Makalah ini membahas mengapa hukum Indonesia belum sesuai dengan Pancasila dan belum terkodifikasi. Hukum Indonesia saat ini masih banyak yang berasal dari warisan kolonial Belanda dan adopsi dari Amerika sehingga kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, proses kodifikasi hukum nasional belum selesai karena masih bergantung pada hukum adat dan peraturan pemerintah.
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Negara ri belum memiliki hukum nasional
1. 1
BAB I
PEMBAHASAN
A Latar Belakang
Negara Indonesia telah merdeka selama 69 tahun, banyak hal yang dibutuhkan dalam
sebuah negara, salahsatunya adalah hukum. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan sutu sanksi.1 Mengingat pentingnya peran hukum dalam
Negara Indonesia guna mengatur kehidupan bersama, maka selayaknya warga Indonesia
memiliki sebuah hukum yang sesuai dengan sosial warga Indonesia, namun pada
kenyataanya hingga saat ini hukum yang ada dimasyarakat Indonesia merupakan hukum
warisan penjajah (:belanda) atau pengadopsian hukum dari Amerika, sehingga banyak hukum
yang belum sesuai dengan fundamental Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Ilmu-ilmu tentang hukum kini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia,
wawasan tentang hukum bisa dengan mudah diperoleh masyarakat melalui berbagai macam
media, antara lain: media televisi, media elektronik, media cetak. Dengan mudahnya akses
pengetahuan hukum, maka kini masyarakat Indonesia sudah tidak buta lagi dalam bidang
hukum, bahkan ketika masyarakat mengalami masalah dalam persoalan hukum masyarakat
bisa berkomunikasi langsung dengan Lembaga Bantuan Hukum atau Konsultan Hukum.
Pakar-pakar hukum telah banyak bermunculan di Indonesia, hal ini menimbulkan
kesadaran bahwa Indonesia mampu untuk menyusun hukum sendiri, tanpa harus selalu
bergantungan dengan hukum warisan Belanda atau hukum yang diadopsi dari Amerika.
Mengingat sosiokultur masyarakat Indonesia yang berbeda dengan Belanda atau Amerika,
dimana di Negara tersebut menganut sistem kapitalis dan sistem liberal. Sistem kapitalis dan
liberal tidak sesuai dengan Fundamental masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila
mengajarkan kepada kita tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melihat adanya kehendak masyarakat kususnya dalam hal kodifikasi hukum nasional
dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka penulis akan membahas lebih lanjut
1 Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.37.
2. 2
dalam makalah ini dengan judul: “Tinjauan Yuridis yang Menyebabkan Negara Republik
Indonesia Belum Memiliki Hukum Nasional yang Terkodifikasi”.
B Rumusan Masalah
Melihat permasalahan yang terjadi diatas, maka kita bisa mengambil rumusan
masalah, guna membahas tinjauan yuridis mengapa Negara Indonesia hingga saat ini belum
memiliki hukum nasional yang terkodifikasi, rumusan masalah ini akan terbagi menjadi dua
yaitu:
1Mengapa hukum Indonesia dianggap masih belum sesuai dengan fundamental Negara
yaitu Pancasila??
2Mengapa hukum Indonesia masih belum terkodifikasi??
C Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara obyektif adalah:
1 Memberi gambaran mengapa hukum Indonesia dianggap masih belum sesuai dengan
fundamental Negara yaitu Pancasila.
2 Memberi gambaran mengapa hukum Indonesia masih belum terkodifikasi.
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A Negara adalah entitas nyata (sosiologis).
Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebgai
lawan dari tatanan hukum internasional), Negara sebagai badan hukum adalah suatu
personafikasi dari komunitas ini atau personafikasi dari tatanan hukum nasional yang
membentuk komunitas ini.2 Sehingga pandangan dari sudut hukum, persoalan negara tampak
sebagai persoalan tatanan hukum nasional. Untuk mendefinisikan hukum, tidak cukup
menjelaskan hakikat sepesifik dari sistem norma yang merupakan manifestasi empirik dari
hukum positif, hukum adalah masalah yang dimunculkan oleh negara sebagai fenomena
hukum.
Negara merupakan sebuah bentuk hubungan antara pihak yang memerintah dan
mengatur dengan pihak yang mematuhi perintah dan diatur. Dalam kehidupan sosial yang
sesungguhnya, terdapat hubungan motivasi demikian dalam jumlah yang tak terbatas,
contohnya: seorang pekerja harus tunduk dengan aturan majikannya/pimpinannya. Namun
pada saat menetapkan sebuah peraturan, pihak yang berkuasa/mengatur tidak bisa
mengesampingkan kehidupan sosial pihak yang diatur, karena ketika aturan tidak sesuai
dengan sosial masyarakat, maka peraturan atau hukum tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya.
Negara Indonesia merupakan Negara yang ber-asaskan Pancasila, Pancasila disusun
sesuai dengan keanekaragaman masyarakat Indonesia, sehingga Bhinneka Tunggal Ika
menjadi pedoman pokok dalam perjalanan ber-Negara warga Indonesia. Pada waktu
pancasila dirumuskan pada tahun 1945 maka yang dirumuskan adalah suatu filsafat singkat,
yang dimaksud sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Indonesia.
2 Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 261.
4. 4
Pada waktu itu belum sempat difikirkan agar Pancasila menjadi dasar filsafat untuk
kehidupan bermasyarakat bagi warga negara Indonesia yang baru dibentuk pada waktu itu.
Pola pemikiran yang demikian itu dapat kita fahami apabila kita melihat pada situasi politik
di dunia dan di Indonesia khususnya setelah terjadi proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17
agustus 1945.3
Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami esesnsi suatu tatanan
hukum nasional, yakni “principium individuatonis”nya. Kecuali kalau Negara dipostulasikan
sebagai realitas sosial yang fundamental. Menurut pandangan ini, sistim norma memiliki
kesatuan dan kekhasan sehingga pantas disebut sebagi suatu tatanan hukum nasional, semata-mata
karena sistem norma ini, menurut cara yang satu atau cara yang lain, berkaitan dengan
satu Negara sebagai satu fakta sosial yang sesungguhnya, karena sistem norma ini diciptakan
oleh satu negara atau sistem norma invalid bagi suatu negara. Hukum prancis dianggap
didasarkan pada eksistensi suatu negara Prancis sebagi satu realitas sosial, bukan realitas
hukum. Hubungan antara hukum dengan negara dipandang sama seperti hubungan antara
hukum dengan individu.
Hukum walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara, yang
dipahami layaknya sebagai seorang manusia, seperti halnya hukum mengatur perbuatan
manusia. Konsep sosiologis tentang negara diyakini ada disamping konsep hukumnya dan
bahkan secara logis dan historis mendahului konsep hukumnya, seperti halnya keberadaaan
konsep “pribadi hukum”. Negara sebagai realitas sosial termasuk dalam kategori masyarakat,
negara merupakan sebuah komunitas. Hukum termasuk dalam kategori norma, hukum adalah
sebuah sistem norma, sebuah tatanan norma. Menurut pandangan ini, negara dan hukum
merupakan kedua obyek yang berbeda. Dualisme antara negara dan hukum sebenarnya
merupakan sebagai salah satu landasan dari ilmu politik dan ilmu hukum modern.
Meski demikian, dualisme ini secara teoritis tidak dipertahankan. Negara sebagai satu
komunitas hukum bukanlah sesuatu yang terpisah dari tatanan hukumnya, sesuatu selain
korporasi yang berbeda dari tata bentuknya (Anggaran Dasarnya). Sejumlah individu
membentuk suatu komunitas hanya karena suatu tatanan norma mengatur perbuatan timbal-baliknya.
Istilah “komunitas” hanaya menunjuk fakta bahwa perbuatan timbal-balik dari
sejumlah individu tertentu diatur oleh suatu tatanan norma. Pernyataan bahwa sejumlah
3 Oetojo Oesman Alfian, Pancasila Sebagai Idiologi (dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara), BP-7 Pusat, Jakarta, 1990, hal. 169.
5. 5
individu adalah anggota dari suatu komunitas hanya suatu ungkapan kiasan, suatu deskripsi
kiasan dari hubungan-hubungan yang dibentuk dari suatu tatanan norma.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, hukumlah yang memimpin semua program-program
kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
termasuk program sosial politiknya. Undang-Undang Dasar dalam penjelasannya
menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar negara,
baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, dengan demikian dalam kehidupan
hukum bangsa Indonesia, pokok-pokok pikiran tersebut, yang tidak lain melainkan Pancasila,
ialah cita hukum atau rechtsidee bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila
mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata
hukum yang benar, disamping itu Pancasila juga mempunyai fungsi regulatif apakah hukum
positif yang ada di Indonesia itu adil atau tidak. Apabila dikatakan, bahwa Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum bagi kehidupan hukum
bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain, rumusan itu sama dengan rumusan yang
menyatakan bahwa: Pancasila menguasai seluruh hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia,
baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Dalam pembentukan hukum tidak tertulis dan hukum tertulis, Pancasila berperan
dengan cara yang berlain-lainan. Yang pertama Pancasila secara langsung mempengaruhi
kesusilaan perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat dalam menghasilkan cara dan
kesusilaan umum dalam membentuk kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat dan hukum. Yang
kedua Pancasila mempengaruhi perorangan dan masyarakat secara tidak langsung, dengan
kata lain dalam pembentukan hukum-hukum tidaak tertulis, tahapan-tahapan dari cara ke
kebiasaan, dari kebiasaan ke tata kelakuan, dan dari tata kelakuan ke adat istiadat, dan dari
adat istiadat ke hukum, semuanya berlangsung melalui endapan-endapan nilai yang
berjenjang-jenjang, terjadi dibawah bimbingan cita moral dan cita hukum yang ada dalam
masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin Akzin, dalam kerucut struktur norma
dalam hubungannya dengan kerucut struktur lembaga dalam suatu negara, pembentukan
suatu norma hukum publik bergantung pada pejabat negara dan pejabat pemerintahan yang
merupakan supra struktur dalam kerucut tersebut. Sedangkan pembentukan norma hukum
6. 6
perdata dan hukum perikatan bergantung pada rakyat sendiri yang merupakan infrastruktur
dalam kerucut dimaksud. Pembentukan norma hukum publik oleh para pejabat negara dan
pejabat pemerintahan mungkin tidak penting untuk negara dengan sitem yang liberal, tetapi
sangat penting untuk negara dengan sistem totaliter.4
Dalam mengutip pendapat Benjamin Akzin, bahwa makin dekat suatu pemerintahan
kepada sistem totaliter makin sedikit pula partisipasi infra struktur dalam pembentukan
hukum, kita dapat juga menerapkan pendapat tersebut dalam pembentukan hukum tertulis
yang dibentuk oleh pejabat negara dan pejabat pemerintahan serta wakil rakyat, meskipun
sistem pemerintahan negara yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan dengan
liberalisme atau dengan totalitarisme.
Suatu pendekatan sosiologis lainterhadap masalah negara lahir dari asumsi bahwa
para individu yang berasal dari satu negara yang sama dipersatukan oleh fakta bahwa mereka
memiliki suatu kehendak atau kepentingan yang sama. Kita menyebutnya “kehendak
kolektif”, dan menyatakan bahwa kehendak atau kepentingan kolektif ini membentuk suatu
kesatuan dan oleh sebab itu membentuk realitas sosial negara. Kita juga menyebut “perasaan
kolektif”, “kesadaran kolektif” semacam jiwa kelompok, sebagai fakta yang membentuk
komunitas negara. Kesatuan yang nyata hanya ada hanya ada diantara mereka yang sungguh-sungguh
memiliki keadaan jiwayang sama, dan ini hanya ada pada saat identitas benar-benar
ada. Identitas seperti itu tidak akan ada kecuali dalam kelompok-kelompokyang relatif kecil
yang kelulusan atau keanggotaannya akan terus berubah. Penegasan bahwa semua warga dari
suatu negarasecara permanen memiliki kehendak, perasaan atau pikiran yang sama, jelas
merupakan suatu fiksi politik.
Apabila kita masih tetap ingin berpegang kepada pa yang telah digariskan oleh para
pendiri Republik Indonesia dan para penyusun UUD 1945, maka kita tidak dapat melepaskan
diri dari wawasan, bahwa pokok-pokok pikiranyang terkandung dalam pembukaan UUD
1945 adalah dasar dari pada semua kehidupan rakyat indonesia dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam sistem Indonesia terdapat Cita Hukum yang tidak lain
melainkan Pancasila, yang berfungsi konstitutif dan regulatif terhadap sistem norma hukum
Indonesiadengan Norma Fundamental Negara yang tidak lain melainkan Pancasila. Norma
Fundamental Negara membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang, norma
hukum yang dibawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih
4 Ibid., hal. 81.
7. 7
tinggi, sehingga tidak ada pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dan yang lebih
rendah. Kita tidak dapat menerima sistem norma hukum yang berdiri sendiri tanpa disertai
cita hukum, karena hal itu tidak sesuai dengan filsafat kehidupan rakyat kita dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B Tinjauan yuridis Pancasila dan Konstitusi terhadap Indonesia yang belum
memiliki hukum nasional yang terkodifikasi.
Kodifikasi hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab Undang-
Undang secara sistematis dan lengkap. Menurut bentuknya hukum itu dibedakan antara
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, hukum tertulis yakni hukum yang dicantumkan
dalam berbagai perundang-undangan, dan hukum tidak tertulis yakni hukum yang masih
hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti
peraturan perundang-undangan. Mengenai hukum tertulis ada yang telah dikodifikasikan
namun ada juga yang belum dikodifikasikan, unsur-unsur kodifikasi adalah jenis hukum
tertentu (misalnya hukum perdata), sitematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi dari hukum
tertulis ialah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan
hukum.
Melihat tujuan kodifikasi hukum yang ada, maka timbul pertanyaan mengapa sampai
saat ini cita hukum nasional yang tidak lain adalah Pancasila, belum berhasil mengkodifikasi
hukum nasional, sebagai mana kita ketahui bahwa Pancasila menjadi cita hukum Republik
Indonesia, sehingga otomatis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memiliki fungsi
konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang
benar, disamping itu Pancasila juga mempunyai fungsi regulatif apakah hukum positif yang
ada di Indonesia itu adil atau tidak. Rumusan Pancasila yakni tercermin dari kelima silanya
bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, hal ini memberi maksud bahwa tiap sila meliputi
atau diliputi serta menjiwai sila yang lain.
Alasan mengapa belum terkodifikasinya hukum nasional Indonesia menurut analisa
kami adalah karena alasan sebagai berikut:
8. 8
1 Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep yang
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang ber-agama, namun dalam keber-agamaan
tersebut Indonesia tidak memaksakan warganya untuk menganut suatu agama
tertantu, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memberi kebebasan kepada warganya
untuk memilih mana agama yang diyakini. Dengan adanya berbagai macam agama
yang ada di Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam agama tersebut mempengaruhi pada
tiap kehidupan umat beragama, yang tidak lain merupakan warga negara Indonesia.
Hal ini menjadi pertimbangan untuk membentuk suatu perundang-undangan nasional
sekaligus perundang-undangan yang dapat mewadahi kepentingan warga negara
berkaitan dengan agamanya. Misalnya saja, ketentuan waris dalam agama Islam, tidak
dapat disamakan dengan ketentuan waris nasional yang berlaku bagi warga negara
Non Islam.
2 Kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsep kemanusiaan yang adil dan beradab
mengandung makna bahwa manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab
harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, masyarakat bangsa dan
negara. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas kesamaan dan
derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, dan status sosial maupun agama.
Mengingat keberagaman masyarakat Indonesia, maka suliit sekali untuk
menyamaratakan hukum kepada masyarakat ketika kita menghendaki sebuah keadilan
yang berimbang, contohnya masyarakat di Aceh tidak mungkin bisa disamakan
terhadap masyarakat Papua dimana antara kedua masyarakat tersebut sosiokulturnya
berbeda.
3 Persatuan Indonesia. Negara Indonesia merupakan persatuan dari berbagaimacam
suku, ras, kempok baik itu kelompok golongan atau kelompok agama. Setiap suku
memiliki kebiasaan atau peraturan yang berbeda dengan suku yang lain, setiap
kelompok agama juga memiliki hukum agama yang harus mereka taati, tidak jarang
antara hukum agama satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Negara Indonesia
harus mengayomi semua elemen masyarakat yang ada di negara, mengingat adanya
perbedaan yang terdapat dimasyarakat, maka tidak dimungkinkan untuk
menyamaratakan peraturan/hukum secara mutlak, karena jika ada golongan/kelompok
yang merasa diperlakukan tidak adil dalam hukum, otomatis hal itu nantinya akan
mengancam persatuan masyarakat indonesia. Perbedaan bukannya diruncingkan untuk
menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling
9. 9
menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan
bersama.5
4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan. Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok negara, sedangkan
negara adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung
nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup bernegara.6
Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak
hanya diperuntukkan bagi segolongan rakyat saja, sehingga peraturan-peraturan yang
ada harus bisa mewakili dan mengayomi seluruh masyarakat yang memiliki latar
belakang yang berbeda, sehingga peraturan-peraturan yang ada dalam negara
Indonesia antara daerah satu dengan daerah yang lainnya mengalami perbedaan,
perbedaan ini terjadi karena aspirasi masyarakat daerah satu dengan daerah yang
lainnya berbeda, sehingga kodifikasi hukum dianggap sulit untuk dilakukan.
5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial didasari oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan masyarakat,
bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Sehingaga nilai-nilai
keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meliputi:
a Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap
warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan.
b Keadilan legal (keadilan bertaat), dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib
memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam negara.
c Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara secara
timbal balik. Nilai-nilai keadilan tersebut haruslak merupakan suatu dasar yang
harus diwujudkan dalam hidup bersama untuk mewujudkan tujuan negara.
Adanya kodifikasi hukum dirasa akan menyatukan kesatuan hukum tanpa
memamdang keadilan sosial masyarakat Indonesia yang beragam.
5 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hal. 13.
6 Ibid., hal. 82.
10. 10
BAB III
KESIMPULAN
Pancasila menemukan masyarakat Indonesia sedang mengalami proses perubahan
sosial budaya, proses perubahan ini merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan sebagai
akibat dari pembangunan nasional yang merupakan pengamalan Pancasila sendiri, tetapi
dalam masa yang selalu terjadi perubahan ini, Pancasila harus menjadi pedoman dalam
menentukan bagi perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia selanjutnya. Didalam
keadaan yang demikian Pancasila diharapkan menjadi sumber nilai-nilai yang mampu
menciptakan integrasi sosial bagi masyarakat kita, terutama dalam pembentukan hukum.
Kodifikasi hukum nasional dirasa belum mampu untuk dilakukan di negara Indonesia,
mengingat sosialkultur masyarakat Indonesia yang beragam, sehingga penyamarataan hukum
dianggap bisa mencidrai nilai-nilai Pancasila. Indonesia merupakan negara persatuan dimana
didalam persatuan tersebut terdapat elemen-elemen yang berbeda, elemen ini tidak mungkin
dilebur menjadi satu, karena peleburan itu akan mengakibat kurang terwakilnya suatu
masyarakat dalam ber-negara, ketika adanya ketidak terwakilan antara suatu elemen
masyarakat, maka keadilan sosial sudah tidak terwujud disitu, sehingga nilai persatuanlah
yang lebih tepat diaplikasikan di negara Indonesia, karena dalam persatuan sebuah perbedaan
masih dimungkinkan untuk ada.
11. 11
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010.
Oetojo Oesman Alfian, Pancasila Sebagai Idiologi (dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara), BP-7 Pusat, Jakarta, 1990.
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty,
Yogyakarta, 1988.
Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2010.