Buku Tergantung Guru karya I Nyoman Tingkat merupakan kumpulan 50 esai yang membahas tiga tema utama: pendidikan, budaya, dan sastra. Tulisan-tulisan tersebut mendorong guru untuk terus belajar dan menulis sebagai tanggung jawab intelektual. Guru diharapkan memiliki kritisisme dan kemandirian agar tidak tergantung pada orang lain dalam menjalankan peran sebagai agen perubahan.
1. Catatan atas buku Tergantung Guru
karya I Nyoman Tingkat
Oleh I Made Sujaya
2. Identitas Buku
Judul Buku: Tergantung
Guru
Penulis: I Nyoman Tingkat
Penerbit: Arti Foundation
Tahun: 2009
Tebal: viii + 207 halaman
3. Pengantar
Tergantung Guru (TG) mengingatkan kepada buku
Tergantung Pada Kata karya A Teeuw (1980).
TG merupakan buku kedua. Buku pertama, Berguru
dalam Jejak Sastra.
Kumpulan tulisan/esai: 50 tulisan
Sebagian pernah dimuat di Bali Post (2002-2008),
sebagian masih berupa tulisan tercecer yang belum
dipublikasikan.
4. Pengantar
Risiko buku kumpulan tulisan: tulisan tidak utuh dan
benang merah antartulisan sulit diuraikan; rentang
waktu penulisan yang lama; latar belakang penulisan
yang berbeda.
Tiga tema bahasan:
1. Pendidikan (20 tulisan)
2. Budaya (16 tulisan)
3. Sastra (14 tulisan)
Ketiga tema tidak terpisahkan, saling mengisi, saling
melengkapi.
6. Guru Agen Perubahan
Guru faktor penting pembangunan bangsa
Dengan guru yang cukup secara kuantitas dan
kualitas, berbagai bidang bisa digarap secara
maksimal
Masa depan bangsa berada di tangan guru (W.D.
Duarsa)
Kaisar Jepang pada kesempatan pertama
memerhatikan guru ketika kalah dalam Perang Dunia
II karena guru adalah kunci dalam pembangunan
bangsa
7. GURU Agen Perubahan
Sayangnya tak semua guru menyadari posisinya
sebagai agen perubahan
Guru bukan sekadar profesi tetapi panggilan hati:
bukan hanya ketajaman intelektual dan olah pikir
tetapi juga kebeningan hati, keheningan jawa, olah
rasa, olah batin
Tradisi Bali (Hindu): guru = berat (guru laghu dalam
kekawin)
Catur Guru: Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru
Wisesa, Guru Swadhyaya
Ibu Alam juga guru. Segalanya adalah guru
8. Guru yang tak putus berguru
Ilmu berasal dari masyarakat dan dikembalikan
kepada masyarakat
Tiada kata henti untuk berguru, untuk belajar
Menjadi guru tak hanya di ruang kelas terbatas, tetapi
juga di luar ruang kelas yang tak terbatas
Beguru kapan saja, di mana saja
10. Guru menulis
Dengan menulis, guru tak hanya menjadi guru di
ruang kelas terbatas, tetapi juga di luar ruang kelas
yang tanpa batas= guru loka, guru masyarakat
Dengan menulis, guru telah membangun monumen
diri dan berumah dalam sejarah. Pemikirannya akan
terus dibaca dan disimak orang sehingga dia menjadi
guru yang melampaui batas waktu, malampaui masa.
11. Guru menulis
Descartes: Cagito ergo sum (Aku berpikir, karena itu
aku ada).
Scholes: Scribo ergo sum (Aku menulis, karena itu
aku ada)
Menulis bagi guru tak hanya untuk sertifikasi atau
naik pangkat.
Menulis bagi guru merupakan tanggung jawab
profesional,intelektual dan moral.
14. Guru menulis
Menulis juga untuk mengukur daya kritis guru.
Daya kritis prasyarat mewujudkan gagasan guru
sebagai agen perubahan.
Dalam TG, daya kritis Nyoman Tingkat cukup tinggi.
Tak hanya terhadap bidang pendidikan, tetapi juga
sosial dan budaya.
Tulisan-tulisannya yang kritis menunjukkan Nyoman
Tingkat bukanlah guru yang tergantung.
Dia memiliki kemandirian dan merayakan kebebasan
dalam memaknai apa yang tersaji dalam hidup dan
kehidupan.
15. Kritis-Etis Nyoman Tingkat
Namun, dengan UAN yang tetap diberlakukan hak-
hak guru sebagai penilai diambil alih. Hak-hak guru
dan siswa dengan kearifan dan keunikan yang
melingkupinya dimatikan sehingga yang tersisa
kegelisahan demi kegelisahan yang membuat luka
kian menganga di jagat pendidikan kita. Dalam
konteks inilah puisi Chairil Anwar berjudul “Selamat
Tinggal” pantas direnungkan.”Aku berkaca/ Bukan
buat ke pesta/ Ini muka penuh luka/ Siapa punya?/”
(halaman 54)
16. Kritis-etis nyoman tingkat
Semoga PKB menjadi pesta rakyat, bukan sekadar
pesta pejabat. Jikalau pernyataan ini sebuah kritik,
maka saya harus berguru pada almarhum Hamid
Jabbar dalam sebuah pantun. “Bukan titik sembarang
titik/ Titik Puspa nama penyanyinya/ Bukan kritik
sembarang kritik/ Kritik tercipta karena cinta”
(hal.129).
17. Pesan dalam TG
Guru tak boleh berhenti berguru, kapan saja, di mana saja,
kepada apa saja.
Guru jangan tergantung, tetapi mesti mandiri dan
memiliki sikap dalam menjalani pilihannya sebagai guru.
Tak tergantung:
- Menulis tak tergantung sertifikasi/naik pangkat
- Mengajar-mendidik tak tergantung ruang kelas, tetapi
justru harus menyelami ruang kelas terbatas dan ruang
kelas tak terbatas (masyarakat)
- Tumbuhkan daya kritis agar tak selalu tergantung
kepada pemikiran orang sehingga punya kemandirian
secara intelektual.
18. Catatan Kelemahan
Buku kumpulan tulisan cenderung tidak utuh dan
sering tidak berkaitan.
Penting disarankan menulis secara utuh dan tuntas.
Misalnya, menulis tentang GURU MENULIS.
Kesalahan penulisan tanda baca: tanda koma (,) yang
banyak terjadi.
19. rekomendasi
Buku TG layak dibaca guru, pelajar, pemerhati
pendidikan dan lainnya.
Pengambil kebijakan perlu membaca buku ini karena
pemikiran Nyoman Tingkat cukup relevan dengan
kondisi dunia pendidikan saat ini.
Guru-guru lain mestinya jengah dan mulai menulis,
menulis dan menulis.