Modul ini membahas tentang alternatif penyelesaian sengketa ekonomi melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, dan litigasi. Kasus sengketa tanah antara warga dengan TNI AL di Pasuruan dianalisis berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Upaya relokasi warga ditolak karena lahan pengganti dianggap kurang.
HBL, 2, Intan Dwi Kumalagusti, Hapzi ali, Alternatif Resolusi Sengketa atau Resolusi Sengketa Ekonomi, Universitas Mercu Buana, 2018
1. MODULPERKULIAHAN
Hukum Bisnis
dan Lingkungan
Alternatif Resolusi Sengketa atau
Resolusi Sengketa Ekonomi
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
Ekonomi dan Bisnis Akuntansi S1
02
HBL Intan Dwi Kumalagusti
Abstract Kompetensi
Hak cipta adalah hak eksklusif yang
dimiliki oleh Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta. Hak cipta
dapat membatasi penggandaan
yang tidak sah atas suatu ciptaan
atau suatu karya.
Para pembaca diharapkan dapat
memahami serta mampu
menjelaskan definisi dan tujuan dari
adanya Hukum Perburuhan.
2. 2015
2 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
Pembahasan
Pengertian Resolusi Sengketa secara umum
sengketa menurut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti adalah pertentangan
atau konflik, konflik berarti adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-
kelompok, atau organisasi-organisasi terhadapat satu objek permasalahan
arti dari resolusi sengketa menurut para ahli. menurut Antonius (2002:175) konflik
adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat atau
mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun
dalam hubungan antar pribadi.
menurut pendapat Morton Deutsch, seorang pionirr pendidikan resolusi konflik yang
menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar dividu atau kelompok lebih
dipengaruhi oleh perbedaam daripada oleh persamaan.
dan menurut Mary scannell konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul
karena perbedaan repsepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.
Pengertian Resolusi Sangketa Ekonomi
Menurut winardi, tantangan atau konflik yang terjadi anatar individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
menurut ali achmad, sengketa adalah pertentangan anatara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbukan akibat hukum bagi keduanya.
dan sengketa dalam ekonomi dapat berbagai macam bentuk sengketa, seperti sengketa
perniagaan, perbankan, keuangan, pekerjaan, hak, dan lain lain.
Dalam penyelesaian sengketa perlu dipahami bahwa penyelesaian sengketa ekonomi
bertujuan untuk meghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat
yang mungkin akan terjadi akibat persengkataan tersebut. dalam menyelesaikannya
dapat berupa negosiasii, penyeledikan, mediasi, dan lain-lain.
Menurut pasal 33 ayat 1 ( perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan) dalam piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui
cara-cara seperti negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, atbitrase, pengadila, serta
badan badan-badan regional, penjelasannya ialah
- negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan
pada saat keduabelah pihal memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
- penyelidikan adalah merupakan kegiatan untuk mecari fakta yang dilakukan oleh pihal
ketiga
3. 2015
3 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
- mediasi adalah proses penyelsaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidakk memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
- konsiliasi adalah usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk
mecapai persetujuan dan meyelsaiakan perselisihan tersebut.
- atritrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihal
menyerahkan kewenangan kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk
memberikan keputusan
- dan dari penyelesaian diatas adapun cara lain yang dapat diguunakan yaitu melalui
proses litigasi yang merupakan mekanisme penyelsaian sengketa melalui jalur
pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum. lembaga penyelesaiaan
merupakan pengadilan umum dan pengadilan niaga.
4. 2015
4 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
Implementasi kasus dalam Sangketa Ekonomi
Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-AL Di
Pasuruan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok
Agraria
KASUS POSISI
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di
sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak,
menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL
yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang
tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa
Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang,
Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo. Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66
juta dan rencananya digunakan untuk pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang
terlengkap dan terbesar. Karena belum memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut
dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185 keluarga prajurit. Kemudian pada
1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984 yang
menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk
memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan
memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja. Upaya-upaya penyelesaian
sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat
terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas
3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah
dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan
mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan pemukiman
kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan
mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah
relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi
per KK. Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran
jalan pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu,
warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.
Gugatan itu ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil
dalam sidang 12 Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah
hingga berujung pada bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum
persidangan itu, yakni pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik
meresmikan Prokimal sebagai pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang
berjumlah sekitar 5.700 keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman. “Sesuai
pesan Panglima TNI, 2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan tempur
untuk meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga, karena ada
niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di hadapan
warga,” kata Laksda Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai Puslatpur. Janji
untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan kepada
5. 2015
5 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur. “Sesuai
Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702 rumah
direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi sekaligus
bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya relokasi,
TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,” tandas
Moekhlas Sidik didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri kepada wartawan seusai
bertemu dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk
pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat tidak
resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya keputusan
hukum atas tanah yang dimilikinya. Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif
Pemkab Pasuruan, bahkan Pemkab mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke
pemerintah pusat ditambah dengan anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan. Meski
TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun para
kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan lebih
dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk
memenuhi kebutuhan warga. Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah
dengan jalan damai itulah, tiba-tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu
(30/5), yang menyebabkan empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka. Sengketa
masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan bukan hanya terjadi di
lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil, juga terjadi kasus sengketa tanah
serupa antara warga dengan TNI Angkatan Udara (AU). Namun dalam kasus Raci ini,
pihak TNI AU telah memberikan lampu hijau untuk pengelolaan lahan dengan porsi
60:40 untuk TNI AU dan warga Desa Raci.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi
semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya.
Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang
bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber
agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang
terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun
tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan
massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap
menanggung akibat yang paling berat. Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini,
kiranya bukan sekadar desas-desus jika ada cerita, negara justru kerap bersekongkol
dengan para pemilik modal. Rakyat cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi
terwujudnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto
tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya
tinggal memberinya shock therapy dengan teror, intimidasi, dan tindakan refresi. Cerita
semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di alam
keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk
intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap terjadi
dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya. Sebut saja,
6. 2015
6 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh
telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus penangkapan
dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh
sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006. Padahal, Tap MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah
mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah
salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan
sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh
oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu
pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa
masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu
dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus sengketa
tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak
memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya.
Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah yang
mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun. Didalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub
satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah
serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu
dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal
(sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah,
terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti
lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal
melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali
sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang
mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun
kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur). Dari hal tersebut setidaknya
ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu : a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang
tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.
b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah
menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal
ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling
berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang
cenderung kapitalistik dan liberalistik.
c) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure),
boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar,
karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah
tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba
memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai
7. 2015
7 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala
muncul sengketa.
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-
masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang
tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut
dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri
tentunya. Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme
khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian
Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang
pernah diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk
menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar
dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus
sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya
bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan
penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, sampai hari ini barangkali masih hanya sebatas retorika. Yang kerap terjadi
justru sebaliknya dimana rakyat yang kehilangan kemakmuran sebesar-besarnya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya
merupakan konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar
kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun
melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu
yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan
penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reforma agraria
yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria
secara serius.
Cara penyelesaian
8. 2015
8 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,
masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap
berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian
sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini
permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya
dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup
mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke
pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan
membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan
pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan
penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
9. 2015
9 Nama Mata Kuliah Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Nama Dosen Penyusun http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
https://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/analisis-hukum-terhadap-kasus-sengketa-
tanah-proyek-pemukiman-tni-al-di-pasuruan-dihubungkan-dengan-undang-undang-
nomor-5-tahun-1960-tentang-pokok-agraria/
https://aliesaja.wordpress.com/2010/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi/
http://tugaskuliah-adit.blogspot.com/%20Penyelesaian-%20Sengketa-
%20Ekonomi.Html
https://kbbi.web.id/Sengketa