Dokumen tersebut membahas beberapa konsep hukum yang terkait dengan tindak pidana korupsi dalam hukum acara pidana dan perdata, antara lain konsep alat bukti yang sah, beban pembuktian terbalik, gugatan perdata atas harta yang disembunyikan, dan pidanaan in absentia.
2. DAFTAR ISI
30 Jenis Pidana
Korupsi
01
Unsur-Unsur Tindak
Pidana Korupsi
03
Tindak Pidana Lain
Berkaitan dengan
Tipikor
02
Konsep Tipikor dalam
Hukum Acara Pidana
dan Hukum Acara
Perdata
04
4. 30 JENIS PIDANA KORUPSI
Tabel 16.5
Perincian 30 Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
10. Dalam Tabel 16.5 di atas, ada kolom D-DA. Dalam kolom ini, tertulis
D (yang berarti dan) atau DA (yang berarti dan/atau). Kalau tertulis
"dan" berarti kedua jenis pidana pokoknya (dalam hal ini, Pidana
dan Pidana Denda) harus dijatuhkan bersama-sama.
12. TINDAK PIDANA LAIN BERKAITAN DENGAN TIPIKOR
Tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan
yang tidak benar.
Mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap
tersangka, terdakwa, atau
saksi dalam perkara korupsi.
2
1
13. Lanjutan
Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220
(mengadukan perbuatan pidana, padahal ia tahu perbuatan
itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita),
Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa
orang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan
sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk
imemeras pengakuan atau mendapat keterangan), Pasal
429 (pejabat melampaui kekuasaan …… memaksa masuk
ke dalam rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup ...
atau berada di situ secara melawan hukum) atau Pasal 430
(pejabat melampauí kekuasaan menyuruh memperlihatkan
kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau
paket ….. atau kabar lewat kawat)
3
15. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara. atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
TPK – KERUGIAN KEUANGAN NEGARA:
TPK – 1
16. TPK – 2
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara, dipidanai dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
17. Pasal 5 ayat (1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat l (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
TPK 3 dan 4
TPK
SUAP
MENYUAP
18. Pasal 13:
Seiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 5 ayat (2):
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat l (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) Paling banyak Rp 25s0.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
TPK – 5
TPK – 6
19. Lanjutan TPK Suap Menyuap
Pasal 6 ayat (1) huruf b
TPK-11
Pasal 6 ayat (2)
TPK-12
Pasal 12 huruf c
TPK-13
Pasal 12 huruf a
TPK-7
Pasal 12 huruf b
TPK-8
Pasal 11
TPK-9
Pasal 12 huruf d
TPK-14
Pasal 6 ayat (1) huruf b
(1) huruf a
TPK-10
20. TPK – 15
Pasal 8:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum Secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat beriharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
TPK – PENGGELAPAN DALAM JABATAN
TPK-16
Pasal 9
TPK-17
Pasal 10 huruf a
TPK-18
Pasal 10 huruf b
TPK-19
Pasal 10 huruf c
21. TPK – 20
Pasal 12 huruf e:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
TPK – PEMERASAN
TPK-21
Pasal 12 huruf g
TPK-22
Pasal 12 huruf f
22. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
(a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang:
TPK-23
(b) setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
s e n g a j a m e m b i a r k a n p e r b u a t a n c u r a n g
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
TPK-24
TPK – PERBUATAN CURANG
Pasal 7 ayat (1) huruf a
Pasal 7 ayat (1)
huruf b
23. Pasal 7 ayat (1)
huruf c
TPK – 25
Pasal 12 huruf i
TPK – 29
TPK – PERBUATAN CURANG
Pasal 7 ayat (1)
huruf c
TPK – 26
Pasal 12 huruf h
TPK – 28
01
03
02
04
• Pasal 12 B
• Pasal 12 C
TPK – 30
Pasal 7 ayat (2)
TPK – 27
25. Konsep Tipikor Dalam Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara
Perdata
Alat Bukti yang Sah
1
Beban Pembuktian
Terbalik
2
“Lepas dari Tuntutan
Hukum” Versus “Bebas”
11
Perbuatan Berlanjut
10
Gugatan Perdata Atas
Harta yang Disembunykan
3
Pemidanaan secara in
absentia
4
Concurcus Realis
9
Concurcus Idealis
8
“Memperkaya” vs
“Menguntungkan”
5
Pidana Mati
6
Nullum Delictum
7
26. Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya untuk
tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari:
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik (misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read
Only Memory (CD-ROM), atau Write Once Read Many (WORM)) dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu (misalnya, data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili); dan
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Alat Bukti yang Sah
27. Pembuktian terbalik diberlakukan pada
tindak pidana baru tentang gratifikasi
dan terhadap tuntutan perampasan harta
benda terdakwa yang diduga berasal dari
salah satu tindak pidana sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
12 Undang-Undang ini.
Beban Pembuktian Terbalik
28. CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,
including icons from Flaticon, and infographics & images by Freepik.
Gugatan Perdata Atas Harta
yang Disembunyikan
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau
tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau bunyi tersebut diduga atau patut
diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata digunakan terhadap
terpidana atau ahli warisnya, Untuk melakukan gugatan tersebut, Negara dapat
menuniuk kuasanya untuk mewakili negara.
29. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat buki yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi maka
hakim atas tuntutan penuntut umum nenetapkan
perampasan barang barang yang telah disita.
Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan
banding baginya tidak ada. Setelah ia meninggal,
pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada
perampasan harta benda yang telah disita.
Perampasan Harta Benda yang Disita
30. Jaksa menyusun berkas gugatan perdata untuk ahli waris
almarhum Yusuf Setiawan. Jaksa Agung Muda Perdata dan
Tata Usaha Negara Edwin Pamimpin Situmorang, Kamis
(18/6), mengatakan, berkas gugatan perdata itu segera
dilimpahkan ke pengadlan. Besarnya ganti rugi yang
diajukan sebesar kerugian negara dalam perkara tersebut,
yakni Rp 48,32 miliar. Yusuf Setiawan adalah Direktur PT
Setiajaya Mobilindo, terdakwa korupsi pengadaan alat
berat dan ambulans dari APBD Jawa Barat 2003. Ia
meninggal dunia saat perkaranya disidangkan di
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. (idr)
–Sumber: Kompas, 20 juni 2009
Ahli Waris Yusuf Digugat
Pemidanaan secara in absentia
31. Dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah, dan
t i d a k h a d i r d i s i d a n g
pengadilan tanpa alasan
yang sah, maka perkara
dapat diperiksa dan diputus
tanpa kehadirannya.
1
Dalam hal terdakwa hadir pada
sidang berikutnya sebelum
putusan dijatuhkan maka
terdakwa wajib diperiksa, dan
segala keterangan saksi dan
surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan
dalam sidang yang sekarang
3
Putusan yang dijatuhkan
tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntur
u m u m p a d a p a p a n
pengunuman pengadilan,
kantor Pemerintah Daerah,
atau diberitahukan kepada
kuasanya.
2
Terdakwa atau penguasanya
dapat mengajukan banding
atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
4
Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam persidangan
diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in absentia. Hal ini diatur dalam pasal
38 ayat I, 2, 3, dan 4 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 , yang berbunyi sebagai
berikut.
32. “Memperkaya” vs “Menguntungkan”
Memperkaya bermakna adanya
tambahan kekayaan.
Menguntungkan bermakna
keuntungan materiil (tambahan
kekayaan, uang, harta) dan
immateril (timbulnya goodwill,
utang budi, dan lain-lain).
Seorang pejabat menerima suap dari
seorang pengusaha dan seluruh jumlah
itu diberikan kepada atasannya.
Pejabat itu tidak memperkaya dirinya,
tetapi tetap menguntungkan dirinya.
Dengan meneruskan seluruh suap itu
kepada atasannya, ia menguntungkan
diri karena bisa mendapat
keistimewaan (favor) dalam bentuk
kenaikan pangkat, jabatan, gaji, dst.
Mengapa pembuktian “memperkaya”
lebih sulit dari pada
“menguntungkan”?
33. • Banyak orang menginginkan ketentuan pidana mati terhadap para koruptor
dalam hal jumlah yang dikorupsi besar. Namun, berapa jumlah korupsi yang
dikategorikan besar?
• Dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan:
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan"
Penjelasannya berbunyi sebagai berikut:
Pidana Mati
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindalk pldana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
34. Nullum Delictum
‘nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege
poenali’
Atau disingkat:
'nullum delictum’
1
‘nullum crinen, nalla
poena sine praevia lege
poenali’
Atau disingkat:
'nulla poena sine lege,
2
‘nullum erimen, nulla
poena sine lege praevia‘
Atau disingkat:
'nullum crimen, nulla
poena sine lege’
3
Dalam bahasa Latin, asas ini selengkapnya berbunyi:
35. Pertama, untuk kasus kasus TPK yang dilakukan
sebelum keluarnya suatu undang-undang tetapi
diadil sesudah keluarnya undang- undang tersebut.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam perdebatan di DPR
etika membahas Rancangan Undang-Undang
(yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971). Meskipun ada keinginan yang kuat
dari beberapa fraksi untuk menerapkan undang-
undang itu secara retroaktif (berlaku surut),
perumusan Pasal 36 dari undang-undang yang
disahkan menunjukkan dipertahankannya asas
nulum delictum ini.
Lanjutan
Kedua, sewaktu KPK menanganí kasus yang
terjadi sebelum keluarnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pe m b e r a n t a s a n T PK , a d a o r a n g y a n g
mempertanyakan wewenang KPK dengan
menggunakan asas nullum delictum ini. Dalam
kasus semacam ini, asas iní sebenarnya tidak
dilanggar karena substansi hukumnya sudah
d i a t u r d a l a m u n d a n g - u n d a n g y a n g
mendahului TPK itu. Yang terjadi kemudian
a d a l a h p e r l u a s a n d a r i a p a r a t y a n g
menanganinya, yakni dari polisi dan jaksa ke
KPK
Maknanya dapat dilihat pada Pasal l ayat (1) KUHP yang berbunyi: "Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekualan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.“ Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus:
36. Concurcus Idealis
01
jika suatu perbuatan masuk dalam
lebih dari satu aturan pidana. maka
yang dikenakan hanya salah-satu di
antara aturan-aturan itu: ika berbeda-
beds, vang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling
berat.
02
Jika suatu perbuatan masuk
dalam suatu aturan pidana yang
umum, datur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang
diterapkan
Konsep concurus idealis berkenan dengan satu perbuatan yang tercakup dalam lebih
dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi sebagai
b e r i k u t .
37. Concurcus Realis
Dalam hal perbarengan beberapa
perbuatan yang harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri-
sendiri sehingga merupakan
beberapa kejahatan, yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis,
maka dijatuhkan hanya satu pidana
Maksimum pidana yang
dijatuhkan ialah jumlah
maksimum pidana yang diancam
terhadap perbuatan itu, tetapi
tidak boleh lebih dari maksimum
pidana yang terberat ditambah|
sepertiga.
Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang dilakukan
berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut.
(1)
(2)
38. Perbuatan berlanjut ini diatur dalam
Pasal 64 ayat I KUHP yang berbunyi
sebagai Berikut.
Perbuatan Berlanjut
(1) Jika antara beberapa perbuatan,
meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka
hanya diterapkan yang memuat
ancaman pidana pokok yang
paling berat.
39. Bagi orang awam, keputusan "Lepas dari tuntutan hukum"
dan keputusan "Bebas" mempunyai makna yang sama.
Dari sudut pandang KUHAP, kedua putusan ini mempunyai
makna dan konsekuensi yang berbeda.
Putusan bebas (vrijspraak) atau bebas murni (zuivere
vrjspraak) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat I yang
berbunyi: "jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”
“Lepas dari Tuntutan Hukum” Versus “Bebas”
40. "Lepas dari segala tuntutan hukum" (ontslag van alle
rechtsvervolging) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2
yang berbunyi sebagai berikut: "ika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yrang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum"
Dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
jaksa penuntut umum dapat melakukan kasasi.
Sementara itu, dalam putusan bebas murni, jaksa
penuntut umum tidak dapat melakukan kasasi.
Lanjutan