Biografi penulis cerpen memberikan gambaran latar belakang sosial masyarakat pada masa itu yang cenderung meremehkan profesi guru dan hanya melihatnya sebagai pelarian bagi mereka yang gagal. Cerpen ini juga mengedepankan nilai-nilai sosial, pendidikan, dan filosofis tentang arti sebenarnya dari keberhasilan dan profesi guru.
1. Unsur Ekstrinsik Cerpen Guru karya Putu Wijaya
Biografi Putu Wijaya
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup
panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia
berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11
April 1944.
Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat
masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan
beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah
menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan
sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di
Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni
lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film
(Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia
meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan
dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di
Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga
bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur
majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu
mendirikan Teater Mandiri (1974).
2. Unsur Ekstrinsik Cerpen Guru karya Putu Wijaya
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di
Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya,
ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada
tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat.
Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (1979-1985).
Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam
Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di
Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika
dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, Ia juga
pernah mengajar di Amerika Serikat (1985-1988).
Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis
skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan
Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan JariJari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan
dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia
pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa
pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot
(1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga
(telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia
adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi
pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan
Pembina Teater Nasional Indonesia. Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada
bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain
berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di
samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun
novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda,
Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama.
Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya
objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam
pengungkapannya. Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam
3. Unsur Ekstrinsik Cerpen Guru karya Putu Wijaya
Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani
mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah
sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan.
Aliran sastra
Aliran sastra pada cerpen ini adalah Aliran sastra psikologisme. Aliran ini menekankan
pada pembahasan masalah kejiwaan dalam sastra. Dalam cerpen tersebut, suasana jiwa
dan konflik batin para pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam.
Latar Belakang Masyarakat
Kondisi latar belakang masyarakat sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
sebuah cerpen. Pemahaman latar belakang masyarakat tersebut bisa berupa pengkajian
ideologi negara, kondisi politik, kondisi sosial, hingga kondisi ekonomi masyarakat.
Dalam cerpen Guru dapat kita lihat bahwa pada saat itu terdapat beberapa
pandangan mengenai guru, yakni:
a. Honor yang didapat rendah, tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
seorang guru. Banyak menyita waktu, pikiran dan juga tenaga.
b. Pelarian agar tidak menjadi pengangguran.
c. Pelarian dari orang-orang yang mengalami kegagalan.
Melihat latar belakang yang ada di masyarakat, sehingga dalam cerpen tersebut
terdapat pikiran jelek dan sempit dalam memandang profesi guru.
4. Unsur Ekstrinsik Cerpen Guru karya Putu Wijaya
Nilai-nilai
1.
Nilai sosial
Nilai sosial ini dapat terlihat pada pemaparan cerpen mengenai paradigma
guru. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa menjadi guru itu bukanlah
sebuah cita-cita. Menjadi guru itu terpaksa agar tidak menganggur. Banyak sekali
pandangan miring mengenai guru. Gaji sedikit tidak sesuai dengan pekerjaannya
yang menguras pikiran, tenaga dan juga waktu; banyak yang berbuat tidak
bermoral, tidak punya masa depan, dan masih banyak lagi. Ibarat kasta, guru ini
berada pada urutan yang paling bawah. Namun disisi lain guru merupakan suatu
profesi yang sulit ditinggalkan. Menjadi guru sudah mendarahdaging pada diri
seorang guru. Bahkan kalau kita amati guru yang sudah pensiun pun masih sering
disebut guru. Guru yang menjadi panutan untuk orang lain, menjadi contoh yang
baik dalam perilakunya. Ini merupakan gambaran mengenai guru yang
sesungguhnya.
Nilai sosial yang lain adalah bahwa orang yang kaya harus memiliki jabatan
yang tinggi. Maka dari itu banyak masyarakat yang menghalalkan segala cara demi
mendapatkan gelar. Termasuk dalam tes, tentu semua memiliki keinginan untuk
mendapatkan nilai yang baik, namun usaha yang dilakukan tidak hanya belajar,
melainkan dengan cara yang tidak baik misalnya. Itulah beberapa pandangan
masyarakat yang harus dibenahi.
Dari penyampaian cerpen ini, dapat diambil kesimpulan bahwa profesi guru itu
bukanlah sebuah profesi yang tidak terhormat, melainkan sebuah profesi yang
mulia.
2.
Nilai pendidikan
Cerpen ini memberikan pengajaran mengenai keberhasilan itu didapatkan tidak
secara instan melainkan melalui sebuah proses. Dimana ada keuletan, kerja keras,
keteguhan pendirian sebuah keberhasilan itu akan tercapai. Terutama dalam
menggapai cita-cita.
3.
Nilai filosofis
Cerpen ini memberikan pandangan kepada kita bahwa keberhasilan itu ditentukan
oleh diri kita sendiri. Orang lain hanya sebagai pembantu atau bahkan sebagai
kerikil kecil dalam kehidupan kita.