SlideShare a Scribd company logo
1 of 42
Download to read offline
359
ANALISA BEBERAPA LOGAM BERAT PADA SPONS (PORIFERA) di
PERAIRAN TELUK AMBON (ANALYSIS OF SOME KINDS OF HEAVY
METALS ON SPONGE (PORIFERA) IN AMBON BAY)
A.N Siahaya, J.A.B Mamesah dan M. Latuihamallo
ABSTRACT
It is assumed that level of pollution in the water is related to the source of pollution i.e.
the closer the source of pollution, the higher the concentration of pollutant in the water.
Conseqently, heavy metals concentration which accumulated in the sponge (porifera) is
higher too. Therefore pollution areas can bi traced using bioindicator organism. Samples
was collected randomly from 4 sampling site i.e. Batu Merah, Batu Capeo, Hative Besar
and Seri. Preparation and premilinary study were conducted in the Analytic Laboratory of
MIPA Faculty, Pattimura University, Ambon while analysis of heavy metals was done in
the laboratory of Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan
Standarisasi Industri Makassar. Concentration of heavy metals Zn, Pb, Cr inthe sponge
(porifera) Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene, 2003)
was determined using Atomic Absorption Spectrophotometer. Data was analysed using
linear regression tecnique in which X axis is concetration of heavy metals (ppm) while Y
axis is absorbents. Concentration Zn and Pb could be categorised unhazardous for marine
organism, ranging from 2,5 to 3 ppm. Concentration Cr was over the normal limit in the
sea water i.e. 0,11 ppm this concentration was hazardous for marine organism.
Key word : Sponge (Porifera), Pollution, Heavy Metals, Ambon Bay.
PENDAHULUAN
Spons (porifera) merupakan salah satu komodite sumberdaya laut yang akhir-akhir
ini mendapat sorotan karena selain bernilai estetika, spons (porifera) juga mengandung
senyawa bioaktif (bioatif subtances).Spons (porifera) memilki sifat dasar yang ideal yaitu
dapat mengakumulasi bahan pencemar berat hal ini didasarkan pada pola makan spons
(porifera) dimana air laut yang mengandung zat-zat makan masuk melalui pori-pori dan
disaring melalui sel-sel bulu cambuk sehinggga hewan ini di sebut “filter feeder”. Hewan
ini hidup sebagai bentos, memiliki waktu hidup yang cukup lama (Veerdenal,1985).
Dengan sifat inilah spons (porifera) dapat digunakan sebagai organisme indikator
cemaran logam pada suatu perairan yang merupakan dasar suatu organisme dipakai
sebagai indicator pencemar (Philip,1999)
Dari sekian banyak limbah yang ada di laut, limbah logam berat merupakan limbah
yang berbahaya karena logam berat umumnya bersifat toksik (racun) dan kebanyakan di
air dalam bentuk ion. Logam berat yang mencemari perairan banyak jenisnya,
diantaranya logam Zn, Pb, Cr, Tingkat pencemaran pada suatu perairan dapat di
hubungkan dengan jarak dari sumber pencemaran, jika asumsi benar, makin dekat dengan
sumber pencemaran maka kosentrasi bahan pencemar yang terdapat dalam perairan
tersebut akan semakin tinggi, sehingga kandungan logam yang terakumulasi dalam spons
360
(porifera) juga akan semakin tinggi. Dengan demikian lokasi cemaran logam dapat
dilacak dengan menggunkan organisme bioindikator tersebut.
Peta penyebaran terumbu karang di perairan pulau ambon terdiri atas teluk ambon
bagian luar dan teluk ambon bagian dalam, dan terumbu karang yang paling banyak
adalah pada teluk ambon bagian luar.
RUMUSAN MASALAH
Kota ambon merupakan ibu kota Propinsi Maluku seiring dengan perkembangannya,
pertambahan penduduk tidak bisa dihindari. Akibatnya kegiatan masyarakat bertambah
dan tekanan yang dialami oleh Teluk Ambon bertambah juga khususnya pada kasus-
kasus pencemaran dan salah satunya pencemaran oleh logam berat.
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam Zn, Pb, Cr, pada spons jenis
Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada
perairan teluk ambon?
b. Berapa kosentrasi logam berat Zn, Pb, Cr pada 4 titik sampel pada perairan teluk
Ambon?
III. 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui kosentrasi logam Zn, Pb, Cr dalam spons
jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)
pada empat (4) titik sampel.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai Agustus 2006 meliputi persiapan,
pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian. Lokasi pengambilan sampel di 4 (empat)
titik pada Teluk Ambon bagian luar.
Pelaksanaan penelitian yang meliputi penelitian pendahuluan dan persiapan sampel di
Laboratorium Analitik Fakultas MIPA Universitas Pattimura, sedangkan analisis logam
berat di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan
Standarisasi Industri Makassar.
Sampel spons (porifera) dari jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida,
Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (Gambar 1) di ambil dengan cara penyelaman ke
dasar laut yang berbatu karang. Setiap pengambilan, sempel spons (porifera) di bersihkan
kemudian di tempatkan ke dalam kantong plastik dan kemudian dibawah ke
Laboratorium untuk di analisis.
Sampel yang akan di gunakan di pisahkan untuk penentuan akumulasi logam
berat dalam spons (porifera) di cuci dengan air panas di tambahkan deterjen, di rendam
dalam air laut selama 48 Jam setelah itu di bersihkan lagi dengan aquadest dan di rendam
dengan aseton untuk menghilangkan pigmen dari spons (porifera) kemudian dimasukkan
dalam oven selama ± 5 jam.(Veerdenal,1985)
Cara analisis sampel dilakukan sebagai berikut :
Sampel di timbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram dalam gelas kimia yang bersih dan
kering kemudian ditambahkan 5 ml asam nitrat (HNO3) kemudian di panaskan pada suhu
159
o
C selama 2 jam. Sampel yang telah dipanaskan tersebut di dinginkan pada suhu
kamar, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan di tepatkan volumenya,
361
setelah itu larutan di kocok sampai homogen dan di saring dengan menggunakan kertas
saring whatman. Larutan siap di analisis (Siahaya,2000)
Penentuan kadar logam berat dengan Spektrofotometer Serapan Atom
a. Penyiapan Larutan standar
Larutan standar Zn, Pb, Cr 1000 ppm di buat dengan mengambil masing-masing
sebanyak 10 ml larutan induk 1000 ppm dan dimasukkan dalam takar 100 ml kemudian
di tambahkan asam nitrat (HNO3) 2 % hingga volume 100 ml. Hasil dari pembuatan
larutan standart 100 ppm, kemudian dibuat deret larutan baku atau larutan standart.
Masing-msing sebagai berikut :
Zn : 0,4 ppm ; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1,2 ppm ; 1,6 ppm
Pb : 0,4 ppm ; 0,6 ppp; 0,8 ppm ; 1,0 ppm ; 1,2 ppm ; 1,4 ppm
Cr : 0,1 ppm ; 0,3 ppm 0,5 ppm ; 0,7 ppm ; 1,1 ppm
Penentuan kadar logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae(Allen & Steene (2003).
Kedalam nyala udara-Asetelin di aspirasikan air dan alat pengukur di jadikan nol.
Larutan baku secara berturut-turut diaspirasikan didalamnya, menurut kenaikkan
konsentrasi. Nilai serapan dari larutan baku tersebut di catat. Kemudian dibuat persamaan
regresi linier dari serapan larutan baku dengan konsentrasi. Serapan hasil pengukuran
larutan sampel di masukkan kedalam persamaan regresi, sehingga diperoleh konsentrasi
logam dalam sampel.
c.Analisis Data
Dari hasil pengukuran sederetan larutan baku di atas kemudian dibuat grafik
untuk masing-masing logam. Untuk semua garis lurus pada grafik antar absorbans dan
kosentrasi di perlukan bantuan garis regresi. Sumbu X adalah kosentrasi dalam ppm,
sedangkan sumbu Y adalah Absorbans (A).
Persamaan regresi adalah :
Y = a +bX
Nilai-nilai a dan b dihitung dengan rumus :
x b x
a
n
 

 
2 2
.n x y x y
b
n x x
  
 



Walaupun dalam suatu garis dapat saja di tarik dari jumlah titik yang tersebar dalam
grafik, belum tentu terdapat korelasi antara kedua variabel x dan y. Cara statistik yang di
pakai untuk menetukan adaya hubungan antara kedua variabel ialah koefien korelasi (r).
Koefisien korelasi ini dapat di hitung dengan rumus :
|HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik Perairan Teluk Ambon
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam sejumlah katagori, siantaranya
berdasarkan sumebrnya terdiri dari pencemar domestic,pertanian,pertambangan dan lain-
lain. Berdasarkan komposisi dasar bahan pencemar
Menurut Leckie dan James (1974) dalam Palar (2004), kelarutan unsur-unsur
logam dalam badan air di kontrol oleh pH badan air, jenis dan kosentrasi logam serta
362
keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks,
kebanyakan logam bervalensi dua seperti logam Cu2+
, Pb2+
, Ni2+
dan Zn2+
, mengalami
hidrolisis pada badan air dengan pH alami yang normal. Badan air yang mempunyai
kisaran pH 7-8 kelarutan senyawa-senyawa cendrung stabil. Kenaikkan pH pada air
biasanya diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam
tesebut. Perubahan tingkat stabil dari kelarutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk
pergeseran persenyawaan. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan
akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali
membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan
perairan.
Pada temperatur yang tinggi atau diatas rata-rata air menurut Bernhard (1978)
Sumadhiharga K (1995) sebagian besar logam akan berpindah dari air ke organisme,
sedangkan nilai salinitas akan berpengaruh kepada pembentukan senyawa kompleks.
Kondisi fisik pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil analisis logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) yang ada di perairan
teluk Ambon 4 titik sampling atau lokasi penelitian yaitu titik satu (1) pada perairanBatu
Merah; titik dua(2) perairan Batu Capeo; titik tiga (3) pada Perairan hative besar dan titik
ke empat (4) di Perairan Seri. Hasil penetapan logam dalam spons (porifera) jenis
Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) adalah
sebagai berikut :
1. Hasil kandungan logam berat Zn, Pb, Cr pada spons (porifera) jenis
Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) di
empat (4) titik atau lokasi perairanan (tabel 2)
2. Diagram kandungan logam Zn, Pb, Cr dalam spons (porifera) jenis
Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida,Spongiidae) (Allen & Steene (2003)
(gambar 1-3)
Logam Timbal (Zn)
Dari hasil analisis kandungan logam Zn pada perairan Batu- merah atau lokasi/
titik sampel satu (1) yang digambarkan secara deskritif pada gambar 2 menunjukan
keberadaan logam zeng (Zn) yang terakumulasi dalam spons jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) memiliki presentasi lebih
besar dibandingkan lokasi perairan yang lain yaitu 55,9 % atau sebesar 11,208 ppm.
Selanjutnya lokasi empat (4) Perairan Seri memiliki presentasi sebesar 23,2%
selanjutnya di ikuti oleh lokasi dua (2) Batu Capeo dan lokasi tiga (3) Hative Besar.
Keberadaan logam zink yang terakumulasi dalam tubuh spons (porifera)
dikeberadaannya disamping secara alamiah sudah ada seperti yang di laporkan oleh
Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) bahwa kosentrasi logam dalam air secara
alamiah berbeda untuk jenis airnya (Tabel 4)
Keberadaan kosentrasi logam Zn dalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) logam ini dapat masuk
ke air di samping kosentrasinya secara almiah sudah ada seperti pada tabel 3 sebesar 2
µg/L tetapi didalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa
(Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) sangat besar 11,208 ppm sehingga
di perkirakan penyebab kosentrasi logam ini sangat besar di dalam perairan batu merah
adalah bersumber dari aktifitas daratan yang mana sumber-sumber logam Zn adalah
363
berasal dari limbah rumah tangga atau industri yang terbuat dari logam, batu baterei, cat,
plastik dan karet (Dons dan Beck 1993).
Kadar Zn yang rendah berada pada perairan Seri, Hatiwe besar dan Batu capeo hal
ini sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat di sekitar pantai. Menurut Hellawell
(1989) pada ikan akan terjadi kematian apabila kandungan logam Zn di perairan lebih
dari 5 ppm.
Logam Timbal (Pb)
Kandungan logam timbal (Pb) pada spons (porifera) jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)di perairan teluk Ambon
pada empat (4) lokasi bervariasi. Fenomena yang terlihat pada lokasi satu (1) Perairan
Batu-merah yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi lain sehingga menunjukan Pb
lebih banyak di perairan ini,hasil analisis logam Pb pada spons jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) yang di peroleh terlihat
pada gambar 3.
Sumber Pb yang terakumulasi dalam spons (porifera), dapat berasal dari berbagai
aktifitas manusia antara lain : kapal bermotor yang digunakan sebagai sarana transfortasi
yang menggunakan bahan bakar kenderaan bermotor yang di beri zat aditif sebagai
senyawa tetraetil –Pb((C2H5)4Pb) sebagai zat anti ketuk, di samping itu, kedalam bensin
biasanya di tambahkan juga senyawa etilen di-bromida (C2H4Br2) dan etilen-diklorida
(C2H4Cl2) sehingga selama proses pembakaran terjadi di dalam mesin kenderaan
terbentuk hasil sampingan Pb yang masuk ke dalam suatu perairan.
Konsentrasi logam Pb pada spons (porifera) cendrung lebih besar di bandingkan
dengan logam Cu, Cr dan Cd, hal ini dapat saja terjadi karena logam ini lebih mudah di
ekskresikan dari dalam tubuh organisme di bandingkan logam Pb, menurut Brown &
Person (1978) dalam Husawaty (1997), dikatakan bahwa Cd,Cr,Cu lebih larut di
bandingkan dengan Pb karena perbedaan potensial oksidasi, sehingga Pb lebih mudah
terakumulasi.
Sumber lain logam Pb di perairan yang akan teradsorbsi ke spons (porifera) akibat
pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, di samping itu proses korosifikasi
batu karang di sekitar spons (porifera) akibat hempasan gelombang (Palar,2004)
Disamping itu sumber Pb dan persenyawaannya dapat menyebabkan limbah ke
perairan adalah timbal oksida (PbO4) dalam baterei, kabel listrik, senyawa PbCrO4 untuk
cat yang berwarna kuning, Pb3O4 untuk warna merah, Pb asetat di gunakan secar luas
sebagai bahan pengkilap pada keramik dan sekaligus bahan anti api untuk pemadam
kebakaran. Persenyawaan Pb dengan arsent dapat di gunakan sebagai insektisida
(Palar,2004).
Kosentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Darmono,2001).
Bardarakan peneltian yang pernah di lakukan pada tahun 1979 oleh Murphy dari
Universitas Walles, di katahui bahwa biota-biota perairan seperti Crustaceae akan
mengalami kematian setelah 245 jam bila peraairan tersebut terdapat Pb terlarut pada
kosentrasi 2,75- 49 mg/L. Ditinjau dari kadar atau kosentasi logam Pb yang terakumulasi
dalam Sponbs (porifera) yang terdapat dalam teluk Ambon yang berkisar dari 8,200
mg/Kg berat kering (ppm)- 12,000 mg/Kg berat kering (ppm) dibandingkan kosentrasi Pb
di air yang dapat membunuh ikan maka perairan teluk Ambon masih di katakan berada
dalam batas aman di tinjau dari kosentrasi logam Pb.
Logam Khromium (Cr)
364
Berdasarkan data penelitian yang digambarkan pada gambar 4, terlihat bahwa
perairan Teluk Ambon kandungan logam Cr yang terakumulasi dalam spons (porifera)
antara 1,950 mg/kg berat kering (ppm)- 2,585 mg/kg berat kering (ppm), dimana bila data
dibandingkan dengan perairan Teluk New York maka perairan teluk Ambon masih di
bawah, sementara jika dibandingkan dengan standart normal air 0,04 µg/L maka di
perkirakan perairan teluk Ambon sudah masuk dalam katagori berbahaya di tinjau dari
segi logam Cr-nya.
Logam Cr yang masuk ke dalam strata lingkungan dapat datang dari bermacam-
macam sumber. Tetapi sumber-sumber masukkan logam Cr yang umum diduga paling
banyak adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari
pembakaran serta mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar,2001).
Krom telah di manfaatkan secara luas dalam kehidupan manusia. Logam ini banyak
digunakan sebagai bahan pelapis (plating) pada bermacam-macam peralatan, mulai dari
peralatan rumah tangga sampai ke mobil. Persenyawaan yang dibentuk dengan
menggunakan logam Cr seperti senyawa kromat dan di-kromat sangat banyak digunakan
oleh perindustrian, kegunaan umum dalam bidang tekstil, fotografi, zat warna, korek api
serta masih banyak kegunaan lainnya.(Stannley,1994)
Di perairan proses kimia yang terjadi pada logam Cr seperti pengkompleksan dan
sistem redoks sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengendapan atau sedimentasi
logam Cr di dasar perairan. Proses kimia yang berlangsung di perairanpun dapat terjadi
peristiwa reduksi dari senyawa-senyawa Cr6+
yang sangat beracun menjadi Cr3+
yang
kurang beracun dan peristiwa ini dapat terjadi jika perairan tersebut bersifat asam . Untuk
perairan yang berlingkungan basa ion-ion Cr3+
akan di endapakan di dasar
perairan.(Palar,2004)
Penelitian yang pernah dilakukan terhadap endapan lumpur di perairan Teluk New
York dimana jumlah rata-rata endapan Cr sebesar 5,8 ppm. Rentang endapan tersebut
berkisar dari 0,335 ppm sampai 37,9 ppm. Sedangkan standart normal dari kandungan Cr
yang terlarut di perairan laut adalam 0,04 µg/L (Pearce,1996,dalam Palar 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Spons (Porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen
& Steene (2003) dapat digunakan sebagai bioindikator logam berat Cr, Pb dan Zn di
perairan teluk Ambon.
2. Ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam berat. Untuk logam Zn,Pb untuk
perairan Teluk Ambon masih tergolong aman karena kosentrasinya masih ada
dibawah ambang batas yaitu 2,5 – 3 ppm. Logam Cr sudah dapat dikategorikan
berbahaya sebab sudah melampaui kosentrasi normal dalam air laut yaitu 0,11 ppm.
Saran
Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa jenis spons
(porifera) dan pengaruh kedalaman di empat lokasi guna mendukung data yang sudah di
peroleh .Peringatan dini bagi Pemda guna kebijakan yang digunakan harus
memperhatikan limbah yang bermuara, terumata dari segi logam berat berbahaya seperti
logam logam di atas.
365
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G,R. And Roger Steene (2003). Indo-Pacific Coral Reef.Field Guide. Calender
Print Pte Ltd., Singapore.
Anonim, (2003), Profil Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kota Ambon.
Allerets. Santika (1987) Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya.
Barnes (1991) Invertebrata Zoology. Blackywell Scientific PV6 Oxford London,
Edinburg Boston Melbourne.
Bergquist, P.R, (1978), Spongest, Hutchinson and Company, London.
Boehm,P.D. (1987) Transfort and Transformation Process Regarding Hydrocarbon and
Metal Pollution in Offshore Sedimentary Envirmont in : Long-term effect of
Shore Oil and Gas Development. D.F.Boesch and N.N. Rabalai, Elsevier Appleid
Science,London
Bryan, G.W.(1971) The effect of Heavy Metal Contaminan in the sea , in Marine
Pollution, Jhonston,R. Ed Academic Press, London.
Broadhead, T. W, (1983), Sponge and Spongiomorphs, Notes for a Short Course,
University of Tennesse, Konoxtiville, Tennesse.
Casarett, L. J.’Doull,J, (1986), The Basic Science of Poisoning.Third Edition, Maxmillan
Publishing Co. Inc, New York.
Caraan,G.B. Lazaro J.E, (1994), Biologycal Assay for Screning of Marine Samples,
Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute of
Chemestry, University of the Philippines.
Connel, W, J., Millev, G, (1985), Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerjemah
Yanti K. UI Press, Jakarta.
Cotton and Wilkinson, (1989), Kimia Anorganik Dasar, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Darmono, (2001), Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Day, R.A. Jr and Underwood, A.L, (1993), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi keempat,
Penerbit Erlangga, Surabaya.
De Jongle, (1994), Sponges in Time and Space, Balkeun Rptterdam.
Devoogd, N., (1997). Cross-shelf Distribution of South West Sulawesi Open Reef
Sponges. University of Amsterdam.
Diannanjaya, I, (1989), Distribusi Logam Berat Cd, Cu, Pb, dan Zn dalam sedimen
permukaan Laut Dangkal, Skripsi, F-MIPA UNHAS, Makassar.
Djuangsih, W, (1985), Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, pada Jenis
Karang di Perairan Tanjung Bunga Makassar secara SAA, Skipsi sarjana MIPA,
UNHAS, Makassar.
Gilbert, J., (1984), Analysis of Food Contaminant, Elsevier Applied Science Publisher,
London.
Hamidah, (1984), Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan. Oseana.
Ichsan, A, (1991), Oseanologi di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi LIPI No. 29, Jakarta.
Meyer Philips, (1998), http://animaldiversity. Umich.edu/ porifer.html 9/1/2000
Palar Heryanto, (1994), Pencemaran dan Toksikologi logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta.
Rosmiaty, Suryati,E, (2001), Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh Senyawa Bioaktif Spons (
Callyspongia pseudoreticulata ) terhadap bakteri patogen dari Udang. Jurnal
366
Bioteknologi Pertanian Vol. 6. No. 1 Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros,
Indonesia.
Supriyono, Agus, (2000), Isolasi dan Elusidasi Struktur Senyawa Hymenidin dan Oridin
dari Spons Axinella carteri yang berpotensi sebagai Antibakteri. Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia 2000. Vol. 2 No. 2. Jakarta.
Tabel 1.Kondisi fisik Perairan Teluk Ambon.
Kondisi Perairan Lokasi
1 2 3 4
Salinitas (0/00) 29 29 29 29
Temperatur 29 29 29 29
pH 7,7 7,7 7,7 7,7
Keterangan :
1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar
2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri
Tabel 2. Analisis logam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) pada lokasi 1,2,3,dan 4 pada
perairan teluk Ambon
Lokasi Logam (ppm)
Zn Pb Cr
1 11,208 12,000 2,035
2 2,785 8,997 2,585
3 1,423 8,200 1,766
4 4,645 11,521 1,950
Keterangan :
1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar
2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri
Tabel 3. Kosentrasi beberapa logam dalam ai laut dan air sungai secara alamiah
Logam Air laut (µ/L) Air sungai (µ/L)
Cr 0,11 tt
Pb 0,003 670
Zn 2 20
Gambar 2. Grafik Histogram hasil analisis logam Zn dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi.
Keterangan :
1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar
2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri
1
55.9
2
13.9
3
7.1
4
23.2
0 2 4 6 8 10 12
1
2
3
4
Lokasi
Konsentrasi Logam Zn (ppm)
367
Gambar 3. Grafik Histogram hasil analisis logam Pb dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi
Keterangan:
1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar
2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri
Gambar 4. Grafik Histogram hasil analisis logam Cr dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi
Keterangan:
1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar
2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri
Gambar 1. jenis Spons (porifera) phyllospongia lamellosa, perairan pulau Ambon
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0
1
2
3
4
Lokasi
Konsentrasi Logam Pb (ppm)
1
29.5
2
22.1
3
20.1
4
28.3
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
1
2
3
4
Lokasi
Konsentrasi Logam Cr (ppm)
1
24.4
2
31.0
3
21.2
4
23.4
368
PENGARUH SUHU HIDROTERMAL AWAL PADA PROSES
PEMBENTUKAN ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA
Dewi Muasyaroh
1)
, Didik Prasetyoko
1)
, Hamzah Fansuri
2)
1)
Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kampus ITS Sukolilo,
Surabaya 60111 - Indonesia
2)
Centre for Fuels and Energy, Curtin University of Technology, GPO BOX U1987, Perth WA
6102 – Australia
dewi_kim@chem.its.ac.id
ABSTRAK
Fly ash batubara merupakan hasil samping dari pembakaran batubara yang jumlahnya
melimpah. Pembuangan fly ash hasil pembakaran batubara dalam jumlah besar merupakan
masalah lingkungan yang serius. Kurangnya tempat penampungan serta perundang-undangan
lingkungan yang lebih ketat, memerlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batu bara.
Konversi fly ash menjadi zeolit merupakan metode alternatif pemanfaatan fly ash yang telah
banyak diterapkan. Dalam penelitian ini zeolit disintesis dengan menggunakan proses alkali
hidrotermal secara langsung dengan menggunakan larutan alkali hidroksida KOH. Hidrotermal
awal dilakukan pada suhu 100C, 120C, 150C dan 180C selama 3,5 jam, dan dilanjutkan
dengan hidrotermal kristalisasi pada suhu 100C. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi
menggunakan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan terbentuknya K-Khabazit, K-Phillipsite,
analcime, Na-P1 dan heulandite.
Kata Kunci : coal fly ash, suhu hidrotermal awal, zeolit
369
PENDAHULUAN
Produksi batubara selama tahun 2006, diungkapkan mencapai 170 juta ton. Sebesar
127 juta ton untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan 45 juta ton untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai lebih dari 240 juta ton, sebesar 150
juta ton diantaranya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Sedang untuk kebutuhan dalam negeri
mulai tahun 2009 akan meningkat tajam menjadi sekitar 75 juta ton dengan adanya rencana
pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW,
meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain
seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi penggunaan batubara yang
semakin meningkat pula. Apalagi dengan adanya PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan
Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, yang bertujuan utama untuk
menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi
secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025
yang salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara (Tim
Kajian Batubara Nasional, 2006).
Diperkirakan laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap
sebesar 10 % dari volume batubara. Lebih kurang 95 % abu akan tertinggal, masing-masing
20 % berupa bottom ash dan slag, lainnya 75 % berupa fly ash (Susiati, 2006). Hasil samping
berupa fly ash yang jumlahnya melimpah merupakan masalah lingkungan yang serius (Belviso,
2007). Sebagai contoh penggunaan di Jepang, 1,5 juta ton fly ash batubara dihasilkan dari
pembangkit dan industri, dibuang tanpa digunakan kembali setiap tahun.
Limbah fly ash batubara yang relatif besar dapat menimbulkan dampak pencemaran
yang cukup berat, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan masyarakat. Dampak
yang paling signifikan bila tidak ada usaha pemanfaatan abu batu bara adalah penumpukan abu
batubara pada lahan urugan yang bisa menghasilkan debu di musim kering dan penuhnya lahan
urugan yang ada padahal pembuatan lahan urugan baru memerlukan biaya tinggi (Kumar,
2002). Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP85/1999) limbah fly ash
dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Fly ash hasil pembakaran
batubara di PLTU pada umumnya dibiarkan saja berada di kolam pengendapan sebagaimana
dilaporkan oleh Wajima, et al. (2004). Kurangnya tempat penampungan dan perundang-
undangan lingkungan lebih ketat, maka diperlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batubara
secara optimal yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan
oleh pasar. Chang dan Shih (2000) menyebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya
menjadi zeolit.
Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai KTK berkisar antara
100 sampai 460 meq/100g (Hollman, 1999). Secara garis besar, mineral zeolit yang mempunyai
kapasitas tukar kation tinggi yang dapat digunakan dalam usaha pertanian sebagai reklamasi
tanah bermasalah dan meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik yang sekaligus penyedia
unsur hara (Bachrein, S., 2001).
Komposisi fly ash terutama adalah aluminosilikat, mullit (Al6Si2O13) dan kuarsa
(SiO2). Material-material ini merupakan penyedia sumber Al dan Si yang diperlukan untuk
sintesis zeolit. Perbandingan Si/Al yang rendah menunjukkan penyerap yang sangat baik
karena mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi dan volume pori yang besar
(Höller dan Wirsching, 1985; Querol et al., 1997). Sehingga, konversi fly ash menjadi zeolit
merupakan bukti yang menunjukkan bahwa fly ash merupakan bahan awal yang murah dan
efektif (Woolard, 2000).
Querol, et al. (2002) menyebutkan bahwa proses sintesis zeolit dari fly ash yang saat
ini digunakan adalah: (a) konversi langsung melalui aktivasi alkalin sederhana terhadap fly ash
dengan larutan KOH atau NaOH, (b) ekstraksi silika dari fly ash dan kombinasi silika terlarut
dengan larutan aluminat konsentrasi tinggi untuk menghasilkan produk zeolit murni.
370
Sedangkan metode yang paling umum digunakan untuk konversi fly ash menjadi zeolit
melibatkan proses hidrotermal, dimana fly ash dicampur dengan larutan alkali seperti NaOH
pada kondisi temperatur, tekanan dan waktu reaksi berbeda. Kondisi sintesis tergantung pada
komposisi material awal, ukuran partikel, morfologi dan sebagainya (Ojha, et al., 2004). Lin
dan Hsih (1995) telah meneliti pengaruh parameter reaksi hidrotermal seperti suhu, molaritas
basa dan waktu reaksi pada sifat fly ash dan juga optimasi parameter reaksi untuk memperoleh
produk dengan kualitas terbaik. Walaupun demikian, sangatlah penting untuk meneliti secara
eksperimen berbagai kondisi yang memungkinkan pembentukan zeolit.
Metode hidrotermal sesuai untuk (1) Sintesis yang fasenya tidak stabil pada suhu
tinggi (2) Berguna untuk pertumbuhan kristal tunggal dengan mengatur gradien suhu yang
sesuai dalam wadah reaksi (3) Pelarutan material start pada keadaan panas dan pengendapan
pada suhu yang lebih dingin (West, 1984). Reaksi hidrotermal berlangsung dalam wadah
tertutup, oleh karena itu mempertahankan suhu dan tekanan pada volume air yang konstan
sangat penting.
Dalam penelitian ini, konversi fly ash batu bara menjadi zeolit bertujuan untuk
menganalisis pengaruh suhu hidrotermal pada proses pembentukan zeolit. Percobaan disusun
pada suhu hidrotermal awal berbeda (100, 120, 150 dan 180C) selama 3,5 jam, suhu
hidrotermal selanjutnya 100C dengan waktu hidrotermal 6, 24, 48, dan 96 jam. Karakterisasi
kimia fly ash dan hasil sintesis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan X-ray
diffraction (XRD).
METODOLOGI PENELITIAN
1. Pemilihan Sampel Fly Ash
Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO
2
dan Al
2
O
3
, sampel berasal dari
Perth, Western Australia yang mempunyai kemiripan dengan fly ash batu bara dari Indonesia
dalam hal komposisi SiO2 (silikat) dan Al2O3 (aluminat).
2. Karakterisasi
Karakterisasi dilakukan terhadap fly ash sebagai bahan baku maupun terhadap zeolit
hasil kristalisasinya. Karakterisasi ini meliputi:
Penentuan Komposisi Kimia. Komposisi kimia dianalisis untuk menentukan kandungan
unsur-unsur renik yang terdapat dalam fly ash. Analisis ini dilakukan secara kering dengan
menggunakan metode spektroskopi serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800.
Penentuan Komposisi Mineral. Komposisi mineral, baik pada fly ash maupun pada produk
hasil sintesis dianalisis dengan teknik difraksi sinar-X. Instrumen difraktometer yang digunakan
adalah Philips PW1050 dengan sumber sinar-X Cu menggunakan panjang gelombang yang
dihasilkan oleh radiasi Cu K1. Tegangan dan kuat arus yang dialirkan untuk menghasilkan
sinar-X berturut-turut adalah 40kV dan 30 mA. Sampel discan dari 2θ= 5o
– 50o
. Data yang
diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ) yang kemudian dianalisis dengan
membandingkan pola difraktogram sampel dengan pola difraktogram standar dengan Software
Expert Grafik and Identify, sehingga mineral dalam sampel dapat diidentifikasi. Analisis
difraksi sinar-X dilakukan di laboratorium Research Center ITS.
3. Sintesis Zeolit
Dalam penelitian ini, sebanyak 24 gram fly ash dan sebanyak 16 gram KOH ditimbang.
Selanjutnya KOH dilarutkan dengan aquades samapi mencapai volume 150 mL lalu dicampur
dengan fly ash. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada
kecepatan 400 rpm selama 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada
371
suhu awal 100, 120, 150 dan 180o
C selama 3,5 jam. Masing-masing dilanjutkan dengan
hidrotermal pada suhu 100o
C selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Sampling dilakukan dengan
mengambil sebanyak 20 mL campuran, kemudian disaring. Padatan yang diperoleh dicuci
dengan aquades sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100o
C selama
12 jam untuk menghilangkan kadar air. Padatan hasil sintesis dianalisis secara kualitatif
menggunakan difraksi sinar-X (XRD).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakterisasi Fly Ash
Sampel fly ash yang digunakan termasuk dalam kelompok fly ash kelas F
(berdasarkan ASTM 618C) dengan kadar kalsium (Ca) rendah dan kadar besi (Fe) yang juga
rendah. Unsur-unsur utama pembentuk zeolit yaitu silika dan alumina merupakan unsur utama
yang terdapat pada fly ash dengan total kandungan lebih dari 90 % berat. Komposisi kimia fly
ash (dalam % massa) ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Fly Ash
Parameter Fly Ash
(% massa)
Parameter Fly Ash
(% massa)
Parameter Fly Ash
(% massa)
SiO2 52.30 Na2O 0.10 P2O5 0.07
Al2O3 32.40 K2O 0.22 BaO 0.04
Fe2O3 11.00 TiO2 2.10 SrO < 0.02
CaO 1.00 MnO 0.20 ZnO < 0.02
MgO 0.80 SO3 < 0.02 V2O5 0.02
Sedangkan komposisi mineral diperoleh seperti tampak pada Tabel 2. terdiri dari fasa mineral
terbanyak adalah fasa amorf, diikuti oleh fasa mullite dan quartz.
Tabel 2. Komposisi Fasa Mineral Fly Ash
Fasa Mineral Komposisi (%)
Quartz 5.7
Mullite 25.3
Hercynite 0.3
Mahgemite 4.1
Amorphous 64.6
Total 100
Analisis dengan menggunakan XRD terhadap sampel fly ash diperlukan untuk
mengetahui komposisi mineral dan untuk mengamati adanya perubahan yang terdapat pada
padatan hasil sintesis terhadap material awal. Pola difraksi fly ash tampak pada Gambar 1.
0 10.00 20.000 30.00 40.00 50.00 60.00
M
Q
M
Q
M
M
M
Q
Q
Q
M M
372
→ 2θ
Gambar 1. Difraktogram dari Fly Ash E. Q = kuarsa; M = mullit
Gambar 1. memperlihatkan puncak dari fasa-fasa mineral dalam fly ash. Dengan menggunakan
Software Expert Grafik And Identify, diketahui bahwa puncak pada 2θ= 26,29773o
; dan 2θ=
40,85890o
merupakan puncak utama mineral mullit (Al6Si2O13). Sedangkan puncak 2θ=
20,84023o
dan 2θ = 26,62360o
merupakan puncak utama mineral kuarsa (SiO2). Dari
difraktogram ini dapat dikatakan bahwa sampel fly ash dalam penelitian ini mempunyai
komponen penyusun utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang
merupakan fasa reaktif utama fly ash (Shim dan Lee, 2006).
2. Pengaruh Suhu Hidrotermal Awal
Kondisi hidrotermal diperoleh dengan mengkondisikan reaksi di dalam sebuah
reaktor yang tertutup rapat dan dipanasi di dalam oven listrik. Reaktor skala laboratorium yang
digunakan bervolume 300 mL dan tidak dilengkapi dengan pengaduk. Pengaruh suhu
hidrotermal awal pada proses pembentukan zeolit dapat dipelajari dengan memvariasi suhu
hidrotermal awal 100, 120, 150 dan 180o
C .
→ 2θ()
Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis pada suhu hidrotermal 100C, 120C, 150C dan
180C.
Pada Gambar 2. pola difraksi sinar-X menunjukkan mulai terbentuknya puncak-
puncak yang berbeda dibandingkan pola difraksi sinar-X dari fly ash. Hal ini karena adanya
perbedaan suhu hidrotermal awal. Dalam proses hidrotermal perbedaan ini lebih dipengaruhi
oleh aktivasi fly ash oleh suhu hidrotermal yang menyebabkan Si dan Al fasa amorf terlarut
secara kontinu pada awal reaksi, dimana merupakan masukan bagi pembentukan kristal.
Pembentukan kristal zeolit sangat tergantung pada ketersediaan sumber silika dan alumina.
Tampak bahwa dengan adanya puncak-puncak khas dari mullit dan kuarsa semakin
bertambah intensitasnya sebanding dengan meningkatnya suhu hidrotermal yang berarti
menunjukkan meningkatnya fasa kristalin dan mempercepat pembentukan zeolit. Pada suhu
hidrotermal 100C, mulai terjadi peningkatan fasa kuarsa, dari difraktogram tampak bahwa
peningkatan ini stabil sedangkan peningkatan fasa mullit baru terjadi pada suhu hidrotermal
180o
C
150o
C
120o
C
100o
C
Fly Ash
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
20.000 30.000
373
awal 150C yang kemudian tidak tampak lagi peningkatannya pada suhu hidrotermal 180C.
Fenomena ini menunjukkan bahwa laju pelarutan alumunium lebih stabil daripada silikon pada
awal proses hidrotermal dan pelarutan silikon dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Sehingga
perbandingan Si/Al akan meningkat dengan meningkatnya suhu hidrotermal. Deangan adanya
fasa mullit dan kuarsa secara bersama-sama seringkali menyebabkan produk yang terbentuk
berupa produk campuran (Molina, 2004).
3. Pengaruh Suhu Hidrotermal Kristalisasi
Suhu hidrotermal selanjutnya yaitu 100o
C juga mempengaruhi karakteristik produk
hidrotermal yang dihasilkan. Perbandingan Si/Al yang berbeda mempengaruhi kristalinitas
setelah hidrotermal awal, sehingga dapat menyebabkan pembentukan kristal zeolit yang
berbeda. Produk hidrotermal yang terbentuk dapat diamati dari difraktogram pada Gambar 3, 4,
5 dan Gambar 6.
→ 2θ
Gambar 3. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 100
o
C.
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa setelah 96 jam, pada produk hidrotermal mulai
nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan Na-P1.
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
Fly Ash
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
374
→ 2θ
Gambar 4. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 120o
C.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa setelah 48 jam, pada produk
hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan
heulandite. Bahkan heulandite mulai terbentuk setelah hidrotermal 24 jam dan Na-P1 sudah
tidak terbentuk.
→ 2θ
Gambar 5. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 150o
C.
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal
awal
Setelah stirer
Fly Ash
375
→ 2θ
Gambar 6. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 180o
C.
Kemudian pada Gambar 6 menunjukkan bahwa setelah 24 jam, pada produk
hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan
heulandite seperti halnya produk hidrotermal awal 120o
C dan 150o
C yang juga tidak terbentuk
Na-P1. Akan tetapi puncak-puncak yang diperoleh intensitasnya lebih tinggi.
Hasil-hasil penelitian ini mempunyai kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan
oleh Amrhein (1996), yang juga diperoleh Na-P1 dan K-Khabazite pada 100o
C, walaupun
metode sintesis berbeda.
Suhu hidrotermal, terutama suhu hidrotermal awal, sangat berpengaruh pada mulai
terbentuknya fasa zeolit, dimana dengan meningkatnya suhu hidrotermal awal akan semakin
meningkatkan aktivasi fly ash sehingga frekuensi tumbukan antara fly ash dengan KOH serta
tumbukan efektif yang terjadi selanjutnya mempercepat dan meningkatkan pembentukan zeolit.
Semakin meningkatnya suhu menyebabkan pembentukan fasa kristalin terjadi semakin cepat,
seperti tampak pada Gambar 3, 4, 5 dan Gambar 6. Fasa zeolit terjadi lebih cepat (setelah 24
jam) pada suhu hidrotermal awal 180o
C dibandingkan pada suhu hidrotermal awal yang lebih
rendah yang baru terbentuk setelah 48 jam pada suhu hidrotermal awal 120o
C dan 150o
C) dan
setelah 96 jam pada suhu hidrotermal awal 100o
C. Dengan demikian laju kristalisasi semakin
meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Pelarutan Si dan Al fasa amorf juga
berpengaruh pada perbandingan Si/Al yang mempengaruhi perbedaan produk hidrotermal. Di
samping itu, perbedaan produk hidrotermal ini juga dipengaruhi oleh suhu hidrotermal awal
dan lama waktu kristalisasi, dimana energi yang dihasilkan dari peningkatan suhu dan reaksi
yang lebih lama menyebabkan produk yang kurang stabil mengalami perubahan fasa dan
membentuk kristal zeolit yang lebih stabil(Molina, 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit dapat disintesis dari fly ash
dalam basa KOH dengan metode hidrotermal langsung. Suhu hidrotermal awal sangat
mempengaruhi proses pelarutan Si dan Al yang mengawali pembentukan kristal zeolit. Laju
kristalisasi semakin meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Perbandingan
Si/Al sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan yaitu analcime, K-Chabazite, K-
Phillipsite, Na-P1 dan heulandite.
Perlu adanya optimasi kondisi sintesis yang lebih baik, sehingga konversi fly ash
menjadi zeolit dapat menghasilkan produk dengan jumlah dan jenis zeolit yang lebih optimal
dan sesuai dengan aplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Amrhein, Ch., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., de la
Torre, L. (1996), “Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash”. Environ.
Sci. Technol. 30, p. 735– 742.
Barrer, R. M. (1982), Hydrothermal Chemistry of Zeolites, Academic Press, London.
376
Budhyantoro, A. (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam
Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR,
6, No. 1, hal. 24-32.
Chang, H., and Shih, W. (2000), “Synthesis of Zeolite A and X from Fly Ashes and Their Ion
Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Industrial Engineering Chemical Research,
39, p. 4185-4191.
Susiati, H. (2006), Dampak Radioaktif Penggunaan Energi Fosil Batubara dan Energi Nuklir di
Pusat Pembangkit Listrik, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN, Yogyakarta.
Höller, H., Wirsching, U. (1985), “Zeolites formation from fly ash” Fortschr. Mineral. 63, p.
21– 43.
Hollman, G.G., Steenbruggen, G., Janssen-Jurkovicova, M. (1999), “A two-step process for the
synthesis of zeolites from coal fly ash”, Fuel, 78, p. 1225– 1230.
Lin, C. F., dan Hsi, H. C. (1995) “Resources Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of Zeolite-
Like Materials”, Environ. Sci. Technol., 29 (4), p. 1109-1117.
Molina, A. dan Poole, C. (2004) “A comparative study using two methods to produce zeolites
from fly ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173.
Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and
Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, 27 (6), p. 555-564.
Querol, X., Alastuey, A., Lo´pez-Soler, A., Plana, F., Andre´s, J.M., Juan, R., Ferrer, P., Ruiz,
C.R. (1997). “A fast method for recycling fly ash: microwave-assisted zeolite
synthesis”. Environ. Sci. Technol., 31 (9), p. 2527–2533.
X. Querol et al. (2002) “Synthesis of zeolites from coal fly ash: an overview” International
Journal of Coal Geology, 50, p. 413–423.
Shim, Y. S. dan Lee, W. K. (2006), “Effect of Hydrothermal Condition on The Cation
Exchange Capacity of MSWI Fly Ash”, Material Science Forum, 510-511, p. 110-
113.
Tim Kajian Batubara Nasional, 2006, Batubara Indonesia, Kelompok Kajian Kebijakan Mineral
dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara.
Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis
of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at
Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”,
American Mineralogist, 89, p. 1694-1700.
West, A.J., (1984), Solid State Chemistry and Application, John Wiley & Sons, New York.
Woolard, CD, Petrus, K and M van der Horst, (2000), “The use of a modified fly ash as an
adsorbent for lead”, Water SA, 26 (4), p. 531-536.
377
Abstrak
PENGARUH KONSENTRASI AMMONIUM TERHADAP KEASAMAN
Fe2O3-H/MONTMORILLONIT
I.F. Nurcahyo1
, Muhammad Widyo Wartono1
, Karna Wijaya2
, Wega Trisunaryanti2
, Yunida1
1
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah
2
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara, Depok, Sleman, Yogyakarta
Preparasi Fe2O3-H/montmorillonit dilakukan menggunakan metode pertukar ion.
Padatan Fe2O3-H/montmorillonit diberi perlakuan dengan NH4
+
dengan variasi konsentrasi
pada temperatur kamar dan kalsinasi. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan
keasaman Fe2O3-H/montmorillonit. Keasaman total ditentukan dengan adsorpsi amoniak.
Keberadaan situs asam dimonitor dengan DTA dan IR spektrometer.
Berdasarkan adsorpsi amoniak diperoleh hasil bahwa semakin pekat konsentrasi NH4+
menyebabkan penurunan keasaman total Fe2O3-H/montmorillonit. Berdasarkan data DTA dan
IR bahwa perlakuan dengan NH4
+
menyebabkan hilangnya situs asam kuat.
Kata kunci: Fe2O3-H /montmorillonit, keasaman total
SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU
HIDROTERMAL Ririn Eva Hidayati1, Didik Prasetyoko2, Hamzah Fansuri2 1MAN
Denanyar Jombang, 2Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
rineh_rineh@yahoo.com hp. 08563092630 Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk
mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3
M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua
dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini
adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X
(XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi
I. PendahuluanPembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan
menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash)
yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya.
PLTU Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash
merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan
batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka
membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash
batu bara untuk berbagai tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini
pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran
pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan
agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan
limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah
rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak
lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran
seperti yang telah disebutkan di atas.
Untuk dapat memanfaatkan fly ash secara
optimal, perlu dicari alternatif penggunaan fly
ash yang menghasilkan produk dengan nilai
tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh
pasar. Dalam Chang dan Shih (2000)
disebutkan bahwa salah satu pendekatan yang
dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah
fly ash batubara adalah dengan
mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash
bersifat khas berupa partikel halus dengan
diameter 1 – 100 m dan mengandung
mineral-mineral silika dan alumina sebagai
komponen kristal utama dan beberapa
komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa
terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2),
mullit (3Al2O3.SiO2), hematit (Fe2O3),
magnetit (Fe3O4) dan muskovit
(K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam
fly ash masing-masing merupakan sumber
utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari
27,8% SiO2 dan 71,5% Al2O3 sedangkan
kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%.
Zeolit merupakan material polimer
silika-alumina berpori yang memiliki luas
permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya
situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki
kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion
baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan
Lobo, 1992). Augustine (1996) juga
mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah
sifat kimia maupun fisika yang menarik,
diantaranya mampu menyerap zat organik
maupun anorganik, dapat berlaku sebagai
penukar kation, dan sebagai katalis untuk
berbagai reaksi.
Zeolit termasuk dalam golongan mineral yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO44- dan
AlO45-. Tetrahedral-tetrahedal ini saling berkaitan satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom
oksigen untuk membentuk struktur kristal yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi
tetrahedal SiO4 dan AlO4 menyebabkan zeolit memiliki muatan parsial negatif. Untuk menetralkan
muatan negatif ini, diperlukan kation-kation (misalnya Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan NH4+) yang dapat
menempati rongga-rongga kosong yang ada. Selain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut
dapat pula ditempati oleh molekul netral seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan
ukuran molekul tersebut tidak lebih besar dari ukuran rongga.
II. Metoda Penelitian
Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan
sebagai sumber SiO2 dan Al2O3. Sampel fly ash
yang digunakan diperoleh dari hasil
pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan
kimia yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat
yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat
gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven
merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca
analitik Explorer, Seperangkat alat
spektrofotometer serapan atom (SSA) merk
Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk
Philips tipe PW 1050.
Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah
dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses
alkali hidrotermal yang meliputi waktu
hidrotermal awal dan temperatur terhadap
zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data
karakteristik stuktur fly ash sebelum dan
sesudah perlakuan alkali hidrotermal
ditentukan melalui interpretasi difraktogram
yang diperoleh dari difraksi sinar-X di
Laboratorium Research Center ITS Surabaya.
Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal
mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan
angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly
ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16
gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak
150 ml. Campuran tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan
diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang
dikondisikan pada suhu awal 150oC, 120oC dan
100oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua
dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48
dan 96 jam, selanjutnya disaring. Padatan yang
diperoleh kemudian dicuci dengan air sampai
pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 90oC selama 12 jam. Filtrat hasil
penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya.
Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis)
selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji kualitatif
yang berhubungan dengan struktur dan
morfologi produk dilakukan dengan
menggunakan difraksi Sinar-X (XRD).
III. Hasil dan Pembahasan
Informasi perubahan struktur mikro dan
krisatalin yang terjadi selama proses sintesis
diperoleh dari data difraksi sinar-X. Pola
difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly ash dan
zeolit hasil sintetis diperoleh dengan
menggunakan difraktometer sinar-X merk
Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi
melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA,
dengan 2Ө5o – 50o. Data yang diperoleh
berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut
(2θ) yang kemudian dicocokkan dengan data
pola difraksi sinar–X standar yang diperoleh
dari Collection of Simulated XRD Powder
Patterns for Zeolies (Treacy and Higgins,
2001), sehingga senyawa yang terdapat dalam
sampel dapat diidentifikasi. Difraktogram
yang diperoleh dari sampel fly ash batubara
tercantum pada Gambar 1.
Gambar 1. Pola difraksi dari fly
ash batu bara PLTU Paiton Gambar 1
memperlihatkan puncak tajam pada 2θ=
26,5980o (d = 3,34865 Å), diikuti puncak tajam
pada 2θ= 23,975o (d = 3,70873 Å), 2θ=
44,0870o (d = 1,81972 Å) dan 2θ= 20,8042o (d
= 4,26629 Å). Menurut Collection of Simulated
XRD Powder Patterns for Zeolites, puncak pada
2θ= 26,5980o dan 2θ= 20,8042o dan 2θ=
44,0870 merupakan puncak untuk senyawa
kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ=
23,9751o merupakan puncak untuk mineral
mulit (Al6Si2O13). Dari difraktogram ini dapat
dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton disusun
oleh komponen utama berupa SiO2,
aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang
merupakan fasa reaktif utama fly ash.
Pengaruh Waktu Hidrotermal Pengaruh
waktu reaksi hidrotermal terhadap hasil sintesis
dikaji dengan memvariasi waktu hidrotermal
selama 3,5, 6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram
hasil sintesis disajikan dalam Gambar 2.
Setelah 96 jam
Setelah 48 jam
Setelah 24 jam
Setelah 6 jam
Setelah 2,5 jam
Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis
pada berbagai variasi waktu hidrotermal. Pola
difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan
puncak utama yang muncul pada reaksi
hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai
dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama
waktu reaksi hidrotermal menunjukkan
kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi
hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak
zeolit P hilang dan digantikan dengan
munculnya puncak-puncak khabasit. Hal ini
menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal
selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari
zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu
reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit
P secara optimum mengakibatkan terjadinya
transformasi struktur menjadi bentuk yang
secara termodinamik lebih stabil.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa
amorf menjadi material zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2.
Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu
reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan kristalinitas produk hidrotermal. 3. Proses alkali
hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M,
temperatur 150oC dan waktu 96 jam. Perlu dilakukan optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga
dihasilkan produk hidrotermal yang optimal.
V. Daftar Pustaka
Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu
Layang Batubara”, Thesis Program Pasca
Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis
for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker
Inc., United States. Bell, R. G., (2001), “What
are zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.html.
Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu Layang
Batubara sebagai Material Pengemban Logam
Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan
Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6
No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M.,
Olson, D. H., (2001), “Atlas of Zeolite
Framework Types”, 5th Revised Edition,
Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E.,
(2004), “Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA
by Microwave Irradiation”, Mat Res Innovat,
Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih,
W. H., (2000), “Synthesis of Zeolites A and X
from Fly Ashes and Their Ion-Exchange
Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem.
Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997),
“Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis
Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi
program S-1, Jurusan kimia Fakultas MIPA,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Davis, M. E., dan Lobo, R. F., (1992),
“Reviews: Zeolite and Molecular Sieves
Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9. Elliot,
A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled
Release Zeolite Fertilisers: A Value Added
Product Produced from Fly Ash. hal. 1-32. Gates,
B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10th edition,
John Wiley & Sons Inc., New York.
Gretchen K. Hoffman, (2000), “Fly Ash Usage in the Western United States”, NM Bureau of Mines &
Mineral Resources, February 2000, http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan
Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi dan Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali
Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A.
S. dan Edoga, M. O., (2005), “Production and Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State,
Nigeria”, Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr.,
(2006), Potensi Zeolit untuk Mengolah Limbah Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura,
H., Yokota, K., Akiba, K., Onodera, Y., (2001), “Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly
Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38,
No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J.,
(2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”,
Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002),
“Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, International
Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N.
(2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of
Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L.,
Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), “Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a
Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications”, International Ash Utilization
Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno,
N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano,
A. L., Amoros, D. C., (2002), “Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the
decontamination of waste waterand flue gas”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol.
77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005),
“Estimation of Crystallinity in Fly Ash – Based Zeolite – A Using XRD and IR Spectroscopy”, Current
Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), “Synthesis of
Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites”, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K.,
Thabout, M., dan Amal, R., (2001), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions
from Aqueous Soution”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia,
P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH,
New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman
& Hall University and Proffesional Division, London.
Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The
synthesis of zeolites from fly ash and the
properties of the zeolite products”, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305–309. Sutarno,
Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh
Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal Matematika dan
Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290. The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000,
http://www.Fly Ash Resources Center.org. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan
Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from
Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”,
American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700.
Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite synthesis from a
high Si–Al fly ash from East China”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal.
267-273.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 1
SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU
HIDROTERMAL
Ririn Eva Hidayati1
, Didik Prasetyoko2
, Hamzah Fansuri2
1
MAN Denanyar Jombang, 2
Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya
rineh_rineh@yahoo.com
hp. 08563092630
Abstrak
Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal.
Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu
awal 180o
C selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100o
C selama 6, 24, 48 dan
96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil
sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD).
Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi
I. Pendahuluan
Pembangkit listrik tenaga uap yang
menggunakan batu bara sebagai bahan
bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan
limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan
abu dasar (bottom ash) yang cukup besar
jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar
80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU
Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per
tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash
merupakan masalah yang tidak asing lagi
dihadapi oleh banyak negara di dunia yang
menggunakan batu bara sebagai sumber
energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila
tidak dimanfaatkan maka membutuhkan
tempat yang cukup luas untuk
menampungnya. Di Indonesia jumlah
pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai
tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al.,
2004).
Sampai saat ini pemanfaatan limbah
fly ash masih terbatas pada penggunaannya
sebagai bahan urugan, campuran pembuat
semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat
beton, campuran pembuat bahan tahan api
dan agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta
sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala
pemanfaatan limbah fly ash sebagaimana
disebutkan di atas masih sangat kecil dan
umumnya bernilai tambah rendah. Zeng R,
et. al. (2002) dari China dan Elliot dan
Zhang (2004) dari Australia melaporkan
tidak lebih 20% dari total fly ash yang
dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik
sebagai bahan campuran seperti yang telah
disebutkan di atas.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 2
Untuk dapat memanfaatkan fly ash
secara optimal, perlu dicari alternatif
penggunaan fly ash yang menghasilkan
produk dengan nilai tambah tinggi dan
banyak dibutuhkan oleh pasar. Dalam Chang
dan Shih (2000) disebutkan bahwa salah
satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
memanfaatkan limbah fly ash batubara
adalah dengan mengkonversinya menjadi
zeolit.
Fly ash bersifat khas berupa partikel
halus dengan diameter 1 – 100 m dan
mengandung mineral-mineral silika dan
alumina sebagai komponen kristal utama
dan beberapa komponen amorf. Beberapa
mineral yang biasa terdapat dalam fly ash
adalah kuarsa (SiO2), mullit (3Al2O3.SiO2),
hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan
muskovit (K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan
kuarsa dalam fly ash masing-masing
merupakan sumber utama silika dan
alumina. Mullit tersusun dari 27,8% SiO2
dan 71,5% Al2O3 sedangkan kuarsa
mengandung SiO2 lebih dari 99%.
Zeolit merupakan material polimer
silika-alumina berpori yang memiliki luas
permukaan yang besar dan situs aktif.
Adanya situs aktif ini mengakibatkan zeolit
memiliki kemampuan untuk menyerap
senyawa atau ion baik dari dalam larutan
atau udara (Davis dan Lobo, 1992).
Augustine (1996) juga mengatakan bahwa
zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun
fisika yang menarik, diantaranya mampu
menyerap zat organik maupun anorganik,
dapat berlaku sebagai penukar kation, dan
sebagai katalis untuk berbagai reaksi.
Zeolit termasuk dalam golongan
mineral yang struktur kristalnya disusun
oleh tretrahedral SiO4
4-
dan AlO4
5-
.
Tetrahedral-tetrahedal ini saling berkaitan
satu dengan lainnya dengan cara berbagi
atom oksigen untuk membentuk struktur
kristal yang mengandung rongga-rongga
kosong. Kombinasi tetrahedal SiO4 dan
AlO4 menyebabkan zeolit memiliki muatan
parsial negatif. Untuk menetralkan muatan
negatif ini, diperlukan kation-kation
(misalnya Na+
, K+
, Ca2+
, Mg2+
, dan NH4
+
)
yang dapat menempati rongga-rongga
kosong yang ada. Selain dapat terisi kation,
rongga-rongga kosong tersebut dapat pula
ditempati oleh molekul netral seperti air,
molekul-molekul organik dan sebagainya
asalkan ukuran molekul tersebut tidak lebih
besar dari ukuran rongga.
II. Metoda Penelitian
Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara
digunakan sebagai sumber SiO2
dan Al2
O3
.
Sampel fly ash yang digunakan diperoleh
dari hasil pembakaran batubara PLTU
Paiton. Bahan kimia yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: KOH, dan aquades.
Adapun alat-alat yang digunakan meliputi:
seperangkat alat-alat gelas, autoclave
stainless-steel 100 ml, oven merk Binder,
stirrer merk Mirrak, neraca analitik
Explorer, Seperangkat alat spektrofotometer
serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800,
difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW
1050.
Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini
telah dipelajari pengaruh kondisi-kondisi
proses alkali hidrotermal yang meliputi
waktu hidrotermal awal dan temperatur
terhadap zeolit sisntesis yang dihasilkan.
Data karakteristik stuktur fly ash sebelum
dan sesudah perlakuan alkali hidrotermal
ditentukan melalui interpretasi difraktogram
yang diperoleh dari difraksi sinar-X di
Laboratorium Research Center ITS
Surabaya. Dalam proses sintesis zeolit
perbandingan awal mol KOH/SiO2 = 1,8.
Untuk mendapatkan angka perbandingan
mol tersebut ditimbang fly ash sebanyak 24
gram dan KOH sebanyak 16 gram.
Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 150
ml. Campuran tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal
dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 3
0 20.000 40.000 60.000
24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal
yang dikondisikan pada suhu awal 150o
C,
120o
C dan 100o
C selama 3,5 jam,
hidrotermal kedua dilakukan pada suhu
100o
C selama 6, 24, 48 dan 96 jam,
selanjutnya disaring. Padatan yang diperoleh
kemudian dicuci dengan air sampai pH = 7.
Lalu dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 90o
C selama 12 jam. Filtrat hasil
penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya.
Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis)
selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji
kualitatif yang berhubungan dengan struktur
dan morfologi produk dilakukan dengan
menggunakan difraksi Sinar-X (XRD).
III. Hasil dan Pembahasan
Informasi perubahan struktur mikro
dan krisatalin yang terjadi selama proses
sintesis diperoleh dari data difraksi sinar-X.
Pola difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly
ash dan zeolit hasil sintetis diperoleh dengan
menggunakan difraktometer sinar-X merk
Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi
melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA,
dengan 2Ө 5o
– 50o
. Data yang diperoleh
berupa jarak antar bidang, intensitas dan
sudut (2θ) yang kemudian dicocokkan
dengan data pola difraksi sinar–X standar
yang diperoleh dari Collection of Simulated
XRD Powder Patterns for Zeolies (Treacy
and Higgins, 2001), sehingga senyawa yang
terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi.
Difraktogram yang diperoleh dari
sampel fly ash batubara tercantum pada
Gambar 1.
Gambar 1. Pola difraksi dari fly ash
batu bara PLTU Paiton
Gambar 1 memperlihatkan puncak
tajam pada 2θ = 26,5980o
(d = 3,34865 Å),
diikuti puncak tajam pada 2θ = 23,975o
(d =
3,70873 Å), 2θ = 44,0870o
(d = 1,81972 Å)
dan 2θ = 20,8042o
(d = 4,26629 Å). Menurut
Collection of Simulated XRD Powder
Patterns for Zeolites, puncak pada 2θ =
26,5980o
dan 2θ = 20,8042o
dan 2θ =
44,0870 merupakan puncak untuk senyawa
kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ =
23,9751o
merupakan puncak untuk mineral
mulit (Al6Si2O13). Dari difraktogram ini
dapat dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton
disusun oleh komponen utama berupa SiO2,
aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang
merupakan fasa reaktif utama fly ash.
Pengaruh Waktu Hidrotermal
Pengaruh waktu reaksi hidrotermal
terhadap hasil sintesis dikaji dengan
memvariasi waktu hidrotermal selama 3,5,
6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram hasil
sintesis disajikan dalam Gambar 2.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 4
0 20.000 40.000 60.000
Setelah 96 jam
Setelah 48 jam
Setelah 24 jam
Setelah 2,5 jam
Setelah 6 jam
Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis
pada berbagai variasi waktu hidrotermal.
Pola difraksi sinar-X pada Gambar 2
menunjukkan puncak utama yang muncul
pada reaksi hidrotermal selama 6, 24, 48 dan
96 jam sesuai dengan pola difraksi zeolit P
dan semakin lama waktu reaksi hidrotermal
menunjukkan kristalinitas yang semakin
tinggi. Pada reaksi hidrotemal selama 48
jam, puncak-puncak zeolit P hilang dan
digantikan dengan munculnya puncak-
puncak khabasit. Hal ini menunjukkan
bahwa pada reaksi hidrotermal selama 48
jam terjadi perubahan struktur dari zeolit P
menjadi khabasit. Penambahan waktu reaksi
hidrotermal sesudah pembentukan zeolit P
secara optimum mengakibatkan terjadinya
transformasi struktur menjadi bentuk yang
secara termodinamik lebih stabil.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash
dapat mengubah komponen utama
kuarsa dan fasa amorf menjadi material
zeolit, yang mengandung mineral
sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P.
2. Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh
terhadap karakteristik produk yang
dihasilkan. Pada waktu reaksi yang
lebih tinggi terjadi peningkatan
kristalinitas produk hidrotermal.
3. Proses alkali hidrotermal terhadap
menghasilkan intensitas fasa kristalin
tertinggi pada konsentrasi KOH 3M,
temperatur 150o
C dan waktu 96 jam.
Perlu dilakukan optimasi suhu dan
konsentrasi, sehingga dihasilkan produk
hidrotermal yang optimal.
V. Daftar Pustaka
Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu
Layang Batubara”, Thesis Program Pasca
Sarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis
for The Synthetic Chemistry, Monceh
Decker Inc., United States.
Bell, R. G., (2001), “What are
zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.ht
ml.
Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu
Layang Batubara sebagai Material
Pengemban Logam Nikel dan Uji
Ketahanan Struktur Padatan Terhadap
Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6 No.
1, hal. 24-32.
Baerlocher, Ch., Meier, W. M., Olson, D. H.,
(2001), “Atlas of Zeolite Framework
Types”, 5th
Revised Edition, Elsevier.
Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E., (2004),
“Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA
by Microwave Irradiation”, Mat Res
Innovat, Vol. 8, No. 1, hal. 53-57.
Chang, H. L. dan Shih, W. H., (2000),
“Synthesis of Zeolites A and X from Fly
Ashes and Their Ion-Exchange Behavior
with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res,
Vol. 39, hal. 4185-4191.
Darwanta, (1997), “Kajian Penambahan
Al(OH)3 dalam Sintesis Zeolit 4A dari
Abu Layang Batubara, Skripsi program S-
1, Jurusan kimia Fakultas MIPA,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 5
Davis, M. E., dan Lobo, R. F., (1992),
“Reviews: Zeolite and Molecular Sieves
Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9.
Elliot, A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled
Release Zeolite Fertilisers: A Value
Added Product Produced from Fly Ash.
hal. 1-32.
Gates, B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10th
edition, John Wiley & Sons Inc., New
York.
Gretchen K. Hoffman, (2000), “Fly Ash
Usage in the Western United States”,
NM Bureau of Mines & Mineral
Resources, February 2000,
http://www.wrashg.org.
Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan
Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi
dan Karakterisasi Zeolit dari Abu
Layang Batubara Secara Alkali
Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan
Simposium Nasional Kedua MKICS
2007, hal. 1-7.
Kovo, A. S. dan Edoga, M. O., (2005),
“Production and Characterisation of
Zeolite from Ahako Clay in Kogi State,
Nigeria”, Leonardo Electronic Journal of
Practices and Technologies, Issue 7, hal.
31-40.
Las, T, Dr., (2006), Potensi Zeolit untuk
Mengolah Limbah Industri dan
Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8.
Mimura, H., Yokota, K., Akiba, K., Onodera,
Y., (2001), “Alkali Hidrothermal
Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash
and Their Uptake Properties of Cesium
Ion”, Journal of Nuclear Science and
Technology, Vol.38, No.9, hal. 766-772.
Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A.,
Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J., (2001),
“Potential Environmental Applications of
Pure Zeolitic Material Synthesized from
Fly Ash”, Journal of Environmental
Engineering, hal. 994-1002.
Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J.,
(2002), “Mechanism of Zeolite Synthesis
from Coal Fly Ash by Alkali
Hydrothermal Reaction”, International
Journal of Mineral Processing, Elsevier,
Vol. 64., hal. 1-17.
Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N.
(2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis
and Characterization”, Bull. Mater. Sci.
Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No.
6, hal. 555-564.
Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey,
A., Soler, A. L., Medinaceli, A., Valero,
A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999),
“Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a
Pilot Plant Scale. Examples of Potential
Environmental Applications”,
International Ash Utilization Symposium,
Center for Applied Energy Research,
University of Kentucky, Paper 12.
Querol, X., Moreno, N., Umana, J. C., Juan, R.,
Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C.,
Janssen, M., Martinez, J. G., Solano, A.
L., Amoros, D. C., (2002), “Application
of zeolitic material synthesised from fly
ash to the decontamination of waste
waterand flue gas”, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 77,
hal. 292-298.
Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U.,
Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005),
“Estimation of Crystallinity in Fly Ash –
Based Zeolite – A Using XRD and IR
Spectroscopy”, Current Science, Vol. 89,
No. 12, hal. 2147-2151.
Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999),
“Synthesis of Molecular Sieve from
Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA
Type Zeolites”, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 74,
hal. 358-363.
Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K.,
Thabout, M., dan Amal, R., (2001),
“Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for
The Removal of Lead Ions from Aqueous
Soution”, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 77,
hal. 63-69.
Sibilia, P., (1996), Guide to Material
Characterization and Chemical Analysis,
2th
Edition, John Wiley-VCH, New York.
Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State
Chemistry: An Introduction, 1st
edition,
Chapman & Hall University and
Proffesional Division, London.
Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The
synthesis of zeolites from fly ash and the
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 6
properties of the zeolite products”,
Journal of Geochemical Exploration, Vol.
62, hal. 305–309.
Sutarno, Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A.,
(2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu
Layang Batubara : Pengaruh Refluks Dan
Penggerusan Abu Layang Batubara
terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal
Matematika dan Sains, Vol. 9, No. 3, hal
285-290.
The Fly Ash Resources Center, (2000),
February 2000, http://www.Fly Ash
Resources Center.org.
Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada,
O. dan Nishiyama, T. (2004), “The
Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and
Hydroxysodalite Zeolites from Paper
Sludge Ash at Low Temperature (80 °C):
Optimal Ash-Leaching Condition for
Zeolite Synthesis”, American
Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700.
Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L.,
Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite
synthesis from a high Si–Al fly ash from
East China”, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 77,
hal. 267-273.
384
ABSTRAK
Karakterisasi Adsorpsi Kitosan Terimpregnasi EDTA Terhadap Larutan Krom
(Tokok Adiarto*, A. Budi Prasetyo*, Nora Novianti**, Candra L**)
* Jurusan Kimia FMIPA Unair
** Jurusan Teknik Kimia Ubaya
Dilakukan sintesis terhadap kitosan dari limbah kulit udang melalui tahap-tahap: Deproteinasi,
demineralisasi, depigmentasi, diperoleh kitim. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan
dengan proses deasetilasi menggunakan NaOH 50 %. Uji kelarutan asam asetat diperoleh kitin
tidak larut dan kitosan larut. Menggunakan FTIR diperoleh derajat deasetilasi (DD) kitosan
80,74%. Adsorpsi kitosan pada larutan krom 10 ppm diperoleh % removal 48,03 %. Impregnasi
menggunakan Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) meningkatkan kemampuan adsorpsi kitosan
menjadi 95,23 %. Persamaan adsorpsi kitosam sebelum impregnasi mengikuti persamaan
langmuir, sedangkan setelah impregnasi mengikuti persamaan Freundlich.
Kata Kunci : Kitosan, Kitin, Impregnasi, Adsorpsi
385
DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL DENGAN TEKNIK LAPIS TIPIS TiO2 DARI
PREKURSOR TTiP PADA KOLOM GELAS
Yusuf Syah, Hamami, Pitra A.W
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang degradasi fotokatalitik fenol dengan teknik
lapis tipis TiO2 dari prekursor titanium tetraisopropoksida (TTiP) pada kolom
gelas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bentuk kristas TiO2 dari
prekursor TTiP, (2) menentukan efektivitas lapis tipis TiO2 yang
terimobilisasi pada kolom gelas dalam proses degradasi fenol pada pH dan
konsentrasi optimumnya dan (3) menentukan kinetika reaksi degradasi fenol pada
pH dan konsentrasi optimumnya. Senyawa TTiP dikalsinasi pada suhu 400 0 C selama
2 jam. Sisa fenol setelah degradasi diukur serapannya dengan spktrofotometer
pada panjang gelombang 516 nm .Hasil penelitian menunjukkan : (1) TiO2 dari
hasil kalsinansi TTiP mempunyai bentuk krisal anastase dan brokit dengan
perbandingan 3 : 1 ; (2) Degradasi fenol secara optimal terjadi pada pH 10 dan
a konsentrasi awal 0,50 ppm dan (3) kinetika reaksi degradasi fenol pada pH dan
konsentrasi optimumnya adala orde satu semu.
Kata kunci : Prekursor TTiP, degradasi, fenol
386
Pengaruh Proses Swelling Pada Kitosan
Terhadap Karakteristik Adsorpsi Mg(II) Oleh Kitosan
Sari Edi Cahyaningrum*, Narsito**, Sri Juari Santoso**, Rudiana Agustini*
*Jurusan Kimia, FMIPA , UNESA
** Jurusan Kimia , FMIPA, UGM
Abstrak
Telah dibuat dua macam adsorben kitosan dan kitosan untuk adsorpsi ion logam
magnesium(II). Beberapa parameter adsorpsi seperti pH optimum, laju adsorpsi dan
kapasitas adsorpsi ion magnesium(II) dipelajari.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adsorpsi ion logam magnesium(II) pada kitosan dan kitosan bead mempunyai pH
optimum yang sama. Laju adsorpsi Magnesium(II) pada kitosan bead secara signifikan
lebih cepat disbanding pada kitosan.Proses swelling meningkatkan kapasitas adsorpsi
magnesium(II) .
Keyword : chitosan, swelling, magnesium(II)
Pendahuluan
Kitosan merupakan polisakarida yang dihasilkan dari deasetilasi kitin,
sedangkan kitin dapat diisolasi dari serangga dan jamur, kerangka dan cangkang
hewan golongan Artropoda, Molusca, Nematoda, dan Crustacea. Kitosan banyak
digunakan karena disamping murah dan mudah cara pembuatannya serta tidak beracun
.Telah banyak penelitian yang memanfaatkan sifat kitosan baik sebagai agen pengkelat
logam berat maupun sebagai bahan penghambat kerja mikroorganisme sehingga
memungkinkan kitosan juga berfungsi sebagai pengawet. Walaupun mempunyai
potensi kitosan sebagai bahan yang multiguna, tetapi kemampuan sebagai adsorben
perlu ditingkatkan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sifat kitosan
dengan cara melakukan modifikasi secara kimia. Modifikasi dilakukan dengan cara
melakukan penggelembungan (swelling) pada kitosan serbuk sehingga terbentuk
kitosan bead. Modifikasi dilakukan untuk memperluas ukuran pori (proses swelling),
yang diikuti dengan proses crosslink pada rantai kitosan misalnya dengan aldehid,
menghasilkan kitosan yang tahan pada pH < 4 dan kapasitas adsorpsinya terhadap
logam berat meningkat. Proses swelling yang dikombinasikan dengan crosslink pada
kitosan mempengaruhi sifat fisik, mekanik dan ketahanan suhu dari kitosan (Juang,
1997).
387
Metode Penelitian
Bahan Kimia
Bahan –bahan kimia yang diperoleh di pasaran komersial dengan kemurnian p.a antara
lain : NaOH, HCl, , MgCl2, asam asetat, air bidestilasi bebas ion.
Alat
Seperangkat alat refluks, seperangkat alat untuk analisa Kjeldhal IR merk Shimadzu
FTIR –8010PC, AAS merk Perkin Elmer , pH-meter merk Orion model 710A, shaker,
sentrifus merk Fischer scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM.
Prosedur Penelitian
Preparasi dan karakterisasi kitosan bead
Kitosan bead dipreparasi dengan cara kitosan dilarutkan dalam asam asetat
kemudian gel yang terbentuk disemprotkan dalam larutan NaOH . Kitosan bead yang
terbentuk selanjutnya dicuci dengan air demineral sampai netral. Kitosan bead yang
dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi gugus fungsi kitosan bead dengan IR,
penentuan % Deasetilasi dan % Nitrogen, SEM untuk melihat bentuk permukaan kristal
kitosan bead sebelum mengikat enzim dan dilakukan pula analisa surface area.
Adsorpsi Mg(II) pada kitosan
Sebanyak 100 mg kitosan diinteraksikan selama 60 menit dengan 10 ml larutan logam
Mg(II) 100mg/L pH larutan dibuat bervariasi 4-8 dengan bufer fosfat. Setelah interaksi
kemudian disaring dan fitrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom Hitachi Z-8000 . Pengerjaan yang sama dilakukan untuk
penentuan konsentrasi kesetimbangan dan waktu kesetimbangan.
Hasil dan pembahasan
Hasil adsorpsi kation Magnesium oleh kitosan dan kitosan bead untuk
menentukan pH optimum pada gambar 1 menunjukkan bahwa adsorpsi kation Mg(II)
meningkat pada pH 4- 7, kemudian menurun pada pH 8. Adanya protonasi pada gugus
–NH2 menyebabkan melimpahnya ion H+
, sehingga terjadi persaingan pengikatan
antara gugus –NH2 kitosan dengan Mg(II) dan H
+
, hal ini menyebabkan adsorpsi pada
pH 4 rendah. Pada pH 8 adsorpsi rendah karena sebagian kation Mg(II) telah
mengendap menjadi Mg(OH)2 .
388
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II)
Pada gambar 1 terlihat bahwa kitosan bead mampu mengadospsi Mg (II) lebih
banyak disbanding kitosan, sedangkan pH optimum dari proses adsorpsi kation Mg(II)
baik oleh kitosan maupun kitosan bead adalah sama yaitu pada pH 8.
Hasil adsorpsi ion logam Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead pada variasi
konsentrasi ditampilkan pada Gambar 2, secara umum menunjukkan adsorpsi ion
logam Mg(II) pada kitosan memiliki kecenderungan mengalami peningkatan jumlah
logam teradsorpsi hingga konsentrasi awal 300 mg/L. Pada konsentrasi awal 600 mg/L
kenaikan konsentrasi logam tidak disertai kenaikan adsorpsi ion logam Mg(II) secara
signifikan. Pada konsentrasi 900 mg/L diperkirakan situs aktif kitosan telah jenuh oleh
ion logam dan kitosan telah mencapai kapasitas adsorpsinya. Dari data yang diperoleh
dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan mengikuti pola
adsorpsi isoterm Langmuir. Menurut teori isoterm Langmuir adsorpsi diperkirakan
terjadi pada lapisan tunggal. Pada saat adsorbat memenuhi lapisan, molekul yang
terserap tak akan melebihi jumlah situs aktif pada permukaan adsorben .Perhitungan
kapasitas adsorpsi, Konstanta kesetimbangan adsorpsi Mg(II) didapatkan kapasitas
adsorpsi (b) sebesar 3,4673.10-4
mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi sebesar
2853., sedangkan kapasitas adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) adalah 10, 51.10
-4
mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi 10.453.2 Dari data tersebut menunjukkan
bahwa kitosan bead mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitosan sampai 3 kali, hal
tersebut terjadi karena proses swelling meningkatkan ukran pori kitosan sehingga
kation Mg(II) mudah teradsorpsi pada kitosan bead.
pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II)
pada kitosan dan kit-bead
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5
pH
JumlahMg(II)teradsorpsi(%)
kitosan
kitosan bead
389
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi awal pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan
Data pengaruh waktu terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead
disajikan pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara umum
adsorpsi Mg(II) pada kitosan diatas mula-mula berlangsung yang relatif cepat . Pada
30 menit pertama adsorpsi meningkat tajam, penambahan waktu berikutnya ada sedikit
peningkatan jumlah logam yang teradsorpsi dan setelah berlangsung cukup lama laju
adsorpsi relatif konstan. Pada tahap ini proses adsorpsi diperkirakan telah mencapai
kesetimbangan. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa tahap kesetimbangan
tercapai setelah adsorpsi berlangsung selama 60 menit dan penambahan waktu adsorpsi
ternyata tidak memberikan kenaikan laju adsorpsi yang signifikan.
0
100
200
300
400
500
0 30 60 90 120 150
w aktu (menit)
jumlahMg(II)teradsorpsi(mg/L)
Gambar 3. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan
pengaruh konsentrasi terhadap adsorpsi Mg(II)
pada kitosan dan Kit-bead
0
200
400
600
800
1000
1200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
konsentrasi awal mg/L
JumlahMg(II)Teradsorpsi
mg/L
kitosan
kit-bead
390
Gambar 4. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan bead
Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa kitosan bead mempunyai kemampuan adsorpsi
terhadap Mg(II) lebih besar disbanding kitosan pada waktu yang sama. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kitosan bead mempunyai laju yang lebih besar disbanding
kitosan dalam mengadospsi Mg(II).
Untuk mengetahui bagaimana dan gugus apa yang terlibat pada proses
pengikatan Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead maka dilakukan identifikasi gugus
fungsi kitosan dan kitosan bead dengan menggunakan spektrofotometer infra merah .
Data spectra IR untuk kitosan dan kitosan bead ditunjukkkan pada gambar dan table
dibawah ini.
Pengaruh waktuterhadap adsorpsiMg pada kitosan bead
0
10
20
30
40
50
60
0 20 40 60 80 100 120 140 160
waktu(menit)
391
Gambar 5. Spektra IR kitosan sebelum mengikat Mg(II)
Gambar 6. Spektra IR kitosan setelah mengikat Mg(II)
Tabel 1. Pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
392
No.
Gugus
fungsi
Kitosan sebelum
interaksi
Kitosan setelah
interaksi
Besar
Pergeseran
ν(cm-1) %T ν( cm-1) %T
1. -NH2 1624,0 23,097 1654,8 16,51 30,8
2. -OH 3448,5 14,104 3436,9 5,845 11,6
Gambar 7. Spektra IR kitosan bead sebelum mengikat Mg(II)
393
Gambar 8. Spektra IR kitosan bead setelah berinteraksi dengan Mg(II)
Tabel 2. Pergeseran gugus fungsi kitosan bead sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
No. Gugus
fungsi
Kitosan Bead
sebelum interaksi
Kitosan Bead setelah
interaksi
Besar
Pergeseran
ν(cm-1) %T ν( cm-1) %T
1. -NH2 1627,8 46,191 1651,8 20,342 23,2
2. -OH 3448,5 24,265 3426,3 10,319 23,2
Data pada tabel 1 dan 2 serta gambar 5, 6, 7 dan 8 menunjukkkan bahwa terjadi
pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) demikian pula
padakitosan bead juga terjadi pergeseran gugus fungsi. Dari kedua tabel secara umum
dapat terlihat bahwa ada kecenderungan bahwa Mg(II) lebih mudah terikat pada gugus
fungsi NH2 dibanding pada OH. Dan pergeseran lebih banyak terjadi pada kitosan bead
394
dibanding pada kitosan, hal tersebut mengindikasikan bahwa Mg(II) yang terikat pada
kitosan bead lebih banyak dibanding pada kitosan.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. pH optimum proses adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead adalah sama
2. Kitosan bead mempunyai kapasitas adsorpsi Mg(II) yang lebih besar dibanding
kitosan
3. Laju adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) lebih besar dibanding kitosan
4. Mg(II) cenderung terikat pada gugus amina baik pada kitosan maupun pada
kitosan bead.
Daftar Pustaka
Adamson, A.W., 1990., Physical Chemistry of Surface , 4nd ed. John Wiley and Sons,
New York.
Indra dan Syafsir., 1993., Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya
Sebagai Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya
Juang, R.S., Tseng, R.L., Wu, F.C., Lee, S.H., 1997, Adsorption Behavior of Reactive
Dyes from Aqueous Streams onto chitosan, J. Chem. Technol. Biotechnol., 70,
391-399.
Lesbani, A., 2001, Keterlibatan Mekanisme Pertukaran Kation dan Pembentukan
Kompleks dalam Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben Cangkang
Kepiting Laut (Portunus pelagicus linn), Tesis S2-Kimia, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

kadar amoniak, nitrat dan nitrit
kadar amoniak, nitrat dan nitritkadar amoniak, nitrat dan nitrit
kadar amoniak, nitrat dan nitrit
 
Jurnal analisis kandungan amonia
Jurnal analisis kandungan amoniaJurnal analisis kandungan amonia
Jurnal analisis kandungan amonia
 
Kadar COD
Kadar CODKadar COD
Kadar COD
 
Cod dan bod
Cod dan bodCod dan bod
Cod dan bod
 
Penentuan do, cod dan bod
Penentuan do, cod dan bodPenentuan do, cod dan bod
Penentuan do, cod dan bod
 
Transkrip pka 1
Transkrip pka 1Transkrip pka 1
Transkrip pka 1
 
SINTESIS DAN KARAKTERISASI ZEOLIT ANALCIME DENGAN MODIFIKASI Mn DAN Co
SINTESIS DAN KARAKTERISASI ZEOLIT ANALCIME DENGAN MODIFIKASI Mn DAN CoSINTESIS DAN KARAKTERISASI ZEOLIT ANALCIME DENGAN MODIFIKASI Mn DAN Co
SINTESIS DAN KARAKTERISASI ZEOLIT ANALCIME DENGAN MODIFIKASI Mn DAN Co
 
Amoniak nitrat nitrit
Amoniak nitrat nitritAmoniak nitrat nitrit
Amoniak nitrat nitrit
 
Seminar hasil
Seminar hasilSeminar hasil
Seminar hasil
 
Pemisahan kation dengan penukar ion
Pemisahan kation dengan penukar ionPemisahan kation dengan penukar ion
Pemisahan kation dengan penukar ion
 
Metode pengukuran kualitas limbah 2
Metode pengukuran kualitas limbah 2Metode pengukuran kualitas limbah 2
Metode pengukuran kualitas limbah 2
 
Penentuan kadar ca dan mg serta turbiditas
Penentuan kadar ca dan mg serta turbiditasPenentuan kadar ca dan mg serta turbiditas
Penentuan kadar ca dan mg serta turbiditas
 
Acara 2 Kompleksometri
Acara 2 Kompleksometri Acara 2 Kompleksometri
Acara 2 Kompleksometri
 
Bab ii amami
Bab ii amamiBab ii amami
Bab ii amami
 
Presentasi up (rabu 6 maret) final
Presentasi up (rabu 6 maret) finalPresentasi up (rabu 6 maret) final
Presentasi up (rabu 6 maret) final
 
Zeolit Hirarki
Zeolit Hirarki Zeolit Hirarki
Zeolit Hirarki
 
titrasi asidimetri
titrasi asidimetrititrasi asidimetri
titrasi asidimetri
 
Kromatografi penukar ion
Kromatografi penukar ionKromatografi penukar ion
Kromatografi penukar ion
 
Redoks
RedoksRedoks
Redoks
 
Pengukuran do 1
Pengukuran do 1Pengukuran do 1
Pengukuran do 1
 

Viewers also liked

Promoting U.S. Exports and Commercial Involvement
Promoting U.S. Exports and Commercial InvolvementPromoting U.S. Exports and Commercial Involvement
Promoting U.S. Exports and Commercial InvolvementERAUWebinars
 
Florida Door Shop | window manufacturers Florida
Florida Door Shop | window manufacturers FloridaFlorida Door Shop | window manufacturers Florida
Florida Door Shop | window manufacturers Floridacarsoncaito
 
Digital marketing-training-institute
Digital marketing-training-instituteDigital marketing-training-institute
Digital marketing-training-institutesoftprostudent2
 
Digital marketing-training-institute
Digital marketing-training-instituteDigital marketing-training-institute
Digital marketing-training-institutesoftprostudent2
 
Major Supply Chain Trends for 2014
Major Supply Chain Trends for 2014Major Supply Chain Trends for 2014
Major Supply Chain Trends for 2014ERAUWebinars
 
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace Industry
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace IndustryFinding Your Future in Aviation and the Aerospace Industry
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace IndustryERAUWebinars
 
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targets
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement TargetsUnit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targets
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targetstaliaelisekaur
 
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3Marcia Tal
 
Unit 27 – task 2 strenghts and development areas
Unit 27 – task 2   strenghts and development areasUnit 27 – task 2   strenghts and development areas
Unit 27 – task 2 strenghts and development areastaliaelisekaur
 
The secret history of jesuits
The secret history of jesuitsThe secret history of jesuits
The secret history of jesuitsmavrick06
 
Pankaj_Sahu_Resume
Pankaj_Sahu_ResumePankaj_Sahu_Resume
Pankaj_Sahu_Resumepankaj sahu
 
Bus 402 week 5 discussion questions 1
Bus 402 week 5 discussion questions 1Bus 402 week 5 discussion questions 1
Bus 402 week 5 discussion questions 1tiviwader1988
 

Viewers also liked (20)

PPS Orchard Project
PPS Orchard ProjectPPS Orchard Project
PPS Orchard Project
 
Sheadrick frank 4.4
Sheadrick frank 4.4Sheadrick frank 4.4
Sheadrick frank 4.4
 
Improvement targets
Improvement targetsImprovement targets
Improvement targets
 
Jefferson Perez
Jefferson PerezJefferson Perez
Jefferson Perez
 
Promoting U.S. Exports and Commercial Involvement
Promoting U.S. Exports and Commercial InvolvementPromoting U.S. Exports and Commercial Involvement
Promoting U.S. Exports and Commercial Involvement
 
Global277 279
Global277 279Global277 279
Global277 279
 
Florida Door Shop | window manufacturers Florida
Florida Door Shop | window manufacturers FloridaFlorida Door Shop | window manufacturers Florida
Florida Door Shop | window manufacturers Florida
 
Digital marketing-training-institute
Digital marketing-training-instituteDigital marketing-training-institute
Digital marketing-training-institute
 
Digital marketing-training-institute
Digital marketing-training-instituteDigital marketing-training-institute
Digital marketing-training-institute
 
Major Supply Chain Trends for 2014
Major Supply Chain Trends for 2014Major Supply Chain Trends for 2014
Major Supply Chain Trends for 2014
 
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace Industry
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace IndustryFinding Your Future in Aviation and the Aerospace Industry
Finding Your Future in Aviation and the Aerospace Industry
 
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targets
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement TargetsUnit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targets
Unit 27 - Task 3 - Preformer Improvement Targets
 
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3
Tal Solutions Talent Science Presentation_FINAL3
 
Unit 27 – task 2 strenghts and development areas
Unit 27 – task 2   strenghts and development areasUnit 27 – task 2   strenghts and development areas
Unit 27 – task 2 strenghts and development areas
 
The secret history of jesuits
The secret history of jesuitsThe secret history of jesuits
The secret history of jesuits
 
Pankaj_Sahu_Resume
Pankaj_Sahu_ResumePankaj_Sahu_Resume
Pankaj_Sahu_Resume
 
Formação Continuada
Formação ContinuadaFormação Continuada
Formação Continuada
 
Mi2gration1
Mi2gration1Mi2gration1
Mi2gration1
 
Prezentace
PrezentacePrezentace
Prezentace
 
Bus 402 week 5 discussion questions 1
Bus 402 week 5 discussion questions 1Bus 402 week 5 discussion questions 1
Bus 402 week 5 discussion questions 1
 

Similar to Logam Berat di Teluk Ambon

SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAH
SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAHSEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAH
SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAHRepository Ipb
 
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...Mustain Adinugroho
 
Analisis logam berat pada ikan air tawar
Analisis logam berat pada ikan air tawarAnalisis logam berat pada ikan air tawar
Analisis logam berat pada ikan air tawarElly Sufriadi
 
Laporan praktikum ekologi perairan
Laporan praktikum ekologi perairanLaporan praktikum ekologi perairan
Laporan praktikum ekologi perairanPT. SASA
 
Ikan tercemar logam barito1
Ikan tercemar logam barito1Ikan tercemar logam barito1
Ikan tercemar logam barito1Didik Prasetya
 
Ekosistem sungai 2
Ekosistem sungai 2Ekosistem sungai 2
Ekosistem sungai 2PT. SASA
 
Ekosistem sungai
Ekosistem sungaiEkosistem sungai
Ekosistem sungaiPT. SASA
 
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...Repository Ipb
 
kualitas perairan sungai kapuas kota sintang
kualitas perairan sungai kapuas kota sintangkualitas perairan sungai kapuas kota sintang
kualitas perairan sungai kapuas kota sintangPT. SASA
 
Jurnal logam berat
Jurnal logam beratJurnal logam berat
Jurnal logam beratyolaprisci31
 
Jurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanJurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanPT. SASA
 
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptx
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptxAnalisis Sungai Bengawan Solo.pptx
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptxVelyPurba
 
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANE
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANEPENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANE
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANELifia Citra Ramadhanti
 
Study literatur anion
Study literatur anionStudy literatur anion
Study literatur anionDevitaAirin
 
laporan praktikum uji anion dan kation
laporan praktikum uji anion dan kationlaporan praktikum uji anion dan kation
laporan praktikum uji anion dan kationwd_amaliah
 
kondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakarta
kondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakartakondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakarta
kondisi tercemarnya sungai Pepe di SurakartaGanesha Ganes
 

Similar to Logam Berat di Teluk Ambon (20)

SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAH
SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAHSEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAH
SEBARAN LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN ESTUARI WAKAK-PLUMBON, SEMARANG, JAWA TENGAH
 
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...
 
Analisis logam berat pada ikan air tawar
Analisis logam berat pada ikan air tawarAnalisis logam berat pada ikan air tawar
Analisis logam berat pada ikan air tawar
 
Sungai
SungaiSungai
Sungai
 
Laporan praktikum ekologi perairan
Laporan praktikum ekologi perairanLaporan praktikum ekologi perairan
Laporan praktikum ekologi perairan
 
Ikan tercemar logam barito1
Ikan tercemar logam barito1Ikan tercemar logam barito1
Ikan tercemar logam barito1
 
Ekosistem sungai 2
Ekosistem sungai 2Ekosistem sungai 2
Ekosistem sungai 2
 
Ekosistem sungai
Ekosistem sungaiEkosistem sungai
Ekosistem sungai
 
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...
ANALISIS BEBERAPA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI AKUMULA...
 
kualitas perairan sungai kapuas kota sintang
kualitas perairan sungai kapuas kota sintangkualitas perairan sungai kapuas kota sintang
kualitas perairan sungai kapuas kota sintang
 
Jurnal logam berat
Jurnal logam beratJurnal logam berat
Jurnal logam berat
 
Jurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanJurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairan
 
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptx
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptxAnalisis Sungai Bengawan Solo.pptx
Analisis Sungai Bengawan Solo.pptx
 
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANE
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANEPENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANE
PENELITIAN RESIDU AIR DI SUNGAI CISADANE
 
Study literatur anion
Study literatur anionStudy literatur anion
Study literatur anion
 
10. JURNAL
10. JURNAL10. JURNAL
10. JURNAL
 
laporan praktikum uji anion dan kation
laporan praktikum uji anion dan kationlaporan praktikum uji anion dan kation
laporan praktikum uji anion dan kation
 
Identifikasi bakteri patogen
Identifikasi bakteri patogenIdentifikasi bakteri patogen
Identifikasi bakteri patogen
 
Identifikasi bakteri patogen
Identifikasi bakteri patogenIdentifikasi bakteri patogen
Identifikasi bakteri patogen
 
kondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakarta
kondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakartakondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakarta
kondisi tercemarnya sungai Pepe di Surakarta
 

Recently uploaded

Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxherisriwahyuni
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfkustiyantidew94
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau tripletMelianaJayasaputra
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 

Logam Berat di Teluk Ambon

  • 1. 359 ANALISA BEBERAPA LOGAM BERAT PADA SPONS (PORIFERA) di PERAIRAN TELUK AMBON (ANALYSIS OF SOME KINDS OF HEAVY METALS ON SPONGE (PORIFERA) IN AMBON BAY) A.N Siahaya, J.A.B Mamesah dan M. Latuihamallo ABSTRACT It is assumed that level of pollution in the water is related to the source of pollution i.e. the closer the source of pollution, the higher the concentration of pollutant in the water. Conseqently, heavy metals concentration which accumulated in the sponge (porifera) is higher too. Therefore pollution areas can bi traced using bioindicator organism. Samples was collected randomly from 4 sampling site i.e. Batu Merah, Batu Capeo, Hative Besar and Seri. Preparation and premilinary study were conducted in the Analytic Laboratory of MIPA Faculty, Pattimura University, Ambon while analysis of heavy metals was done in the laboratory of Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan Standarisasi Industri Makassar. Concentration of heavy metals Zn, Pb, Cr inthe sponge (porifera) Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene, 2003) was determined using Atomic Absorption Spectrophotometer. Data was analysed using linear regression tecnique in which X axis is concetration of heavy metals (ppm) while Y axis is absorbents. Concentration Zn and Pb could be categorised unhazardous for marine organism, ranging from 2,5 to 3 ppm. Concentration Cr was over the normal limit in the sea water i.e. 0,11 ppm this concentration was hazardous for marine organism. Key word : Sponge (Porifera), Pollution, Heavy Metals, Ambon Bay. PENDAHULUAN Spons (porifera) merupakan salah satu komodite sumberdaya laut yang akhir-akhir ini mendapat sorotan karena selain bernilai estetika, spons (porifera) juga mengandung senyawa bioaktif (bioatif subtances).Spons (porifera) memilki sifat dasar yang ideal yaitu dapat mengakumulasi bahan pencemar berat hal ini didasarkan pada pola makan spons (porifera) dimana air laut yang mengandung zat-zat makan masuk melalui pori-pori dan disaring melalui sel-sel bulu cambuk sehinggga hewan ini di sebut “filter feeder”. Hewan ini hidup sebagai bentos, memiliki waktu hidup yang cukup lama (Veerdenal,1985). Dengan sifat inilah spons (porifera) dapat digunakan sebagai organisme indikator cemaran logam pada suatu perairan yang merupakan dasar suatu organisme dipakai sebagai indicator pencemar (Philip,1999) Dari sekian banyak limbah yang ada di laut, limbah logam berat merupakan limbah yang berbahaya karena logam berat umumnya bersifat toksik (racun) dan kebanyakan di air dalam bentuk ion. Logam berat yang mencemari perairan banyak jenisnya, diantaranya logam Zn, Pb, Cr, Tingkat pencemaran pada suatu perairan dapat di hubungkan dengan jarak dari sumber pencemaran, jika asumsi benar, makin dekat dengan sumber pencemaran maka kosentrasi bahan pencemar yang terdapat dalam perairan tersebut akan semakin tinggi, sehingga kandungan logam yang terakumulasi dalam spons
  • 2. 360 (porifera) juga akan semakin tinggi. Dengan demikian lokasi cemaran logam dapat dilacak dengan menggunkan organisme bioindikator tersebut. Peta penyebaran terumbu karang di perairan pulau ambon terdiri atas teluk ambon bagian luar dan teluk ambon bagian dalam, dan terumbu karang yang paling banyak adalah pada teluk ambon bagian luar. RUMUSAN MASALAH Kota ambon merupakan ibu kota Propinsi Maluku seiring dengan perkembangannya, pertambahan penduduk tidak bisa dihindari. Akibatnya kegiatan masyarakat bertambah dan tekanan yang dialami oleh Teluk Ambon bertambah juga khususnya pada kasus- kasus pencemaran dan salah satunya pencemaran oleh logam berat. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah: a. Apakah ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam Zn, Pb, Cr, pada spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada perairan teluk ambon? b. Berapa kosentrasi logam berat Zn, Pb, Cr pada 4 titik sampel pada perairan teluk Ambon? III. 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui kosentrasi logam Zn, Pb, Cr dalam spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada empat (4) titik sampel. METODE Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai Agustus 2006 meliputi persiapan, pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian. Lokasi pengambilan sampel di 4 (empat) titik pada Teluk Ambon bagian luar. Pelaksanaan penelitian yang meliputi penelitian pendahuluan dan persiapan sampel di Laboratorium Analitik Fakultas MIPA Universitas Pattimura, sedangkan analisis logam berat di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan Standarisasi Industri Makassar. Sampel spons (porifera) dari jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (Gambar 1) di ambil dengan cara penyelaman ke dasar laut yang berbatu karang. Setiap pengambilan, sempel spons (porifera) di bersihkan kemudian di tempatkan ke dalam kantong plastik dan kemudian dibawah ke Laboratorium untuk di analisis. Sampel yang akan di gunakan di pisahkan untuk penentuan akumulasi logam berat dalam spons (porifera) di cuci dengan air panas di tambahkan deterjen, di rendam dalam air laut selama 48 Jam setelah itu di bersihkan lagi dengan aquadest dan di rendam dengan aseton untuk menghilangkan pigmen dari spons (porifera) kemudian dimasukkan dalam oven selama ± 5 jam.(Veerdenal,1985) Cara analisis sampel dilakukan sebagai berikut : Sampel di timbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram dalam gelas kimia yang bersih dan kering kemudian ditambahkan 5 ml asam nitrat (HNO3) kemudian di panaskan pada suhu 159 o C selama 2 jam. Sampel yang telah dipanaskan tersebut di dinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan di tepatkan volumenya,
  • 3. 361 setelah itu larutan di kocok sampai homogen dan di saring dengan menggunakan kertas saring whatman. Larutan siap di analisis (Siahaya,2000) Penentuan kadar logam berat dengan Spektrofotometer Serapan Atom a. Penyiapan Larutan standar Larutan standar Zn, Pb, Cr 1000 ppm di buat dengan mengambil masing-masing sebanyak 10 ml larutan induk 1000 ppm dan dimasukkan dalam takar 100 ml kemudian di tambahkan asam nitrat (HNO3) 2 % hingga volume 100 ml. Hasil dari pembuatan larutan standart 100 ppm, kemudian dibuat deret larutan baku atau larutan standart. Masing-msing sebagai berikut : Zn : 0,4 ppm ; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1,2 ppm ; 1,6 ppm Pb : 0,4 ppm ; 0,6 ppp; 0,8 ppm ; 1,0 ppm ; 1,2 ppm ; 1,4 ppm Cr : 0,1 ppm ; 0,3 ppm 0,5 ppm ; 0,7 ppm ; 1,1 ppm Penentuan kadar logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae(Allen & Steene (2003). Kedalam nyala udara-Asetelin di aspirasikan air dan alat pengukur di jadikan nol. Larutan baku secara berturut-turut diaspirasikan didalamnya, menurut kenaikkan konsentrasi. Nilai serapan dari larutan baku tersebut di catat. Kemudian dibuat persamaan regresi linier dari serapan larutan baku dengan konsentrasi. Serapan hasil pengukuran larutan sampel di masukkan kedalam persamaan regresi, sehingga diperoleh konsentrasi logam dalam sampel. c.Analisis Data Dari hasil pengukuran sederetan larutan baku di atas kemudian dibuat grafik untuk masing-masing logam. Untuk semua garis lurus pada grafik antar absorbans dan kosentrasi di perlukan bantuan garis regresi. Sumbu X adalah kosentrasi dalam ppm, sedangkan sumbu Y adalah Absorbans (A). Persamaan regresi adalah : Y = a +bX Nilai-nilai a dan b dihitung dengan rumus : x b x a n      2 2 .n x y x y b n x x         Walaupun dalam suatu garis dapat saja di tarik dari jumlah titik yang tersebar dalam grafik, belum tentu terdapat korelasi antara kedua variabel x dan y. Cara statistik yang di pakai untuk menetukan adaya hubungan antara kedua variabel ialah koefien korelasi (r). Koefisien korelasi ini dapat di hitung dengan rumus : |HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Perairan Teluk Ambon Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam sejumlah katagori, siantaranya berdasarkan sumebrnya terdiri dari pencemar domestic,pertanian,pertambangan dan lain- lain. Berdasarkan komposisi dasar bahan pencemar Menurut Leckie dan James (1974) dalam Palar (2004), kelarutan unsur-unsur logam dalam badan air di kontrol oleh pH badan air, jenis dan kosentrasi logam serta
  • 4. 362 keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks, kebanyakan logam bervalensi dua seperti logam Cu2+ , Pb2+ , Ni2+ dan Zn2+ , mengalami hidrolisis pada badan air dengan pH alami yang normal. Badan air yang mempunyai kisaran pH 7-8 kelarutan senyawa-senyawa cendrung stabil. Kenaikkan pH pada air biasanya diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tesebut. Perubahan tingkat stabil dari kelarutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergeseran persenyawaan. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan. Pada temperatur yang tinggi atau diatas rata-rata air menurut Bernhard (1978) Sumadhiharga K (1995) sebagian besar logam akan berpindah dari air ke organisme, sedangkan nilai salinitas akan berpengaruh kepada pembentukan senyawa kompleks. Kondisi fisik pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) yang ada di perairan teluk Ambon 4 titik sampling atau lokasi penelitian yaitu titik satu (1) pada perairanBatu Merah; titik dua(2) perairan Batu Capeo; titik tiga (3) pada Perairan hative besar dan titik ke empat (4) di Perairan Seri. Hasil penetapan logam dalam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) adalah sebagai berikut : 1. Hasil kandungan logam berat Zn, Pb, Cr pada spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) di empat (4) titik atau lokasi perairanan (tabel 2) 2. Diagram kandungan logam Zn, Pb, Cr dalam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida,Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (gambar 1-3) Logam Timbal (Zn) Dari hasil analisis kandungan logam Zn pada perairan Batu- merah atau lokasi/ titik sampel satu (1) yang digambarkan secara deskritif pada gambar 2 menunjukan keberadaan logam zeng (Zn) yang terakumulasi dalam spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) memiliki presentasi lebih besar dibandingkan lokasi perairan yang lain yaitu 55,9 % atau sebesar 11,208 ppm. Selanjutnya lokasi empat (4) Perairan Seri memiliki presentasi sebesar 23,2% selanjutnya di ikuti oleh lokasi dua (2) Batu Capeo dan lokasi tiga (3) Hative Besar. Keberadaan logam zink yang terakumulasi dalam tubuh spons (porifera) dikeberadaannya disamping secara alamiah sudah ada seperti yang di laporkan oleh Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) bahwa kosentrasi logam dalam air secara alamiah berbeda untuk jenis airnya (Tabel 4) Keberadaan kosentrasi logam Zn dalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) logam ini dapat masuk ke air di samping kosentrasinya secara almiah sudah ada seperti pada tabel 3 sebesar 2 µg/L tetapi didalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) sangat besar 11,208 ppm sehingga di perkirakan penyebab kosentrasi logam ini sangat besar di dalam perairan batu merah adalah bersumber dari aktifitas daratan yang mana sumber-sumber logam Zn adalah
  • 5. 363 berasal dari limbah rumah tangga atau industri yang terbuat dari logam, batu baterei, cat, plastik dan karet (Dons dan Beck 1993). Kadar Zn yang rendah berada pada perairan Seri, Hatiwe besar dan Batu capeo hal ini sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat di sekitar pantai. Menurut Hellawell (1989) pada ikan akan terjadi kematian apabila kandungan logam Zn di perairan lebih dari 5 ppm. Logam Timbal (Pb) Kandungan logam timbal (Pb) pada spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)di perairan teluk Ambon pada empat (4) lokasi bervariasi. Fenomena yang terlihat pada lokasi satu (1) Perairan Batu-merah yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi lain sehingga menunjukan Pb lebih banyak di perairan ini,hasil analisis logam Pb pada spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) yang di peroleh terlihat pada gambar 3. Sumber Pb yang terakumulasi dalam spons (porifera), dapat berasal dari berbagai aktifitas manusia antara lain : kapal bermotor yang digunakan sebagai sarana transfortasi yang menggunakan bahan bakar kenderaan bermotor yang di beri zat aditif sebagai senyawa tetraetil –Pb((C2H5)4Pb) sebagai zat anti ketuk, di samping itu, kedalam bensin biasanya di tambahkan juga senyawa etilen di-bromida (C2H4Br2) dan etilen-diklorida (C2H4Cl2) sehingga selama proses pembakaran terjadi di dalam mesin kenderaan terbentuk hasil sampingan Pb yang masuk ke dalam suatu perairan. Konsentrasi logam Pb pada spons (porifera) cendrung lebih besar di bandingkan dengan logam Cu, Cr dan Cd, hal ini dapat saja terjadi karena logam ini lebih mudah di ekskresikan dari dalam tubuh organisme di bandingkan logam Pb, menurut Brown & Person (1978) dalam Husawaty (1997), dikatakan bahwa Cd,Cr,Cu lebih larut di bandingkan dengan Pb karena perbedaan potensial oksidasi, sehingga Pb lebih mudah terakumulasi. Sumber lain logam Pb di perairan yang akan teradsorbsi ke spons (porifera) akibat pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, di samping itu proses korosifikasi batu karang di sekitar spons (porifera) akibat hempasan gelombang (Palar,2004) Disamping itu sumber Pb dan persenyawaannya dapat menyebabkan limbah ke perairan adalah timbal oksida (PbO4) dalam baterei, kabel listrik, senyawa PbCrO4 untuk cat yang berwarna kuning, Pb3O4 untuk warna merah, Pb asetat di gunakan secar luas sebagai bahan pengkilap pada keramik dan sekaligus bahan anti api untuk pemadam kebakaran. Persenyawaan Pb dengan arsent dapat di gunakan sebagai insektisida (Palar,2004). Kosentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Darmono,2001). Bardarakan peneltian yang pernah di lakukan pada tahun 1979 oleh Murphy dari Universitas Walles, di katahui bahwa biota-biota perairan seperti Crustaceae akan mengalami kematian setelah 245 jam bila peraairan tersebut terdapat Pb terlarut pada kosentrasi 2,75- 49 mg/L. Ditinjau dari kadar atau kosentasi logam Pb yang terakumulasi dalam Sponbs (porifera) yang terdapat dalam teluk Ambon yang berkisar dari 8,200 mg/Kg berat kering (ppm)- 12,000 mg/Kg berat kering (ppm) dibandingkan kosentrasi Pb di air yang dapat membunuh ikan maka perairan teluk Ambon masih di katakan berada dalam batas aman di tinjau dari kosentrasi logam Pb. Logam Khromium (Cr)
  • 6. 364 Berdasarkan data penelitian yang digambarkan pada gambar 4, terlihat bahwa perairan Teluk Ambon kandungan logam Cr yang terakumulasi dalam spons (porifera) antara 1,950 mg/kg berat kering (ppm)- 2,585 mg/kg berat kering (ppm), dimana bila data dibandingkan dengan perairan Teluk New York maka perairan teluk Ambon masih di bawah, sementara jika dibandingkan dengan standart normal air 0,04 µg/L maka di perkirakan perairan teluk Ambon sudah masuk dalam katagori berbahaya di tinjau dari segi logam Cr-nya. Logam Cr yang masuk ke dalam strata lingkungan dapat datang dari bermacam- macam sumber. Tetapi sumber-sumber masukkan logam Cr yang umum diduga paling banyak adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari pembakaran serta mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar,2001). Krom telah di manfaatkan secara luas dalam kehidupan manusia. Logam ini banyak digunakan sebagai bahan pelapis (plating) pada bermacam-macam peralatan, mulai dari peralatan rumah tangga sampai ke mobil. Persenyawaan yang dibentuk dengan menggunakan logam Cr seperti senyawa kromat dan di-kromat sangat banyak digunakan oleh perindustrian, kegunaan umum dalam bidang tekstil, fotografi, zat warna, korek api serta masih banyak kegunaan lainnya.(Stannley,1994) Di perairan proses kimia yang terjadi pada logam Cr seperti pengkompleksan dan sistem redoks sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengendapan atau sedimentasi logam Cr di dasar perairan. Proses kimia yang berlangsung di perairanpun dapat terjadi peristiwa reduksi dari senyawa-senyawa Cr6+ yang sangat beracun menjadi Cr3+ yang kurang beracun dan peristiwa ini dapat terjadi jika perairan tersebut bersifat asam . Untuk perairan yang berlingkungan basa ion-ion Cr3+ akan di endapakan di dasar perairan.(Palar,2004) Penelitian yang pernah dilakukan terhadap endapan lumpur di perairan Teluk New York dimana jumlah rata-rata endapan Cr sebesar 5,8 ppm. Rentang endapan tersebut berkisar dari 0,335 ppm sampai 37,9 ppm. Sedangkan standart normal dari kandungan Cr yang terlarut di perairan laut adalam 0,04 µg/L (Pearce,1996,dalam Palar 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Spons (Porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) dapat digunakan sebagai bioindikator logam berat Cr, Pb dan Zn di perairan teluk Ambon. 2. Ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam berat. Untuk logam Zn,Pb untuk perairan Teluk Ambon masih tergolong aman karena kosentrasinya masih ada dibawah ambang batas yaitu 2,5 – 3 ppm. Logam Cr sudah dapat dikategorikan berbahaya sebab sudah melampaui kosentrasi normal dalam air laut yaitu 0,11 ppm. Saran Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa jenis spons (porifera) dan pengaruh kedalaman di empat lokasi guna mendukung data yang sudah di peroleh .Peringatan dini bagi Pemda guna kebijakan yang digunakan harus memperhatikan limbah yang bermuara, terumata dari segi logam berat berbahaya seperti logam logam di atas.
  • 7. 365 DAFTAR PUSTAKA Allen, G,R. And Roger Steene (2003). Indo-Pacific Coral Reef.Field Guide. Calender Print Pte Ltd., Singapore. Anonim, (2003), Profil Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kota Ambon. Allerets. Santika (1987) Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya. Barnes (1991) Invertebrata Zoology. Blackywell Scientific PV6 Oxford London, Edinburg Boston Melbourne. Bergquist, P.R, (1978), Spongest, Hutchinson and Company, London. Boehm,P.D. (1987) Transfort and Transformation Process Regarding Hydrocarbon and Metal Pollution in Offshore Sedimentary Envirmont in : Long-term effect of Shore Oil and Gas Development. D.F.Boesch and N.N. Rabalai, Elsevier Appleid Science,London Bryan, G.W.(1971) The effect of Heavy Metal Contaminan in the sea , in Marine Pollution, Jhonston,R. Ed Academic Press, London. Broadhead, T. W, (1983), Sponge and Spongiomorphs, Notes for a Short Course, University of Tennesse, Konoxtiville, Tennesse. Casarett, L. J.’Doull,J, (1986), The Basic Science of Poisoning.Third Edition, Maxmillan Publishing Co. Inc, New York. Caraan,G.B. Lazaro J.E, (1994), Biologycal Assay for Screning of Marine Samples, Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute of Chemestry, University of the Philippines. Connel, W, J., Millev, G, (1985), Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerjemah Yanti K. UI Press, Jakarta. Cotton and Wilkinson, (1989), Kimia Anorganik Dasar, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Darmono, (2001), Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Day, R.A. Jr and Underwood, A.L, (1993), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi keempat, Penerbit Erlangga, Surabaya. De Jongle, (1994), Sponges in Time and Space, Balkeun Rptterdam. Devoogd, N., (1997). Cross-shelf Distribution of South West Sulawesi Open Reef Sponges. University of Amsterdam. Diannanjaya, I, (1989), Distribusi Logam Berat Cd, Cu, Pb, dan Zn dalam sedimen permukaan Laut Dangkal, Skripsi, F-MIPA UNHAS, Makassar. Djuangsih, W, (1985), Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, pada Jenis Karang di Perairan Tanjung Bunga Makassar secara SAA, Skipsi sarjana MIPA, UNHAS, Makassar. Gilbert, J., (1984), Analysis of Food Contaminant, Elsevier Applied Science Publisher, London. Hamidah, (1984), Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan. Oseana. Ichsan, A, (1991), Oseanologi di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI No. 29, Jakarta. Meyer Philips, (1998), http://animaldiversity. Umich.edu/ porifer.html 9/1/2000 Palar Heryanto, (1994), Pencemaran dan Toksikologi logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. Rosmiaty, Suryati,E, (2001), Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh Senyawa Bioaktif Spons ( Callyspongia pseudoreticulata ) terhadap bakteri patogen dari Udang. Jurnal
  • 8. 366 Bioteknologi Pertanian Vol. 6. No. 1 Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros, Indonesia. Supriyono, Agus, (2000), Isolasi dan Elusidasi Struktur Senyawa Hymenidin dan Oridin dari Spons Axinella carteri yang berpotensi sebagai Antibakteri. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 2000. Vol. 2 No. 2. Jakarta. Tabel 1.Kondisi fisik Perairan Teluk Ambon. Kondisi Perairan Lokasi 1 2 3 4 Salinitas (0/00) 29 29 29 29 Temperatur 29 29 29 29 pH 7,7 7,7 7,7 7,7 Keterangan : 1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar 2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri Tabel 2. Analisis logam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) pada lokasi 1,2,3,dan 4 pada perairan teluk Ambon Lokasi Logam (ppm) Zn Pb Cr 1 11,208 12,000 2,035 2 2,785 8,997 2,585 3 1,423 8,200 1,766 4 4,645 11,521 1,950 Keterangan : 1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar 2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri Tabel 3. Kosentrasi beberapa logam dalam ai laut dan air sungai secara alamiah Logam Air laut (µ/L) Air sungai (µ/L) Cr 0,11 tt Pb 0,003 670 Zn 2 20 Gambar 2. Grafik Histogram hasil analisis logam Zn dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi. Keterangan : 1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar 2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri 1 55.9 2 13.9 3 7.1 4 23.2 0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 Lokasi Konsentrasi Logam Zn (ppm)
  • 9. 367 Gambar 3. Grafik Histogram hasil analisis logam Pb dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi Keterangan: 1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar 2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri Gambar 4. Grafik Histogram hasil analisis logam Cr dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi Keterangan: 1. Perairan Batu merah 3. Perairan Hative Besar 2. Perairan Batu capeo 4. Perairan Seri Gambar 1. jenis Spons (porifera) phyllospongia lamellosa, perairan pulau Ambon 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 1 2 3 4 Lokasi Konsentrasi Logam Pb (ppm) 1 29.5 2 22.1 3 20.1 4 28.3 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 Lokasi Konsentrasi Logam Cr (ppm) 1 24.4 2 31.0 3 21.2 4 23.4
  • 10. 368 PENGARUH SUHU HIDROTERMAL AWAL PADA PROSES PEMBENTUKAN ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA Dewi Muasyaroh 1) , Didik Prasetyoko 1) , Hamzah Fansuri 2) 1) Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 - Indonesia 2) Centre for Fuels and Energy, Curtin University of Technology, GPO BOX U1987, Perth WA 6102 – Australia dewi_kim@chem.its.ac.id ABSTRAK Fly ash batubara merupakan hasil samping dari pembakaran batubara yang jumlahnya melimpah. Pembuangan fly ash hasil pembakaran batubara dalam jumlah besar merupakan masalah lingkungan yang serius. Kurangnya tempat penampungan serta perundang-undangan lingkungan yang lebih ketat, memerlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batu bara. Konversi fly ash menjadi zeolit merupakan metode alternatif pemanfaatan fly ash yang telah banyak diterapkan. Dalam penelitian ini zeolit disintesis dengan menggunakan proses alkali hidrotermal secara langsung dengan menggunakan larutan alkali hidroksida KOH. Hidrotermal awal dilakukan pada suhu 100C, 120C, 150C dan 180C selama 3,5 jam, dan dilanjutkan dengan hidrotermal kristalisasi pada suhu 100C. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan terbentuknya K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime, Na-P1 dan heulandite. Kata Kunci : coal fly ash, suhu hidrotermal awal, zeolit
  • 11. 369 PENDAHULUAN Produksi batubara selama tahun 2006, diungkapkan mencapai 170 juta ton. Sebesar 127 juta ton untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan 45 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai lebih dari 240 juta ton, sebesar 150 juta ton diantaranya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Sedang untuk kebutuhan dalam negeri mulai tahun 2009 akan meningkat tajam menjadi sekitar 75 juta ton dengan adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW, meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi penggunaan batubara yang semakin meningkat pula. Apalagi dengan adanya PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, yang bertujuan utama untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025 yang salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006). Diperkirakan laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap sebesar 10 % dari volume batubara. Lebih kurang 95 % abu akan tertinggal, masing-masing 20 % berupa bottom ash dan slag, lainnya 75 % berupa fly ash (Susiati, 2006). Hasil samping berupa fly ash yang jumlahnya melimpah merupakan masalah lingkungan yang serius (Belviso, 2007). Sebagai contoh penggunaan di Jepang, 1,5 juta ton fly ash batubara dihasilkan dari pembangkit dan industri, dibuang tanpa digunakan kembali setiap tahun. Limbah fly ash batubara yang relatif besar dapat menimbulkan dampak pencemaran yang cukup berat, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan masyarakat. Dampak yang paling signifikan bila tidak ada usaha pemanfaatan abu batu bara adalah penumpukan abu batubara pada lahan urugan yang bisa menghasilkan debu di musim kering dan penuhnya lahan urugan yang ada padahal pembuatan lahan urugan baru memerlukan biaya tinggi (Kumar, 2002). Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP85/1999) limbah fly ash dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Fly ash hasil pembakaran batubara di PLTU pada umumnya dibiarkan saja berada di kolam pengendapan sebagaimana dilaporkan oleh Wajima, et al. (2004). Kurangnya tempat penampungan dan perundang- undangan lingkungan lebih ketat, maka diperlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batubara secara optimal yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh pasar. Chang dan Shih (2000) menyebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya menjadi zeolit. Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai KTK berkisar antara 100 sampai 460 meq/100g (Hollman, 1999). Secara garis besar, mineral zeolit yang mempunyai kapasitas tukar kation tinggi yang dapat digunakan dalam usaha pertanian sebagai reklamasi tanah bermasalah dan meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik yang sekaligus penyedia unsur hara (Bachrein, S., 2001). Komposisi fly ash terutama adalah aluminosilikat, mullit (Al6Si2O13) dan kuarsa (SiO2). Material-material ini merupakan penyedia sumber Al dan Si yang diperlukan untuk sintesis zeolit. Perbandingan Si/Al yang rendah menunjukkan penyerap yang sangat baik karena mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi dan volume pori yang besar (Höller dan Wirsching, 1985; Querol et al., 1997). Sehingga, konversi fly ash menjadi zeolit merupakan bukti yang menunjukkan bahwa fly ash merupakan bahan awal yang murah dan efektif (Woolard, 2000). Querol, et al. (2002) menyebutkan bahwa proses sintesis zeolit dari fly ash yang saat ini digunakan adalah: (a) konversi langsung melalui aktivasi alkalin sederhana terhadap fly ash dengan larutan KOH atau NaOH, (b) ekstraksi silika dari fly ash dan kombinasi silika terlarut dengan larutan aluminat konsentrasi tinggi untuk menghasilkan produk zeolit murni.
  • 12. 370 Sedangkan metode yang paling umum digunakan untuk konversi fly ash menjadi zeolit melibatkan proses hidrotermal, dimana fly ash dicampur dengan larutan alkali seperti NaOH pada kondisi temperatur, tekanan dan waktu reaksi berbeda. Kondisi sintesis tergantung pada komposisi material awal, ukuran partikel, morfologi dan sebagainya (Ojha, et al., 2004). Lin dan Hsih (1995) telah meneliti pengaruh parameter reaksi hidrotermal seperti suhu, molaritas basa dan waktu reaksi pada sifat fly ash dan juga optimasi parameter reaksi untuk memperoleh produk dengan kualitas terbaik. Walaupun demikian, sangatlah penting untuk meneliti secara eksperimen berbagai kondisi yang memungkinkan pembentukan zeolit. Metode hidrotermal sesuai untuk (1) Sintesis yang fasenya tidak stabil pada suhu tinggi (2) Berguna untuk pertumbuhan kristal tunggal dengan mengatur gradien suhu yang sesuai dalam wadah reaksi (3) Pelarutan material start pada keadaan panas dan pengendapan pada suhu yang lebih dingin (West, 1984). Reaksi hidrotermal berlangsung dalam wadah tertutup, oleh karena itu mempertahankan suhu dan tekanan pada volume air yang konstan sangat penting. Dalam penelitian ini, konversi fly ash batu bara menjadi zeolit bertujuan untuk menganalisis pengaruh suhu hidrotermal pada proses pembentukan zeolit. Percobaan disusun pada suhu hidrotermal awal berbeda (100, 120, 150 dan 180C) selama 3,5 jam, suhu hidrotermal selanjutnya 100C dengan waktu hidrotermal 6, 24, 48, dan 96 jam. Karakterisasi kimia fly ash dan hasil sintesis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan X-ray diffraction (XRD). METODOLOGI PENELITIAN 1. Pemilihan Sampel Fly Ash Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO 2 dan Al 2 O 3 , sampel berasal dari Perth, Western Australia yang mempunyai kemiripan dengan fly ash batu bara dari Indonesia dalam hal komposisi SiO2 (silikat) dan Al2O3 (aluminat). 2. Karakterisasi Karakterisasi dilakukan terhadap fly ash sebagai bahan baku maupun terhadap zeolit hasil kristalisasinya. Karakterisasi ini meliputi: Penentuan Komposisi Kimia. Komposisi kimia dianalisis untuk menentukan kandungan unsur-unsur renik yang terdapat dalam fly ash. Analisis ini dilakukan secara kering dengan menggunakan metode spektroskopi serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800. Penentuan Komposisi Mineral. Komposisi mineral, baik pada fly ash maupun pada produk hasil sintesis dianalisis dengan teknik difraksi sinar-X. Instrumen difraktometer yang digunakan adalah Philips PW1050 dengan sumber sinar-X Cu menggunakan panjang gelombang yang dihasilkan oleh radiasi Cu K1. Tegangan dan kuat arus yang dialirkan untuk menghasilkan sinar-X berturut-turut adalah 40kV dan 30 mA. Sampel discan dari 2θ= 5o – 50o . Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ) yang kemudian dianalisis dengan membandingkan pola difraktogram sampel dengan pola difraktogram standar dengan Software Expert Grafik and Identify, sehingga mineral dalam sampel dapat diidentifikasi. Analisis difraksi sinar-X dilakukan di laboratorium Research Center ITS. 3. Sintesis Zeolit Dalam penelitian ini, sebanyak 24 gram fly ash dan sebanyak 16 gram KOH ditimbang. Selanjutnya KOH dilarutkan dengan aquades samapi mencapai volume 150 mL lalu dicampur dengan fly ash. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada
  • 13. 371 suhu awal 100, 120, 150 dan 180o C selama 3,5 jam. Masing-masing dilanjutkan dengan hidrotermal pada suhu 100o C selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Sampling dilakukan dengan mengambil sebanyak 20 mL campuran, kemudian disaring. Padatan yang diperoleh dicuci dengan aquades sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100o C selama 12 jam untuk menghilangkan kadar air. Padatan hasil sintesis dianalisis secara kualitatif menggunakan difraksi sinar-X (XRD). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakterisasi Fly Ash Sampel fly ash yang digunakan termasuk dalam kelompok fly ash kelas F (berdasarkan ASTM 618C) dengan kadar kalsium (Ca) rendah dan kadar besi (Fe) yang juga rendah. Unsur-unsur utama pembentuk zeolit yaitu silika dan alumina merupakan unsur utama yang terdapat pada fly ash dengan total kandungan lebih dari 90 % berat. Komposisi kimia fly ash (dalam % massa) ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Fly Ash Parameter Fly Ash (% massa) Parameter Fly Ash (% massa) Parameter Fly Ash (% massa) SiO2 52.30 Na2O 0.10 P2O5 0.07 Al2O3 32.40 K2O 0.22 BaO 0.04 Fe2O3 11.00 TiO2 2.10 SrO < 0.02 CaO 1.00 MnO 0.20 ZnO < 0.02 MgO 0.80 SO3 < 0.02 V2O5 0.02 Sedangkan komposisi mineral diperoleh seperti tampak pada Tabel 2. terdiri dari fasa mineral terbanyak adalah fasa amorf, diikuti oleh fasa mullite dan quartz. Tabel 2. Komposisi Fasa Mineral Fly Ash Fasa Mineral Komposisi (%) Quartz 5.7 Mullite 25.3 Hercynite 0.3 Mahgemite 4.1 Amorphous 64.6 Total 100 Analisis dengan menggunakan XRD terhadap sampel fly ash diperlukan untuk mengetahui komposisi mineral dan untuk mengamati adanya perubahan yang terdapat pada padatan hasil sintesis terhadap material awal. Pola difraksi fly ash tampak pada Gambar 1. 0 10.00 20.000 30.00 40.00 50.00 60.00 M Q M Q M M M Q Q Q M M
  • 14. 372 → 2θ Gambar 1. Difraktogram dari Fly Ash E. Q = kuarsa; M = mullit Gambar 1. memperlihatkan puncak dari fasa-fasa mineral dalam fly ash. Dengan menggunakan Software Expert Grafik And Identify, diketahui bahwa puncak pada 2θ= 26,29773o ; dan 2θ= 40,85890o merupakan puncak utama mineral mullit (Al6Si2O13). Sedangkan puncak 2θ= 20,84023o dan 2θ = 26,62360o merupakan puncak utama mineral kuarsa (SiO2). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa sampel fly ash dalam penelitian ini mempunyai komponen penyusun utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash (Shim dan Lee, 2006). 2. Pengaruh Suhu Hidrotermal Awal Kondisi hidrotermal diperoleh dengan mengkondisikan reaksi di dalam sebuah reaktor yang tertutup rapat dan dipanasi di dalam oven listrik. Reaktor skala laboratorium yang digunakan bervolume 300 mL dan tidak dilengkapi dengan pengaduk. Pengaruh suhu hidrotermal awal pada proses pembentukan zeolit dapat dipelajari dengan memvariasi suhu hidrotermal awal 100, 120, 150 dan 180o C . → 2θ() Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis pada suhu hidrotermal 100C, 120C, 150C dan 180C. Pada Gambar 2. pola difraksi sinar-X menunjukkan mulai terbentuknya puncak- puncak yang berbeda dibandingkan pola difraksi sinar-X dari fly ash. Hal ini karena adanya perbedaan suhu hidrotermal awal. Dalam proses hidrotermal perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh aktivasi fly ash oleh suhu hidrotermal yang menyebabkan Si dan Al fasa amorf terlarut secara kontinu pada awal reaksi, dimana merupakan masukan bagi pembentukan kristal. Pembentukan kristal zeolit sangat tergantung pada ketersediaan sumber silika dan alumina. Tampak bahwa dengan adanya puncak-puncak khas dari mullit dan kuarsa semakin bertambah intensitasnya sebanding dengan meningkatnya suhu hidrotermal yang berarti menunjukkan meningkatnya fasa kristalin dan mempercepat pembentukan zeolit. Pada suhu hidrotermal 100C, mulai terjadi peningkatan fasa kuarsa, dari difraktogram tampak bahwa peningkatan ini stabil sedangkan peningkatan fasa mullit baru terjadi pada suhu hidrotermal 180o C 150o C 120o C 100o C Fly Ash 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 20.000 30.000
  • 15. 373 awal 150C yang kemudian tidak tampak lagi peningkatannya pada suhu hidrotermal 180C. Fenomena ini menunjukkan bahwa laju pelarutan alumunium lebih stabil daripada silikon pada awal proses hidrotermal dan pelarutan silikon dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Sehingga perbandingan Si/Al akan meningkat dengan meningkatnya suhu hidrotermal. Deangan adanya fasa mullit dan kuarsa secara bersama-sama seringkali menyebabkan produk yang terbentuk berupa produk campuran (Molina, 2004). 3. Pengaruh Suhu Hidrotermal Kristalisasi Suhu hidrotermal selanjutnya yaitu 100o C juga mempengaruhi karakteristik produk hidrotermal yang dihasilkan. Perbandingan Si/Al yang berbeda mempengaruhi kristalinitas setelah hidrotermal awal, sehingga dapat menyebabkan pembentukan kristal zeolit yang berbeda. Produk hidrotermal yang terbentuk dapat diamati dari difraktogram pada Gambar 3, 4, 5 dan Gambar 6. → 2θ Gambar 3. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 100 o C. Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa setelah 96 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan Na-P1. 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 96 jam 48 jam 24 jam 6 jam Setelah hidrotermal awal Setelah stirer Fly Ash 96 jam 48 jam 24 jam 6 jam Setelah hidrotermal awal Setelah stirer
  • 16. 374 → 2θ Gambar 4. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 120o C. Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa setelah 48 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan heulandite. Bahkan heulandite mulai terbentuk setelah hidrotermal 24 jam dan Na-P1 sudah tidak terbentuk. → 2θ Gambar 5. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 150o C. 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 96 jam 48 jam 24 jam 6 jam Setelah hidrotermal awal Setelah stirer 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 96 jam 48 jam 24 jam 6 jam Setelah hidrotermal awal Setelah stirer Fly Ash
  • 17. 375 → 2θ Gambar 6. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 180o C. Kemudian pada Gambar 6 menunjukkan bahwa setelah 24 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan heulandite seperti halnya produk hidrotermal awal 120o C dan 150o C yang juga tidak terbentuk Na-P1. Akan tetapi puncak-puncak yang diperoleh intensitasnya lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian ini mempunyai kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Amrhein (1996), yang juga diperoleh Na-P1 dan K-Khabazite pada 100o C, walaupun metode sintesis berbeda. Suhu hidrotermal, terutama suhu hidrotermal awal, sangat berpengaruh pada mulai terbentuknya fasa zeolit, dimana dengan meningkatnya suhu hidrotermal awal akan semakin meningkatkan aktivasi fly ash sehingga frekuensi tumbukan antara fly ash dengan KOH serta tumbukan efektif yang terjadi selanjutnya mempercepat dan meningkatkan pembentukan zeolit. Semakin meningkatnya suhu menyebabkan pembentukan fasa kristalin terjadi semakin cepat, seperti tampak pada Gambar 3, 4, 5 dan Gambar 6. Fasa zeolit terjadi lebih cepat (setelah 24 jam) pada suhu hidrotermal awal 180o C dibandingkan pada suhu hidrotermal awal yang lebih rendah yang baru terbentuk setelah 48 jam pada suhu hidrotermal awal 120o C dan 150o C) dan setelah 96 jam pada suhu hidrotermal awal 100o C. Dengan demikian laju kristalisasi semakin meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Pelarutan Si dan Al fasa amorf juga berpengaruh pada perbandingan Si/Al yang mempengaruhi perbedaan produk hidrotermal. Di samping itu, perbedaan produk hidrotermal ini juga dipengaruhi oleh suhu hidrotermal awal dan lama waktu kristalisasi, dimana energi yang dihasilkan dari peningkatan suhu dan reaksi yang lebih lama menyebabkan produk yang kurang stabil mengalami perubahan fasa dan membentuk kristal zeolit yang lebih stabil(Molina, 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit dapat disintesis dari fly ash dalam basa KOH dengan metode hidrotermal langsung. Suhu hidrotermal awal sangat mempengaruhi proses pelarutan Si dan Al yang mengawali pembentukan kristal zeolit. Laju kristalisasi semakin meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Perbandingan Si/Al sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan yaitu analcime, K-Chabazite, K- Phillipsite, Na-P1 dan heulandite. Perlu adanya optimasi kondisi sintesis yang lebih baik, sehingga konversi fly ash menjadi zeolit dapat menghasilkan produk dengan jumlah dan jenis zeolit yang lebih optimal dan sesuai dengan aplikasinya. DAFTAR PUSTAKA Amrhein, Ch., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., de la Torre, L. (1996), “Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash”. Environ. Sci. Technol. 30, p. 735– 742. Barrer, R. M. (1982), Hydrothermal Chemistry of Zeolites, Academic Press, London.
  • 18. 376 Budhyantoro, A. (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, 6, No. 1, hal. 24-32. Chang, H., and Shih, W. (2000), “Synthesis of Zeolite A and X from Fly Ashes and Their Ion Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Industrial Engineering Chemical Research, 39, p. 4185-4191. Susiati, H. (2006), Dampak Radioaktif Penggunaan Energi Fosil Batubara dan Energi Nuklir di Pusat Pembangkit Listrik, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN, Yogyakarta. Höller, H., Wirsching, U. (1985), “Zeolites formation from fly ash” Fortschr. Mineral. 63, p. 21– 43. Hollman, G.G., Steenbruggen, G., Janssen-Jurkovicova, M. (1999), “A two-step process for the synthesis of zeolites from coal fly ash”, Fuel, 78, p. 1225– 1230. Lin, C. F., dan Hsi, H. C. (1995) “Resources Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of Zeolite- Like Materials”, Environ. Sci. Technol., 29 (4), p. 1109-1117. Molina, A. dan Poole, C. (2004) “A comparative study using two methods to produce zeolites from fly ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, 27 (6), p. 555-564. Querol, X., Alastuey, A., Lo´pez-Soler, A., Plana, F., Andre´s, J.M., Juan, R., Ferrer, P., Ruiz, C.R. (1997). “A fast method for recycling fly ash: microwave-assisted zeolite synthesis”. Environ. Sci. Technol., 31 (9), p. 2527–2533. X. Querol et al. (2002) “Synthesis of zeolites from coal fly ash: an overview” International Journal of Coal Geology, 50, p. 413–423. Shim, Y. S. dan Lee, W. K. (2006), “Effect of Hydrothermal Condition on The Cation Exchange Capacity of MSWI Fly Ash”, Material Science Forum, 510-511, p. 110- 113. Tim Kajian Batubara Nasional, 2006, Batubara Indonesia, Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, 89, p. 1694-1700. West, A.J., (1984), Solid State Chemistry and Application, John Wiley & Sons, New York. Woolard, CD, Petrus, K and M van der Horst, (2000), “The use of a modified fly ash as an adsorbent for lead”, Water SA, 26 (4), p. 531-536.
  • 19. 377 Abstrak PENGARUH KONSENTRASI AMMONIUM TERHADAP KEASAMAN Fe2O3-H/MONTMORILLONIT I.F. Nurcahyo1 , Muhammad Widyo Wartono1 , Karna Wijaya2 , Wega Trisunaryanti2 , Yunida1 1 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah 2 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Depok, Sleman, Yogyakarta Preparasi Fe2O3-H/montmorillonit dilakukan menggunakan metode pertukar ion. Padatan Fe2O3-H/montmorillonit diberi perlakuan dengan NH4 + dengan variasi konsentrasi pada temperatur kamar dan kalsinasi. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan keasaman Fe2O3-H/montmorillonit. Keasaman total ditentukan dengan adsorpsi amoniak. Keberadaan situs asam dimonitor dengan DTA dan IR spektrometer. Berdasarkan adsorpsi amoniak diperoleh hasil bahwa semakin pekat konsentrasi NH4+ menyebabkan penurunan keasaman total Fe2O3-H/montmorillonit. Berdasarkan data DTA dan IR bahwa perlakuan dengan NH4 + menyebabkan hilangnya situs asam kuat. Kata kunci: Fe2O3-H /montmorillonit, keasaman total
  • 20. SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU HIDROTERMAL Ririn Eva Hidayati1, Didik Prasetyoko2, Hamzah Fansuri2 1MAN Denanyar Jombang, 2Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya rineh_rineh@yahoo.com hp. 08563092630 Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi I. PendahuluanPembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran seperti yang telah disebutkan di atas.
  • 21. Untuk dapat memanfaatkan fly ash secara optimal, perlu dicari alternatif penggunaan fly ash yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh pasar. Dalam Chang dan Shih (2000) disebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash bersifat khas berupa partikel halus dengan diameter 1 – 100 m dan mengandung mineral-mineral silika dan alumina sebagai komponen kristal utama dan beberapa komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2), mullit (3Al2O3.SiO2), hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan muskovit (K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam fly ash masing-masing merupakan sumber utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari 27,8% SiO2 dan 71,5% Al2O3 sedangkan kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%. Zeolit merupakan material polimer silika-alumina berpori yang memiliki luas permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan Lobo, 1992). Augustine (1996) juga mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Zeolit termasuk dalam golongan mineral yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO44- dan AlO45-. Tetrahedral-tetrahedal ini saling berkaitan satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom oksigen untuk membentuk struktur kristal yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi tetrahedal SiO4 dan AlO4 menyebabkan zeolit memiliki muatan parsial negatif. Untuk menetralkan muatan negatif ini, diperlukan kation-kation (misalnya Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan NH4+) yang dapat menempati rongga-rongga kosong yang ada. Selain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut dapat pula ditempati oleh molekul netral seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan ukuran molekul tersebut tidak lebih besar dari ukuran rongga. II. Metoda Penelitian Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO2 dan Al2O3. Sampel fly ash yang digunakan diperoleh dari hasil pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca analitik Explorer, Seperangkat alat spektrofotometer serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses alkali hidrotermal yang meliputi waktu hidrotermal awal dan temperatur terhadap zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data karakteristik stuktur fly ash sebelum dan sesudah perlakuan alkali hidrotermal ditentukan melalui interpretasi difraktogram yang diperoleh dari difraksi sinar-X di Laboratorium Research Center ITS Surabaya. Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16 gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 150 ml. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
  • 22. 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada suhu awal 150oC, 120oC dan 100oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam, selanjutnya disaring. Padatan yang diperoleh kemudian dicuci dengan air sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90oC selama 12 jam. Filtrat hasil penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya. Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis) selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji kualitatif yang berhubungan dengan struktur dan morfologi produk dilakukan dengan menggunakan difraksi Sinar-X (XRD). III. Hasil dan Pembahasan Informasi perubahan struktur mikro dan krisatalin yang terjadi selama proses sintesis diperoleh dari data difraksi sinar-X. Pola difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly ash dan zeolit hasil sintetis diperoleh dengan menggunakan difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA, dengan 2Ө5o – 50o. Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ) yang kemudian dicocokkan dengan data pola difraksi sinar–X standar yang diperoleh dari Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolies (Treacy and Higgins, 2001), sehingga senyawa yang terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi. Difraktogram yang diperoleh dari sampel fly ash batubara tercantum pada Gambar 1. Gambar 1. Pola difraksi dari fly ash batu bara PLTU Paiton Gambar 1 memperlihatkan puncak tajam pada 2θ= 26,5980o (d = 3,34865 Å), diikuti puncak tajam pada 2θ= 23,975o (d = 3,70873 Å), 2θ= 44,0870o (d = 1,81972 Å) dan 2θ= 20,8042o (d = 4,26629 Å). Menurut Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolites, puncak pada 2θ= 26,5980o dan 2θ= 20,8042o dan 2θ= 44,0870 merupakan puncak untuk senyawa kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ= 23,9751o merupakan puncak untuk mineral mulit (Al6Si2O13). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton disusun oleh komponen utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash. Pengaruh Waktu Hidrotermal Pengaruh waktu reaksi hidrotermal terhadap hasil sintesis dikaji dengan memvariasi waktu hidrotermal selama 3,5, 6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram hasil sintesis disajikan dalam Gambar 2.
  • 23. Setelah 96 jam Setelah 48 jam Setelah 24 jam Setelah 6 jam Setelah 2,5 jam Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis pada berbagai variasi waktu hidrotermal. Pola difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan puncak utama yang muncul pada reaksi hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama waktu reaksi hidrotermal menunjukkan kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak zeolit P hilang dan digantikan dengan munculnya puncak-puncak khabasit. Hal ini menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit P secara optimum mengakibatkan terjadinya transformasi struktur menjadi bentuk yang secara termodinamik lebih stabil. IV. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa amorf menjadi material zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2. Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan kristalinitas produk hidrotermal. 3. Proses alkali hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M, temperatur 150oC dan waktu 96 jam. Perlu dilakukan optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga dihasilkan produk hidrotermal yang optimal. V. Daftar Pustaka Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara”, Thesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker Inc., United States. Bell, R. G., (2001), “What are zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.html. Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6 No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M., Olson, D. H., (2001), “Atlas of Zeolite Framework Types”, 5th Revised Edition, Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E., (2004), “Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA by Microwave Irradiation”, Mat Res Innovat, Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih, W. H., (2000), “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their Ion-Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997), “Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi program S-1, Jurusan kimia Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
  • 24. Davis, M. E., dan Lobo, R. F., (1992), “Reviews: Zeolite and Molecular Sieves Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9. Elliot, A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled Release Zeolite Fertilisers: A Value Added Product Produced from Fly Ash. hal. 1-32. Gates, B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10th edition, John Wiley & Sons Inc., New York. Gretchen K. Hoffman, (2000), “Fly Ash Usage in the Western United States”, NM Bureau of Mines & Mineral Resources, February 2000, http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi dan Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A. S. dan Edoga, M. O., (2005), “Production and Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State, Nigeria”, Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr., (2006), Potensi Zeolit untuk Mengolah Limbah Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura, H., Yokota, K., Akiba, K., Onodera, Y., (2001), “Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38, No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J., (2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”, Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002), “Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, International Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L., Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), “Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications”, International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno, N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano, A. L., Amoros, D. C., (2002), “Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the decontamination of waste waterand flue gas”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005), “Estimation of Crystallinity in Fly Ash – Based Zeolite – A Using XRD and IR Spectroscopy”, Current Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), “Synthesis of Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K., Thabout, M., dan Amal, R., (2001), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions from Aqueous Soution”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia, P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH, New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman & Hall University and Proffesional Division, London. Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The synthesis of zeolites from fly ash and the
  • 25. properties of the zeolite products”, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305–309. Sutarno, Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290. The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000, http://www.Fly Ash Resources Center.org. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700. Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite synthesis from a high Si–Al fly ash from East China”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 267-273.
  • 26. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 1 SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU HIDROTERMAL Ririn Eva Hidayati1 , Didik Prasetyoko2 , Hamzah Fansuri2 1 MAN Denanyar Jombang, 2 Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya rineh_rineh@yahoo.com hp. 08563092630 Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180o C selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100o C selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi I. Pendahuluan Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran seperti yang telah disebutkan di atas.
  • 27. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 2 Untuk dapat memanfaatkan fly ash secara optimal, perlu dicari alternatif penggunaan fly ash yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh pasar. Dalam Chang dan Shih (2000) disebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash bersifat khas berupa partikel halus dengan diameter 1 – 100 m dan mengandung mineral-mineral silika dan alumina sebagai komponen kristal utama dan beberapa komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2), mullit (3Al2O3.SiO2), hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan muskovit (K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam fly ash masing-masing merupakan sumber utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari 27,8% SiO2 dan 71,5% Al2O3 sedangkan kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%. Zeolit merupakan material polimer silika-alumina berpori yang memiliki luas permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan Lobo, 1992). Augustine (1996) juga mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Zeolit termasuk dalam golongan mineral yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO4 4- dan AlO4 5- . Tetrahedral-tetrahedal ini saling berkaitan satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom oksigen untuk membentuk struktur kristal yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi tetrahedal SiO4 dan AlO4 menyebabkan zeolit memiliki muatan parsial negatif. Untuk menetralkan muatan negatif ini, diperlukan kation-kation (misalnya Na+ , K+ , Ca2+ , Mg2+ , dan NH4 + ) yang dapat menempati rongga-rongga kosong yang ada. Selain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut dapat pula ditempati oleh molekul netral seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan ukuran molekul tersebut tidak lebih besar dari ukuran rongga. II. Metoda Penelitian Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO2 dan Al2 O3 . Sampel fly ash yang digunakan diperoleh dari hasil pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca analitik Explorer, Seperangkat alat spektrofotometer serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses alkali hidrotermal yang meliputi waktu hidrotermal awal dan temperatur terhadap zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data karakteristik stuktur fly ash sebelum dan sesudah perlakuan alkali hidrotermal ditentukan melalui interpretasi difraktogram yang diperoleh dari difraksi sinar-X di Laboratorium Research Center ITS Surabaya. Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16 gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 150 ml. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
  • 28. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 3 0 20.000 40.000 60.000 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada suhu awal 150o C, 120o C dan 100o C selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100o C selama 6, 24, 48 dan 96 jam, selanjutnya disaring. Padatan yang diperoleh kemudian dicuci dengan air sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90o C selama 12 jam. Filtrat hasil penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya. Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis) selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji kualitatif yang berhubungan dengan struktur dan morfologi produk dilakukan dengan menggunakan difraksi Sinar-X (XRD). III. Hasil dan Pembahasan Informasi perubahan struktur mikro dan krisatalin yang terjadi selama proses sintesis diperoleh dari data difraksi sinar-X. Pola difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly ash dan zeolit hasil sintetis diperoleh dengan menggunakan difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA, dengan 2Ө 5o – 50o . Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ) yang kemudian dicocokkan dengan data pola difraksi sinar–X standar yang diperoleh dari Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolies (Treacy and Higgins, 2001), sehingga senyawa yang terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi. Difraktogram yang diperoleh dari sampel fly ash batubara tercantum pada Gambar 1. Gambar 1. Pola difraksi dari fly ash batu bara PLTU Paiton Gambar 1 memperlihatkan puncak tajam pada 2θ = 26,5980o (d = 3,34865 Å), diikuti puncak tajam pada 2θ = 23,975o (d = 3,70873 Å), 2θ = 44,0870o (d = 1,81972 Å) dan 2θ = 20,8042o (d = 4,26629 Å). Menurut Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolites, puncak pada 2θ = 26,5980o dan 2θ = 20,8042o dan 2θ = 44,0870 merupakan puncak untuk senyawa kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ = 23,9751o merupakan puncak untuk mineral mulit (Al6Si2O13). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton disusun oleh komponen utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash. Pengaruh Waktu Hidrotermal Pengaruh waktu reaksi hidrotermal terhadap hasil sintesis dikaji dengan memvariasi waktu hidrotermal selama 3,5, 6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram hasil sintesis disajikan dalam Gambar 2.
  • 29. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 4 0 20.000 40.000 60.000 Setelah 96 jam Setelah 48 jam Setelah 24 jam Setelah 2,5 jam Setelah 6 jam Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis pada berbagai variasi waktu hidrotermal. Pola difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan puncak utama yang muncul pada reaksi hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama waktu reaksi hidrotermal menunjukkan kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak zeolit P hilang dan digantikan dengan munculnya puncak- puncak khabasit. Hal ini menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit P secara optimum mengakibatkan terjadinya transformasi struktur menjadi bentuk yang secara termodinamik lebih stabil. IV. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa amorf menjadi material zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2. Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan kristalinitas produk hidrotermal. 3. Proses alkali hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M, temperatur 150o C dan waktu 96 jam. Perlu dilakukan optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga dihasilkan produk hidrotermal yang optimal. V. Daftar Pustaka Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara”, Thesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker Inc., United States. Bell, R. G., (2001), “What are zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.ht ml. Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6 No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M., Olson, D. H., (2001), “Atlas of Zeolite Framework Types”, 5th Revised Edition, Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E., (2004), “Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA by Microwave Irradiation”, Mat Res Innovat, Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih, W. H., (2000), “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their Ion-Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997), “Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi program S- 1, Jurusan kimia Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
  • 30. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 5 Davis, M. E., dan Lobo, R. F., (1992), “Reviews: Zeolite and Molecular Sieves Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9. Elliot, A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled Release Zeolite Fertilisers: A Value Added Product Produced from Fly Ash. hal. 1-32. Gates, B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10th edition, John Wiley & Sons Inc., New York. Gretchen K. Hoffman, (2000), “Fly Ash Usage in the Western United States”, NM Bureau of Mines & Mineral Resources, February 2000, http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi dan Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A. S. dan Edoga, M. O., (2005), “Production and Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State, Nigeria”, Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr., (2006), Potensi Zeolit untuk Mengolah Limbah Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura, H., Yokota, K., Akiba, K., Onodera, Y., (2001), “Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38, No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J., (2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”, Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002), “Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, International Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L., Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), “Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications”, International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno, N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano, A. L., Amoros, D. C., (2002), “Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the decontamination of waste waterand flue gas”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005), “Estimation of Crystallinity in Fly Ash – Based Zeolite – A Using XRD and IR Spectroscopy”, Current Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), “Synthesis of Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K., Thabout, M., dan Amal, R., (2001), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions from Aqueous Soution”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia, P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH, New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman & Hall University and Proffesional Division, London. Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The synthesis of zeolites from fly ash and the
  • 31. Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya Page 6 properties of the zeolite products”, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305–309. Sutarno, Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290. The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000, http://www.Fly Ash Resources Center.org. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700. Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite synthesis from a high Si–Al fly ash from East China”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 267-273.
  • 32. 384 ABSTRAK Karakterisasi Adsorpsi Kitosan Terimpregnasi EDTA Terhadap Larutan Krom (Tokok Adiarto*, A. Budi Prasetyo*, Nora Novianti**, Candra L**) * Jurusan Kimia FMIPA Unair ** Jurusan Teknik Kimia Ubaya Dilakukan sintesis terhadap kitosan dari limbah kulit udang melalui tahap-tahap: Deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi, diperoleh kitim. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses deasetilasi menggunakan NaOH 50 %. Uji kelarutan asam asetat diperoleh kitin tidak larut dan kitosan larut. Menggunakan FTIR diperoleh derajat deasetilasi (DD) kitosan 80,74%. Adsorpsi kitosan pada larutan krom 10 ppm diperoleh % removal 48,03 %. Impregnasi menggunakan Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) meningkatkan kemampuan adsorpsi kitosan menjadi 95,23 %. Persamaan adsorpsi kitosam sebelum impregnasi mengikuti persamaan langmuir, sedangkan setelah impregnasi mengikuti persamaan Freundlich. Kata Kunci : Kitosan, Kitin, Impregnasi, Adsorpsi
  • 33. 385 DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL DENGAN TEKNIK LAPIS TIPIS TiO2 DARI PREKURSOR TTiP PADA KOLOM GELAS Yusuf Syah, Hamami, Pitra A.W Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang degradasi fotokatalitik fenol dengan teknik lapis tipis TiO2 dari prekursor titanium tetraisopropoksida (TTiP) pada kolom gelas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bentuk kristas TiO2 dari prekursor TTiP, (2) menentukan efektivitas lapis tipis TiO2 yang terimobilisasi pada kolom gelas dalam proses degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya dan (3) menentukan kinetika reaksi degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya. Senyawa TTiP dikalsinasi pada suhu 400 0 C selama 2 jam. Sisa fenol setelah degradasi diukur serapannya dengan spktrofotometer pada panjang gelombang 516 nm .Hasil penelitian menunjukkan : (1) TiO2 dari hasil kalsinansi TTiP mempunyai bentuk krisal anastase dan brokit dengan perbandingan 3 : 1 ; (2) Degradasi fenol secara optimal terjadi pada pH 10 dan a konsentrasi awal 0,50 ppm dan (3) kinetika reaksi degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya adala orde satu semu. Kata kunci : Prekursor TTiP, degradasi, fenol
  • 34. 386 Pengaruh Proses Swelling Pada Kitosan Terhadap Karakteristik Adsorpsi Mg(II) Oleh Kitosan Sari Edi Cahyaningrum*, Narsito**, Sri Juari Santoso**, Rudiana Agustini* *Jurusan Kimia, FMIPA , UNESA ** Jurusan Kimia , FMIPA, UGM Abstrak Telah dibuat dua macam adsorben kitosan dan kitosan untuk adsorpsi ion logam magnesium(II). Beberapa parameter adsorpsi seperti pH optimum, laju adsorpsi dan kapasitas adsorpsi ion magnesium(II) dipelajari.Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorpsi ion logam magnesium(II) pada kitosan dan kitosan bead mempunyai pH optimum yang sama. Laju adsorpsi Magnesium(II) pada kitosan bead secara signifikan lebih cepat disbanding pada kitosan.Proses swelling meningkatkan kapasitas adsorpsi magnesium(II) . Keyword : chitosan, swelling, magnesium(II) Pendahuluan Kitosan merupakan polisakarida yang dihasilkan dari deasetilasi kitin, sedangkan kitin dapat diisolasi dari serangga dan jamur, kerangka dan cangkang hewan golongan Artropoda, Molusca, Nematoda, dan Crustacea. Kitosan banyak digunakan karena disamping murah dan mudah cara pembuatannya serta tidak beracun .Telah banyak penelitian yang memanfaatkan sifat kitosan baik sebagai agen pengkelat logam berat maupun sebagai bahan penghambat kerja mikroorganisme sehingga memungkinkan kitosan juga berfungsi sebagai pengawet. Walaupun mempunyai potensi kitosan sebagai bahan yang multiguna, tetapi kemampuan sebagai adsorben perlu ditingkatkan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sifat kitosan dengan cara melakukan modifikasi secara kimia. Modifikasi dilakukan dengan cara melakukan penggelembungan (swelling) pada kitosan serbuk sehingga terbentuk kitosan bead. Modifikasi dilakukan untuk memperluas ukuran pori (proses swelling), yang diikuti dengan proses crosslink pada rantai kitosan misalnya dengan aldehid, menghasilkan kitosan yang tahan pada pH < 4 dan kapasitas adsorpsinya terhadap logam berat meningkat. Proses swelling yang dikombinasikan dengan crosslink pada kitosan mempengaruhi sifat fisik, mekanik dan ketahanan suhu dari kitosan (Juang, 1997).
  • 35. 387 Metode Penelitian Bahan Kimia Bahan –bahan kimia yang diperoleh di pasaran komersial dengan kemurnian p.a antara lain : NaOH, HCl, , MgCl2, asam asetat, air bidestilasi bebas ion. Alat Seperangkat alat refluks, seperangkat alat untuk analisa Kjeldhal IR merk Shimadzu FTIR –8010PC, AAS merk Perkin Elmer , pH-meter merk Orion model 710A, shaker, sentrifus merk Fischer scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM. Prosedur Penelitian Preparasi dan karakterisasi kitosan bead Kitosan bead dipreparasi dengan cara kitosan dilarutkan dalam asam asetat kemudian gel yang terbentuk disemprotkan dalam larutan NaOH . Kitosan bead yang terbentuk selanjutnya dicuci dengan air demineral sampai netral. Kitosan bead yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi gugus fungsi kitosan bead dengan IR, penentuan % Deasetilasi dan % Nitrogen, SEM untuk melihat bentuk permukaan kristal kitosan bead sebelum mengikat enzim dan dilakukan pula analisa surface area. Adsorpsi Mg(II) pada kitosan Sebanyak 100 mg kitosan diinteraksikan selama 60 menit dengan 10 ml larutan logam Mg(II) 100mg/L pH larutan dibuat bervariasi 4-8 dengan bufer fosfat. Setelah interaksi kemudian disaring dan fitrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom Hitachi Z-8000 . Pengerjaan yang sama dilakukan untuk penentuan konsentrasi kesetimbangan dan waktu kesetimbangan. Hasil dan pembahasan Hasil adsorpsi kation Magnesium oleh kitosan dan kitosan bead untuk menentukan pH optimum pada gambar 1 menunjukkan bahwa adsorpsi kation Mg(II) meningkat pada pH 4- 7, kemudian menurun pada pH 8. Adanya protonasi pada gugus –NH2 menyebabkan melimpahnya ion H+ , sehingga terjadi persaingan pengikatan antara gugus –NH2 kitosan dengan Mg(II) dan H + , hal ini menyebabkan adsorpsi pada pH 4 rendah. Pada pH 8 adsorpsi rendah karena sebagian kation Mg(II) telah mengendap menjadi Mg(OH)2 .
  • 36. 388 Gambar 1. Pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II) Pada gambar 1 terlihat bahwa kitosan bead mampu mengadospsi Mg (II) lebih banyak disbanding kitosan, sedangkan pH optimum dari proses adsorpsi kation Mg(II) baik oleh kitosan maupun kitosan bead adalah sama yaitu pada pH 8. Hasil adsorpsi ion logam Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead pada variasi konsentrasi ditampilkan pada Gambar 2, secara umum menunjukkan adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan memiliki kecenderungan mengalami peningkatan jumlah logam teradsorpsi hingga konsentrasi awal 300 mg/L. Pada konsentrasi awal 600 mg/L kenaikan konsentrasi logam tidak disertai kenaikan adsorpsi ion logam Mg(II) secara signifikan. Pada konsentrasi 900 mg/L diperkirakan situs aktif kitosan telah jenuh oleh ion logam dan kitosan telah mencapai kapasitas adsorpsinya. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan mengikuti pola adsorpsi isoterm Langmuir. Menurut teori isoterm Langmuir adsorpsi diperkirakan terjadi pada lapisan tunggal. Pada saat adsorbat memenuhi lapisan, molekul yang terserap tak akan melebihi jumlah situs aktif pada permukaan adsorben .Perhitungan kapasitas adsorpsi, Konstanta kesetimbangan adsorpsi Mg(II) didapatkan kapasitas adsorpsi (b) sebesar 3,4673.10-4 mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi sebesar 2853., sedangkan kapasitas adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) adalah 10, 51.10 -4 mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi 10.453.2 Dari data tersebut menunjukkan bahwa kitosan bead mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitosan sampai 3 kali, hal tersebut terjadi karena proses swelling meningkatkan ukran pori kitosan sehingga kation Mg(II) mudah teradsorpsi pada kitosan bead. pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kit-bead 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 pH JumlahMg(II)teradsorpsi(%) kitosan kitosan bead
  • 37. 389 Gambar 2. Pengaruh konsentrasi awal pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan Data pengaruh waktu terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead disajikan pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara umum adsorpsi Mg(II) pada kitosan diatas mula-mula berlangsung yang relatif cepat . Pada 30 menit pertama adsorpsi meningkat tajam, penambahan waktu berikutnya ada sedikit peningkatan jumlah logam yang teradsorpsi dan setelah berlangsung cukup lama laju adsorpsi relatif konstan. Pada tahap ini proses adsorpsi diperkirakan telah mencapai kesetimbangan. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa tahap kesetimbangan tercapai setelah adsorpsi berlangsung selama 60 menit dan penambahan waktu adsorpsi ternyata tidak memberikan kenaikan laju adsorpsi yang signifikan. 0 100 200 300 400 500 0 30 60 90 120 150 w aktu (menit) jumlahMg(II)teradsorpsi(mg/L) Gambar 3. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan pengaruh konsentrasi terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan Kit-bead 0 200 400 600 800 1000 1200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 konsentrasi awal mg/L JumlahMg(II)Teradsorpsi mg/L kitosan kit-bead
  • 38. 390 Gambar 4. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan bead Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa kitosan bead mempunyai kemampuan adsorpsi terhadap Mg(II) lebih besar disbanding kitosan pada waktu yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kitosan bead mempunyai laju yang lebih besar disbanding kitosan dalam mengadospsi Mg(II). Untuk mengetahui bagaimana dan gugus apa yang terlibat pada proses pengikatan Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead maka dilakukan identifikasi gugus fungsi kitosan dan kitosan bead dengan menggunakan spektrofotometer infra merah . Data spectra IR untuk kitosan dan kitosan bead ditunjukkkan pada gambar dan table dibawah ini. Pengaruh waktuterhadap adsorpsiMg pada kitosan bead 0 10 20 30 40 50 60 0 20 40 60 80 100 120 140 160 waktu(menit)
  • 39. 391 Gambar 5. Spektra IR kitosan sebelum mengikat Mg(II) Gambar 6. Spektra IR kitosan setelah mengikat Mg(II) Tabel 1. Pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
  • 40. 392 No. Gugus fungsi Kitosan sebelum interaksi Kitosan setelah interaksi Besar Pergeseran ν(cm-1) %T ν( cm-1) %T 1. -NH2 1624,0 23,097 1654,8 16,51 30,8 2. -OH 3448,5 14,104 3436,9 5,845 11,6 Gambar 7. Spektra IR kitosan bead sebelum mengikat Mg(II)
  • 41. 393 Gambar 8. Spektra IR kitosan bead setelah berinteraksi dengan Mg(II) Tabel 2. Pergeseran gugus fungsi kitosan bead sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) No. Gugus fungsi Kitosan Bead sebelum interaksi Kitosan Bead setelah interaksi Besar Pergeseran ν(cm-1) %T ν( cm-1) %T 1. -NH2 1627,8 46,191 1651,8 20,342 23,2 2. -OH 3448,5 24,265 3426,3 10,319 23,2 Data pada tabel 1 dan 2 serta gambar 5, 6, 7 dan 8 menunjukkkan bahwa terjadi pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) demikian pula padakitosan bead juga terjadi pergeseran gugus fungsi. Dari kedua tabel secara umum dapat terlihat bahwa ada kecenderungan bahwa Mg(II) lebih mudah terikat pada gugus fungsi NH2 dibanding pada OH. Dan pergeseran lebih banyak terjadi pada kitosan bead
  • 42. 394 dibanding pada kitosan, hal tersebut mengindikasikan bahwa Mg(II) yang terikat pada kitosan bead lebih banyak dibanding pada kitosan. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. pH optimum proses adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead adalah sama 2. Kitosan bead mempunyai kapasitas adsorpsi Mg(II) yang lebih besar dibanding kitosan 3. Laju adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) lebih besar dibanding kitosan 4. Mg(II) cenderung terikat pada gugus amina baik pada kitosan maupun pada kitosan bead. Daftar Pustaka Adamson, A.W., 1990., Physical Chemistry of Surface , 4nd ed. John Wiley and Sons, New York. Indra dan Syafsir., 1993., Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya Juang, R.S., Tseng, R.L., Wu, F.C., Lee, S.H., 1997, Adsorption Behavior of Reactive Dyes from Aqueous Streams onto chitosan, J. Chem. Technol. Biotechnol., 70, 391-399. Lesbani, A., 2001, Keterlibatan Mekanisme Pertukaran Kation dan Pembentukan Kompleks dalam Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben Cangkang Kepiting Laut (Portunus pelagicus linn), Tesis S2-Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta