1. 1
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
Aneurisma adalah dilatasi yang abnormal dari arteri, dan di dalam otak pada
umumnya muncul di tempat percabangan dari pangkal arteri1. Angka kejadian
aneurisma intracranial pada populasi umum telah dilaporkan antara 1,5 sampai 8 %.
Sedangkan penelitian lainnya di Amerika Serikat pada studi autopsi menunjukkan
prevalensi aneurisma intrakranial pada populasi dewasa antara 1 sampai 5 % (dapat
diartikan sekitar 10 juta sampai 12 juta orang di Amerika Serikat menderita aneurisma
intrakranial), dimana kebanyakan merupakan aneurisma kecil, diperkirakan 50 sampai
80 persen dari semua aneurisma tidak pecah selama kehidupan seseorang 2,3.
Aneurisma intrakranial adalah kondisi yang relatif umum, seringkali
asimptomatik sampai terjadinya pecah aneurisma. Perdarahan subarachnoid
dihubungkan dengan pecahnya aneurisma yang berpotensi menyebabkan kematian
dengan rata-rata kematian lebih dari 50%4. Terdapatnya aneurisma pada perdarahan
subarachnoid akan memunculkan perdarahan ulang. Dua sampai empat persen
perdarahan ulang dalam 24 jam pertama setelah waktu awal serangan dan hampir 15
sampai 20 % perdarahan terjadi pada waktu minggu kedua dalam dua minggu
pertama. Seseorang dengan aneurisma intrakranial dengan simptom kompresi seperti
kelumpuhan nervus kranial atau disfungsi dari batang otak sebaiknya dievaluasi dan
diterapi dengan segera sebab akan meningkatkan resiko ruptur (6 % per tahun) pada
2. 2
beberapa sub grup. Resiko ruptur dari aneurisma intrakranial yang belum berdarah
tetapi ditemukan secara kebetulan kurang pasti dan aneurisma intrakranial pada
umumya dikelola secara elektif. Pada masa lalu, aneurisma intrakranial yang tidak
rupture diperkirakan mempunyai resiko yang tinggi dengan diperkirakan akan terjadi
resiko perdarahan kurang lebih 1 sampai 2 persen. Sebelum tersedianya koil yang
terlepas, aneurisma intrakranial paling sering dilakukan operasi klipping untuk
mencegah terjadinya ruptur5.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPIDEMIOLOGI
Pada otopsi di Amerika Serikat, kejadian aneurisma intrakranial ditemukan
pada sekitar 1% dari populasi. Sedangkan insidensi perdarahan subarachnoid yang
disebabkan oleh aneurisma yang ruptur sekitar 6-16% per 100000 orang per tahunnya.
Secara internasional, insidensi perdarahan subarachnoid karena aneurisma bervariasi,
berkisar 3,9 – 19,4 per 100000 orang, dengan tingkat kejadian paling tinggi
dilaporkan terjadi di Finlandia dan Jepang.
Aneurisma lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan pada laki-laki,
dengan perbandingan 3:2, pada usia lebih dari 40 tahun. Namun, pada usia kurang
dari 40 tahun kejadian aneurisma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita.
Aneurisma saccular pada arteri communicans anterior atau arteri serebri
anterior lebih sering terjadi pada laki-laki, sementara persambungan antara arteri
carotis interna dengan arteri communicans posterior adalah lokasi tersering aneurisma
saccular pada wanita.
3. 3
Aneurisma raksasa (Giant Aneurysm) tiga kali lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Sementara prognosis perdarahan subarachnoid karena
aneurisma yang ruptur lebih buruk pada wanita.
Delapan puluh lima persen aneurisma ditemukan pada circulus willisi. Arteri
komunikan anterior merupakan tempat tersering terjadinya aneurisma (30-35 %),
diikuti oleh arteri karotis interna (ICA) (30%), termasuk di dalamnya arteri
komunikans posterior, bifurkasio karotis dan aneurisma pada arteri ophtalmika, dan
arteri serebri media (MCA) (22%). Aneurisma pada sirkulasi posterior kurang lebih 8
sampai 10 persen dari seluruh aneurisma dan basilar tip adalah tempat awal dari
aneurisma. Pada usia pediatrik, penelitian aneurisma jarang dilakukan. Pada 20–30 %
pasien aneurisma adalah multipel.
KLASIFIKASI
Terdapat empat tipe dasar dari aneurisma intrakranial yang didasarkan pada
etipatogenesis dan histologi7, yaitu :
1 Saccular
Sembilan puluh persen aneurisma intrakranial adalah saccular atau Berry Shaped
dan berkembang menjadi kantung yang menonjol dengan dinding yang tipis dari
arteri circulus willisi atau dari cabang arteri yang besar. Secara patologi,
aneurisma terdiri dari sebuah kantong yang terbentuk karena defisiensi kolagen
pada tunika muskularis yang keluar, selanjutnya sebagai defek yang terlokalisir di
dalam lapisan elastik internal. Tunika muskularis dan lapisan internal berakhir
pada leher aneurisma dan dinding aneurisma yang sangat tipis yang hanya terdiri
dari tunika intima dan tunika adventisia.
Berdasarkan ukuran aneurisma, aneurisma saccular dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe, yaitu : kecil ( <10mm), besar ( 10-25 mm), dan giant atau sangat besar
( >25mm). Berdasarkan lebar leher aneurisma dikelompokkan menjadi aneurisma
leher kecil ( <4mm) dan aneurisma leher besar ( >4mm).
Gambaran anatomi ini sangat penting dalam pendekatan terapi dan resiko
intraoperasi7. Hanya cabang distal dari arteri serebral yang umumnya terpengaruh
dan aneurisma menyatu dan eksentrik tanpa adanya leher yang merupakan
karakteristik dari aneurisma saccular9.
2 Fusiform
Aneurisma fusiform adalah arteri yang berlebihan, disebabkan oleh aterosklerosis
dan tipe yang sering terjadi pada usia lanjut. Aneurisma ini dapat menyebabkan
efek massa atau iskemi, dimana pada umumnya tidak pecah.
3 Dissecting
4. 4
Dissecting aneurisma jarang terjadi dan pada pasien yang datang dengan SAH
biasanya mempunyai sedikit riwayat dan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi
perdarahan ulang8.
4 Mikotik
Mikotik aneurisma sangat jarang terjadi dan terbentuk karena adanya infeksi pada
dinding arteri yang seringkali disebarkan oleh bakteri endokarditis.
Gambar 1. Bentuk Aneurisma
Kiri : aneurisma saccular, aneurisma fusiform, aneurisma dissecting
Kanan : aneurisma mikotik
PATOGENESIS
Sedikit yang diketahui mengenai penyebab aneurisma intrakranial atau proses
terbentuknya aneurisma, perkembangan dan terjadinya pecah aneurisma, meskipun
hipertensi dan merokok memicu perubahan vaskuler dan dianggap mempunyai peran
yang utama. Terdapat tiga teori yang diakui untuk menerangkan patogenesis dari
aneurisma, yaitu :
(1) Teori Kongenital
Awalnya aneurisma dianggap merupakan kelainan kongenital karena adanya
temuan defek perkembangan pada tunika media. Defek ini terjadi pada apeks
bifurkasio pembuluh darah sama dengan aneurisma. Tetapi ditemukan juga
pembuluh darah ekstrakranial sama seperti pembuluh darah intracranial;
aneurisma sakular dengan kontras jarang ditemukan diluar calvaria. Defek tunika
media sering ditemukan paa anak-anak, namun aneurisma jarang pada kelompok
umur ini.
(2) Teori Degeneratif
5. 5
Teori yang berkembang saat ini yaitu bahwa defek pada lamina elastika interna
merupakan hal yang penting pada pembentukan aneurisma dan ini kemungkinan
berhubungan dengan kerusakan atherosklerotik. Percepatan degenerasi pada
dinding arteri yang disebabkan oleh tekanan hemodinamik juga memainkan
peranan penting pada terbentuknya aneurisma pada dewasa. Aneurisma sering
terbentuk pada sisi dimana terjadi stress hemodinamik sebagai contohnya,
pembuluh darah hipoplastik kongenital menyebabkan aliran yang berlebihan pada
suatu arteri. Hipertensi juga berperan, lebih dari ½ pasien dengan ruptur
aneurisma memiliki bukti sebelumnya terjadi peningkatan tekanan darah
(terbentuknya aneurisma umum terjadi pada pasien dengan hipertensi karena
koarktasio aorta)
(3) Kombinasi dari keduanya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teori degeneratif memiliki beberapa
kelebihan bila dibandingkan dengan teori congenital, yaitu pemeriksaan arteri otak
pada neonatus tidak menunjukkan adanya aneurisma saccular, kebanyakan aneurisma
menjadi perhatian klinis pada usia 40 – 70 tahun, menunjukkan bahwa aneurisma
merupakan lesi yang didapat, serta insidensi aneurisma familial bersifat sporadik dan
jarang ditemukan.
Perkembangan dan pecahnya suatu aneurisma tergantung pada banyak faktor,
diantaranya: faktor geometrik seperti bentuk dan ukuran atau rasio tinggi atap dari
aneurisma dengan lebar leher; faktor biologi seperti penurunan konsentrasi dari
struktur protein pada matriks ekstraseluler pada dinding arteri antrakranial; dan faktor
hemodinamik, khususnya gaya tekan pada dinding.10
Tingginya angka mortalitas dihubungkan dengan pecahnya aneurisma
intracranial. Menentukan suatu aneurisma bisa pecah adalah suatu keputusan yang
penting dalam menentukan penatalaksanaan. Sebelum tahun 1998, beberapa
penelitian besar menemukan rata-rata ruptur dalam setahun sekitar 1,4 sampai 1,9
persen pada aneurisma intrakranial; pecahnya aneurisma akan lebih tinggi ketika
aneurisma dengan diameter lebih dari 10 mm, bersifat simptomatik atau lokasi
aneurisma berada pada sirkulasi posterior.11 Meskipun aneurisma yang besar
menunjukkan tingginya resiko untuk terjadinya ruptur, tetapi aneurisma yang kecil
tidak dapat diabaikan. Pada suatu penelitian dengan serial kasus pada 25 pasien,
aneurisma intrakranial dengan diameter kurang dari 5 mm terjadi pecah aneurisma
pada 5 pasien dan pada pasien dangan diameter aneurisma kurang dari 9 mm terdapat
11 yang mengalami pecah aneurisma. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan
merujuk ke bedah saraf diperlukan pada semua pasien dengan aneurisma
intracranial.12 Penemuan dari The International Study of Unrupturd Intracranial
Aneurysms (ISUIA) yang dipublikasikan pada tahun 1998, mendapatkan bahwa
aneurisma dengan diameter kurang dari 10 mm menpunyai rata-rata terjadinya ruptur
sebesar 0,05 persen dalam setahun tanpa adanya riwayat SAH; sedangkan rata-rata
6. 6
pecahnya aneurisma akan menjadi 10 kali lebih tinggi pada aneurisma dengan ukuran
yang lebih kecil pada pasien dengan riwayat SAH. Rata-rata pecah dalam setahun
pada aneurisma yang besar mendekati 1 persen.11
FAKTOR RESIKO
Sebuah review yang sistematik pada penelitian yang melibatkan kurang lebih
56000 pasien menemukan bahwa aneurisma intrakranial yang tidak pecah terjadi 3,6
sampai 6 persen pada populasi umum. Faktor keturunan dan faktor resiko yang
didapat berhubungan dengan terbentuknya aneurisma intracranial (tabel 1). Keluarga
dekat pada aneurisma intracranial dapat terjadi dengan atau tanpa riwayat penyakit
keturunan yang lain. Angka kejadian aneurisma intrakranial antara 8 sampai 9 persen
dengan dua atau lebih berhubungan dengan perdarahan subarachnoid atau karena
aneurisma. Anggota keluarga yang mempunyai aneurisma mempunyai resiko tinggi
untuk timbulnya perdarahan subarachnoid karena aneurisma.
Beberapa faktor keturunan pada jaringan penghubung dihubungkan dengan
terbentuknya aneurisma, dianggap sebagai akibat lemahnya dinding pembuluh darah.
Satu penelitian menemukan bahwa aneurisma dalam 10 sampai 15 persen pasien
dengan penyakit ginjal polikistik dengan kondisi autosomal dominan.
Meskipun sindroma marfan diidentifikasikan sebagai faktor resiko aneurisma,
penelitian terakhir menemukan bahwa tidak ada hubunngan yang bermakna. Koartiso
aorta, fibromuskular dysplasia dan pheukrositoma dihubungkan dengan aneurisma
intrakranial, kemungkinan disebabkan peningkatan tekanan darah yang menyebabkan
kondisi tersebut.
Data terbaru menunjukkan bahwa umur di atas 50 tahun, jenis kelamin
perempuan dan perokok merupakan faktor terjadinya aneurisma intrakranial. Sejak
1984 penggunaan kokain dihubungkan dengan pembentukan dan rupturnya
aneurisma. Hubungan ini diperkirakan disebabkan karena peningkatan turbulensi dari
aliran darah yang berubah-ubah, hipertensi yang tidak tetap. Pada sejumlah pengguna
kokain, aneurisma ditemukan secara bermakna pada pasien muda dengan diameter
pembuluh darah yang kecil. Infeksi dari kolonisasi bakteri dan jamur pada dinding
pembuluh darah, trauma dan neoplasma intrakranial atau emboli neoplastik
merupakan kasus yang jarang menyebabkan aneurisma intrakranial.
Tabel 1 Faktor Resiko Aneurisma Intrakranial
Faktor resiko keturunan Faktor resiko lainnya
Penyakit polikistik ginjal autosomal
dominan
Sindrom Ehler-Danlos tipe IV
Perdarahan teleanktasis herediter
Defisiensi α-antitripsin
Umur lebih dari 50 tahun
Perempuan
Perokok
Pengguna kokain
Infeksi pembuluh darah
7. 7
Koartiso aorta
Dysplasia fibromuskular
Pheokromositoma
Sindrom kelinefelter
Sklerosis tuberious
Sindrom noonan
Defisiensi α-glukosidase
Trauma kepala
Neoplasma intracranial atau emboli
neoplastik
Hipertensi
Alkohol
Pengunaan kontrasepsi oral
Hiperkolesterolemi
GAMBARAN KLINIS
Aneurisma intrakranial terbanyak merupakan asimptomatik dan tidak
terdeteksi sampai saatnya terjadi rupur, terutama pada aneurisma dengan ukuran yang
kecil. 10 Ketika pasien dengan aneurisma yang tidak pecah bisa menunjukkan gejala
seperti nyeri kepala, penurunan penglihatan perifer, kehilangan keseimbangan dan
koordinasi atau gangguan neurologis lainnya (tergantung dari lokasi aneurisma).
Sebuah catatan kasus dari 111 pasien yang dikirim dari pusat kesehatan tersier
pada penanganan aneurisma yang tidak ruptur menemukan bahwa 41 persen
aneurisma menunjukkan gejala (tabel 2). Paling banyak pada pasien ini adalah
gejalanya menetap selama dua minggu dan mungkin lebih pada pasien dengan lokasi
aneurisma yang besar pada sirkulasi posterior.11
Tabel 2 Gejala pada aneurisma yang tidak ruptur pada 111 pasien
Gejala Jumlah pasien
Akut
Nyeri kepala berat
Transient ischemia
Kejang
Kelumpuhan nervus okulomotor atau hilang penglihatan
Kronik
Karakter yang berbeda dari nyeri kepala sebelumnya
Hilang penglihatan yang kronis
Neuropati optic unilateral
Kelemahan motorik atau neuropati cranial tidak termasuk mata
Nyeri wajah
7
7
3
2
18
10
7
4
3
Gambaran klinik suatu aneurisma dapat berupa efek kompresi massa,
penyebab transient iskemik serebral (thrombus/emboli), perdarahan karena ruptur,
ataupun asimptomatik. Sebanyak 90% pasien dengan aneurisma biasanya terjadi
8. 8
perdarahan subarachnoid dan 7% memiliki gejala atau tanda dari kompresi struktur
terdekat. Sisanya ditemukan secara kebetulan. Gejala dini suatu aneurisma dapat
berupa adanya nyeri kepala yang terjadi tiba-tiba, terutama pada kasus pecahnya suatu
aneurisma.
1. Ruptur Aneurisma(90%)
Kejadian ruptur paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun. Kejadian pecahnya
suatu aneurisma dapat terjadi pada semua usia, namun jarang terjadi pada anak-
anak.
Ruptur aneurisma dapat menyebabkan perdarahan intraparenkim (lebih sering
pada aneurisma distal), perdarahan intraventrikular (13-28%), atau subdural
hematom (2-5%).
Gejala suatu aneurisma yang pecah sangat bervariasi, tergantung pada keparahan,
pembuluh darah mana yang ruptur, serta lokasi perdarahan. Gambaran klinik
perdarahan subarachnoid meliputi onset yang mendadak dari nyeri kepala hebat,
diikuti penurunan kesadaran, mual, muntah, kaku kuduk, fotofobia, defisit
neurologi fokal, dan epilepsi. Temuan klinik tergantung tingkat keparahan
perdarahan subarachnoid, adanya hematom intraserebral dan lokasinya, ada
tidaknya hidrosefalus, dan waktu pemeriksaan berhubungan dnegan perdarahan.
Sejak keparahan perdarahan berkaitan dengan keadaan klinis pasien dan dalam hal
ini akhirnya berhubungan dengan hasil akhir perawatan, banyak peneliti yang
mengelompokkan pasien aneurisma ke dalam 5 level seperti oleh Hunt dan Ness
yang telah dipergunakan secara luas oleh klinisi
Grade Kondisi Klinik
0 Aneurisma yang tidak pecah
1 Asimptomatik atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan
2 Kaku kuduk dan sakit kepala sedang/berat; cranial neuropathy, tidak
ada defisit fokal
3 Delirium, bingung, atau defisit fokal ringan
4 Stupor, hemiparesis sedang sampai berat
5 Koma dalam, postur deserebrasi
Tabel 3. Skala tingkat keparahan perdarahan sub arachnoid Hunt dan Ness
Akhir-akhir ini ada juga skala baru yang telah disusun dan diakui oleh World
Federation of Neurosurgeont (WFN), yang melibatkan Glasgow Coma Scale.
Skala ini berhubungan dengan hasil akhir dan menyediakan indeks prognostik
bagi para klinisi. Sebagai tambahan, skala ini dapat mencocokkan kelompok
pasien untuk membandingkan efek dari teknik penanganan yang berbeda.
WFN Grade GCS Defisit Motorik
I 15 Tidak ada
9. 9
II 14 – 13 Tidak ada
III 14 – 13 Ada
IV 12 – 7 Ada/tidak ada
V 6 – 3 Ada/tidak ada
Tabel 4. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN
Ada juga pengelompokan berdasarkan hasil temuan CT Scan seperti yang
ditunjukkan pada tabel berikut.
Grade Temuan CT Scan
1 Tidak ada darah yang terdeteksi
2 Lapisan tipis perdarahan di subarachnoid
3 Thrombus terlokalisir atau lapisan tebal perdarahan subarachnoid
4 Perdarahan intraserebral atau intraventrikel dengan/tanpa perdarahan
difus di subarachnoid
Tabel 5 skala tingkat keparahan subarachnoid berdasarkan temuan CT Scan
2. Kompresi kantung aneurisma (7%)
Suatu aneurisma yang besar dapat menekan bangunan di sekitarnya atau yang
dilaluinya, sehingga dapat menimbulkan gambaran klinis yang sesuai juga,
diantaranya :
Aneurisma arteri carotis interna (atau arteri communicans anterior) dapat
menekan tangkai pituitary atau hypothalamus, menyebabkan hypopituitarysm;
bila menekan nervus opticus atau kiasma opticum, menyebabkan defek
lapangan pandang
Aneurisma arteri basilaris dapat menekan midbrain, pons, atau nervus III,
menyebabkan kelemahan tungkai atau gangguan pergerakan bola mata
Aneurisma intracavernosa dapat menekan nervus III, IV, VI, V cabang
pertama dan ganglion trigeminalis, menyebabkan oftalmoplegi dan nyeri fasial
yang menyerupai neuralgia trigeminalis
Aneurisma arteri communicans posterior dapat menyebabkan nervus III palsy
(hal ini merupakan indikator adanya perluasan aneurisma dan perlu
penanganan darurat)
Aneurisma dapat menekan jaringan otak di sekitarnya, seperti hipofisis,
menimbulkan tanda deficit neurologis fokal, kejang, gejala
neuroendokrinologik, atau pembesaran sella tursica
3. Thrombosis
Thrombosis pada aneurisma seringkali mengirimkan emboli ke daerah distal
arteri, menyebabkan transient iskemik attack atau infark. Pada beberapa pasien
yang tidak ditemukan perdarahan subarachnoid, menunjukkan gejala sakit kepala
tanpa kaku kuduk yang mungkin berhubungan dengan pembesaran aneurisma,
thrombosis atau iritasi meningeal
10. 10
4. Penemuan yang tidak disengaja (3%)
Angiografi dapat menunjukkan hal yang berbeda selain perdarahan subarachnoid
seperti penemuan penyakit iskemik atau neoplastik, yang pada awalnya tidak
dapat mendeteksi suatu aneurisma.
Gejala yang berhubungan dengan aneurisma, antara lain :
Nyeri kepala
Karakteristiknya adalah nyeri hebat dengan onset akut, dimana pasien sering
mendeskripsikannya sebagai nyeri kepala terhebat dalam hidupnya. Perluasan
aneurisma, thrombosis, atau intramural hemorrhage dapat menyebabkan nyeri
kepala subakut, unilateral, periorbital.
Nyeri pada wajah
Terutama muncul pada aneurisma cavernous-carotid
Perubahan tingkat kesadaran
Peningkatan tekanan intracranial yang mendadak sehubungan dengan rupture
aneurisma dapat menurunkan perfusi serebral, sehingga menyebabkan syncope
(50% kasus). Bingung atau penurunan kesadaran ringan mungkin juga dapat
terjadi.
Kejang fokal atau umum
Terjadi pada 25% kasus perdarahan subarachnoid karena rupture aneurisma,
dengan kejadian paling sering terjadi selama 24 jam pertama
Manifestasi iritasi meningeal
Seperti nyeri leher atau kaku kuduk, photophobia, sonophobia atau
hyperesthesia dapat terjadi pada perdarahan subarachnoid karena rupture
sneurisma
Gangguan otonom
Akumulasi agen-agen yang mendegradasi darah pada subarachnoid dapat
menimbulkan demam, nausea atau vomitus, berkeringat, kepanasan atau
aritmia jantung.
Defisit neurologis fokal
Perdarahan atau iskemik dpat bermanifestasi sebagai defisit neurologis fokal
seperti kelemahan, kehilangan hemisensorik, gangguan bahasa, neglect,
kehilangan ingatan, gangguan olfaktorius. Gejala fokal sering terjadi pada
giant aneurisma.
Gangguan visual
Misalnya pandangan kabur, diplopia, defek lapangan pandang
Disfungsi respirasi atau instabilitas cardiac
Merupakan tanda kompresi batang otak
Disfungsi hormonal
Aneurisma intrasellar dapat mengganggu fingsi hipofisis
11. 11
Epistaksis
Biasanya berhubungan dengan aneurisma traumatik
Sindrom spesifik berkaitan dengan lokasi terjadinya aneurisma, misalnya :
Arteri communicans anterior
Merupakan tempat tersering perdarahan subarachnoid karena aneurisma
(34%). Biasanya aneurisma pada daaerah ini tersembunyi sampai aneurisma
tersebut ruptur. Tekanan suprachiasmatik dapat menyebabkan defek lapangan
pandang, abulia atau akinetik mutism, sindrom amnestia, atau disfungsi
hypothalamus. Defisit neurologis aneurisma yang pecah dapat merefleksikan
perdarahan intraventrikuler (79%), perdarahan intraparenkim (63%),
hidrosefalus akut (25%), atau stroke lobus frontal (20%)
Arteri serebri anterior
Aneurisma pada pembuluh ini merupakan sekitar 5% dari keseluruhan
kejadian aneurisma. Kenyakan asimptomatik sampai mereka ruptur. Meskipun
demikian, sindrom lobus frontal, anosmia, atau defisit motorik mungkin saja
muncul
Arteri serebri media
Aneurisma pada arteri ini sekitar 20% dari kasus aneurisma, secara khusus
sering terjadi pada divisi pertama atau kedua fissure sylvia. Afasia,
hemiparese, kehilangan hemisensorik, anosognosia, ataupun defek lapangan
pandang dapat terjadi
Arteri communicans posterior
Aneurisma pada arteri ini merupakan 23% dari kasus aneurisma serebral.
Dilatasi pupil, ophthalmoplegia, ptosis, mydriasis, dan hemiparesis dapat
terjadi.
Arteri carotis interna
Aneurisma pada daerah ini terjadi pada 4% kasus aneurisma serebral.
Aneurisma supraclinoid dapat menyebabkan ophthalmoplegia sehubungan
dengan kompresi nervus III atau defek lapang pandang dan atrofi optik karena
kompresi nervus II. Kompresi kiasma optikum dapat menyebabkan bitemporal
hemianopsia. Hypopituitari atau anosmia dapat terjadi pada giant aneurysma.
Efek massa aneurisma cavernous-carotid di sinus cavernosa, menyebabkan
ofthalmoplegia dan kehilangan sensorik wajah. Ruptur aneurisma ini
umumnya menyebabkan carotid-cavernous fistula, PSA, atau epistaksis.
Arteri basilaris
Merupakan aneurisma tersering pada sirkulasi posterior, sekitar 5% kasus
aneurisma. Temuan klinik biasanya berkaitan dengan PSA, meskipun
bitemporal hemianopsia atau parese okulomotorik dapat terjadi. Dolichoectatic
aneurysma dapat menyebabkan disfungsi bulbar, kesulitan respirasi, or
neurogenic pulmonary edema.
12. 12
Arteri vertebralis atau arteri cerebellaris posterior inferior
Aneurisma pada segmen arteri ini umumnya menyebabkan ataksia, disfungsi
bulbar, dan keterlibatan spinal.
Tanda lokalisasi palsu
Dapat berhubungan dengan parese nervus III dan hemiparesis karena herniasi
uncus, parese nervus IV dengan peningkatan tekanan intrakranial,
hemianopsia homonym disebabkan kompresi arteri serebri posterior sepanjang
tepi tentorium, disfungsi batang otak berkaitan dengan herniasi tonsilar dan
vasospasme.
Gambar 2. Lokasi yang sering terjadi aneurisma intrakranial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis suatu aneurisma maupun komplikasi yang disebabkannya mungkin
memerlukan alat bantu/penunjang. Kemajuan dalam teknik neuroradiologi telah
banyak membantu dalam mendiagnosis aneurisma. Metode angiografi non invasif
seperti CT Angiografi dan MR Angiografi memungkinkan deteksi karakteristik
aneurisma secara 3 dimensi untuk mengevaluasi morfologi aneurisma. CT Scan atau
MRI juga memberikan informasi yang penting dalam perencanaan operasi. Namun,
perdarahan minor pada aneurisma tidak dapat dideteksi dengan metode ini. Dengan
kombinasi beberapa alat penunjang diagnosis maka 97% kasus dapat teridentifikasi
dengan tepat. Tiga teknik yang sering digunakan untuk mendiagnosis aneurisma
intrakranial adalah cerebral angiografi konvensional, MR Angiografi, dan helical
(spiral) CT angiografi.
1. MSCT Scan
Perdarahan subarachnoid karena aneurisma dapat dideteksi pada 90-95% kasus.
Jika MSCT Scan negatif namun diduga terjadi perdarahan subarachnoid, maka
dapat dilakukan lumbal pungsi. Baik nonkontras maupun kontras MSCT scan
harus dilakukan, sehingga edema dan reaksi inflamasi dapat terlihat.
13. 13
MSCT scan dapat menunjukkan hematom intraparenkim atau ekstraparenkim atau
pada perdarahan subarachnoid berat dapat muncul pada sisterna basalis, fissura
interhemisfer/Sylvian atau bahkan melalui konveksitas serebral. MSCT scan juga
dapat mendeteksi infark serebri yang terjadi kemudian karena vasospasme atau
hidrosefalus progresif. Perdarahan subarachnoid lama sulit dideteksi dengan MRI.
MSCT scan terkadang juga tidak dapat mendeteksi perdarahan subarachnoid
disebabkan beberapa alasan, yaitu juga darah intracranial yang terlalu sedikit, area
perdarahan seperti fossa posterior sulit untuk tergambarkan, jarak waktu
pemeriksaan MSCT scan dengan terjadinya PSA terlalu lama dan darah tidak
terlihat lagi. Setelah 6-10 hari perdarahan MSCT scan tidak dapat memperlihatkan
PSA. Jika PSA diduga terjadi namun temuan MSCT scan normal maka MRI dapat
mengidentifikasi perdarahan.
Gambar 3. Gambaran MSCT Scan pada aneurisma intrakranial
2. MSCT Angiografi
Dewasa ini, helical MSCT angiography telah digunakan untuk mendeteksi
aneurisma intrakranial, dan laporan awal menyebutkan tingkat kemampuan
mendeteksi alat ini sama dengan MRI angiography. Keuntungan helical MSCT
angiography pada perencanaan operatif adalah kemampuannya untuk
memperlihatkan aneurisma pada struktur tulang dasar otak. Helical MSCT
angiography juga berguna untuk skrining aneurisma baru pada pasien dengan
aneurisma awal yang ditatalaksana dengan ferromagnetic clips. Klip tua ini adalah
kontraindikasi absolut untuk MRI angiography. Bagaimanapun, MRI dapat
digunakan secara aman umumnya pada pasien dengan nonferromagnetic metallic
clips. Conventional MSCT scanning adalah metode terpilih untuk mendeteksi
kalsifikasi di dalam dinding aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi
aneurisma berukuran > 3 mm, menyediakan informasi lengkap seperti arteri asal
dan lebar leher aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi lebih dari 95%
aneurisma. MSCT Angiografi lebih baik dibandingkan MRA karena waktu
pemeriksaan yang lebih singkat, artefak yang lebih sedikit, dan demostrasi tempat
lain lebih baik. Tetapi struktur tulang dan vena dapat menyulitkan pembacaan.
14. 14
Gambar 4. Gambaran MSCT Angiografi pada aneurisma intrakranial
3. MRI/MR Angiografi
Karena tidak memerlukan injeksi bahan kontras secara intravascular, MRI
angiography adalah diagnosa penunjang yang lebih menyenangkan bagi pasien
dan tidak beresiko. Sekarang MRI angiography dapat mendeteksi intracranial
aneurysms dengan diameter 2 atau 3 mm tetapi pada beberapa studi menunjukkan
teknik ini paling baik untuk mendeteksi aneurisma diameter 5 mm. Kadang-
kadang beberapa aneurisma kecil dapat tidak terdeteksi dengan MRI angiography.
Meskipun teknik ini sering digunakan untuk diagnosa dan skrining
intracranialaneurysma, MRI angiography jarang digunakan untuk perencanaan
operasi. MRI standar adalah teknik yang paling baik untuk memperlihatkan
thrombus di dalam kantong aneurysmal. Meskipun jarang kadang ada beberapa
kandungan thrombus intracranial aneurysma yang tidak dapat terlihat dengan
angiography tetapi dapat terlihat dengan jelas melalui MRI. MRA dapat
mendeteksi aneurisma ukuran 4 mm / lebih secara 3-D.
Gambar 5. Gambaran MRI pada aneurisma intrakranial
4. Cerebral Angiografi
15. 15
Cerebral angiografi konvensional merupakan pilihan utama dalam mendiagnosa
aneurisma intracranial dan lokasi anatomisnya. Lokasi, ukuran, dan morfologi
aneurisma dapat dideteksi baik pada keadaan akut maupun chronic dengan
modalitas ini. Aneurisma besar terkadang dapat terdeteksi dengan MSCT scan
atau MRI tetapi cerebral angiography tetap merupakan prosedur diagnostik tetap.
Arteriography serebral dapat memperlihatkan 90% kasus aneurisma. Karena
sering terdapat lebih dari satu aneurisma maka keseluruhan sistem arterial serebri
harus diperiksa. Vasospasme sering mengaburkan adanya aneurisma, karena itu
hasil arteriogram awal yang negatif harus diulang 1 atau 2 minggu kemudian.
Beberapa resiko cerebral angiography konvensional meliputi infark serebri,
terjadinya hematoma atau pseudoaneurisma pada tempat penyuntikan, dan gagal
ginjal. Pada kebanyakan kasus, tingkat mortalitas kurang dari 0,1 %, dan tingkat
kerusakan neurologist diperkirakan sekitar 0,5 %.
Kebanyakan komplikasi terjadi pada pasien usia tua dengan penyakit
atherosclerotic, tetapi tidak pada pasien dengan intracranial aneurysms.
Bagaimanapun resiko yang berkaitan dengan angiografi kadang tinggi pada
beberapa pasien aneurisma intrakranial, contohnya pada pasien dengan kelainan
jaringan ikat luas seperti Ehlers–Danlos syndrome.
Gambar 6. Gambaran arteriografi pada aneurisma intrakranial
5. Alat bantu penunjang lainnya
Lumbal Pungsi
Jika MRI gagal atau tidak ada, maka lumbal punksi dapat dilakukan. LP
dapat membantu diagnosis PSA aneurisma dengan tanpa tanda-tanda fokal
dan efek massa. Cairan serebrospinal (CSS) biasanya dapat terlihat
xantokrom atau adanya eritrosit pada CSS namun kadang-kadang dapat
terlambat dalam beberapa jam baru muncul. Xantokrom ini dapat terlihat 12-
16. 16
33 hari dengan puncaknya hari ke 23. Tekanan CSS biasanya selalu tinggi,
terdapat elevasi protein dan hipoglikemia. Awalnya proporsi leukosit dengan
eritrosit seperti pada darah tepi, lebih lanjut akan terjadi pleositosis reaktif.
Sel darah merah dan xantokrom menghilang sekitar 2 minggu setelah
perdarahan. Kultur dapat menunjukkan etiologi infeksi.
Transcranial Doppler Ultrasonography
TCD membantu diagnosis vasospasme dan monitoring lanjutan aliran darah
cerebral.
Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT), Possitron
Emission Tommography (PET), Xenon-CT
Dengan pemeriksaan ini dapat terlihat iskemik berkaitan dengan vasospasme,
meskipun modalitas ini tidak dilakukan rutin.
X-foto vertebra servikal
Penilaian X-foto vertebra servikal harus dilakukan pada setiap pasien yang
mengalami penurunan kesadaran (coma) yang tidak diketahui pasti
penyebabnya.
Elektrokardiography (EKG)
Cardiac arrhythmias dan myocardial ischemia dapat terlihat. PSA karena
ruptur aneurisma dapat berhubungan dengan beberapa perubahan EKG,
meliputi puncak gelombang P, interval QT yang memanjang.
Echocardiography
Sumber emboli cardiac, termasuk endocarditis dan myxomas, dapat terlihat
pada aneurisma infeksi atau neoplastik
Evoked potential dan EEG
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan kejang akibat
komplikasi PSA karena ruptur aneurisma.
Laboratorium
o Hitung jenis dan trombosit; untuk monitor adanya infeksi, anemia, dan
resiko perdarahan
o Prothrombin time (PT)/ activated Partial Thromboplastin Time (aPTT);
mengidentifikasi resiko perdarahan
o Elektrolit dan osmolaritas; untuk monitor hiponatremia, address
arrhytmogenic abnormalities, glucose darah, dan monitor terapi
hiperosmolar untuk peningkatan tekanan intracranial.
o Liver function test; untuk mengidentifikasi disfungsi hepatic yang dapat
memperparah komplikasi.
o Analisa Gas Darah (AGD/BGA); untuk melihat kadar oksigen dalam
darah.
Skrining untuk aneurisma intrakranial asimptomatik harus dilakukan karena
perdarahan subarachnoid memiliki prognosis yang buruk, sementara penatalaksanaan
17. 17
aneurisma intrakranial asimptomatik berhubungan erat dengan tingkat morbiditas
(<5%) dan mortalitas (<2%). Skrining harus disarankan pada pasien dengan resiko
tinggi terjadinya aneurisma. Dua kelompok utama yang harus diskrining adalah
mereka yang memiliki riwayat keluarga aneurisma intrakranial ² dan mereka dengan
penyakit ginjal polikistik autosomal dominan² Sekitar 5 -10 % orang dewasa dengan
asimptomatik penyakit ginjal polikistik autosomal dominan memiliki kelainan
aneurisma sakular. ²
MORTALITAS DAN MORBIDITAS ANEURISMA YANG PECAH
Perdarahan subarachnoid (PSA) yang disebabkan pecahnya suatu
aneurisma memiliki resiko mortalitas yang tinggi yang secara terjadi secara bertahap
tergantung waktu. Dari pasien yang selamat pada perdarahan awal, rebleeding dan
infark serebri menjadi penyebab utama kematian. Dari hasil studi pada tahun 1960
dari 100 pasien dengan aneurismal SAH yang dirawat secara konservatif didapatkan
hasil 15 orang di antaranya meninggal sebelum mencapai rumah sakit, 15 orang
meninggal dalam 24 jam pertama di RS, 15 orang meninggal antara 24 jam pertama-2
minggu, 15 orang meninggal antara 2 minggu-2 bulan, 15 orang lagi meninggal antara
2 bulan-2 tahun kejadian dan hanya 25 orang yang selamat tapi dengan defisit
neurologis menetap¹.
PENATALAKSANAAN ANEURISMA
Penatalaksanaan suatu aneurisma meliputi :
Monitor tanda-tanda vital dan neurologi terus menerus.
Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi harus dimonitor ketat dan dilakukan intubasi
endotrakea.
Pilihan terapi harus didasarkan kondisi klinis pasien, anatomi aneurisma vaskuler,
dan pertimbangan teknik bedah atau endovascular.
PSA aneurisma harus dirawat di ICU dengan monitoring jantung.
Sebelum terapi definitif dilakukan maka harus dijaga agar tidak ada hipertensi
dengan pemberian calcium channel blocker, dan pencegahan kejang.
Induksi hipertensi, hipervolemia, dan hemodilution ("triple-H therapy") bertujuan
untuk menjaga tekanan perfusi otak pada keadaan autoregulasi cerebrovascular
yang terganggu.
Intraarterial papaverin atau endovascular balloon angioplasti dapat digunakan
untuk merawat vasospasm pada beberapa pasien tertentu
18. 18
Pada aneurisma infeksi harus dihindarkan pengunaan antikoagulan. Begitu infeksi
dapat terkontrol dengan antibiotic maka terapi bedah harus dilakukan. Regresi
atau evolusi aneurysma harus dimonitor dengan serial angiography.
Penatalaksanaan aneurisma intrakranial yang belum pecah masih menjadi
kontroversial. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms (ISUIA)
mengindikasikan bahwa tingkat kejadian ruptur aneurisma ukuran kecil sangat kecil.
Aneurisma dengan ukuran < 10 mm memiliki tingkat kejadian rupture tahunan sekitar
0.05%. Penatalaksanaan profilaksisnya meliputi teknik bedah / endovaskular.
Tujuan utama penatalaksanaan aneurisma adalah mengeluarkan kantung
aneurisma dari sirkulasi intrakranial sambil menjaga arteri utama. Penatalaksanaan
aneurisma sejak lama dilakukan bidang bedah saraf tetapi sejak tahun 1990,
neuroradiologis telah menggunakan teknik endovascular pasien dengan intracranial
aneurysma yang jumlahnya terus meningkat. Operasi merupakan terapi definitif untuk
penatalaksanaan aneurisma sakular.
1. Operasi
Penempatan klip melintasi leher aneurisma adalah terapi definitif dan pilihan
utama karena efikasi jangka panjangnya yang telah terbukti. Pada tahun 1936, Walter
Dandy melakukan operasi pertama pada aneurisma intraranial dengan meletakkan klip
perak yang dibuat oleh Harvey Cushing, melintasi leher aneurisma pada
persambungan arteri carotis interna dengan arteri communicans posterior pada pasien
dengan parese N.III.4Sejak itu teknik operasi untuk aneurisma telah berkembang pesat
menggunakan teknik bedah mikro, mikroskop operasi, koagulasi bipolar dan klip
aneurisma yang bervariasi.. Tingkat keamanan beberapa operasi aneurisma tergantung
ukuran, lokasi atau konfigurasi, dan teknik tambahan yang sulit seperti teknik bypass
vascular grafting atau hypothermic cardiac arrest yang harus digunakan. Operasi
darurat harus dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala klinis karena efek
massa hematomaintracerebral atau subdural.
Untuk aneurisma tipe fusiformis jarang ditangani dengan teknik clipping, lebih
cenderung untuk menggunakan alterntif teknik operasi yang lain seperti teknik
wrapping, rekonstruksi arteri. Tipe eneurisma ini pada umumnya berlokasi di arteri
cerebri media. Teknik wrapping pada aneurisma fusiform tampaknya lebih aman
untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dan menghasilkan suatu kemajuan yaitu
rendahnya angka komplikasi post operasi baik yang akut maupun yang delayed.
Adapun material yang digunakan dalam teknik wrapping aneurisma dapat berupa
jaringan otot, fasia, kassa, ataupun perekat jaringan.
19. 19
Gambar 7. Teknik klipping aneurisma
Gambar 8. Teknik wrapping aneurisma
2. Terapi Endovaskuler
Terapi endovaskuler terkini melibatkan insersi kawat halus ke dalam lumen
aneurisma seperti yang trerlihat pada gambar 10.4Kemudian melalui proses
elektrothrombosis, thrombus lokal terbentuk di sekitar kawat di dalam
aneurysm. 4 Tujuan utama teknik ini adalah obliterasi sempurna (thrombosis) kantung
aneurisma. Banyak factor yang memperngaruhi keberhasilan obliterasi tapi yang
terpenting adalah rasio leher dengan fundus aneurisma. Aneurisma dengan leher yang
luas sering tidak terobliterasi sempurna. Embolisasi dengan teknik endovaskuler
memiliki resiko yang lebih sedikit tetapi efektifitas jangka panjangnya belum
terbukti4.
Penatalaksanaan meliputi pencegahan peningkatan tekanan intracranial seperti
tirah baring total, sedatif, analgesik, laksatif, antitusif, antiemetik, antikonvulsan.
Penatalaksanaan hipertensi juga dapat menurunkan resiko perdarahan ulang tetapi
20. 20
mengandung resiko infark serebri pada pasien dengan vasospasme serebri.
Antifibrinolitik seperti epsilon aminocaproic acid (EACA) dan asam traneksamat
mencegah bekuan aneurisma lisis dan karena itu mencegah rupture kembali. Tetapi
mereka juga menunda lisis bekuan sisternal dan meningkatkan vasospasme.
Bahan-bahan vasoaktif yang terdapat pada bekuan darah sisternal meliputi
oksihemoglobin, serotonin, cathecolamine, prostaglandin, substansi P, calcitonin gen
peptide, endothelin, platelet-derived growth factor, dan peptide lainnya telah terbukti
menebabkan vasospasme. Penatalaksanaannya meliputi reserpine, kanamycin,
aminophylin, isoproterenol, prostacyclin, naloxone, lidocaine, diprydamole, dan
tromboxane synthetase inhibitor. Tetapi tidak keuntungan yang jelas ditunjukkan oleh
regimen ini. Penggunaan nimodipine dan nicardipine lebih menjanjikan karena dapat
mengurangi isnsidensi defisit iskemik persisten setelah PSA.
Operasi yang cepat juga memungkinkan evakuasi hematoma. Sebelum operasi
pasien dijaga supaya tetap euvolemik dan diberikan nimodipin. Selama operasi
mereka mendapat manitol dan drainase CSS melalui kateter spinal.
Gambar 9. Teknik coiling aneurisma
KOMPLIKASI PERDARAHAN SUBARACHNOID KARENA ANEURISMA
Komplikasi intrakranial :
1. Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang adalah masalah utama yang mengikuti aneurismal
PSA.Dalam 28 hari pertama (pada pasien yang tidak dirawat) sekitar 30% pasien akan
mengalami perdarahan ulang, sisanya 70% meninggal. Sebagai contoh, jika pasien
selamat melewati 30 hari pertama setelah perdarahan, masih ada 20% kemungkinan
perdarahan ulang terjadi dalam 5 bulan mendatang. Meskipun jika pasien selamat
melewati periode resiko tingi dalam 6 bulan pertama tetap masih ada kemungkinan
perdarahan ulang dan kematian dala satu tahun tersebut. Pada perdarahan ulang resiko
kematian meningkat 2 kali dibandingkan dengan perdarahan awal¹.
Tingkat kejadian perdarahan ulang dipengaruhi beberapa faktor seperti
identifikasi yang tepat onset perdarahan awal, identifikasi yang tepat adanya
21. 21
perdarahan ulang, terapi medis dan pembedahan, kondisi neurologis pasien dan
pemberian antifibrinolitik. Laporan kumulatif tingkat perdarahan ulang selama 2
minggu pertama setelah perdarahan awal berkisar antara 17-22%.²
Setiap pasien yang mengalami penurunan kesadaran tiba-tiba memerlukan
pemeriksaan CT scan. CT scan membantu mendiagnosis perdarahan ulang dan
menyingkirkan penyebab lain deteriorisasi seperti hidrosefalus akut.
2. Iskemik / Infark Serebri
Setelah PSA, pasien memiliki resiko tinggi untuk terjadi infark/iskemik serebri
dan hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting pada tingkat mortalitas dan
morbiditas. Infark/ iskemik serebri dapat terjadi secara cepat atau langsung sebagai
hasil dari perdarahan, tetapi lebih sering berkembang 4-12 hari setelah onset, baik
sebelum atau sesudah operasi disebut ”delayed cerebral ischemia”. Diperkirakan
sekitara 25% pasien terjadi iskemik/infark serebri dan dari 25% kelompok ini akan
meninggal kemudian. Sekitar 19% yang selamat akan cacat permanen.
Beberapa faktor kemungkinan berperan pada perkembangan iskemia/infark
serebral. Vasospasme arterial pada angiografi terjadi pada > 60% pasien setelah SAH
baik fokal maupun difus. Perkembangan vasospasme menunjukkan pola yang sama
terlambatnya dengan iskemik serebral. Patogenesis terjadinya vasospasme arteri
sangat kompleks. Banyak substansi vasokonstriktor yang dilepaskan dari dinding
pembuluh darah atau bekuan darah yang muncul pada CSF setelah SAH seperti
serotonin, prostaglandin, oxyhaemoglobin, tetapi pada beberapa penelitian
membuktikan bahwa antagonis vasokonstriktor telah gagal mengembalikan
penyempitan angiographic atau mengurangi insiden iskemik. Kegagalan ini mungkin
hasil perubahan arteriopathik yang telah diamati terjadi pada dinding pembuluh darah.
Hanya antagonois calcium yang muncul yang memiliki efek menguntungkan.
Semakin tinggi jumlah darah yang terlihat pada cisterna basalis (CT scan) semakin
tinggi insiden penyempitan arteri dan defisit iskemik.
3. Hipovolemia
Hiponatremia yang berkembang setelah SAH pada banyak pasien karena
sekresi sodium renal yang berlebihan daripada efek dilusi karena sekresi ADH yang
tidak berimbang. Kehilangan cairan dan penurunan volume plasma kemudian terjadi.
Pasien ini kemungkinan pada resiko tinggi terjadinya iskemik serebral, sehubungan
dengan hasil peningkatan viskositas darah.
4. Penurunan tekanan perfusi serebral.
Setelah perdarahan subarachnoid, hematoma intrakranial atau hydrocephalus
dapat menyebabkan peningkatan pada tekanan intrakranial. Efek klinik dari cerebral
iskemik/ infark tergantung dari daerah perdarahan arteri tersebut. Pada daerah serebri
anterior dapat menyebabkan kelemahan tungkai bawah, inkontinensia, bingung, dan
22. 22
akinetic mutisme. Pada daerah serebri media dapat menyebabkan hemiparesis,
hemiplegia, dysphasia (pada hemisfer dominan). Gambaran klinis pada kedua daerah
ini dapat merupakan gambaran kelainan klinik sebagai hasil perluasan kelainan pada
arteri carotis dengnan edema hemisfer.
Umumnya iskemik terjadi pada berbagai area, seringnya pada kedua hemisfer.
Ini berhubungan dengan pola spasme arterial.
5. Hidrosefalus
Setelah perdarahan subarachnoid, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat
terganggu oleh :
bekuan darah pada cisterna basalis (communicating hydrocephalus)
obstruksi pada villi arachnoidalis (communicating hydrocephalus)
bekuan darah di dalam sistem ventrikular (obstruktif hydrocephalus)
Hidrosefalus akut terjadi pada sekitar 20% pasien, biasanya pada beberapa hari
pertama setelah onset, biasanya merupkan komplikasi lanjut. Hanya 1/3 pasien yang
menunjukkan gejala sakit kepala, tingkat kesadaran yang terganggu, inkontinensia,
atau gait ataksia berat. Lebih lanjut lagi sekitar 10% pasien hidrosefalusnya
berkembang terlambat yaitu bulanan atau bahkan tahunan setelah perdarahan.
6. Hematoma Intrakranial yang Meluas
Pembengkakan otak di sekitar hematoma intracerebral dapat menyebabkan
efek massa dari hematoma. Ini dapat menyebabkan deteriorasi progresif pada tingkat
kesadaran atau progresi tanda fokal.
7. Epilepsi
Epilepsi dapat terjadi pada stadium manapun setelah SAH, khususnya jika
hematoma menyebabkan kerusakan kortikal. Kejang dapat umum maupun parsial
(fokal).
PROGNOSIS
Prognosis suatu aneurisma tergantung dari 7:
Usia
Status neurologikus dalam perawatan
Lokasi aneurisma
Selang waktu antara awal kejadian perdarahan subarachnoid dengan
penatalaksanaan medis
Adanya hipertensi dan penyakit lain
Tingkat vasospasme
Adanya perdarahan ulang atau tidak
23. 23
Tingkat perdarahan subarachnoid
Adanya perdarahan intraventrikular atau intraparenkimal
Pasien dengan status klinis grade I (sakit kepala ringan atau meningismus
ringan), II (sakit kepala berat, meningismus, atau neuropati kranial), III (letargi,
bingung, atau tanda neurologik fokal) memiliki prognosa yang lebih baik
dibandingkan dengan pasien grade IV (penurunan kesadaran yang buruk) danV (koma
dengan flaksiditas atau postur tubuh abnormal). Pasien grade IV dan V memiliki
kecenderungan hasil yang buruk meskipun mereka mendapat perawatan
apapun². Tingkat mortalitas operatif sendiri berkisar antara 8-45% tergantung kondisi
klinis dan waktu pasien ¹.
BAB III
Laporan Kasus Bangsal
Aneurisma Intrakranial dengan Perdarahan Subarachnoid
Oleh : dr. Marliani Afriastuti
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. YR
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Alamat : Desa Pajeksan Gang Jeruk No. 222 Juwana
Pekerjaan : PNS (Guru)
Masuk RS : 11 Maret 2013
Keluar RS : 22 April 2013
No. CM/Register : C407085/7222369
II. DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal
Masalah
Pasif
Tanggal
1 Penurunan kesadaran 3 11-03-2013
2 Hemiparesis sinistra spastik 3 11-03-2013
3 Perdarahan subarachnoid 4 11-03-2013
4 Aneurisma intracranial 11-03-2013
24. 24
5 Hospitalized Acquired Pneumonia 11-03-2013
III. DATA SUBYEKTIF
(Auto dan alloanamnesis dengan suami dan anak pasien)
1. Riwayat Penyakit Sekarang
(Pasien rujukan dari RS Telogorejo)
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Lokasi : Intrakranial
Onset : 8 hari sebelum masuk rumah sakit, mendadak
Kualitas : Membuka mata dengan rangsang nyeri
Kuantitas : Aktivitas sehari-hari sepenuhnya dibantu keluarga
Kronologis :
+ 8 hari SMRS saat penderita sedang tidur, mendadak penderita
mendengkur keras (tidak seperti biasanya) dan mengompol. Penderita
tidak dapat dibangunkan oleh keluarga. Tidak ada muntah, tidak ada
kejang, tidak ada keluhan nyeri kepala sebelumnya. Kemudian oleh
keluarga penderita dibawa ke RS di Juwana, karena penderita
membutuhkan perawatan di ruang ICU, penderita dirujuk ke RSUD Pati.
Penderita dirawat di ruang ICU RSUD Pati selama 4 hari, kemudian
dirujuk ke RS Telogorejo, kondisi penderita masih belum sadar, sesak
nafas (+). Anggota gerak kanan aktif bergerak, sedangkan anggota gerak
kiri tidak ada gerakan.
Penderita dirawat di ruang ICU RS Telogorejo selama 4 hari, dipasang
selang bantu nafas (intubasi), kondisi penderita masih belum sadar.
Penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Penderita sudah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (19 hari di
ruang ICU dan 7 hari di ruang Stroke). Selama dirawat telah dilakukan
tindakan pemasangan tracheostomi, CT Angiografi dan Arteriografi.
Faktor memperberat : (-)
Faktor memperingan : (-)
Gejala penyerta : lemah anggota gerak kiri
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Penderita baru pertama kali sakit seperti ini
Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis dan sakit jantung
disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua penderita (ibu) menderita tekanan darah tinggi dan stroke
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita bekerja sebagai seorang PNS (Guru), suami penderita bekerja
sebagai seorang wirausahawan, mempunyai 2 orang anak yang sudah
mandiri. Biaya pengobatan ditanggung ASKES.
25. 25
Kesan : sosial ekonomi cukup
IV. DATA OBYEKTIF
1. Status Presens (06-04-2013)
Kesadaran : Composmentis, GCS : E4M6VTracheostomi
Tanda Vital : TD : 130/80mmHg
Nadi : 88x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 36.8o C
SpO2 : 100%
2. Status Internus
Kepala : mesosefal, simetris
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP tidak meningkat
Dada :
Jantung : bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
Paru : suara dasar vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, tidak ada nyeri ekan, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : tidak oedem, akral hangat
3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS : E4M6VTracheostomi
Kepala : mesosefal, simetris, nyeri tekan (-)
Mata : pupil bulat isokor, ø 3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+
Nn. Craniales : dalam batas normal
Leher : kaku kuduk (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
4. Pemeriksaan Tambahan
MSCT Scan Kepala Tanpa Kontras di RSUD RAA Soewondo Pati,
tanggal 5 Maret 2013
Kesan :
26. 26
- Edem serebri
- Perdarahan intraserebral pada lobus frontal dan parietal kiri
- Perdarahan subarachnoid pada lobus frontal dan parietal kanan dan
kiri (volume total = 36,2 cc)
Laboratorium tanggal 5 April 2013
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI PAKET
Hemoglobin 11.20 gr % 12.00 – 15.00
Hematokrit 35.2 % 35.0 – 47.0
Eritrosit 3.85 juta / mmk 3.90 – 5.60
MCH 29.20 Pg 27.00 – 32.00
MCV 91.40 fL 76.00 – 96.00
MCHC 31.90 g /dL 29.00 – 36.00
Lekosit 9.72 ribu / mmk 4.00 – 11.00
Trombosit 469.0 ribu / mmk 150.00 – 400.00
RDW 14.60 % 11.60 – 14.80
MPV 7.50 fL 4.00 – 11.00
KIMIA KLINIK
Ureum 19 mg / dl 15 – 39
Creatinin 0.61 mg / dl 0.60 – 1.30
X- Foto Thoraks AP tanggal 12 Maret 2013
27. 27
MSCT Scan Kepala dengan Kontras (CT Angiografi) tanggal 19 Maret 2013
Kesan :
Kesan :
Cor tak membesar
Infiltrat pada perihiler kanan kiri dan parakardial kanan,
gambaran bronkopneumonia
28. 28
Kesan :
Fusiform aneurisma di
M2 kanan
Spasme minimal
Perdarahan intra parenkim pada regio frontal kanan diserta edema
vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub arachnoid di kedua
hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tak tampak pelebaran fokal bentuk sakuler maupun malformasi
vaskuler lainnya
Arteriografi (DSA System Carotis Dextra-Sinistra & Vertebralis)
Tanggal 1 April 2013
V. RESUME
Seorang wanita, 55 tahun, rujukan RS Telogorejo dengan penurunan
kesadaran dan ruptur aneurisma MCA kanan, perawatan di ICU RSUD Pati
selama 4 hari (dilakukan MSCT Scan kepala tanpa kontras) dan RS
Telogorejo selama 4 hari (dilakukan intubasi). Telah dirawat selama 26 hari di
RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ICU, 8 hari di ruang rawat biasa). Telah
dilakukan pemeriksaan laboratorium, CT Angiografi, X-Foto thoraks AP dan
Arteriografi, serta dilakukan tracheostomi.
Dengan gejala penyerta lemah anggota gerak kiri.
Obyektif :
Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6Vtracheostomi
Tanda Vital : TD : 130/80mmHg
Nadi : 88x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 36.8o C
SpO2 : 100%
Mata : pupil bulat isokor, Ø3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+
29. 29
Nn. Craniales : dalam batas normal
Motorik : hemiparese sinistra spastik
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+)
Laboratorium : dalam batas normal
X-foto thoraks AP : Kesan gambaran bronkopneumonia
CT Angiografi : Kesan perdarahan intra parenkim pada region frontal
kanan diserta edema vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub
arachnoid di kedua hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan
intracranial
Arteriografi (DSA system carotis dextra-sinistra & vertebralis): kesan
fusiform aneurisma di M2 kanan dengan spasme minimal
VI. DIAGNOSIS
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
VII. RENCANA PENGELOLAAN AWAL
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IP Dx : -
IP Rx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Mobilisasi
IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, defisit neurologis
IP Ex : menjelaskan tentang rencana penatalaksanaan selanjutnya yaitu
tindakan operasi
II. HAP
IP Dx : -
IP Rx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, deficit neurologis
IP Ex : menjelaskan tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan
rencana penatalaksanaan selanjutnya
30. 30
VIII. CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 10 April 2013 (Hari perawatan ke – 30 di ruang Stroke)
S : Nyeri kepala hilang timbul
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 130/90mmHg, N = 88x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.8oC
Status Neurologi
Mata : Pupil bulat isokor, Ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Citicholin 1 gram/8 jam iv
- Paracetamol 500 mg/8 jam po
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Bladder training
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
31. 31
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam (Bisolvon + Atrovent 1 : 1)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 11 April 2013 (Hari perawatan ke – 31 di ruang Stroke)
S : Banyak lendir di tenggorokan, susah keluar
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 110/80mmHg, N = 90x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
32. 32
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Pro tindakan operasi (craniotomy)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam (Bisolvon : Atrovent 1:1)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Instruksi Pre operasi :
- Daftar OK (IBS)
- Konsul anestesi
- Konsul ICU/HCU
- EKG + konsul kardiologi
- Persiapan darah PRC 1 kolf
- Informed consent tindakan dan alat
- Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu) disuntik 30 menit sebelum insisi di
dalam OK
Hasil konsul anestesi :
Pada prinsipnya setuju pengelolaan anestesi
Saran : - Informed consent
- Puasa 6 jam
- Pasang IV line
- Premed di OK
- Oksigenasi 3 lpm
- Lain-lain sesuai operator
Hasil konsul kardiologi :
Kesan : sinus takikardi dengan iskemik lateral
Saran : cari penyebab takikardi (demam, infeksi, kompensasi dari penyakit, dan
lain-lain)
Tanggal 12 April 2013 (Hari perawatan ke – 32 di ruang Stroke)
S : -
33. 33
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 120/80mmHg, N =94 x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t = 36.8oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( + )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Pro operasi craniotomy hari ini
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
34. 34
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Instruksi Pre operasi :
- Puasa 6 jam
- Informed consent
- Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu) disuntik 30 menit sebelum insisi di
dalam OK
Laporan Operasi :
- Informed consent + antibiotik profilaksis (Inj. Ceftriakson 2 gr iv)
- Posisi supine, kepala miring ke kiri
- Desinfeksi lapangan operasi dengan povidone iodine
- Insisi temporofrontal lapis demi lapis, rawat perdarahan, identifikasi arteri
temporalis superfisialis, flap kulit ke anterior
- Insisi periosteum dan otot, elevasi dengan adson flap ke anterior
- Borr hole 4 lubang, craniotomy dengan high speed drill
- Angkat tulang, rawat perdarahan, knabel sphenoid ridge sampai basal
- Buat tempat fiksasi tulang dan gantung dura keliling
- Insisi dura bentuk T; flap ke anterior
- Tampak vena sylvian dan otak yang kekuningan dangan hemosiderin. Otak
tidak bulging. Diseksi dari arachnoid dengan jarum dan pinset bergantian
sampai tampak arteri cabang MCA (M4/M5), ditelusuri ke basal sampai
tampak M1 telusuri ke distal tampak stenosis dan gambaran aneurisma
yang fusiform sampai tampak normal, diseksi dari arachnoid keliling.
- Dilakukan wrapping dengan fascia mengelilingi aneurisma, ditambal dengan
beriplast antara fascia dan aneurisma sampai fascia melekat erat
- Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis; spoeling ke intradura jernih
- Operasi selesai
- Perdarahan + 300 cc
35. 35
Terapi post operasi :
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv
- Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
Tanggal 14 April 2013 (Hari perawatan ke – 34 di ruang HCU)
S : nyeri luka bekas operasi
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 113/70mmHg, N = 108x/ mnt, RR = 20x/ mnt, t = 38oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
36. 36
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
Post craniotomy wrapping aneurysma hari ke-2
II. HAP
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-2
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- O2 3 lpm kanul via tracheostomi
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-2)
- Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv
- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Mobilisasi duduk
- Pindah ruang rawat biasa
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana
penatalaksanaan selanjutnya
II. HAP
IpDx : -
IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 17 April 2013 (Hari perawatan ke – 37 di ruang Merak Lt. 1)
S : -
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 140/90mmHg, N =84 x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.2oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( + )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/2 5/1
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
37. 37
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+)
A :
I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra spastik
Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan
Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +5
II. HAP
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-5
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-5)
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
- Ranitidin 150 mg/12 jam po
- Aff tracheostomi tutup luka bekas tracheostomi dengan kassa
kering, di plester tepi atasnya saja
- Aff DC
- Fisioterapi, latihan batuk/mengeluarkan dahak
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana
penatalaksanaan selanjutnya, jika ingin suara keluar saat bicara tekan
luka bekas tracheostomi yang tertutup kassa dengan tangan
II. HAP
IpDx : -
IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 22 April 2013 (Hari perawatan ke –42 di ruang Merak Lt. I1)
S : Batuk -, sesak -
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 110/80mmHg, N = 84x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
38. 38
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/2 5/1
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra spastik
Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan
Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +10
II. HAP perbaikan
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-10
IpDx : -
IpRx : - Cefixim 100 mg/12 jam po
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
- Ranitidin 150 mg/12 jam po
- Citicholin 500 mg/12 jam po
- Aff hecting
- Boleh pulang
IpMx : -
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang telah
ditentukan
II. HAP
IpDx : -
IpRx : -
IpMx : -
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang ditentukan
39. 39
CATATAN PERKEMBANGAN SETELAH PULANG PERAWATAN
Hari Minggu, 28 April 2013 (Kunjungan Rumah)
Hasil pemeriksaan :
Keluhan : lemah anggota gerak kiri, membaik
Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6V5 = 15
Nn. Craniales : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/4 5/3
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
Terapi :
40. 40
Cefixim 100 mg/12 jam po
Citicholin 500 mg/12 jam po
Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
Ranitidin 150 mg/12 jam po
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita 55 tahun bekerja sebagai PNS (Guru), mengalami penurunan
kesadaran mendadak, tidak ada muntah, tidak ada nyeri kepala sebelumnya. Penderita
kemudian dibawa ke RSUD Juwana, namn karena fasilitas yang tidak memadai,
penderita dirujuk ke RSUD Pati, dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras
dan dirawat di ruang ICU. Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontrass
tampak perdarahan subarachnoid regio frontal dan parietal kanan dan kiri. Karena
tidak ada perbaikan dan penderita mengalami sesak nafas, setelah dirawat selama 4
hari, penderita dirujuk ke RS Telogorejo dan dirawat di ruang ICU. Di RS Telogorejo
dilakukan tindakan intubasi terhadap penderita. Setelah dirawat selama 4 hari,
penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi.
Penderita telah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ruang
ICU dan 6 hari di ruang rawat Stroke) dengan diagnosa PSA e.c ruptur aneurisma
MCA Kanan. Telah dilakukan pemeriksaan laboratorium, MSCT scan kepala dengan
41. 41
kontras (CT Angiografi), X-Foto thoraks AP, arteriografi (DSA), serta telah dilakukan
tindakan tracheostomi terhadap penderita. Dari hasil pemeriksaan arteriografi tampak
aneurisma fusiformis pada M2 MCA kanan, sedangkan pada pemeriksaan X-Foto
thoraks AP tampak gambaran bronkopneumonia. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut di atas, dokter bagian bedah saraf memberikan informed consent kepada
keluarga pasien tentang rencana tindakan operasi, dan keluarga menyetujui tindakan
tersebut.
Setelah keluarga menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi, kemudian
penderita dikonsulkan ke bagian anestesi dan kardiologi untuk mengkonfirmasi
toleransi terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan, serta ke bagian ICU dan
HCU untuk perawatan post operasi. Setelah semua syarat terpenuhi, maka dilakukan
tindakan craniotomy di ruang OK Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi dengan
general anestesi.
Selama operasi berlangsung, diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
wrapping aneurisma. Keputusan ini diambil karena tipe aneurisma penderita adalah
fusiform.
Tindakan wrapping aneurisma pada pasien ini sudah sesuai dengan tipe
aneurisma pada penderita, yaitu fusiform. Dengan tindakan wrapping aneurisma,
diharapkan dapat meminimalisir komplikasi post operasi baik akut maupun delayed,
seperti perdarahan ulang ataupun pembesaran pembuluh darah berulang.
Post operasi craniotomy wrapping aneurisma pasien dirawat di ruang HCU
selama 2 hari. Setelah kondisi penderita membaik dan stabil, kemudian penderita
dipindahkan ke ruang rawat biasa.
Setelah menjalani perawatan selama 42 hari di RSUP Dr. Kariadi, penderita
diperbolehkan pulang dengan kondisi perbaikan dengan tidak ada keluhan, namun
masih ada kelemahan anggota gerak kiri yang membaik.
42. 42
Daftar Pustaka :
1. Juvela, S. Natural history of unruptured intracranial aneurysms : risks for
aneurysm formation, growth, and rupture. Acta Neurochir Suppl (82:27-30); 2002.
2. Stehbens, WE. Aneurysm and anatomical variation of cerebral arteries. AArch
Pathol (75:45-64); 1963.
3. Connolly ES, Solomon RA. Management of unruptured aneurysm. In : Le Roux
PD, Winn HR, Newell DW, eds. Management of cerebral aneurysm.
Philadelphia:Saunders; 2004.
4. Algra A, Hop JW, Rinkel GJ, Van Gijn J. Case fatality rates and functional
outcome after subarachnoid hemorrhage: a systemic review. Stroke; 1997.
5. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Medical Progress Cerebral Aneurysms
Review. The New England Journal of Medicine (Internet).August 31, 2006:928.
Available from : http://www.nejm.org
6. Schievink WI. Intracranial aneurysms. The New England Journal Medicine
(Book). 1997:336:28-40.
7. Garparotti R, Liserre R. Intracranial aneurysms. Eur Radiol; 2005.
43. 43
8. Ali MJ, Bendok BR, Getch CC, Batjer HH. Trapping and revascularization for a
dissecting aneurysm of the proximal posteroinferior cerebellar artery: technical
case report and review of the literature. Neurosurgery; 2002.
9. Barami K, Ko K. Ruptured mycotic aneurysm presenting as an intraparenchymal
hemorrhage and nonadjacent acute subdural hematoma: case report and review of
the literature. Surg Neurol; 1994.
10. Karmonik C, Klueznik R. Understanding the dangers of aneurysm. Biomedical.
ANSYS Advantage (Book). 2008:II(2).
11. Kwoon JV, Lavine SD, Vega C. Intracranial Aneurysms:Current evidence and
clinical practice. American Family Physician (Internet). August 15, 2002:66(4).
Available from : http://www.aafp.org/afp
12. Asari S, Ohmoto T. Natural history and risk factors of unruptured cerebral
aneurysms. Clinical Neurological Neurosurgery; 1993
13. Greenberg MS. SAH and aneurysms. In : Greenberg MS, ed. Handbook of
neurosurgery 5th ed. New York: Thieme Medical; 2000.
14. Brisman JL, Newell DW, Song JK. Medical progress cerebral aneurysm review
article. The New England Journal of Medicine (Internet). August 31,
2006:928(355):9. Available from: http://www.nejm.org
15. Wardlaw JM, White PM. The detection and management of unruptured
intracranial aneurysms. Brain; 2000.