Bab II membahas kajian pustaka dan hipotesis tindakan, termasuk tujuan pembelajaran apresiasi sastra, hakikat kemampuan mengapresiasi cerita wayang, dan hakikat pemahaman unsur-unsur intrinsik cerita wayang seperti tema, tokoh, plot, setting, sudut pandang, gaya, dan pesan."
1. BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Pustaka
1. Tujuan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Pembelajaran apresiasi merupakan bagian integral dari
pembelajaran komponen pemahaman bahasa. Artinya, pembelajaran sastra
terpusat pada pemahaman,penghayatan, dan penikmatan atas karya sastra.
Prinsip- prinsip pembelajaran apresiasi sastra yang perlu diperhatikan
sebagai berikut :
a. Pembelajaran sastra dapat meningkatkan kepekaan rasa terhadap
budaya bangsa, khususnya bidang kesenian.
b. Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan
keterampilan pengajaran karya estetis melalui bahasa.
c. Pembelajaran sastra bukan merupakan pengajaran sejarah sastra,
aliran, dan teori tentang sastra.
d. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran untuk memahami
nilai kemanusiaan dari karya-karya sastra ( Ambang, 1999:28 ).
2. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita wayang
Kemampuan adalah kesiapan mental dan intelektual baik berwujud
kematangan sikap dan pengetahuan maupun keterampilan yang digunakan
untuk menemukan kebutuhan belajar ( Tanuwijaya , 1996 : 8 ). Apresiasi
adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh sungguh sehingga
10
2. menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Aminuddin, 1987 :
35).
Kemampuan mengapresiasi adalah kesiapan mental dan intelektual
baik berwujud kematangan sikap dan pengetahuan maupun keterampilan
yang digunakan untuk menghargai , memahami dan menghayati karya
sastra.
Cerita wayang adalah suatu cerita yang selesai dibaca dalam
waktu 10 sampai 20 menit. Jika ceritanya lebih panjang,mungkin sampai
½ atau 2 jam. Sumber cerita wayang dari kehidupan manusia sehari-hari,
tetapi tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya. Oleh karena yang
dipilih bagian-bagian yang penting saja, maka ceritanya menjadi padat dan
berisi ( F.X. Surana, 1982:72 ).
Jadi kemampuan mengapresiasi cerita wayang adalah kemampuan
untuk menghargai, memahami dan menghayati karya sastra berbentuk
cerita yang didalamnya terjadi pemusatan perhatian pada satu tokoh saja
yang ditempatkan pada situasi sehari-hari tetapi posisiya sangat
menentukan.
3. Hakikat Pemahaman Unsur-unsur Intrinsik Cerita wayang
Hakikat setiap karya sastra mengandung unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah hal-hal atau
unsur yang membangun karya sastra dari dalam . Sedangkan unsur
11
3. ekstrinsik mencakup faktor sosial, ideologi, politik , ekonomi, kebudayaan,
dan lain-lain. Berikut ini, dikemukakan beberapa pendapat pakar yang
nengemukakan tentang unsur pembangun karya fiksi.
Moody ( 1972:48 ) mengemukakan bahwa unsur intrinsik sebuah
cerita fiksi mencakup : setting, characters, narrative,narrative technique,
language, dan ritme. E. M. Forster ( 1970:75 ) menyebutkan adanya
tujuh unsur yang membangunnya : cerita, orang, alur, fantasi dan nubuat,
pola dan ritme. Anton Bakker ( 1979:17 ) berpendapat syarat-syarat
pembangun unsur fiksi mencakup : plot, setting, character, action, purpot,
theme, dan language.
Sedangkan Wellek & Warren ( 1966:216 ) berpendapat bahwa
unsur pembangun cerita fiksi meliputi : plot characterization , dan setting .
Murphy, menyebutkan lain, yakni : plot, setting, ways of setting a story,
characters and personalities, dan language. Dan Jakob Sumardjo ( 1979:7
) mengungkapkan unsur pembangun fiksi yang meliputi: tema, karakter,
plot, point of view, setting, dan suasana.
Banyak teori yang dapat dipertimbangkan untuk dipergunakan
dalam melakukan kajian dan apresiasi sebuah karya fiksi. Disini penulis
menggunakan teori struktural yang menekankan pada kajian hubungan
antar unsur pembangun karya fiksi yang bersangkutan.
Adapun kajian struktur formal cerita wayang dalam kajian
struktural secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut :
12
4. 1. Tema
2. Tokoh dan penokohan
3. Plot
4. Setting
5. Sudut pandang ( point of view )
6. Style ( gaya )
7. Pesan/amanat
Secara terperinci unsur-unsur tersebut akan dibicarakan satu
persatu dalam uraian berikut :
1. Tema
Tema dalam penulisan sebuah cerita wayang merupakan
pengejawantahan dari ide yang ditemukan oleh pengarangnya. Tema
karena itu sering kali diformulasikan sebagai ide, gagasan , pandangan
hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra cerita
wayang (Zainuddin Fanani, 2001 : 84 ). Karena karya sastra
merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, maka tema yang
diungkapkan di dalamnya bisa sangat beragam . Seberagam kejadian
yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tema sendiri selanjutnya
dapat berupa persoalan moral, agama, kehidupan sosial
kemasyarakatan, politik, hukum, keluarga, cinta dan masalah
kehidupan yang lain. Secara teoritik pengertian tema diformulasikan
sebagai makna yang terkandung dalam sebuah cerita.
13
5. 2. Tokoh dan Penokohan
Peristiwa dalam karya sastra (fiksi) seperti halnya peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-
pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan
tokoh ( Aminuddin, 1987:79 ).
Menurut Abdul Syukur Ibrahim ( 1987:77 ) dalam sebuah
karya sastra terdapat beberapa nama yang ditampilkan untuk
mendukung cerita tersebut. Nama-nama itu disebut tokoh dalam karya
sastra. Penampilan nama-nama tersebut tidak sama antara satu dengan
lainnya. Ada yang sengaja ditampilkan dengan jelas sekali , ada juga
yang ditampilkan secara sepintas saja.
Menurut Tarigan ( 1955:144 ) mengatakan bahwa tokoh adalah
orang yang sanggup memainkan gerak tertentu, gerak yang terarah
dan wajar, gerak yang logis.Dick Hartoko ( 1982:153 ) mengatakan
bahwa para pelaku dalam identitas mereka masing-masing disebut
sebagai tokoh.
Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi berfungsi untuk memainkan
cerita, di samping juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot,
tema yang sedang diangkat oleh pengarangnya. Semakin berkembang
aspek psikologisnya, maka semakin mengukuhkan pentingnya kajian
menarik berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam cerita
fiksi.
14
6. Menjadi alasan penting akan peranan tokoh-tokoh cerita
sebagai bagian yang ditonjolkan pengarang ( Jakob Sumardjo,
1986:63). Dari beberapa pendapat mengenai tokoh di atas, dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa tokoh merupakan orang atau pelaku
yang sanggup memainkan gerak tertentu, mendukung cerita tertentu
sehingga pelaku-pelaku tersebut mampu mengemban peristiwa dalam
cerita fiksi dan mampu menjalin suatu cerita.
Adapun klasifikasi para tokoh dalam cerita fiksi dapat
dikatagorikan dalam jenis-jenis sebagai berikut :
a. Tokoh utama dan tokoh tambahan
b. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
c. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
d. Tokoh statis dan tokoh berkembang
e. Tokoh tipikal dan tokoh netral
3. Plot ( Alur Cerita )
Alur cerita merupakan hal yang tidak bisa dipandang remeh
dalam kajian fiksi. Penguasaan akan alur menjadi kunci penting
karena hanya melalui alurlah, peristiwa dapat dirunut dan hubungan
antar tokoh dapat ditelusuri lebih intensif. Alur sendiri secara umum
dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat
dalam cerita (Zainuddin Fanani, 2001 : 93 ).
15
7. Alur berdasarkan urutannya dibagi menjadi dua yaitu :
a. Alur maju
Alur maju adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa
pertama , peristiwa kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai
cerita berakhir.
b. Alur mundur
Alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa
berakhir kemudian kembali pada peristiwa-peristiwa kedua, dan
seterusnya sampai kembali lagi pada peristiwa berakhir tadi.
4. Setting ( Pelataran )
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa
tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan
fungsi psikologis ( Aminuddin, 1987 : 67 ). Menurut Sudjiono ( 1983:
67 ) setting merupakan cara melukiskan tentang terjadinya peristiwa,
biasanya meliputi ilustrasi tempat, lingkungan, penempatan, waktu
sebagai latar cerita. Secara singkat Rene dan Austin ( 1989 : 290 )
mengungkapkan bahwa setting atau latar adalah lingkungan yang
berfungsi sebagai penentu pokok.
Ada juga pendapat yang mengungkapkan bahwa setting adalah
segala keterangan yang berhubungan dengan ruang, serta suasana
terjadinya peristiwa dalam cipta sastra umumnya ( Ibrahim, 1987 :
162 ).
Menurut Henry Guntur Tarigan ( 1985 : 136 ) setting
merupakan tempat dan ruang dalam suatu cerita.
16
8. Setting juga merupakan perlengkapan yang dipakai dalam
suatu aksi yang dapat berupa pemandangan, pegunungan, lautan luas,
tebing, dan sebagainya ( Soegiarta , 1984 : 131 ). Selain itu juga
dijelaskan, bahwa setting merupakan tempat tertentu, daerah tertentu,
orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi
lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu
( Sumardjo dan Saini ( 1986 : 76 ).
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan setting adalah latar peristiwa yang meliputi
tempat, lingkungan, penempatan dan waktu.
5. Sudut Pandang ( Point of view )
Yang dimaksud dengan sudut pandang ( pont of view ) ialah
sebuah cara cerita yang dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan
yang dipergunakan pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi ( Abrams, 1981:248 ). Sudut pandang oleh
Stevik ( 1967: 85 ) disamakan dengan apa yang disebutnya dengan
pusat pengisahan ( focus of narration ) .
Burhan Nurgiyantoro ( 1998:249 ) membedakan sudut
pengisahan ini ke dalam dua kategori: persona pertama, first-
person, gaya ber-aku, dan persona ketiga, third person, gaya ber-dia .
Macam sudut pandang , selanjutnya dikelompokkan ke dalam dua
kelompok. Pertama , sudut pandang persona ketiga: dia , yakni cara
pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
17
9. ketiga, gaya dia , narrator adalah seseorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau
kata gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang dia, dapat dibedakan
lagi ke dalam dia yang serba tahu, dan dia yang bersifat terbatas
selaku pengamat saja.
6. Style ( Gaya )
Gaya adalah ciri khas pengungkapan seseorang. Cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau
persoalan dan menceritakannya dalam sebuah cerita wayang , itulah
gaya seorang pengarang (Sumardjo dan Saini , 1986 : 92 ).
Dick Hartoko ( 1984 : 105 ) mengatakan bahwa gaya
merupakan segala sesuatu yang memberikan ciri khas kepada sebuah
teks, menjadikan teks itu semacam individu bila dibandingkan dengan
teks-teks lainnya.
Gaya merupakan cara berbahasa agak berbeda dengan yang
biasa dengan maksud untuk mencapai tujuan, baik tujuan estetis
maupun yang lain ( Soegiarta , 1984 : 47 ).
Selain pengertian-pengertian yang telah disampaikan oleh para
ahli di atas, ada sebuah teori lagi pengertian tentang gaya yang
lebihluas, tetapi mudah dipahami, yaitu gaya mengandung pengertian
cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin , 1987 : 72 ).
18
10. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa yang
dimaksud gaya ( di sini adalah penggunaan gaya bahasa pengarang )
yaitu cara khas pengarang dalam mengungkapkan gagasannya
dalam cerita dengan menggunakan media bahasa yang indah,
harmonis yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Pada dasarnya gaya bahasa dibagi atas empat bagian yaitu :
a. Gaya bahasa perbandingan
b. Gaya bahasa penegasan
c. Gaya bahasa pertentangan
d. Gaya bahasa sindiran.
Adapun uraian masing-masing pembagian gaya bahasa tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Gaya Bahasa Perbandingan
Yang termasuk dalam gaya bahasa perbandingan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Metafora
Metafora yaitu gaya bahasa yang memperbandingkan suatu
benda lain secara langsung . Biasanya disertai kata-kata:
bagaikan, laksana, seperti, dan sebagainya contohnya : Gadis itu
matanya seperti bintang timur, tetapi larinya bagai kilat.
19
11. 2) Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang melukiskan benda mati
yang diungkapkan seperti manusia atau benda hidup.
Contohnya : Malam itu angin pantai berbisik dan menyapaku
3) Metonimia
Gaya bahasa ini dipakai dengan menggantikan benda yang
dimaksud dengan sepatah kata, atau sebuah nama yang
berasosiasi dengan benda yang dimaksudkan.
4) Asosiasi
Asosiasi adalah gaya bahasa yang melukiskan terhadap benda
yang telah disebut sehingga menimbulkan asosiasi atau
pengertian yang jelas.
5) Eufimisme
Eufimisme merupakan gaya bahasa dengan menggantikan kata
yang disebut dengan kata lain yang lebih halus sehingga
terdengar lebih sopan.
b. Gaya Bahasa Penegasan
Yang termasuk dalam gaya bahasa penegasan adalah sebagai berikut :
1). Repetisi
Repetisi adalah penggunaan gaya bahasa dengan menggunakan
dan mengulang kata-kata tertentu beberapa kali.
20
12. 2). Hiperbola
Hiperbola yaitu gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan
keadaan secara berlebihan.
3). Pleonasme
Merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk memperjelas maksud
dengan menggunakan kata atau keterangan yang ber- ulang.
4). Litotes
Gaya bahasa ini digunakan untuk melukiskan hal sekecil-
kecilnya atau gaya pengeras untuk merendahkan diri.
Contohnya : Silahkan mampir ke gubugku.
c. Gaya Bahasa Pertentangan
Yang termasuk dalam gaya bahasa pertentangan antara lain adalah
sebagai berikut:
1). Paradoks
Paradoks adalah gayabahasa pertentangan yang rasanya hanya
sekilas saja, jika diteliti ternyata tidak bertentangan, sebab arah
yang dibicarakan berlainan.
2). Antitesis
Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata secara bersama-sama
yang saling bertentangan agar menarik perhatian.
d. Gaya Bahasa Sindiran
Yang termasuk dalam gaya bahasa sindiran antara lain adalah
sebagai berikut :
21
13. 1 ). Ironi
Ironi adalah gaya bahasa sindiran yang paling halus, kadang
yang disindir Sampai tidak terasa, caranya dengan meng-
gunakan kata-kata yang mengandung arti kebalikan dari yang
dimaksud.
2). Sinisme
Sinisme adalah gaya bahasa yang agak kasar disbanding ironi.
3). Sarkasme
Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang paling kejam dan
kasar sehingga sangat menyakitkan hati orang lain.
4). Alusio
Gaya bahasa ini adalah gaya bahasa sindiran dengan
menggunakan Peribahasa atau ungkapan yang sudah lazim.
7. Pesan atau Amanat
Unsur terakhir dalam kajian struktural adalah pesan atau amanat
yang dapat digali dari cerita fiksi. Pesan ini dalam kajiannya dapat
berupa :
a. Pesan moral yang disampaikan
b. Pesan religius
c. Nilai dan kritik sosial
d. Nilai pesan lain seperti nilai kekeluargaan, pendidikan, adat dan
sebagainya.
22
14. 4. Pembelajaran Apresiasi Sastra ( cerita wayang ) di Sekolah
Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan sastra
berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan
daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan
hidup. Untuk memahami dan menghayati karya sastra , siswa diharapkan
langsung membaca karya sastra bukan membaca ringkasannya
( Depdikbud, 1995:6 ).
Dari maksud tujuan pembelajaran sastra di SLTP tersebut,
diketahui bahwa muara akhir pengajaran sastra adalah terbinanya apresiasi
dan kegemaran terhadap sastra, yang didasari oleh pengetahuan dan
keterampilan di bidang sastra. Sastra adalah sesuatu untuk dipelajari dan
dinikmati. Oleh karena itu, bimbingan/ dasar-dasar penafsiran dalam
batas-batas tertentu perlu diberikan agar proses penikmatan menjadi lebih
terarah ( Wardani, 1981:10 ).
Dari pengamatan langsung di kelas dan hasil diskusi , diketahui
beberapa masalah yang berhubungan dengan pembelajaran sastra pada
umumnya, antara lain :
a. Kesulitan guru sastra dalam memperkenalkan karya sastra baik klasik
maupun modern, kemudian menghubungkan dengan karya sastra
kegemaran siswa , dengan cara yang wajar dan menyenangkan.
b. Kesulitan membicarakan sastra tanpa kehilangan sentuhan kepekaan
reaksi, memberikan kegairahan dalam membaca.
23
15. c. Kesulitan menolong siswa bereaksi secara perorangan, dengan
kehalusan dan kerumitan yang berkembang, dan tidak hanya
bergantung pada kedewasaan dan kematangan persepsi guru atau
kritikus sastra.
5. Pengertian Model Cooperative Learning
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor
pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan
kehidupan yang cerdas, damai, terbuka,dan demokratis. Oleh karena itu,
pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai
melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu
pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia
Indonesia. Untuk mencapai itu, pendidikan harus adaptif terhadap
perubahan zaman.
Dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang
perlu dosoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas
pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran. Kurikulum
pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial,
relevan, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan
kemajuan teknologi. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk
meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Dan secara mikro, harus
ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas ,
24
16. yang lebih memberdayakan potensi siswa. Ketiga hal itulah yang sekarang
menjadi fokus pembaruan pendidikan di Indonesia.
Model pembelajaran cooperative learning merupakan model
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara bersama-sama atau secara
bergotong -royong. Dengan kata lain, segala tugas-tugas yang diberikan
guru dilakukan secara gotong -royong. Oleh karena itu, model
pembelajaran ini disebut juga model pembelajaran gotong- royong
Anita Lie ( 2000:28 ) menyatakan bahwa model pembelajaran
cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar ala kelompok.
Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang
membedakan dengan pembagian kelompok dilakukan asal-asalan.
Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan
memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.
Ada beberapa hal positif dengan penerapan model pembelajaran
ini, yaitu : semua anggota kelompok bertanggung jawab atas
kelompoknya, masing-masing ingin memperlihatkan keberhasilannya,
siswa yang biasanya lemah menjadi terpacu dan merasa mindernya sedikit
demi sedikit hilang dengan diberikan tanggung jawab. Siswa yang
lebih pandai tidak merasa dirugikan karena harus saling membantu. Jadi
keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha anggotanya.
Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam model pembelajaran
gotong-royong ini harus menerapkan lima unsur berikut :
a. Saling ketergantung positif
25
17. b. Tanggung jawab perseorang
c. Tatap muka
d. Komunikasi antar anggota
e. Evaluasi proses kelompok
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran cooperative learning sangat bermanfaat jika diterapkan
secara maksimal. Namun selama ini masih banyak guru yang enggan
melakukannya karena beberapa pertimbangan. Bahkan ( Anita Lie,
2000:27 ) menyatakan bahwa keengganan guru menerapkan model
cooperative learning adalah:
a. Khawatir akan terjadi kekacauan di kelas
b. Siswa tidak belajar jika ditempatkan dalam satu grup
c. Banyak siswa tidak senang disuruh bekerjasama dengan orang lain
d. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa lain dalam
grup
e. Siswa yang kurang mampu merasa harus bekerja melebihi siswa yang
lebih pandai
f. Siswa yang tekun merasa temannya yang kurang mampu hanya nunut
saja pada hasil jerih payah mereka.
Pembelajaran dengan cooperative learning akan memberikan
manfaat bagi siswa dalam :
1. Meningkatkan kemampuannya untuk bekerjasama dan
bersosialisasi
26
18. 2. Melatih kepekaan diri, melalui variasi perbedaan sikap laku selama
bekerjasama
3. Upaya mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa
percaya diri
4. Meningkatkan motivasi belajar ( partisipasi dan minat ), harga diri
dan sikap laku yang positif
5. Meningkatkan prestasi belajarnya.
Dewasa ini telah banyak digunakan model cooperative learning .
Bahkan pembelajaran ini merupakan suatu model pembelajaran yang
banyak dikembangkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa model
cooperative learning tidak hanya uggul dalam membantu siswa untuk
memahami konsep-konsep, tetapi juga membantu siswa menumbuhkan
kemampuan kerja sama, berpikir kritis, dan mengembangkan sikap sosial
siswa . Disamping itu , keterampilan cooperative menjadi semakin penting
untuk keberhasilan dalam menghadapi tuntutan lapangan kerja yang
sekarang ini berorientasi pada kerja sama dalam tim. Karena pentingnya
interaksi dalam tim, maka penerapan stategi pembelajaran cooperative
dalam pendidikan menjadi lebih penting lagi.
Dalam cooperative learning terdapat bermacam - macam tipe,
diantaranya adalah STAD, Jigsaw,investigasi kelompok, pendekatan
struktural, Jigsaw merupakan salah satu tipe metode pembelajaran
kooperatif yang fleksibel. Sejumlah riset telah banyak dilakukan
berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar jigsaw. Riset
27
19. tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam
pembelajaran semacam itu memperoleh prestasi yang lebih baik, dan
mempunyai sikap yang lebih baik pula terhadap pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang dideskripsikan melalui:
a. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw
b. Aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
c. Aktifitas guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
d. Keterampilan kooperatif siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw
e. Respon siswa dan kesan guru terhadap pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw.
Adapun langkah-langkah teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
a. Tahap Persiapan
1) Membuat beberapa perintah yang memuat isi pesan sesuai dengan
topik bahasan secara berlainan yang jumlahnya sebanyak anggota
dalam setiap kelompok. Untuk memudahkan setiap penilaian
tindakan kelas dapat dibuatkan satu perintah atau lebih sesuai
selera. Kemudian menggandakan perintah tersebut sebanyak
kelompok yang akan dibuat dalam satu kelas.
2) Membuat tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa secara
kelompok setelah memahami informasi . Tugas-tugas yang
dimaksud
28
20. harus dapat diselesaikan oleh siswa dengan memperhatikan perintah
yang ada.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Tahap Kooperatif
a) Siswa dibagi kedalam kelompok kecil yang beranggotakan 6-7
orang
b) Guru membagikan soal yang berisi perintah pada kartu
c) Guru menugaskan setiap kelompok untuk membagi
tanggungjawab dalam memahami soal yang ada.
2) Tahap Ahli
a) Guru menugaskan kepada siswa dari setiap kelompok yang
mendapat tugas untuk memahami soal serta membuat
kelompok baru
b) Dalam kelompok baru tersebut siswa diajak belajar bersama
untuk menjadi tim ahli dalam bidang informasi tentang soal
yang menjadi tugasnya
c) Guru mengarahkan kepada siswa untuk merencanakan
bagaimana caranya menyampaikan informasi kepada anggota
kelompok kooperatifnya. Apakah kegiatan ini telah selesai
maka guru memerintahkan agar siswa kembali kekelompoknya
semula / kelompok kooperatif.
29
21. 3) Tahap Empat / Tahap Delapan Serangkai
Pada tahap ini dilakukan setelah siswa kembali ke kelompok
kooperatifnya, tetapi namanya berubah menjadi kelompok empat
atau delapan serangkai dimana setiap anggota telah
menjadi ahli informasi dalam bidangnya. Karakteristik pada
tahapan ini adalah
a) Secara bergiliran guru menugaskan pada setiap siswa dalam
setiap kelompok untuk meeenginformasikan isi pesan yang
telah dipahami dari soal kepada anggota kelompoknya yang
lain.
b) Setelah selesai guru memerintahkan kepada setiap kelompok
untuk menyelesaikan tugas yang telah dipersiapkan sekaligus
untuk melaporkan hasilnya.
B. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian merupakan penjelasan sementara atas
masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas, penulis berpedoman pada kemampuan
mengapresiasi cerita wayang melalui model cooperative learning type
Jigsaw.
Menyadari betapa besar manfaat mengapresiasi karya sastra dalam
pengajaran sastra, diharapkan guru dapat menggunakan berbagai model dan
teknik yang sesuai, sehingga siswa benar-benar mampu mengapresiasi karya
sastra cerita wayang bukan hanya teori saja.
30
22. Kemampuan mengapresiasi karya sastra khususnya cerita wayang
da[at ditingkatkan melalui model pembelajaran yang sesuai. Salah satu model
yang sesuai adalah model cooperative learning.
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa model
cooperative learning akan mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita
wayang siswa kelas IX-C SMP Negeri 2 Balerejo Madiun tahun pelajaran
2009/2010.
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini
adalah sebagai berikut : Dengan menggunakan model cooperative learning
dalam pembelajaran cerita wayang, maka kemampuan mengapresiasi cerita
wayang siswa kelas IX-C SMP Negeri 2 Balerejo Madiun tahun pelajaran
2009/2010 akan meningkat.
31