SlideShare a Scribd company logo
1 of 149
1
DAFTAR ISI
PERTARUHAN KREDIBILITAS FISKAL
Bhima Yudhistira Adhinegara 4
MEMAHAMI AUDIT BPK
Sunarsip 7
PENGAMPUNAN PAJAK ATAU MALAADMINISTRASI?
Alamsyah Saragih 10
INOVASI DAN BUDAYA PERUSAHAAN
Eliezer H Hardjo 13
KEMESRAAN ARAB-CINA
Sururi Alfaruq 16
TIPS INVESTASI BAGI “GENERASI POKEMON”
Lukas Setia Atmaja 19
DIALEKTIKA ANGGARAN NASIONAL
Candra Fajri Ananda 21
KOMUNIKASI GAGAP TAX AMNESTY
Gaib Maruto Sigit 25
BUMN DAN PENGEMBANGAN UKM
Suryani Sidik Motik 28
G-20, MIKTA, DAN INDONESIA
Shofwan Al Banna Choiruzzad 32
MENIMBANG DILEMA SUKU BUNGA
Paul Sutaryono 35
PUSYAR, SENJATA AMPUH LUMPUHKAN RENTENIR
Mas’ud Yunus 38
ORANG-ORANG KALAH
Rhenald Kasali 40
PERTAMINA MENJADI PEMAIN GLOBAL
Fahmy Radhi 43
IMPLEMENTASI STRATEGI DAN TRANSFORMASI BISNIS
Eliezer H Hardjo 46
MEMBASMI INVESTASI MUKIDI
2
Lukas Setia Atmaja 49
PILIHAN SULIT PEMERINTAH
Candra Fajri Ananda 51
TAIWAN DAN DAYA DORONGNYA
Dinna Wisnu 55
MAKANAN KEDALUWARSA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Posman Sibuea 58
TATA ULANG BISNIS HEWAN KURBAN
Khudori 62
PARADIGMA POLITIK PEMBANGUNAN MARITIM
Muhamad Karim 65
MEMAHAMI RISIKO DALAM SISTEM PEMBAYARAN
Achmad Deni Daruri 69
MENYUSUN DAN MEMBANGUN STRATEGI SEGMENTASI PASAR
Eliezer H Hardjo 72
DIMENSI KERAKYATAN PEMBANGUNAN DESA
Dani Setiawan 75
SELLING WINNERS, BUYING LOSERS
Lukas Setia Atmaja 79
MERKANTILISME, PAJAK, DAN RESIPROKAL KEBIJAKAN
Candra Fajri Ananda 81
TAX AMNESTY DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Vishnu Juwono 85
JOB FAIR
Elfindri 88
TEKNOLOGI MENGUBAH LAYANAN KEUANGAN
Triyono 91
TAX AMNESTY DAN SINGAPURA
Dinna Wisnu 94
SEJAHTERAKAN NELAYAN DENGAN CMS
Abdul Hafidz 97
SUMBER KEUNGGULAN DALAM PERSAINGAN
Eliezer H Hardjo 99
3
MENABUNG (SAHAM) PANGKAL KAYA
Lukas Setia Atmaja 102
KEBIJAKAN FREKUENSI DALAM TRANSISI
Alamsyah Saragih 104
TANGSEL DAN TECHNOPOLIS
Rhenald Kasali 107
PENUGASAN BARU BULOG DAN POLICY FAILURE
M Husein Sawit 110
STRATEGI MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMASARAN
Eliezer H Hardjo 113
RAGAM TAX AMNESTY MERAIH ASA
Candra Fajri Ananda 116
MEMBUAT KERETA API TETAP RELEVAN
Rhenald Kasali 120
MEMBANGUN KEPERCAYAAN DALAM BISNIS
Eliezer H Hardjo 123
MATERIAL LOKAL UNTUK PEMBANGUNAN KAWASAN
PERBATASAN
Herry Vaza 126
BELAJAR DARI KASUS DIMAS KANJENG
Lukas Setia Atmaja 129
REZIM INFLASI RENDAH
Candra Fajri Ananda 131
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLA KEGIATAN MIGAS
Sampe L Purba 135
MENYOAL MAHALNYA HARGA GAS
Fahmy Radhi 138
MELURUSKAN DWELLING TIME, LAGI
Rhenald Kasali 141
PUNGLI BUKU PELAUT, PUNCAK GUNUNG ES KORUPSI
KEMENHUB
Siswanto Rusdi 144
FAKTOR INTERNAL YANG MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
Eliezer H Hardjo 147
4
Pertaruhan Kredibilitas Fiskal
31-08-2016
Melihat postur RAPBN 2017 yang diusung oleh pemerintah, tentu sejalan dengan tema besar
menciptakan anggaran yang kredibel.
Berbicara tentang kredibilitas, tentu maksudnya anggaran harus berpijak pada kondisi yang
lebih realistis. Hal ini tecermin dari asumsi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang
dipatok 5,3% pada 2017. Memang asumsi pertumbuhan ekonomi masih terlihat tinggi, tapi
masih lebih baik dibandingkan asumsi makro yang dibangun menteri keuangan sebelumnya.
Contohnya APBN 2015, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%, jelas
utopis. Sementara realisasi pertumbuhan sampai akhir 2015 hanya 4,73%. Gap antara target
dan realisasi pertumbuhan yang terlalu jauh akhirnya berdampak ke target pajak yang dipatok
tinggi. Hasil akhirnya sudah jelas, penerimaan pajak merosot tajam hanya tercapai 81,5% di
tahun 2015. Sri Mulyani tampaknya belajar dari desain anggaran yang asal-asalan itu dan
coba bersikap optimistis tapi realistis.
Tantangan pengelolaan anggaran untuk tahun 2017 juga berasal dari proyeksi ekonomi yang
belum menunjukkan perbaikan signifikan. Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan
II/2016 lalu sebesar 5,18% yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya lebih
didorong konsumsi saat Lebaran, termasuk pencairan gaji ke-13 PNS.
Sementara kalau lebih jeli melihat kinerja industri masih terseok-seok di bawah 5%,
sedangkan tingginya pertumbuhan sektor jasa keuangan 13,51% terbilang semu karena
faktanya pertumbuhan kredit melambat, NPL berada di level 3,1% dan kredit yang tidak
disalurkan (undisbursed loan) meningkat di atas Rp1,2 triliun. Jadi jelas bahwa proyeksi
pertumbuhan sampai akhir tahun nanti masih dibayangi ketidakpastian. Bank Indonesia pun
buru-buru merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5-5,4% menjadi 4,9-5,3%.
Satu hal lagi yang menarik adalah penerimaan dari tax amnesty yang digadang-gadangkan
akan menyelamatkan bahtera fiskal jelas overestimate. Buktinya per 29 Agustus lalu,
penerimaan dari tax amnesty baru mencapai Rp7,71 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya
hanya 0,1% tebusan yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah. Alhasil karena realisasi
penerimaan tax amnesty rendah, kebijakan ini justru membuat gaduh dengan menyasar
masyarakat kecil agar segera menyetor tebusan.
Kecemasan penerimaan fiskal ini kemudian direspons dengan pemotongan belanja. Pada
mulanya terdapat rencana pemotongan belanja sebesar Rp133,8 triliun pada APBN-P 2016.
Angka ini kemudian dinaikkan menjadi Rp137,6 triliun yang dibagi ke dalam belanja
5
operasional kementerian/lembaga sebesar Rp64,7 triliun, dana transfer daerah sejumlah
Rp70,13 triliun, dan dana desa Rp2,82 triliun. Cara lain yang ditempuh pemerintah adalah
menunda pencairan dana bagi hasil terhadap 169 daerah, nilainya mencapai Rp20,93 triliun.
Tentu dampak dari pemangkasan belanja ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi,
masalahnya pada triwulan II lalu, belanja pemerintah ikut mendongkrak pertumbuhan
ekonomi. Pasca-pemotongan belanja, ada kekhawatiran ekonomi kembali turun di bawah
5%.
Tantangan Defisit Ganda
Selain itu, di tengah langkah menkeu untuk memangkas belanja, masalah tetap membayangi
postur RAPBN 2017.
Pertama, soal defisit anggaran yang kini ditargetkan APBN-P 2016 di angka 2,35% makin
melebar. Dalam RAPBN 2017, terjadi pelebaran defisit hingga 2,41%. Angka ini jauh
membesar dari tahun 2011 lalu sebesar 1,14%. Padahal, UU Keuangan Negara sudah
memberikan peringatan bahwa defisit tidak boleh melampaui 3% terhadap PDB.
Konsekuensi dari defisit anggaran yang makin lebar tentu berdampak pada rating investasi.
Logis ketika perusahaan pemeringkat investasi semacam Standard and Poors belum mau
memberikan status investment grade kepada Indonesia apabila pemerintah belum benar
dalam mengelola defisit anggaran.
Kedua, permasalahan lain yang juga pelik adalah defisit primer. Pemerintah masih terbelit ke
dalam jebakan defisit primer sebesar Rp111,4 triliun. Defisit primer makin bengkak karena
setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan pokok dan bunga utang dari penerbitan
utang baru. Lingkaran setan ini makin lama makin menjerat anggaran.
Kenaikan utang ini dilakukan melalui penerbitan SBN baru. Padahal selama empat bulan
terakhir, pemerintah sudah menerbitkan SBN sebanyak Rp293,08 triliun. Jumlah itu setara
dengan 52,71% terhadap target penerbitan SBN untuk tahun 2016, yaitu Rp556,66 triliun.
Sementara rata-rata yield atau bunga utang yang harus dibayar pemerintah pun lumayan
tinggi, yaitu 8%.
Pada RAPBN 2017 terlihat kenaikan yang luar biasa terhadap pembayaran utang dalam
maupun luar negeri. Jika dibandingkan dengan APBNP 2016, terjadi peningkatan sebesar
Rp30,1 triliun atau 15,8%. Nilai itu juga setara dengan 10,69% dari belanja negara. Jelas,
pemerintah bekerja dalam setahun hanya sibuk untuk menutup cicilan utang.
Pemangkasan PPh Badan
Sementara itu, pemerintah justru mengeluarkan wacana lain yang membuat bingung pelaku
usaha, yaitu pemangkasan PPh Badan hingga 17% secara bertahap dari 25%. Pemerintah
6
berpijak dari perbandingan tarif pajak antara Indonesia dan Singapura yang dinilai terlalu
jauh. Hal ini kemudian diasumsikan menjadi salah satu alasan mengapa daya saing usaha
kurang kompetitif dibanding negara lain.
Tentu jika kebijakan ini diimplementasikan, ada kaitannya dengan penerimaan pajak yang
hilang. Padahal, penerimaan pajak saat ini sudah terbilang sangat mengkhawatirkan. Tax
amnesty terbukti belum mampu menambal kekurangan penerimaan pajak, sedangkan kondisi
ekonomi tengah lesu. Dengan adanya insentif penurunan PPh tersebut, alih-alih menambah
daya tarik usaha justru mengorbankan fiskal lebih jauh.
Hal berikutnya terkait dengan sesat pikir pemerintah bahwa dengan memberikan segudang
insentif perpajakan lalu secara otomatis daya saing usaha akan meningkat. Padahal kalau mau
berkaca dengan 12 paket kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah mulai September
tahun lalu, isinya menyangkut insentif. Mulai insentif kawasan industri sampai insentif
keringanan pajak dana hasil ekspor (DHE). Tapi tetap saja insentif pajak tersebut ditanggapi
dingin oleh pelaku usaha.
Ada yang terlupa atau sengaja dikesampingkan, bahwa yang paling urgen dilakukan untuk
membenahi dunia usaha adalah kepastian usaha dan pembangunan infrastruktur dasar di
kawasan industri. Sekarang pemerintah melihat infrastruktur sebagai mega proyek besar yang
disetir pemerintah pusat, padahal akses kawasan industri di daerah ke pelabuhan masih
banyak yang rusak. Ini jadi beban bagi dunia usaha dan urgensinya lebih tinggi daripada
insentif pengurangan PPh badan.
Jadi jelas yang dimaksud dengan kredibilitas fiskal mencakup sinergi antarkebijakan. Jangan
lagi ada kasus kebingungan rezim perpajakan, misalnya, antara rezim pajak agresif dengan
rezim pajak yang memberikan ruang gerak bagi dunia usaha, karena kebingungan fiskal
tersebut berimbas pada kepercayaan dari pelaku usaha. Upaya membangun anggaran yang
kredibel jangan dikotori dengan wacana-wacana bombastis pemerintah yang justru
kontraproduktif.
BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA
Peneliti INDEF
7
Memahami Audit BPK
01-09-2016
Tidak mudah memang memahami isu-isu yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara,
termasuk cara kerja lembaga pengelola dan pengawasnya.
Harus diakui bahwa ketersediaan informasi terkait keuangan negara masih terbilang terbatas.
Penyelenggara keuangan negara terbilang masih ”pelit” dalam menyediakan informasi
keuangan negara. Berbeda dengan informasi yang terkait dengan makroekonomi, moneter,
dan perbankan, yang dapat diperoleh relatif mudah.
Sejak mencuatnya kasus perbedaan penafsiran terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terhadap kewajaran transaksi pembelian Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta antara
BPK dan Pemprov DKI Jakarta dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini beberapa
pihak mulai menyoroti cara kerja dan kualitas dari pelaksanaan audit yang dilakukan BPK
sebagai lembaga audit tertinggi (supreme audit) di bidang keuangan negara.
Perhatian publik yang tinggi terhadap BPK tentu sebuah kewajaran karena kewenangan yang
dimiliki BPK juga besar. Hasil kerja BPK yang berupa laporan hasil pemeriksaan juga
memiliki implikasi luas, tidak hanya berupa perlunya perbaikan administrasi dan sistem
pengendalian pada institusi yang menjadi obyek audit, tetapi juga dapat berimplikasi
terjadinya tuntutan hukum terhadap pihak-pihak terkait. Telah banyak pihak yang akhirnya
berurusan dengan aparat penegak hukum, bahkan sebagian telah terpidana, juga karena hasil
kerja audit BPK.
Beberapa hasil audit BPK yang berujung pada terpidananya sejumlah pihak adalah BLBI,
Hambalang, Bank Century, dan lain-lain. Audit BPK telah banyak ”menggiring” sejumlah
pejabat pemerintah daerah (pemda) dan pejabat BUMN/D menjadi terpidana karena terbukti
merugikan keuangan negara.
***
Sejumlah pihak berpendapat bahwa audit BPK sering mengalami anomali. Dikatakan bahwa
opini hasil audit keuangan (financial audit) BPK memperlihatkan kewajaran terhadap laporan
keuangan, sebagaimana kita kenal dengan istilah opini wajar tanpa pengecualian (WTP),
namun pejabat institusinya justru terjerat kasus korupsi.
Sesungguhnya penilaian telah terjadi anomali dalam audit BPK tidak sepenuhnya benar.
Pemeriksaan keuangan (financial audit) bertujuan untuk memberikan keyakinan yang
memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar,
8
dalam semua hal yang material (signifikan) untuk diketahuinya, yang apabila tidak
diungkapkan dapat mengakibatkan kesalahpahaman para pengguna laporan hasil
pemeriksaan.
Dengan demikian, tujuan dari pemeriksaan keuangan bukanlah untuk menemukan kasus
korupsi. Pemeriksaan keuangan lebih diarahkan untuk memberikan keyakinan terkait
kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan. Namun, apabila selama proses pemeriksaan
ditemukan adanya kecurangan (fraud), pemeriksa tetap harus melaporkan temuannya secara
lugas dan jelas, namun tetap harus dalam perspektif yang wajar dan kewajaran itu tecermin
dari opini yang diberikan. Tujuannya, untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil
pemeriksaan dalam mempertimbangkan kejadian dan konsekuensi atas kecurangan tersebut.
Idealnya, sebuah laporan keuangan yang mendapat opini WTP (wajar tanpa pengecualian),
seharusnya memang terbebas dari kecurangan. Persoalannya, tidak semua jenis kecurangan
dapat dideteksi melalui proses audit. Menurut Asociation of Certified Fraud Examiner
(ACFE), kecurangan itu tidak hanya berbentuk korupsi (corruption). Selain korupsi, juga
terdapat dua jenis kecurangan lain, yaitu penyalahgunaan aset (misappropriation of asset) dan
manipulasi laporan keuangan (financial statement fraud).
Dari ketiga jenis kecurangan tersebut, terdapat dua jenis kecurangan yang dapat dideteksi
melalui proses audit, dengan probabilitas yang tinggi. Pertama penyalahgunaan aset, kedua
manipulasi laporan keuangan. Adapun korupsi tidak semua bisa dideteksi melalui audit,
secanggih apa pun prosedur dan teknik auditnya.
Terlebih, bila kasus korupsi tersebut merupakan kasus suap (bribery). Karena suap (termasuk
gratifikasi lainnya) biasanya dilakukan secara rahasia (under table) dan tidak menggunakan
bukti-bukti formal (misal kuitansi). Dan faktanya, kasus korupsi yang melibatkan sejumlah
pejabat kita, pada umumnya merupakan kasus suap atau hasil pengembangan dari operasi
tangkap tangan oleh KPK.
Sebagai contoh, adalah kasus yang menimpa Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Laporan
keuangan Pemprov Sumut memperoleh opini WTP dari BPK. Faktanya, Gubernur Sumut
menjadi tersangka korupsi oleh KPK dan Kejaksaan Agung. Dalam kasus korupsi yang
ditangani KPK, Gubernur Sumut terjerat korupsi karena menyuap hakim PTUN.
Kasus suap ini jelas tidak terdeteksi oleh audit BPK. Terlebih suap yang dilakukan Gubernur
Sumut ini menggunakan dana pribadi. Lain halnya bila uang suap berasal dari kas daerah,
yang tentunya lebih mudah mendeteksinya dan akan tecermin dalam temuan audit.
Perlu diketahui, akuntansi menganut prinsip business entity, di mana pencatatan aset pribadi
terpisah baik kepemilikan maupun pengelolaannya dengan aset institusi. BPK memiliki
keterbatasan untuk bisa masuk ke aset pribadi. Di sinilah pentingnya peran KPK, karena KPK
memiliki kewenangan pelacakan hingga data pribadi. Sama dengan kasus suap, gratifikasi
lainnya juga tidak dapat dideteksi oleh audit keuangan dan tidak akan tecermin dalam opini
9
BPK.
Namun, yang patut dicatat, dalam kasus suap Gubernur Sumut ini sebenarnya juga
merupakan hasil dari pengembangan kasus lain, yaitu korupsi dana bantuan sosial (bansos)
yang ditangani kejaksaan yang juga berasal dari audit BPK lainnya. Dengan kata lain, kita
semestinya bijak dalam memberikan penilaian terhadap hasil audit BPK dalam kaitannya
dengan kasus korupsi. Terlebih bila penilaian tersebut menyangkut hal teknis keuangan
negara, yang tidak cukup hanya didasarkan pada opini yang berkembang di kalangan publik.
Audit BPK adalah hasil dari cara kerja teknis. Karenanya, butuh pemahaman makro dan
teknis (mikro) agar kita tidak salah memberikan penilaian. Namun, institusi penyelenggara
keuangan negara, baik BPK, Kementerian Keuangan, maupun pengelola keuangan negara
lainnya, juga harus kerja keras dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di bidang
pengelolaan keuangan negara agar awareness publik menjadi lebih baik. Semoga, seiring
berjalannya waktu pengelolaan keuangan negara semakin baik ke depannya.
SUNARSIP
Pengajar Keuangan Publik/Negara di Politeknik Keuangan Negara STAN dan Program
Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
10
Pengampunan Pajak Atau
Malaadministrasi?
01-09-2016
Pengampunan pajak semula digagas sebagai senjata berlaras ganda. Di satu sisi dimaksudkan
untuk merayu agar modal milik orang Indonesia yang parkir di luar negeri mau masuk
kembali. Di sisi lain dapat menjadi penahan laju penurunan penerimaan pajak akibat
perekonomian yang menurun. Namun, masyarakat kelas menengah merasa pengampunan
pajak adalah ancaman bagi mereka.
Bank Dunia (2012) menyampaikan, penduduk dengan pendapatan kelas menengah di
Indonesia meningkat tajam dari 37,7% pada 2003 menjadi 56,5% pada 2010. Kelas
menengah rata-rata tumbuh tujuh juta per tahun dan masuk kategori sangat cepat
sebagaimana kebanyakan negara berkembang.
Kelas menengah di Indonesia dibagi dalam empat kelompok pendapatan. Pertama, kelompok
pendapatan Rp2,6-5,2 juta per bulan (38,5%). Kedua, kelompok pendapatan Rp5,2 -7,8 juta
per kapita per bulan (11,7%). Ketiga, kelompok pendapatan Rp7,8-13 juta per bulan (5%),
dan keempat adalah kelompok pendapatan Rp13-26 juta per bulan (1,3%).
Di tataran ekonomi makro pertumbuhan kelas menengah ini telah menyebabkan komponen
konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pada 2015,
komponen konsumsi rumah tangga mencapai 56,6% dari total produk domestik bruto (PDB).
Kelas Menengah dan Pembentukan Modal
Secara teoretis, kelas menengah selain sebagai penggerak pasar melalui konsumsi, dalam
tingkat tertentu merupakan basis pembentukan modal domestik. Dalam formasi kelas
menengah yang kuat, pengenaan pajak tinggi atas kekayaan tak produktif dalam batas
tertentu dapat mendorong kecenderungan kelas menengah menjadi sumber pembentukan
modal ekonomi produktif.
Pengalaman Korea Selatan pada periode 1980-1987 menunjukkan bahwa lapis kelas
menengah baru tidak memiliki kontribusi yang kuat terhadap pembentukan investasi
produktif. Mereka lebih berorientasi pada upaya memperbaiki kualitas hidup, seperti
mendapatkan hunian yang lebih layak, tabungan sekolah anak, dan mempersiapkan masa
pensiun (Chung, 2007).
Dengan formasi 50,2%, kelas menengah berpendapatan kurang dari Rp8 juta per bulan,
11
serbuan barang konsumsi impor wajar terjadi ketika produksi dalam negeri tak mampu
memenuhi gaya hidup mereka. Konsumsi barang otomotif, elektronik, alat komunikasi yang
berkandungan impor tinggi tak tertahan. Sebagian besar kelas menengah di Indonesia lebih
berfungsi sebagai penggerak sektor konsumsi, belum pada taraf pembentukan modal
domestik.
Untuk mengisi kesenjangan tersebut diperlukan kehadiran modal asing. Selama dua tahun
pemerintahan Jokowi telah banyak paket kebijakan ekonomi digelontorkan agar iklim usaha
domestik cukup atraktif bagi pemodal asing. Ketersediaan infrastruktur dan energi menjadi
salah satu prasyarat penting untuk menarik modal masuk. Pemerintah membiayainya melalui
pinjaman luar negeri sepanjang untuk sektor produktif.
Kewajiban membayar pinjaman luar negeri telah menembus angka Rp250 triliun di tahun
2016. Kebijakan pengampunan pajak, dalam jangka tertentu, diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan untuk mengurangi beban tersebut.
Kondisi perekonomian yang menurun telah berimbas pada penerimaan pajak. Sosialisasi
pengampunan pajak juga mengarah kepada kelas menengah yang masih belum terlalu kokoh.
Akibatnya, terjadi kesalahan persepsi bahwa kebijakan pengampunan pajak yang semula
ditujukan untuk menarik uang parkir di luar negeri telah berubah tujuan menyasar
masyarakat.
Alih-alih tekanan pajak kekayaan mendorong mereka untuk membentuk modal, yang terjadi
mereka berteriak merasa diperlakukan tak adil dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sekali lagi, ini membuktikan bahwa mayoritas kelas menengah kita masih belum masuk ke
taraf pembentuk modal. Kekeliruan dalam penerapan prioritas sasaran kebijakan
pengampunan pajak ini perlu dikembalikan pada tujuan awalnya.
Musuh Kita Malaadministrasi
Kita tak boleh menganggap ringan musuh utama dalam membangun iklim usaha yang
atraktif, yakni malaadministrasi dalam pelayanan publik. Berdasarkan perkembangan laporan
masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI, ditemukan masih sangat banyak
malaadministrasi yang berdampak negatif terhadap iklim usaha di Indonesia.
Salah satunya adalah praktik penundaan berlarut yang berpotensi menimbulkan suap. Dari
laporan yang masuk, Ombudsman mencatat maraknya penundaan berlarut dalam pengurusan
administrasi di sektor perizinan, pertanahan, pengadaan listrik, logistik, dan penyelesaian
masalah dwelling time yang baru terbatas pada pelabuhan Tanjung Priok. Pada 2015, dari
6.859 laporan yang diterima Ombudsman, 25,3% terindikasi penundaan berlarut dan 6,7%
terindikasi suap.
Pemerintah perlu lebih fokus dan bekerja ekstrakeras dalam memberantas mala administrasi
dalam sektor usaha kita. Meski kelas menengah yang tumbuh pesat diiringi bonus demografi
12
adalah peluang pasar yang menarik bagi investasi, malaadministrasi akan menyebabkan daya
saing kita menurun.
Selain malaadministrasi, prosedur yang ditempuh memang masih cukup panjang. Sebagai
contoh, untuk memulai usaha para investor masih harus menempuh 13 prosedur dalam waktu
47 hari. Dalam survei kemudahan usaha yang dilakukan Bank Dunia pada 2015, Indonesia
masih berada pada peringkat 109 dari 189 negara yang disurvei.
Pengampunan pajak harus diarahkan pada sasaran semula, yakni untuk menarik masuk uang
warga negara yang parkir di luar negeri. Di sisi lain, memperkuat pengawasan dan lini depan
pelayanan publik harus menjadi prioritas. Termasuk pengawasan terhadap aturan terbaru
yang dikeluarkan Dirjen Pajak terkait diskresi subyek pengampunan pajak. Jika tidak, upaya
meningkatkan penerimaan negara melalui pajak akan menghancurkan kekuatan konsumsi
yang masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi.
ALAMSYAH SARAGIH
Anggota Ombudsman Republik Indonesia periode 2016-2021, Bidang Ekonomi
13
Inovasi Dan Budaya Perusahaan
02-09-2016
Adakah hubungan antara inovasi dan budaya perusahaan? Sudah tentu. Itulah yang dipelajari
oleh Boston Consulting Group (BCG) yang melakukan riset terhadap 759 perusahaan dari
berbagai industri yang berbasis di 17 pasar utama dan menemukan bahwa ternyata budaya
perusahaan jauh lebih berpengaruh terhadap inovasi radikal dibandingkan dengan karyawan,
modal, pemerintah, dan budaya atau tradisi umum.
Juga diperlihatkan bahwa kemampuan beradaptasi, penyesuaian diri, merupakan pilar yang
sangat penting dan berperan bagi budaya perusahaan yang berhasil. Budaya perusahaan yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi sangat efektif mendorong performa yang baik dalam
bidang keuangan. Demikian kesimpulan yang diambil oleh Charles O’Reilly dan kawan-
kawan.
Apa yang dimaksud dengan adaptive corporate culture (budaya perusahaan yang adaptif)?
Charles memberikan indikasi dari perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang
adaptif, di antaranya yang utama adalah:
a. Risk-taking (berani mengambil risiko),
b. Willingness to experiment (kemauan dan kesediaan untuk melakukan eksperimen),
c. Innovation (inovasi),
d. Personal Initiative (inisiatif pribadi),
e. Fast decision-making and execution (cepat dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya),
f. Ability to spot unique opportunities (kemampuan untuk mendeteksi peluang yang
unik).
Budaya yang adaptif menekankan eksperimen guna mendorong terbentuknya sebuah
organisasi yang ambidexterity (lincah, cekatan). Eksperimen yang terarah akan menolong
perusahaan untuk mengelola ketidakpastian dan akar penyebab atau sumber terjadinya
sehingga tidak perlu panik apabila hal itu terjadi. Ada kaitan yang erat antara budaya
perusahaan yang adaptif dan performa serta daya tahan sebuah organisasi.
Ada konflik antara dua blok pemikiran yang dapat menghambat budaya inovasi dalam
organisasi perusahaan jika dibiarkan masing-masing berdiri sendiri: 1. Explorative culture
(budaya menggali, mengeksplorasi) sebelah kiri dan 2. Exploitative culture (budaya
memanfaatkan secara berlebihan) sebelah kanan, contohnya:
14
a. Mendobrak aturan dan formalitas, dan impian dengan melakukan tugas sesuai dengan
peraturan yang baku,
b. Membuka pintu terhadap hal-hal baru dengan loyal terhadap tim,
c. Berani menaruh kepercayaan, dapat dipercaya, dan bekerja hanya dengan orang-orang
kepercayaan,
d. Eksperimen, berubah pada saat bersamaan dan melakukan tugas dengan benar dari
atau sejak awal,
e. Kesalahan, kegagalan, dan harus sesempurna mungkin,
f. Melihat ke depan dan mengulang keberhasilan masa lalu.
Perusahaan yang hanya berpegang pada sisi kiri akan merugi pada akhirnya, sebaliknya yang
hanya berpegang pada sisi kanan tidak akan bertahan dan tutup. Perusahaan besar dan
pemerintah yang sedang memerintah akan cenderung mengambil sisi kanan. Perusahaan yang
ingin bertahan dan maju harus menggabungkan keduanya melalui sebuah penghubung atau
perekat yang disebut integrative culture (budaya penggabungan).
Hambatan lain terhadap budaya inovasi adalah faktor manusia itu sendiri:
a. Manusia menolak atau enggan untuk memercayai yang tidak mereka alami dan dapat
bayangkan. Sikap seperti ini cenderung menolak terhadap perubahan, sedangkan
inovasi tidak mungkin tanpa sebuah perubahan,
b. Semakin seseorang berfokus dan menjadi spesialis pada bidang yang ia senangi dan
tekuni, semakin ia menolak terhadap ide-ide dan hal lain di luar spesialisasinya.
c. Manusia lebih memercayai dan menghargai jangka pendek, karena mereka jangka
pendek dapat segera dinikmati dan dialami, sementara jangka panjang belum tentu
terjadi,
d. Sebagian orang lebih berani mengambil risiko jika sudah merasa lebih pasti
dibandingkan dengan ketidakpastian.
Inovasi adalah sebuah ketidakpastian. Explorative culture berkaitan dengan ketidakpastian,
sedangkan exploitative culture berkaitan dengan pengambilan risiko yang terukur.
Bagaimana menjembatani agar budaya inovasi semakin menguat:
a. Membentuk organisasi khusus untuk eksplorasi di luar organisasi yang sudah ada
yang terbiasa dengan exploitative. Eksplorasi dapat dikembangkan melalui proyek-
proyek internal atau pun berkolaborasi dengan mitra, pihak luar,
b. Masing-masing organisasi berjalan paralel dan pada waktu disadari bahwa hasil
eksplorasi terbukti lebih menguntungkan maka dilakukan penggabungan (integrasi)
dari keduanya,
c. Jangan paksakan untuk menjadikan satu budaya, biarkan berkembang keduanya,
namun harus semakin kuat di budaya inovasi yang eksporatif,
d. Tetapkan parameter dan KPI (Key Performance Index) yang lebih tinggi bagi
eksploratif agar lebih menantang namun disertai dengan sistem reward lebih tinggi,
15
e. Fokus pada isu-isu manusia seperti cara berpikir dan perilaku bukan pada sistem
prosedur dan program.
f. Budaya adalah kebiasaan dan keyakinan serta praktik yang berulang-ulang, jangan
biarkan perilaku yang menyimpang dan terlebih bertentangan dibiarkan karena itu
akan membelokkan dari maksud dan tujuan membentuk budaya inovasi yang
eksploratif,
g. Tetapkan orang-orang tertentu yang menjadi role-model atau champion di mana orang
lain akan berusaha untuk meniru dan mengikutinya.
DR. ELIEZER H. HARDJO Ph.D., CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers
(ICPM)
16
Kemesraan Arab-Cina
03-09-2016
Membahas Arab Saudi-Cina dalam konteks dialektika sepertinya tidak ketemu karena
dianggap dua kutub berbeda. Masih dalam konteks awam pula, bicara Arab-Barat juga
sepertinya tidak ketemu karena sama-sama dianggap dua kutub berbeda.
Tapi dalam realitas politik, ekonomi, sampai kenegaraan, bicara Arab-Cina sekarang bisa
dianggap sedang mesra-mesranya. Hubungan kedua negara sudah menyatu dalam simbiosis
mutualisme.
Apa yang terjadi di negara Arab Saudi saat ini tentu di luar dugaan kita. Karena ternyata Arab
dan Cina sudah melebur dalam persaudaraan yang sangat dekat. Hal ini bisa dilihat dari
produk Cina yang sudah membanjiri Arab. Mulai dari akik yang sempat bikin heboh
Indonesia, kini akik made in China juga membanjiri Arab. Padahal untuk raw material
berupa batu-batuan, di Arab melimpah.
Selain itu berbagai jenis produk yang menjadi serbuan jamaah Indonesia yang sedang
beribadah haji atau berumrah di Mekkah dan Madinah, mulai sandal, sabuk, kerudung, baju,
kopiah hingga ratusan produk lainnya, semua made in China. Di dalam Masjidilharam, kursi
yang dipakai salat bagi orang tua yang sudah tidak kuat berdiri sampai pagar-pagar pembatas
bagi jamaah yang beribadah juga buatan Cina.
Orang-orang Indonesia merasa bangga membeli oleh-oleh dari Mekkah dan Madinah seperti
barang istimewa karena dari Arab. Tapi coba dilihat labelnya: made in China. Hebat bukan?
Pekerja dari Cina terutama di sektor perdagangan juga sudah masuk Arab.
China Daily, media besar Negeri Tirai Bambu ini, juga sudah masuk Arab dengan menjadi
section khusus di koran Mekkah. Berita-berita dari perkembangan Cina bisa dibaca melalui
media di Arab.
Hubungan kedua pemerintahan juga sedang mesra-mesranya, ini ditandai dengan
ditandatanganinya 15 perjanjian di berbagai sektor mulai energi untuk housing hingga
perdagangan yang dilakukan Deputi Putra Mahkota Kerajaan Arab Mohammed bin Salman
dan wakil dari pejabat Cina Zang Gaoli.
Memang hubungan kedua negara ini sempat tidak harmonis karena Arab seperti sudah
”dipangku” oleh Barat karena haluan politik ekonomi bahkan sistem persenjataan Arab
dikendalikan Barat. Namun kini Arab mampu digoda Cina dengan kerja sama di bidang
ekonomi yang low cost dan tentu akan berkembang ke sistem kerja sama di berbagai sektor
17
lain.
Memang Cina sangat agresif untuk menguasai dunia sehingga Pemerintah Cina pun membuat
target tahunan untuk bisa mengakuisisi 500 perusahaan dunia. Untuk tahun ini, akuisisi yang
dilakukan perusahaan-perusahaan Cina melebihi target tahunan hingga mencapai 1.700
perusahaan di dunia, termasuk salah satunya perusahaan yang populer adalah klub bola Inter
Milan asal Italia.
***
Gencarnya Cina memengaruhi dunia, termasuk negara Arab ini, tentu harus menjadi
pelajaran bagi Indonesia. Mengapa Indonesia yang menjadi penyumbang devisa terbesar
untuk jamaah umrah dan haji, juga dikenal sebagai jamaah yang tingkat belanjanya paling
royal di dunia, tidak dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk memiliki akses yang kuat
terhadap Arab? Akses ini diperlukan dalam memberi ruang yang luas bagi pengusaha
Indonesia untuk berinvestasi di Arab dan berbagai fasilitas kemudahan bagi jamaah
Indonesia. Sebab sampai sekarang jamaah Indonesia masih banyak menghadapi persoalan
pelayanan, apakah di tingkat imigrasi, kuliner, atau urusan ibadah.
Tentu bagi jamaah atau yang sudah sering keluar-masuk Mekkah, pelayanan imigrasi
termasuk yang banyak dikeluhkan. Karena para petugas imigrasi seperti tidak terlalu peduli
dengan sistem pelayanan yang baik. Maka jamaah Indonesia sebelum berangkat ke Mekkah
selalu mendapat nasihat pertama: ikhlas dan sabar. Hal ini lebih difokuskan saat menghadapi
pelayanan imigrasi.
Untuk fasilitas kuliner, hal ini perlu diangkat sebagai isu penting karena banyaknya jamaah
Indonesia yang mendominasi Mekkah. Dengan begitu seharusnya bisa mudah mendapatkan
warung dengan masakan Indonesia. Namun yang diperoleh adalah warung Malaysia, Turki,
dan restoran-restoran cepat saji dari Barat. Ini bukan hal sepele, tetapi menjadi strategis
karena keberadaan warung ini bukan hanya mempermudah jamaah Indonesia untuk
mendapatkan menu masakan Indonesia ala kampung, tetapi juga terkait diplomasi budaya
Indonesia yang harus menyublim kuat ke seluruh jamaah dari berbagai belahan dunia. The
national pride of being Indonesian bertambah kuat bagi jamaah dari Tanah Air.
Untuk diplomasi kuliner ini, Indonesia harus menjadikannya sebagai isu strategis bagi
pemerintah karena persoalan ini menjadi silent movement yang agresif bagi negara lain
seperti Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Thailand serta negara-negara Barat. Coba lihat di
setiap tempat, jamaah Indonesia lebih menjadi konsumen untuk produk negara lain. Padahal
kurang apa kuliner Indonesia? Kurang apa garmen Indonesia?
Produksi garmen Indonesia yang melimpah sesungguhnya bisa memenuhi kebutuhan jamaah
di Mekkah. Industri tekstil kita termasuk nomor tiga terbesar di dunia. Tapi lagi-lagi
Indonesia sepertinya lebih senang menjadi penonton dan tukang gunjing kesuksesan negara
lain. Padahal secara batiniah seharusnya Indonesia memiliki hubungan G to G yang lebih
18
baik dengan Arab. Dengan demikian Indonesia bisa memanfaatkan sistem hubungan
perdagangan kedua negara dan kerja sama di banyak sektor industri dengan lebih produktif.
Semoga Pemerintah Indonesia bisa menangkap peluang ekonomi yang besar di Arab untuk
kepentingan the national pride of being Indonesian.
SURURI ALFARUQ
CEO KORAN SINDO
19
Tips Investasi Bagi ”Generasi Pokemon”
04-09-2016
Minggu lalu saya diwawancarai seorang jurnalis KORAN SINDO mengenai tren berinvestasi
pada generasi muda (berusia sekitar 18 hingga 30 tahun). Sebut saja mereka adalah ”Generasi
Pokemon”.
Salah satu pertanyaannya adalah apa tips bagi investor pemula. Maklumlah, investasi tidak
segampang memainkan game Pokemon Go. Berinvestasi tidak hanya masalah disiplin
menabung untuk hari depan tetapi juga berjuang melawan inflasi (kenaikan harga barang dan
jasa). Kalau uang yang kita investasikan pertumbuhannya kalah dari inflasi, secara jangka
panjang kita justru makin miskin karena daya beli melemah.
Deposito uang di bank, meskipun aman sepanjang jumlahnya tidak lebih dari Rp2 miliar,
bukan alternatif terbaik karena bunga deposito yang diperoleh kadang kalah dari inflasi.
Misalnya, kenaikan harga properti bisa mencapai 15%, sedangkan bunga deposito hanya
sekitar 7%. Investasi selain deposito, misalnya saham, mengandung risiko yang tidak kecil.
Maka generasi muda harus berhati-hati memilih instrumen investasi, serta memiliki
pengetahuan yang cukup tentang investasi. Menyadari hal ini, tahun 2011 saya menyusun
buku Smiling Investor bagi investor pemula, terutama kaum muda. Dalam buku tersebut saya
membagikan lima langkah berinvestasi secara sehat. Saya singkat menjadi TITIS, yang
dalam bahasa Jawa berarti tepat sasaran.
T pertama adalah singkatan dari TUJUAN. Ini langkah pertama dan amat penting dalam
berinvestasi. Apa tujuan kita berinvestasi? Cepat kaya? Sekolah MBA di Harvard lima tahun
mendatang? Persiapan pensiun 30 tahun lagi? Sebaiknya kita membuat tujuan yang lebih
spesifik. Misalnya, jumlah uang yang akan diinvestasikan, risiko yang berani ditanggung, dan
jangka waktu investasi.
Tujuan inilah yang menentukan apakah kita akan trading saham yang memanfaatkan
fluktuasi harga saham jangka pendek atau berinvestasi saham dengan jangka waktu lebih
panjang (buy and hold). Trading saham memiliki risiko yang lebih tinggi daripada buy and
hold.
Yang kedua adalah huruf I, singkatan dari INSTRUMEN. Pilihlah instrumen investasi yang
sesuai dengan tujuan investasi pilihan. Untuk tujuan investasi jangka panjang, investasi pada
saham menawarkan imbal hasil terbaik. Investasi saham juga tidak ribet sehingga cocok
untuk kaum muda yang berinvestasi sambil bekerja. Namun saham memiliki gradasi imbal
20
hasil dan risiko yang amat lebar. Jangan sampai kita membeli saham gorengan atau saham
yang prospeknya suram untuk investasi jangka panjang.
Huruf T kedua merujuk pada TELITI. Dana yang diinvestasikan jumlahnya tidak sedikit.
Jangan sampai salah pilih. Ibarat memilih calon pasangan hidup, harus dipertimbangkan bibit,
bebet, dan bobotnya. Berinvestasi juga demikian, harus teliti sebelum berinvestasi. Ingatlah
selalu nasihat ”buy what you know, know what you buy.”
Huruf I kedua merupakan singkatan dari INVESTASI. Lho kok? Kata “investasi” perlu
disebutkan karena investor sering lupa bahwa ia sedang berinvestasi, bukan berspekulasi.
Ada tiga unsur yang membedakan sebuah investasi dari spekulasi: (1) ada analisis yang
komprehensif sebelum membuat keputusan, (2) probabilitas kehilangan dana investasi relatif
rendah, dan (3) menjanjikan imbal hasil yang wajar.
Yang terakhir adalah huruf S, singkatan dari SEBARKAN RISIKO. Ingat bahwa investasi
selalu memiliki dua sisi: imbal hasil dan risiko. Janganlah menjadi ”investor bajak laut” yang
cuma punya satu mata, yaitu hanya bisa melihat sisi imbal hasil. Cara mengelola risiko adalah
dengan menyebarkan dana (diversifikasi) ke berbagai instrumen investasi.
Sebagai tambahan TITIS, ada tiga karakteristik yang harus dimiliki oleh investor agar sukses.
Saya singkat 3P. Pertama, PERCAYA DIRI. Jangan takut gagal berinvestasi karena kita tidak
memiliki latar belakang pendidikan bisnis yang cukup. Yang menentukan hasil akhir
bukanlah kepala (head) tetapi keberanian (gut) mengambil risiko. Namun kita harus berani
mengambil risiko secara cermat (calculated risk), bukan ”bonek” alias asal nekat.
Kedua, PENGETAHUAN. Investor yang punya pengetahuan dan mau melakukan riset
sebelum membeli sebuah saham memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi. Ada kisah
nyata tentang siswa SMA di Amerika Serikat yang lebih jago memilih saham daripada para
profesional pengelola uang. Mereka ternyata memilih saham perusahaan yang produknya
biasa mereka gunakan.
Ketiga, PENGENDALIAN DIRI. Meskipun mumpuni di bidang matematika, keuangan, dan
bisnis, jika investor tidak bisa mengendalikan emosinya, ia tidak akan menjadi investor yang
sukses. Pengendalian diri berarti menjaga diri untuk tidak terlalu takut (fear) namun juga
tidak serakah (greedy) yang bisa berakibat overdosis dalam mengambil risiko. Kasus
investasi bodong sering memakan korban orang berpendidikan karena mereka tidak bisa
menahan hasrat keserakahan.
Saat kaum muda mulai berinvestasi, ingatlah selalu TITIS dan PPP.
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
21
Dialektika Anggaran Nasional
05-09-2016
Berbagai polemik terkait pengelolaan keuangan negara akhir-akhir ini semakin menarik
untuk dianalisis.
Kebijakan amnesti pajak masih merupakan bahan diskusi yang hangat di masyarakat, apalagi
kebijakan ini belum menunjukkan hasil seperti diinginkan pemerintah. Antusiasme tinggi
masyarakat ini menarik, terutama sifat kritis terhadap kinerja APBN 2016 yang
mengkhawatirkan.
Dalam kenyataannya, sebagaimana banyak dilansir media dan pernyataan menteri keuangan
(menkeu), posisi penerimaan negara sedang tidak dalam top perform sehingga pemerintah
terpaksa memangkas (menunda) anggaran pemerintah. Kebijakan ini tentu bukan yang
terbaik (first best condition), tetapi ini pilihan tersulit yang harus diambil pemerintah di
tengah pilihan kebijakan yang tidak terlalu banyak. Kenapa ini kebijakan tersulit?
Berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir, anggaran pemerintah ini sangat besar
perannya pada capaian pertumbuhan ekonomi, pengurangan tingkat kemiskinan dan
pengangguran. Dampak psikis yang kemungkinan muncul berupa tingkat kepercayaan pada
proyek-proyek pemerintah, yang tentu bisa berdampak pada kestabilan politik, kualitas
layanan publik, dan ujungnya tentu pada kestabilan perekonomian.
Jika dilihat pada posisi penerimaan negara, sementara ini memang kita pantas untuk terus
ketar-ketir. Kondisi neraca penerimaan negara hingga Senin (29/8) pekan lalu tingkat
persentasenya cenderung masih lesu. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengumumkan
realisasi penerimaan dari sektor pajak masih terkumpul sekitar Rp596 triliun (44% dari target
APBN 2016).
Persentase realisasi penerimaan dana tebusan dari program amnesti pajak pun masih terhitung
seret, di mana posisi penerimaan hingga penghujung Agustus kemarin baru mencapai Rp4,32
triliun atau sekitar 2,6%. Dana repatriasi yang diharapkan mampu mengongkosi kebutuhan
investasi dalam negeri hingga saat ini hanya terkumpul Rp12,6 triliun. Total dana yang
berputar dari kebijakan ini (dana repatriasi dan deklarasi) tercatat terhimpun Rp204 triliun.
Lingkungan Istana saat ini boleh dibilang tengah berusaha ”menenangkan diri” dengan
mengeluarkan opini bahwa pergerakan dana amnesti pajak akan memuncak pada September
ini. Alasannya, masih banyak wajib pajak yang pada bulan kemarin aktif berkonsultasi
mengenai proses pengajuan amnesti pajak, serta tarif dana tebusan yang dianggap paling
murah bila dibandingkan ketika harus membayar setelah September berakhir.
22
Menkeu dari jauh-jauh hari memang sudah memperkirakan shortfall penerimaan pajak kita di
penghujung 2016 akan mencapai Rp219 triliun (14,23%). Dengan begitu, asumsi defisit
fiskal lagi-lagi bergerak ke atas (naik) dari sebelumnya 2,35% menjadi 2,5%. Persentase
penerimaan yang masih relatif kecil hingga asumsi shortfall pajak, yang kemudian
menjustifikasi ide menkeu untuk mengajukan kebijakan pemotongan anggaran belanja pusat
dan dana transfer daerah.
Imbas dari kebijakan inilah yang kemudian menggelindingkan berbagai polemik lanjutan.
Dari kacamata akademik, mungkin saja kebijakan ini memang menjadi pilihan yang terbaik
untuk menyelamatkan keseimbangan APBN 2016 dari ancaman defisit yang tidak terkendali.
Namun, ide ini akan memiliki makna yang berbeda jika ditarik ke arah pandangan sosial-
politik.
Bagaimana pun berita mengenai pemotongan anggaran bisa saja melemahkan semangat
investasi karena pemerintah dianggap mengurangi proporsi belanja pembangunan. Belum lagi
dengan guncangan psikis pada pemerintah daerah yang bisa saja tengah ”patah hati” karena
ketersediaan alokasi belanja daerahnya turut mengalami revisi di tengah jalan.
Jika berkaca pada beberapa pengalaman sebelumnya, biasanya setelah ini pemerintah akan
melakukan utang luar negeri (ULN) untuk mengamankan defisit APBN. Namun,
kelemahannya seringkali kebijakan ini akan disertai jejak perdebatan yang panjang sehingga
efek politiknya menjadi sering tidak terduga.
Alternatif yang paling aman, mungkin pemerintah bisa memilih untuk lebih mengoptimalkan
terbitnya surat utang (obligasi). Masyarakat perlu diberi kelonggaran untuk lebih terlibat aktif
menopang dana pembangunan. Kebijakan potensial ini yang menurut pandangan penulis
masih dilakukan dengan strategi yang cukup ”kering” sehingga capaiannya belum banyak
menumbuhkan alternatif pendanaan.
Berangkat dari berbagai latar belakang tersebut, ada beberapa pandangan yang menurut
penulis perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Beberapa pandangan ini tidak hanya
terkait langsung dengan keuangan negara, melainkan juga menyinggung beberapa sisi
kebijakan lainnya yang secara tidak langsung akan bermuara pada penyehatan keuangan
negara.
Pertama, optimalisasi penerimaan dari obligasi perlu ditingkatkan untuk tahapan pemulihan
APBN. Strategi ini akan mengerucut pada seberapa besar modal sosial pemerintah terhadap
sektor swasta dan sektor non-pemerintah lainnya karena capaian pendapatan dari obligasi
sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik terkait dengan upaya pengelolaan di
dalamnya.
Kalau pemerintah memang tengah berniat memperbesar kuota pendapatan dari obligasi,
pemerintah perlu mempertebal keyakinan publik bahwa aktivitas investasi obligasinya akan
memberikan profit dan benefit yang maksimal. Kata kuncinya, harus diiringi perubahan
23
kelembagaan, peningkatan transparansi pengelolaan keuangan, dan proyeksi kegiatan yang
marketable untuk dijadikan obyek obligasi. Selain itu, obligasi juga membutuhkan jaminan
stabilitas politik terutama pada jenis-jenis proyek yang termasuk kategori jangka panjang.
Kedua, kondisi APBN-P 2016 bisa jadi menggambarkan bahwa kita kurang andal dalam
proses penyusunan kebijakan fiskal serta perencanaan program dan kegiatan. Indikasinya
begitu tampak dari banyaknya revisi di berbagai lini yang terjadi di sepanjang 2016. Untung
saja, pemerintah mengambil langkah gesit salah satunya dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pemberian THR 2016.
Amanat yang terkandung di dalamnya sangat penulis dukung karena kembali menempatkan
peran Bappenas sebagai server berbagai lini perencanaan kebijakan, dan diimbangi dengan
pendayagunaan Kementerian Keuangan sebagai mitra perencanaan anggarannya. Bagaimana
pun memang sudah seharusnya antara perencanaan kebijakan harus terkoneksi kuat dengan
proyeksi anggaran di dalamnya.
Apalagi, terdapat keuntungan politis di mana kepala Bappenas yang sekarang pada jabatan
sebelumnya menempati posisi menteri keuangan. Dengan latar belakang tersebut, diharapkan
mendorong Bappenas untuk lebih mampu mengharmonisasikan antara perencanaan program
dan kegiatan dengan proyeksi kemampuan anggaran secara lebih elegan. Perubahan
kelembagaan ini juga diharapkan bisa mengurangi tumpang tindih kebijakan dan anggaran di
antara instansi pemerintah.
Ketiga, pemangkasan dana transfer daerah memang terkesan seperti memaksa berbagi rasa
sakit (sharing the pain) antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika pemerintah pusat
mengalami pengurangan alokasi belanja, pemerintah daerah menjadi turut merasakan.
Namun, dalam kondisi ini kita tidak bisa hanya menyudutkan pemerintah pusat sebagai biang
keresahan karena normatifnya filosofi dari dana transfer daerah (perimbangan) adalah
penyeimbang keuangan daerah, bukan sumber pendapatan utama. Ide untuk merestorasi
perekonomian perlu diperluas tidak terbatas pada lingkup nasional.
Pemerintah daerah perlu merenungi kembali bahwa sudah seharusnya mereka juga
mengembangkan daerahnya untuk lebih mandiri. Tahapan awalnya hampir sama dengan poin
kedua, perlu mengakomodasi perubahan fungsi kelembagaan dari Bappeda untuk menjadi
pusat perencanaan pembangunan daerah. Nanti Bappeda juga bisa berperan menjadi
lokomotif konektivitas antarspasial dan sektoral.
Keempat, aktivitas di sektor riil perlu diberikan berbagai insentif agar semakin menggeliat
karena di dalamnya terkandung banyak harapan untuk memperbaiki kinerja makroekonomi.
Aktivitas di sektor riil sangat mungkin mendukung geliat di sektor lapangan kerja, perbaikan
iklim sosial-ekonomi, kinerja ekstensifikasi pajak, serta dapat memacu pertumbuhan
ekonomi. Pemerintah dapat fokus pada pengembangan kualitas SDM dan infrastruktur yang
mendukung peningkatan produktivitas.
24
Dari lingkungan regulasi dan birokrasi, perlu ada penyesuaian yang ujung-ujungnya bisa
memangkas biaya transaksi. Hingga saat ini pemerintah memang sudah berusaha keras
dengan menerbitkan paket-paket deregulasi kebijakan ekonomi,namun langkah-langkah
tersebut belum tentu sudah cukup untuk meningkatkan easy doing of business. Kalau perlu,
pemerintah didukung untuk berani melakukan reregulasi (meregulasi ulang) karena bisa jadi
kebijakan lama yang dideregulasi sudah tidak cocok dengan kondisi terkini.
Kelima, pemerintah tidak bisa melepaskan peran otoritas moneter untuk menghidupkan
investasi di sektor riil. Geliat di sektor riil turut dipengaruhi kuat oleh tingkat suku bunga
yang digawangi Bank Indonesia (BI) sehingga pemerintah memang sudah sewajarnya
membangun hubungan yang ”romantis” dengan otoritas moneter agar kinerja di sektor riil
menjadi lebih dinamis.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang memuat investasi di sektor perumahan misalnya,
membutuhkan kelonggaran loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) dari BI untuk
menghidupkan permintaan kredit pemilikan rumah (KPR). Demi proses kelancarannya,
pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk
mengatur dinamika supply-demand KPR.
Dengan demikian, fokus penyehatan APBN memang harus dibangun secara menyeluruh
karena realisasi pendapatan dan belanja seringkali terbangun seperti hukum kausalitas (sebab-
akibat). Jika pemerintah memang menginginkan penerimaan negara bisa optimal, kebijakan
belanja pemerintah harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan obyek penerimaan.
Modal sosial antara pemerintah dan publik juga harus diperkuat untuk menghindari kasus-
kasus seperti tax avoidance dan tax evasion yang mengganggu optimalisasi pendapatan
negara. Teori yang perlu dipraktikkan untuk saat ini, negara harus hadir untuk kehidupan
rakyat, dan rakyat harus dilibatkan untuk pembangunan negara.
CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
25
Komunikasi Gagap Tax Amnesty
06-09-2016
Geger soal pengampunan pajak (tax amnesty) bukan sebuah kesengajaan yang dibuat
pemerintah untuk menutup suatu isu tertentu.
Keributan dan kepanikan yang terjadi di masyarakat juga bukan politisasi untuk
menggagalkan program nasional tax amnesty. Apa yang terjadi saat ini murni kebingungan
masyarakat yang direfleksikan dalam berbagai bentuk pesan dan reaksi. Apa yang kita
rasakan sekarang adalah sebuah kegagalan komunikasi publik pemerintah akibat perencanaan
pesan yang tidak jelas, komunikator yang kurang mumpuni, dan ketidakjelasan target yang
disasar.
Ketika isu ini masih ada di parlemen, publik sudah disuguhkan isu ada barter politik di balik
persetujuan UU Tax Amnesty. Meski sempat ramai, undang-undang tersebut mulus dan
hampir tidak ada kendala dalam pengesahannya. Dukungan politik di parlemen membuat
pemerintah abai dalam mengomunikasikan itu kepada masyarakat. Pemerintah sudah euforia
dengan mendapatkan payung hukum tax amnesty sehingga merasa punya tiket melakukan apa
saja untuk meraup duit dari masyarakat.
Padahal, payung hukum saja tidaklah cukup. Kesuksesan program yang digadang-gadang
mampu menambah penerimaan negara hingga Rp165 triliun ini perlu dukungan dan
partisipasi publik. Pemerintah mungkin lupa bahwa yang dihadapi adalah publik, bukan
parpol atau individu tokoh politik sehingga semua mengandalkan pemberitaan di media.
Namun, untuk soal pajak, tidak semudah menghadapi parpol yang bisa dibarter dan dilobi.
Urusan pajak adalah urusan perut, urusan ekonomi masyarakat yang kadarnya cukup sensitif.
Pesan Tak Sampai
Di awal isu tax amnesty bergulir, pesan yang diterima publik adalah program ini untuk
menyasar wajib pajak kelas kakap dengan menarik harta karun WNI yang tersimpan di luar
negeri. Dengan demikian, dukungan pun banyak mengalir, apalagi dengan iming-iming
penerimaan negara yang sangat besar dari program tersebut. Namun, setelah UU Tax Amnesty
bergulir, yang terjadi tax amnesty berlaku bagi semua golongan wajib pajak.
Publik bereaksi dan panik, merasa pemerintah berbohong soal tax amnesty. Apalagi, ormas
sekelas Muhammadiyah pun melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Tax
Amnesty sehingga menguatkan publik bahwa undang-undang ini memang bermasalah. Isu
terus bergulir dan menjadi bola liar hingga muncul hastag #StopBayarPajak. Giliran
pemerintah yang panik.
26
Simpang-siur informasi, pesan yang tidak jelas dan manajemen isu yang lemah, membuat tax
amnesty yang awalnya positif menjadi negatif di mata publik. Meski pemerintah berusaha
menjelaskan yang sebenarnya, informasi yang beredar bahwa pemerintah sulit ambil duit
pajak dari luar negeri lalu beralih ke dalam negeri sudah menancap cukup kuat. Dengan
begitu, apa pun yang dikatakan pemerintah menjadi tidak berarti, apalagi kondisi di lapangan
memang demikian. Semua pihak diminta ikut tax amnesty tanpa kecuali.
Dalam teori perencanaan pesan disebutkan bahwa pesan yang dibuat dan disampaikan harus
disesuaikan dengan tujuannya (Littlejohn 2005). Jika tujuan pemerintah adalah menarik dana
masyarakat dari pajak yang tidak dilaporkan, pesan yang dibuat bukan dengan menekankan
pada pengambilan harta yang disembunyikan di luar negeri seperti yang digaungkan sejak
awal. Pesan seperti ini hanya bertujuan menarik simpati publik melalui pemberitaan di
media.
Dampaknya adalah apa yang ada di benak publik dengan realisasi di lapangan berbeda jauh
sehingga menimbulkan reaksi, kecemasan, perlawanan, dan ketidakpercayaan. Dengan kata
lain, ekspektasi dengan realisasi berbeda sangat jauh. Ketika kesan pertama yang ditangkap
berbeda dengan kenyataan di lapangan, timbullah kebingungan.
Ditambah lagi semakin banyak informasi tentang tax amnesty, baik resmi maupun tidak. Ada
yang fakta atau rekayasa secara masif melalui sosial media semakin membuat bingung dan
meresahkan. Tidak ada keseimbangan antara informasi yang dibutuhkan dengan informasi
yang disediakan menimbulkan ketidakpastian sehingga dapat menimbulkan kericuhan.
Ketidakpastian juga bisa terjadi karena terlalu banyak informasi yang mereka dapat
(Goldhaber 1993). Persis apa yang disampaikan Goldhaber, ketika publik mendapatkan
terlalu banyak informasi dan tidak tahu mana info yang benar dan salah, muncullah
ketidakpastian. Apalagi, publik hanya mendapat klarifikasi yang sepotong-sepotong dari
pemerintah, dan membacanya di media dan media sosial yang juga belum terkonfirmasi
kebenarannya.
Sementara flyer yang dibuat Ditjen Pajak dan dibagikan di setiap kantor pajak dan bank
tidaklah cukup. Apalagi, isi pesan di flyer tersebut lebih banyak menjelaskan tata cara
pendaftaran tax amnesty, bukan hakikat, tujuan, sasaran dari tax amnesty tersebut. Ditambah
petugas pajak pun menjawab sesuai undang-undang bahwa tax amnesty berlaku untuk semua
lapisan yang merasa belum melaporkan hartanya.
Aktor Publik
Dalam setiap perencanaan pesan selalu ada orang yang menyampaikan pesan tersebut.
Keberadaan sang pembawa pesan ini menjadi penting apalagi saat situasi informasi tidak
terkendali. Apa yang terjadi dengan geger tax amnesty ini tidak hadirnya komunikator tax
amnesty yang tangguh, mengerti masalah, dan kredibel di mata publik.
27
Harus diapresiasi, untuk tax amnesty, Presiden langsung berdiri paling depan, mengajak
orang-orang kaya, para pengusaha untuk membangun negeri dengan ikut tax amnesty. Namun
seringnya Presiden bicara di forum-forum resmi berdasi membuat publik semakin yakin
bahwa tax amnesty memang diperuntukkan untuk pengusaha dan golongan kaya
raya. Apalagi, yang selalu diungkapkan Presiden adalah mengajak WNI yang ada di luar
negeri untuk ikut dalam tax amnesty agar dana-dana triliunan bisa masuk melalui bank, pasar
modal, dan berbagai instrumen investasi lain.
Dengan hanya mengandalkan Presiden sebagai komunikator tax amnesty, saat terjadi masalah
mispersepsi dan miskomunikasi di masyarakat, harus Presiden pulalah yang bisa
menenangkan. Kondisi seperti ini sudah tentu kurang sehat dalam manajemen komunikasi
publik pemerintah. Untuk apa Presiden punya staf dan pembantu jika untuk urusan yang
terkait publik harus turun tangan lagi. Kecuali kalau memang Presiden sendiri yang
menginginkannya untuk selalu tampil sebagai problem solver di tengah masyarakat.
Perasaan Publik
Jika pemerintah fokus pada pesan awal yang ingin menyasar WNI yang hartanya tersebar di
luar negeri dan orang-orang berpenghasilan besar saja, situasinya tidak ricuh seperti
sekarang. Sayangnya, pemerintah tidak konsisten dengan tujuan awalnya. Meski memang
undang-undang berlaku untuk semua golongan, setidaknya pemerintah punya
prioritas. Daripada ingin mengambil banyak wajib pajak, tapi dampaknya luas, lebih baik
ambil golongan yang sedikit, tapi dampaknya kecil dan hasilnya besar.
Yang lebih mengherankan lagi, menyasar tax amnesty ke wajib pajak umum dengan menebar
ancaman denda hingga 200% jika ditemukan harta yang belum dilaporkan. Reaksi publik
yang sudah kaget dengan tax amnesty semakin panik. Akhirnya itu berujung pada
pengungkapan kekecewaan. Di sinilah pemerintah terlihat kurang menyentuh nurani dan
perasaan publik.
Saatnya Presiden, kementerian, dan lembaga melakukan perencanaan pesan yang baik dengan
manajemen komunikasi publik yang taktis dan terukur. Jadikan kegagalan komunikasi tax
amnesty ini sebagai momentum perubahan manajemen komunikasi publik untuk semua
program pemerintah di berbagai sektor.
Rakyat Indonesia sebenarnya warga yang penurut dan pengertian. Namun, jika perencanaan
pesannya amburadul dan tidak terintegrasi, yang terjadi bukan ungkap, tebus, lega; tapi jadi
usil, kesal, begah. #JanganBerhentiBayarPajak.
GAIB MARUTO SIGIT
Jurnalis
28
BUMN dan Pengembangan UKM
06-09-2016
Dalam sebuah konferensi tingkat Asia yang membahas masalah usaha kecil menengah pada
saat coffee break, penulis terlibat percakapan dengan peserta dari Thailand, Jepang, dan
Singapura.
Pengusaha dari Thailand bercerita bahwa di negaranya, jika mereka mendapatkan kontrak
pekerjaan dari perusahaan dengan rating AAA, kemudian kontrak tersebut ditunjukkan ke
Bank Negara, dengan mudah mereka mendapatkan pinjaman tanpa harus mensyaratkan
kolateral atau pengalaman usaha tiga tahun. Artinya, kontrak tersebut dapat dijadikan sebagai
jaminan.
Sementara peserta dari Jepang mengatakan, produk-produk hasil inovasi baru dari pengusaha
di Jepang jika memang terbukti baik, negara dan perusahaan negaranya akan
memprioritaskan produk-produk tersebut. Terbayang juga oleh penulis pada peran BUMN di
Indonesia tercinta yang tampaknya menjauh dari tujuannya.
Keberadaan BUMN diatur dalam UU dan sebagaimana tertera dalam Pasal 2, UU Nomor
19/2003, BUMN bertujuan untuk: (a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (b) Mengejar
keuntungan; (c) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang/jasa yang
bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) Menjadi perintis
kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (e)
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.
BUMN sebagai Penyedia
Penulis mengambil contoh BUMN pangan untuk memotret peran BUMN sebagai penyedia
barang untuk pemenuhan hajat hidup orang banyak. BUMN yang menangani ini antara lain
Bulog, RNI, PN Garam, Pabrik Gula yang dijalankan PTP, dan lainnya.
Penulis mengacungkan jempol kepada pemerintah yang mengambil kebijakan di mana
BUMN pangan akan dibuat holding dan akan dinakhodai oleh Bulog. Artinya, ke depan
Bulog bukan saja harus mampu menyerap gabah petani, namun juga menyediakan gula,
cabai, garam, termasuk daging sapi dengan kualitas baik dan harga yang terjangkau oleh
masyarakat. Dengan ditunjuknya Bulog sebagai ”nakhoda” holding company dari BUMN
pangan, kita berharap banyak akan berkurangnya permasalahan klasik pangan di negeri ini.
29
BUMN Perintis Kegiatan Usaha
Pelindo sebagai contoh BUMN dengan tugas perintis kegiatan usaha dengan alasan sejalan
dengan program kerja Jokowi-JK. Seperti diketahui, negara kita yang berbentuk kepulauan
dengan lebih 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, peran Pelindo sebagai
penghubung di lautan sangat strategis, dan harus lebih banyak lagi. Maksudnya, pengadaan
pelabuhan umum di suatu pulau menjadi keniscayaan.
Untuk memperlancar arus barang antarpulau, pulau/provinsi harus memiliki pelabuhan yang
jumlah dan kualitasnya proporsional. Provinsi Kalimantan Timur misalnya, jumlah
pelabuhannya masih kurang. Meskipun Kaltim memiliki 22 pelabuhan (15 pelabuhan laut dan
7 pelabuhan sungai), kebanyakan pelabuhan tersebut milik swasta dan berstatus pelabuhan
terusan khusus (tersus) dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUK). Keberadaannya terkait
dengan izin usaha dari perusahaan tersebut, pelabuhan tersus dan TUK ini tidak bisa
digunakan untuk melayani barang di luar yang ditentukan peraturan. Belum lagi pelabuhan
ini banyak yang izinnya mati karena usaha utamanya juga mati (umumnya tambang).
Adalah tugas pemerintah untuk membangun iklim usaha yang kondusif, mengurangi
inefisiensi yang salah satunya membangun infrastruktur tol laut (pelabuhan umum).
Sebagaimana ucapan Presiden Jokowi pada 22 Mei 2015 di Makassar, ”Bila tol laut berjalan
nanti, akan ada konektivitas antara pulau-pulau sehingga akan menurunkan biaya
transportasi, serta biaya logistik akan turun, bahkan produk-produk yang tadinya mahal akan
jauh lebih murah. Selama ini biaya transportasi laut mahal. Nah, ini yang harus diselesaikan.
Kalau jasa transportasinya murah, produk juga akan murah. Dengan begitu, kompetisi dengan
negara lain akan lebih bersaing karena harga lebih murah.”
BUMN Membimbing Koperasi
Tujuan BUMN yang kelima adalah ”turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat”. Dalam konteks nomor lima
penulis mengambil contoh bank BUMN. Jika kita mengacu pada UU Nomor 19/2003 Pasal 2
ayat (e), semestinya ada perbedaan yang kasatmata antara bank BUMN dan bank BUMS
dalam menjalankan usahanya.
Faktanya, tidak ada perbedaan. Seperti BUMS, bank BUMN hanya mencari keuntungan dan
tidak/kurang aktif dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, maupun masyarakat. Jika bank BUMN benar-benar menjalankan
fungsinya dalam membimbing dan memberi bantuan kepada pengusaha lemah dan koperasi,
semestinya bank BUMN mampu melahirkan banyak pengusaha dan koperasi yang
tangguh. Dan, pada gilirannya perusahaan kecil akan berkembang ke menengah, dari
menengah ke besar, serta masyarakat akan ”melek keuangan”.
30
Di samping melupakan tujuan kelima, BUMN perbankan sepertinya juga mengabaikan fungsi
intermediasinya untuk membuka peluang bagi UKM untuk menjadi penyuplai mereka.
Namun, sepertinya bank BUMN enggan mengedukasi itu.
Jika mengikuti amanah undang-undang BUMN, semestinya bank BUMN menyisihkan
sebagian anggarannya untuk mengedukasi pengusaha kecil/mikro, koperasi, atau calon
nasabahnya. Perilaku BUMN perbankan yang demikian menunjukkan tidak ada perbedaan
antara bank BUMN dan bank BUMS.
Kinerja BUMN
Jika kita tengok kinerja BUMN, banyak kita temui kondisi BUMN yang ”salah urus”.
Revenue dan keuntungannya tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya. BUMN
yang diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi dan menghasilkan
keuntungan besar untuk digunakan sebagai penerimaan negara pada kenyataannya hanya
menghasilkan laba yang rendah dan bahkan banyak yang merugi.
Untuk kasus BUMN perbankan, setelah dilakukan restrukturisasi, kinerja empat bank BUMN
memang menunjukkan peningkatan yang baik dilihat dari peningkatan aset, penyaluran
kredit, dan pencapaian laba. Namun, masih ada beberapa indikator kelemahan dalam segi
kinerja, bisa dilihat dari birokrasi bank yang kadang mempersulit para pelaku usaha
kecil/mikro yang notabene termasuk kategori ekonomi lemah dalam memproses permohonan
pinjaman.
Kinerja BUMN yang demikian sangat mungkin disebabkan oleh birokratisasi yang terjadi
dalam manajemen BUMN. Birokratisasi menyebabkan ruang gerak BUMN tidak lincah
karena dibatasi oleh aturan yang kaku.
Kondisi BUMN ini juga diperparah dengan kelemahan struktural seperti kualitas direksi.
Rendahnya kualitas direksi sangat mungkin terjadi karena orang-orang yang ditunjuk sebagai
direksi bukanlah orang-orang yang terpilih dan terbaik. Tetapi, banyak di antara mereka yang
karena penunjukan politis atau ada kepentingan-kepentingan tertentu dari golongan-golongan
tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kapabilitas bukanlah kriteria utama, namun
lebih ditentukan oleh loyalitas dan besarnya setoran.
Posisi komisaris BUMN misalnya sudah sejak lama menjadi incaran partai politik. Padahal,
sudah ada peraturan tentang itu. Pada Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor: PER-
04/MBU/2009 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi dan Komisaris/Dewan
Pengawas Badan Usaha Milik Negara, di Pasal VI ayat 4 disebutkan, persyaratan lain
anggota dewan komisaris dan dewan pengawas adalah bukan dari pengurus partai politik
dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif. Namun, pada kenyataannya, para
calon ini tinggal mengundurkan diri dari partai atau anggota legislatif sebelum mencalonkan
diri sehingga sudah memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kementerian BUMN tersebut.
31
Selain permen tersebut, tidak ada undang-undang lain yang secara tegas melarang komisaris
BUMN berasal dari partai politik atau tim sukses. Itu sebabnya sebaiknya BUMN tetap
konsisten mengutamakan kompetensi, tidak mengorbankan kompetensi hanya demi
memberikan posisi kepada pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Rendahnya kinerja juga bisa disebabkan oleh posisi monopoli dari beberapa
BUMN. Monopoli yang berarti tanpa pesaing seringkali merugikan konsumen karena BUMN
tersebut dapat ”seenaknya” melakukan inefisiensi dalam proses produksinya dan
membebankan biaya-biaya yang inefisien tersebut kepada konsumen. Monopoli juga
menyebabkan BUMN ini bekerja semaunya, mengurangi jumlah produksi, menjual dengan
harga tinggi, dan/atau mengambil keuntungan yang tinggi.
Jika dibandingkan antara pengelolaan BUMN dan BUMS, dapat dikatakan bahwa secara
umum pengelolaan BUMN tidak sebaik BUMS karena direksi BUMN bukanlah pemilik
perusahaan. Jika BUMN merugi, direksi tidak merasa bertanggung jawab karena bukan uang
pribadinya.
Dari kondisi BUMN di atas, terlihat bahwa banyak BUMN yang belum menjalankan tujuan
keberadaan BUMN keseluruhan sebagaimana tertera dalam UU. Kondisi ini membuat penulis
bertanya-tanya: apakah tujuan BUMN dalam UU Nomor 19/2003 adalah sesuatu yang tidak
realistis dan tidak mungkin dicapai? Jika demikian, semestinya ada ”judicial review”
terhadap UU tersebut.
Mungkinkah Indonesia memiliki BUMN yang mampu bersaing di mancanegara sekaligus
mampu menjalankan tugasnya sesuai amanah UU? Jawabannya sangat mungkin. Tentunya
dengan sejumlah syarat seperti komitmen bahwa BUMN wajib dikelola secara profesional
dengan sumber daya manusia (SDM) yang profesional.
Perlu juga dilakukan penggolongan BUMN. Artinya, ada BUMN karena sifat jasa dan produk
barangnya diarahkan untuk menjadi pemain dunia, namun ada juga BUMN yang memang
disiapkan untuk kepentingan masyarakat Indonesia dan atau perintis.
SURYANI SIDIK MOTIK
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI)
32
G-20, MIKTA, dan Indonesia
07-09-2016
Awal September ini, negara-negara G-20 berkumpul di Hangzhou, Cina. Dengan topik yang
berfokus pada tiga area kerja sama utama, yaitu inovasi, revolusi industri baru, dan ekonomi
digital.
Pertemuan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 kali ini lebih banyak
membicarakan persoalan ekonomi global. Di luar agenda resmi KTT G-20 sendiri,
pertemuan-pertemuan di antara 20 negara yang dipandang mewakili kekuatan-kekuatan
berpengaruh dalam politik internasional sepanjang KTT itu juga dapat berfungsi menjadi
barometer stabilitas dunia.
Di tengah perubahan dunia yang ditandai dengan bayang-bayang persaingan antara kekuatan
status quo (G-7) dan emerging powers (yang tergabung dalam BRICS) yang dipertemukan di
dalam G-20, beberapa negara G-20 di luar dua blok tersebut membentuk MIKTA.
Dideklarasikan pada September 2013, MIKTA (singkatan dari nama negara-negara
anggotanya: Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, dan Australia) diharapkan dapat memberikan
ruang bagi penciptaan tata kelola global yang tidak hanya memperhatikan kepentingan
negara-negara besar tersebut. Sayangnya, dalam KTT G-20 kali ini, suara MIKTA tidak
terlalu terdengar.
MIKTA dan Tata Kelola Global
Berfungsinya tata kelola global adalah kunci bagi stabilitas dunia. Dunia terjerembap dalam
krisis yang kemudian memicu Perang Dunia ketika sistem moneter internasional gold
standard runtuh, Liga Bangsa-Bangsa tidak efektif, dan negara-negara besar terjebak dalam
lingkaran setan utang dan reparasi perang karena ketiadaan institusi internasional yang bisa
mengelolanya.
Belajar dari pengalaman tersebut, para pemenang Perang Dunia Kedua membangun beragam
institusi global yang masih bertahan hingga hari ini. Dalam politik internasional, didirikanlah
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam bidang ekonomi, konferensi Bretton Woods
melahirkan institusi yang kemudian kita kenal sebagai Dana Moneter Internasional (IMF),
Bank Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization,
sebelumnya GATT).
Namun, penting untuk mengingat bahwa institusi-institusi yang menopang tata kelola global
itu pun memiliki masa berlaku. Dalam bidang ekonomi, rezim moneter gold standard pun
bekerja baik selama hampir satu abad (1817-1914), membawa dunia pada periode yang
33
disebut sebagai ”masa kejayaan perdagangan bebas” dengan pertumbuhan perdagangan yang
mencapai rata-rata 4% per tahun. Toh, pada akhirnya rezim moneter internasional ini harus
tumbang saat hegemoni dunia saat itu, Inggris, memutuskan untuk mencampakkannya demi
mencegah memburuknya kondisi ekonomi domestik.
Dengan banyak kekurangan, institusi-institusi global yang dibentuk pasca-Perang Dunia
Kedua telah berfungsi dengan cukup baik hingga awal milenium baru. Namun, dunia yang
berubah membuat dorongan untuk melakukan reformasi terhadap tata kelola global itu
semakin menguat. Hal ini didorong oleh pergeseran kekuatan dalam politik dan ekonomi
internasional.
Lanskap global hari ini telah jauh berlari meninggalkan tahun 1945. Dalam bidang politik,
banyak negara menyerukan reformasi PBB dengan melakukan perubahan mendasar pada
Dewan Keamanan. Dalam bidang ekonomi, dorongan untuk mereformasi IMF dan Bank
Dunia juga semakin kencang. Krisis ekonomi tahun 1997/1998 memunculkan kekecewaan
besar pada negara-negara Asia yang kemudian menginisiasi Dana Moneter Asia. Meskipun
gagal terwujud, negara-negara Asia Timur secara bertahap mencoba mengurangi
kebergantungannya pada IMF dengan menghadirkan Chiang Mai Initiative. Sebagai raksasa
ekonomi baru, Cina menginisiasi berdirinya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)
yang akan menyediakan dana pembangunan bagi negara-negara berkembang seperti Bank
Dunia, tapi barangkali dikurangi dengan kerumitan persyaratannya.
Menghadapi dorongan reformasi tersebut, negara-negara yang selama ini membentuk dan
menopang tata kelola global cenderung bertahan. Reformasi Dewan Keamanan PBB belum
beranjak ke mana-mana. Perubahan dalam IMF dan Bank Dunia juga dipandang tidak cukup
signifikan. Amerika Serikat bahkan mengecam sekutu-sekutunya yang memilih untuk
bergabung dengan AIIB.
Di sisi lain, negara-negara yang merupakan kekuatan-kekuatan baru dunia juga tidak tinggal
diam. Mereka menikmati tata kelola global hari ini, namun sekaligus merasa bahwa institusi-
institusi tersebut tidak adil dan mengistimewakan negara-negara Barat. Jika persaingan ini
tidak dikelola dengan baik, kita menghadapi risiko besar: tata kelola global yang
disfungsional. Di sinilah MIKTA dapat memainkan peran penting.
Membuat MIKTA Relevan
Sebagai kumpulan dari negara-negara berkekuatan menengah (middle power) yang memiliki
peran regional dan aspirasi global, MIKTA memiliki potensi untuk menjaga supaya
kontestasi antara negara-negara status quo dan emerging powers dapat menemukan titik
keseimbangan yang tepat, sekaligus tidak hanya memperhatikan kepentingan negara-negara
besar tersebut. Namun untuk melakukan peran tersebut, MIKTA harus beranjak dari aktivitas
seremonial dan pernyataan bersama yang sporadis.
MIKTA tidak perlu membentuk institusi-institusi baru, tapi bisa memberikan kontribusi
34
penting dengan melakukan identifikasi terhadap reformasi apa saja yang diperlukan dalam
tata kelola global dan institusi-institusi internasional yang menopangnya serta kemudian
mengoordinasi negara-negara di luar kekuatan status quo dan emerging powers (dengan kata
lain: negara-negara biasa). Dengan cara ini, MIKTA dapat menjadi representasi dari
mayoritas negara di dunia di dalam G-20.
Untuk itu, negara-negara MIKTA yang sangat beragam ini juga harus mengupayakan
kesalingpahaman di dalam berbagai bidang. Di tahap awal MIKTA, mempererat kerja sama
antara anggota MIKTA dapat menjadi prioritas penting. Hal ini bisa dilakukan dengan
melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan tidak hanya para diplomat.
Di Indonesia sendiri, mengembangkan platform internasional baru terkesan tidak sesuai
dengan visi ”diplomasi untuk rakyat” yang menghendaki bahwa kebijakan luar negeri dapat
memiliki manfaat langsung bagi masyarakat. Hal ini dapat dijawab dengan menyelaraskan
upaya membangun MIKTA dengan pencapaian kepentingan nasional. Melalui MIKTA,
Indonesia mungkin dapat menggali manfaat yang lebih banyak daripada melalui jalur
bilateral dalam bekerja sama dengan Korea, Turki, Australia, dan Meksiko. Jika hal ini dapat
dilakukan, kita dapat mewujudkan apa yang dituliskan oleh Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi bersama para Menteri Luar Negeri Meksiko, Korea, Turki, dan Australia: ”21st
Century Global Governance: Rise of the Rest.”
SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
35
Menimbang Dilema Suku Bunga
07-09-2016
Sekalipun Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebanyak tiga
kali sejak awal 2016 hingga 100 basis poin (1%) menjadi 6,5%, tetapi suku bunga kredit
belum menurun signifikan. Mengapa suku bunga kredit belum turun tajam?
Akhirnya, BI mengubah suku bunga acuan dari BI Rate menjadi BI 7-Day Repo Rate pada 19
Agustus 2016. Sebagai pengingat, BI Rate yang mengacu pada tenor 12 bulan sekarang
berada di level 6,5%, sedangkan BI 7-Day Repo Rate 5,25%. Akibatnya, suku bunga acuan
berubah drastis dari 6,5% menjadi 5,25%.
Sudah barang tentu kebijakan itu bertujuan final untuk meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter dan memperkukuh kerangka operasi moneter. Dengan bahasa lebih
bening, supaya suku bunga acuan lebih membumi sehingga dapat menekan tingginya suku
bunga kredit. Suku bunga deposito sudah mulai menurun cukup signifikan mengingat biaya
dana (cost of fund) perbankan nasional mulai berkurang.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) menunjukkan rata-rata suku bunga deposito (rupiah)
terpangkas 11-85 bps dari Januari 2016 (ketika BI Rate masih bertengger tinggi 7,5%) hingga
Juni 2016 (tatkala BI Rate 6,5%) menjadi 6,75% untuk tenor satu bulan, 7,20% (tiga bulan),
7,82% (enam bulan) dan 8,04% (12 bulan). Tetapi suku bunga kredit hanya terpotong 11-64
bps pada periode sama menjadi 11,84% (kredit modal kerja), 11,49% (kredit investasi) dan
13,83% (kredit konsumsi).
Mengapa bank nasional tak segera menurunkan suku bunga kredit? Karena ekonomi belum
pulih benar, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah pasti berharap agar bank
nasional segera menyalurkan kredit lebih kencang lantaran suku bunga acuan sudah makin
tipis. Banyak kalangan mengharapkan agar suku bunga kredit turun segera setelah suku
bunga acuan turun. Namun, bank nasional masih belum menurunkan suku bunga kredit
secara signifikan sebab ekonomi belum tumbuh dan berkembang dengan normal. Ekonomi
masih belum berotot sehingga sektor riil masih mengerem hasrat untuk melakukan ekspansi
bisnis.
Alih-alih sektor riil mau mengajukan tambahan kredit, kredit yang sudah disetujui tetapi
belum ditarik (undisbursed loan) pun masih segunung. SPI mencatat kredit yang satu ini kini
mencapai Rp283,53 triliun per Juni 2016 meskipun sudah menurun dari bulan sebelumnya
Rp296,88 triliun. Artinya, permintaan kredit komersial belum optimal. Tengok saja kredit
hanya tumbuh 9,05% dari Rp3.677,35 triliun per Juni 2015 menjadi Rp4.010,17 triliun per
Juni 2016. Pertumbuhan kredit yang jauh dari target 12-14%.
36
Suku bunga acuan sudah kian tipis tetapi ternyata permintaan kredit belum bergerak kencang.
Kondisi itu melahirkan dilema suku bunga (rendah). Padahal sejak medio September 2015,
pemerintah telah menerbitkan 13 Paket Kebijakan Ekonomi yang bertujuan menggenjot
kredit dan investasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, paket itu
belum nendang pada hajat hidup sektor riil kecuali yang berkaitan dengan sektor properti
berupa program sejuta rumah mulai April 2015.
Paket kebijakan itu dinilai hanya menyuguhkan solusi dari sisi penawaran (supply side) dan
bersifat jangka panjang. Padahal, saat ini Indonesia membutuhkan permintaan (demand side)
yang tinggi untuk memperkencang gerak roda sektor riil sehingga menyuburkan pertumbuhan
ekonomi (Paul Sutaryono, “Madu dan Racun Brexit” di KORAN SINDO, 1 Agustus 2016).
Pada medio Agustus 2016, BI kembali mendorong bank nasional untuk terus mengucurkan
kredit dengan mengubah batas bawah rasio loan to funding ratio (LFR) yang dulu bernama
loan to deposit ratio (LDR) dari 78% menjadi 80% efektif 24 Agustus 2016. Batas atas tetap
92%. Tampaknya hanya naik 2%, tetapi bagi bank nasional papan atas angka 2% itu bisa
berarti triliunan nilai kredit yang harus digenjot lebih tinggi.
Bukan hanya itu. BI pun akhirnya memenuhi janjinya untuk melonggarkan moneter dengan
mengubah loan to value (LTV) bagi kredit properti dari 80% menjadi 85%. Sarinya, uang
muka menurun dari 20% menjadi 15%. Ini kabar baik bagi pengembang, bank nasional
terutama yang rajin menggarap kredit properti (kredit pemilikan rumah/KPR dan kredit
pemilikan apartemen/KPA) dan calon konsumen.
Memburu Kredit Konsumsi
Lalu, kredit jenis apa yang akan digeber bank nasional di tengah dilema suku bunga itu?
Pertama, memburu kredit konsumsi. Walaupun kredit komersial loyo, bank nasional tak akan
mati angin. Bank nasional akan memburu kredit konsumsi seperti KPR, KPA, kredit
kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA) yang makin laris manis.
Alhasil, kredit konsumsi menjadi primadona pendapatan. Hal ini akan mendorong makin
banyak bank nasional untuk rajin menggeluti KPR dan KPA meskipun BTN tetap menjadi
pemimpin pasar (market leader). Ini pun digadang-gadangkan pemerintah. Mengapa?
Lantaran sektor properti mampu mendorong 174 bisnis ikutannya untuk ikut bergairah.
Katakanlah, semen, pasir, genting, batu kali, batu bata, keramik, kayu, besi beton, pagar besi,
teralis, engsel, paku, listrik, kabel, lampu, dan cat.
Kedua, mengejar pendapatan CASA (current account and saving account). Pun bank
nasional terus mengejar pendapatan dari rekening giro, tabungan, dan deposito. Semua
rekening itu menghasilkan pendapatan yang manis. Belum lagi pendapatan dari komisi (fee-
based income). Sebut saja wealth management, cash management, internet banking, phone
banking, SMS banking, mobile banking, dan ATM. Produk tersebut terbukti menghasilkan
pendapatan nan gurih.
37
Ketiga, menggeber kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sudah pasti bank
nasional tidak akan meninggalkan segmen UMKM. Mengapa? Karena segmen itu
menjanjikan margin yang tebal. Maka sungguh layak ketika makin banyak bank nasional
menggeber kredit UMKM, sementara BRI tetap menjadi pemimpin pasar.
Tetapi terutama bank nasional papan atas bakal terus menggenjot kredit infrastruktur dengan
cara sindikasi. Model ini bertujuan untuk mitigasi risiko dengan berbagi risiko (risk sharing)
mengingat kredit infrastruktur menuntut dana tinggi dan berjangka waktu menengah dan
panjang.
Dengan aneka kredit demikian, bank nasional akan tetap mampu meningkatkan pengucuran
kredit hingga akhir 2016. Namun, ingat untuk mengerek kualitas kredit karena kredit
bermasalah (non-performing loan/NPL) mencapai 3,05% per Juni 2016 meskipun menipis
dari 3,11% per Mei 2016.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
38
Pusyar, Senjata Ampuh Lumpuhkan
Rentenir
07-09-2016
Saya sempat malu saat Kota Mojokerto mendapat julukan sebagai ”Kota Rentenir” beberapa
tahun lalu. Namun, itu kemudian saya maklumi karena faktanya, masyarakat di kota yang
kini terbagi menjadi tiga kecamatan ini banyak yang mengandalkan rentenir untuk kebutuhan
usaha mereka. Ini cukup menggelitik dan menjadikan target yang harus saya tangani saat
menjabat sebagai wakil wali kota Mojokerto waktu itu.
Meski kota ini terbilang kecil, usaha kecil dan menengah (UKM) cukup bergeliat. Sebagai
kota penghasil sepatu lokal, Kota Mojokerto mampu menyuplai kebutuhan sepatu di berbagai
kota, bahkan pulau. Tak heran jika Kota Mojokerto saat ini memiliki sekitar 1.823 UKM
beragam bidang.
Dengan banyak UKM itulah lantas tercetus bagaimana agar UKM ini sehat dan terbebas dari
jeratan rentenir. Itu adalah ide dasarnya. Membebaskan pelaku UKM dari jeratan rentenir
tentu saja tak mudah, namun itu bisa dilakukan.
Pemkot Mojokerto memulainya dengan peluncuran program Pembiayaan Usaha Syariah
(Pusyar). Karena berprinsip syariah, tentu saja program ini akan lebih lega dan membebaskan
peminjamnya dari sistem renten yang memberatkan. Program Pusyar yang sudah tahun ketiga
ini berjalan menggandeng beberapa pihak dengan satu tujuan, yakni memberikan pinjaman
mudah dan bebas bunga kepada pelaku UKM.
Lembaga yang digandeng untuk mewujudkan Pusyar ini di antaranya Badan Amil Zakat
(BAZ), Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag), Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES), serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang merupakan
bank milik Pemkot Mojokerto. Keempatnya bersinergi membuat sistem agar program Pusyar
berjalan sesuai target, yakni menumbuhkan ekonomi makro melalui tumbuhnya UKM.
Bagaimana sistematika agar peminjam modal yang dalam hal ini pelaku UKM tidak dibebani
bunga? BAZ Kota Mojokerto mengumpulkan infak para PNS di Kota Mojokerto mulai dari
golongan I hingga IV. Tahun pertama pengumpulan infak yang besarannya dituangkan dalam
peraturan daerah (perda) ini, BAZ mampu mengumpulkan uang sebesar Rp300 juta lebih.
Dana inilah yang dipakai membayar margin pinjaman modal yang dikucurkan BPRS.
Dari Rp300 juta dana infak ini, BPRS mengucurkan pinjaman modal sebesar Rp3 miliar
dengan asumsi BPRS mendapat keuntungan sebesar 10% dari total modal yang dipinjamkan.
39
Tahun kedua, ada kenaikan pengumpulan infak PNS yang mencapai Rp600 juta. Dana ini
lantas dikembangkan lagi untuk mengunduh tambahan pinjaman modal ke BPRS bagi pelaku
UKM. Saat ini total pinjaman bebas bunga yang diberikan kepada pelaku UKM telah
mencapai angka Rp9 miliar.
Sukses program Pusyar yang mendapat penghargaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
disaksikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, kami lantas berupaya memperbesar
kucuran modal kepada pelaku UKM dengan meningkatkan nilai infak yang dikumpulkan
BAZ. Tahun ini kami sedang menggarap perda yang menetapkan kenaikan nilai infak yang
dipungut dari PNS.
Saat ini pembiayaan syariah melalui program Pusyar sudah menyentuh 684 UKM dengan
besaran pinjaman maksimum Rp50 juta per UKM. Belum genap tiga tahun program Pusyar
berjalan, dampak ekonomi makro yang didapat cukup signifikan. Saat ini pertumbuhan
ekonomi Kota Mojokerto telah menyentuh angka 6,49. Angka yang menyalip pertumbuhan
ekonomi nasional maupun Jawa Timur. Kenapa begitu, dengan pertumbuhan UKM, otomatis
daya beli masyarakat meningkat. Pelaku UKM akan lebih berdaya secara ekonomi, begitu
juga masyarakat yang ikut terlibat di dalamnya.
Pusyar juga sebagai pemacu ekonomi inklusif. Setidaknya, angka disparitas ekonomi di Kota
Mojokerto terus mengalami penurunan sejak program ini diluncurkan. Saat ini angka
disparitas ekonomi di Kota Onde-Onde ini mencapai angka 0,02. Berkaca program Pusyar
yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, kami menargetkan agar semua UKM di Kota
Mojokerto yang saat ini berjumlah 1.823 UKM akan bisa disentuh pembiayaan dari program
ini.
Angka pengangguran setelah program Pusyar ini diluncurkan juga terus mengalami tren
penurunan. Ini tidak berlebihan karena UKM yang tumbuh tentu saja akan bisa merekrut
tenaga kerja. Perputaran ekonomi dari program Pusyar ini juga berdampak positif dalam
berbagai bidang. Di antaranya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Itu tak
luput dari kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang meningkat. Pusyar juga
mampu mengusir peran jahat para rentenir yang selama ini cukup menyulitkan iklim usaha
para pelaku UKM.
Pemkot Mojokerto juga mendorong pelaku UKM agar mengelola manajemen yang baik
menuju bankable. Karena dari sinilah pelaku UKM akan bisa memperluas usahanya dengan
kucuran modal tambahan. Pemasaran juga menjadi perhatian Pemkot Mojokerto agar pelaku
UKM semakin tumbuh seiring daya saing yang meningkat.
MAS’UD YUNUS
Wali Kota Mojokerto
40
Orang-Orang Kalah
08-09-2016
Sambil makan malam, mata saya arahkan ke program talk show di sebuah stasiun TV swasta.
Debat yang ditayangkan stasiun TV itu sedang seru-serunya. Para pembicaranya saling sela
dan memotong pembicaraan lawannya. Tiap pihak ngotot dengan argumentasinya untuk
menunjukkan bahwa dialah yang paling benar.
Menurut hemat saya dan berdasarkan obrolan dengan banyak penonton lainnya, kita yang
berada di luar jauh lebih mudah memilah siapa yang pendapatnya berbobot dan mana
pembicara yang ngaco, asbun alias asal bunyi. Mereka yang ngaco biasanya asal bicara.
Modalnya Cuma suara yang lantang, ngomong-nya panjang tanpa jeda, tetapi kalau disimak
baik-baik, isinya semua tak keruan. Hanya menyalahkan sana-sini. Di matanya semua tak ada
yang benar meski dia juga tidak menawarkan solusi apa-apa.
Tak mengherankan kalau sekarang model bicara seperti itu mulai muncul di sekeliling kita.
Rupanya belajarnya dari sana. Tahu sedikit saja sudah meledak. Dasarnya hanya membaca
judul atau petikan pesan dari media sosial, lalu bom! Meledaklah ketidaksenangan. Beberapa
ilmuwan mulai biasa mudah tersulut, padahal di kelas ia melarang mahasiswanya
menggunakan media sosial sebagai referensi.
Menurut David Waitley, orang-orang semacam ini sedang bermain untuk menjadikan
bangsanya kalah, menjadi the looser, pecundang. Alih-alih memberikan informasi yang
benar, mereka justru sedang “bermain”. Mereka tahu itu kurang pas, tapi kalau menyajikan
yang benar, rasanya kok kurang elegan, kurang terlihat kritis, kurang berani. Padahal semua
orang tahu, seorang pejuang itu adalah orang yang membela yang benar, bukan membela
yang bayar, apalagi membela yang jelas-jelas salah.
Kata teman saya, seorang ilmuwan terkemuka, sebagian dari mereka ini adalah orang-orang
yang ketika menduduki posisi yang terhormat ternyata tidak melakukan apa-apa kecuali
membuat ribut dan ketika diturunkan dari jabatannya kemudian ngoceh ke sana-
sini. Menyalahkan semua pihak.
Di layar TV lalu muncul pengamat lainnya yang mengatakan kalau mengambil langkah A
salah, menjalankan B tidak boleh, kalau menempuh cara C pun melanggar hukum. Tetangga
saya yang sedang bertamu dan mendengar dialog itu dari TV terlihat bingung. Padahal ia
ketua RW yang suaranya didengar warga. Tapi nalar sehatnya masih ada. Dia masih bisa
geleng-geleng kepala. “Mau dibawa ke mana bangsa ini oleh orang-orang itu,” ujarnya
sambil terkekeh-kekeh.
41
Celakanya memang para looser ini suka sekali mencari panggung untuk menyuarakan
pendapatnya. Meski ngaco, ada saja yang suka mendengarnya. Siapa pendengarnya? Orang-
orang kalah juga. Dan kalau mereka ketemu media yang suka mencari sensasi, klop. Jadi
ramai. Padahal substansinya tak ada atau sebutlah biasa-biasa saja.
Reaktif vs Proaktif
Baiklah kita ambil satu contoh, yakni debat soal tax amnesty. Anda tentu tahu siapa saja
orang yang suaranya begitu lantang kalau sudah bicara soal ini. Mereka kesannya membela
kalangan tertentu. Misalnya kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Materi
yang mereka lontarkan kebanyakan begini. Banyak pengusaha kecil, kata mereka, yang
bingung dengan tax amnesty. Mereka tidak paham apa itu sesungguhnya tax amnesty. Dan itu
diucapkan pula dalam talk show saat ia mulai paham. Tapi, ia katakan, sesungguhnya yang
tidak paham itu rakyat. Sudah begitu sosialisasi dari pemerintah, menurut mereka, juga
sangat kurang.
Mereka juga mempersoalkan, mengapa pemerintah terus memburu-buru pengusaha UMKM
agar mau mengikuti tax amnesty. Ngaco bukan! Mereka sudah memelintir isu, kata Pak RW
yang sedari awal merasa paham.
“Sebab kita semua tahu bahwa tax amnesty itu menyasar para pengusaha besar, terutama
mereka yang masih menyimpan sebagian asetnya di luar negeri. Jadi bukan untuk pengusaha
kelas UMKM. Bukan buat kita yang usaha warungan,” ujarnya. “Hanya kalau ada pengusaha
UMKM yang dulu belum membayar pajaknya, silakan manfaatkan momentum ini. Silakan isi
form dan melunasi utang pajaknya. Pemerintah tak akan memeriksa,” tambahnya lagi.
Saya juga heran, pintar sekali ketua RW saya walaupun sekolahnya hanya sampai SMA,
kalah dengan narasumber yang senang marah-marah di TV tadi. Akan tetapi bukan itu yang
menjadi concern saya. Buat saya, ramai-ramai soal tax amnesty membuat kita bisa dengan
mudah melihat gambaran dari kelompok yang perilakunya serbareaktif dengan mereka yang
mempunyai perilaku proaktif. Apa maksudnya? Begini. Mengapa sih kita mesti menunggu
sosialisasi dari pemerintah? Sebab kalau kita memang mau mencari tahu soal tax amnesty,
caranya gampang sekali. Kita bisa mencari informasinya di berbagai media cetak, media
online atau media elektronik. Bahkan di YouTube. Tinggal tanya pada Google.
Kita juga bisa mencari informasinya di website Ditjen Pajak. Kalau kurang, masih ada situs
Kementerian Keuangan, website dari bank-bank yang bekerja sama dalam program tax
amnesty, dan masih banyak lagi sumber lain. Di era sekarang ini, informasi begitu terbuka,
melimpah, dan tersedia di mana-mana. Jadi, bagi saya, menunggu sosialisasi adalah perilaku
yang reaktif, bukan proaktif.
Dan reaktif adalah perilaku para looser. Sementara perilaku para pemenang sebaliknya.
Mereka justru bersikap proaktif. Mereka cari dan kalau tidak paham baru bertanya. Perilaku
42
semacam inilah yang saya lihat berkembang di mana-mana. Di dunia kerja, juga di
lingkungan pendidikan.
Di lingkungan pendidikan, misalnya, sekarang bukan lagi eranya satu arah. Dosen mengajar,
mahasiswa mendengarkan dan mencatat. Setelah itu dosen menugasi mahasiswa untuk
mengerjakan tugas-tugas dan dia tinggal menilai. Ini cara lama. Cara sekarang berbeda.
Sekarang dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari untuk esok hari. Para mahasiswa
diminta untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Sumbernya silakan cari dari mana saja. Buku-
buku di perpustakaan atau googling di internet. Esok harinya dosen dan para mahasiswa akan
membahas bersama-sama topik tersebut. Mahasiswa sekarang banyak yang menyadari cara
baru itu. Kecuali dosennya mendiamkan.
Sekarang semua tugas yang mesti dikerjakan di rumah juga sudah di-upload di website. Jadi
mahasiswa mesti aktif mengecek website, mencari tahu apa saja tugas yang harus mereka
kerjakan. Bukan lagi menunggu perintah dari dosen.
Itu di lingkungan pendidikan. Di lingkungan perusahaan juga kurang-lebih serupa.
Karyawan-karyawan baru tak lagi dituntun. Mereka hanya diberi gambaran besar tentang
pekerjaannya, selebihnya cari sendiri. Mereka dituntut untuk proaktif. Silakan bertanya kiri-
kanan. Kalau belum jelas, silakan bertanya ke atasan. Dengan cara seperti itu, perusahaan
akan lebih mudah memilah mana karyawannya yang potensial dan mana yang tidak. Mana
karyawan yang reaktif dan sukanya menunggu perintah serta mana yang
proaktif. Mengerjakan sesuatu tanpa menunggu diperintah.
Kata Robin S Sharma, “A leadership culture is one where everyone thinks like an owner, a
CEO or a managing director. Its one where everyone is entrepreneurial and proactive.”
Anda tahu, Robin Sharma adalah penulis dan pembicara publik asal Kanada. Salah satu buku
karyanya berjudul The Monk Who Sold His Ferrari. Jadi kalau Anda lebih suka memilih tipe
karyawan yang mana?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
43
Pertamina Menjadi Pemain Global
09-09-2016
Di tengah penurunan harga minyak dunia, agak mengejutkan Pertamina bisa meraup laba
sekitar USD1,83 miliar pada semester I/2016 atau naik sebesar 221% dibanding periode yang
sama pada 2015.
Dengan perolehan laba sebesar itu, Pertamina merupakan satu di antara beberapa perusahaan
minyak global yang berhasil meraih pertumbuhan laba cukup tinggi. Peningkatan perolehan
laba itu jauh melampaui perolehan laba Petronas Malaysia, ”murid” Pertamina yang selama
ini lebih unggul ketimbang gurunya, telah mengalami penurunan laba bersih hingga 72%
dibanding tahun sebelumnya.
Dalam kondisi penurunan produksi dan harga migas, peningkatan laba Pertamina itu
mestinya bukan berasal dari peningkatan volume penjualan, melainkan lebih dipicu oleh
efisiensi besar-besaran yang dilakukan Pertamina sejak di bawah Direktur Utama Dwi
Soetjipto. Efisiensi itu utamanya dicapai dari pengadaan impor bahan bakar minyak (BBM)
untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Sejak Petral dibubarkan lantaran ditengarai sebagai sarang mafia migas, pengadaan impor
BBM dialihkan dari Petral Singapura ke Integrated Supply Chain (ISC) di bawah kendali
Kantor Pusat Pertamina Jakarta. Sejak itu Pertamina bisa melakukan penghematan hingga
USD100 juta atau sekitar Rp1,3 triliun. Total penghematan itu diprediksikan akan terus
meningkat, yang akan mencapai sekitar USD651 juta atau Rp8,5 triliun pada akhir 2017.
Pemain Global atau Jago Kandang
Selain mampu mencatatkan laba dalam jumlah besar, Pertamina era Dwi Soetjipto juga
tercatat yang paling ekspansif dalam memasuki industri migas global dibanding direktur
utama Pertamina sebelumnya. Tidak hanya dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi
ladang migas di luar negeri, Dwi Soetjipto juga sangat agresif dalam mengakuisisi saham
perusahaan minyak global.
Baru-baru ini Pertamina telah mengakuisisi atas 24,53% saham perusahaan migas asal
Prancis, Maurel & Prom. Harga saham yang dibeli Pertamina seharga 4,2 euro per lembar,
total biaya mencapai sekitar 200 juta euro atau sekitar Rp2,9 triliun. Momentum pembelian
saham Maurel & Prom dinilai juga sangat tepat. Pasalnya, di tengah kecenderungan
rendahnya harga minyak dunia, harga saham perusahaan minyak global juga mengalami
kemerosotan sehingga Pertamina membeli saham Maurel & Prom dengan harga relatif
murah. Kalau terjadi kenaikan harga minyak dunia yang bisa mendongkrak harga saham
44
Maurel & Prom, Pertamina berpotensi akan mencatatkan capital gain (selisih harga jual
dengan harga beli saham).
Menurut Pertamina, akuisisi 24,53% itu sebagai langkah awal untuk mengambil alih
mayoritas saham Maurel & Prom hingga Pertamina dapat menguasai dan mengendalikan
ladang migas, yang memiliki cadangan minyak sebesar 205 juta barel. Cadangan minyak
terbukti itu tersebar di berbagai negara di antaranya Gabon, Tanzania, Nigeria, Namibia,
Prancis, dan Vietnam.
Dengan penguasaan saham Maurel & Prom, tidak diragukan lagi bahwa Pertamina telah
melangkah menjadi pemain global sebagai world class oil company. Benefit lain yang dicapai
dengan akuisisi saham Maurel & Prom adalah ada tambahan pasokan minyak untuk
kebutuhan dalam negeri. Selama ini produksi minyak Indonesia cenderung turun hingga
lifting minyak Indonesia tinggal 840.000 barel per hari. Dengan produksi Maurel & Prom
sebesar 30.000 barel per hari, diharapkan dapat meningkatkan pasokan minyak Indonesia,
terutama untuk diolah di kilang minyak dalam negeri untuk menambah pasokan BBM,
sehingga dapat menurunkan impor BBM untuk konsumsi dalam negeri.
Tentunya tujuan pembelian saham Maurel & Prom tidak semata-mata memperoleh capital
gain dan tambahan pasokan minyak, tetapi ada benefit lain yang akan diperoleh Pertamina.
Benefit itu di antaranya peluang transfer teknologi dalam eksplorasi dan eksploitasi ladang
minyak di luar negeri, kesempatan bagi tenaga kerja dan manajemen Indonesia yang terlibat
untuk meningkatkan skill-nya dalam operasional produksi dan pemasaran minyak, serta
memanfaatkan jaringan distribusi yang selama ini sudah dibentuk oleh Maurel & Prom.
Benefit tersebut akan menjadi nilai tambah, yang akan dapat diterapkan di ladang migas
Pertamina dalam negeri.
Dengan pembelian saham Maurel & Prom dan saham perusahaan minyak global lain, tidak
hanya mendorong Pertamina menjadi pemain global, namun secara simultan juga akan
memperkuat pengelolaan dan operasional ladang migas Pertamina di dalam negeri. Untuk
mencapai itu, Pertamina harus lebih fokus untuk melakukan pendalaman bisnis di sektor
hulu, baik di dalam maupun luar negeri.
Agar berhasil dalam pendalaman bisnis di sektor hulu, Pertamina harus mulai meminimkan
beban bisnis yang justru berpotensi menjadi penghambat bagi Pertamina untuk menjadi
pemain global. Untuk itu, Pertamina harus rela menyerahkan saham PT Pertamina
Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang energi panas
bumi, kepada PLN. Demikian juga dengan PT Pertagas, anak perusahaan Pertamina di bisnis
distribusi gas, sebaiknya diserahkan kepada PT PGN Tbk untuk merger. Bukan malah
Pertamina berambisi untuk mencaplok PT PGN, yang dibungkus dengan holding energi.
Pertamina, sebagai national oil company (NOC), yang bebannya cukup berat dalam
menjalankan fungsi penugasan dari pemerintah, bahkan mestinya harus menolak untuk
ditunjuk sebagai holding energi sesuai dengan konsep menteri BUMN. Tanpa memikirkan
45
beban bisnis yang justru menjadi penghambat bagi Pertamina untuk melakukan pendalaman
bisnis di sektor hulu, jangan harap perjalanan Pertamina menjadi pemain global akan berjalan
mulus.
Kalau kali ini Pertamina gagal menjadi pemain global sebagai world class oil company,
dikhawatirkan Pertamina tetap menjadi ”jago kandang” selamanya.
FAHMY RADHI
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafi Migas
46
Implementasi Strategi dan Transformasi
Bisnis
09-09-2016
Kemauan dan kemampuan organisasi untuk belajar dan menerapkannya dalam praktik,
merupakan faktor penting dalam competitive advantage.
Sebuah perubahan dan transformasi dimulai dengan pemikiran, kemudian menuangkan
pemikiran tersebut ke dalam daftar ide dan perencanaan, dan selanjutnya mewujudkannya
menjadi sebuah realita. Sebuah proses pembelajaran dan perwujudan ke dalam realita yang
membawa perubahan itulah transformasi.
Ada tiga faktor kritis yang memengaruhi dunia bisnis dewasa ini: 1. Perubahan yang sangat
cepat bahkan sering terlalu cepat (accelerated change); 2. Situasi yang bertambah dan
semakin kompleks (overwhelming complexity); 3. Persaingan yang gencar (tremendeous
competition). Transformasi bisnis dimaksudkan untuk dapat menghadapi ketiga tekanan
tersebut.
Ada tahapan yang harus dilalui, menurut Ambassador Tal Edgars, AJF Honorary Advisor &
Member to the Foundation Board of Advisors at Africa Justice Foundation yang ia sebut
Strategy Implementation Program (SIP), diawali oleh CEO atau group executive committee.
Tahap pertama, mengklarifikasi dampak terhadap masing-masing bagian organisasi dan
membuat perencanaan perubahan yang diperlukan.
Dalam strategi yang dibuat, ditetapkan gol dan nilai-nilai yang dianggap penting dan
bermanfaat bagi pelanggan mereka (customer value) dan bagaimana memenuhinya — sering
kali tidak diuraikan dengan jelas bagaimana caranya. Karena itu, perlu diperjelas dan
dipertegas strategi yang terkait, mengidentifikasi perubahan yang diperlukan dan menyusun
program yang disebut business transformation program.
Tahap kedua, mengomunikasikan dan melibatkan orang-orang terkait dengan visi
perubahan. Transformasi bisnis memerlukan komunikasi khusus yang dirancang baik dari
atas ke bawah (top-down) maupun dari bawah ke atas (bottom-up) baik secara internal
maupun ke eksternal, stakeholders. Agar masing-masing mengerti akan perubahan dan
manfaatnya baik yang akan maupun yang sedang dijalankan dan memberikan informasi
(feedback) terhadap program yang dijalankan.
Tahap ketiga, memilih metrik dan kuadran yang cocok, menghubungkan dan menyelaraskan
gol dan target perusahaan dengan key performance indicators (KPI) tiap-tiap departemen dan
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016
(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016

More Related Content

What's hot

IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
Rosa Kristiadi
 
paper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskalpaper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskal
Mulyadi Yusuf
 
Analisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskalAnalisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskal
Arief H
 
09 kebijakan moneter dan fiskal
09 kebijakan moneter dan fiskal09 kebijakan moneter dan fiskal
09 kebijakan moneter dan fiskal
Emelda Annisa
 
Paper kel 3 dilema dana pensiun
Paper kel 3 dilema dana pensiunPaper kel 3 dilema dana pensiun
Paper kel 3 dilema dana pensiun
Reza Yudhalaksana
 
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuanSoal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
T'Janross Ingiend
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Badan Kebijakan Fiskal
 

What's hot (20)

Final informasi apbn 2018
Final informasi apbn 2018 Final informasi apbn 2018
Final informasi apbn 2018
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskal
 
Faktor faktor pendukung kebijakan fiskal
Faktor faktor pendukung kebijakan fiskalFaktor faktor pendukung kebijakan fiskal
Faktor faktor pendukung kebijakan fiskal
 
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesiOptimisme pemerintah lepas dari resesi
Optimisme pemerintah lepas dari resesi
 
Kebijakan moneter & fiskal
Kebijakan moneter & fiskalKebijakan moneter & fiskal
Kebijakan moneter & fiskal
 
Market update 20140213 blog
Market update 20140213 blogMarket update 20140213 blog
Market update 20140213 blog
 
IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
IERO NO 1/TAHUN III/MARET 2014
 
paper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskalpaper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskal
 
Kebijakan fiskal. moneter dan investasi
Kebijakan fiskal. moneter dan  investasiKebijakan fiskal. moneter dan  investasi
Kebijakan fiskal. moneter dan investasi
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskal
 
Analisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskalAnalisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskal
 
09 kebijakan moneter dan fiskal
09 kebijakan moneter dan fiskal09 kebijakan moneter dan fiskal
09 kebijakan moneter dan fiskal
 
Kebijakan moneter dan fiskal
Kebijakan moneter dan fiskalKebijakan moneter dan fiskal
Kebijakan moneter dan fiskal
 
1. kebijakan fiscal
1. kebijakan fiscal1. kebijakan fiscal
1. kebijakan fiscal
 
Usulan untuk mendapatkan penerimaan negara untuk membiayai belanja
Usulan untuk mendapatkan penerimaan negara untuk membiayai belanjaUsulan untuk mendapatkan penerimaan negara untuk membiayai belanja
Usulan untuk mendapatkan penerimaan negara untuk membiayai belanja
 
Paper kel 3 dilema dana pensiun
Paper kel 3 dilema dana pensiunPaper kel 3 dilema dana pensiun
Paper kel 3 dilema dana pensiun
 
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuanSoal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
Soal kebijakan moneter dan fiskal lampiran soal tes pengetahuan
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
 
Presentasi ekonomi kebijakan anggaran dan fiskal
Presentasi ekonomi kebijakan anggaran dan fiskalPresentasi ekonomi kebijakan anggaran dan fiskal
Presentasi ekonomi kebijakan anggaran dan fiskal
 
Kontan mingguan edisi 12 10-2015
Kontan mingguan edisi 12 10-2015Kontan mingguan edisi 12 10-2015
Kontan mingguan edisi 12 10-2015
 

Similar to (sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016

Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbnTransparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
wandranatuna
 
Kenaikan Tax Ratio di Indonesia
Kenaikan Tax Ratio di IndonesiaKenaikan Tax Ratio di Indonesia
Kenaikan Tax Ratio di Indonesia
ekonomi_makro
 
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnisAplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
Wahono Diphayana
 
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARAREVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
Mas CR
 

Similar to (sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016 (20)

Adm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docxAdm Keuangan Ari.docx
Adm Keuangan Ari.docx
 
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbnTransparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
 
ADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docxADM KEUANGAN LENA.docx
ADM KEUANGAN LENA.docx
 
Potret Tindak Lanjut Temuan BPK
Potret Tindak Lanjut Temuan BPKPotret Tindak Lanjut Temuan BPK
Potret Tindak Lanjut Temuan BPK
 
Tugas ekonomi makro
Tugas ekonomi makroTugas ekonomi makro
Tugas ekonomi makro
 
Tantangan dalam pemungutan pajak
Tantangan dalam pemungutan pajakTantangan dalam pemungutan pajak
Tantangan dalam pemungutan pajak
 
Majalah Inside Tax Edisi 36
Majalah Inside Tax Edisi 36Majalah Inside Tax Edisi 36
Majalah Inside Tax Edisi 36
 
hukum pajak.docx
hukum pajak.docxhukum pajak.docx
hukum pajak.docx
 
Kenaikan Tax Ratio di Indonesia
Kenaikan Tax Ratio di IndonesiaKenaikan Tax Ratio di Indonesia
Kenaikan Tax Ratio di Indonesia
 
Artikel keuangan negara
Artikel keuangan negaraArtikel keuangan negara
Artikel keuangan negara
 
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
 
Kebijakan fiskal_ sistem ekonomi Indonesia
Kebijakan fiskal_ sistem ekonomi Indonesia Kebijakan fiskal_ sistem ekonomi Indonesia
Kebijakan fiskal_ sistem ekonomi Indonesia
 
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnisAplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
Aplikasi kebijakan fiskal dalam bisnis
 
Kebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasiKebijakan fiskal presentasi
Kebijakan fiskal presentasi
 
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxSPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
 
Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013Beberapa rincian tentang apbn 2013
Beberapa rincian tentang apbn 2013
 
Crowiding out
Crowiding outCrowiding out
Crowiding out
 
ADM KEUANGAN 1.docx
ADM KEUANGAN 1.docxADM KEUANGAN 1.docx
ADM KEUANGAN 1.docx
 
Ekonomi Publik
Ekonomi PublikEkonomi Publik
Ekonomi Publik
 
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARAREVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
REVIEW EKONOMI PUBLIK DAN KEUANGAN NEGARA
 

Recently uploaded

Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
jaanualu31
 
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
BagaimanaCaraMenggug
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Riyadh +966572737505 get cytotec
 
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotecAbortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Riyadh +966572737505 get cytotec
 
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang 082223109953 Cytotec Asli Serang
 

Recently uploaded (17)

Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
 
1. PERMENDES 15 TH 2021 SOSIALISASI.pptx
1. PERMENDES 15 TH 2021 SOSIALISASI.pptx1. PERMENDES 15 TH 2021 SOSIALISASI.pptx
1. PERMENDES 15 TH 2021 SOSIALISASI.pptx
 
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
5 CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN DAN Jual Obat ABORSI + obat PENGGUGUR KANDUNGAN...
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
 
Kemenkop LAPORAN KEUANGAN KOPERASI- SAK EP (25042024).pdf
Kemenkop LAPORAN KEUANGAN KOPERASI- SAK EP (25042024).pdfKemenkop LAPORAN KEUANGAN KOPERASI- SAK EP (25042024).pdf
Kemenkop LAPORAN KEUANGAN KOPERASI- SAK EP (25042024).pdf
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
 
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptxMODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE LEAST COST.pptx
 
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotecAbortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
 
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
 
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptxMODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
MODEL TRANSPORTASI METODE VOGEL APPROXIMATIONAM.pptx
 
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptxPEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
PEREKONIMIAN EMPAT SEKTOR (PEREKONOMIAN TERBUKA).pptx
 
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
K5-Kebijakan Tarif & Non Tarif kelompok 5
 
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptxMETODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
METODE TRANSPORTASI NORTH WEST CORNERWC.pptx
 
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptxTEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
TEORI DUALITAS TENTANG (PRIM AL-DUAL).pptx
 

(sindonews.com) Opini ekonomi 31 agustus 2016-14 oktober 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI PERTARUHAN KREDIBILITAS FISKAL Bhima Yudhistira Adhinegara 4 MEMAHAMI AUDIT BPK Sunarsip 7 PENGAMPUNAN PAJAK ATAU MALAADMINISTRASI? Alamsyah Saragih 10 INOVASI DAN BUDAYA PERUSAHAAN Eliezer H Hardjo 13 KEMESRAAN ARAB-CINA Sururi Alfaruq 16 TIPS INVESTASI BAGI “GENERASI POKEMON” Lukas Setia Atmaja 19 DIALEKTIKA ANGGARAN NASIONAL Candra Fajri Ananda 21 KOMUNIKASI GAGAP TAX AMNESTY Gaib Maruto Sigit 25 BUMN DAN PENGEMBANGAN UKM Suryani Sidik Motik 28 G-20, MIKTA, DAN INDONESIA Shofwan Al Banna Choiruzzad 32 MENIMBANG DILEMA SUKU BUNGA Paul Sutaryono 35 PUSYAR, SENJATA AMPUH LUMPUHKAN RENTENIR Mas’ud Yunus 38 ORANG-ORANG KALAH Rhenald Kasali 40 PERTAMINA MENJADI PEMAIN GLOBAL Fahmy Radhi 43 IMPLEMENTASI STRATEGI DAN TRANSFORMASI BISNIS Eliezer H Hardjo 46 MEMBASMI INVESTASI MUKIDI
  • 2. 2 Lukas Setia Atmaja 49 PILIHAN SULIT PEMERINTAH Candra Fajri Ananda 51 TAIWAN DAN DAYA DORONGNYA Dinna Wisnu 55 MAKANAN KEDALUWARSA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Posman Sibuea 58 TATA ULANG BISNIS HEWAN KURBAN Khudori 62 PARADIGMA POLITIK PEMBANGUNAN MARITIM Muhamad Karim 65 MEMAHAMI RISIKO DALAM SISTEM PEMBAYARAN Achmad Deni Daruri 69 MENYUSUN DAN MEMBANGUN STRATEGI SEGMENTASI PASAR Eliezer H Hardjo 72 DIMENSI KERAKYATAN PEMBANGUNAN DESA Dani Setiawan 75 SELLING WINNERS, BUYING LOSERS Lukas Setia Atmaja 79 MERKANTILISME, PAJAK, DAN RESIPROKAL KEBIJAKAN Candra Fajri Ananda 81 TAX AMNESTY DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Vishnu Juwono 85 JOB FAIR Elfindri 88 TEKNOLOGI MENGUBAH LAYANAN KEUANGAN Triyono 91 TAX AMNESTY DAN SINGAPURA Dinna Wisnu 94 SEJAHTERAKAN NELAYAN DENGAN CMS Abdul Hafidz 97 SUMBER KEUNGGULAN DALAM PERSAINGAN Eliezer H Hardjo 99
  • 3. 3 MENABUNG (SAHAM) PANGKAL KAYA Lukas Setia Atmaja 102 KEBIJAKAN FREKUENSI DALAM TRANSISI Alamsyah Saragih 104 TANGSEL DAN TECHNOPOLIS Rhenald Kasali 107 PENUGASAN BARU BULOG DAN POLICY FAILURE M Husein Sawit 110 STRATEGI MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMASARAN Eliezer H Hardjo 113 RAGAM TAX AMNESTY MERAIH ASA Candra Fajri Ananda 116 MEMBUAT KERETA API TETAP RELEVAN Rhenald Kasali 120 MEMBANGUN KEPERCAYAAN DALAM BISNIS Eliezer H Hardjo 123 MATERIAL LOKAL UNTUK PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN Herry Vaza 126 BELAJAR DARI KASUS DIMAS KANJENG Lukas Setia Atmaja 129 REZIM INFLASI RENDAH Candra Fajri Ananda 131 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLA KEGIATAN MIGAS Sampe L Purba 135 MENYOAL MAHALNYA HARGA GAS Fahmy Radhi 138 MELURUSKAN DWELLING TIME, LAGI Rhenald Kasali 141 PUNGLI BUKU PELAUT, PUNCAK GUNUNG ES KORUPSI KEMENHUB Siswanto Rusdi 144 FAKTOR INTERNAL YANG MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Eliezer H Hardjo 147
  • 4. 4 Pertaruhan Kredibilitas Fiskal 31-08-2016 Melihat postur RAPBN 2017 yang diusung oleh pemerintah, tentu sejalan dengan tema besar menciptakan anggaran yang kredibel. Berbicara tentang kredibilitas, tentu maksudnya anggaran harus berpijak pada kondisi yang lebih realistis. Hal ini tecermin dari asumsi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,3% pada 2017. Memang asumsi pertumbuhan ekonomi masih terlihat tinggi, tapi masih lebih baik dibandingkan asumsi makro yang dibangun menteri keuangan sebelumnya. Contohnya APBN 2015, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%, jelas utopis. Sementara realisasi pertumbuhan sampai akhir 2015 hanya 4,73%. Gap antara target dan realisasi pertumbuhan yang terlalu jauh akhirnya berdampak ke target pajak yang dipatok tinggi. Hasil akhirnya sudah jelas, penerimaan pajak merosot tajam hanya tercapai 81,5% di tahun 2015. Sri Mulyani tampaknya belajar dari desain anggaran yang asal-asalan itu dan coba bersikap optimistis tapi realistis. Tantangan pengelolaan anggaran untuk tahun 2017 juga berasal dari proyeksi ekonomi yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan II/2016 lalu sebesar 5,18% yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya lebih didorong konsumsi saat Lebaran, termasuk pencairan gaji ke-13 PNS. Sementara kalau lebih jeli melihat kinerja industri masih terseok-seok di bawah 5%, sedangkan tingginya pertumbuhan sektor jasa keuangan 13,51% terbilang semu karena faktanya pertumbuhan kredit melambat, NPL berada di level 3,1% dan kredit yang tidak disalurkan (undisbursed loan) meningkat di atas Rp1,2 triliun. Jadi jelas bahwa proyeksi pertumbuhan sampai akhir tahun nanti masih dibayangi ketidakpastian. Bank Indonesia pun buru-buru merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5-5,4% menjadi 4,9-5,3%. Satu hal lagi yang menarik adalah penerimaan dari tax amnesty yang digadang-gadangkan akan menyelamatkan bahtera fiskal jelas overestimate. Buktinya per 29 Agustus lalu, penerimaan dari tax amnesty baru mencapai Rp7,71 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya hanya 0,1% tebusan yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah. Alhasil karena realisasi penerimaan tax amnesty rendah, kebijakan ini justru membuat gaduh dengan menyasar masyarakat kecil agar segera menyetor tebusan. Kecemasan penerimaan fiskal ini kemudian direspons dengan pemotongan belanja. Pada mulanya terdapat rencana pemotongan belanja sebesar Rp133,8 triliun pada APBN-P 2016. Angka ini kemudian dinaikkan menjadi Rp137,6 triliun yang dibagi ke dalam belanja
  • 5. 5 operasional kementerian/lembaga sebesar Rp64,7 triliun, dana transfer daerah sejumlah Rp70,13 triliun, dan dana desa Rp2,82 triliun. Cara lain yang ditempuh pemerintah adalah menunda pencairan dana bagi hasil terhadap 169 daerah, nilainya mencapai Rp20,93 triliun. Tentu dampak dari pemangkasan belanja ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, masalahnya pada triwulan II lalu, belanja pemerintah ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pasca-pemotongan belanja, ada kekhawatiran ekonomi kembali turun di bawah 5%. Tantangan Defisit Ganda Selain itu, di tengah langkah menkeu untuk memangkas belanja, masalah tetap membayangi postur RAPBN 2017. Pertama, soal defisit anggaran yang kini ditargetkan APBN-P 2016 di angka 2,35% makin melebar. Dalam RAPBN 2017, terjadi pelebaran defisit hingga 2,41%. Angka ini jauh membesar dari tahun 2011 lalu sebesar 1,14%. Padahal, UU Keuangan Negara sudah memberikan peringatan bahwa defisit tidak boleh melampaui 3% terhadap PDB. Konsekuensi dari defisit anggaran yang makin lebar tentu berdampak pada rating investasi. Logis ketika perusahaan pemeringkat investasi semacam Standard and Poors belum mau memberikan status investment grade kepada Indonesia apabila pemerintah belum benar dalam mengelola defisit anggaran. Kedua, permasalahan lain yang juga pelik adalah defisit primer. Pemerintah masih terbelit ke dalam jebakan defisit primer sebesar Rp111,4 triliun. Defisit primer makin bengkak karena setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan pokok dan bunga utang dari penerbitan utang baru. Lingkaran setan ini makin lama makin menjerat anggaran. Kenaikan utang ini dilakukan melalui penerbitan SBN baru. Padahal selama empat bulan terakhir, pemerintah sudah menerbitkan SBN sebanyak Rp293,08 triliun. Jumlah itu setara dengan 52,71% terhadap target penerbitan SBN untuk tahun 2016, yaitu Rp556,66 triliun. Sementara rata-rata yield atau bunga utang yang harus dibayar pemerintah pun lumayan tinggi, yaitu 8%. Pada RAPBN 2017 terlihat kenaikan yang luar biasa terhadap pembayaran utang dalam maupun luar negeri. Jika dibandingkan dengan APBNP 2016, terjadi peningkatan sebesar Rp30,1 triliun atau 15,8%. Nilai itu juga setara dengan 10,69% dari belanja negara. Jelas, pemerintah bekerja dalam setahun hanya sibuk untuk menutup cicilan utang. Pemangkasan PPh Badan Sementara itu, pemerintah justru mengeluarkan wacana lain yang membuat bingung pelaku usaha, yaitu pemangkasan PPh Badan hingga 17% secara bertahap dari 25%. Pemerintah
  • 6. 6 berpijak dari perbandingan tarif pajak antara Indonesia dan Singapura yang dinilai terlalu jauh. Hal ini kemudian diasumsikan menjadi salah satu alasan mengapa daya saing usaha kurang kompetitif dibanding negara lain. Tentu jika kebijakan ini diimplementasikan, ada kaitannya dengan penerimaan pajak yang hilang. Padahal, penerimaan pajak saat ini sudah terbilang sangat mengkhawatirkan. Tax amnesty terbukti belum mampu menambal kekurangan penerimaan pajak, sedangkan kondisi ekonomi tengah lesu. Dengan adanya insentif penurunan PPh tersebut, alih-alih menambah daya tarik usaha justru mengorbankan fiskal lebih jauh. Hal berikutnya terkait dengan sesat pikir pemerintah bahwa dengan memberikan segudang insentif perpajakan lalu secara otomatis daya saing usaha akan meningkat. Padahal kalau mau berkaca dengan 12 paket kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah mulai September tahun lalu, isinya menyangkut insentif. Mulai insentif kawasan industri sampai insentif keringanan pajak dana hasil ekspor (DHE). Tapi tetap saja insentif pajak tersebut ditanggapi dingin oleh pelaku usaha. Ada yang terlupa atau sengaja dikesampingkan, bahwa yang paling urgen dilakukan untuk membenahi dunia usaha adalah kepastian usaha dan pembangunan infrastruktur dasar di kawasan industri. Sekarang pemerintah melihat infrastruktur sebagai mega proyek besar yang disetir pemerintah pusat, padahal akses kawasan industri di daerah ke pelabuhan masih banyak yang rusak. Ini jadi beban bagi dunia usaha dan urgensinya lebih tinggi daripada insentif pengurangan PPh badan. Jadi jelas yang dimaksud dengan kredibilitas fiskal mencakup sinergi antarkebijakan. Jangan lagi ada kasus kebingungan rezim perpajakan, misalnya, antara rezim pajak agresif dengan rezim pajak yang memberikan ruang gerak bagi dunia usaha, karena kebingungan fiskal tersebut berimbas pada kepercayaan dari pelaku usaha. Upaya membangun anggaran yang kredibel jangan dikotori dengan wacana-wacana bombastis pemerintah yang justru kontraproduktif. BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA Peneliti INDEF
  • 7. 7 Memahami Audit BPK 01-09-2016 Tidak mudah memang memahami isu-isu yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, termasuk cara kerja lembaga pengelola dan pengawasnya. Harus diakui bahwa ketersediaan informasi terkait keuangan negara masih terbilang terbatas. Penyelenggara keuangan negara terbilang masih ”pelit” dalam menyediakan informasi keuangan negara. Berbeda dengan informasi yang terkait dengan makroekonomi, moneter, dan perbankan, yang dapat diperoleh relatif mudah. Sejak mencuatnya kasus perbedaan penafsiran terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kewajaran transaksi pembelian Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta antara BPK dan Pemprov DKI Jakarta dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini beberapa pihak mulai menyoroti cara kerja dan kualitas dari pelaksanaan audit yang dilakukan BPK sebagai lembaga audit tertinggi (supreme audit) di bidang keuangan negara. Perhatian publik yang tinggi terhadap BPK tentu sebuah kewajaran karena kewenangan yang dimiliki BPK juga besar. Hasil kerja BPK yang berupa laporan hasil pemeriksaan juga memiliki implikasi luas, tidak hanya berupa perlunya perbaikan administrasi dan sistem pengendalian pada institusi yang menjadi obyek audit, tetapi juga dapat berimplikasi terjadinya tuntutan hukum terhadap pihak-pihak terkait. Telah banyak pihak yang akhirnya berurusan dengan aparat penegak hukum, bahkan sebagian telah terpidana, juga karena hasil kerja audit BPK. Beberapa hasil audit BPK yang berujung pada terpidananya sejumlah pihak adalah BLBI, Hambalang, Bank Century, dan lain-lain. Audit BPK telah banyak ”menggiring” sejumlah pejabat pemerintah daerah (pemda) dan pejabat BUMN/D menjadi terpidana karena terbukti merugikan keuangan negara. *** Sejumlah pihak berpendapat bahwa audit BPK sering mengalami anomali. Dikatakan bahwa opini hasil audit keuangan (financial audit) BPK memperlihatkan kewajaran terhadap laporan keuangan, sebagaimana kita kenal dengan istilah opini wajar tanpa pengecualian (WTP), namun pejabat institusinya justru terjerat kasus korupsi. Sesungguhnya penilaian telah terjadi anomali dalam audit BPK tidak sepenuhnya benar. Pemeriksaan keuangan (financial audit) bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar,
  • 8. 8 dalam semua hal yang material (signifikan) untuk diketahuinya, yang apabila tidak diungkapkan dapat mengakibatkan kesalahpahaman para pengguna laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian, tujuan dari pemeriksaan keuangan bukanlah untuk menemukan kasus korupsi. Pemeriksaan keuangan lebih diarahkan untuk memberikan keyakinan terkait kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan. Namun, apabila selama proses pemeriksaan ditemukan adanya kecurangan (fraud), pemeriksa tetap harus melaporkan temuannya secara lugas dan jelas, namun tetap harus dalam perspektif yang wajar dan kewajaran itu tecermin dari opini yang diberikan. Tujuannya, untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam mempertimbangkan kejadian dan konsekuensi atas kecurangan tersebut. Idealnya, sebuah laporan keuangan yang mendapat opini WTP (wajar tanpa pengecualian), seharusnya memang terbebas dari kecurangan. Persoalannya, tidak semua jenis kecurangan dapat dideteksi melalui proses audit. Menurut Asociation of Certified Fraud Examiner (ACFE), kecurangan itu tidak hanya berbentuk korupsi (corruption). Selain korupsi, juga terdapat dua jenis kecurangan lain, yaitu penyalahgunaan aset (misappropriation of asset) dan manipulasi laporan keuangan (financial statement fraud). Dari ketiga jenis kecurangan tersebut, terdapat dua jenis kecurangan yang dapat dideteksi melalui proses audit, dengan probabilitas yang tinggi. Pertama penyalahgunaan aset, kedua manipulasi laporan keuangan. Adapun korupsi tidak semua bisa dideteksi melalui audit, secanggih apa pun prosedur dan teknik auditnya. Terlebih, bila kasus korupsi tersebut merupakan kasus suap (bribery). Karena suap (termasuk gratifikasi lainnya) biasanya dilakukan secara rahasia (under table) dan tidak menggunakan bukti-bukti formal (misal kuitansi). Dan faktanya, kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat kita, pada umumnya merupakan kasus suap atau hasil pengembangan dari operasi tangkap tangan oleh KPK. Sebagai contoh, adalah kasus yang menimpa Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Laporan keuangan Pemprov Sumut memperoleh opini WTP dari BPK. Faktanya, Gubernur Sumut menjadi tersangka korupsi oleh KPK dan Kejaksaan Agung. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK, Gubernur Sumut terjerat korupsi karena menyuap hakim PTUN. Kasus suap ini jelas tidak terdeteksi oleh audit BPK. Terlebih suap yang dilakukan Gubernur Sumut ini menggunakan dana pribadi. Lain halnya bila uang suap berasal dari kas daerah, yang tentunya lebih mudah mendeteksinya dan akan tecermin dalam temuan audit. Perlu diketahui, akuntansi menganut prinsip business entity, di mana pencatatan aset pribadi terpisah baik kepemilikan maupun pengelolaannya dengan aset institusi. BPK memiliki keterbatasan untuk bisa masuk ke aset pribadi. Di sinilah pentingnya peran KPK, karena KPK memiliki kewenangan pelacakan hingga data pribadi. Sama dengan kasus suap, gratifikasi lainnya juga tidak dapat dideteksi oleh audit keuangan dan tidak akan tecermin dalam opini
  • 9. 9 BPK. Namun, yang patut dicatat, dalam kasus suap Gubernur Sumut ini sebenarnya juga merupakan hasil dari pengembangan kasus lain, yaitu korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang ditangani kejaksaan yang juga berasal dari audit BPK lainnya. Dengan kata lain, kita semestinya bijak dalam memberikan penilaian terhadap hasil audit BPK dalam kaitannya dengan kasus korupsi. Terlebih bila penilaian tersebut menyangkut hal teknis keuangan negara, yang tidak cukup hanya didasarkan pada opini yang berkembang di kalangan publik. Audit BPK adalah hasil dari cara kerja teknis. Karenanya, butuh pemahaman makro dan teknis (mikro) agar kita tidak salah memberikan penilaian. Namun, institusi penyelenggara keuangan negara, baik BPK, Kementerian Keuangan, maupun pengelola keuangan negara lainnya, juga harus kerja keras dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di bidang pengelolaan keuangan negara agar awareness publik menjadi lebih baik. Semoga, seiring berjalannya waktu pengelolaan keuangan negara semakin baik ke depannya. SUNARSIP Pengajar Keuangan Publik/Negara di Politeknik Keuangan Negara STAN dan Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
  • 10. 10 Pengampunan Pajak Atau Malaadministrasi? 01-09-2016 Pengampunan pajak semula digagas sebagai senjata berlaras ganda. Di satu sisi dimaksudkan untuk merayu agar modal milik orang Indonesia yang parkir di luar negeri mau masuk kembali. Di sisi lain dapat menjadi penahan laju penurunan penerimaan pajak akibat perekonomian yang menurun. Namun, masyarakat kelas menengah merasa pengampunan pajak adalah ancaman bagi mereka. Bank Dunia (2012) menyampaikan, penduduk dengan pendapatan kelas menengah di Indonesia meningkat tajam dari 37,7% pada 2003 menjadi 56,5% pada 2010. Kelas menengah rata-rata tumbuh tujuh juta per tahun dan masuk kategori sangat cepat sebagaimana kebanyakan negara berkembang. Kelas menengah di Indonesia dibagi dalam empat kelompok pendapatan. Pertama, kelompok pendapatan Rp2,6-5,2 juta per bulan (38,5%). Kedua, kelompok pendapatan Rp5,2 -7,8 juta per kapita per bulan (11,7%). Ketiga, kelompok pendapatan Rp7,8-13 juta per bulan (5%), dan keempat adalah kelompok pendapatan Rp13-26 juta per bulan (1,3%). Di tataran ekonomi makro pertumbuhan kelas menengah ini telah menyebabkan komponen konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pada 2015, komponen konsumsi rumah tangga mencapai 56,6% dari total produk domestik bruto (PDB). Kelas Menengah dan Pembentukan Modal Secara teoretis, kelas menengah selain sebagai penggerak pasar melalui konsumsi, dalam tingkat tertentu merupakan basis pembentukan modal domestik. Dalam formasi kelas menengah yang kuat, pengenaan pajak tinggi atas kekayaan tak produktif dalam batas tertentu dapat mendorong kecenderungan kelas menengah menjadi sumber pembentukan modal ekonomi produktif. Pengalaman Korea Selatan pada periode 1980-1987 menunjukkan bahwa lapis kelas menengah baru tidak memiliki kontribusi yang kuat terhadap pembentukan investasi produktif. Mereka lebih berorientasi pada upaya memperbaiki kualitas hidup, seperti mendapatkan hunian yang lebih layak, tabungan sekolah anak, dan mempersiapkan masa pensiun (Chung, 2007). Dengan formasi 50,2%, kelas menengah berpendapatan kurang dari Rp8 juta per bulan,
  • 11. 11 serbuan barang konsumsi impor wajar terjadi ketika produksi dalam negeri tak mampu memenuhi gaya hidup mereka. Konsumsi barang otomotif, elektronik, alat komunikasi yang berkandungan impor tinggi tak tertahan. Sebagian besar kelas menengah di Indonesia lebih berfungsi sebagai penggerak sektor konsumsi, belum pada taraf pembentukan modal domestik. Untuk mengisi kesenjangan tersebut diperlukan kehadiran modal asing. Selama dua tahun pemerintahan Jokowi telah banyak paket kebijakan ekonomi digelontorkan agar iklim usaha domestik cukup atraktif bagi pemodal asing. Ketersediaan infrastruktur dan energi menjadi salah satu prasyarat penting untuk menarik modal masuk. Pemerintah membiayainya melalui pinjaman luar negeri sepanjang untuk sektor produktif. Kewajiban membayar pinjaman luar negeri telah menembus angka Rp250 triliun di tahun 2016. Kebijakan pengampunan pajak, dalam jangka tertentu, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan untuk mengurangi beban tersebut. Kondisi perekonomian yang menurun telah berimbas pada penerimaan pajak. Sosialisasi pengampunan pajak juga mengarah kepada kelas menengah yang masih belum terlalu kokoh. Akibatnya, terjadi kesalahan persepsi bahwa kebijakan pengampunan pajak yang semula ditujukan untuk menarik uang parkir di luar negeri telah berubah tujuan menyasar masyarakat. Alih-alih tekanan pajak kekayaan mendorong mereka untuk membentuk modal, yang terjadi mereka berteriak merasa diperlakukan tak adil dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa mayoritas kelas menengah kita masih belum masuk ke taraf pembentuk modal. Kekeliruan dalam penerapan prioritas sasaran kebijakan pengampunan pajak ini perlu dikembalikan pada tujuan awalnya. Musuh Kita Malaadministrasi Kita tak boleh menganggap ringan musuh utama dalam membangun iklim usaha yang atraktif, yakni malaadministrasi dalam pelayanan publik. Berdasarkan perkembangan laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI, ditemukan masih sangat banyak malaadministrasi yang berdampak negatif terhadap iklim usaha di Indonesia. Salah satunya adalah praktik penundaan berlarut yang berpotensi menimbulkan suap. Dari laporan yang masuk, Ombudsman mencatat maraknya penundaan berlarut dalam pengurusan administrasi di sektor perizinan, pertanahan, pengadaan listrik, logistik, dan penyelesaian masalah dwelling time yang baru terbatas pada pelabuhan Tanjung Priok. Pada 2015, dari 6.859 laporan yang diterima Ombudsman, 25,3% terindikasi penundaan berlarut dan 6,7% terindikasi suap. Pemerintah perlu lebih fokus dan bekerja ekstrakeras dalam memberantas mala administrasi dalam sektor usaha kita. Meski kelas menengah yang tumbuh pesat diiringi bonus demografi
  • 12. 12 adalah peluang pasar yang menarik bagi investasi, malaadministrasi akan menyebabkan daya saing kita menurun. Selain malaadministrasi, prosedur yang ditempuh memang masih cukup panjang. Sebagai contoh, untuk memulai usaha para investor masih harus menempuh 13 prosedur dalam waktu 47 hari. Dalam survei kemudahan usaha yang dilakukan Bank Dunia pada 2015, Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 189 negara yang disurvei. Pengampunan pajak harus diarahkan pada sasaran semula, yakni untuk menarik masuk uang warga negara yang parkir di luar negeri. Di sisi lain, memperkuat pengawasan dan lini depan pelayanan publik harus menjadi prioritas. Termasuk pengawasan terhadap aturan terbaru yang dikeluarkan Dirjen Pajak terkait diskresi subyek pengampunan pajak. Jika tidak, upaya meningkatkan penerimaan negara melalui pajak akan menghancurkan kekuatan konsumsi yang masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi. ALAMSYAH SARAGIH Anggota Ombudsman Republik Indonesia periode 2016-2021, Bidang Ekonomi
  • 13. 13 Inovasi Dan Budaya Perusahaan 02-09-2016 Adakah hubungan antara inovasi dan budaya perusahaan? Sudah tentu. Itulah yang dipelajari oleh Boston Consulting Group (BCG) yang melakukan riset terhadap 759 perusahaan dari berbagai industri yang berbasis di 17 pasar utama dan menemukan bahwa ternyata budaya perusahaan jauh lebih berpengaruh terhadap inovasi radikal dibandingkan dengan karyawan, modal, pemerintah, dan budaya atau tradisi umum. Juga diperlihatkan bahwa kemampuan beradaptasi, penyesuaian diri, merupakan pilar yang sangat penting dan berperan bagi budaya perusahaan yang berhasil. Budaya perusahaan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sangat efektif mendorong performa yang baik dalam bidang keuangan. Demikian kesimpulan yang diambil oleh Charles O’Reilly dan kawan- kawan. Apa yang dimaksud dengan adaptive corporate culture (budaya perusahaan yang adaptif)? Charles memberikan indikasi dari perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang adaptif, di antaranya yang utama adalah: a. Risk-taking (berani mengambil risiko), b. Willingness to experiment (kemauan dan kesediaan untuk melakukan eksperimen), c. Innovation (inovasi), d. Personal Initiative (inisiatif pribadi), e. Fast decision-making and execution (cepat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaannya), f. Ability to spot unique opportunities (kemampuan untuk mendeteksi peluang yang unik). Budaya yang adaptif menekankan eksperimen guna mendorong terbentuknya sebuah organisasi yang ambidexterity (lincah, cekatan). Eksperimen yang terarah akan menolong perusahaan untuk mengelola ketidakpastian dan akar penyebab atau sumber terjadinya sehingga tidak perlu panik apabila hal itu terjadi. Ada kaitan yang erat antara budaya perusahaan yang adaptif dan performa serta daya tahan sebuah organisasi. Ada konflik antara dua blok pemikiran yang dapat menghambat budaya inovasi dalam organisasi perusahaan jika dibiarkan masing-masing berdiri sendiri: 1. Explorative culture (budaya menggali, mengeksplorasi) sebelah kiri dan 2. Exploitative culture (budaya memanfaatkan secara berlebihan) sebelah kanan, contohnya:
  • 14. 14 a. Mendobrak aturan dan formalitas, dan impian dengan melakukan tugas sesuai dengan peraturan yang baku, b. Membuka pintu terhadap hal-hal baru dengan loyal terhadap tim, c. Berani menaruh kepercayaan, dapat dipercaya, dan bekerja hanya dengan orang-orang kepercayaan, d. Eksperimen, berubah pada saat bersamaan dan melakukan tugas dengan benar dari atau sejak awal, e. Kesalahan, kegagalan, dan harus sesempurna mungkin, f. Melihat ke depan dan mengulang keberhasilan masa lalu. Perusahaan yang hanya berpegang pada sisi kiri akan merugi pada akhirnya, sebaliknya yang hanya berpegang pada sisi kanan tidak akan bertahan dan tutup. Perusahaan besar dan pemerintah yang sedang memerintah akan cenderung mengambil sisi kanan. Perusahaan yang ingin bertahan dan maju harus menggabungkan keduanya melalui sebuah penghubung atau perekat yang disebut integrative culture (budaya penggabungan). Hambatan lain terhadap budaya inovasi adalah faktor manusia itu sendiri: a. Manusia menolak atau enggan untuk memercayai yang tidak mereka alami dan dapat bayangkan. Sikap seperti ini cenderung menolak terhadap perubahan, sedangkan inovasi tidak mungkin tanpa sebuah perubahan, b. Semakin seseorang berfokus dan menjadi spesialis pada bidang yang ia senangi dan tekuni, semakin ia menolak terhadap ide-ide dan hal lain di luar spesialisasinya. c. Manusia lebih memercayai dan menghargai jangka pendek, karena mereka jangka pendek dapat segera dinikmati dan dialami, sementara jangka panjang belum tentu terjadi, d. Sebagian orang lebih berani mengambil risiko jika sudah merasa lebih pasti dibandingkan dengan ketidakpastian. Inovasi adalah sebuah ketidakpastian. Explorative culture berkaitan dengan ketidakpastian, sedangkan exploitative culture berkaitan dengan pengambilan risiko yang terukur. Bagaimana menjembatani agar budaya inovasi semakin menguat: a. Membentuk organisasi khusus untuk eksplorasi di luar organisasi yang sudah ada yang terbiasa dengan exploitative. Eksplorasi dapat dikembangkan melalui proyek- proyek internal atau pun berkolaborasi dengan mitra, pihak luar, b. Masing-masing organisasi berjalan paralel dan pada waktu disadari bahwa hasil eksplorasi terbukti lebih menguntungkan maka dilakukan penggabungan (integrasi) dari keduanya, c. Jangan paksakan untuk menjadikan satu budaya, biarkan berkembang keduanya, namun harus semakin kuat di budaya inovasi yang eksporatif, d. Tetapkan parameter dan KPI (Key Performance Index) yang lebih tinggi bagi eksploratif agar lebih menantang namun disertai dengan sistem reward lebih tinggi,
  • 15. 15 e. Fokus pada isu-isu manusia seperti cara berpikir dan perilaku bukan pada sistem prosedur dan program. f. Budaya adalah kebiasaan dan keyakinan serta praktik yang berulang-ulang, jangan biarkan perilaku yang menyimpang dan terlebih bertentangan dibiarkan karena itu akan membelokkan dari maksud dan tujuan membentuk budaya inovasi yang eksploratif, g. Tetapkan orang-orang tertentu yang menjadi role-model atau champion di mana orang lain akan berusaha untuk meniru dan mengikutinya. DR. ELIEZER H. HARDJO Ph.D., CM Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers (ICPM)
  • 16. 16 Kemesraan Arab-Cina 03-09-2016 Membahas Arab Saudi-Cina dalam konteks dialektika sepertinya tidak ketemu karena dianggap dua kutub berbeda. Masih dalam konteks awam pula, bicara Arab-Barat juga sepertinya tidak ketemu karena sama-sama dianggap dua kutub berbeda. Tapi dalam realitas politik, ekonomi, sampai kenegaraan, bicara Arab-Cina sekarang bisa dianggap sedang mesra-mesranya. Hubungan kedua negara sudah menyatu dalam simbiosis mutualisme. Apa yang terjadi di negara Arab Saudi saat ini tentu di luar dugaan kita. Karena ternyata Arab dan Cina sudah melebur dalam persaudaraan yang sangat dekat. Hal ini bisa dilihat dari produk Cina yang sudah membanjiri Arab. Mulai dari akik yang sempat bikin heboh Indonesia, kini akik made in China juga membanjiri Arab. Padahal untuk raw material berupa batu-batuan, di Arab melimpah. Selain itu berbagai jenis produk yang menjadi serbuan jamaah Indonesia yang sedang beribadah haji atau berumrah di Mekkah dan Madinah, mulai sandal, sabuk, kerudung, baju, kopiah hingga ratusan produk lainnya, semua made in China. Di dalam Masjidilharam, kursi yang dipakai salat bagi orang tua yang sudah tidak kuat berdiri sampai pagar-pagar pembatas bagi jamaah yang beribadah juga buatan Cina. Orang-orang Indonesia merasa bangga membeli oleh-oleh dari Mekkah dan Madinah seperti barang istimewa karena dari Arab. Tapi coba dilihat labelnya: made in China. Hebat bukan? Pekerja dari Cina terutama di sektor perdagangan juga sudah masuk Arab. China Daily, media besar Negeri Tirai Bambu ini, juga sudah masuk Arab dengan menjadi section khusus di koran Mekkah. Berita-berita dari perkembangan Cina bisa dibaca melalui media di Arab. Hubungan kedua pemerintahan juga sedang mesra-mesranya, ini ditandai dengan ditandatanganinya 15 perjanjian di berbagai sektor mulai energi untuk housing hingga perdagangan yang dilakukan Deputi Putra Mahkota Kerajaan Arab Mohammed bin Salman dan wakil dari pejabat Cina Zang Gaoli. Memang hubungan kedua negara ini sempat tidak harmonis karena Arab seperti sudah ”dipangku” oleh Barat karena haluan politik ekonomi bahkan sistem persenjataan Arab dikendalikan Barat. Namun kini Arab mampu digoda Cina dengan kerja sama di bidang ekonomi yang low cost dan tentu akan berkembang ke sistem kerja sama di berbagai sektor
  • 17. 17 lain. Memang Cina sangat agresif untuk menguasai dunia sehingga Pemerintah Cina pun membuat target tahunan untuk bisa mengakuisisi 500 perusahaan dunia. Untuk tahun ini, akuisisi yang dilakukan perusahaan-perusahaan Cina melebihi target tahunan hingga mencapai 1.700 perusahaan di dunia, termasuk salah satunya perusahaan yang populer adalah klub bola Inter Milan asal Italia. *** Gencarnya Cina memengaruhi dunia, termasuk negara Arab ini, tentu harus menjadi pelajaran bagi Indonesia. Mengapa Indonesia yang menjadi penyumbang devisa terbesar untuk jamaah umrah dan haji, juga dikenal sebagai jamaah yang tingkat belanjanya paling royal di dunia, tidak dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk memiliki akses yang kuat terhadap Arab? Akses ini diperlukan dalam memberi ruang yang luas bagi pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di Arab dan berbagai fasilitas kemudahan bagi jamaah Indonesia. Sebab sampai sekarang jamaah Indonesia masih banyak menghadapi persoalan pelayanan, apakah di tingkat imigrasi, kuliner, atau urusan ibadah. Tentu bagi jamaah atau yang sudah sering keluar-masuk Mekkah, pelayanan imigrasi termasuk yang banyak dikeluhkan. Karena para petugas imigrasi seperti tidak terlalu peduli dengan sistem pelayanan yang baik. Maka jamaah Indonesia sebelum berangkat ke Mekkah selalu mendapat nasihat pertama: ikhlas dan sabar. Hal ini lebih difokuskan saat menghadapi pelayanan imigrasi. Untuk fasilitas kuliner, hal ini perlu diangkat sebagai isu penting karena banyaknya jamaah Indonesia yang mendominasi Mekkah. Dengan begitu seharusnya bisa mudah mendapatkan warung dengan masakan Indonesia. Namun yang diperoleh adalah warung Malaysia, Turki, dan restoran-restoran cepat saji dari Barat. Ini bukan hal sepele, tetapi menjadi strategis karena keberadaan warung ini bukan hanya mempermudah jamaah Indonesia untuk mendapatkan menu masakan Indonesia ala kampung, tetapi juga terkait diplomasi budaya Indonesia yang harus menyublim kuat ke seluruh jamaah dari berbagai belahan dunia. The national pride of being Indonesian bertambah kuat bagi jamaah dari Tanah Air. Untuk diplomasi kuliner ini, Indonesia harus menjadikannya sebagai isu strategis bagi pemerintah karena persoalan ini menjadi silent movement yang agresif bagi negara lain seperti Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Thailand serta negara-negara Barat. Coba lihat di setiap tempat, jamaah Indonesia lebih menjadi konsumen untuk produk negara lain. Padahal kurang apa kuliner Indonesia? Kurang apa garmen Indonesia? Produksi garmen Indonesia yang melimpah sesungguhnya bisa memenuhi kebutuhan jamaah di Mekkah. Industri tekstil kita termasuk nomor tiga terbesar di dunia. Tapi lagi-lagi Indonesia sepertinya lebih senang menjadi penonton dan tukang gunjing kesuksesan negara lain. Padahal secara batiniah seharusnya Indonesia memiliki hubungan G to G yang lebih
  • 18. 18 baik dengan Arab. Dengan demikian Indonesia bisa memanfaatkan sistem hubungan perdagangan kedua negara dan kerja sama di banyak sektor industri dengan lebih produktif. Semoga Pemerintah Indonesia bisa menangkap peluang ekonomi yang besar di Arab untuk kepentingan the national pride of being Indonesian. SURURI ALFARUQ CEO KORAN SINDO
  • 19. 19 Tips Investasi Bagi ”Generasi Pokemon” 04-09-2016 Minggu lalu saya diwawancarai seorang jurnalis KORAN SINDO mengenai tren berinvestasi pada generasi muda (berusia sekitar 18 hingga 30 tahun). Sebut saja mereka adalah ”Generasi Pokemon”. Salah satu pertanyaannya adalah apa tips bagi investor pemula. Maklumlah, investasi tidak segampang memainkan game Pokemon Go. Berinvestasi tidak hanya masalah disiplin menabung untuk hari depan tetapi juga berjuang melawan inflasi (kenaikan harga barang dan jasa). Kalau uang yang kita investasikan pertumbuhannya kalah dari inflasi, secara jangka panjang kita justru makin miskin karena daya beli melemah. Deposito uang di bank, meskipun aman sepanjang jumlahnya tidak lebih dari Rp2 miliar, bukan alternatif terbaik karena bunga deposito yang diperoleh kadang kalah dari inflasi. Misalnya, kenaikan harga properti bisa mencapai 15%, sedangkan bunga deposito hanya sekitar 7%. Investasi selain deposito, misalnya saham, mengandung risiko yang tidak kecil. Maka generasi muda harus berhati-hati memilih instrumen investasi, serta memiliki pengetahuan yang cukup tentang investasi. Menyadari hal ini, tahun 2011 saya menyusun buku Smiling Investor bagi investor pemula, terutama kaum muda. Dalam buku tersebut saya membagikan lima langkah berinvestasi secara sehat. Saya singkat menjadi TITIS, yang dalam bahasa Jawa berarti tepat sasaran. T pertama adalah singkatan dari TUJUAN. Ini langkah pertama dan amat penting dalam berinvestasi. Apa tujuan kita berinvestasi? Cepat kaya? Sekolah MBA di Harvard lima tahun mendatang? Persiapan pensiun 30 tahun lagi? Sebaiknya kita membuat tujuan yang lebih spesifik. Misalnya, jumlah uang yang akan diinvestasikan, risiko yang berani ditanggung, dan jangka waktu investasi. Tujuan inilah yang menentukan apakah kita akan trading saham yang memanfaatkan fluktuasi harga saham jangka pendek atau berinvestasi saham dengan jangka waktu lebih panjang (buy and hold). Trading saham memiliki risiko yang lebih tinggi daripada buy and hold. Yang kedua adalah huruf I, singkatan dari INSTRUMEN. Pilihlah instrumen investasi yang sesuai dengan tujuan investasi pilihan. Untuk tujuan investasi jangka panjang, investasi pada saham menawarkan imbal hasil terbaik. Investasi saham juga tidak ribet sehingga cocok untuk kaum muda yang berinvestasi sambil bekerja. Namun saham memiliki gradasi imbal
  • 20. 20 hasil dan risiko yang amat lebar. Jangan sampai kita membeli saham gorengan atau saham yang prospeknya suram untuk investasi jangka panjang. Huruf T kedua merujuk pada TELITI. Dana yang diinvestasikan jumlahnya tidak sedikit. Jangan sampai salah pilih. Ibarat memilih calon pasangan hidup, harus dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Berinvestasi juga demikian, harus teliti sebelum berinvestasi. Ingatlah selalu nasihat ”buy what you know, know what you buy.” Huruf I kedua merupakan singkatan dari INVESTASI. Lho kok? Kata “investasi” perlu disebutkan karena investor sering lupa bahwa ia sedang berinvestasi, bukan berspekulasi. Ada tiga unsur yang membedakan sebuah investasi dari spekulasi: (1) ada analisis yang komprehensif sebelum membuat keputusan, (2) probabilitas kehilangan dana investasi relatif rendah, dan (3) menjanjikan imbal hasil yang wajar. Yang terakhir adalah huruf S, singkatan dari SEBARKAN RISIKO. Ingat bahwa investasi selalu memiliki dua sisi: imbal hasil dan risiko. Janganlah menjadi ”investor bajak laut” yang cuma punya satu mata, yaitu hanya bisa melihat sisi imbal hasil. Cara mengelola risiko adalah dengan menyebarkan dana (diversifikasi) ke berbagai instrumen investasi. Sebagai tambahan TITIS, ada tiga karakteristik yang harus dimiliki oleh investor agar sukses. Saya singkat 3P. Pertama, PERCAYA DIRI. Jangan takut gagal berinvestasi karena kita tidak memiliki latar belakang pendidikan bisnis yang cukup. Yang menentukan hasil akhir bukanlah kepala (head) tetapi keberanian (gut) mengambil risiko. Namun kita harus berani mengambil risiko secara cermat (calculated risk), bukan ”bonek” alias asal nekat. Kedua, PENGETAHUAN. Investor yang punya pengetahuan dan mau melakukan riset sebelum membeli sebuah saham memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi. Ada kisah nyata tentang siswa SMA di Amerika Serikat yang lebih jago memilih saham daripada para profesional pengelola uang. Mereka ternyata memilih saham perusahaan yang produknya biasa mereka gunakan. Ketiga, PENGENDALIAN DIRI. Meskipun mumpuni di bidang matematika, keuangan, dan bisnis, jika investor tidak bisa mengendalikan emosinya, ia tidak akan menjadi investor yang sukses. Pengendalian diri berarti menjaga diri untuk tidak terlalu takut (fear) namun juga tidak serakah (greedy) yang bisa berakibat overdosis dalam mengambil risiko. Kasus investasi bodong sering memakan korban orang berpendidikan karena mereka tidak bisa menahan hasrat keserakahan. Saat kaum muda mulai berinvestasi, ingatlah selalu TITIS dan PPP. LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 21. 21 Dialektika Anggaran Nasional 05-09-2016 Berbagai polemik terkait pengelolaan keuangan negara akhir-akhir ini semakin menarik untuk dianalisis. Kebijakan amnesti pajak masih merupakan bahan diskusi yang hangat di masyarakat, apalagi kebijakan ini belum menunjukkan hasil seperti diinginkan pemerintah. Antusiasme tinggi masyarakat ini menarik, terutama sifat kritis terhadap kinerja APBN 2016 yang mengkhawatirkan. Dalam kenyataannya, sebagaimana banyak dilansir media dan pernyataan menteri keuangan (menkeu), posisi penerimaan negara sedang tidak dalam top perform sehingga pemerintah terpaksa memangkas (menunda) anggaran pemerintah. Kebijakan ini tentu bukan yang terbaik (first best condition), tetapi ini pilihan tersulit yang harus diambil pemerintah di tengah pilihan kebijakan yang tidak terlalu banyak. Kenapa ini kebijakan tersulit? Berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir, anggaran pemerintah ini sangat besar perannya pada capaian pertumbuhan ekonomi, pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Dampak psikis yang kemungkinan muncul berupa tingkat kepercayaan pada proyek-proyek pemerintah, yang tentu bisa berdampak pada kestabilan politik, kualitas layanan publik, dan ujungnya tentu pada kestabilan perekonomian. Jika dilihat pada posisi penerimaan negara, sementara ini memang kita pantas untuk terus ketar-ketir. Kondisi neraca penerimaan negara hingga Senin (29/8) pekan lalu tingkat persentasenya cenderung masih lesu. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengumumkan realisasi penerimaan dari sektor pajak masih terkumpul sekitar Rp596 triliun (44% dari target APBN 2016). Persentase realisasi penerimaan dana tebusan dari program amnesti pajak pun masih terhitung seret, di mana posisi penerimaan hingga penghujung Agustus kemarin baru mencapai Rp4,32 triliun atau sekitar 2,6%. Dana repatriasi yang diharapkan mampu mengongkosi kebutuhan investasi dalam negeri hingga saat ini hanya terkumpul Rp12,6 triliun. Total dana yang berputar dari kebijakan ini (dana repatriasi dan deklarasi) tercatat terhimpun Rp204 triliun. Lingkungan Istana saat ini boleh dibilang tengah berusaha ”menenangkan diri” dengan mengeluarkan opini bahwa pergerakan dana amnesti pajak akan memuncak pada September ini. Alasannya, masih banyak wajib pajak yang pada bulan kemarin aktif berkonsultasi mengenai proses pengajuan amnesti pajak, serta tarif dana tebusan yang dianggap paling murah bila dibandingkan ketika harus membayar setelah September berakhir.
  • 22. 22 Menkeu dari jauh-jauh hari memang sudah memperkirakan shortfall penerimaan pajak kita di penghujung 2016 akan mencapai Rp219 triliun (14,23%). Dengan begitu, asumsi defisit fiskal lagi-lagi bergerak ke atas (naik) dari sebelumnya 2,35% menjadi 2,5%. Persentase penerimaan yang masih relatif kecil hingga asumsi shortfall pajak, yang kemudian menjustifikasi ide menkeu untuk mengajukan kebijakan pemotongan anggaran belanja pusat dan dana transfer daerah. Imbas dari kebijakan inilah yang kemudian menggelindingkan berbagai polemik lanjutan. Dari kacamata akademik, mungkin saja kebijakan ini memang menjadi pilihan yang terbaik untuk menyelamatkan keseimbangan APBN 2016 dari ancaman defisit yang tidak terkendali. Namun, ide ini akan memiliki makna yang berbeda jika ditarik ke arah pandangan sosial- politik. Bagaimana pun berita mengenai pemotongan anggaran bisa saja melemahkan semangat investasi karena pemerintah dianggap mengurangi proporsi belanja pembangunan. Belum lagi dengan guncangan psikis pada pemerintah daerah yang bisa saja tengah ”patah hati” karena ketersediaan alokasi belanja daerahnya turut mengalami revisi di tengah jalan. Jika berkaca pada beberapa pengalaman sebelumnya, biasanya setelah ini pemerintah akan melakukan utang luar negeri (ULN) untuk mengamankan defisit APBN. Namun, kelemahannya seringkali kebijakan ini akan disertai jejak perdebatan yang panjang sehingga efek politiknya menjadi sering tidak terduga. Alternatif yang paling aman, mungkin pemerintah bisa memilih untuk lebih mengoptimalkan terbitnya surat utang (obligasi). Masyarakat perlu diberi kelonggaran untuk lebih terlibat aktif menopang dana pembangunan. Kebijakan potensial ini yang menurut pandangan penulis masih dilakukan dengan strategi yang cukup ”kering” sehingga capaiannya belum banyak menumbuhkan alternatif pendanaan. Berangkat dari berbagai latar belakang tersebut, ada beberapa pandangan yang menurut penulis perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Beberapa pandangan ini tidak hanya terkait langsung dengan keuangan negara, melainkan juga menyinggung beberapa sisi kebijakan lainnya yang secara tidak langsung akan bermuara pada penyehatan keuangan negara. Pertama, optimalisasi penerimaan dari obligasi perlu ditingkatkan untuk tahapan pemulihan APBN. Strategi ini akan mengerucut pada seberapa besar modal sosial pemerintah terhadap sektor swasta dan sektor non-pemerintah lainnya karena capaian pendapatan dari obligasi sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik terkait dengan upaya pengelolaan di dalamnya. Kalau pemerintah memang tengah berniat memperbesar kuota pendapatan dari obligasi, pemerintah perlu mempertebal keyakinan publik bahwa aktivitas investasi obligasinya akan memberikan profit dan benefit yang maksimal. Kata kuncinya, harus diiringi perubahan
  • 23. 23 kelembagaan, peningkatan transparansi pengelolaan keuangan, dan proyeksi kegiatan yang marketable untuk dijadikan obyek obligasi. Selain itu, obligasi juga membutuhkan jaminan stabilitas politik terutama pada jenis-jenis proyek yang termasuk kategori jangka panjang. Kedua, kondisi APBN-P 2016 bisa jadi menggambarkan bahwa kita kurang andal dalam proses penyusunan kebijakan fiskal serta perencanaan program dan kegiatan. Indikasinya begitu tampak dari banyaknya revisi di berbagai lini yang terjadi di sepanjang 2016. Untung saja, pemerintah mengambil langkah gesit salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pemberian THR 2016. Amanat yang terkandung di dalamnya sangat penulis dukung karena kembali menempatkan peran Bappenas sebagai server berbagai lini perencanaan kebijakan, dan diimbangi dengan pendayagunaan Kementerian Keuangan sebagai mitra perencanaan anggarannya. Bagaimana pun memang sudah seharusnya antara perencanaan kebijakan harus terkoneksi kuat dengan proyeksi anggaran di dalamnya. Apalagi, terdapat keuntungan politis di mana kepala Bappenas yang sekarang pada jabatan sebelumnya menempati posisi menteri keuangan. Dengan latar belakang tersebut, diharapkan mendorong Bappenas untuk lebih mampu mengharmonisasikan antara perencanaan program dan kegiatan dengan proyeksi kemampuan anggaran secara lebih elegan. Perubahan kelembagaan ini juga diharapkan bisa mengurangi tumpang tindih kebijakan dan anggaran di antara instansi pemerintah. Ketiga, pemangkasan dana transfer daerah memang terkesan seperti memaksa berbagi rasa sakit (sharing the pain) antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika pemerintah pusat mengalami pengurangan alokasi belanja, pemerintah daerah menjadi turut merasakan. Namun, dalam kondisi ini kita tidak bisa hanya menyudutkan pemerintah pusat sebagai biang keresahan karena normatifnya filosofi dari dana transfer daerah (perimbangan) adalah penyeimbang keuangan daerah, bukan sumber pendapatan utama. Ide untuk merestorasi perekonomian perlu diperluas tidak terbatas pada lingkup nasional. Pemerintah daerah perlu merenungi kembali bahwa sudah seharusnya mereka juga mengembangkan daerahnya untuk lebih mandiri. Tahapan awalnya hampir sama dengan poin kedua, perlu mengakomodasi perubahan fungsi kelembagaan dari Bappeda untuk menjadi pusat perencanaan pembangunan daerah. Nanti Bappeda juga bisa berperan menjadi lokomotif konektivitas antarspasial dan sektoral. Keempat, aktivitas di sektor riil perlu diberikan berbagai insentif agar semakin menggeliat karena di dalamnya terkandung banyak harapan untuk memperbaiki kinerja makroekonomi. Aktivitas di sektor riil sangat mungkin mendukung geliat di sektor lapangan kerja, perbaikan iklim sosial-ekonomi, kinerja ekstensifikasi pajak, serta dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat fokus pada pengembangan kualitas SDM dan infrastruktur yang mendukung peningkatan produktivitas.
  • 24. 24 Dari lingkungan regulasi dan birokrasi, perlu ada penyesuaian yang ujung-ujungnya bisa memangkas biaya transaksi. Hingga saat ini pemerintah memang sudah berusaha keras dengan menerbitkan paket-paket deregulasi kebijakan ekonomi,namun langkah-langkah tersebut belum tentu sudah cukup untuk meningkatkan easy doing of business. Kalau perlu, pemerintah didukung untuk berani melakukan reregulasi (meregulasi ulang) karena bisa jadi kebijakan lama yang dideregulasi sudah tidak cocok dengan kondisi terkini. Kelima, pemerintah tidak bisa melepaskan peran otoritas moneter untuk menghidupkan investasi di sektor riil. Geliat di sektor riil turut dipengaruhi kuat oleh tingkat suku bunga yang digawangi Bank Indonesia (BI) sehingga pemerintah memang sudah sewajarnya membangun hubungan yang ”romantis” dengan otoritas moneter agar kinerja di sektor riil menjadi lebih dinamis. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang memuat investasi di sektor perumahan misalnya, membutuhkan kelonggaran loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) dari BI untuk menghidupkan permintaan kredit pemilikan rumah (KPR). Demi proses kelancarannya, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dinamika supply-demand KPR. Dengan demikian, fokus penyehatan APBN memang harus dibangun secara menyeluruh karena realisasi pendapatan dan belanja seringkali terbangun seperti hukum kausalitas (sebab- akibat). Jika pemerintah memang menginginkan penerimaan negara bisa optimal, kebijakan belanja pemerintah harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan obyek penerimaan. Modal sosial antara pemerintah dan publik juga harus diperkuat untuk menghindari kasus- kasus seperti tax avoidance dan tax evasion yang mengganggu optimalisasi pendapatan negara. Teori yang perlu dipraktikkan untuk saat ini, negara harus hadir untuk kehidupan rakyat, dan rakyat harus dilibatkan untuk pembangunan negara. CANDRA FAJRI ANANDA Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
  • 25. 25 Komunikasi Gagap Tax Amnesty 06-09-2016 Geger soal pengampunan pajak (tax amnesty) bukan sebuah kesengajaan yang dibuat pemerintah untuk menutup suatu isu tertentu. Keributan dan kepanikan yang terjadi di masyarakat juga bukan politisasi untuk menggagalkan program nasional tax amnesty. Apa yang terjadi saat ini murni kebingungan masyarakat yang direfleksikan dalam berbagai bentuk pesan dan reaksi. Apa yang kita rasakan sekarang adalah sebuah kegagalan komunikasi publik pemerintah akibat perencanaan pesan yang tidak jelas, komunikator yang kurang mumpuni, dan ketidakjelasan target yang disasar. Ketika isu ini masih ada di parlemen, publik sudah disuguhkan isu ada barter politik di balik persetujuan UU Tax Amnesty. Meski sempat ramai, undang-undang tersebut mulus dan hampir tidak ada kendala dalam pengesahannya. Dukungan politik di parlemen membuat pemerintah abai dalam mengomunikasikan itu kepada masyarakat. Pemerintah sudah euforia dengan mendapatkan payung hukum tax amnesty sehingga merasa punya tiket melakukan apa saja untuk meraup duit dari masyarakat. Padahal, payung hukum saja tidaklah cukup. Kesuksesan program yang digadang-gadang mampu menambah penerimaan negara hingga Rp165 triliun ini perlu dukungan dan partisipasi publik. Pemerintah mungkin lupa bahwa yang dihadapi adalah publik, bukan parpol atau individu tokoh politik sehingga semua mengandalkan pemberitaan di media. Namun, untuk soal pajak, tidak semudah menghadapi parpol yang bisa dibarter dan dilobi. Urusan pajak adalah urusan perut, urusan ekonomi masyarakat yang kadarnya cukup sensitif. Pesan Tak Sampai Di awal isu tax amnesty bergulir, pesan yang diterima publik adalah program ini untuk menyasar wajib pajak kelas kakap dengan menarik harta karun WNI yang tersimpan di luar negeri. Dengan demikian, dukungan pun banyak mengalir, apalagi dengan iming-iming penerimaan negara yang sangat besar dari program tersebut. Namun, setelah UU Tax Amnesty bergulir, yang terjadi tax amnesty berlaku bagi semua golongan wajib pajak. Publik bereaksi dan panik, merasa pemerintah berbohong soal tax amnesty. Apalagi, ormas sekelas Muhammadiyah pun melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Tax Amnesty sehingga menguatkan publik bahwa undang-undang ini memang bermasalah. Isu terus bergulir dan menjadi bola liar hingga muncul hastag #StopBayarPajak. Giliran pemerintah yang panik.
  • 26. 26 Simpang-siur informasi, pesan yang tidak jelas dan manajemen isu yang lemah, membuat tax amnesty yang awalnya positif menjadi negatif di mata publik. Meski pemerintah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, informasi yang beredar bahwa pemerintah sulit ambil duit pajak dari luar negeri lalu beralih ke dalam negeri sudah menancap cukup kuat. Dengan begitu, apa pun yang dikatakan pemerintah menjadi tidak berarti, apalagi kondisi di lapangan memang demikian. Semua pihak diminta ikut tax amnesty tanpa kecuali. Dalam teori perencanaan pesan disebutkan bahwa pesan yang dibuat dan disampaikan harus disesuaikan dengan tujuannya (Littlejohn 2005). Jika tujuan pemerintah adalah menarik dana masyarakat dari pajak yang tidak dilaporkan, pesan yang dibuat bukan dengan menekankan pada pengambilan harta yang disembunyikan di luar negeri seperti yang digaungkan sejak awal. Pesan seperti ini hanya bertujuan menarik simpati publik melalui pemberitaan di media. Dampaknya adalah apa yang ada di benak publik dengan realisasi di lapangan berbeda jauh sehingga menimbulkan reaksi, kecemasan, perlawanan, dan ketidakpercayaan. Dengan kata lain, ekspektasi dengan realisasi berbeda sangat jauh. Ketika kesan pertama yang ditangkap berbeda dengan kenyataan di lapangan, timbullah kebingungan. Ditambah lagi semakin banyak informasi tentang tax amnesty, baik resmi maupun tidak. Ada yang fakta atau rekayasa secara masif melalui sosial media semakin membuat bingung dan meresahkan. Tidak ada keseimbangan antara informasi yang dibutuhkan dengan informasi yang disediakan menimbulkan ketidakpastian sehingga dapat menimbulkan kericuhan. Ketidakpastian juga bisa terjadi karena terlalu banyak informasi yang mereka dapat (Goldhaber 1993). Persis apa yang disampaikan Goldhaber, ketika publik mendapatkan terlalu banyak informasi dan tidak tahu mana info yang benar dan salah, muncullah ketidakpastian. Apalagi, publik hanya mendapat klarifikasi yang sepotong-sepotong dari pemerintah, dan membacanya di media dan media sosial yang juga belum terkonfirmasi kebenarannya. Sementara flyer yang dibuat Ditjen Pajak dan dibagikan di setiap kantor pajak dan bank tidaklah cukup. Apalagi, isi pesan di flyer tersebut lebih banyak menjelaskan tata cara pendaftaran tax amnesty, bukan hakikat, tujuan, sasaran dari tax amnesty tersebut. Ditambah petugas pajak pun menjawab sesuai undang-undang bahwa tax amnesty berlaku untuk semua lapisan yang merasa belum melaporkan hartanya. Aktor Publik Dalam setiap perencanaan pesan selalu ada orang yang menyampaikan pesan tersebut. Keberadaan sang pembawa pesan ini menjadi penting apalagi saat situasi informasi tidak terkendali. Apa yang terjadi dengan geger tax amnesty ini tidak hadirnya komunikator tax amnesty yang tangguh, mengerti masalah, dan kredibel di mata publik.
  • 27. 27 Harus diapresiasi, untuk tax amnesty, Presiden langsung berdiri paling depan, mengajak orang-orang kaya, para pengusaha untuk membangun negeri dengan ikut tax amnesty. Namun seringnya Presiden bicara di forum-forum resmi berdasi membuat publik semakin yakin bahwa tax amnesty memang diperuntukkan untuk pengusaha dan golongan kaya raya. Apalagi, yang selalu diungkapkan Presiden adalah mengajak WNI yang ada di luar negeri untuk ikut dalam tax amnesty agar dana-dana triliunan bisa masuk melalui bank, pasar modal, dan berbagai instrumen investasi lain. Dengan hanya mengandalkan Presiden sebagai komunikator tax amnesty, saat terjadi masalah mispersepsi dan miskomunikasi di masyarakat, harus Presiden pulalah yang bisa menenangkan. Kondisi seperti ini sudah tentu kurang sehat dalam manajemen komunikasi publik pemerintah. Untuk apa Presiden punya staf dan pembantu jika untuk urusan yang terkait publik harus turun tangan lagi. Kecuali kalau memang Presiden sendiri yang menginginkannya untuk selalu tampil sebagai problem solver di tengah masyarakat. Perasaan Publik Jika pemerintah fokus pada pesan awal yang ingin menyasar WNI yang hartanya tersebar di luar negeri dan orang-orang berpenghasilan besar saja, situasinya tidak ricuh seperti sekarang. Sayangnya, pemerintah tidak konsisten dengan tujuan awalnya. Meski memang undang-undang berlaku untuk semua golongan, setidaknya pemerintah punya prioritas. Daripada ingin mengambil banyak wajib pajak, tapi dampaknya luas, lebih baik ambil golongan yang sedikit, tapi dampaknya kecil dan hasilnya besar. Yang lebih mengherankan lagi, menyasar tax amnesty ke wajib pajak umum dengan menebar ancaman denda hingga 200% jika ditemukan harta yang belum dilaporkan. Reaksi publik yang sudah kaget dengan tax amnesty semakin panik. Akhirnya itu berujung pada pengungkapan kekecewaan. Di sinilah pemerintah terlihat kurang menyentuh nurani dan perasaan publik. Saatnya Presiden, kementerian, dan lembaga melakukan perencanaan pesan yang baik dengan manajemen komunikasi publik yang taktis dan terukur. Jadikan kegagalan komunikasi tax amnesty ini sebagai momentum perubahan manajemen komunikasi publik untuk semua program pemerintah di berbagai sektor. Rakyat Indonesia sebenarnya warga yang penurut dan pengertian. Namun, jika perencanaan pesannya amburadul dan tidak terintegrasi, yang terjadi bukan ungkap, tebus, lega; tapi jadi usil, kesal, begah. #JanganBerhentiBayarPajak. GAIB MARUTO SIGIT Jurnalis
  • 28. 28 BUMN dan Pengembangan UKM 06-09-2016 Dalam sebuah konferensi tingkat Asia yang membahas masalah usaha kecil menengah pada saat coffee break, penulis terlibat percakapan dengan peserta dari Thailand, Jepang, dan Singapura. Pengusaha dari Thailand bercerita bahwa di negaranya, jika mereka mendapatkan kontrak pekerjaan dari perusahaan dengan rating AAA, kemudian kontrak tersebut ditunjukkan ke Bank Negara, dengan mudah mereka mendapatkan pinjaman tanpa harus mensyaratkan kolateral atau pengalaman usaha tiga tahun. Artinya, kontrak tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan. Sementara peserta dari Jepang mengatakan, produk-produk hasil inovasi baru dari pengusaha di Jepang jika memang terbukti baik, negara dan perusahaan negaranya akan memprioritaskan produk-produk tersebut. Terbayang juga oleh penulis pada peran BUMN di Indonesia tercinta yang tampaknya menjauh dari tujuannya. Keberadaan BUMN diatur dalam UU dan sebagaimana tertera dalam Pasal 2, UU Nomor 19/2003, BUMN bertujuan untuk: (a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (b) Mengejar keuntungan; (c) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang/jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (e) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. BUMN sebagai Penyedia Penulis mengambil contoh BUMN pangan untuk memotret peran BUMN sebagai penyedia barang untuk pemenuhan hajat hidup orang banyak. BUMN yang menangani ini antara lain Bulog, RNI, PN Garam, Pabrik Gula yang dijalankan PTP, dan lainnya. Penulis mengacungkan jempol kepada pemerintah yang mengambil kebijakan di mana BUMN pangan akan dibuat holding dan akan dinakhodai oleh Bulog. Artinya, ke depan Bulog bukan saja harus mampu menyerap gabah petani, namun juga menyediakan gula, cabai, garam, termasuk daging sapi dengan kualitas baik dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Dengan ditunjuknya Bulog sebagai ”nakhoda” holding company dari BUMN pangan, kita berharap banyak akan berkurangnya permasalahan klasik pangan di negeri ini.
  • 29. 29 BUMN Perintis Kegiatan Usaha Pelindo sebagai contoh BUMN dengan tugas perintis kegiatan usaha dengan alasan sejalan dengan program kerja Jokowi-JK. Seperti diketahui, negara kita yang berbentuk kepulauan dengan lebih 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, peran Pelindo sebagai penghubung di lautan sangat strategis, dan harus lebih banyak lagi. Maksudnya, pengadaan pelabuhan umum di suatu pulau menjadi keniscayaan. Untuk memperlancar arus barang antarpulau, pulau/provinsi harus memiliki pelabuhan yang jumlah dan kualitasnya proporsional. Provinsi Kalimantan Timur misalnya, jumlah pelabuhannya masih kurang. Meskipun Kaltim memiliki 22 pelabuhan (15 pelabuhan laut dan 7 pelabuhan sungai), kebanyakan pelabuhan tersebut milik swasta dan berstatus pelabuhan terusan khusus (tersus) dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUK). Keberadaannya terkait dengan izin usaha dari perusahaan tersebut, pelabuhan tersus dan TUK ini tidak bisa digunakan untuk melayani barang di luar yang ditentukan peraturan. Belum lagi pelabuhan ini banyak yang izinnya mati karena usaha utamanya juga mati (umumnya tambang). Adalah tugas pemerintah untuk membangun iklim usaha yang kondusif, mengurangi inefisiensi yang salah satunya membangun infrastruktur tol laut (pelabuhan umum). Sebagaimana ucapan Presiden Jokowi pada 22 Mei 2015 di Makassar, ”Bila tol laut berjalan nanti, akan ada konektivitas antara pulau-pulau sehingga akan menurunkan biaya transportasi, serta biaya logistik akan turun, bahkan produk-produk yang tadinya mahal akan jauh lebih murah. Selama ini biaya transportasi laut mahal. Nah, ini yang harus diselesaikan. Kalau jasa transportasinya murah, produk juga akan murah. Dengan begitu, kompetisi dengan negara lain akan lebih bersaing karena harga lebih murah.” BUMN Membimbing Koperasi Tujuan BUMN yang kelima adalah ”turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat”. Dalam konteks nomor lima penulis mengambil contoh bank BUMN. Jika kita mengacu pada UU Nomor 19/2003 Pasal 2 ayat (e), semestinya ada perbedaan yang kasatmata antara bank BUMN dan bank BUMS dalam menjalankan usahanya. Faktanya, tidak ada perbedaan. Seperti BUMS, bank BUMN hanya mencari keuntungan dan tidak/kurang aktif dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, maupun masyarakat. Jika bank BUMN benar-benar menjalankan fungsinya dalam membimbing dan memberi bantuan kepada pengusaha lemah dan koperasi, semestinya bank BUMN mampu melahirkan banyak pengusaha dan koperasi yang tangguh. Dan, pada gilirannya perusahaan kecil akan berkembang ke menengah, dari menengah ke besar, serta masyarakat akan ”melek keuangan”.
  • 30. 30 Di samping melupakan tujuan kelima, BUMN perbankan sepertinya juga mengabaikan fungsi intermediasinya untuk membuka peluang bagi UKM untuk menjadi penyuplai mereka. Namun, sepertinya bank BUMN enggan mengedukasi itu. Jika mengikuti amanah undang-undang BUMN, semestinya bank BUMN menyisihkan sebagian anggarannya untuk mengedukasi pengusaha kecil/mikro, koperasi, atau calon nasabahnya. Perilaku BUMN perbankan yang demikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara bank BUMN dan bank BUMS. Kinerja BUMN Jika kita tengok kinerja BUMN, banyak kita temui kondisi BUMN yang ”salah urus”. Revenue dan keuntungannya tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya. BUMN yang diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi dan menghasilkan keuntungan besar untuk digunakan sebagai penerimaan negara pada kenyataannya hanya menghasilkan laba yang rendah dan bahkan banyak yang merugi. Untuk kasus BUMN perbankan, setelah dilakukan restrukturisasi, kinerja empat bank BUMN memang menunjukkan peningkatan yang baik dilihat dari peningkatan aset, penyaluran kredit, dan pencapaian laba. Namun, masih ada beberapa indikator kelemahan dalam segi kinerja, bisa dilihat dari birokrasi bank yang kadang mempersulit para pelaku usaha kecil/mikro yang notabene termasuk kategori ekonomi lemah dalam memproses permohonan pinjaman. Kinerja BUMN yang demikian sangat mungkin disebabkan oleh birokratisasi yang terjadi dalam manajemen BUMN. Birokratisasi menyebabkan ruang gerak BUMN tidak lincah karena dibatasi oleh aturan yang kaku. Kondisi BUMN ini juga diperparah dengan kelemahan struktural seperti kualitas direksi. Rendahnya kualitas direksi sangat mungkin terjadi karena orang-orang yang ditunjuk sebagai direksi bukanlah orang-orang yang terpilih dan terbaik. Tetapi, banyak di antara mereka yang karena penunjukan politis atau ada kepentingan-kepentingan tertentu dari golongan-golongan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kapabilitas bukanlah kriteria utama, namun lebih ditentukan oleh loyalitas dan besarnya setoran. Posisi komisaris BUMN misalnya sudah sejak lama menjadi incaran partai politik. Padahal, sudah ada peraturan tentang itu. Pada Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor: PER- 04/MBU/2009 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, di Pasal VI ayat 4 disebutkan, persyaratan lain anggota dewan komisaris dan dewan pengawas adalah bukan dari pengurus partai politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif. Namun, pada kenyataannya, para calon ini tinggal mengundurkan diri dari partai atau anggota legislatif sebelum mencalonkan diri sehingga sudah memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kementerian BUMN tersebut.
  • 31. 31 Selain permen tersebut, tidak ada undang-undang lain yang secara tegas melarang komisaris BUMN berasal dari partai politik atau tim sukses. Itu sebabnya sebaiknya BUMN tetap konsisten mengutamakan kompetensi, tidak mengorbankan kompetensi hanya demi memberikan posisi kepada pihak yang dekat dengan kekuasaan. Rendahnya kinerja juga bisa disebabkan oleh posisi monopoli dari beberapa BUMN. Monopoli yang berarti tanpa pesaing seringkali merugikan konsumen karena BUMN tersebut dapat ”seenaknya” melakukan inefisiensi dalam proses produksinya dan membebankan biaya-biaya yang inefisien tersebut kepada konsumen. Monopoli juga menyebabkan BUMN ini bekerja semaunya, mengurangi jumlah produksi, menjual dengan harga tinggi, dan/atau mengambil keuntungan yang tinggi. Jika dibandingkan antara pengelolaan BUMN dan BUMS, dapat dikatakan bahwa secara umum pengelolaan BUMN tidak sebaik BUMS karena direksi BUMN bukanlah pemilik perusahaan. Jika BUMN merugi, direksi tidak merasa bertanggung jawab karena bukan uang pribadinya. Dari kondisi BUMN di atas, terlihat bahwa banyak BUMN yang belum menjalankan tujuan keberadaan BUMN keseluruhan sebagaimana tertera dalam UU. Kondisi ini membuat penulis bertanya-tanya: apakah tujuan BUMN dalam UU Nomor 19/2003 adalah sesuatu yang tidak realistis dan tidak mungkin dicapai? Jika demikian, semestinya ada ”judicial review” terhadap UU tersebut. Mungkinkah Indonesia memiliki BUMN yang mampu bersaing di mancanegara sekaligus mampu menjalankan tugasnya sesuai amanah UU? Jawabannya sangat mungkin. Tentunya dengan sejumlah syarat seperti komitmen bahwa BUMN wajib dikelola secara profesional dengan sumber daya manusia (SDM) yang profesional. Perlu juga dilakukan penggolongan BUMN. Artinya, ada BUMN karena sifat jasa dan produk barangnya diarahkan untuk menjadi pemain dunia, namun ada juga BUMN yang memang disiapkan untuk kepentingan masyarakat Indonesia dan atau perintis. SURYANI SIDIK MOTIK Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI)
  • 32. 32 G-20, MIKTA, dan Indonesia 07-09-2016 Awal September ini, negara-negara G-20 berkumpul di Hangzhou, Cina. Dengan topik yang berfokus pada tiga area kerja sama utama, yaitu inovasi, revolusi industri baru, dan ekonomi digital. Pertemuan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 kali ini lebih banyak membicarakan persoalan ekonomi global. Di luar agenda resmi KTT G-20 sendiri, pertemuan-pertemuan di antara 20 negara yang dipandang mewakili kekuatan-kekuatan berpengaruh dalam politik internasional sepanjang KTT itu juga dapat berfungsi menjadi barometer stabilitas dunia. Di tengah perubahan dunia yang ditandai dengan bayang-bayang persaingan antara kekuatan status quo (G-7) dan emerging powers (yang tergabung dalam BRICS) yang dipertemukan di dalam G-20, beberapa negara G-20 di luar dua blok tersebut membentuk MIKTA. Dideklarasikan pada September 2013, MIKTA (singkatan dari nama negara-negara anggotanya: Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, dan Australia) diharapkan dapat memberikan ruang bagi penciptaan tata kelola global yang tidak hanya memperhatikan kepentingan negara-negara besar tersebut. Sayangnya, dalam KTT G-20 kali ini, suara MIKTA tidak terlalu terdengar. MIKTA dan Tata Kelola Global Berfungsinya tata kelola global adalah kunci bagi stabilitas dunia. Dunia terjerembap dalam krisis yang kemudian memicu Perang Dunia ketika sistem moneter internasional gold standard runtuh, Liga Bangsa-Bangsa tidak efektif, dan negara-negara besar terjebak dalam lingkaran setan utang dan reparasi perang karena ketiadaan institusi internasional yang bisa mengelolanya. Belajar dari pengalaman tersebut, para pemenang Perang Dunia Kedua membangun beragam institusi global yang masih bertahan hingga hari ini. Dalam politik internasional, didirikanlah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam bidang ekonomi, konferensi Bretton Woods melahirkan institusi yang kemudian kita kenal sebagai Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, sebelumnya GATT). Namun, penting untuk mengingat bahwa institusi-institusi yang menopang tata kelola global itu pun memiliki masa berlaku. Dalam bidang ekonomi, rezim moneter gold standard pun bekerja baik selama hampir satu abad (1817-1914), membawa dunia pada periode yang
  • 33. 33 disebut sebagai ”masa kejayaan perdagangan bebas” dengan pertumbuhan perdagangan yang mencapai rata-rata 4% per tahun. Toh, pada akhirnya rezim moneter internasional ini harus tumbang saat hegemoni dunia saat itu, Inggris, memutuskan untuk mencampakkannya demi mencegah memburuknya kondisi ekonomi domestik. Dengan banyak kekurangan, institusi-institusi global yang dibentuk pasca-Perang Dunia Kedua telah berfungsi dengan cukup baik hingga awal milenium baru. Namun, dunia yang berubah membuat dorongan untuk melakukan reformasi terhadap tata kelola global itu semakin menguat. Hal ini didorong oleh pergeseran kekuatan dalam politik dan ekonomi internasional. Lanskap global hari ini telah jauh berlari meninggalkan tahun 1945. Dalam bidang politik, banyak negara menyerukan reformasi PBB dengan melakukan perubahan mendasar pada Dewan Keamanan. Dalam bidang ekonomi, dorongan untuk mereformasi IMF dan Bank Dunia juga semakin kencang. Krisis ekonomi tahun 1997/1998 memunculkan kekecewaan besar pada negara-negara Asia yang kemudian menginisiasi Dana Moneter Asia. Meskipun gagal terwujud, negara-negara Asia Timur secara bertahap mencoba mengurangi kebergantungannya pada IMF dengan menghadirkan Chiang Mai Initiative. Sebagai raksasa ekonomi baru, Cina menginisiasi berdirinya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang akan menyediakan dana pembangunan bagi negara-negara berkembang seperti Bank Dunia, tapi barangkali dikurangi dengan kerumitan persyaratannya. Menghadapi dorongan reformasi tersebut, negara-negara yang selama ini membentuk dan menopang tata kelola global cenderung bertahan. Reformasi Dewan Keamanan PBB belum beranjak ke mana-mana. Perubahan dalam IMF dan Bank Dunia juga dipandang tidak cukup signifikan. Amerika Serikat bahkan mengecam sekutu-sekutunya yang memilih untuk bergabung dengan AIIB. Di sisi lain, negara-negara yang merupakan kekuatan-kekuatan baru dunia juga tidak tinggal diam. Mereka menikmati tata kelola global hari ini, namun sekaligus merasa bahwa institusi- institusi tersebut tidak adil dan mengistimewakan negara-negara Barat. Jika persaingan ini tidak dikelola dengan baik, kita menghadapi risiko besar: tata kelola global yang disfungsional. Di sinilah MIKTA dapat memainkan peran penting. Membuat MIKTA Relevan Sebagai kumpulan dari negara-negara berkekuatan menengah (middle power) yang memiliki peran regional dan aspirasi global, MIKTA memiliki potensi untuk menjaga supaya kontestasi antara negara-negara status quo dan emerging powers dapat menemukan titik keseimbangan yang tepat, sekaligus tidak hanya memperhatikan kepentingan negara-negara besar tersebut. Namun untuk melakukan peran tersebut, MIKTA harus beranjak dari aktivitas seremonial dan pernyataan bersama yang sporadis. MIKTA tidak perlu membentuk institusi-institusi baru, tapi bisa memberikan kontribusi
  • 34. 34 penting dengan melakukan identifikasi terhadap reformasi apa saja yang diperlukan dalam tata kelola global dan institusi-institusi internasional yang menopangnya serta kemudian mengoordinasi negara-negara di luar kekuatan status quo dan emerging powers (dengan kata lain: negara-negara biasa). Dengan cara ini, MIKTA dapat menjadi representasi dari mayoritas negara di dunia di dalam G-20. Untuk itu, negara-negara MIKTA yang sangat beragam ini juga harus mengupayakan kesalingpahaman di dalam berbagai bidang. Di tahap awal MIKTA, mempererat kerja sama antara anggota MIKTA dapat menjadi prioritas penting. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan tidak hanya para diplomat. Di Indonesia sendiri, mengembangkan platform internasional baru terkesan tidak sesuai dengan visi ”diplomasi untuk rakyat” yang menghendaki bahwa kebijakan luar negeri dapat memiliki manfaat langsung bagi masyarakat. Hal ini dapat dijawab dengan menyelaraskan upaya membangun MIKTA dengan pencapaian kepentingan nasional. Melalui MIKTA, Indonesia mungkin dapat menggali manfaat yang lebih banyak daripada melalui jalur bilateral dalam bekerja sama dengan Korea, Turki, Australia, dan Meksiko. Jika hal ini dapat dilakukan, kita dapat mewujudkan apa yang dituliskan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama para Menteri Luar Negeri Meksiko, Korea, Turki, dan Australia: ”21st Century Global Governance: Rise of the Rest.” SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
  • 35. 35 Menimbang Dilema Suku Bunga 07-09-2016 Sekalipun Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebanyak tiga kali sejak awal 2016 hingga 100 basis poin (1%) menjadi 6,5%, tetapi suku bunga kredit belum menurun signifikan. Mengapa suku bunga kredit belum turun tajam? Akhirnya, BI mengubah suku bunga acuan dari BI Rate menjadi BI 7-Day Repo Rate pada 19 Agustus 2016. Sebagai pengingat, BI Rate yang mengacu pada tenor 12 bulan sekarang berada di level 6,5%, sedangkan BI 7-Day Repo Rate 5,25%. Akibatnya, suku bunga acuan berubah drastis dari 6,5% menjadi 5,25%. Sudah barang tentu kebijakan itu bertujuan final untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dan memperkukuh kerangka operasi moneter. Dengan bahasa lebih bening, supaya suku bunga acuan lebih membumi sehingga dapat menekan tingginya suku bunga kredit. Suku bunga deposito sudah mulai menurun cukup signifikan mengingat biaya dana (cost of fund) perbankan nasional mulai berkurang. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) menunjukkan rata-rata suku bunga deposito (rupiah) terpangkas 11-85 bps dari Januari 2016 (ketika BI Rate masih bertengger tinggi 7,5%) hingga Juni 2016 (tatkala BI Rate 6,5%) menjadi 6,75% untuk tenor satu bulan, 7,20% (tiga bulan), 7,82% (enam bulan) dan 8,04% (12 bulan). Tetapi suku bunga kredit hanya terpotong 11-64 bps pada periode sama menjadi 11,84% (kredit modal kerja), 11,49% (kredit investasi) dan 13,83% (kredit konsumsi). Mengapa bank nasional tak segera menurunkan suku bunga kredit? Karena ekonomi belum pulih benar, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah pasti berharap agar bank nasional segera menyalurkan kredit lebih kencang lantaran suku bunga acuan sudah makin tipis. Banyak kalangan mengharapkan agar suku bunga kredit turun segera setelah suku bunga acuan turun. Namun, bank nasional masih belum menurunkan suku bunga kredit secara signifikan sebab ekonomi belum tumbuh dan berkembang dengan normal. Ekonomi masih belum berotot sehingga sektor riil masih mengerem hasrat untuk melakukan ekspansi bisnis. Alih-alih sektor riil mau mengajukan tambahan kredit, kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan) pun masih segunung. SPI mencatat kredit yang satu ini kini mencapai Rp283,53 triliun per Juni 2016 meskipun sudah menurun dari bulan sebelumnya Rp296,88 triliun. Artinya, permintaan kredit komersial belum optimal. Tengok saja kredit hanya tumbuh 9,05% dari Rp3.677,35 triliun per Juni 2015 menjadi Rp4.010,17 triliun per Juni 2016. Pertumbuhan kredit yang jauh dari target 12-14%.
  • 36. 36 Suku bunga acuan sudah kian tipis tetapi ternyata permintaan kredit belum bergerak kencang. Kondisi itu melahirkan dilema suku bunga (rendah). Padahal sejak medio September 2015, pemerintah telah menerbitkan 13 Paket Kebijakan Ekonomi yang bertujuan menggenjot kredit dan investasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, paket itu belum nendang pada hajat hidup sektor riil kecuali yang berkaitan dengan sektor properti berupa program sejuta rumah mulai April 2015. Paket kebijakan itu dinilai hanya menyuguhkan solusi dari sisi penawaran (supply side) dan bersifat jangka panjang. Padahal, saat ini Indonesia membutuhkan permintaan (demand side) yang tinggi untuk memperkencang gerak roda sektor riil sehingga menyuburkan pertumbuhan ekonomi (Paul Sutaryono, “Madu dan Racun Brexit” di KORAN SINDO, 1 Agustus 2016). Pada medio Agustus 2016, BI kembali mendorong bank nasional untuk terus mengucurkan kredit dengan mengubah batas bawah rasio loan to funding ratio (LFR) yang dulu bernama loan to deposit ratio (LDR) dari 78% menjadi 80% efektif 24 Agustus 2016. Batas atas tetap 92%. Tampaknya hanya naik 2%, tetapi bagi bank nasional papan atas angka 2% itu bisa berarti triliunan nilai kredit yang harus digenjot lebih tinggi. Bukan hanya itu. BI pun akhirnya memenuhi janjinya untuk melonggarkan moneter dengan mengubah loan to value (LTV) bagi kredit properti dari 80% menjadi 85%. Sarinya, uang muka menurun dari 20% menjadi 15%. Ini kabar baik bagi pengembang, bank nasional terutama yang rajin menggarap kredit properti (kredit pemilikan rumah/KPR dan kredit pemilikan apartemen/KPA) dan calon konsumen. Memburu Kredit Konsumsi Lalu, kredit jenis apa yang akan digeber bank nasional di tengah dilema suku bunga itu? Pertama, memburu kredit konsumsi. Walaupun kredit komersial loyo, bank nasional tak akan mati angin. Bank nasional akan memburu kredit konsumsi seperti KPR, KPA, kredit kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA) yang makin laris manis. Alhasil, kredit konsumsi menjadi primadona pendapatan. Hal ini akan mendorong makin banyak bank nasional untuk rajin menggeluti KPR dan KPA meskipun BTN tetap menjadi pemimpin pasar (market leader). Ini pun digadang-gadangkan pemerintah. Mengapa? Lantaran sektor properti mampu mendorong 174 bisnis ikutannya untuk ikut bergairah. Katakanlah, semen, pasir, genting, batu kali, batu bata, keramik, kayu, besi beton, pagar besi, teralis, engsel, paku, listrik, kabel, lampu, dan cat. Kedua, mengejar pendapatan CASA (current account and saving account). Pun bank nasional terus mengejar pendapatan dari rekening giro, tabungan, dan deposito. Semua rekening itu menghasilkan pendapatan yang manis. Belum lagi pendapatan dari komisi (fee- based income). Sebut saja wealth management, cash management, internet banking, phone banking, SMS banking, mobile banking, dan ATM. Produk tersebut terbukti menghasilkan pendapatan nan gurih.
  • 37. 37 Ketiga, menggeber kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sudah pasti bank nasional tidak akan meninggalkan segmen UMKM. Mengapa? Karena segmen itu menjanjikan margin yang tebal. Maka sungguh layak ketika makin banyak bank nasional menggeber kredit UMKM, sementara BRI tetap menjadi pemimpin pasar. Tetapi terutama bank nasional papan atas bakal terus menggenjot kredit infrastruktur dengan cara sindikasi. Model ini bertujuan untuk mitigasi risiko dengan berbagi risiko (risk sharing) mengingat kredit infrastruktur menuntut dana tinggi dan berjangka waktu menengah dan panjang. Dengan aneka kredit demikian, bank nasional akan tetap mampu meningkatkan pengucuran kredit hingga akhir 2016. Namun, ingat untuk mengerek kualitas kredit karena kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) mencapai 3,05% per Juni 2016 meskipun menipis dari 3,11% per Mei 2016. PAUL SUTARYONO Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
  • 38. 38 Pusyar, Senjata Ampuh Lumpuhkan Rentenir 07-09-2016 Saya sempat malu saat Kota Mojokerto mendapat julukan sebagai ”Kota Rentenir” beberapa tahun lalu. Namun, itu kemudian saya maklumi karena faktanya, masyarakat di kota yang kini terbagi menjadi tiga kecamatan ini banyak yang mengandalkan rentenir untuk kebutuhan usaha mereka. Ini cukup menggelitik dan menjadikan target yang harus saya tangani saat menjabat sebagai wakil wali kota Mojokerto waktu itu. Meski kota ini terbilang kecil, usaha kecil dan menengah (UKM) cukup bergeliat. Sebagai kota penghasil sepatu lokal, Kota Mojokerto mampu menyuplai kebutuhan sepatu di berbagai kota, bahkan pulau. Tak heran jika Kota Mojokerto saat ini memiliki sekitar 1.823 UKM beragam bidang. Dengan banyak UKM itulah lantas tercetus bagaimana agar UKM ini sehat dan terbebas dari jeratan rentenir. Itu adalah ide dasarnya. Membebaskan pelaku UKM dari jeratan rentenir tentu saja tak mudah, namun itu bisa dilakukan. Pemkot Mojokerto memulainya dengan peluncuran program Pembiayaan Usaha Syariah (Pusyar). Karena berprinsip syariah, tentu saja program ini akan lebih lega dan membebaskan peminjamnya dari sistem renten yang memberatkan. Program Pusyar yang sudah tahun ketiga ini berjalan menggandeng beberapa pihak dengan satu tujuan, yakni memberikan pinjaman mudah dan bebas bunga kepada pelaku UKM. Lembaga yang digandeng untuk mewujudkan Pusyar ini di antaranya Badan Amil Zakat (BAZ), Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang merupakan bank milik Pemkot Mojokerto. Keempatnya bersinergi membuat sistem agar program Pusyar berjalan sesuai target, yakni menumbuhkan ekonomi makro melalui tumbuhnya UKM. Bagaimana sistematika agar peminjam modal yang dalam hal ini pelaku UKM tidak dibebani bunga? BAZ Kota Mojokerto mengumpulkan infak para PNS di Kota Mojokerto mulai dari golongan I hingga IV. Tahun pertama pengumpulan infak yang besarannya dituangkan dalam peraturan daerah (perda) ini, BAZ mampu mengumpulkan uang sebesar Rp300 juta lebih. Dana inilah yang dipakai membayar margin pinjaman modal yang dikucurkan BPRS. Dari Rp300 juta dana infak ini, BPRS mengucurkan pinjaman modal sebesar Rp3 miliar dengan asumsi BPRS mendapat keuntungan sebesar 10% dari total modal yang dipinjamkan.
  • 39. 39 Tahun kedua, ada kenaikan pengumpulan infak PNS yang mencapai Rp600 juta. Dana ini lantas dikembangkan lagi untuk mengunduh tambahan pinjaman modal ke BPRS bagi pelaku UKM. Saat ini total pinjaman bebas bunga yang diberikan kepada pelaku UKM telah mencapai angka Rp9 miliar. Sukses program Pusyar yang mendapat penghargaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan disaksikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, kami lantas berupaya memperbesar kucuran modal kepada pelaku UKM dengan meningkatkan nilai infak yang dikumpulkan BAZ. Tahun ini kami sedang menggarap perda yang menetapkan kenaikan nilai infak yang dipungut dari PNS. Saat ini pembiayaan syariah melalui program Pusyar sudah menyentuh 684 UKM dengan besaran pinjaman maksimum Rp50 juta per UKM. Belum genap tiga tahun program Pusyar berjalan, dampak ekonomi makro yang didapat cukup signifikan. Saat ini pertumbuhan ekonomi Kota Mojokerto telah menyentuh angka 6,49. Angka yang menyalip pertumbuhan ekonomi nasional maupun Jawa Timur. Kenapa begitu, dengan pertumbuhan UKM, otomatis daya beli masyarakat meningkat. Pelaku UKM akan lebih berdaya secara ekonomi, begitu juga masyarakat yang ikut terlibat di dalamnya. Pusyar juga sebagai pemacu ekonomi inklusif. Setidaknya, angka disparitas ekonomi di Kota Mojokerto terus mengalami penurunan sejak program ini diluncurkan. Saat ini angka disparitas ekonomi di Kota Onde-Onde ini mencapai angka 0,02. Berkaca program Pusyar yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, kami menargetkan agar semua UKM di Kota Mojokerto yang saat ini berjumlah 1.823 UKM akan bisa disentuh pembiayaan dari program ini. Angka pengangguran setelah program Pusyar ini diluncurkan juga terus mengalami tren penurunan. Ini tidak berlebihan karena UKM yang tumbuh tentu saja akan bisa merekrut tenaga kerja. Perputaran ekonomi dari program Pusyar ini juga berdampak positif dalam berbagai bidang. Di antaranya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Itu tak luput dari kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang meningkat. Pusyar juga mampu mengusir peran jahat para rentenir yang selama ini cukup menyulitkan iklim usaha para pelaku UKM. Pemkot Mojokerto juga mendorong pelaku UKM agar mengelola manajemen yang baik menuju bankable. Karena dari sinilah pelaku UKM akan bisa memperluas usahanya dengan kucuran modal tambahan. Pemasaran juga menjadi perhatian Pemkot Mojokerto agar pelaku UKM semakin tumbuh seiring daya saing yang meningkat. MAS’UD YUNUS Wali Kota Mojokerto
  • 40. 40 Orang-Orang Kalah 08-09-2016 Sambil makan malam, mata saya arahkan ke program talk show di sebuah stasiun TV swasta. Debat yang ditayangkan stasiun TV itu sedang seru-serunya. Para pembicaranya saling sela dan memotong pembicaraan lawannya. Tiap pihak ngotot dengan argumentasinya untuk menunjukkan bahwa dialah yang paling benar. Menurut hemat saya dan berdasarkan obrolan dengan banyak penonton lainnya, kita yang berada di luar jauh lebih mudah memilah siapa yang pendapatnya berbobot dan mana pembicara yang ngaco, asbun alias asal bunyi. Mereka yang ngaco biasanya asal bicara. Modalnya Cuma suara yang lantang, ngomong-nya panjang tanpa jeda, tetapi kalau disimak baik-baik, isinya semua tak keruan. Hanya menyalahkan sana-sini. Di matanya semua tak ada yang benar meski dia juga tidak menawarkan solusi apa-apa. Tak mengherankan kalau sekarang model bicara seperti itu mulai muncul di sekeliling kita. Rupanya belajarnya dari sana. Tahu sedikit saja sudah meledak. Dasarnya hanya membaca judul atau petikan pesan dari media sosial, lalu bom! Meledaklah ketidaksenangan. Beberapa ilmuwan mulai biasa mudah tersulut, padahal di kelas ia melarang mahasiswanya menggunakan media sosial sebagai referensi. Menurut David Waitley, orang-orang semacam ini sedang bermain untuk menjadikan bangsanya kalah, menjadi the looser, pecundang. Alih-alih memberikan informasi yang benar, mereka justru sedang “bermain”. Mereka tahu itu kurang pas, tapi kalau menyajikan yang benar, rasanya kok kurang elegan, kurang terlihat kritis, kurang berani. Padahal semua orang tahu, seorang pejuang itu adalah orang yang membela yang benar, bukan membela yang bayar, apalagi membela yang jelas-jelas salah. Kata teman saya, seorang ilmuwan terkemuka, sebagian dari mereka ini adalah orang-orang yang ketika menduduki posisi yang terhormat ternyata tidak melakukan apa-apa kecuali membuat ribut dan ketika diturunkan dari jabatannya kemudian ngoceh ke sana- sini. Menyalahkan semua pihak. Di layar TV lalu muncul pengamat lainnya yang mengatakan kalau mengambil langkah A salah, menjalankan B tidak boleh, kalau menempuh cara C pun melanggar hukum. Tetangga saya yang sedang bertamu dan mendengar dialog itu dari TV terlihat bingung. Padahal ia ketua RW yang suaranya didengar warga. Tapi nalar sehatnya masih ada. Dia masih bisa geleng-geleng kepala. “Mau dibawa ke mana bangsa ini oleh orang-orang itu,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.
  • 41. 41 Celakanya memang para looser ini suka sekali mencari panggung untuk menyuarakan pendapatnya. Meski ngaco, ada saja yang suka mendengarnya. Siapa pendengarnya? Orang- orang kalah juga. Dan kalau mereka ketemu media yang suka mencari sensasi, klop. Jadi ramai. Padahal substansinya tak ada atau sebutlah biasa-biasa saja. Reaktif vs Proaktif Baiklah kita ambil satu contoh, yakni debat soal tax amnesty. Anda tentu tahu siapa saja orang yang suaranya begitu lantang kalau sudah bicara soal ini. Mereka kesannya membela kalangan tertentu. Misalnya kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Materi yang mereka lontarkan kebanyakan begini. Banyak pengusaha kecil, kata mereka, yang bingung dengan tax amnesty. Mereka tidak paham apa itu sesungguhnya tax amnesty. Dan itu diucapkan pula dalam talk show saat ia mulai paham. Tapi, ia katakan, sesungguhnya yang tidak paham itu rakyat. Sudah begitu sosialisasi dari pemerintah, menurut mereka, juga sangat kurang. Mereka juga mempersoalkan, mengapa pemerintah terus memburu-buru pengusaha UMKM agar mau mengikuti tax amnesty. Ngaco bukan! Mereka sudah memelintir isu, kata Pak RW yang sedari awal merasa paham. “Sebab kita semua tahu bahwa tax amnesty itu menyasar para pengusaha besar, terutama mereka yang masih menyimpan sebagian asetnya di luar negeri. Jadi bukan untuk pengusaha kelas UMKM. Bukan buat kita yang usaha warungan,” ujarnya. “Hanya kalau ada pengusaha UMKM yang dulu belum membayar pajaknya, silakan manfaatkan momentum ini. Silakan isi form dan melunasi utang pajaknya. Pemerintah tak akan memeriksa,” tambahnya lagi. Saya juga heran, pintar sekali ketua RW saya walaupun sekolahnya hanya sampai SMA, kalah dengan narasumber yang senang marah-marah di TV tadi. Akan tetapi bukan itu yang menjadi concern saya. Buat saya, ramai-ramai soal tax amnesty membuat kita bisa dengan mudah melihat gambaran dari kelompok yang perilakunya serbareaktif dengan mereka yang mempunyai perilaku proaktif. Apa maksudnya? Begini. Mengapa sih kita mesti menunggu sosialisasi dari pemerintah? Sebab kalau kita memang mau mencari tahu soal tax amnesty, caranya gampang sekali. Kita bisa mencari informasinya di berbagai media cetak, media online atau media elektronik. Bahkan di YouTube. Tinggal tanya pada Google. Kita juga bisa mencari informasinya di website Ditjen Pajak. Kalau kurang, masih ada situs Kementerian Keuangan, website dari bank-bank yang bekerja sama dalam program tax amnesty, dan masih banyak lagi sumber lain. Di era sekarang ini, informasi begitu terbuka, melimpah, dan tersedia di mana-mana. Jadi, bagi saya, menunggu sosialisasi adalah perilaku yang reaktif, bukan proaktif. Dan reaktif adalah perilaku para looser. Sementara perilaku para pemenang sebaliknya. Mereka justru bersikap proaktif. Mereka cari dan kalau tidak paham baru bertanya. Perilaku
  • 42. 42 semacam inilah yang saya lihat berkembang di mana-mana. Di dunia kerja, juga di lingkungan pendidikan. Di lingkungan pendidikan, misalnya, sekarang bukan lagi eranya satu arah. Dosen mengajar, mahasiswa mendengarkan dan mencatat. Setelah itu dosen menugasi mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas dan dia tinggal menilai. Ini cara lama. Cara sekarang berbeda. Sekarang dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari untuk esok hari. Para mahasiswa diminta untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Sumbernya silakan cari dari mana saja. Buku- buku di perpustakaan atau googling di internet. Esok harinya dosen dan para mahasiswa akan membahas bersama-sama topik tersebut. Mahasiswa sekarang banyak yang menyadari cara baru itu. Kecuali dosennya mendiamkan. Sekarang semua tugas yang mesti dikerjakan di rumah juga sudah di-upload di website. Jadi mahasiswa mesti aktif mengecek website, mencari tahu apa saja tugas yang harus mereka kerjakan. Bukan lagi menunggu perintah dari dosen. Itu di lingkungan pendidikan. Di lingkungan perusahaan juga kurang-lebih serupa. Karyawan-karyawan baru tak lagi dituntun. Mereka hanya diberi gambaran besar tentang pekerjaannya, selebihnya cari sendiri. Mereka dituntut untuk proaktif. Silakan bertanya kiri- kanan. Kalau belum jelas, silakan bertanya ke atasan. Dengan cara seperti itu, perusahaan akan lebih mudah memilah mana karyawannya yang potensial dan mana yang tidak. Mana karyawan yang reaktif dan sukanya menunggu perintah serta mana yang proaktif. Mengerjakan sesuatu tanpa menunggu diperintah. Kata Robin S Sharma, “A leadership culture is one where everyone thinks like an owner, a CEO or a managing director. Its one where everyone is entrepreneurial and proactive.” Anda tahu, Robin Sharma adalah penulis dan pembicara publik asal Kanada. Salah satu buku karyanya berjudul The Monk Who Sold His Ferrari. Jadi kalau Anda lebih suka memilih tipe karyawan yang mana? RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 43. 43 Pertamina Menjadi Pemain Global 09-09-2016 Di tengah penurunan harga minyak dunia, agak mengejutkan Pertamina bisa meraup laba sekitar USD1,83 miliar pada semester I/2016 atau naik sebesar 221% dibanding periode yang sama pada 2015. Dengan perolehan laba sebesar itu, Pertamina merupakan satu di antara beberapa perusahaan minyak global yang berhasil meraih pertumbuhan laba cukup tinggi. Peningkatan perolehan laba itu jauh melampaui perolehan laba Petronas Malaysia, ”murid” Pertamina yang selama ini lebih unggul ketimbang gurunya, telah mengalami penurunan laba bersih hingga 72% dibanding tahun sebelumnya. Dalam kondisi penurunan produksi dan harga migas, peningkatan laba Pertamina itu mestinya bukan berasal dari peningkatan volume penjualan, melainkan lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran yang dilakukan Pertamina sejak di bawah Direktur Utama Dwi Soetjipto. Efisiensi itu utamanya dicapai dari pengadaan impor bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sejak Petral dibubarkan lantaran ditengarai sebagai sarang mafia migas, pengadaan impor BBM dialihkan dari Petral Singapura ke Integrated Supply Chain (ISC) di bawah kendali Kantor Pusat Pertamina Jakarta. Sejak itu Pertamina bisa melakukan penghematan hingga USD100 juta atau sekitar Rp1,3 triliun. Total penghematan itu diprediksikan akan terus meningkat, yang akan mencapai sekitar USD651 juta atau Rp8,5 triliun pada akhir 2017. Pemain Global atau Jago Kandang Selain mampu mencatatkan laba dalam jumlah besar, Pertamina era Dwi Soetjipto juga tercatat yang paling ekspansif dalam memasuki industri migas global dibanding direktur utama Pertamina sebelumnya. Tidak hanya dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ladang migas di luar negeri, Dwi Soetjipto juga sangat agresif dalam mengakuisisi saham perusahaan minyak global. Baru-baru ini Pertamina telah mengakuisisi atas 24,53% saham perusahaan migas asal Prancis, Maurel & Prom. Harga saham yang dibeli Pertamina seharga 4,2 euro per lembar, total biaya mencapai sekitar 200 juta euro atau sekitar Rp2,9 triliun. Momentum pembelian saham Maurel & Prom dinilai juga sangat tepat. Pasalnya, di tengah kecenderungan rendahnya harga minyak dunia, harga saham perusahaan minyak global juga mengalami kemerosotan sehingga Pertamina membeli saham Maurel & Prom dengan harga relatif murah. Kalau terjadi kenaikan harga minyak dunia yang bisa mendongkrak harga saham
  • 44. 44 Maurel & Prom, Pertamina berpotensi akan mencatatkan capital gain (selisih harga jual dengan harga beli saham). Menurut Pertamina, akuisisi 24,53% itu sebagai langkah awal untuk mengambil alih mayoritas saham Maurel & Prom hingga Pertamina dapat menguasai dan mengendalikan ladang migas, yang memiliki cadangan minyak sebesar 205 juta barel. Cadangan minyak terbukti itu tersebar di berbagai negara di antaranya Gabon, Tanzania, Nigeria, Namibia, Prancis, dan Vietnam. Dengan penguasaan saham Maurel & Prom, tidak diragukan lagi bahwa Pertamina telah melangkah menjadi pemain global sebagai world class oil company. Benefit lain yang dicapai dengan akuisisi saham Maurel & Prom adalah ada tambahan pasokan minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Selama ini produksi minyak Indonesia cenderung turun hingga lifting minyak Indonesia tinggal 840.000 barel per hari. Dengan produksi Maurel & Prom sebesar 30.000 barel per hari, diharapkan dapat meningkatkan pasokan minyak Indonesia, terutama untuk diolah di kilang minyak dalam negeri untuk menambah pasokan BBM, sehingga dapat menurunkan impor BBM untuk konsumsi dalam negeri. Tentunya tujuan pembelian saham Maurel & Prom tidak semata-mata memperoleh capital gain dan tambahan pasokan minyak, tetapi ada benefit lain yang akan diperoleh Pertamina. Benefit itu di antaranya peluang transfer teknologi dalam eksplorasi dan eksploitasi ladang minyak di luar negeri, kesempatan bagi tenaga kerja dan manajemen Indonesia yang terlibat untuk meningkatkan skill-nya dalam operasional produksi dan pemasaran minyak, serta memanfaatkan jaringan distribusi yang selama ini sudah dibentuk oleh Maurel & Prom. Benefit tersebut akan menjadi nilai tambah, yang akan dapat diterapkan di ladang migas Pertamina dalam negeri. Dengan pembelian saham Maurel & Prom dan saham perusahaan minyak global lain, tidak hanya mendorong Pertamina menjadi pemain global, namun secara simultan juga akan memperkuat pengelolaan dan operasional ladang migas Pertamina di dalam negeri. Untuk mencapai itu, Pertamina harus lebih fokus untuk melakukan pendalaman bisnis di sektor hulu, baik di dalam maupun luar negeri. Agar berhasil dalam pendalaman bisnis di sektor hulu, Pertamina harus mulai meminimkan beban bisnis yang justru berpotensi menjadi penghambat bagi Pertamina untuk menjadi pemain global. Untuk itu, Pertamina harus rela menyerahkan saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang energi panas bumi, kepada PLN. Demikian juga dengan PT Pertagas, anak perusahaan Pertamina di bisnis distribusi gas, sebaiknya diserahkan kepada PT PGN Tbk untuk merger. Bukan malah Pertamina berambisi untuk mencaplok PT PGN, yang dibungkus dengan holding energi. Pertamina, sebagai national oil company (NOC), yang bebannya cukup berat dalam menjalankan fungsi penugasan dari pemerintah, bahkan mestinya harus menolak untuk ditunjuk sebagai holding energi sesuai dengan konsep menteri BUMN. Tanpa memikirkan
  • 45. 45 beban bisnis yang justru menjadi penghambat bagi Pertamina untuk melakukan pendalaman bisnis di sektor hulu, jangan harap perjalanan Pertamina menjadi pemain global akan berjalan mulus. Kalau kali ini Pertamina gagal menjadi pemain global sebagai world class oil company, dikhawatirkan Pertamina tetap menjadi ”jago kandang” selamanya. FAHMY RADHI Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafi Migas
  • 46. 46 Implementasi Strategi dan Transformasi Bisnis 09-09-2016 Kemauan dan kemampuan organisasi untuk belajar dan menerapkannya dalam praktik, merupakan faktor penting dalam competitive advantage. Sebuah perubahan dan transformasi dimulai dengan pemikiran, kemudian menuangkan pemikiran tersebut ke dalam daftar ide dan perencanaan, dan selanjutnya mewujudkannya menjadi sebuah realita. Sebuah proses pembelajaran dan perwujudan ke dalam realita yang membawa perubahan itulah transformasi. Ada tiga faktor kritis yang memengaruhi dunia bisnis dewasa ini: 1. Perubahan yang sangat cepat bahkan sering terlalu cepat (accelerated change); 2. Situasi yang bertambah dan semakin kompleks (overwhelming complexity); 3. Persaingan yang gencar (tremendeous competition). Transformasi bisnis dimaksudkan untuk dapat menghadapi ketiga tekanan tersebut. Ada tahapan yang harus dilalui, menurut Ambassador Tal Edgars, AJF Honorary Advisor & Member to the Foundation Board of Advisors at Africa Justice Foundation yang ia sebut Strategy Implementation Program (SIP), diawali oleh CEO atau group executive committee. Tahap pertama, mengklarifikasi dampak terhadap masing-masing bagian organisasi dan membuat perencanaan perubahan yang diperlukan. Dalam strategi yang dibuat, ditetapkan gol dan nilai-nilai yang dianggap penting dan bermanfaat bagi pelanggan mereka (customer value) dan bagaimana memenuhinya — sering kali tidak diuraikan dengan jelas bagaimana caranya. Karena itu, perlu diperjelas dan dipertegas strategi yang terkait, mengidentifikasi perubahan yang diperlukan dan menyusun program yang disebut business transformation program. Tahap kedua, mengomunikasikan dan melibatkan orang-orang terkait dengan visi perubahan. Transformasi bisnis memerlukan komunikasi khusus yang dirancang baik dari atas ke bawah (top-down) maupun dari bawah ke atas (bottom-up) baik secara internal maupun ke eksternal, stakeholders. Agar masing-masing mengerti akan perubahan dan manfaatnya baik yang akan maupun yang sedang dijalankan dan memberikan informasi (feedback) terhadap program yang dijalankan. Tahap ketiga, memilih metrik dan kuadran yang cocok, menghubungkan dan menyelaraskan gol dan target perusahaan dengan key performance indicators (KPI) tiap-tiap departemen dan