasarkan laporan hasil studi Biro Analisa Keuangan,
Kementerian Keuangan tahun 1997, pada masa sebelum
adanya otonomi daerah, perkembangan BUMD secara
kuantitatif tidak begitu pesat, yaitu pada awal Pelita I
sejumlah 122 buah, pada tahun 1996 hingga mencapai 651
buah. Menurut BPS, pada tahun 1996 terdapat sebanyak
611 buah BUMD. Tahun 2004, menurut Kementerian
Dalam tercatat ada 1.174 BUMD. Berdasarkan data dari
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, saat ini jumlah
BUMD terdiri dari 26 BPD, 286 BPR, 387 PDAM dan 16
Jamkrida serta 408 BUMD kelompok aneka usaha lainnya.
Berdasarkan penelusuran data yang
dilakukan tim riset Majalah Keuangan
Negara, statistik jumlah BUMD di
Indonesia dapat dikatakan variatif.
Misalnya, berdasarkan data Direktorat
Jenderal Bina Keuangan Daerah,
Kementerian Dalam Negeri, jumlah
BUMD pada tahun 2014 adalah 422
buah yang terdiri dari PT, PD, BUMD
dan Koperasi. Sementara berdasarkan
data Profil BUMD Tahun 2013 yang
dikeluarkan oleh Staf Ahli Bidang
BUMN, BUMD, dan Kekayaan Negara/
Daerah yang Dipisahkan Lainnya,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), total BUMD tahun
2013 berjumlah 861 buah. Berdasarkan pertimbangan
kelengkapan data, tim riset Majalah Keuangan Negara
menggunakan data Profil BUMD 2013 yang dapat
menggambarkan kinerja BUMD selama kurun waktu tahun
2012-2013.
Data yang ada menunjukkan jumlah BUMD tahun
2013 adalah sebanyak 1.307 BUMD, namun data profil yang
diperoleh sebanyak 861 atau 65,88%. Dari jumlah tersebut
diketahui terdapat 32 BUMD yang sudah lama tidak
beroperasi lagi, satu BUMD tidak beroperasi sejak tahun
2013 dan 2 BUMD tidak beroperasi sementara. Di antara
1.307 BUMD tersebut terdapat 225 BUMD yang sudah
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau 17,21%.
Dalam kajian ini, BUMD dikategorikan dalam empat
jenis sesuai jenis usahanya yaitu: Bank Pembangunan
Daerah (BPD), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),
Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pasar, Bank Kredit
Kecamatan dan lain-lain yang bergerak dalam bidang
perkreditan, serta Usaha Lainnya. Dalam perkembangannya
Era berlakunya
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan
Daerah, BUMD tumbuh
dengan cepat.
12. keuangan negara | edisi januari-maret 201612
Laporan
Utama
bisa saja pengkategorian BUMD
berdasarkan jenis usahanya akan
berubah. Jumlah masing-masing
jenis usaha tersebut sebanyak
26 BPD, 373 PDAM, 380 BPR/
BKK, dan 528 Usaha Lainnya.
Dari profil data yang diperoleh
yaitu 861 BUMD terdapat 26
BPD, 263 PDAM, 200 BPR/
BKK, dan 372 Usaha Lainnya.
Berdasarkan data
keuangannya, aset yang terbesar
dimiliki oleh BPD yaitu sebesar
Rp395.542.733.273.856,00
dan yang paling kecil
adalah PDAM yaitu sebesar
Rp13.074.989.356.798,60.
BPD memperoleh laba
paling besar yaitu sebesar
Rp9.780.978.296.223,95 dan tidak mengalami kerugian.
Kerugian paling besar dialami PDAM yaitu sebesar
Rp287.531.750.360,67. Kontribusi terbesar terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemda berasal dari
BPD yaitu sebesar Rp1.299.573.878.072,87 atau 74,62%
dari seluruh kontribusi yang diberikan BUMD. Dari
kontribusi yang diterima oleh Pemda, ada yang berasal
dari BUMD yang rugi yaitu berasal dari 21 BUMD dengan
nilai kontribusi sebesar Rp7.056.545.406,00. Penyertaan
Pemerintah yang diberikan paling besar diberikan kepada
BPD yaitu sebesar Rp12.286.510.198.209,10 dan yang
paling sedikit diberikan kepada BPR/BKK yaitu sebesar
Rp1.105.011.770,144,30. Untuk hutang BUMD yang jatuh
tempo tahun 2013 adalah sebesar Rp469.478.829.195,55
dari total hutang sebesar Rp479.290.233.679,77 dengan
74,45% merupakan hutang PDAM.
Sedangkan jumlah BUMD tahun 2013 di Indonesia
yang dapat diketahui dari 33 BPK RI Perwakilan sampai
dengan Desember 2014 adalah sebanyak 1.307. Jumlah ini
meningkat apabila dibandingkan dengan jumlah BUMD
tahun 2012 sebanyak 1.243. Data profil BUMD tahun 2013
yang dapat dikumpulkan juga meningkat yaitu dari 680
BUMD untuk tahun 2012 menjadi sebanyak 861 BUMD
atau 65,88%. Dari jumlah tersebut di atas diketahui bahwa
terdapat 32 BUMD yang sudah tidak beroperasi lagi,
namun beberapa masih melaporkan data keuangannya.
Dari BUMD yang melaporkan data keuangannya diketahui
total asset sebesar Rp39.153.920.960,44.
Adapun jenis usaha atau jasa dari 1.307 BUMD terdiri
dari 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD), 373 Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM), 380 Bank Pasar, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Kredit Kecamatan
(BKK), dan 528 usaha atau jasa lainnya, yang dapat
digambarkan pada diagram 1.
Sementara itu, data profil BUMD tahun 2012 yang
dapat diperoleh sebanyak 680 BUMD, sedangkan tahun
2013 sebanyak 861 BUMD atau naik 26,62%. Dari jenis
usahanya dapat dilihat pada tabel 1.
Indikator kinerja BUMD dilihat dari total aset, laba
rugi, kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dari masing-masing jenis usaha dapat disimak melalui data
di samping ini:
13. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 13
Laporan
Utama
Aset
Total aset dari 680 BUMD pada tahun 2012 sebesar
Rp212,3 triliun dan total aset dari 861 BUMD pada tahun
2013 sebesar Rp467,7 triliun yang terdiri dari:
Aset terbesar adalah aset BPD, yaitu sebesar
Rp157.977.955.946.658,00 atau 74,43% dari total aset
untuk tahun 2012 dan sebesar Rp395.542.733.273.856,00
atau 85,27% dari total aset untuk tahun 2013. Sedangkan
aset terkecil untuk tahun 2012 adalah BPR/ BKK yaitu
sebesar Rp13.505.880.633.027,80 atau 6,36%, sedangkan
untuk tahun 2013 adalah aset PDAM yaitu sebesar
Rp13.074.989.356.798,60 atau 2,80%. Total aset dari tahun
2012 ke 2013 mengalami kenaikan sebesar 120,32%.
Laba
BUMD yang mengalami keuntungan pada tahun
2012 dari data yang berhasil diperoleh adalah sebanyak
470 BUMD atau 69% dengan total laba sebesar
Rp5.851.712.544.916,44. Sedangkan untuk tahun 2013
adalah sebanyak 517 BUMD atau 60,05% dari data yang
ada dengan total laba sebesar Rp12.638.263.981.738,90.
Perolehan laba BUMD tersebut terinci dalam tabel 3 di
bawah ini:
Laba terbesar untuk tahun 2012 dan 2013 adalah laba
BPD, yaitu tahun 2012 sebesar Rp3.657.280.911.057,26 atau
62,50% dari total laba dan pada tahun 2013 naik 167,44%
yaitu sebesar Rp9.780.978.296.223,95 atau 77,39% dari total
laba. Laba terkecil tahun 2012 adalah laba dari PDAM,
yaitu sebesar Rp448.733.970.699,51 atau 7,67% dari total
laba yang ada. Sedangkan untuk tahun 2013 laba terkecil
adalah laba dari Bank Pasar/ BPR/ BKK, yaitu sebesar
Rp302.938.820.981,08 atau 2,40% dari total laba.
Kerugian BUMD
Pada tahun 2012, dari 680 BUMD sebanyak 178
BUMD atau 26% mengalami kerugian dengan total
kerugian adalah sebesar Rp315.991.546.142,39. Sedangkan
pada tahun 2013 yang mengalami kerugian sebanyak 278
BUMD dari 861 BUMD atau sebesar 32,29% dengan total
kerugian naik sebesar 55,47% dari tahun 2012 atau sebesar
Rp491.278.056.214,16. Rinciannya dapat dilihat pada tabel
berikut:
BUMD yang mengalami kerugian terbesar pada tahun
2012 adalah PDAM, yaitu sebesar Rp 169.705.193.757,32
atau 53,71% dari total kerugian seluruh data yang ada
dan naik 69,43% pada tahun 2013 menjadi sebesar
Rp287.531.750.360,67 atau 58,53% dari total kerugian yang
ada.
Kontribusi Terhadap PAD
BUMD diketahui memberikan kontribusi pada
penghasilan asli daerah (PAD). Pada tahun 2012, dari
680 BUMD terdapat 261 BUMD yang memberikan
kontribusi pada PAD, yaitu sebesar Rp1.010.881.074.725,17.
Sedangkan pada tahun 2013, dari 861 BUMD yang ada
terdapat 225 BUMD yang memberikan kontribusi pada
PAD, yaitu sebesar Rp1.741.632.731.259,27. Rincian
kontribusi BUMD terhadap PAD adalah sebagai berikut:
Dari data di atas diketahui bahwa kontribusi BPD dan
PDAM tahun 2012 dan 2013 naik masing-masing sebesar
161,48% dan 141,19%. Sedangkan BPR/ BKK dan Usaha
Lainnya mengalami penurunan masing-masing 55,95% dan
45,01% dari tahun 2012. Kontribusi terbesar yang diberikan
pada tahun 2012 dan 2013 adalah dari BPD, yaitu sebesar
Rp497.000.045.731,92 atau 49,17% pada tahun 2012 dan
Rp1.299.573.878.072,87 atau 74,62% pada tahun 2013.
Sedangkan kontribusi terkecil pada tahun 2012 adalah dari
PDAM, yaitu sebesar Rp91.985.000.140,55 atau 9,10% dan
pada tahun 2013 adalah dari Bank Pasar/ BPR/ BKK, yaitu
sebesar Rp47.514.801.800,68 atau 2,73%.[]
14. keuangan negara | edisi januari-maret 201614
Laporan
Utama
P
emerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memberi
perhatian serius terhadap pembangunan daerah dan
desa. Hal tersebut menjadi salah satu agenda utama
pemerintahan baru sebagaimana yang tercantum dalam
Nawa Cita ketiga: ”membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan”.
Seiring dengan visi tersebut, pemerintah terus
meningkatkan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan
Dana Desa, agar dapat mempercepat penguatan peran
daerah dalam penyediaan pelayanan publik dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Diketahui pada APBN 2016,
pemerintah mengalokasikan Rp770,2 triliun untuk dana
transfer ke daerah. Itu artinya, dana yang masuk ke daerah
akan mencapai 40.91% dari total APBN 2016 sebesar 1.882,5
triliun. Adapun rincian dana transfer daerah tahun 2016
sebagai berikut; dana perimbangan sebesar Rp700,4 triliun;
dana desa sebesar 47.0 triliun; dana insentif daerah sebesar
Rp5 triliun; dana otonomi khusus sebesar 17,2 triliun, serta
dana keistimewaan DIY sebesar Rp500 miliar.
Pandai Menangkap Peluang:
Captive Market BUMD Begitu Besar
Tim Pusat Kajian Keuangan Negara
Keseriusan pemerintah untuk memajukan daerah dan desa wajib didukung oleh segenap
stakeholder’s.BadanUsahaMilikDaerah(BUMD)sebagaialatpemerintahdaerahdiharapkan
dapat menangkap peluang-peluang di tengah perputaran uang di daerah yang sangat besar.
Sumber: Kementerian Keuangan
15. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 15
Laporan
Utama
Peningkatan jumlah dana transfer ke daerah patut
diapresiasi, sekaligus menjadi perhatian dari segenap
stakeholder’s dengan maksud agar dana-dana yang berputar
di daerah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
mendukung pembangunan daerah dan desa. Khusus dana
yang berputar di desa pada tahun 2016 ini jumlahnya sangat
besar. Selain dana desa yang dialokasikan dari APBN yang
berjumlah Rp47 triliun, juga ditambah dengan alokasi dana
desa (ADD) yang dialokasikan dari APBD di mana angkanya
mencapai Rp37,6 triliun, serta dana Bagi Hasil Pajak Daerah
Retribusi Daerah (BHPDRD) sejumlah Rp2,4 triliun. Jadi,
total dana yang akan masuk ke desa pada tahun 2016 adalah
sekitar Rp87,7 triliun.
Selain alokasi dana tersebut, pemerintah juga
mengalokasikan dana bagi masyarakat berupa penjaminan,
subsidi bunga, dan dana bergulir yang dialokasikan oleh
Kementerian/Lembaga, Badan layanan Umum (BLU) serta
dana yang bersumber dari bank, yang ditujukan khusus
untuk kegiatan penguatan modal usaha dan investasi bagi
usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK). Jadi,
perkiraan perputaran uang di daerah yang ditujukan sebagai
stimulus bagi penguatan ekonomi masyarakat jumlahnya
mencapai Rp257 triliun. Berikut rinciannya:
Pergeseran perputaran uang yang begitu besar yang
masuk ke daerah tentu menjadi potensi atau kekuatan
pasar (captive market) bagi BUMD. Entitas usaha yang
notabene berdiri di daerah-daerah dengan berbagai jenis
usaha ini patut menangkap dan memanfaatkan peluang-
peluang yang nampak di depan mata. Karena itu, di tengah
upaya transformasi yang terus dilakukan BUMD, ada
baiknya manajemen BUMD dapat melakukan terobosan-
terobosan atau bersinergi dengan Pemerintah Daerah
untuk memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomi bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kerangka pemikiran ini, Bank Pembangunan
Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik
Pemerintah Daerah merupakan dua jenis BUMD yang core
business-nya sejalan untuk memanfaatkan kredit program
yang besarannya sangat signifikan, mencapai Rp257 triliun.
Sementara itu, BUMD dengan jenis usaha lain seperti aneka
usaha juga dapat mengais peluang misalnya bekerjasama
dengan UMKMK dalam menyalurkan produk-produk
unggulan.
Sekadar sebagai gambaran, khusus untuk kredit yang
disalurkan oleh BPD untuk tahun 2014 mencapai Rp295
triliun dan per September 2015 sebesar Rp317 triliun. Dari
total kredit yang disalurkan tersebut, untuk tahun 2014 total
kredit yang disalurkan masih didominasi oleh jenis kredit
konsumsi yang mencapai Rp200 triliun, disusul jenis kredit
modal kerja Rp55 triliun, kredit investasi Rp28 triliun, kredit
sindikasi Rp10 triliun dan lain-lain sebesar Rp3 triliun.
Bagan 1. Perkiraan Dana Kredit Program Bagi Masyarakat
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
16. keuangan negara | edisi januari-maret 201616
Laporan
Utama
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa BPD lebih
banyak menyalurkan kredit konsumsi. Pada tahun 2012 dan
2013, penyaluran kredit konsumsi masing-masing sebesar
67,74 persen dan 65,86 persen dari total penyaluran kredit.
Sedangkan untuk tahun 2014 penyaluran kredit konsumsi
sebesar 67,28 persen dari total penyaluran kredit. Khusus
untuk kredit UMKMK, pada tahun 2014 hampir semua BPD
ditunjuk untuk menyalurkan kredit berupa KUR dengan
total mencapai Rp64,7 triliun atau 21,92 persen dari total
kredit.
Pelaku usaha UMKMK yang jumlahnya mencapai
59 juta dan tersebar di daerah-daerah adalah kekuatan
pasar BUMD, terkhusus BPD, untuk lebih agresif dalam
menyalurkan kreditnya, baik melalui skema Kredit Usaha
Rakyat (KUR) maupun kredit modal kerja. Pada tahun 2014,
sebanyak 26 BPD ditunjuk sebagai penyalur KUR bersama
tujuh bank umum lain oleh pemerintah. Data per September
2014 menunjukkan BPD telah menyalurkan KUR sebesar
Rp15,59 triliun dengan jumlah debitor 196.092 orang dan
rata-rata kredit per debitor sebesar Rp79,5 juta.
Problemnya, pangsa pasar empuk BPD dalam
penyaluran kredit kepada UMKMK saat ini juga menjadi
area kompetisi bank-bank umum lainnya. Hal ini terbukti
di tahun 2016 pemerintah berencana merekomendasikan
lembaga keuangan baik bank maupun non bank untuk ikut
menyalurkan KUR. Berdasarkan
data Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), saat ini penyalur KUR
ditunjuk pemerintah adalah BRI,
Mandiri, dan BNI. Selain itu,
ada 2 BPD kalimantan Barat dan
Nusa Tenggara Timur (NTT)
serta 2 bank swasta (Maybank
dan Sinarmas Bank) khusus untuk
penyalur KUR TKI. Kemudian
BPD yang dipertimbangkan antara lain Bank Nagari, Bank
Jateng, Bank Kalsel, Bank Aceh, Bank Kalteng, Bank Bali,
Bank Sumsel Babel, Bank Riau Kepri, Bank Jambi, Bank
NTB dan BPD DIY. Demikian juga penambahan perusahaan
penjaminan KUR diusulkan perusahaan penjaminan
kredit daerah dan perusahaan penjaminan syariah yang
memenuhi syarat yaitu Jamkrida Jateng, Jamkrida Riau,
Jamkrida Babel, Jamkrida Sumsel, dan Jamkrindo Syariah.
Belakangan terdengar kabar bahwa BCA juga sedang
mempertimbangkan ikut menyalurkan KUR serta lembaga
keuangan non bank lainnya seperti Adira Finance.
Fenomena ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi
BPD di tengah agresifnya penetrasi bank-bank dan lembaga
keuangan non bank di pasar UMKMK. Jika BPD masih
“nyaman” menyalurkan kredit multiguna yang bersifat
konsumtif ke pegawai negeri sipil (PNS) dan masyarakat,
dapat dipastikan kemampuan geraknya di sektor UMKMK
akan kalah lincah dibandingkan sejumlah bank umum
yang ekspansif melalui unit usahanya di bidang UMKMK.
Fenomena ini juga mewakili pertanyaan: di mana peran
BUMD di tengah persaingan yang begitu gencar untuk
memanfaatkan perputaran dana di daerah yang jumlahnya
sangat besar?[]
Total Penyaluran Kredit BPD Tahun 2012,2013, 2014 (dalam ribuan rupiah)
Sumber: Laporan Keuangan BPD (Diolah)
17. P
usat Kajian Keuangan Negara (Center for Public Finance Studies)
merupakan lembaga non profit yang berbentuk Non Government
Organization (NGO). Lembaga ini dibentuk sebagai organisasi
yang bergerak dalam bidang kontrol sosial untuk akuntabilitas dan
transparansi tata kelola keuangan negara di Indonesia.
Program-program yang dijalankan Pusat Kajian Keuangan Negara
antara lain Pendidikan dan Pelatihan, Kajian, Riset dan Penelitian,
Publikasi dan Penerbitan (Jurnal, Majalah, Buku), serta event (FGD,
Seminar,Workshop).Programdankegiatantersebutdilaksanakansecara
profesional, sesuai dengan prinsip dasar organisasi yaitu independensi
dannon-partisan,sehinggamenghasilkankarya,kajiandanrekomendasi-
rekomendasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan moral.
Dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir, Pusat Kajian Keuangan
Negara telah menyelenggarakan Program Pendidikan dan Pelatihan
antara lain: Pertama, Program Pelatihan Akuntansi Berbasis Akrual bagi
Pemerintah Pusat, yang dilaksanakan pada 21-22 November 2015.
Kedua, Program Training of Trainer (ToT) Akuntansi Berbasis Akrual bagi
Pemerintah Daerah, yang dilaksanakan pada 2-3 Januari 2016.
Program Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi Berbasis Akrual bagi
Pemerintah Pusat yang ditujukan untuk membantu entitas bersangkutan
dalam mengimplementasikan Standar Akuntansi Berbasis Akrual sesuai
dengan amanah Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah.
“Narasumber berasal dari tim Pusat Kajian Keuangan Negara.
Pelatihan ini kami tujukan untuk membantu agar para peserta memahami
secara teori maupun praktik dalam penerapan akuntansi berbasis akrual
maupun teknik penyusunannya,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Keuangan Negara, Prasetyo seusai acara.
Pelatihan yang berlangsung di Hotel Balairung, Jakarta, tersebut
diikuti oleh 34 peserta yang berasal dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) serta Badan Nasional Penanggulanan Bencana
(BNPB). Adapun narasumbernya antara lain Akademisi Achmad Jazuli,
yang memberikan pemaparan mengenai Akuntasi Berbasis Akrual di
Pemerintah Pusat dan StandarAkuntansi Pemerintahan BerbasisAkrual.
Sedangkan narasumber kedua dipandu oleh Jariyatna, auditor sektor
publik, dengan memaparkan Proses Bisnis SAIBA dan Sharring Session
Implementansi Akuntansi Berbasis Akrual.
Dalampelatihan,pesertatidakhanyadiberikanmaterisecarateoritis,
tetapi diberikan juga sebuah contoh studi kasus sehingga para peserta
dapat mengimplementasikan materi yang telah disampaikan. “Metode
pemberian materi lebih kepada sharring session. Cara ini sangat efektif
untuk mengetahui apa-apa yang diperlukan oleh peserta dan sekaligus
langsung diberikan solusi praktisnya,” tambah Prasetyo.
Berdasarkan kuisioner yang diberikan kepada peserta, banyak
yang menginginkan agar Pelatihan Akuntansi Berbasis Akrual dapat
diselenggarakan lagi untuk memperdalam pengetahuan tentang laporan
keuangan agar lebih baik.
Pusat Kajian Keuangan Negara:
PROGRAM PELATIHAN
AKUNTANSI BERBASIS
AKRUAL
Training of Trainer
K
apasitas sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci keberhasilan
implementasi penyusunan laporan keuangan berbasis akrual.
Dalam rangka mendukung peningkatan kualitas SDM Pemerintah
Daerah (Pemda) dalam menyusun laporan keuangan, Pusat Kajian
Keuangan Negara menyelenggarakan Program Traning of Trainer (ToT)
bagi sarjana akuntansi untuk kemudian diorientasikan mendampingi
Pemda dalam menyusun laporan keuangan. Program ini diikuti oleh 25
peserta yang merupakan sarjana akuntansi dari Jakarta dan Bogor.
“Training of Trainer berlangsung tanggal 2-3 Januari 2016 selain
sebagai transfer of knowlage, juga untuk menyiapkan tenaga-tenaga
pendamping bagi Pemda yang membutuhkan pendampingan,” jelas
Kepala Divisi Pelatihan Roja’ul Huda.
Manta Supriyatna, salah seorang peserta merasa bersyukur dapat
mengikuti Program ToT sebagai dasar untuk memahami pelaporan
keuangan Pemda dengan metode akuntansi berbasis akrual.
Menindaklanjuti Program ToT, Pusat Kajian Keuangan Negara
menindaklanjuti dengan menyelenggarakan pembekalan lebih lanjut
kepada para peserta yang dilaksanakan pada Minggu (10/1/2016).[]
18. keuangan negara | edisi januari-maret 201618
Laporan
Utama
Rekonstruksi Tujuan Pendirian BUMD
Dalam Konteks Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Tim Pusat Kajian Keuangan Negara
Permasalahan mendasar pengelolaan BUMD saat ini adalah adanya kecenderungan
penyederhanaan mengukur kinerja BUMD dan kurang memperhatikan tujuan utama
pendiriannya.
25. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 25
S
ebagai bentuk perwujudan dikeluarkannya
UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007,
salah satu hal yang harus dipenuhi oleh
sebuah Perseroan Terbatas adalah harus adanya
komitmen dan tanggung jawab perusahaan terhadap
lingkungan dan masyarakat sekitar atau yang biasa
dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility.
Guna mengimplementasikan hal tersebut maka
PT Bank NTT pun mengeluarkan kebijakan lewat Surat
Keputusan Direksi Nomor: 56 tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
PT. Bank NTT menyadari betapa pentingnya
peranan dan sumbangsih lingkungan dan
masyarakat Nusa Tenggara Timur terhadap kemajuan
Perusahaan oleh karena itu sebagai wujud timbal
balik maka PT Bank NTT turut memberikan kontribusi
bagi perkembangan lingkungan dan masyarakat
Nusa Tenggara Timur dalam bidang pendidikan, olah
raga, kesehatan, ekonomi, sosial dan pelestarian
lingkungan hidup dengan menyisihkan dana sebesar
2% dari total laba yang diperoleh dalam tiap Tahun
Buku.
Konsep Corporate Social Responsibility yang
dijalankan oleh PT Bank NTT dibagi dalam dua
kategori yaitu Planned Corporate Social Responsibility
berupa wujud tanggung jawab terhadap lingkungan
dan masyarakat yang sifatnya terencana di mana
PT Bank NTT menyusun sustainable program dalam
mengembangkan masyarakat dan lingkungan serta
Unplanned Corporate Social Responsibility yang
sifatnya incidental dalam mendukung program-
program yang sedang dijalankan oleh masyarakat di
wilayah Nusa Tenggara Timur.
Guna membedakan kegiatan Corporate Social
Responsibility dengan kegiatan Promosi Perusahaan
yang dijalankan maka PT. Bank NTT mendesain dan
menggunakan logo khusus dalam setiap pelaksanaan
program Corporate Social Responsibility yang memiliki
nilai filosofis tersendiri.
Gambar tangan pada logo Corporate Social
Responsibility PT. Bank NTT melambangkan keikhlasan
dan kemitraan dalam pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan di berbagai bidang. Warna biru
melambangkan Profesionalisme, Kesetiakawanan
dan Kekuatan yang penuh kasih dalam pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan
warna oranye merupakan warna yang memberikan
inspirasi sebagai lambang PT Bank NTT sebagai
salah satu pelopor pembangunan daerah tidak hanya
di bidang produk dan jasa keuangan namun juga
dalam pembangunan kapasitas sosial masyarakat
serta lingkungan di Nusa Tenggara Timur.
Semua ini dilakukan dengan satu semangat untuk
menjadikan masyarakat Propinsi Nusa Tenggara
Timur menjadi lebih baik dengan bersinergi bersama
masyarakat dan lingkungan.[]
CSR BANK NTT
BERSINERGI BERSAMA
MASYARAKAT & LINGKUNGAN
UNTUK NTT YANG LEBIH BAIK
Kegiatan Penyaluran CSR Bank NTT Kegiatan Penyaluran CSR Bank NTT
Kegiatan Penyaluran CSR Bank NTT
26. keuangan negara | edisi januari-maret 201626
Laporan
Utama
O
pini Ketua Umum Badan
Kerjasama BUMD Seluruh
Indonesia Arif Afandi (2013)
di sebuah media massa nasional
dengan judul “Anak Terlantar
Bernama BUMD” menguatkan
argumentasi kekurangpedulian
pemerintah terhadap pengelolaan
BUMD. Diketahui, sampai saat ini
BUMD belum memiliki undang-
undang sendiri untuk memberi
kepastian hukum bagi tata kelolanya.
Keberadaan BUMD pasca Undang-
Undang No. 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah praktis hanya
diatur dalam pasal dalam UU
Pemerintahan Daerah.
Sebagai entitas usaha,
potensi BUMD sesungguhnya
sangat menggiurkan, baik dalam
menyumbang Pendapatan Asli
Daerah (PAD) maupun dalam
penyelenggaraan kemanfaatan
bagi masyarakat. Sesuai dengan
maksud dan tujuannya, BUMD
memiliki peran dalam mewujudkan
kemakmuran daerah dengan
memberikan kontribusi terhadap
Penerimaan PAD baik dalam
bentuk dividen atau pajak. Secara
makro, peranan BUMD terhadap
perekonomian daerah dapat diukur
melalui kontribusi nilai tambahnya
(add value) terhadap Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB)
dan kemampuannya menyerap
tenaga kerja. Selain itu, jenis BUMD
tertentu juga berperan dalam
menyelenggarakan kemanfaatan
umum (public utilities) seperti
Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM).
Mari kita lihat trend
perkembangan BUMD. Berdasarkan
laporan hasil studi Biro Analisa
Keuangan, Kementerian Keuangan
tahun 1997—pada masa sebelum
adanya otonomi daerah—
perkembangan BUMD secara
kuantitatif tidak begitu pesat. Pada
awal Pelita I jumlah BUMD 122 buah,
kemudian pada tahun 1996 hingga
mencapai 651 buah. Menurut BPS,
pada tahun 1996 terdapat sebanyak
611 buah BUMD. Tahun 2004,
menurut Kementerian Dalam tercatat
ada 1.174 BUMD. Berdasarkan
data dari Direktorat Jenderal Bina
Keuangan Daerah, saat ini jumlah
BUMD adalah 26 BPD, 286 BPR,
Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) belum memiliki payung hukum sendiri yang dapat
menjamin gerak langkah bisnisnya.
BUMD
MEMERLUKAN
KEPASTIAN HUKUM
keuangan negara | edisi januari-maret 201626
27. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 27
Laporan
Utama
387 PDAM dan 16 Jamkrida serta
408 BUMD kelompok aneka usaha
lainnya.
Kemudian berdasarkan data
keuangannya, aset yang terbesar
dimiliki oleh Bank Pembangunan
Daerah (BPD) yaitu sebesar
Rp395.542.733.273.856,00 dan yang
paling kecil adalah PDAM yaitu
sebesar Rp13.074.989.356.798,60. BPD
memperoleh laba paling besar yaitu
sebesar Rp9.780.978.296.223,95 dan
tidak mengalami kerugian. Kerugian
paling besar dialami PDAM yaitu
sebesar Rp287.531.750.360,67.
Sedangkan kontribusi terbesar
terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Pemda berasal dari BPD yaitu
sebesar Rp1.299.573.878.072,87 atau
74,62% dari seluruh kontribusi yang
diberikan BUMD. Dari kontribusi
yang diterima oleh Pemda, ada
yang berasal dari BUMD yang
rugi yaitu berasal dari 21 BUMD
dengan nilai kontribusi sebesar
Rp7.056.545.406,00. Penyertaan
Pemerintah yang diberikan paling
besar diberikan kepada BPD yaitu
sebesar Rp12.286.510.198.209,10
dan yang paling sedikit diberikan
kepada BPR/BKK yaitu sebesar
Rp1.105.011.770,144,30. Untuk
hutang BUMD yang jatuh tempo
tahun 2013 adalah sebesar
Rp469.478.829.195,55 dari total
hutang sebesar Rp479.290.233.679,77
dengan 74,45% merupakan hutang
PDAM.
Dewasa ini, dalam perkembangan
dunia usaha, BUMD dihadapkan
tantangan yang berat. Sebagai wujud
nyata dari investasi daerah, BUMD
mau tidak mau akan menghadapi
persaingan yang semakin tinggi
dengan masuknya pasar global.
Pilihannya adalah apakah BUMD
tersebut harus tetap dengan
kondisinya saat ini atau mengikuti
persaingan itu dengan melakukan
perubahan pada visi, misi, dan strategi
bisnisnya.
Pada saat bersamaan, BUMD
juga dihadapkan pada permasalahan
yang mendasar yaitu adanya
kecenderungan penyederhanaan
mengukur kinerja BUMD dan
kurang memperhatikan tujuan utama
pendirian BUMD. Penyederhanaan
dalam mengukur kinerja BUMD
dimaksud adalah sebatas mengukur
besaran laba/keuntuangan dan/atau
dividen yang diterima Pemerintah
Daerah yang selanjutnya akan menjadi
sumber PAD. Banyak media massa,
pejabat pemerintah pusat, ataupun
masyarakat, seringkali menilai kinerja
BUMD dengan memberikan tekanan
dan sorotan sebatas kontribusi BUMD
dalam memberikan PAD semata,
tidak menyampaikan bagaimana
kontribusi BUMD dalam mendukung
perekonomian daerah dan
kemanfaatan umum atau pelayanan
publik. Permasalahan lain yang tak
kalah penting misalnya soal regulasi,
mekanisme pemilihan komisaris,
pemilihan direksi, dan tanggung
jawab bagaimana memasukkan saham
dan mengeluarkan saham karena
milik Pemerintah.
Berpijak pada potensi dan
permasalahan yang dialami dalam
pengelolaan BUMD, banyak kalangan
mendorong adanya payung hukum
sendiri berupa undang-undang
yang dapat menjamin kepastian
hukum, sehingga gerak bisnis BUMD
lebih luwes dan lincah. Namun
hingga kini, RUU BUMD yang
sudah dirintis sejak pemerintahan
Megawati Soekarnoputri belum
terlihat hasilnya. Bahkan, sejak 2006,
RUU BUMD sudah pernah masuk
Program Legislasi Nasional, tapi
beberapa tahun terakhir hilang dari
daftar. Terakhir, Kementerian Dalam
Negeri berinisitif mencantolkan
payung hukum BUMD ini dalam
pasal 304 Undang-Undang Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut banyak kalangan, cara ini
mengandung kelemahan karena hanya
menjadi pasal dan nanti harus diatur
lagi dengan peraturan pemerintah.
Upaya membangun BUMD
sebagai lokomotif kemajuan daerah
pada akhirnya sangat dipengaruhi
oleh keseriusan para pemangku
kepentingan (stakeholder’s) baik di
tingkat pemerintah pusat, pemerintah
daerah, maupun pengelola BUMD
itu sendiri. Dalam usianya yang
telah lebih dari setengah abad, sudah
selayaknya BUMD memiliki induk
peraturan sendiri sebagai pemandu
gerak langkahnya menjadi entitas
usaha yang mandiri dan kompetitif
tanpa meninggalkan identitasnya.
MENDORONG UU BUMD
Sebagai badan usaha, sampai
sekarang BUMD belum mempunyai
payung hukum sendiri. Hingga kini,
RUU BUMD yang sudah dirintis
sejak pemerintahan Megawati
Soekarnoputri belum terlihat hasilnya.
Bahkan, sejak 2006, RUU BUMD
sudah pernah masuk Program
Legislasi Nasional, tapi beberapa
tahun terakhir hilang dari daftar.
Terakhir, Kementerian Dalam Negeri
berinisitif mencantolkan payung
hukum BUMD ini dalam salah
satu pasal revisi UU Pemerintah
Daerah. Hanya, cara ini mengandung
kelemahan karena hanya menjadi
pasal dan nanti harus diatur lagi
dengan peraturan pemerintah. Jadi,
tidak setingkat undang-undang.
Sejumlah daerah menyiasati
persoalan payung hukum ini
dengan menjadikan BUMD sebagai
perseroan terbatas. Caranya, dengan
menjadikan aset perusahaan daerah
sebagai setoran modal PT BUMD
lewat inbreng. Dengan demikian,
aset BUMD menjadi aset yang sudah
dipisahkan dari aset pemerintah
daerah. Ketika sudah menjadi PT,
secara hukum BUMD mengikuti UU
Perseroan Terbatas. Cara ini lebih
memberi kepastian hukum kepada
pengelola BUMD serta menjadikan
gerak bisnis BUMD lebih luwes dan
lincah. Birokratisasi pengambilan
keputusan bisnis bisa diminimalkan.
Persoalannya, masih banyak
kepala daerah yang enggan
menjadikan BUMD berbadan hukum
perseroan terbatas. Alasannya, BUMD
dikhawatirkan tidak bisa menjalankan
keuangan negara | edisi januari-maret 2016 27
28. keuangan negara | edisi januari-maret 201628
Laporan
Utama
fungsi public services karena harus
dikelola dengan pendekatan bisnis
murni. Padahal paham seperti ini
tidak benar. Meski BUMD berbentuk
perseoran, pemerintah daerah sebagai
pemilik saham bisa menitipkan
kebijakan tersebut dalam setiap rapat
umum pemegang saham, yang harus
berlangsung setiap tahun.
Sekretaris Jenderal Badan
Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia
Ahmad Syauqi mengatakan
pentingnya BUMD dipayungi
oleh undang-undang sendiri. Ia
mencontohkan, pembinaan
BUMD yang jumlahnya
besar dan total
asetnya ratusan
triliun rupiah,
masih terkesan
setengah hati.
“Di Kementerian
Dalam Negeri,
BUMD hanya
diurusi pejabat
setingkat kepala
subdirektorat.
Bandingkan dengan
BUMN, yang dibina
kementerian sendiri, yakni
Menteri BUMN. Dengan dibina
pejabat setingkat kepala subdirektorat
di Kementerian Dalam Negeri,
maka BUMD lebih dilihat sebagai
urusan pemerintahan, bukan sebagai
lembaga bisnis,” kata Syauqi kepada
Majalah Keuangan Negara di Jakarta
(12/11/2015).
Permasalahan ini sering menjadi
kendala berkembangnya BUMD
sebagai entitas bisnis. Apalagi, tidak
jarang juga pejabat yang bertugas
membina BUMD di daerah kurang
memahami bisnis. Melalui UU
BUMD, Syauqi berharap tata kelola
BUMD ke depan lebih baik dan lebih
jelas. Untuk BUMD yang berorientasi
profit dinamakan Perseroda, dan
keuntungan dikembalikan ke kas
daerah untuk meningkatkan PAD.
Sedangkan BUMD yang melayani
dinamakan Perumda, misalnya saja
PDAM uangnya yang berlebih bisa
untuk diinvestasikan dan membuat
teknologi baru untuk dialokasikan ke
pelosok-pelosok daerah.
“Inilah tantangan terbesar BUMD
yaitu menempatkan kembali tata
kelola BUMD sebagai lembaga usaha
yang harus memberikan manfaat
bagi daerah. Manfaat finance dari
Perseroda, manfaat service bagi
masyarakat melalui Perumda,” tambah
Syauqi.
Senada dengan itu, Ketua Panitia
Perancang Undang-Undang DPD
RI, Muhamad Adnan Hadikusumo
mengeluhkan dalam usianya yang
lebih dari 50 tahun kondisi
BUMD masih sangat
memprihatinkan.
“Hal ini tidak
terlepas dari
lemahnya
landasan
hukum yang
digunakan oleh
BUMD dalam
beroperasi selama
ini,” tukas Adnan
kepada Majalah
Keuangan
Negara
2 Desember
2015 silam.
Adnan
menjelaskan,
pasca UU
No. 5 tahun
1962 tentang
Perusahaan
Daerah
dinyatakan
tidak berlaku
dengan
diberlakukannya
UU No. 6 tahun 1969
tentang Pernyataan Tidak
Berlakunya berbagai UU dan PERPU,
sampai saat ini belum ada UU
Pengganti.
“Saat ini, landasan yang dipakai
oleh BUMD adalah Perusahaan
Daerah yang berbentuk Perseroan
dengan mengacu dan tunduk
kepada Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Peraturan Daerah yang
dijadikan rujukan pengelolaan secara
Bussines Life Corporation. Sedangkan
Perusahaan Daerah yang tidak
berbentuk perseroan terbatas merujuk
pada Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah setempat,” tambah
Adnan.
Selain masalah regulasi, masalah
pembinaan BUMD juga tidak jelas,
karena sesuai dengan UU maka
BUMD dibina oleh Kementerian
Dalam Negeri yang orientasinya
lebih kepada pelayanan. Padahal dari
segi rumpun kegiatannya BUMD
lebih dekat dengan BUMN yang
profit oriented, dan dibina oleh
Kementerian BUMN. “Disorientasi
inilah yang menyebabkan pengelolaan
BUMD menjadi kurang optimal dari
sisi bisnis,” tegas Adnan.
Untuk memperjelas tugas, arah,
tujuan dan pengelolaan BUMD,
banyak pihak mendorong agar RUU
BUMD dapat disahkan menjadi
undang-undang. Pada tahun 2012
dan 2013 Kementerian Dalam Negeri
telah mengajukan draf RUU
BUMD kepada DPR RI.
Walaupun telah masuk
ke dalam Program
Legislasi Nasional,
namun Sidang
Paripurna DPR
RI belum
mengesahkan
menjadi
undang-
undang.
Kemudian pada
tahun 2015, DPD
RI berinisiatif
mengusulkan kembali
RUU BUMD dan
masuk ke dalam Prolegnas
2015. Sayangnya, pada akhir masa
sidang DPR RI juga belum mengetuk
palu RUU BUMD menjadi undang-
undang. Diperlukan perjuangan
panjang untuk mengkomunikasikan
kembali kepada semua stakeholder’s
mengenai pentingnya memedulikan
BUMD, termasuk rencana strategis
penyusunan UU BUMD di tahun
2016 ini.[]
keuangan negara | edisi januari-maret 201628
29. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 29keuangan negara | edisi januari-maret 2016 29
MENGEDEPANKAN
PELAYANAN
Budi Setyarso
Direktur Utama PT Jasa Raharja
------------------------------------------------------------------------- vvv ------------------------------------------------------------------------
M
engemban amanah UU 33 dan 34 tahun 1964 tentang Asuransi Kecelakaan Penumpang Umum dan
Lalu Lintas Jalan, di mata kami bukanlah persoalan yang sepele. Sekilas memang cuma dua tugas
besar kami, yakni memberikan santunan kepada mereka yang mengalami musibah kecelakaan saat
menumpang angkutan umum dan mereka yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan.
Namun nyatanya, tidak sesederhana itu. Kami sadar bahwa mengemban amanah UU yang melandasi
Jasa Raharja secara substansi adalah“pelayanan”. Bagaimana kami memberikan pelayanan kepada masyarakat
Indonesia yang tengah berduka mengalami musibah kecelakaan, bukan sekadar memberikan santunan yang
sifatnya material. Maka dari tahun ke tahun, membenahi diri adalah bagian yang menjadi fokus utama Jasa
Raharja. Ya, berbenah agar pelayanan kepada masyarakat terus berkembang ke arah yang positif, dan tentu
saja memuaskan.
Untuk tetap berada pada jalur tersebut, sudah menjadi
semangat kami pula untuk terus melakukan inovasi dalam
memberikan pelayanan. Dari waktu ke waktu, pola pelayanan,
pendekatan, dan beragam kerja sama dengan mitra kerja terus
dilakukan. Apalagi jika dikaitkan dengan luas wilayah Indonesia
dengan aneka suku bangsa yang begitu beragam, dari Sabang
sampai Merauke, yang menuntut kami harus cerdas dalam
melayani. Maka, sejak beberapa tahun terakhir, sebagai sebuah
standar umum, dalam pelayanan kami mengedepankan prinsip
Proaktif, Ramah, Ikhlas, Mudah, dan Empati (PRIME). Prinsip inilah
yang melandasi kami dalam memberikan pelayanan. Tentu saja
ragam aplikasi di lapangan menuntut kreativitas dan semangat
yang tinggi untuk merealisasikannya. Tak mudah memang,
namun dengan niat tulus melayani, ditambah dengan dukungan
teknologiinformasiyangkamikembangkan,berbagaitantangan
di lapangan bisa dihadapi.
Pendekatan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) juga menjadi fokus yang dilakukan Jasa
Raharja untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada
tahun 2015, pemanfaatan TIK terus kami tingkatkan dengan
meluncurkan enam program kerja sebagai bentuk komitmen
berinovasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
Keenam program tersebut adalah contact center dengan nomor
1500020; host to host Data Korban kecelakaan Lalu Lintas antara
Jasa Raharja dan Rumah Sakit; host to host Data Kependudukan
antara Jasa Raharja dan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Program
IWKBU Online Nasional; dashboard manajemen untuk BOD-
kepala divisi-kepala cabang; dan hosttohostJasa Raharja dengan
BRI untuk percepatan pembayaran santunan.
Beragam inovasi pelayanan tersebut tentu saja tidak akan
berhenti sampai di sini. Karena sejak awal didirikan, Jasa Raharja
dituntut mengembangkan kultur memberikan pelayanan
berkualitas, kultur yang terus terjaga dari generasi ke generasi
hingga perusahaan ini menginjak usia ke-54 tahun.
Sebagai upaya mengembangkan pelayanan, Jasa Raharja
juga membuka diri atas berbagai masukan dari berbagai
masyarakat. Dengan berbagai masukan dan bahkan kritik, tentu
saja akan membuat pelayanan Jasa Raharja lebih berkualitas.[]
30. keuangan negara | edisi januari-maret 201630
Laporan
Utama
B
erdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962, pada prinsipnya BUMD dapat dikatakan
menganut “bisnis birokrasi” di mana kebijakan
pengembangan sangat ditentukan oleh Pemerintah Daerah
sebagai pihak yang mewakili daerah sebagai pemilik modal
BUMD. Ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
diimplementasikan, Direksi dan mayoritas pegawai BUMD
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi
Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan BUMD dalam
prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi
(bureaucracy-like operation).
Akibatnya, dalam banyak kasus, manajemen
BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas
untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan
organisasinya. Kajian lebih mendalam menunjukkan bahwa
budaya birokrasi pemerintahan ternyata juga berbeda
dengan budaya organisasi bisnis. Banyaknya intervensi
birokrasi terhadap pengelolaan BUMD acapkali juga
menimbulkan kesulitan bagi manajemen BUMD dalam
mengelola usahanya secara profesional.
Kondisi yang demikian itu telah menjadikan
manajemennya tidak peka dan tidak responsif terhadap
perubahan lingkungan dunia usaha, tidak termotivasi
mengembangkan perusahaan, dan selalu berlindung
kepada monopoli dan proteksi yang diberikan Pemerintah.
Kondisi pengelolaan ini sangat berbeda dengan badan-
Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang berbasis ‘budaya
bisnis’, yang perilakunya sangat responsif dan kompetitif
dan termotivasi untuk berjaya, di antaranya dikarenakan
adanya investor swasta atas perusahaan.
Menurut Syauqi, para pengurus BUMD mulai
menyadari bahwa BUMD itu badan usaha, dan harus
dikelola sebagaimana seharusnya. Berbeda dengan masa-
masa sebelumnya, para pengelola BUMD kerap mengaitkan
tata kelola entitas ini dengan kebiasaan-kebiasaan di
birokrasi. “Seakan-akan organisasi ini adalah kepanjangan
tangan Pemda yang kemudian sistem organisasi
kelembagaan otoritas sama. Padahal ini lebih ke badan
usaha, lebih ke koorporasi,” jelasnya.
Dalam lima tahun terakhir, peta perkembangan BUMD
yang baik ialah BUMD dengan jenis usaha bank. Ini
dikarenakan regulasinya lebih jelas dan detail karena adanya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
“Kalau BUMD jenis lain tidak bisa begitu saja diukur karena
satu sama lain bisnisnya berbeda,” tukas Syauqi.
Dalam hal lain, Syauqi menyoroti masalah tata kelola
BUMD, di mana masih banyak berbagai keluhan yang
terjadi mulai dari mekanisme pemilihan komisaris dan
pemilihan direksi. Hal lainnya adalah problem transformasi
BUMD. Syauqi membayangkan ke depan walaupun
ownership BUMD ialah Menteri dalam negeri namun untuk
pembinaannya dibina sekalian dengan BUMN.
“Di samping itu memang mindset-nya sama yaitu
membangun sinergi mengelola aset bangsa. Ini harus
dikelola oleh oleh bangsa sendiri, tidak misalnya BUMN
dengan perusahaan asing, BUMD dengan perusahaan
asing,” tambahnya. Namun demikian, ini bukan pekerjaan
yang mudah. Untuk merealisasi keinginan tersebut, sudah
barang tentu diperlukan kekuatan yang lebih besar untuk
mempertemukan ide tersebut.
Ke depan, BUMD diharapkan agar lebih baik dan lebih
jelas. Usulan dari Badan Kerjasama BUMD Se-Indonesia
misalnya untuk BUMD yang berorientasi profit dinamakan
Perseroda, dan keuntungan dikembalikan ke kas daerah
untuk meningkatkan PAD. Kemudian BUMD yang
melayani (public service) dinamakan Perumda.
“Misalnya saja PDAM uangnya yang berlebih bisa
untuk diinvestasikan dan membuat teknologi baru untuk
dialokasikan ke pelosok-pelosok daerah,” kata Syauqi
mencontohkan. Dengan skema ini, sehingga jelas mana
yang profit dan yang melayani. Inilah tantangan terbesar
BUMD yaitu menempatkan kembali tata kelola BUMD
sebagai lembaga usaha yang harus memberikan manfaat
bagi daerah, yaitu manfaat keuntungan dan pelayanan.
TATA ULANG
Berpijak dari beberapa kajian menunjukkan bahwa
BUMD yang ada pada saat ini pada umumnya memiliki
REPOSISI TATA KELOLA
BUMD
31. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 31
orientasi tujuan ganda yaitu public-service oriented, yaitu
dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum
dan profit oriented untuk memupuk pendapatan guna
disetor sebagai PAD. Jika dikaji secara mendalam dengan
menggunakan pijakan teori yang ada, terutama prinsip-
prinsip organisasi dan korporasi, ternyata bahwa public-
mission dan profit mission sesungguhnya merupakan dua
sisi yang kontradiktif dan sulit disatukan.
Dalam hal ini akan terjadi semacam trade-off, dengan
pengertian bahwa kemanfaatan umum akan dikorbankan
jika laba yang diutamakan; dan sebaliknya target laba
akan dikorbankan jika kualitas pelayanan publik yang
diprioritaskan. Oleh karena itu BUMD perlu didesain
sedemikian rupa sehingga di satu sisi BUMD tertentu
bertugas melaksanakan public mission dengan menyediakan
pelayanan yang berkualitas baik dan terjangkau masyarakat,
dan di sisi lain bagi bidang-bidang yang komersial.
Akibatnya, kinerja BUMD secara keseluruhan sangat
jauh tertinggal dibandingkan dengan BUMS. Pada tahun
2005 tercatat 20 besar BUMS (konglomerasi) di Indonesia
memiliki total aset senilai lebih dari Rp.1000 triliun,
melampaui total nilai aset keseluruhan BUMN pada tahun
yang sama, sementara total aset keseluruhan BUMD
hanya sebesar Rp13,5 triliun dan hampir semuanya terdiri
dari kekayaan daearah yang diinvestasikan pada BUMD
tersebut, bahkan bila tidak diperhitungkan depresiasinya,
nilainya bahkan lebih besar dari nilai kekayaan total BUMD
tersebut. Ini berarti, kontribusi laba BUMD dapat dikatakan
tidak ada dan BUMD telah melakukan apa yang dinamakan
‘asset value destruction’.
Setelah berlakunya Undang-undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan pengenalan konsep
‘penyelenggaraan perusahaan yang baik’ (good corporate
governance) telah terjadi perubahan kinerja yang signifikan
pada BUMD, khususnya yang bergerak di bidang usaha
perbankan.
Namun, kinerja itu terdongkrak oleh kebijakan
penempatan dana-dana Pemerintah Daerah pada bank-
bank BUMD miliknya, bukan dikarenakan kapasitasnya
memenangkan persaingan. Dalam kondisi yang demikian
itu, BUMD-bank akan menghadapi persaingan yang
makin tajam baik dari bank BUMN maupun bank BUMS,
utamanya bank-bank asing yang sesuai kebijakan Bank
Indonesia, diberikan kesempatan melakukan operasinya
sampai tingkat kabupaten dan kota.
Kondisi internal pengurusan BUMD dan perubahan
kondisi lingkungan sosial ekonomi, termasuk lingkungan
dunia usaha yang melingkupinya, telah mendorong
Pemerintah Daerah selaku pemilik BUMD untuk meninjau
kembali dan menata ulang pola pengelolaan BUMD secara
keseluruhan, agar di masa depan badan-badan usaha
tersebut bisa efektif menjadi sumber pendapatan potensial
bagi daerah.[]
Laporan
Utama
Majalah Keuangan Negara menemui Sekretaris
Jenderal Badan Kerjasama BUMD Se-Indonesia
Ahmad Syauqi untuk mencari keterangan lebih
mendalam mengenai kondisi, potensi, dan tata
kelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dewasa ini.
foto:Priyatna
32. keuangan negara | edisi januari-maret 201632
Laporan
Utama
Bagaimana cerita atau latar belakang disusunnya RUU
BUMD?
Dalam usianya yang lebih dari 50 tahun kondisi
BUMD masih sangat memprihatinkan. Hal ini tidak terlepas
dari lemahnya landasan hukum yang digunakan oleh BUMD
dalam beroperasi selama ini. UU No. 5 tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah dinyatakan tidak berlaku dengan
diberlakukannya UU No. 6 tahun 1969 tentang Pernyataan
Tidak Berlakunya berbagai UU dan PERPU, dan sampai saat
ini belum ada UU Pengganti. Saat ini, landasan yang dipakai
oleh BUMD adalah Perusahaan Daerah yang berbentuk
Perseroan dengan mengacu dan tunduk kepada Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan Peraturan Daerah yang dijadikan rujukan pengelolaan
secara Bussines Life Corporation. Sedangkan Perusahaan
Daerah yang tidak berbentuk perseroan terbatas merujuk
pada Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
setempat.
Selain masalah regulasi, masalah pembinaan BUMD juga
tidak jelas, karena sesuai dengan UU maka BUMD dibina
oleh Kementerian Dalam Negeri yang orientasinya lebih
kepada pelayanan. Padahal dari segi rumpun kegiatannya
Wawancara
Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI
Muhammad Adnan Hadikusumo
Perlu
Kesamaan Visi
Membangun
Bumd
D
ewan Perwakilan Daerah (DPD RI) merasa prihatin dengan kondisi
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di banyak tempat yang
kondisinya memprihatinkan. “Hidup segan, mati tak mau,” ujar
Muhammad Adnan Hadikusumo, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang
DPD RI. Menurutnya, BUMD yang seharusnya memberikan pemasukan
bagi daerah ternyata dalam praktiknya mengalami kerugian secara terus-
menerus, dan bahkan membebani anggaran daerah. Menurut Adnan,
lemahnya landasan hukum pengaturan BUMD serta masalah pembinaan
BUMD menjadi titik masalah yang perlu segera dipecahkan bersama.
Berikut petikan wawancara Majalah Keuangan Negara dengan Ketua Panitia
Perancang Undang-Undang DPD RI, Muhammad Adnan Hadikusumo
tanggal 2 Desember 2015.
foto: istimewa
33. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 33
Laporan
Utama
BUMD lebih dekat dengan BUMN yang profit oriented, dan
dibina oleh Kementerian BUMN. Disorientasi inilah yang
menyebabkan pengelolaan BUMD menjadi kurang optimal
dari sisi bisnis.
Kemudian dalam suatu kesempatan kami bertemu
dengan pengurus Badan Kerjasama BUMD Seluruh
Indonesia (BKS-BUMDSI) yang memaparkan tentang
pentingnya regulasi untuk mengatur tata kelola BUMD
sehingga operasionalisasi BUMD bisa menjadi lebih
optimal dalam memberikan tambahan kas daerah.
Gayung bersambut, antara keinginan DPD RI dengan
BKS BUMDSI, yang kemudian tahun 2013 dibentuklah
Tim Kerja oleh Komite 2 DPD RI untuk menyusun RUU
BUMD.
Lalu poin-poin penting apa saja yang tercakup dalam RUU
BUMD ini?
Sebenarnya BUMD menduduki posisi strategis dalam
memajukan perekonomian daerah. Secara faktual, sampai
saat ini terdapat 1.007 BUMD yang beroperasi di daerah.
Bidang bisnisnya beragam, mulai dari pengelolaan air
minum, pasar, perbankan, minyak dan gas, perkebunan,
pelabuhan, properti, percetakan, aneka usaha, dan
sebagainya. Namun dari seribu lebih BUMD itu, menurut
Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia, baru 25
persen yang sehat dan dikelola secara profesional. Itu pun
70 persennya adalah berbentuk Bank Daerah. Dari sinilah
kemudian kita tabulasikan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh BUMD, kemudian disusunlah draft Naskah
Akademik yang mencakup: Bentuk organisasi, permodalan,
struktur organisasi dan tata kerja, kewenangan RUPS kepala
daerah, rencana bisnis dan rencana kerja BUMD, pelaporan
kepailitan, penggunaan laba, penugasan pemerintah,
kerjasama, pinjaman BUMD, satuan pengawasan intern
dan komite audit, pemeriksaan eksternal, restrukturisasi
dan privatisasi, perubahan bentuk BUMD, penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMD, serta
pembinaan.
Lantas, strategi apa yang harus ditempuh dalam rangka
memajukan BUMD di Indonesia?
Persoalan yang sering dihadapi oleh BUMD adalah
persoalan intervensi politik, regulasi yang tidak sesuai
dengan tuntutan jaman, lemahnya permodalan, lemahnya
pemasaran, serta kualitas SDM. Untuk memajukan BUMD
di Indonesia. Menurut kami, langkah-langkah yang harus
ditempuh adalah:
1. Larangan intervensi politik dari pihak eksekutif
maupun legislatif terhadap BUMD. Jangan menjadikan
BUMD sebagai ATM ataupun ajang balas jasa bagi
kepala daerah maupun legislatif di daerah. Ini
dimaksudkan agar BUMD dapat mengelola secara
mandiri keuangannya, dan mengisinya dengan orang-
orang yang profesional.
2. Perlunya penyusunan regulasi yang sesuai dengan
tuntutan jaman dan tuntutan pasar.
3. Memberikan keleluasaan kepada pengelola BUMD
untuk mendapatkan permodalan baik dari pihak
perbankan, maupun dari korporasi secara tidak
mengikat.
4. Perlu dilakukan langkah pemasaran secara profesional
tidak hanya berkutat melaksanakan proyek pengadaan
barang dan jasa dari Satuan Kerja Pemerintah daerah,
sehingga dapat menghindari ketergantungan BUMD
pada pelaksanaan program yang dibiayai APBD. Jika
cakupan pekerjaan BUMD bisa merambah ke wilayah
di luar SKPD maka sangat mungkin pendapatan
BUMD akan semakin besar dan semakin menambah
pundi-pundi BUMD.
Bagaimana peran Pemda serta stakeholder’s lainnya dalam
upaya mengembangkan BUMD yang lebih berdaya saing?
Peran Pemda dan stakeholder’s lainnya sangat strategis
dan signifikan mengingat BUMD merupakan institusi
perdagangan yang dimiliki oleh Pemda. Pemda berperan
sebagai pembina sekaligus pemilik BUMD. Dalam konteks
ini maka Pemda seharusnya dapat membuatkan jalan bisnis
BUMD agar pasar yang dirambah oleh BUMD menjadi
lebih luas.
Kendala atau hambatan seperti apa yang kerap muncul
dalam upaya mengembangkan BUMD ini?
Belum adanya kesamaan visi antara penyelenggara
pemerintahan di daerah dengan pengelola BUMD.
Akibatnya setiap kali pengelola BUMD akan melangkah
dalam menjalankan bisnisnya timbul intervensi yang
semestinya tidak perlu. Sayangnya, intervensi tersebut
membuat langkah BUMD terhalng. Saat ini total aset kotor
hampir Rp500 triliun. Sekarang 60% BUMD sebenarnya
sudah baik. Namun intervensi itu tetap ada dan masih
menjadi problem utama sehingga mereka sulit bergerak
untuk maju.
Apa harapan ke depannya?
Untuk regulasi, ke depan kami sangat berharap agar
BUMD memiliki regulasi sendiri dalam bentuk UU
sehingga dalam hal tata kelola BUMD menjadi lebih agresif
dan profesional dalam menjalankan bisnisnya. Selain
itu juga agar terhindar dari politisasi dalam pengelolaan
BUMD, dengan cara menempatkan orang-orang profesional
yang memilik skill dan kompetensi. Yakni orang-orang
yang mempunyai jiwa dan semangat wiraswasta dalam
menjalankan usaha perlu dipikirkan upaya kerja sama yang
saling menguntungkan dengan perusahaan sejenis atau
yang ada keterkaitan bisnis.
Dari segi pemasaran, BUMD agar menerapkan metode
pemasaran secara sistematis, efisien dan efektif. Mengingat
tingkat persaingan saat ini sangat tinggi bukan saja dengan
pihak swasta domestik, namun juga pihak luar negeri.
Selain itu juga meminta kepada DPR dan Pemerintah untuk
membahas RUU BUMD yang sudah diajukan oleh DPD RI
agar mereka bisa berkembang dengan baik dengan payung
hukum yang jelas.[]
34. keuangan negara | edisi januari-maret 201634
B
ank Pembangunan Daerah (BPD) sangat diandalkan menjadi instrumen bagi
percepatan pembangunan ekonomi di daerah. Bagaimana BPD menunjukkan
perannya sebagai agent of development di tengah peluang dan tantangan dewasa
ini?
Tak dimungkiri, BPD memiliki potensi yang lebih unggul dibandingkan dengan
jenis BUMD lainnya. Dari sisi tata kelola, BPD relatif memiliki manajemen yang baik
karena faktor tuntutan regulasi yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Dari sisi permodalan, BPD mendapat dukungan yang lebih baik
dari Pemerintah Daerah, sehingga BPD mampu mengkonversi modal tersebut untuk
mendukung kegiatan usahanya. Di sisi lain, faktor SDM, teknologi informasi, dan
jaringan yang dimiliki BPD juga lebih unggul dibandingkan jenis BUMD lainnya.
Data tahun 2013 misalnya, total aset seluruh BUMD di Indonesia sebesar
Rp467,6 triliun di mana 85,27 persennya atau Rp395,5 triliun merupakan aset 26
BPD. Dilihat dari kemampuan mengumpulkan laba, BPD juga paling unggul. Pada
tahun 2013, sebanyak 517 BUMD atau 60,05% dari data yang ada menghasilkan total
laba sebesar Rp12.6 triliun. Laba terbesar untuk tahun 2012 dan 2013 adalah laba
Keluar Dari Zona Nyaman
Seharusnya BPD Fokus ke Kredit Produktif
Laporan
Utama
35. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 35
BPD, yaitu tahun
2012 sebesar
Rp3.6 triliun
atau 62,50% dari
total laba. Dan
pada tahun 2013
naik 167,44%
yaitu sebesar
Rp9.8 triliun atau
77,39% dari total
laba. Laba terkecil
tahun 2012 adalah
laba dari PDAM,
yaitu sebesar
Rp448 miliar atau
7,67% dari total
laba yang ada.
Sedangkan untuk
tahun 2013 laba
terkecil adalah
laba dari Bank
Pasar/BPR/BKK,
yaitu sebesar
Rp303 miliar atau
2,40% dari total
laba.
Kemudian
dari sisi kontribusi
terhadap
Pendapatan Asli
Daerah (PAD),
sebanyak 10 BPD menyumbangkan
PAD sebesar Rp1.2 triliun, lebih besar
dibandingkan jenis BUMD lainnya
yang hanya mampu menyumbang
PAD di bawah Rp300 miliar saja.
Sedangkan data terkini (per
September 2015) menunjukkan kinerja
BPD sebagaimana tabel di samping ini:
Dengan keunggulan dan potensi
BPD sebagaimana ilustrasi di atas, tak mengherankan
apabila banyak kalangan berhadap BPD dapat diandalkan
sebagai badan usaha yang mampu mengakselerasi
pembangunan di daerah. Misi tersebut sejalan dengan
tujuan pendirian BUMD sebagaimana dapat kita kutip
di dalam Pasal 4 dan 5 UU No 13 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah yang menyebutkan bahwa BPD
didirikan dengan maksud khusus untuk menyediakan
pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan
daerah dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta
Berencana.
Untuk melaksanakan maksud tersebut BPD
melaksanakan 4 (empat) tugas yaitu: Pertama, memberikan
pinjaman untuk keperluan investasi, perluasan dan
pembaruan proyek-proyek pembangunan daerah di daerah
yang bersangkutan, baik yang diselenggarakan oleh Pemda
maupun yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan
campuran antara Pemda dan swasta. Kedua, dalam hal-
hal tertentu dan dengan persetujuan Menteri Urusan
Bank Sentral, BPD dapat memberikan pinjaman untuk
keperluan investasi, perluasan dan pembaruan perusahaan-
perusahaan swasta yang merupakan proyek-proyek
pembangunan daerah.
Ketiga, bank tidak ikut serta dalam modal usaha-
usaha tersebut dan keempat dalam hal-hal yang ditentukan
oleh Pemda, BPD bertindak sebagai saluran kredit untuk
proyek-proyek Pemda. Ditegaskan pula bahwa BPD dapat
memberikan pinjaman untuk modal kerja pertama sebagai
pinjaman lanjutan pada pinjaman investasi yang diberikan,
namun BPD tidak memberikan pinjaman untuk keperluan
lain selain yang tersebut di atas.
Laporan
Utama
Total Aset, DPK, Kredit dan Laba Bersih BPD Per September 2015
Sumber: Laporan Keuangan BPD (diolah)
36. keuangan negara | edisi januari-maret 201636
Dominasi Kredit Konsumsi
Salah satu kelemahan kinerja BPD dapat dilihat
portofolio kredit BPD yang tampak bahwa pengucuran
kredit BPD “berlawanan” dengan portofolio kredit bank-
bank nasional (pemerintah dan swasta) dan bank asing.
Kalau bank pemerintah, bank swasta dan bank asing/
campuran menyalurkan sekitar 70 persen kreditnya ketiga
sektor penting atau sektor produktif, BPD justru sebaliknya
mengucurkan 70 persen kreditnya ke sektor konsumsi. Tiga
kelompok bank di luar BPD menyalurkan kreditnya cukup
dominan di sektor yang lebih produktif, yaitu Bank BUMN
(62,8 persen), Bank Swasta (72,5 persen), dan Bank Asing/
Campuran (86,9 persen).
Seperti yang telah dijelaskan, penyaluran kredit
konsumsi pada BPD lebih tinggi daripada penyaluran
kredit produktif. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan
maksud pendirian BPD yang tercantum dalam UU No. 13
Tahun 1962 yaitu BPD didirikan dengan maksud khusus
untuk menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-
usaha pembangunan daerah dalam rangka Pembangunan
Nasional Semesta Berencana.
Di dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa BPD
hanya diperbolehkan memberikan pinjaman/kredit untuk
keperluan investasi, perluasan dan pembaruan proyek-
proyek pembangunan daerah. BPD tidak memberikan
pembiayaan di luar bidang tersebut.
Merujuk pada laporan keuangan beberapa BPD
diketahui bahwa dalam mencapai tujuannya, BPD
melakukan kegiatan/operasional yang hampir menyerupai
bank umum, di antaranya PT Bank Jawa Tengah (Jateng)
Laporan
Utama
Penyaluran Kredit BPD Tahun 2014
Sumber: Laporan Keuangan BPD Tahun 2014 (Diolah)
37. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 37
dan PT Bank Papua, dengan uraian sebagai berikut:
1) LK Bank Jateng Tahun 2014 halaman 99 s.d 101,
menyebutkan bahwa:
Berdasarkan Anggaran Dasar (AD), maksud dan tujuan
didirikannya Bank Jateng adalah berusaha di bidang
perbankan dengan melaksanakan kegiatan usaha
sebagai berikut:
(a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu;
(b) Memberikan kredit;
(c) Menerbitkan surat pengakuan hutang;
(d) Membeli, menjual atau menjamin atas risiko
sendirimaupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya (diantarnya surat-surat wesel,
surat pengakuan hutang, Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), obligasi, dan lain-lain);
(e) Memindahkan uang baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
(f) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari,
atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk cek, atau sarana
lainnya;
(g) Menerima pembayaran dari tagihan atau surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan atau
antar pihak ketiga;
(h) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang
dan surat berharga;
(i) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan
pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
(j) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada
nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang
tidak tercatat di bursa efek;
(k) Membeli melalui pelelangan agunan baik semua
maupun sebagian dalam hal debitur tidak
memenuhi kewajibannya pada bank dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib
dicairkan secepatnya;
(l) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu
kredit dan kegiatan wali amanat;
(m) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dan/atau
sebagai bank devisa dengan memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh yang berwenang;
(n) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank
atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti
sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh yang berwenang atau mendirikan
perusahaan baru sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku;
(o) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan dana pensiun
yang berlaku;
(p) Memberikan jasa konsultasi kepada Badan Kredit
Kecamatan (BKK) dan lembaga keuangan lainnya,
milik Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota;
(q) Melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan
prinsip syariah;
(r) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara
untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau
kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang
berlaku;
(s) Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
2) LK Bank Papua Tahun 2014 halaman 9 s.d 10,
menyebutkan bahwa : Berdasarkan AD, tujuan
Bank Papua adalah berusaha di bidang perbankan.
Untuk mencapai tujuannya ini, Bank Papua
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai berikut :
(a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa giro, deposito berjangka,
tabungan dan / atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
(b) Memberikan kredit;
(c) Menerbitkan Surat Pengakuan Utang;
(d) Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko
sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya;
(e) Memindahkan uang baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah;
(f) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari,
atau meminjamkan dana kepada bann lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana
lainnya;
(g) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan atau
antar pihak ketiga;
(h) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang
dan surat berharga;
(i) Melakukan kegiatan penitipan dana untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak
(Garansi);
(j) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada
nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang
tidak tercatat di bursa efek;
(k) Membeli agunan melalui badan lelang, baik
semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada Bank Papua,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut
dicairkan secepatnya;
(l) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank
Laporan
Utama
38. keuangan negara | edisi januari-maret 201638
atau perusahaan lain di bidang keuangan serta
sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, perusahaan asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh yang berwenang;
(m) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara
untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
yang berwenang;
(n) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan dana pensiun
yang berlaku;
(o) Membantu Pemerintah Daerah dalam membina
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Papua dan Papua Barat
dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota Daerah
Tingkat II Papua dan Papua Barat;
(p) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan
oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan Anggaran Dasar seperti tersebut di atas,
memungkinkan masing-masing BPD menjalankan
usahanya tanpa mengingat peraturan perundangan yang
lebih tinggi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
bahwa pada akhir-akhir ini penyaluran kredit konsumsi
pada BPD lebih tinggi dari pada penyaluran kredit
produktif. Walaupun bentuk badan hukum ke 26 BPD
di Indonesia adalah PT, yang tujuan utamanya adalah
mengejar keuntungan, namun dalam pasal 2 UU No. 40
Tahun 2007 disebutkan bahwa perseroan harus mempunyai
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.
Dengan demikian, dalam mencapai tujuannya BPD
seharusnya tidak boleh bertentangan dan harus sejalan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu
UU No. 13 Tahun 1962, yang menyebutkan bahwa BPD
didirikan dengan maksud khusus untuk menyediakan
pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan
daerah dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta
Berencana. Sesuai UU No 13. Tahun 1962, dalam
melaksanakan maksud pendiriannya, BPD:
1) Memberikan pinjaman untuk keperluan investasi,
perluasan dan pembaruan proyek-proyek
pembangunan daerah di daerah yang bersangkutan,
baik yang diselenggarakan oleh Pemda maupun
yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan
campuran antara Pemda dan swasta.
2) Dalam hal-hal tertentu dan dengan persetujuan
Menteri Urusan Bank Sentral, BPD dapat memberikan
pinjaman untuk keperluan investasi, perluasan dan
pembaruan perusahaan-perusahaan swasta yang
merupakan proyek-proyek pembangunan daerah.
3) Bank tidak ikut serta dalam modal usaha-usaha
tersebut
4) Dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pemda BPD
bertindak sebagai saluran kredit untuk proyek-proyek
Pemda.
Hal ini berarti sebenarnya tidak ada ruang bagi BPD
untuk menyalurkan kredit konsumsi. Kredit yang bisa
diberikan harusnya berupa kredit produktif yaitu kredit
investasi dan kredit modal kerja. Kondisi saat ini di BPD,
umumnya penyaluran kredit konsumsi melebihi penyaluran
kredit produktif dan hal ini tidak sesuai dengan amanat UU
No. 13 Tahun 1962.
Selain permasalahan di atas, permasalahan lain yang
perlu ditinjau ialah wilayah usaha BPD. Di dalam UU
No. 13 tahun 1962 diatur juga bahwa “Daerah usaha BPD
terbatas pada wilayah di mana BPD tersebut didirikan,
kecuali apabila ternyata ada suatu daerah yang tidak/
belum dapat mendirikannya, maka daerah tersebut
dapat menggunkan jasa-jasa BPD dari daerah lain yang
berbatasan.”
Perkembangan BPD saat ini menunjukkan ada
beberapa BPD yang pengembangan usahanya telah jauh
melewati batas wilayah di mana BPD tersebut didirikan
seperti PT Bank DKI dan PT Bank Jabar Banten. PT Bank
DKI saat ini selain di DKI Jakarta mempunyai cabang di
Sembilan provinsi lain sedangkan PT Bank Jabar Banten
selain di Jawa Barat dan Banten mempunyai cabang di
12 provinsi lain. Perlu dikaji lebih mendalam dampak
pembukaan cabang yang tidak sesuai ketentuan perundang-
undangan ini. Di sinilah peranan BPK dapat digunakan
untuk melakukan analisis strategis terhadap akibat dari
ketidaksesuaian dengan ketentuan perundang-undangan
ini.
PERLUNYA TRANSFORMASI
Terkait strategi perbankan nasional, terdapat tiga
permasalahan utama, akar permasalahan serta transformasi
BPD. Berdasarkan kajian OJK tiga hal tersebut yaitu
kelemahan GCG, kelemahan daya saing dan keterbatasan
penguatan permodalan. Kelemahan dalam implementasi
GCG terlihat dari beberapa indikator yaitu; (1) Awareness
Pemda & stakeholder’s BPD terhadap pertaturan perbankan
dan orientasi untuk pengembangan BPD; (2) Awareness
dan komitmen Pemda untuk meningkatan GCG BPD; (3)
Peranan pihak lain (DPRD) dalam penambahan modal; (4)
Kurangnya independensi dan kompetensi pengurus; dan
(5) Kelemahan manajemen risiko dan internal kontrol.
Sementara itu, kelemahan daya saing BPD dilihat
dari indikator-indikator antara lain; (1) Keterbatasan
kemampuan pemilik/pengurus dalam mengembangkan
bisnis; (2) keterbatasan Pemda dalam penguatan modal
sebagai basis ekspansi dan buffer risiko; (3) Keterbatasan
SDM dan infrastruktur pendukung untuk daya saing BPD;
Laporan
Utama
39. keuangan negara | edisi januari-maret 2016 39
(4) Business model yang
masih konvensional;
(5) Keterbatasan fitur
produk dan layanan
sehingga belum mampu
bersaing memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Sedangkan
keterbatasan penguatan
permodalan tercermin
dari hal-hal sebagai
berikut: (1) Jumlah
Pemda yang relatif
banyak (propinsi,
kabupaten, kota
dengan kemampuan
anggaran dan keuangan
yang beragam; (2)
Birokrasi penganggaran
untuk setoran modal
yang cukup rumit;
(3) Keterbatasan
pertumbuhan modal
secara organik; dan
(4) Keterbatasan akses
permodalan di luar
Pemda.
Sedangkan berdasarkan BPK RI dalam pemeriksaan
yang dilakukannya melihat tiga akar permasalahan BPD
yaitu; (1) Dukungan Pemda selaku pemegang saham
untuk mentransformasi BPD; (2) Kapasitas kepemimpinan
termasuk visi untuk mendukung pengembangan bisnis
dan; (3) Kapasitas SDM untuk mendukung pengembangan
bisnis. Tiga akar permasalahan ini sekaligus menjadi
penyebab rendahnya penyaluran kredit produktif oleh
BPD dalam rangka menunjang perekonomian daerah
sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.
Dalam skema transformasi BPD, dengan visi BPD
menjadi bank regional yang kuat dan berdaya saing
tinggi serta berkontribusi signifikan bagi pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi daerah yang berkelanjutan,
terdapat tiga pilar dalam business process BPD yaitu:
(1) Pilar 1 yaitu ketahanan kelembagaan antara lain
permodalan, rentabilitas dan efisiensi; (2) Pilar 2 yaitu agen
pembangunan daerah antara lain dalam pertumbuhan
kredit dan komposisi kredit; dan (3) Pilar 3 kemampuan
bisnis dan pelayanan seperti model bisnis, produk, layanan,
dan akses keuangan. Guna mendukung 3 pilar tersebut,
diperlukan support yaitu kualitas dan kapasitas SDM,
infrastruktur dan system and operating procedure (SOP).
Kemudian fondasi pokok untuk mewujudkan transformasi
BPD terdiri dari GCG, risk management & control,
corporate culture, dan aspek permodalan.
Melalui skema transformasi yang terus dijalankan oleh
BPD, diharapkan entitas usaha ini mampu memanfaatkan
potensi dan peluang di tengah pergeseran dan perputaran
uang dari Pemerintah Pusat ke daerah yang jumlahnya
sangat signifikan.
Khusus dana yang berputar di desa pada tahun 2016
jumlahnya Rp47 triliun, juga ditambah dengan alokasi
dana desa (ADD) yang dialokasikan dari APBD di mana
angkanya mencapai Rp37,6 triliun, serta dana Bagi Hasil
Pajak Daerah Retribusi Daerah (BHPDRD) sejumlah
Rp2,4 triliun. Jadi, total dana yang akan masuk ke desa
pada tahun 2016 adalah sekitar Rp87,7 triliun. Selain itu,
pemerintah juga mengalokasikan dana bagi masyarakat
berupa penjaminan, subsidi bunga, dan dana bergulir yang
dialokasikan oleh Kementerian/Lembaga, Badan layanan
Umum (BLU) serta dana yang bersumber dari bank, yang
ditujukan khusus untuk kegiatan penguatan modal usaha
dan investasi bagi usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi (UMKMK). Jadi, perkiraan perputaran uang di
daerah yang ditujukan sebagai stimulus bagi penguatan
ekonomi masyarakat jumlahnya mencapai Rp257 triliun.
Fenomena perputaran dana yang begitu besar tersebut
tentu menjadi area pertarungan bagi bank-bank umum
dan lembaga keuangan non bank yang berebut kue dalam
menyalurkan kreditnya kepada UMKMK. Apabila BPD
masih senang bermain di “zona aman” dalam penyaluran
kredit konsumtif, sudah barang tentu mereka akan terlindas
oleh agresifnya para pemain lain. Lebih dari itu, fenomena
tersebut dapat menjadi tolok ukur sejauhmana BPD
berperan sebagai agent of development bagi daerahnya,
serta membuktikan bagaimana keberpihakan BPD untuk
mempercepat kemajuan daerah.[]
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
Bagan Transformasi BPD
Laporan
Utama
40. TUMBUH DAN BERKEMBANG
UNTUK KEMULIAAN TUHAN
50tahun
B
ank Pembangunan Daerah
(BPD) Papua pada tanggal 13
April 2016 ini akan genap berusia
lima puluh tahun. Sebuah tonggak
sejarah yang patut disyukuri sekaligus
momen spirit untuk seluruh insan Bank
Papua untuk mewujudkan komitmen
membangun Papua maju bersama.
Didirikan dengan niat untuk
menggerakkan perekonomian daerah
dan dikelola dengan niat baik serta
sungguh-sungguh, dalam lima
dekade ini Bank Papua tumbuh dan
berkembang sebagai salah satu BPD
yang tangguh di Indonesia. Ketika
negeri ini diguncang krisis moneter
(krismon) tahun 1997/98, puluhan
Bank tidak mampu bertahan namun
Bank Papua yang sahamnya dimiliki
seluruh pemerintah daerah (baik
Propinsi, Kota dan Kabupaten di Tanah
Papua) tetap eksis.
Bahkan, dalam 20 tahun terakhir,
Bank Papua tumbuh secara pesat baik
dalam hal aset, modal, sumber daya
manusia, teknologi, kemampuannya
dalam menghimpun dana masyarakat
dan menyalurkan kredit, maupun
dalam menghasilkan laba bagi
pemegang saham. Yang lebih penting
lagi, peranannya dalam menggerakkan
perekonomian daerah maupun
kontribusinya terhadap pembangunan
di tanah Papua terus mengalami
perkembangan yang pesat.
Bank Papua misalnya membuat
terobosan dengan program mendidik
1000 Wirausaha Asli Papua. Para
usahawan yang bergerak di usaha kecil
ini dikirim ke pusat-pusat bisnis di Jawa
untuk belajar manajemen bisnis secara
baik sehingga dapat mengembangkan
usahanya dan memberi dampak positif
kepada masyarakat sekitar.
Dalam perjalanannya, Bank
Papua terus memberi kontribusi bagi
pembangunan di tanah Papua. Lima
tahun terakhir ini, Bank Papua terus
melaju. Trend profitabilitas Bank
Papua menunjukkan pertumbuhan
yang sustainable.
Memasuki usia emas ini, Direktur
Utama Bank Papua DR Johan Kafiar
menyatakan tekad komitmen Bank
Papua akan terus bertumbuh dan
berkembang. “Bank Papua akan terus
berkarya dalam menjalankan visi dan
41. misi sebagai lembaga intermediasi di
negeri ini guna menjadikan masyarakat
yang mandiri dan sejahtera. Terlebih
untuk kemuliaan Tuhan,” katanya.
Untuk itu, sejumlah strategi
ditetapkan dalam Rencana Bisnis
Bank (RBB) tahunan serta corporate
plan Bank Papua.
Dari sisi bisnis, Bank Papua akan
terus mendorong pengembangan
ekonomi rakyat. Hal ini sinkron dengan
program pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota di Papua dalam hal
program pemberdayaan ekonomi,
termasuk dukungan terhadap program
pemberdayaan ekonomi masyarakat
dari dana otsus dan sumber dana lain.
Dari sisi SDM dan transformasi
budaya kerja, Bank Papua akan
mendidik sumber daya manusia yang
akan melakukan transformasi budaya
dan organisasi. Di bidang infrastruktur,
dalam peningkatan pelayanan
kepada nasabah. Bank Papua juga
terus memperbaiki kualitas teknologi
informasi yang digunakan sesuai
dengan kemajuan zaman.
Bank Papua juga menerapkan
strategi dengan bersinergi dengan
program-program pemerintah. Seperti;
program micro financing sebagai salah
satu program penunjang BPDregional
champion oleh Bank Indonesia,
program-program pemerintah daerah
yang terkait dengan pembangunan
berkelanjutan, pembangunan infra-
struktur dalam rangka membuka
keterisolasian daerah pemekaran serta
ekonomi berbasis kerakyatan, dan
sinergi program terkait pengelolaan
keuangan pemerintah daerah
(inclusive finance).
Pelatihan 1000 Wirausaha Asli Papua Batch I di Rumah Perubahan Jakarta, Bersama Prof.Reynald Khasali
Johan Kafiar optimistis, dengan
pencapaian di usia emas ini Bank
Papua akan berkembang lebih baik
dan menunjukan kualitas. Terutama
dalam pelayanan, sumber daya
manusia dan juga teknologi informasi.
“Bank Papua menjadi inclusive finance
untuk menangani transaksi pemerintah
daerah, perusahaan asing, juga
mitra kerja yang sedang melakukan
penanaman saham/ investasi di atas
Tanah Papua. Juga melakukan fungsi
intermediasi yang berimbas pada
pemerataan kesejahteraan di atas
Tanah Papua yang kita cintai ini,”
katanya.[]
CSR Kemitraan Bank Papua – (1) Sambung Samping Kakao
(2) Penyerahan Alat Pertanian di Kampung Alang-Alang V Kab. Jayapura
42. keuangan negara | edisi januari-maret 201642
Laporan
Utama
E
ksistensi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) harus
dipertahankan mengingat kontribusinya dalam
menggerakkan perekonomian nasional, terutama
peranannya dalam menopang pembiayaan sektor usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Peneliti Pusat Kajian Keuangan Negara, Abdulloh
Hilmi mengatakan BPR saat ini memang menghadapi
tantangan yang tak ringan. Sebab, banyak bank umum
dengan modal yang lebih besar juga masuk ke segmen
UMKM. Untuk menghadapi persaingan tersebut, menurut
Hilmi, BPR harus melakukan transformasi agar terus
mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Salah satu strateginya ialah melalui
perbaikan manajemen BPR dan
standar operasi yang selama ini
berlaku.
“Peningkatan layanan bukan
hanya dari segi
waktu atau
kecepatan,
melainkan
juga mampu
menyediakan
produk dan jasa
perbankan yang
sesuai kebutuhan
masyarakat saat ini,” tuturnya di
Jakarta, Senin (4/1/2016). Dia juga
menyarankan BPR menjalin kerja sama
dengan berbagai lembaga keuangan,
bukan hanya untuk memperkuat pendanaan
seperti dalam linkage program tapi juga memperluas
jaringan. Untuk itu, antara lain, perlu direkatkan kerja sama
dengan konsultan keuangan mitra bank.
Di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan
Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah
(Perbamida) Muhammad Sigit menerangkan
perkembangan BPR dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. “Perkembangan jumlah BPR milik Pemerintah
Daerah yang tercatat di Perbamida sampai saat ini sejumlah
272 BPR, pada tahun 2004 jumlahnya ada 646 BPR. Dalam
perkembangannya BPR Wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Barat di setiap kabupaten dilakukan merger sehingga dari
sisi jumlah semakin kecil tetapi BPR hasil merger menjadi
besar dan kuat,” katanya kepada Majalah Keuangan Negara
belum lama ini.
Selain di Jawa, Sigit mengemukakan terjadi
perkembangan di Sulawesi Tenggara yang dalam kurun
waktu lima tahun terakhir mendirikan 12 BPR milik Pemda
dan di Sumatera Selatan terdapat 1 BPR baru.
Adapun statistik kinerja BPR dari data Perbamida
diketahui bahwa aset BPR tahun 2013 mencapai Rp18
triliun dan meningkat menjadi Rp22 triliun per Maret 2015.
Sedangkan Dana Pihak Ketiga (DPK) tahun 2013 sekitar
Rp11 triliun lalu meningkat menjadi Rp15 triliun per Maret
2015. Kemudian posisi kredit (OSC) tahun 2013 berjumlah
Rp14 triliun, dan mengalami peningkatan sebesar Rp18
triliun per Maret 2015.
Terkait dengan sumbangsih BPR milik
Pemda terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Sigit mengatakan kontribusi BPR
sudah maksimal
dan bagus. “Saya
kira sudah sangat
bagus karena 50%
dari laba bersih BPR
disetorkan menjadi
PAD,” terangnya.
Perbamida,
sebagai organisasi
yang menaungi BPR milik Pemda,
menjelaskan bahwa mengaku bahwa peran
pemerintah daerah dalam penatausahaan dan
pengelolaan BPR cukup jelas. “BPR sebagai
salah satu BUMD dengan modalnya bersumber
dari APBD yang merupakan kekayaan
daerah yang dipisahkan mempunyai peran
membantu pelaku UMKM di daerah yang butuh
permodalan. Sehingga multiplier effect-nya ekonomi daerah
akan tumbuh signifikan,’ jelas Sigit yang juga Direktur
Utama Bank Sleman.
Dalam catatan Sigit, Perbamida mendorong agar BPR
ke depan menjadi entitas bisnis yang mampu bersaing dan
mengedepankan pelayanan demi mendorong tumbuhnya
perekonomian daerah. Beberapa hal yang perlu diperbaiki
ke depan, menurut Sigit, ialah diperlukannya regulasi yang
mendukung tumbuhnya BPR. “Selain itu perlu adanya
sinergi antara bank umum, BPR dan UMKM,” tambahnya.
Selain kedua hal tersebut, untuk memajukan
BPR direkomendasikan untuk dilakukan penguatan
permodalan, peningkatan kapasitas SDM, pengembangan
sistem teknologi informasi yang up to date, perluasan
jaringan kantor, serta tetap konsisten melayani UMKM.[]
BPRKonsistenMelayaniUMKM