SlideShare a Scribd company logo
1 of 43
1
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
Aneurisma adalah dilatasi yang abnormal dari arteri, dan di dalam otak pada
umumnya muncul di tempat percabangan dari pangkal arteri1. Angka kejadian
aneurisma intracranial pada populasi umum telah dilaporkan antara 1,5 sampai 8 %.
Sedangkan penelitian lainnya di Amerika Serikat pada studi autopsi menunjukkan
prevalensi aneurisma intrakranial pada populasi dewasa antara 1 sampai 5 % (dapat
diartikan sekitar 10 juta sampai 12 juta orang di Amerika Serikat menderita aneurisma
intrakranial), dimana kebanyakan merupakan aneurisma kecil, diperkirakan 50 sampai
80 persen dari semua aneurisma tidak pecah selama kehidupan seseorang 2,3.
Aneurisma intrakranial adalah kondisi yang relatif umum, seringkali
asimptomatik sampai terjadinya pecah aneurisma. Perdarahan subarachnoid
dihubungkan dengan pecahnya aneurisma yang berpotensi menyebabkan kematian
dengan rata-rata kematian lebih dari 50%4. Terdapatnya aneurisma pada perdarahan
subarachnoid akan memunculkan perdarahan ulang. Dua sampai empat persen
perdarahan ulang dalam 24 jam pertama setelah waktu awal serangan dan hampir 15
sampai 20 % perdarahan terjadi pada waktu minggu kedua dalam dua minggu
pertama. Seseorang dengan aneurisma intrakranial dengan simptom kompresi seperti
kelumpuhan nervus kranial atau disfungsi dari batang otak sebaiknya dievaluasi dan
diterapi dengan segera sebab akan meningkatkan resiko ruptur (6 % per tahun) pada
2
beberapa sub grup. Resiko ruptur dari aneurisma intrakranial yang belum berdarah
tetapi ditemukan secara kebetulan kurang pasti dan aneurisma intrakranial pada
umumya dikelola secara elektif. Pada masa lalu, aneurisma intrakranial yang tidak
rupture diperkirakan mempunyai resiko yang tinggi dengan diperkirakan akan terjadi
resiko perdarahan kurang lebih 1 sampai 2 persen. Sebelum tersedianya koil yang
terlepas, aneurisma intrakranial paling sering dilakukan operasi klipping untuk
mencegah terjadinya ruptur5.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPIDEMIOLOGI
Pada otopsi di Amerika Serikat, kejadian aneurisma intrakranial ditemukan
pada sekitar 1% dari populasi. Sedangkan insidensi perdarahan subarachnoid yang
disebabkan oleh aneurisma yang ruptur sekitar 6-16% per 100000 orang per tahunnya.
Secara internasional, insidensi perdarahan subarachnoid karena aneurisma bervariasi,
berkisar 3,9 – 19,4 per 100000 orang, dengan tingkat kejadian paling tinggi
dilaporkan terjadi di Finlandia dan Jepang.
Aneurisma lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan pada laki-laki,
dengan perbandingan 3:2, pada usia lebih dari 40 tahun. Namun, pada usia kurang
dari 40 tahun kejadian aneurisma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita.
Aneurisma saccular pada arteri communicans anterior atau arteri serebri
anterior lebih sering terjadi pada laki-laki, sementara persambungan antara arteri
carotis interna dengan arteri communicans posterior adalah lokasi tersering aneurisma
saccular pada wanita.
3
Aneurisma raksasa (Giant Aneurysm) tiga kali lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Sementara prognosis perdarahan subarachnoid karena
aneurisma yang ruptur lebih buruk pada wanita.
Delapan puluh lima persen aneurisma ditemukan pada circulus willisi. Arteri
komunikan anterior merupakan tempat tersering terjadinya aneurisma (30-35 %),
diikuti oleh arteri karotis interna (ICA) (30%), termasuk di dalamnya arteri
komunikans posterior, bifurkasio karotis dan aneurisma pada arteri ophtalmika, dan
arteri serebri media (MCA) (22%). Aneurisma pada sirkulasi posterior kurang lebih 8
sampai 10 persen dari seluruh aneurisma dan basilar tip adalah tempat awal dari
aneurisma. Pada usia pediatrik, penelitian aneurisma jarang dilakukan. Pada 20–30 %
pasien aneurisma adalah multipel.
KLASIFIKASI
Terdapat empat tipe dasar dari aneurisma intrakranial yang didasarkan pada
etipatogenesis dan histologi7, yaitu :
1 Saccular
Sembilan puluh persen aneurisma intrakranial adalah saccular atau Berry Shaped
dan berkembang menjadi kantung yang menonjol dengan dinding yang tipis dari
arteri circulus willisi atau dari cabang arteri yang besar. Secara patologi,
aneurisma terdiri dari sebuah kantong yang terbentuk karena defisiensi kolagen
pada tunika muskularis yang keluar, selanjutnya sebagai defek yang terlokalisir di
dalam lapisan elastik internal. Tunika muskularis dan lapisan internal berakhir
pada leher aneurisma dan dinding aneurisma yang sangat tipis yang hanya terdiri
dari tunika intima dan tunika adventisia.
Berdasarkan ukuran aneurisma, aneurisma saccular dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe, yaitu : kecil ( <10mm), besar ( 10-25 mm), dan giant atau sangat besar
( >25mm). Berdasarkan lebar leher aneurisma dikelompokkan menjadi aneurisma
leher kecil ( <4mm) dan aneurisma leher besar ( >4mm).
Gambaran anatomi ini sangat penting dalam pendekatan terapi dan resiko
intraoperasi7. Hanya cabang distal dari arteri serebral yang umumnya terpengaruh
dan aneurisma menyatu dan eksentrik tanpa adanya leher yang merupakan
karakteristik dari aneurisma saccular9.
2 Fusiform
Aneurisma fusiform adalah arteri yang berlebihan, disebabkan oleh aterosklerosis
dan tipe yang sering terjadi pada usia lanjut. Aneurisma ini dapat menyebabkan
efek massa atau iskemi, dimana pada umumnya tidak pecah.
3 Dissecting
4
Dissecting aneurisma jarang terjadi dan pada pasien yang datang dengan SAH
biasanya mempunyai sedikit riwayat dan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi
perdarahan ulang8.
4 Mikotik
Mikotik aneurisma sangat jarang terjadi dan terbentuk karena adanya infeksi pada
dinding arteri yang seringkali disebarkan oleh bakteri endokarditis.
Gambar 1. Bentuk Aneurisma
Kiri : aneurisma saccular, aneurisma fusiform, aneurisma dissecting
Kanan : aneurisma mikotik
PATOGENESIS
Sedikit yang diketahui mengenai penyebab aneurisma intrakranial atau proses
terbentuknya aneurisma, perkembangan dan terjadinya pecah aneurisma, meskipun
hipertensi dan merokok memicu perubahan vaskuler dan dianggap mempunyai peran
yang utama. Terdapat tiga teori yang diakui untuk menerangkan patogenesis dari
aneurisma, yaitu :
(1) Teori Kongenital
Awalnya aneurisma dianggap merupakan kelainan kongenital karena adanya
temuan defek perkembangan pada tunika media. Defek ini terjadi pada apeks
bifurkasio pembuluh darah sama dengan aneurisma. Tetapi ditemukan juga
pembuluh darah ekstrakranial sama seperti pembuluh darah intracranial;
aneurisma sakular dengan kontras jarang ditemukan diluar calvaria. Defek tunika
media sering ditemukan paa anak-anak, namun aneurisma jarang pada kelompok
umur ini.
(2) Teori Degeneratif
5
Teori yang berkembang saat ini yaitu bahwa defek pada lamina elastika interna
merupakan hal yang penting pada pembentukan aneurisma dan ini kemungkinan
berhubungan dengan kerusakan atherosklerotik. Percepatan degenerasi pada
dinding arteri yang disebabkan oleh tekanan hemodinamik juga memainkan
peranan penting pada terbentuknya aneurisma pada dewasa. Aneurisma sering
terbentuk pada sisi dimana terjadi stress hemodinamik sebagai contohnya,
pembuluh darah hipoplastik kongenital menyebabkan aliran yang berlebihan pada
suatu arteri. Hipertensi juga berperan, lebih dari ½ pasien dengan ruptur
aneurisma memiliki bukti sebelumnya terjadi peningkatan tekanan darah
(terbentuknya aneurisma umum terjadi pada pasien dengan hipertensi karena
koarktasio aorta)
(3) Kombinasi dari keduanya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teori degeneratif memiliki beberapa
kelebihan bila dibandingkan dengan teori congenital, yaitu pemeriksaan arteri otak
pada neonatus tidak menunjukkan adanya aneurisma saccular, kebanyakan aneurisma
menjadi perhatian klinis pada usia 40 – 70 tahun, menunjukkan bahwa aneurisma
merupakan lesi yang didapat, serta insidensi aneurisma familial bersifat sporadik dan
jarang ditemukan.
Perkembangan dan pecahnya suatu aneurisma tergantung pada banyak faktor,
diantaranya: faktor geometrik seperti bentuk dan ukuran atau rasio tinggi atap dari
aneurisma dengan lebar leher; faktor biologi seperti penurunan konsentrasi dari
struktur protein pada matriks ekstraseluler pada dinding arteri antrakranial; dan faktor
hemodinamik, khususnya gaya tekan pada dinding.10
Tingginya angka mortalitas dihubungkan dengan pecahnya aneurisma
intracranial. Menentukan suatu aneurisma bisa pecah adalah suatu keputusan yang
penting dalam menentukan penatalaksanaan. Sebelum tahun 1998, beberapa
penelitian besar menemukan rata-rata ruptur dalam setahun sekitar 1,4 sampai 1,9
persen pada aneurisma intrakranial; pecahnya aneurisma akan lebih tinggi ketika
aneurisma dengan diameter lebih dari 10 mm, bersifat simptomatik atau lokasi
aneurisma berada pada sirkulasi posterior.11 Meskipun aneurisma yang besar
menunjukkan tingginya resiko untuk terjadinya ruptur, tetapi aneurisma yang kecil
tidak dapat diabaikan. Pada suatu penelitian dengan serial kasus pada 25 pasien,
aneurisma intrakranial dengan diameter kurang dari 5 mm terjadi pecah aneurisma
pada 5 pasien dan pada pasien dangan diameter aneurisma kurang dari 9 mm terdapat
11 yang mengalami pecah aneurisma. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan
merujuk ke bedah saraf diperlukan pada semua pasien dengan aneurisma
intracranial.12 Penemuan dari The International Study of Unrupturd Intracranial
Aneurysms (ISUIA) yang dipublikasikan pada tahun 1998, mendapatkan bahwa
aneurisma dengan diameter kurang dari 10 mm menpunyai rata-rata terjadinya ruptur
sebesar 0,05 persen dalam setahun tanpa adanya riwayat SAH; sedangkan rata-rata
6
pecahnya aneurisma akan menjadi 10 kali lebih tinggi pada aneurisma dengan ukuran
yang lebih kecil pada pasien dengan riwayat SAH. Rata-rata pecah dalam setahun
pada aneurisma yang besar mendekati 1 persen.11
FAKTOR RESIKO
Sebuah review yang sistematik pada penelitian yang melibatkan kurang lebih
56000 pasien menemukan bahwa aneurisma intrakranial yang tidak pecah terjadi 3,6
sampai 6 persen pada populasi umum. Faktor keturunan dan faktor resiko yang
didapat berhubungan dengan terbentuknya aneurisma intracranial (tabel 1). Keluarga
dekat pada aneurisma intracranial dapat terjadi dengan atau tanpa riwayat penyakit
keturunan yang lain. Angka kejadian aneurisma intrakranial antara 8 sampai 9 persen
dengan dua atau lebih berhubungan dengan perdarahan subarachnoid atau karena
aneurisma. Anggota keluarga yang mempunyai aneurisma mempunyai resiko tinggi
untuk timbulnya perdarahan subarachnoid karena aneurisma.
Beberapa faktor keturunan pada jaringan penghubung dihubungkan dengan
terbentuknya aneurisma, dianggap sebagai akibat lemahnya dinding pembuluh darah.
Satu penelitian menemukan bahwa aneurisma dalam 10 sampai 15 persen pasien
dengan penyakit ginjal polikistik dengan kondisi autosomal dominan.
Meskipun sindroma marfan diidentifikasikan sebagai faktor resiko aneurisma,
penelitian terakhir menemukan bahwa tidak ada hubunngan yang bermakna. Koartiso
aorta, fibromuskular dysplasia dan pheukrositoma dihubungkan dengan aneurisma
intrakranial, kemungkinan disebabkan peningkatan tekanan darah yang menyebabkan
kondisi tersebut.
Data terbaru menunjukkan bahwa umur di atas 50 tahun, jenis kelamin
perempuan dan perokok merupakan faktor terjadinya aneurisma intrakranial. Sejak
1984 penggunaan kokain dihubungkan dengan pembentukan dan rupturnya
aneurisma. Hubungan ini diperkirakan disebabkan karena peningkatan turbulensi dari
aliran darah yang berubah-ubah, hipertensi yang tidak tetap. Pada sejumlah pengguna
kokain, aneurisma ditemukan secara bermakna pada pasien muda dengan diameter
pembuluh darah yang kecil. Infeksi dari kolonisasi bakteri dan jamur pada dinding
pembuluh darah, trauma dan neoplasma intrakranial atau emboli neoplastik
merupakan kasus yang jarang menyebabkan aneurisma intrakranial.
Tabel 1 Faktor Resiko Aneurisma Intrakranial
Faktor resiko keturunan Faktor resiko lainnya
Penyakit polikistik ginjal autosomal
dominan
Sindrom Ehler-Danlos tipe IV
Perdarahan teleanktasis herediter
Defisiensi α-antitripsin
Umur lebih dari 50 tahun
Perempuan
Perokok
Pengguna kokain
Infeksi pembuluh darah
7
Koartiso aorta
Dysplasia fibromuskular
Pheokromositoma
Sindrom kelinefelter
Sklerosis tuberious
Sindrom noonan
Defisiensi α-glukosidase
Trauma kepala
Neoplasma intracranial atau emboli
neoplastik
Hipertensi
Alkohol
Pengunaan kontrasepsi oral
Hiperkolesterolemi
GAMBARAN KLINIS
Aneurisma intrakranial terbanyak merupakan asimptomatik dan tidak
terdeteksi sampai saatnya terjadi rupur, terutama pada aneurisma dengan ukuran yang
kecil. 10 Ketika pasien dengan aneurisma yang tidak pecah bisa menunjukkan gejala
seperti nyeri kepala, penurunan penglihatan perifer, kehilangan keseimbangan dan
koordinasi atau gangguan neurologis lainnya (tergantung dari lokasi aneurisma).
Sebuah catatan kasus dari 111 pasien yang dikirim dari pusat kesehatan tersier
pada penanganan aneurisma yang tidak ruptur menemukan bahwa 41 persen
aneurisma menunjukkan gejala (tabel 2). Paling banyak pada pasien ini adalah
gejalanya menetap selama dua minggu dan mungkin lebih pada pasien dengan lokasi
aneurisma yang besar pada sirkulasi posterior.11
Tabel 2 Gejala pada aneurisma yang tidak ruptur pada 111 pasien
Gejala Jumlah pasien
Akut
Nyeri kepala berat
Transient ischemia
Kejang
Kelumpuhan nervus okulomotor atau hilang penglihatan
Kronik
Karakter yang berbeda dari nyeri kepala sebelumnya
Hilang penglihatan yang kronis
Neuropati optic unilateral
Kelemahan motorik atau neuropati cranial tidak termasuk mata
Nyeri wajah
7
7
3
2
18
10
7
4
3
Gambaran klinik suatu aneurisma dapat berupa efek kompresi massa,
penyebab transient iskemik serebral (thrombus/emboli), perdarahan karena ruptur,
ataupun asimptomatik. Sebanyak 90% pasien dengan aneurisma biasanya terjadi
8
perdarahan subarachnoid dan 7% memiliki gejala atau tanda dari kompresi struktur
terdekat. Sisanya ditemukan secara kebetulan. Gejala dini suatu aneurisma dapat
berupa adanya nyeri kepala yang terjadi tiba-tiba, terutama pada kasus pecahnya suatu
aneurisma.
1. Ruptur Aneurisma(90%)
Kejadian ruptur paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun. Kejadian pecahnya
suatu aneurisma dapat terjadi pada semua usia, namun jarang terjadi pada anak-
anak.
Ruptur aneurisma dapat menyebabkan perdarahan intraparenkim (lebih sering
pada aneurisma distal), perdarahan intraventrikular (13-28%), atau subdural
hematom (2-5%).
Gejala suatu aneurisma yang pecah sangat bervariasi, tergantung pada keparahan,
pembuluh darah mana yang ruptur, serta lokasi perdarahan. Gambaran klinik
perdarahan subarachnoid meliputi onset yang mendadak dari nyeri kepala hebat,
diikuti penurunan kesadaran, mual, muntah, kaku kuduk, fotofobia, defisit
neurologi fokal, dan epilepsi. Temuan klinik tergantung tingkat keparahan
perdarahan subarachnoid, adanya hematom intraserebral dan lokasinya, ada
tidaknya hidrosefalus, dan waktu pemeriksaan berhubungan dnegan perdarahan.
Sejak keparahan perdarahan berkaitan dengan keadaan klinis pasien dan dalam hal
ini akhirnya berhubungan dengan hasil akhir perawatan, banyak peneliti yang
mengelompokkan pasien aneurisma ke dalam 5 level seperti oleh Hunt dan Ness
yang telah dipergunakan secara luas oleh klinisi
Grade Kondisi Klinik
0 Aneurisma yang tidak pecah
1 Asimptomatik atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan
2 Kaku kuduk dan sakit kepala sedang/berat; cranial neuropathy, tidak
ada defisit fokal
3 Delirium, bingung, atau defisit fokal ringan
4 Stupor, hemiparesis sedang sampai berat
5 Koma dalam, postur deserebrasi
Tabel 3. Skala tingkat keparahan perdarahan sub arachnoid Hunt dan Ness
Akhir-akhir ini ada juga skala baru yang telah disusun dan diakui oleh World
Federation of Neurosurgeont (WFN), yang melibatkan Glasgow Coma Scale.
Skala ini berhubungan dengan hasil akhir dan menyediakan indeks prognostik
bagi para klinisi. Sebagai tambahan, skala ini dapat mencocokkan kelompok
pasien untuk membandingkan efek dari teknik penanganan yang berbeda.
WFN Grade GCS Defisit Motorik
I 15 Tidak ada
9
II 14 – 13 Tidak ada
III 14 – 13 Ada
IV 12 – 7 Ada/tidak ada
V 6 – 3 Ada/tidak ada
Tabel 4. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN
Ada juga pengelompokan berdasarkan hasil temuan CT Scan seperti yang
ditunjukkan pada tabel berikut.
Grade Temuan CT Scan
1 Tidak ada darah yang terdeteksi
2 Lapisan tipis perdarahan di subarachnoid
3 Thrombus terlokalisir atau lapisan tebal perdarahan subarachnoid
4 Perdarahan intraserebral atau intraventrikel dengan/tanpa perdarahan
difus di subarachnoid
Tabel 5 skala tingkat keparahan subarachnoid berdasarkan temuan CT Scan
2. Kompresi kantung aneurisma (7%)
Suatu aneurisma yang besar dapat menekan bangunan di sekitarnya atau yang
dilaluinya, sehingga dapat menimbulkan gambaran klinis yang sesuai juga,
diantaranya :
 Aneurisma arteri carotis interna (atau arteri communicans anterior) dapat
menekan tangkai pituitary atau hypothalamus, menyebabkan hypopituitarysm;
bila menekan nervus opticus atau kiasma opticum, menyebabkan defek
lapangan pandang
 Aneurisma arteri basilaris dapat menekan midbrain, pons, atau nervus III,
menyebabkan kelemahan tungkai atau gangguan pergerakan bola mata
 Aneurisma intracavernosa dapat menekan nervus III, IV, VI, V cabang
pertama dan ganglion trigeminalis, menyebabkan oftalmoplegi dan nyeri fasial
yang menyerupai neuralgia trigeminalis
 Aneurisma arteri communicans posterior dapat menyebabkan nervus III palsy
(hal ini merupakan indikator adanya perluasan aneurisma dan perlu
penanganan darurat)
 Aneurisma dapat menekan jaringan otak di sekitarnya, seperti hipofisis,
menimbulkan tanda deficit neurologis fokal, kejang, gejala
neuroendokrinologik, atau pembesaran sella tursica
3. Thrombosis
Thrombosis pada aneurisma seringkali mengirimkan emboli ke daerah distal
arteri, menyebabkan transient iskemik attack atau infark. Pada beberapa pasien
yang tidak ditemukan perdarahan subarachnoid, menunjukkan gejala sakit kepala
tanpa kaku kuduk yang mungkin berhubungan dengan pembesaran aneurisma,
thrombosis atau iritasi meningeal
10
4. Penemuan yang tidak disengaja (3%)
Angiografi dapat menunjukkan hal yang berbeda selain perdarahan subarachnoid
seperti penemuan penyakit iskemik atau neoplastik, yang pada awalnya tidak
dapat mendeteksi suatu aneurisma.
Gejala yang berhubungan dengan aneurisma, antara lain :
 Nyeri kepala
Karakteristiknya adalah nyeri hebat dengan onset akut, dimana pasien sering
mendeskripsikannya sebagai nyeri kepala terhebat dalam hidupnya. Perluasan
aneurisma, thrombosis, atau intramural hemorrhage dapat menyebabkan nyeri
kepala subakut, unilateral, periorbital.
 Nyeri pada wajah
Terutama muncul pada aneurisma cavernous-carotid
 Perubahan tingkat kesadaran
Peningkatan tekanan intracranial yang mendadak sehubungan dengan rupture
aneurisma dapat menurunkan perfusi serebral, sehingga menyebabkan syncope
(50% kasus). Bingung atau penurunan kesadaran ringan mungkin juga dapat
terjadi.
 Kejang fokal atau umum
Terjadi pada 25% kasus perdarahan subarachnoid karena rupture aneurisma,
dengan kejadian paling sering terjadi selama 24 jam pertama
 Manifestasi iritasi meningeal
Seperti nyeri leher atau kaku kuduk, photophobia, sonophobia atau
hyperesthesia dapat terjadi pada perdarahan subarachnoid karena rupture
sneurisma
 Gangguan otonom
Akumulasi agen-agen yang mendegradasi darah pada subarachnoid dapat
menimbulkan demam, nausea atau vomitus, berkeringat, kepanasan atau
aritmia jantung.
 Defisit neurologis fokal
Perdarahan atau iskemik dpat bermanifestasi sebagai defisit neurologis fokal
seperti kelemahan, kehilangan hemisensorik, gangguan bahasa, neglect,
kehilangan ingatan, gangguan olfaktorius. Gejala fokal sering terjadi pada
giant aneurisma.
 Gangguan visual
Misalnya pandangan kabur, diplopia, defek lapangan pandang
 Disfungsi respirasi atau instabilitas cardiac
Merupakan tanda kompresi batang otak
 Disfungsi hormonal
Aneurisma intrasellar dapat mengganggu fingsi hipofisis
11
 Epistaksis
Biasanya berhubungan dengan aneurisma traumatik
Sindrom spesifik berkaitan dengan lokasi terjadinya aneurisma, misalnya :
 Arteri communicans anterior
Merupakan tempat tersering perdarahan subarachnoid karena aneurisma
(34%). Biasanya aneurisma pada daaerah ini tersembunyi sampai aneurisma
tersebut ruptur. Tekanan suprachiasmatik dapat menyebabkan defek lapangan
pandang, abulia atau akinetik mutism, sindrom amnestia, atau disfungsi
hypothalamus. Defisit neurologis aneurisma yang pecah dapat merefleksikan
perdarahan intraventrikuler (79%), perdarahan intraparenkim (63%),
hidrosefalus akut (25%), atau stroke lobus frontal (20%)
 Arteri serebri anterior
Aneurisma pada pembuluh ini merupakan sekitar 5% dari keseluruhan
kejadian aneurisma. Kenyakan asimptomatik sampai mereka ruptur. Meskipun
demikian, sindrom lobus frontal, anosmia, atau defisit motorik mungkin saja
muncul
 Arteri serebri media
Aneurisma pada arteri ini sekitar 20% dari kasus aneurisma, secara khusus
sering terjadi pada divisi pertama atau kedua fissure sylvia. Afasia,
hemiparese, kehilangan hemisensorik, anosognosia, ataupun defek lapangan
pandang dapat terjadi
 Arteri communicans posterior
Aneurisma pada arteri ini merupakan 23% dari kasus aneurisma serebral.
Dilatasi pupil, ophthalmoplegia, ptosis, mydriasis, dan hemiparesis dapat
terjadi.
 Arteri carotis interna
Aneurisma pada daerah ini terjadi pada 4% kasus aneurisma serebral.
Aneurisma supraclinoid dapat menyebabkan ophthalmoplegia sehubungan
dengan kompresi nervus III atau defek lapang pandang dan atrofi optik karena
kompresi nervus II. Kompresi kiasma optikum dapat menyebabkan bitemporal
hemianopsia. Hypopituitari atau anosmia dapat terjadi pada giant aneurysma.
Efek massa aneurisma cavernous-carotid di sinus cavernosa, menyebabkan
ofthalmoplegia dan kehilangan sensorik wajah. Ruptur aneurisma ini
umumnya menyebabkan carotid-cavernous fistula, PSA, atau epistaksis.
 Arteri basilaris
Merupakan aneurisma tersering pada sirkulasi posterior, sekitar 5% kasus
aneurisma. Temuan klinik biasanya berkaitan dengan PSA, meskipun
bitemporal hemianopsia atau parese okulomotorik dapat terjadi. Dolichoectatic
aneurysma dapat menyebabkan disfungsi bulbar, kesulitan respirasi, or
neurogenic pulmonary edema.
12
 Arteri vertebralis atau arteri cerebellaris posterior inferior
Aneurisma pada segmen arteri ini umumnya menyebabkan ataksia, disfungsi
bulbar, dan keterlibatan spinal.
 Tanda lokalisasi palsu
Dapat berhubungan dengan parese nervus III dan hemiparesis karena herniasi
uncus, parese nervus IV dengan peningkatan tekanan intrakranial,
hemianopsia homonym disebabkan kompresi arteri serebri posterior sepanjang
tepi tentorium, disfungsi batang otak berkaitan dengan herniasi tonsilar dan
vasospasme.
Gambar 2. Lokasi yang sering terjadi aneurisma intrakranial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis suatu aneurisma maupun komplikasi yang disebabkannya mungkin
memerlukan alat bantu/penunjang. Kemajuan dalam teknik neuroradiologi telah
banyak membantu dalam mendiagnosis aneurisma. Metode angiografi non invasif
seperti CT Angiografi dan MR Angiografi memungkinkan deteksi karakteristik
aneurisma secara 3 dimensi untuk mengevaluasi morfologi aneurisma. CT Scan atau
MRI juga memberikan informasi yang penting dalam perencanaan operasi. Namun,
perdarahan minor pada aneurisma tidak dapat dideteksi dengan metode ini. Dengan
kombinasi beberapa alat penunjang diagnosis maka 97% kasus dapat teridentifikasi
dengan tepat. Tiga teknik yang sering digunakan untuk mendiagnosis aneurisma
intrakranial adalah cerebral angiografi konvensional, MR Angiografi, dan helical
(spiral) CT angiografi.
1. MSCT Scan
Perdarahan subarachnoid karena aneurisma dapat dideteksi pada 90-95% kasus.
Jika MSCT Scan negatif namun diduga terjadi perdarahan subarachnoid, maka
dapat dilakukan lumbal pungsi. Baik nonkontras maupun kontras MSCT scan
harus dilakukan, sehingga edema dan reaksi inflamasi dapat terlihat.
13
MSCT scan dapat menunjukkan hematom intraparenkim atau ekstraparenkim atau
pada perdarahan subarachnoid berat dapat muncul pada sisterna basalis, fissura
interhemisfer/Sylvian atau bahkan melalui konveksitas serebral. MSCT scan juga
dapat mendeteksi infark serebri yang terjadi kemudian karena vasospasme atau
hidrosefalus progresif. Perdarahan subarachnoid lama sulit dideteksi dengan MRI.
MSCT scan terkadang juga tidak dapat mendeteksi perdarahan subarachnoid
disebabkan beberapa alasan, yaitu juga darah intracranial yang terlalu sedikit, area
perdarahan seperti fossa posterior sulit untuk tergambarkan, jarak waktu
pemeriksaan MSCT scan dengan terjadinya PSA terlalu lama dan darah tidak
terlihat lagi. Setelah 6-10 hari perdarahan MSCT scan tidak dapat memperlihatkan
PSA. Jika PSA diduga terjadi namun temuan MSCT scan normal maka MRI dapat
mengidentifikasi perdarahan.
Gambar 3. Gambaran MSCT Scan pada aneurisma intrakranial
2. MSCT Angiografi
Dewasa ini, helical MSCT angiography telah digunakan untuk mendeteksi
aneurisma intrakranial, dan laporan awal menyebutkan tingkat kemampuan
mendeteksi alat ini sama dengan MRI angiography. Keuntungan helical MSCT
angiography pada perencanaan operatif adalah kemampuannya untuk
memperlihatkan aneurisma pada struktur tulang dasar otak. Helical MSCT
angiography juga berguna untuk skrining aneurisma baru pada pasien dengan
aneurisma awal yang ditatalaksana dengan ferromagnetic clips. Klip tua ini adalah
kontraindikasi absolut untuk MRI angiography. Bagaimanapun, MRI dapat
digunakan secara aman umumnya pada pasien dengan nonferromagnetic metallic
clips. Conventional MSCT scanning adalah metode terpilih untuk mendeteksi
kalsifikasi di dalam dinding aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi
aneurisma berukuran > 3 mm, menyediakan informasi lengkap seperti arteri asal
dan lebar leher aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi lebih dari 95%
aneurisma. MSCT Angiografi lebih baik dibandingkan MRA karena waktu
pemeriksaan yang lebih singkat, artefak yang lebih sedikit, dan demostrasi tempat
lain lebih baik. Tetapi struktur tulang dan vena dapat menyulitkan pembacaan.
14
Gambar 4. Gambaran MSCT Angiografi pada aneurisma intrakranial
3. MRI/MR Angiografi
Karena tidak memerlukan injeksi bahan kontras secara intravascular, MRI
angiography adalah diagnosa penunjang yang lebih menyenangkan bagi pasien
dan tidak beresiko. Sekarang MRI angiography dapat mendeteksi intracranial
aneurysms dengan diameter 2 atau 3 mm tetapi pada beberapa studi menunjukkan
teknik ini paling baik untuk mendeteksi aneurisma diameter 5 mm. Kadang-
kadang beberapa aneurisma kecil dapat tidak terdeteksi dengan MRI angiography.
Meskipun teknik ini sering digunakan untuk diagnosa dan skrining
intracranialaneurysma, MRI angiography jarang digunakan untuk perencanaan
operasi. MRI standar adalah teknik yang paling baik untuk memperlihatkan
thrombus di dalam kantong aneurysmal. Meskipun jarang kadang ada beberapa
kandungan thrombus intracranial aneurysma yang tidak dapat terlihat dengan
angiography tetapi dapat terlihat dengan jelas melalui MRI. MRA dapat
mendeteksi aneurisma ukuran 4 mm / lebih secara 3-D.
Gambar 5. Gambaran MRI pada aneurisma intrakranial
4. Cerebral Angiografi
15
Cerebral angiografi konvensional merupakan pilihan utama dalam mendiagnosa
aneurisma intracranial dan lokasi anatomisnya. Lokasi, ukuran, dan morfologi
aneurisma dapat dideteksi baik pada keadaan akut maupun chronic dengan
modalitas ini. Aneurisma besar terkadang dapat terdeteksi dengan MSCT scan
atau MRI tetapi cerebral angiography tetap merupakan prosedur diagnostik tetap.
Arteriography serebral dapat memperlihatkan 90% kasus aneurisma. Karena
sering terdapat lebih dari satu aneurisma maka keseluruhan sistem arterial serebri
harus diperiksa. Vasospasme sering mengaburkan adanya aneurisma, karena itu
hasil arteriogram awal yang negatif harus diulang 1 atau 2 minggu kemudian.
Beberapa resiko cerebral angiography konvensional meliputi infark serebri,
terjadinya hematoma atau pseudoaneurisma pada tempat penyuntikan, dan gagal
ginjal. Pada kebanyakan kasus, tingkat mortalitas kurang dari 0,1 %, dan tingkat
kerusakan neurologist diperkirakan sekitar 0,5 %.
Kebanyakan komplikasi terjadi pada pasien usia tua dengan penyakit
atherosclerotic, tetapi tidak pada pasien dengan intracranial aneurysms.
Bagaimanapun resiko yang berkaitan dengan angiografi kadang tinggi pada
beberapa pasien aneurisma intrakranial, contohnya pada pasien dengan kelainan
jaringan ikat luas seperti Ehlers–Danlos syndrome.
Gambar 6. Gambaran arteriografi pada aneurisma intrakranial
5. Alat bantu penunjang lainnya
 Lumbal Pungsi
Jika MRI gagal atau tidak ada, maka lumbal punksi dapat dilakukan. LP
dapat membantu diagnosis PSA aneurisma dengan tanpa tanda-tanda fokal
dan efek massa. Cairan serebrospinal (CSS) biasanya dapat terlihat
xantokrom atau adanya eritrosit pada CSS namun kadang-kadang dapat
terlambat dalam beberapa jam baru muncul. Xantokrom ini dapat terlihat 12-
16
33 hari dengan puncaknya hari ke 23. Tekanan CSS biasanya selalu tinggi,
terdapat elevasi protein dan hipoglikemia. Awalnya proporsi leukosit dengan
eritrosit seperti pada darah tepi, lebih lanjut akan terjadi pleositosis reaktif.
Sel darah merah dan xantokrom menghilang sekitar 2 minggu setelah
perdarahan. Kultur dapat menunjukkan etiologi infeksi.
 Transcranial Doppler Ultrasonography
TCD membantu diagnosis vasospasme dan monitoring lanjutan aliran darah
cerebral.
 Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT), Possitron
Emission Tommography (PET), Xenon-CT
Dengan pemeriksaan ini dapat terlihat iskemik berkaitan dengan vasospasme,
meskipun modalitas ini tidak dilakukan rutin.
 X-foto vertebra servikal
Penilaian X-foto vertebra servikal harus dilakukan pada setiap pasien yang
mengalami penurunan kesadaran (coma) yang tidak diketahui pasti
penyebabnya.
 Elektrokardiography (EKG)
Cardiac arrhythmias dan myocardial ischemia dapat terlihat. PSA karena
ruptur aneurisma dapat berhubungan dengan beberapa perubahan EKG,
meliputi puncak gelombang P, interval QT yang memanjang.
 Echocardiography
Sumber emboli cardiac, termasuk endocarditis dan myxomas, dapat terlihat
pada aneurisma infeksi atau neoplastik
 Evoked potential dan EEG
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan kejang akibat
komplikasi PSA karena ruptur aneurisma.
 Laboratorium
o Hitung jenis dan trombosit; untuk monitor adanya infeksi, anemia, dan
resiko perdarahan
o Prothrombin time (PT)/ activated Partial Thromboplastin Time (aPTT);
mengidentifikasi resiko perdarahan
o Elektrolit dan osmolaritas; untuk monitor hiponatremia, address
arrhytmogenic abnormalities, glucose darah, dan monitor terapi
hiperosmolar untuk peningkatan tekanan intracranial.
o Liver function test; untuk mengidentifikasi disfungsi hepatic yang dapat
memperparah komplikasi.
o Analisa Gas Darah (AGD/BGA); untuk melihat kadar oksigen dalam
darah.
Skrining untuk aneurisma intrakranial asimptomatik harus dilakukan karena
perdarahan subarachnoid memiliki prognosis yang buruk, sementara penatalaksanaan
17
aneurisma intrakranial asimptomatik berhubungan erat dengan tingkat morbiditas
(<5%) dan mortalitas (<2%). Skrining harus disarankan pada pasien dengan resiko
tinggi terjadinya aneurisma. Dua kelompok utama yang harus diskrining adalah
mereka yang memiliki riwayat keluarga aneurisma intrakranial ² dan mereka dengan
penyakit ginjal polikistik autosomal dominan² Sekitar 5 -10 % orang dewasa dengan
asimptomatik penyakit ginjal polikistik autosomal dominan memiliki kelainan
aneurisma sakular. ²
MORTALITAS DAN MORBIDITAS ANEURISMA YANG PECAH
Perdarahan subarachnoid (PSA) yang disebabkan pecahnya suatu
aneurisma memiliki resiko mortalitas yang tinggi yang secara terjadi secara bertahap
tergantung waktu. Dari pasien yang selamat pada perdarahan awal, rebleeding dan
infark serebri menjadi penyebab utama kematian. Dari hasil studi pada tahun 1960
dari 100 pasien dengan aneurismal SAH yang dirawat secara konservatif didapatkan
hasil 15 orang di antaranya meninggal sebelum mencapai rumah sakit, 15 orang
meninggal dalam 24 jam pertama di RS, 15 orang meninggal antara 24 jam pertama-2
minggu, 15 orang meninggal antara 2 minggu-2 bulan, 15 orang lagi meninggal antara
2 bulan-2 tahun kejadian dan hanya 25 orang yang selamat tapi dengan defisit
neurologis menetap¹.
PENATALAKSANAAN ANEURISMA
Penatalaksanaan suatu aneurisma meliputi :
 Monitor tanda-tanda vital dan neurologi terus menerus.
 Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi harus dimonitor ketat dan dilakukan intubasi
endotrakea.
 Pilihan terapi harus didasarkan kondisi klinis pasien, anatomi aneurisma vaskuler,
dan pertimbangan teknik bedah atau endovascular.
 PSA aneurisma harus dirawat di ICU dengan monitoring jantung.
 Sebelum terapi definitif dilakukan maka harus dijaga agar tidak ada hipertensi
dengan pemberian calcium channel blocker, dan pencegahan kejang.
 Induksi hipertensi, hipervolemia, dan hemodilution ("triple-H therapy") bertujuan
untuk menjaga tekanan perfusi otak pada keadaan autoregulasi cerebrovascular
yang terganggu.
 Intraarterial papaverin atau endovascular balloon angioplasti dapat digunakan
untuk merawat vasospasm pada beberapa pasien tertentu
18
 Pada aneurisma infeksi harus dihindarkan pengunaan antikoagulan. Begitu infeksi
dapat terkontrol dengan antibiotic maka terapi bedah harus dilakukan. Regresi
atau evolusi aneurysma harus dimonitor dengan serial angiography.
Penatalaksanaan aneurisma intrakranial yang belum pecah masih menjadi
kontroversial. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms (ISUIA)
mengindikasikan bahwa tingkat kejadian ruptur aneurisma ukuran kecil sangat kecil.
Aneurisma dengan ukuran < 10 mm memiliki tingkat kejadian rupture tahunan sekitar
0.05%. Penatalaksanaan profilaksisnya meliputi teknik bedah / endovaskular.
Tujuan utama penatalaksanaan aneurisma adalah mengeluarkan kantung
aneurisma dari sirkulasi intrakranial sambil menjaga arteri utama. Penatalaksanaan
aneurisma sejak lama dilakukan bidang bedah saraf tetapi sejak tahun 1990,
neuroradiologis telah menggunakan teknik endovascular pasien dengan intracranial
aneurysma yang jumlahnya terus meningkat. Operasi merupakan terapi definitif untuk
penatalaksanaan aneurisma sakular.
1. Operasi
Penempatan klip melintasi leher aneurisma adalah terapi definitif dan pilihan
utama karena efikasi jangka panjangnya yang telah terbukti. Pada tahun 1936, Walter
Dandy melakukan operasi pertama pada aneurisma intraranial dengan meletakkan klip
perak yang dibuat oleh Harvey Cushing, melintasi leher aneurisma pada
persambungan arteri carotis interna dengan arteri communicans posterior pada pasien
dengan parese N.III.4Sejak itu teknik operasi untuk aneurisma telah berkembang pesat
menggunakan teknik bedah mikro, mikroskop operasi, koagulasi bipolar dan klip
aneurisma yang bervariasi.. Tingkat keamanan beberapa operasi aneurisma tergantung
ukuran, lokasi atau konfigurasi, dan teknik tambahan yang sulit seperti teknik bypass
vascular grafting atau hypothermic cardiac arrest yang harus digunakan. Operasi
darurat harus dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala klinis karena efek
massa hematomaintracerebral atau subdural.
Untuk aneurisma tipe fusiformis jarang ditangani dengan teknik clipping, lebih
cenderung untuk menggunakan alterntif teknik operasi yang lain seperti teknik
wrapping, rekonstruksi arteri. Tipe eneurisma ini pada umumnya berlokasi di arteri
cerebri media. Teknik wrapping pada aneurisma fusiform tampaknya lebih aman
untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dan menghasilkan suatu kemajuan yaitu
rendahnya angka komplikasi post operasi baik yang akut maupun yang delayed.
Adapun material yang digunakan dalam teknik wrapping aneurisma dapat berupa
jaringan otot, fasia, kassa, ataupun perekat jaringan.
19
Gambar 7. Teknik klipping aneurisma
Gambar 8. Teknik wrapping aneurisma
2. Terapi Endovaskuler
Terapi endovaskuler terkini melibatkan insersi kawat halus ke dalam lumen
aneurisma seperti yang trerlihat pada gambar 10.4Kemudian melalui proses
elektrothrombosis, thrombus lokal terbentuk di sekitar kawat di dalam
aneurysm. 4 Tujuan utama teknik ini adalah obliterasi sempurna (thrombosis) kantung
aneurisma. Banyak factor yang memperngaruhi keberhasilan obliterasi tapi yang
terpenting adalah rasio leher dengan fundus aneurisma. Aneurisma dengan leher yang
luas sering tidak terobliterasi sempurna. Embolisasi dengan teknik endovaskuler
memiliki resiko yang lebih sedikit tetapi efektifitas jangka panjangnya belum
terbukti4.
Penatalaksanaan meliputi pencegahan peningkatan tekanan intracranial seperti
tirah baring total, sedatif, analgesik, laksatif, antitusif, antiemetik, antikonvulsan.
Penatalaksanaan hipertensi juga dapat menurunkan resiko perdarahan ulang tetapi
20
mengandung resiko infark serebri pada pasien dengan vasospasme serebri.
Antifibrinolitik seperti epsilon aminocaproic acid (EACA) dan asam traneksamat
mencegah bekuan aneurisma lisis dan karena itu mencegah rupture kembali. Tetapi
mereka juga menunda lisis bekuan sisternal dan meningkatkan vasospasme.
Bahan-bahan vasoaktif yang terdapat pada bekuan darah sisternal meliputi
oksihemoglobin, serotonin, cathecolamine, prostaglandin, substansi P, calcitonin gen
peptide, endothelin, platelet-derived growth factor, dan peptide lainnya telah terbukti
menebabkan vasospasme. Penatalaksanaannya meliputi reserpine, kanamycin,
aminophylin, isoproterenol, prostacyclin, naloxone, lidocaine, diprydamole, dan
tromboxane synthetase inhibitor. Tetapi tidak keuntungan yang jelas ditunjukkan oleh
regimen ini. Penggunaan nimodipine dan nicardipine lebih menjanjikan karena dapat
mengurangi isnsidensi defisit iskemik persisten setelah PSA.
Operasi yang cepat juga memungkinkan evakuasi hematoma. Sebelum operasi
pasien dijaga supaya tetap euvolemik dan diberikan nimodipin. Selama operasi
mereka mendapat manitol dan drainase CSS melalui kateter spinal.
Gambar 9. Teknik coiling aneurisma
KOMPLIKASI PERDARAHAN SUBARACHNOID KARENA ANEURISMA
Komplikasi intrakranial :
1. Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang adalah masalah utama yang mengikuti aneurismal
PSA.Dalam 28 hari pertama (pada pasien yang tidak dirawat) sekitar 30% pasien akan
mengalami perdarahan ulang, sisanya 70% meninggal. Sebagai contoh, jika pasien
selamat melewati 30 hari pertama setelah perdarahan, masih ada 20% kemungkinan
perdarahan ulang terjadi dalam 5 bulan mendatang. Meskipun jika pasien selamat
melewati periode resiko tingi dalam 6 bulan pertama tetap masih ada kemungkinan
perdarahan ulang dan kematian dala satu tahun tersebut. Pada perdarahan ulang resiko
kematian meningkat 2 kali dibandingkan dengan perdarahan awal¹.
Tingkat kejadian perdarahan ulang dipengaruhi beberapa faktor seperti
identifikasi yang tepat onset perdarahan awal, identifikasi yang tepat adanya
21
perdarahan ulang, terapi medis dan pembedahan, kondisi neurologis pasien dan
pemberian antifibrinolitik. Laporan kumulatif tingkat perdarahan ulang selama 2
minggu pertama setelah perdarahan awal berkisar antara 17-22%.²
Setiap pasien yang mengalami penurunan kesadaran tiba-tiba memerlukan
pemeriksaan CT scan. CT scan membantu mendiagnosis perdarahan ulang dan
menyingkirkan penyebab lain deteriorisasi seperti hidrosefalus akut.
2. Iskemik / Infark Serebri
Setelah PSA, pasien memiliki resiko tinggi untuk terjadi infark/iskemik serebri
dan hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting pada tingkat mortalitas dan
morbiditas. Infark/ iskemik serebri dapat terjadi secara cepat atau langsung sebagai
hasil dari perdarahan, tetapi lebih sering berkembang 4-12 hari setelah onset, baik
sebelum atau sesudah operasi disebut ”delayed cerebral ischemia”. Diperkirakan
sekitara 25% pasien terjadi iskemik/infark serebri dan dari 25% kelompok ini akan
meninggal kemudian. Sekitar 19% yang selamat akan cacat permanen.
Beberapa faktor kemungkinan berperan pada perkembangan iskemia/infark
serebral. Vasospasme arterial pada angiografi terjadi pada > 60% pasien setelah SAH
baik fokal maupun difus. Perkembangan vasospasme menunjukkan pola yang sama
terlambatnya dengan iskemik serebral. Patogenesis terjadinya vasospasme arteri
sangat kompleks. Banyak substansi vasokonstriktor yang dilepaskan dari dinding
pembuluh darah atau bekuan darah yang muncul pada CSF setelah SAH seperti
serotonin, prostaglandin, oxyhaemoglobin, tetapi pada beberapa penelitian
membuktikan bahwa antagonis vasokonstriktor telah gagal mengembalikan
penyempitan angiographic atau mengurangi insiden iskemik. Kegagalan ini mungkin
hasil perubahan arteriopathik yang telah diamati terjadi pada dinding pembuluh darah.
Hanya antagonois calcium yang muncul yang memiliki efek menguntungkan.
Semakin tinggi jumlah darah yang terlihat pada cisterna basalis (CT scan) semakin
tinggi insiden penyempitan arteri dan defisit iskemik.
3. Hipovolemia
Hiponatremia yang berkembang setelah SAH pada banyak pasien karena
sekresi sodium renal yang berlebihan daripada efek dilusi karena sekresi ADH yang
tidak berimbang. Kehilangan cairan dan penurunan volume plasma kemudian terjadi.
Pasien ini kemungkinan pada resiko tinggi terjadinya iskemik serebral, sehubungan
dengan hasil peningkatan viskositas darah.
4. Penurunan tekanan perfusi serebral.
Setelah perdarahan subarachnoid, hematoma intrakranial atau hydrocephalus
dapat menyebabkan peningkatan pada tekanan intrakranial. Efek klinik dari cerebral
iskemik/ infark tergantung dari daerah perdarahan arteri tersebut. Pada daerah serebri
anterior dapat menyebabkan kelemahan tungkai bawah, inkontinensia, bingung, dan
22
akinetic mutisme. Pada daerah serebri media dapat menyebabkan hemiparesis,
hemiplegia, dysphasia (pada hemisfer dominan). Gambaran klinis pada kedua daerah
ini dapat merupakan gambaran kelainan klinik sebagai hasil perluasan kelainan pada
arteri carotis dengnan edema hemisfer.
Umumnya iskemik terjadi pada berbagai area, seringnya pada kedua hemisfer.
Ini berhubungan dengan pola spasme arterial.
5. Hidrosefalus
Setelah perdarahan subarachnoid, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat
terganggu oleh :
 bekuan darah pada cisterna basalis (communicating hydrocephalus)
 obstruksi pada villi arachnoidalis (communicating hydrocephalus)
 bekuan darah di dalam sistem ventrikular (obstruktif hydrocephalus)
Hidrosefalus akut terjadi pada sekitar 20% pasien, biasanya pada beberapa hari
pertama setelah onset, biasanya merupkan komplikasi lanjut. Hanya 1/3 pasien yang
menunjukkan gejala sakit kepala, tingkat kesadaran yang terganggu, inkontinensia,
atau gait ataksia berat. Lebih lanjut lagi sekitar 10% pasien hidrosefalusnya
berkembang terlambat yaitu bulanan atau bahkan tahunan setelah perdarahan.
6. Hematoma Intrakranial yang Meluas
Pembengkakan otak di sekitar hematoma intracerebral dapat menyebabkan
efek massa dari hematoma. Ini dapat menyebabkan deteriorasi progresif pada tingkat
kesadaran atau progresi tanda fokal.
7. Epilepsi
Epilepsi dapat terjadi pada stadium manapun setelah SAH, khususnya jika
hematoma menyebabkan kerusakan kortikal. Kejang dapat umum maupun parsial
(fokal).
PROGNOSIS
Prognosis suatu aneurisma tergantung dari 7:
 Usia
 Status neurologikus dalam perawatan
 Lokasi aneurisma
 Selang waktu antara awal kejadian perdarahan subarachnoid dengan
penatalaksanaan medis
 Adanya hipertensi dan penyakit lain
 Tingkat vasospasme
 Adanya perdarahan ulang atau tidak
23
 Tingkat perdarahan subarachnoid
 Adanya perdarahan intraventrikular atau intraparenkimal
Pasien dengan status klinis grade I (sakit kepala ringan atau meningismus
ringan), II (sakit kepala berat, meningismus, atau neuropati kranial), III (letargi,
bingung, atau tanda neurologik fokal) memiliki prognosa yang lebih baik
dibandingkan dengan pasien grade IV (penurunan kesadaran yang buruk) danV (koma
dengan flaksiditas atau postur tubuh abnormal). Pasien grade IV dan V memiliki
kecenderungan hasil yang buruk meskipun mereka mendapat perawatan
apapun². Tingkat mortalitas operatif sendiri berkisar antara 8-45% tergantung kondisi
klinis dan waktu pasien ¹.
BAB III
Laporan Kasus Bangsal
Aneurisma Intrakranial dengan Perdarahan Subarachnoid
Oleh : dr. Marliani Afriastuti
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. YR
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Alamat : Desa Pajeksan Gang Jeruk No. 222 Juwana
Pekerjaan : PNS (Guru)
Masuk RS : 11 Maret 2013
Keluar RS : 22 April 2013
No. CM/Register : C407085/7222369
II. DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal
Masalah
Pasif
Tanggal
1 Penurunan kesadaran  3 11-03-2013
2 Hemiparesis sinistra spastik  3 11-03-2013
3 Perdarahan subarachnoid  4 11-03-2013
4 Aneurisma intracranial 11-03-2013
24
5 Hospitalized Acquired Pneumonia 11-03-2013
III. DATA SUBYEKTIF
(Auto dan alloanamnesis dengan suami dan anak pasien)
1. Riwayat Penyakit Sekarang
(Pasien rujukan dari RS Telogorejo)
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Lokasi : Intrakranial
Onset : 8 hari sebelum masuk rumah sakit, mendadak
Kualitas : Membuka mata dengan rangsang nyeri
Kuantitas : Aktivitas sehari-hari sepenuhnya dibantu keluarga
Kronologis :
+ 8 hari SMRS saat penderita sedang tidur, mendadak penderita
mendengkur keras (tidak seperti biasanya) dan mengompol. Penderita
tidak dapat dibangunkan oleh keluarga. Tidak ada muntah, tidak ada
kejang, tidak ada keluhan nyeri kepala sebelumnya. Kemudian oleh
keluarga penderita dibawa ke RS di Juwana, karena penderita
membutuhkan perawatan di ruang ICU, penderita dirujuk ke RSUD Pati.
Penderita dirawat di ruang ICU RSUD Pati selama 4 hari, kemudian
dirujuk ke RS Telogorejo, kondisi penderita masih belum sadar, sesak
nafas (+). Anggota gerak kanan aktif bergerak, sedangkan anggota gerak
kiri tidak ada gerakan.
Penderita dirawat di ruang ICU RS Telogorejo selama 4 hari, dipasang
selang bantu nafas (intubasi), kondisi penderita masih belum sadar.
Penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Penderita sudah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (19 hari di
ruang ICU dan 7 hari di ruang Stroke). Selama dirawat telah dilakukan
tindakan pemasangan tracheostomi, CT Angiografi dan Arteriografi.
Faktor memperberat : (-)
Faktor memperingan : (-)
Gejala penyerta : lemah anggota gerak kiri
2. Riwayat Penyakit Dahulu
 Penderita baru pertama kali sakit seperti ini
 Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis dan sakit jantung
disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua penderita (ibu) menderita tekanan darah tinggi dan stroke
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita bekerja sebagai seorang PNS (Guru), suami penderita bekerja
sebagai seorang wirausahawan, mempunyai 2 orang anak yang sudah
mandiri. Biaya pengobatan ditanggung ASKES.
25
Kesan : sosial ekonomi cukup
IV. DATA OBYEKTIF
1. Status Presens (06-04-2013)
Kesadaran : Composmentis, GCS : E4M6VTracheostomi
Tanda Vital : TD : 130/80mmHg
Nadi : 88x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 36.8o C
SpO2 : 100%
2. Status Internus
Kepala : mesosefal, simetris
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP tidak meningkat
Dada :
Jantung : bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
Paru : suara dasar vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, tidak ada nyeri ekan, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : tidak oedem, akral hangat
3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS : E4M6VTracheostomi
Kepala : mesosefal, simetris, nyeri tekan (-)
Mata : pupil bulat isokor, ø 3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+
Nn. Craniales : dalam batas normal
Leher : kaku kuduk (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
4. Pemeriksaan Tambahan
MSCT Scan Kepala Tanpa Kontras di RSUD RAA Soewondo Pati,
tanggal 5 Maret 2013
Kesan :
26
- Edem serebri
- Perdarahan intraserebral pada lobus frontal dan parietal kiri
- Perdarahan subarachnoid pada lobus frontal dan parietal kanan dan
kiri (volume total = 36,2 cc)
Laboratorium tanggal 5 April 2013
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI PAKET
Hemoglobin 11.20 gr % 12.00 – 15.00
Hematokrit 35.2 % 35.0 – 47.0
Eritrosit 3.85 juta / mmk 3.90 – 5.60
MCH 29.20 Pg 27.00 – 32.00
MCV 91.40 fL 76.00 – 96.00
MCHC 31.90 g /dL 29.00 – 36.00
Lekosit 9.72 ribu / mmk 4.00 – 11.00
Trombosit 469.0 ribu / mmk 150.00 – 400.00
RDW 14.60 % 11.60 – 14.80
MPV 7.50 fL 4.00 – 11.00
KIMIA KLINIK
Ureum 19 mg / dl 15 – 39
Creatinin 0.61 mg / dl 0.60 – 1.30
X- Foto Thoraks AP tanggal 12 Maret 2013
27
MSCT Scan Kepala dengan Kontras (CT Angiografi) tanggal 19 Maret 2013
Kesan :
Kesan :
 Cor tak membesar
 Infiltrat pada perihiler kanan kiri dan parakardial kanan,
gambaran bronkopneumonia
28
Kesan :
 Fusiform aneurisma di
M2 kanan
 Spasme minimal
 Perdarahan intra parenkim pada regio frontal kanan diserta edema
vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub arachnoid di kedua
hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan intrakranial
 Tak tampak pelebaran fokal bentuk sakuler maupun malformasi
vaskuler lainnya
Arteriografi (DSA System Carotis Dextra-Sinistra & Vertebralis)
Tanggal 1 April 2013
V. RESUME
Seorang wanita, 55 tahun, rujukan RS Telogorejo dengan penurunan
kesadaran dan ruptur aneurisma MCA kanan, perawatan di ICU RSUD Pati
selama 4 hari (dilakukan MSCT Scan kepala tanpa kontras) dan RS
Telogorejo selama 4 hari (dilakukan intubasi). Telah dirawat selama 26 hari di
RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ICU, 8 hari di ruang rawat biasa). Telah
dilakukan pemeriksaan laboratorium, CT Angiografi, X-Foto thoraks AP dan
Arteriografi, serta dilakukan tracheostomi.
Dengan gejala penyerta lemah anggota gerak kiri.
Obyektif :
 Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6Vtracheostomi
 Tanda Vital : TD : 130/80mmHg
Nadi : 88x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 36.8o C
SpO2 : 100%
 Mata : pupil bulat isokor, Ø3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+
29
 Nn. Craniales : dalam batas normal
 Motorik : hemiparese sinistra spastik
 Sensibilitas : dalam batas normal
 Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+)
 Laboratorium : dalam batas normal
 X-foto thoraks AP : Kesan gambaran bronkopneumonia
 CT Angiografi : Kesan perdarahan intra parenkim pada region frontal
kanan diserta edema vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub
arachnoid di kedua hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan
intracranial
 Arteriografi (DSA system carotis dextra-sinistra & vertebralis): kesan
fusiform aneurisma di M2 kanan dengan spasme minimal
VI. DIAGNOSIS
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
VII. RENCANA PENGELOLAAN AWAL
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IP Dx : -
IP Rx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Mobilisasi
IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, defisit neurologis
IP Ex : menjelaskan tentang rencana penatalaksanaan selanjutnya yaitu
tindakan operasi
II. HAP
IP Dx : -
IP Rx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, deficit neurologis
IP Ex : menjelaskan tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan
rencana penatalaksanaan selanjutnya
30
VIII. CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 10 April 2013 (Hari perawatan ke – 30 di ruang Stroke)
S : Nyeri kepala hilang timbul
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 130/90mmHg, N = 88x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.8oC
Status Neurologi
Mata : Pupil bulat isokor, Ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Citicholin 1 gram/8 jam iv
- Paracetamol 500 mg/8 jam po
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Bladder training
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
31
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam (Bisolvon + Atrovent 1 : 1)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 11 April 2013 (Hari perawatan ke – 31 di ruang Stroke)
S : Banyak lendir di tenggorokan, susah keluar
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 110/80mmHg, N = 90x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
32
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Pro tindakan operasi (craniotomy)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam (Bisolvon : Atrovent  1:1)
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Instruksi Pre operasi :
- Daftar OK (IBS)
- Konsul anestesi
- Konsul ICU/HCU
- EKG + konsul kardiologi
- Persiapan darah PRC 1 kolf
- Informed consent tindakan dan alat
- Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu)  disuntik 30 menit sebelum insisi di
dalam OK
Hasil konsul anestesi :
Pada prinsipnya setuju pengelolaan anestesi
Saran : - Informed consent
- Puasa 6 jam
- Pasang IV line
- Premed di OK
- Oksigenasi 3 lpm
- Lain-lain sesuai operator
Hasil konsul kardiologi :
Kesan : sinus takikardi dengan iskemik lateral
Saran : cari penyebab takikardi (demam, infeksi, kompensasi dari penyakit, dan
lain-lain)
Tanggal 12 April 2013 (Hari perawatan ke – 32 di ruang Stroke)
S : -
33
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 120/80mmHg, N =94 x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t = 36.8oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( + )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid
e.c ruptur aneurisma MCA kanan
II. HAP
P :
I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam)
- Mobilisasi
- Pro operasi craniotomy hari ini
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan
operasi
II. HAP
IpDx : -
IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po
- Nebulizer /8 jam
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
34
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Instruksi Pre operasi :
- Puasa 6 jam
- Informed consent
- Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu)  disuntik 30 menit sebelum insisi di
dalam OK
Laporan Operasi :
- Informed consent + antibiotik profilaksis (Inj. Ceftriakson 2 gr iv)
- Posisi supine, kepala miring ke kiri
- Desinfeksi lapangan operasi dengan povidone iodine
- Insisi temporofrontal lapis demi lapis, rawat perdarahan, identifikasi arteri
temporalis superfisialis, flap kulit ke anterior
- Insisi periosteum dan otot, elevasi dengan adson  flap ke anterior
- Borr hole 4 lubang, craniotomy dengan high speed drill
- Angkat tulang, rawat perdarahan, knabel sphenoid ridge sampai basal
- Buat tempat fiksasi tulang dan gantung dura keliling
- Insisi dura bentuk T; flap ke anterior
- Tampak vena sylvian dan otak yang kekuningan dangan hemosiderin. Otak
tidak bulging. Diseksi dari arachnoid dengan jarum dan pinset bergantian
sampai tampak arteri cabang MCA (M4/M5), ditelusuri ke basal sampai
tampak M1  telusuri ke distal tampak stenosis dan gambaran aneurisma
yang fusiform sampai tampak normal, diseksi dari arachnoid keliling.
- Dilakukan wrapping dengan fascia mengelilingi aneurisma, ditambal dengan
beriplast antara fascia dan aneurisma sampai fascia melekat erat
- Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis; spoeling ke intradura jernih
- Operasi selesai
- Perdarahan + 300 cc
35
Terapi post operasi :
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv
- Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
Tanggal 14 April 2013 (Hari perawatan ke – 34 di ruang HCU)
S : nyeri luka bekas operasi 
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 113/70mmHg, N = 108x/ mnt, RR = 20x/ mnt, t = 38oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/1 5/0
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran
Hemiparesis sinistra spastik
36
Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosis Etiologis : PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan
Post craniotomy wrapping aneurysma hari ke-2
II. HAP
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-2
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- O2 3 lpm kanul via tracheostomi
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-2)
- Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv
- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Mobilisasi duduk
- Pindah ruang rawat biasa
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana
penatalaksanaan selanjutnya
II. HAP
IpDx : -
IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 17 April 2013 (Hari perawatan ke – 37 di ruang Merak Lt. 1)
S : -
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 140/90mmHg, N =84 x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.2oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( + )
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/2 5/1
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
37
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+)
A :
I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra spastik
Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan
Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +5
II. HAP
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-5
IpDx : -
IpRx : - Ivfd RL 20 tpm
- Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-5)
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
- Ranitidin 150 mg/12 jam po
- Aff tracheostomi  tutup luka bekas tracheostomi dengan kassa
kering, di plester tepi atasnya saja
- Aff DC
- Fisioterapi, latihan batuk/mengeluarkan dahak
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana
penatalaksanaan selanjutnya, jika ingin suara keluar saat bicara tekan
luka bekas tracheostomi yang tertutup kassa dengan tangan
II. HAP
IpDx : -
IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po
IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor
resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
Tanggal 22 April 2013 (Hari perawatan ke –42 di ruang Merak Lt. I1)
S : Batuk -, sesak -
O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi
TD= 110/80mmHg, N = 84x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC
Status Neurologi
Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / +
Leher : kaku kuduk ( - )
38
Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/2 5/1
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
A :
I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra spastik
Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid
Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan
Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +10
II. HAP perbaikan
P :
I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-10
IpDx : -
IpRx : - Cefixim 100 mg/12 jam po
- Phenytoin 200 mg/12 jam po
- Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
- Ranitidin 150 mg/12 jam po
- Citicholin 500 mg/12 jam po
- Aff hecting
- Boleh pulang
IpMx : -
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang telah
ditentukan
II. HAP
IpDx : -
IpRx : -
IpMx : -
IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang ditentukan
39
CATATAN PERKEMBANGAN SETELAH PULANG PERAWATAN
Hari Minggu, 28 April 2013 (Kunjungan Rumah)
Hasil pemeriksaan :
Keluhan : lemah anggota gerak kiri, membaik
Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6V5 = 15
Nn. Craniales : dalam batas normal
Motorik Superior Inferior
Gerak +/ +/
Kekuatan 5/4 5/3
Tonus N/N N/N
Trofi E/E E/E
Refleks Fisiologis +/+ +/+
Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
Klonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
Terapi :
40
 Cefixim 100 mg/12 jam po
 Citicholin 500 mg/12 jam po
 Asam mefenamat 500 mg/8 jam po
 Ranitidin 150 mg/12 jam po
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita 55 tahun bekerja sebagai PNS (Guru), mengalami penurunan
kesadaran mendadak, tidak ada muntah, tidak ada nyeri kepala sebelumnya. Penderita
kemudian dibawa ke RSUD Juwana, namn karena fasilitas yang tidak memadai,
penderita dirujuk ke RSUD Pati, dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras
dan dirawat di ruang ICU. Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontrass
tampak perdarahan subarachnoid regio frontal dan parietal kanan dan kiri. Karena
tidak ada perbaikan dan penderita mengalami sesak nafas, setelah dirawat selama 4
hari, penderita dirujuk ke RS Telogorejo dan dirawat di ruang ICU. Di RS Telogorejo
dilakukan tindakan intubasi terhadap penderita. Setelah dirawat selama 4 hari,
penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi.
Penderita telah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ruang
ICU dan 6 hari di ruang rawat Stroke) dengan diagnosa PSA e.c ruptur aneurisma
MCA Kanan. Telah dilakukan pemeriksaan laboratorium, MSCT scan kepala dengan
41
kontras (CT Angiografi), X-Foto thoraks AP, arteriografi (DSA), serta telah dilakukan
tindakan tracheostomi terhadap penderita. Dari hasil pemeriksaan arteriografi tampak
aneurisma fusiformis pada M2 MCA kanan, sedangkan pada pemeriksaan X-Foto
thoraks AP tampak gambaran bronkopneumonia. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut di atas, dokter bagian bedah saraf memberikan informed consent kepada
keluarga pasien tentang rencana tindakan operasi, dan keluarga menyetujui tindakan
tersebut.
Setelah keluarga menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi, kemudian
penderita dikonsulkan ke bagian anestesi dan kardiologi untuk mengkonfirmasi
toleransi terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan, serta ke bagian ICU dan
HCU untuk perawatan post operasi. Setelah semua syarat terpenuhi, maka dilakukan
tindakan craniotomy di ruang OK Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi dengan
general anestesi.
Selama operasi berlangsung, diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
wrapping aneurisma. Keputusan ini diambil karena tipe aneurisma penderita adalah
fusiform.
Tindakan wrapping aneurisma pada pasien ini sudah sesuai dengan tipe
aneurisma pada penderita, yaitu fusiform. Dengan tindakan wrapping aneurisma,
diharapkan dapat meminimalisir komplikasi post operasi baik akut maupun delayed,
seperti perdarahan ulang ataupun pembesaran pembuluh darah berulang.
Post operasi craniotomy wrapping aneurisma pasien dirawat di ruang HCU
selama 2 hari. Setelah kondisi penderita membaik dan stabil, kemudian penderita
dipindahkan ke ruang rawat biasa.
Setelah menjalani perawatan selama 42 hari di RSUP Dr. Kariadi, penderita
diperbolehkan pulang dengan kondisi perbaikan dengan tidak ada keluhan, namun
masih ada kelemahan anggota gerak kiri yang membaik.
42
Daftar Pustaka :
1. Juvela, S. Natural history of unruptured intracranial aneurysms : risks for
aneurysm formation, growth, and rupture. Acta Neurochir Suppl (82:27-30); 2002.
2. Stehbens, WE. Aneurysm and anatomical variation of cerebral arteries. AArch
Pathol (75:45-64); 1963.
3. Connolly ES, Solomon RA. Management of unruptured aneurysm. In : Le Roux
PD, Winn HR, Newell DW, eds. Management of cerebral aneurysm.
Philadelphia:Saunders; 2004.
4. Algra A, Hop JW, Rinkel GJ, Van Gijn J. Case fatality rates and functional
outcome after subarachnoid hemorrhage: a systemic review. Stroke; 1997.
5. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Medical Progress Cerebral Aneurysms
Review. The New England Journal of Medicine (Internet).August 31, 2006:928.
Available from : http://www.nejm.org
6. Schievink WI. Intracranial aneurysms. The New England Journal Medicine
(Book). 1997:336:28-40.
7. Garparotti R, Liserre R. Intracranial aneurysms. Eur Radiol; 2005.
43
8. Ali MJ, Bendok BR, Getch CC, Batjer HH. Trapping and revascularization for a
dissecting aneurysm of the proximal posteroinferior cerebellar artery: technical
case report and review of the literature. Neurosurgery; 2002.
9. Barami K, Ko K. Ruptured mycotic aneurysm presenting as an intraparenchymal
hemorrhage and nonadjacent acute subdural hematoma: case report and review of
the literature. Surg Neurol; 1994.
10. Karmonik C, Klueznik R. Understanding the dangers of aneurysm. Biomedical.
ANSYS Advantage (Book). 2008:II(2).
11. Kwoon JV, Lavine SD, Vega C. Intracranial Aneurysms:Current evidence and
clinical practice. American Family Physician (Internet). August 15, 2002:66(4).
Available from : http://www.aafp.org/afp
12. Asari S, Ohmoto T. Natural history and risk factors of unruptured cerebral
aneurysms. Clinical Neurological Neurosurgery; 1993
13. Greenberg MS. SAH and aneurysms. In : Greenberg MS, ed. Handbook of
neurosurgery 5th ed. New York: Thieme Medical; 2000.
14. Brisman JL, Newell DW, Song JK. Medical progress cerebral aneurysm review
article. The New England Journal of Medicine (Internet). August 31,
2006:928(355):9. Available from: http://www.nejm.org
15. Wardlaw JM, White PM. The detection and management of unruptured
intracranial aneurysms. Brain; 2000.

More Related Content

Viewers also liked (6)

212660334 case-study-2
212660334 case-study-2212660334 case-study-2
212660334 case-study-2
 
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
 
129696308 case-tetanus
129696308 case-tetanus129696308 case-tetanus
129696308 case-tetanus
 
168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-study168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-study
 
How to quickly find valuable talent
How to quickly find valuable talentHow to quickly find valuable talent
How to quickly find valuable talent
 
211432897 a-case-study-on-port-folio-management
211432897 a-case-study-on-port-folio-management211432897 a-case-study-on-port-folio-management
211432897 a-case-study-on-port-folio-management
 

Similar to 207916786 ns-case

Gangguan sistem peredaran darah
Gangguan sistem peredaran darahGangguan sistem peredaran darah
Gangguan sistem peredaran darah
dhoan Evridho
 
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docxAsuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
Setianaalirusi28
 

Similar to 207916786 ns-case (20)

Aneurisma apa yang perlu anda tahu
Aneurisma apa yang perlu anda tahuAneurisma apa yang perlu anda tahu
Aneurisma apa yang perlu anda tahu
 
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docxPERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
 
Gangguan sistem peredaran darah
Gangguan sistem peredaran darahGangguan sistem peredaran darah
Gangguan sistem peredaran darah
 
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docxPERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
PERDARAHAN_INTRAKRANIAL.docx
 
serba serbi pembahasan tentang aneurisma aorta.pptx
serba serbi pembahasan tentang aneurisma aorta.pptxserba serbi pembahasan tentang aneurisma aorta.pptx
serba serbi pembahasan tentang aneurisma aorta.pptx
 
Hydrocephalus
HydrocephalusHydrocephalus
Hydrocephalus
 
Depresi Fraktur Tengkorak.pptx
Depresi Fraktur Tengkorak.pptxDepresi Fraktur Tengkorak.pptx
Depresi Fraktur Tengkorak.pptx
 
RUPTUR MIOKARD
RUPTUR MIOKARDRUPTUR MIOKARD
RUPTUR MIOKARD
 
Penyakit pd jantung bbl
Penyakit pd jantung bblPenyakit pd jantung bbl
Penyakit pd jantung bbl
 
Lp ima
Lp imaLp ima
Lp ima
 
Catatan Presentasi.pptx
Catatan Presentasi.pptxCatatan Presentasi.pptx
Catatan Presentasi.pptx
 
Termin 1
Termin 1Termin 1
Termin 1
 
Askep iccu mci citra
Askep iccu mci citraAskep iccu mci citra
Askep iccu mci citra
 
Askep sa
Askep saAskep sa
Askep sa
 
Ca
CaCa
Ca
 
tak
taktak
tak
 
DEEEEEEE
DEEEEEEEDEEEEEEE
DEEEEEEE
 
SLIDE lapkas Sindrom Down.ppt
SLIDE lapkas Sindrom Down.pptSLIDE lapkas Sindrom Down.ppt
SLIDE lapkas Sindrom Down.ppt
 
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docxAsuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
Asuhan Keperawatan Pada Pericardiocentesis.docx
 
Ppt stroke 2
Ppt stroke 2Ppt stroke 2
Ppt stroke 2
 

Recently uploaded

Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkungPenyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
SemediGiri2
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
ErikaPutriJayantini
 
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptxperwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
Mas PauLs
 
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaanprinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
aji guru
 
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwuPenjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
Khiyaroh1
 
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran  IDM 2024 di kec Plumbon.pptxMateri Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran  IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
AvivThea
 

Recently uploaded (20)

MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkungPenyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
Penyuluhan_pHIV_AIDS (1).ppt pada tahun 2024 di klungkung
 
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
 
Ppt kelompok 6 (preeklamsia ringan).pptx
Ppt kelompok 6 (preeklamsia ringan).pptxPpt kelompok 6 (preeklamsia ringan).pptx
Ppt kelompok 6 (preeklamsia ringan).pptx
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
 
Lokakarya tentang Kepemimpinan Sekolah 1.pptx
Lokakarya tentang Kepemimpinan Sekolah 1.pptxLokakarya tentang Kepemimpinan Sekolah 1.pptx
Lokakarya tentang Kepemimpinan Sekolah 1.pptx
 
contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docxcontoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
 
Informatika Latihan Soal Kelas Tujuh.pptx
Informatika Latihan Soal Kelas Tujuh.pptxInformatika Latihan Soal Kelas Tujuh.pptx
Informatika Latihan Soal Kelas Tujuh.pptx
 
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptxperwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
perwalian IKLIM SEKOLAH AMAN Mencegah Intoleransi.pptx
 
PPDB SMAN 1 SURADE - PROV JABAR 2024 / 2025
PPDB SMAN 1 SURADE - PROV JABAR 2024 / 2025PPDB SMAN 1 SURADE - PROV JABAR 2024 / 2025
PPDB SMAN 1 SURADE - PROV JABAR 2024 / 2025
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Modul 5 Simetri (simetri lipat, simetri putar)
Modul 5 Simetri (simetri lipat, simetri putar)Modul 5 Simetri (simetri lipat, simetri putar)
Modul 5 Simetri (simetri lipat, simetri putar)
 
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaanprinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
 
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwuPenjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
Penjelasan Asmaul Khomsah bahasa arab nahwu
 
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran  IDM 2024 di kec Plumbon.pptxMateri Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran  IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
 
P5 Gaya Hidup berkelanjutan gaya hidup b
P5 Gaya Hidup berkelanjutan gaya hidup bP5 Gaya Hidup berkelanjutan gaya hidup b
P5 Gaya Hidup berkelanjutan gaya hidup b
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docxMateri E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
 

207916786 ns-case

  • 1. 1 Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites BAB I PENDAHULUAN Aneurisma adalah dilatasi yang abnormal dari arteri, dan di dalam otak pada umumnya muncul di tempat percabangan dari pangkal arteri1. Angka kejadian aneurisma intracranial pada populasi umum telah dilaporkan antara 1,5 sampai 8 %. Sedangkan penelitian lainnya di Amerika Serikat pada studi autopsi menunjukkan prevalensi aneurisma intrakranial pada populasi dewasa antara 1 sampai 5 % (dapat diartikan sekitar 10 juta sampai 12 juta orang di Amerika Serikat menderita aneurisma intrakranial), dimana kebanyakan merupakan aneurisma kecil, diperkirakan 50 sampai 80 persen dari semua aneurisma tidak pecah selama kehidupan seseorang 2,3. Aneurisma intrakranial adalah kondisi yang relatif umum, seringkali asimptomatik sampai terjadinya pecah aneurisma. Perdarahan subarachnoid dihubungkan dengan pecahnya aneurisma yang berpotensi menyebabkan kematian dengan rata-rata kematian lebih dari 50%4. Terdapatnya aneurisma pada perdarahan subarachnoid akan memunculkan perdarahan ulang. Dua sampai empat persen perdarahan ulang dalam 24 jam pertama setelah waktu awal serangan dan hampir 15 sampai 20 % perdarahan terjadi pada waktu minggu kedua dalam dua minggu pertama. Seseorang dengan aneurisma intrakranial dengan simptom kompresi seperti kelumpuhan nervus kranial atau disfungsi dari batang otak sebaiknya dievaluasi dan diterapi dengan segera sebab akan meningkatkan resiko ruptur (6 % per tahun) pada
  • 2. 2 beberapa sub grup. Resiko ruptur dari aneurisma intrakranial yang belum berdarah tetapi ditemukan secara kebetulan kurang pasti dan aneurisma intrakranial pada umumya dikelola secara elektif. Pada masa lalu, aneurisma intrakranial yang tidak rupture diperkirakan mempunyai resiko yang tinggi dengan diperkirakan akan terjadi resiko perdarahan kurang lebih 1 sampai 2 persen. Sebelum tersedianya koil yang terlepas, aneurisma intrakranial paling sering dilakukan operasi klipping untuk mencegah terjadinya ruptur5. BAB II TINJAUAN PUSTAKA EPIDEMIOLOGI Pada otopsi di Amerika Serikat, kejadian aneurisma intrakranial ditemukan pada sekitar 1% dari populasi. Sedangkan insidensi perdarahan subarachnoid yang disebabkan oleh aneurisma yang ruptur sekitar 6-16% per 100000 orang per tahunnya. Secara internasional, insidensi perdarahan subarachnoid karena aneurisma bervariasi, berkisar 3,9 – 19,4 per 100000 orang, dengan tingkat kejadian paling tinggi dilaporkan terjadi di Finlandia dan Jepang. Aneurisma lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan pada laki-laki, dengan perbandingan 3:2, pada usia lebih dari 40 tahun. Namun, pada usia kurang dari 40 tahun kejadian aneurisma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita. Aneurisma saccular pada arteri communicans anterior atau arteri serebri anterior lebih sering terjadi pada laki-laki, sementara persambungan antara arteri carotis interna dengan arteri communicans posterior adalah lokasi tersering aneurisma saccular pada wanita.
  • 3. 3 Aneurisma raksasa (Giant Aneurysm) tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Sementara prognosis perdarahan subarachnoid karena aneurisma yang ruptur lebih buruk pada wanita. Delapan puluh lima persen aneurisma ditemukan pada circulus willisi. Arteri komunikan anterior merupakan tempat tersering terjadinya aneurisma (30-35 %), diikuti oleh arteri karotis interna (ICA) (30%), termasuk di dalamnya arteri komunikans posterior, bifurkasio karotis dan aneurisma pada arteri ophtalmika, dan arteri serebri media (MCA) (22%). Aneurisma pada sirkulasi posterior kurang lebih 8 sampai 10 persen dari seluruh aneurisma dan basilar tip adalah tempat awal dari aneurisma. Pada usia pediatrik, penelitian aneurisma jarang dilakukan. Pada 20–30 % pasien aneurisma adalah multipel. KLASIFIKASI Terdapat empat tipe dasar dari aneurisma intrakranial yang didasarkan pada etipatogenesis dan histologi7, yaitu : 1 Saccular Sembilan puluh persen aneurisma intrakranial adalah saccular atau Berry Shaped dan berkembang menjadi kantung yang menonjol dengan dinding yang tipis dari arteri circulus willisi atau dari cabang arteri yang besar. Secara patologi, aneurisma terdiri dari sebuah kantong yang terbentuk karena defisiensi kolagen pada tunika muskularis yang keluar, selanjutnya sebagai defek yang terlokalisir di dalam lapisan elastik internal. Tunika muskularis dan lapisan internal berakhir pada leher aneurisma dan dinding aneurisma yang sangat tipis yang hanya terdiri dari tunika intima dan tunika adventisia. Berdasarkan ukuran aneurisma, aneurisma saccular dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu : kecil ( <10mm), besar ( 10-25 mm), dan giant atau sangat besar ( >25mm). Berdasarkan lebar leher aneurisma dikelompokkan menjadi aneurisma leher kecil ( <4mm) dan aneurisma leher besar ( >4mm). Gambaran anatomi ini sangat penting dalam pendekatan terapi dan resiko intraoperasi7. Hanya cabang distal dari arteri serebral yang umumnya terpengaruh dan aneurisma menyatu dan eksentrik tanpa adanya leher yang merupakan karakteristik dari aneurisma saccular9. 2 Fusiform Aneurisma fusiform adalah arteri yang berlebihan, disebabkan oleh aterosklerosis dan tipe yang sering terjadi pada usia lanjut. Aneurisma ini dapat menyebabkan efek massa atau iskemi, dimana pada umumnya tidak pecah. 3 Dissecting
  • 4. 4 Dissecting aneurisma jarang terjadi dan pada pasien yang datang dengan SAH biasanya mempunyai sedikit riwayat dan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi perdarahan ulang8. 4 Mikotik Mikotik aneurisma sangat jarang terjadi dan terbentuk karena adanya infeksi pada dinding arteri yang seringkali disebarkan oleh bakteri endokarditis. Gambar 1. Bentuk Aneurisma Kiri : aneurisma saccular, aneurisma fusiform, aneurisma dissecting Kanan : aneurisma mikotik PATOGENESIS Sedikit yang diketahui mengenai penyebab aneurisma intrakranial atau proses terbentuknya aneurisma, perkembangan dan terjadinya pecah aneurisma, meskipun hipertensi dan merokok memicu perubahan vaskuler dan dianggap mempunyai peran yang utama. Terdapat tiga teori yang diakui untuk menerangkan patogenesis dari aneurisma, yaitu : (1) Teori Kongenital Awalnya aneurisma dianggap merupakan kelainan kongenital karena adanya temuan defek perkembangan pada tunika media. Defek ini terjadi pada apeks bifurkasio pembuluh darah sama dengan aneurisma. Tetapi ditemukan juga pembuluh darah ekstrakranial sama seperti pembuluh darah intracranial; aneurisma sakular dengan kontras jarang ditemukan diluar calvaria. Defek tunika media sering ditemukan paa anak-anak, namun aneurisma jarang pada kelompok umur ini. (2) Teori Degeneratif
  • 5. 5 Teori yang berkembang saat ini yaitu bahwa defek pada lamina elastika interna merupakan hal yang penting pada pembentukan aneurisma dan ini kemungkinan berhubungan dengan kerusakan atherosklerotik. Percepatan degenerasi pada dinding arteri yang disebabkan oleh tekanan hemodinamik juga memainkan peranan penting pada terbentuknya aneurisma pada dewasa. Aneurisma sering terbentuk pada sisi dimana terjadi stress hemodinamik sebagai contohnya, pembuluh darah hipoplastik kongenital menyebabkan aliran yang berlebihan pada suatu arteri. Hipertensi juga berperan, lebih dari ½ pasien dengan ruptur aneurisma memiliki bukti sebelumnya terjadi peningkatan tekanan darah (terbentuknya aneurisma umum terjadi pada pasien dengan hipertensi karena koarktasio aorta) (3) Kombinasi dari keduanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teori degeneratif memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan teori congenital, yaitu pemeriksaan arteri otak pada neonatus tidak menunjukkan adanya aneurisma saccular, kebanyakan aneurisma menjadi perhatian klinis pada usia 40 – 70 tahun, menunjukkan bahwa aneurisma merupakan lesi yang didapat, serta insidensi aneurisma familial bersifat sporadik dan jarang ditemukan. Perkembangan dan pecahnya suatu aneurisma tergantung pada banyak faktor, diantaranya: faktor geometrik seperti bentuk dan ukuran atau rasio tinggi atap dari aneurisma dengan lebar leher; faktor biologi seperti penurunan konsentrasi dari struktur protein pada matriks ekstraseluler pada dinding arteri antrakranial; dan faktor hemodinamik, khususnya gaya tekan pada dinding.10 Tingginya angka mortalitas dihubungkan dengan pecahnya aneurisma intracranial. Menentukan suatu aneurisma bisa pecah adalah suatu keputusan yang penting dalam menentukan penatalaksanaan. Sebelum tahun 1998, beberapa penelitian besar menemukan rata-rata ruptur dalam setahun sekitar 1,4 sampai 1,9 persen pada aneurisma intrakranial; pecahnya aneurisma akan lebih tinggi ketika aneurisma dengan diameter lebih dari 10 mm, bersifat simptomatik atau lokasi aneurisma berada pada sirkulasi posterior.11 Meskipun aneurisma yang besar menunjukkan tingginya resiko untuk terjadinya ruptur, tetapi aneurisma yang kecil tidak dapat diabaikan. Pada suatu penelitian dengan serial kasus pada 25 pasien, aneurisma intrakranial dengan diameter kurang dari 5 mm terjadi pecah aneurisma pada 5 pasien dan pada pasien dangan diameter aneurisma kurang dari 9 mm terdapat 11 yang mengalami pecah aneurisma. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan merujuk ke bedah saraf diperlukan pada semua pasien dengan aneurisma intracranial.12 Penemuan dari The International Study of Unrupturd Intracranial Aneurysms (ISUIA) yang dipublikasikan pada tahun 1998, mendapatkan bahwa aneurisma dengan diameter kurang dari 10 mm menpunyai rata-rata terjadinya ruptur sebesar 0,05 persen dalam setahun tanpa adanya riwayat SAH; sedangkan rata-rata
  • 6. 6 pecahnya aneurisma akan menjadi 10 kali lebih tinggi pada aneurisma dengan ukuran yang lebih kecil pada pasien dengan riwayat SAH. Rata-rata pecah dalam setahun pada aneurisma yang besar mendekati 1 persen.11 FAKTOR RESIKO Sebuah review yang sistematik pada penelitian yang melibatkan kurang lebih 56000 pasien menemukan bahwa aneurisma intrakranial yang tidak pecah terjadi 3,6 sampai 6 persen pada populasi umum. Faktor keturunan dan faktor resiko yang didapat berhubungan dengan terbentuknya aneurisma intracranial (tabel 1). Keluarga dekat pada aneurisma intracranial dapat terjadi dengan atau tanpa riwayat penyakit keturunan yang lain. Angka kejadian aneurisma intrakranial antara 8 sampai 9 persen dengan dua atau lebih berhubungan dengan perdarahan subarachnoid atau karena aneurisma. Anggota keluarga yang mempunyai aneurisma mempunyai resiko tinggi untuk timbulnya perdarahan subarachnoid karena aneurisma. Beberapa faktor keturunan pada jaringan penghubung dihubungkan dengan terbentuknya aneurisma, dianggap sebagai akibat lemahnya dinding pembuluh darah. Satu penelitian menemukan bahwa aneurisma dalam 10 sampai 15 persen pasien dengan penyakit ginjal polikistik dengan kondisi autosomal dominan. Meskipun sindroma marfan diidentifikasikan sebagai faktor resiko aneurisma, penelitian terakhir menemukan bahwa tidak ada hubunngan yang bermakna. Koartiso aorta, fibromuskular dysplasia dan pheukrositoma dihubungkan dengan aneurisma intrakranial, kemungkinan disebabkan peningkatan tekanan darah yang menyebabkan kondisi tersebut. Data terbaru menunjukkan bahwa umur di atas 50 tahun, jenis kelamin perempuan dan perokok merupakan faktor terjadinya aneurisma intrakranial. Sejak 1984 penggunaan kokain dihubungkan dengan pembentukan dan rupturnya aneurisma. Hubungan ini diperkirakan disebabkan karena peningkatan turbulensi dari aliran darah yang berubah-ubah, hipertensi yang tidak tetap. Pada sejumlah pengguna kokain, aneurisma ditemukan secara bermakna pada pasien muda dengan diameter pembuluh darah yang kecil. Infeksi dari kolonisasi bakteri dan jamur pada dinding pembuluh darah, trauma dan neoplasma intrakranial atau emboli neoplastik merupakan kasus yang jarang menyebabkan aneurisma intrakranial. Tabel 1 Faktor Resiko Aneurisma Intrakranial Faktor resiko keturunan Faktor resiko lainnya Penyakit polikistik ginjal autosomal dominan Sindrom Ehler-Danlos tipe IV Perdarahan teleanktasis herediter Defisiensi α-antitripsin Umur lebih dari 50 tahun Perempuan Perokok Pengguna kokain Infeksi pembuluh darah
  • 7. 7 Koartiso aorta Dysplasia fibromuskular Pheokromositoma Sindrom kelinefelter Sklerosis tuberious Sindrom noonan Defisiensi α-glukosidase Trauma kepala Neoplasma intracranial atau emboli neoplastik Hipertensi Alkohol Pengunaan kontrasepsi oral Hiperkolesterolemi GAMBARAN KLINIS Aneurisma intrakranial terbanyak merupakan asimptomatik dan tidak terdeteksi sampai saatnya terjadi rupur, terutama pada aneurisma dengan ukuran yang kecil. 10 Ketika pasien dengan aneurisma yang tidak pecah bisa menunjukkan gejala seperti nyeri kepala, penurunan penglihatan perifer, kehilangan keseimbangan dan koordinasi atau gangguan neurologis lainnya (tergantung dari lokasi aneurisma). Sebuah catatan kasus dari 111 pasien yang dikirim dari pusat kesehatan tersier pada penanganan aneurisma yang tidak ruptur menemukan bahwa 41 persen aneurisma menunjukkan gejala (tabel 2). Paling banyak pada pasien ini adalah gejalanya menetap selama dua minggu dan mungkin lebih pada pasien dengan lokasi aneurisma yang besar pada sirkulasi posterior.11 Tabel 2 Gejala pada aneurisma yang tidak ruptur pada 111 pasien Gejala Jumlah pasien Akut Nyeri kepala berat Transient ischemia Kejang Kelumpuhan nervus okulomotor atau hilang penglihatan Kronik Karakter yang berbeda dari nyeri kepala sebelumnya Hilang penglihatan yang kronis Neuropati optic unilateral Kelemahan motorik atau neuropati cranial tidak termasuk mata Nyeri wajah 7 7 3 2 18 10 7 4 3 Gambaran klinik suatu aneurisma dapat berupa efek kompresi massa, penyebab transient iskemik serebral (thrombus/emboli), perdarahan karena ruptur, ataupun asimptomatik. Sebanyak 90% pasien dengan aneurisma biasanya terjadi
  • 8. 8 perdarahan subarachnoid dan 7% memiliki gejala atau tanda dari kompresi struktur terdekat. Sisanya ditemukan secara kebetulan. Gejala dini suatu aneurisma dapat berupa adanya nyeri kepala yang terjadi tiba-tiba, terutama pada kasus pecahnya suatu aneurisma. 1. Ruptur Aneurisma(90%) Kejadian ruptur paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun. Kejadian pecahnya suatu aneurisma dapat terjadi pada semua usia, namun jarang terjadi pada anak- anak. Ruptur aneurisma dapat menyebabkan perdarahan intraparenkim (lebih sering pada aneurisma distal), perdarahan intraventrikular (13-28%), atau subdural hematom (2-5%). Gejala suatu aneurisma yang pecah sangat bervariasi, tergantung pada keparahan, pembuluh darah mana yang ruptur, serta lokasi perdarahan. Gambaran klinik perdarahan subarachnoid meliputi onset yang mendadak dari nyeri kepala hebat, diikuti penurunan kesadaran, mual, muntah, kaku kuduk, fotofobia, defisit neurologi fokal, dan epilepsi. Temuan klinik tergantung tingkat keparahan perdarahan subarachnoid, adanya hematom intraserebral dan lokasinya, ada tidaknya hidrosefalus, dan waktu pemeriksaan berhubungan dnegan perdarahan. Sejak keparahan perdarahan berkaitan dengan keadaan klinis pasien dan dalam hal ini akhirnya berhubungan dengan hasil akhir perawatan, banyak peneliti yang mengelompokkan pasien aneurisma ke dalam 5 level seperti oleh Hunt dan Ness yang telah dipergunakan secara luas oleh klinisi Grade Kondisi Klinik 0 Aneurisma yang tidak pecah 1 Asimptomatik atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan 2 Kaku kuduk dan sakit kepala sedang/berat; cranial neuropathy, tidak ada defisit fokal 3 Delirium, bingung, atau defisit fokal ringan 4 Stupor, hemiparesis sedang sampai berat 5 Koma dalam, postur deserebrasi Tabel 3. Skala tingkat keparahan perdarahan sub arachnoid Hunt dan Ness Akhir-akhir ini ada juga skala baru yang telah disusun dan diakui oleh World Federation of Neurosurgeont (WFN), yang melibatkan Glasgow Coma Scale. Skala ini berhubungan dengan hasil akhir dan menyediakan indeks prognostik bagi para klinisi. Sebagai tambahan, skala ini dapat mencocokkan kelompok pasien untuk membandingkan efek dari teknik penanganan yang berbeda. WFN Grade GCS Defisit Motorik I 15 Tidak ada
  • 9. 9 II 14 – 13 Tidak ada III 14 – 13 Ada IV 12 – 7 Ada/tidak ada V 6 – 3 Ada/tidak ada Tabel 4. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN Ada juga pengelompokan berdasarkan hasil temuan CT Scan seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut. Grade Temuan CT Scan 1 Tidak ada darah yang terdeteksi 2 Lapisan tipis perdarahan di subarachnoid 3 Thrombus terlokalisir atau lapisan tebal perdarahan subarachnoid 4 Perdarahan intraserebral atau intraventrikel dengan/tanpa perdarahan difus di subarachnoid Tabel 5 skala tingkat keparahan subarachnoid berdasarkan temuan CT Scan 2. Kompresi kantung aneurisma (7%) Suatu aneurisma yang besar dapat menekan bangunan di sekitarnya atau yang dilaluinya, sehingga dapat menimbulkan gambaran klinis yang sesuai juga, diantaranya :  Aneurisma arteri carotis interna (atau arteri communicans anterior) dapat menekan tangkai pituitary atau hypothalamus, menyebabkan hypopituitarysm; bila menekan nervus opticus atau kiasma opticum, menyebabkan defek lapangan pandang  Aneurisma arteri basilaris dapat menekan midbrain, pons, atau nervus III, menyebabkan kelemahan tungkai atau gangguan pergerakan bola mata  Aneurisma intracavernosa dapat menekan nervus III, IV, VI, V cabang pertama dan ganglion trigeminalis, menyebabkan oftalmoplegi dan nyeri fasial yang menyerupai neuralgia trigeminalis  Aneurisma arteri communicans posterior dapat menyebabkan nervus III palsy (hal ini merupakan indikator adanya perluasan aneurisma dan perlu penanganan darurat)  Aneurisma dapat menekan jaringan otak di sekitarnya, seperti hipofisis, menimbulkan tanda deficit neurologis fokal, kejang, gejala neuroendokrinologik, atau pembesaran sella tursica 3. Thrombosis Thrombosis pada aneurisma seringkali mengirimkan emboli ke daerah distal arteri, menyebabkan transient iskemik attack atau infark. Pada beberapa pasien yang tidak ditemukan perdarahan subarachnoid, menunjukkan gejala sakit kepala tanpa kaku kuduk yang mungkin berhubungan dengan pembesaran aneurisma, thrombosis atau iritasi meningeal
  • 10. 10 4. Penemuan yang tidak disengaja (3%) Angiografi dapat menunjukkan hal yang berbeda selain perdarahan subarachnoid seperti penemuan penyakit iskemik atau neoplastik, yang pada awalnya tidak dapat mendeteksi suatu aneurisma. Gejala yang berhubungan dengan aneurisma, antara lain :  Nyeri kepala Karakteristiknya adalah nyeri hebat dengan onset akut, dimana pasien sering mendeskripsikannya sebagai nyeri kepala terhebat dalam hidupnya. Perluasan aneurisma, thrombosis, atau intramural hemorrhage dapat menyebabkan nyeri kepala subakut, unilateral, periorbital.  Nyeri pada wajah Terutama muncul pada aneurisma cavernous-carotid  Perubahan tingkat kesadaran Peningkatan tekanan intracranial yang mendadak sehubungan dengan rupture aneurisma dapat menurunkan perfusi serebral, sehingga menyebabkan syncope (50% kasus). Bingung atau penurunan kesadaran ringan mungkin juga dapat terjadi.  Kejang fokal atau umum Terjadi pada 25% kasus perdarahan subarachnoid karena rupture aneurisma, dengan kejadian paling sering terjadi selama 24 jam pertama  Manifestasi iritasi meningeal Seperti nyeri leher atau kaku kuduk, photophobia, sonophobia atau hyperesthesia dapat terjadi pada perdarahan subarachnoid karena rupture sneurisma  Gangguan otonom Akumulasi agen-agen yang mendegradasi darah pada subarachnoid dapat menimbulkan demam, nausea atau vomitus, berkeringat, kepanasan atau aritmia jantung.  Defisit neurologis fokal Perdarahan atau iskemik dpat bermanifestasi sebagai defisit neurologis fokal seperti kelemahan, kehilangan hemisensorik, gangguan bahasa, neglect, kehilangan ingatan, gangguan olfaktorius. Gejala fokal sering terjadi pada giant aneurisma.  Gangguan visual Misalnya pandangan kabur, diplopia, defek lapangan pandang  Disfungsi respirasi atau instabilitas cardiac Merupakan tanda kompresi batang otak  Disfungsi hormonal Aneurisma intrasellar dapat mengganggu fingsi hipofisis
  • 11. 11  Epistaksis Biasanya berhubungan dengan aneurisma traumatik Sindrom spesifik berkaitan dengan lokasi terjadinya aneurisma, misalnya :  Arteri communicans anterior Merupakan tempat tersering perdarahan subarachnoid karena aneurisma (34%). Biasanya aneurisma pada daaerah ini tersembunyi sampai aneurisma tersebut ruptur. Tekanan suprachiasmatik dapat menyebabkan defek lapangan pandang, abulia atau akinetik mutism, sindrom amnestia, atau disfungsi hypothalamus. Defisit neurologis aneurisma yang pecah dapat merefleksikan perdarahan intraventrikuler (79%), perdarahan intraparenkim (63%), hidrosefalus akut (25%), atau stroke lobus frontal (20%)  Arteri serebri anterior Aneurisma pada pembuluh ini merupakan sekitar 5% dari keseluruhan kejadian aneurisma. Kenyakan asimptomatik sampai mereka ruptur. Meskipun demikian, sindrom lobus frontal, anosmia, atau defisit motorik mungkin saja muncul  Arteri serebri media Aneurisma pada arteri ini sekitar 20% dari kasus aneurisma, secara khusus sering terjadi pada divisi pertama atau kedua fissure sylvia. Afasia, hemiparese, kehilangan hemisensorik, anosognosia, ataupun defek lapangan pandang dapat terjadi  Arteri communicans posterior Aneurisma pada arteri ini merupakan 23% dari kasus aneurisma serebral. Dilatasi pupil, ophthalmoplegia, ptosis, mydriasis, dan hemiparesis dapat terjadi.  Arteri carotis interna Aneurisma pada daerah ini terjadi pada 4% kasus aneurisma serebral. Aneurisma supraclinoid dapat menyebabkan ophthalmoplegia sehubungan dengan kompresi nervus III atau defek lapang pandang dan atrofi optik karena kompresi nervus II. Kompresi kiasma optikum dapat menyebabkan bitemporal hemianopsia. Hypopituitari atau anosmia dapat terjadi pada giant aneurysma. Efek massa aneurisma cavernous-carotid di sinus cavernosa, menyebabkan ofthalmoplegia dan kehilangan sensorik wajah. Ruptur aneurisma ini umumnya menyebabkan carotid-cavernous fistula, PSA, atau epistaksis.  Arteri basilaris Merupakan aneurisma tersering pada sirkulasi posterior, sekitar 5% kasus aneurisma. Temuan klinik biasanya berkaitan dengan PSA, meskipun bitemporal hemianopsia atau parese okulomotorik dapat terjadi. Dolichoectatic aneurysma dapat menyebabkan disfungsi bulbar, kesulitan respirasi, or neurogenic pulmonary edema.
  • 12. 12  Arteri vertebralis atau arteri cerebellaris posterior inferior Aneurisma pada segmen arteri ini umumnya menyebabkan ataksia, disfungsi bulbar, dan keterlibatan spinal.  Tanda lokalisasi palsu Dapat berhubungan dengan parese nervus III dan hemiparesis karena herniasi uncus, parese nervus IV dengan peningkatan tekanan intrakranial, hemianopsia homonym disebabkan kompresi arteri serebri posterior sepanjang tepi tentorium, disfungsi batang otak berkaitan dengan herniasi tonsilar dan vasospasme. Gambar 2. Lokasi yang sering terjadi aneurisma intrakranial PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis suatu aneurisma maupun komplikasi yang disebabkannya mungkin memerlukan alat bantu/penunjang. Kemajuan dalam teknik neuroradiologi telah banyak membantu dalam mendiagnosis aneurisma. Metode angiografi non invasif seperti CT Angiografi dan MR Angiografi memungkinkan deteksi karakteristik aneurisma secara 3 dimensi untuk mengevaluasi morfologi aneurisma. CT Scan atau MRI juga memberikan informasi yang penting dalam perencanaan operasi. Namun, perdarahan minor pada aneurisma tidak dapat dideteksi dengan metode ini. Dengan kombinasi beberapa alat penunjang diagnosis maka 97% kasus dapat teridentifikasi dengan tepat. Tiga teknik yang sering digunakan untuk mendiagnosis aneurisma intrakranial adalah cerebral angiografi konvensional, MR Angiografi, dan helical (spiral) CT angiografi. 1. MSCT Scan Perdarahan subarachnoid karena aneurisma dapat dideteksi pada 90-95% kasus. Jika MSCT Scan negatif namun diduga terjadi perdarahan subarachnoid, maka dapat dilakukan lumbal pungsi. Baik nonkontras maupun kontras MSCT scan harus dilakukan, sehingga edema dan reaksi inflamasi dapat terlihat.
  • 13. 13 MSCT scan dapat menunjukkan hematom intraparenkim atau ekstraparenkim atau pada perdarahan subarachnoid berat dapat muncul pada sisterna basalis, fissura interhemisfer/Sylvian atau bahkan melalui konveksitas serebral. MSCT scan juga dapat mendeteksi infark serebri yang terjadi kemudian karena vasospasme atau hidrosefalus progresif. Perdarahan subarachnoid lama sulit dideteksi dengan MRI. MSCT scan terkadang juga tidak dapat mendeteksi perdarahan subarachnoid disebabkan beberapa alasan, yaitu juga darah intracranial yang terlalu sedikit, area perdarahan seperti fossa posterior sulit untuk tergambarkan, jarak waktu pemeriksaan MSCT scan dengan terjadinya PSA terlalu lama dan darah tidak terlihat lagi. Setelah 6-10 hari perdarahan MSCT scan tidak dapat memperlihatkan PSA. Jika PSA diduga terjadi namun temuan MSCT scan normal maka MRI dapat mengidentifikasi perdarahan. Gambar 3. Gambaran MSCT Scan pada aneurisma intrakranial 2. MSCT Angiografi Dewasa ini, helical MSCT angiography telah digunakan untuk mendeteksi aneurisma intrakranial, dan laporan awal menyebutkan tingkat kemampuan mendeteksi alat ini sama dengan MRI angiography. Keuntungan helical MSCT angiography pada perencanaan operatif adalah kemampuannya untuk memperlihatkan aneurisma pada struktur tulang dasar otak. Helical MSCT angiography juga berguna untuk skrining aneurisma baru pada pasien dengan aneurisma awal yang ditatalaksana dengan ferromagnetic clips. Klip tua ini adalah kontraindikasi absolut untuk MRI angiography. Bagaimanapun, MRI dapat digunakan secara aman umumnya pada pasien dengan nonferromagnetic metallic clips. Conventional MSCT scanning adalah metode terpilih untuk mendeteksi kalsifikasi di dalam dinding aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi aneurisma berukuran > 3 mm, menyediakan informasi lengkap seperti arteri asal dan lebar leher aneurisma. MSCT Angiografi dapat mendeteksi lebih dari 95% aneurisma. MSCT Angiografi lebih baik dibandingkan MRA karena waktu pemeriksaan yang lebih singkat, artefak yang lebih sedikit, dan demostrasi tempat lain lebih baik. Tetapi struktur tulang dan vena dapat menyulitkan pembacaan.
  • 14. 14 Gambar 4. Gambaran MSCT Angiografi pada aneurisma intrakranial 3. MRI/MR Angiografi Karena tidak memerlukan injeksi bahan kontras secara intravascular, MRI angiography adalah diagnosa penunjang yang lebih menyenangkan bagi pasien dan tidak beresiko. Sekarang MRI angiography dapat mendeteksi intracranial aneurysms dengan diameter 2 atau 3 mm tetapi pada beberapa studi menunjukkan teknik ini paling baik untuk mendeteksi aneurisma diameter 5 mm. Kadang- kadang beberapa aneurisma kecil dapat tidak terdeteksi dengan MRI angiography. Meskipun teknik ini sering digunakan untuk diagnosa dan skrining intracranialaneurysma, MRI angiography jarang digunakan untuk perencanaan operasi. MRI standar adalah teknik yang paling baik untuk memperlihatkan thrombus di dalam kantong aneurysmal. Meskipun jarang kadang ada beberapa kandungan thrombus intracranial aneurysma yang tidak dapat terlihat dengan angiography tetapi dapat terlihat dengan jelas melalui MRI. MRA dapat mendeteksi aneurisma ukuran 4 mm / lebih secara 3-D. Gambar 5. Gambaran MRI pada aneurisma intrakranial 4. Cerebral Angiografi
  • 15. 15 Cerebral angiografi konvensional merupakan pilihan utama dalam mendiagnosa aneurisma intracranial dan lokasi anatomisnya. Lokasi, ukuran, dan morfologi aneurisma dapat dideteksi baik pada keadaan akut maupun chronic dengan modalitas ini. Aneurisma besar terkadang dapat terdeteksi dengan MSCT scan atau MRI tetapi cerebral angiography tetap merupakan prosedur diagnostik tetap. Arteriography serebral dapat memperlihatkan 90% kasus aneurisma. Karena sering terdapat lebih dari satu aneurisma maka keseluruhan sistem arterial serebri harus diperiksa. Vasospasme sering mengaburkan adanya aneurisma, karena itu hasil arteriogram awal yang negatif harus diulang 1 atau 2 minggu kemudian. Beberapa resiko cerebral angiography konvensional meliputi infark serebri, terjadinya hematoma atau pseudoaneurisma pada tempat penyuntikan, dan gagal ginjal. Pada kebanyakan kasus, tingkat mortalitas kurang dari 0,1 %, dan tingkat kerusakan neurologist diperkirakan sekitar 0,5 %. Kebanyakan komplikasi terjadi pada pasien usia tua dengan penyakit atherosclerotic, tetapi tidak pada pasien dengan intracranial aneurysms. Bagaimanapun resiko yang berkaitan dengan angiografi kadang tinggi pada beberapa pasien aneurisma intrakranial, contohnya pada pasien dengan kelainan jaringan ikat luas seperti Ehlers–Danlos syndrome. Gambar 6. Gambaran arteriografi pada aneurisma intrakranial 5. Alat bantu penunjang lainnya  Lumbal Pungsi Jika MRI gagal atau tidak ada, maka lumbal punksi dapat dilakukan. LP dapat membantu diagnosis PSA aneurisma dengan tanpa tanda-tanda fokal dan efek massa. Cairan serebrospinal (CSS) biasanya dapat terlihat xantokrom atau adanya eritrosit pada CSS namun kadang-kadang dapat terlambat dalam beberapa jam baru muncul. Xantokrom ini dapat terlihat 12-
  • 16. 16 33 hari dengan puncaknya hari ke 23. Tekanan CSS biasanya selalu tinggi, terdapat elevasi protein dan hipoglikemia. Awalnya proporsi leukosit dengan eritrosit seperti pada darah tepi, lebih lanjut akan terjadi pleositosis reaktif. Sel darah merah dan xantokrom menghilang sekitar 2 minggu setelah perdarahan. Kultur dapat menunjukkan etiologi infeksi.  Transcranial Doppler Ultrasonography TCD membantu diagnosis vasospasme dan monitoring lanjutan aliran darah cerebral.  Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT), Possitron Emission Tommography (PET), Xenon-CT Dengan pemeriksaan ini dapat terlihat iskemik berkaitan dengan vasospasme, meskipun modalitas ini tidak dilakukan rutin.  X-foto vertebra servikal Penilaian X-foto vertebra servikal harus dilakukan pada setiap pasien yang mengalami penurunan kesadaran (coma) yang tidak diketahui pasti penyebabnya.  Elektrokardiography (EKG) Cardiac arrhythmias dan myocardial ischemia dapat terlihat. PSA karena ruptur aneurisma dapat berhubungan dengan beberapa perubahan EKG, meliputi puncak gelombang P, interval QT yang memanjang.  Echocardiography Sumber emboli cardiac, termasuk endocarditis dan myxomas, dapat terlihat pada aneurisma infeksi atau neoplastik  Evoked potential dan EEG Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan kejang akibat komplikasi PSA karena ruptur aneurisma.  Laboratorium o Hitung jenis dan trombosit; untuk monitor adanya infeksi, anemia, dan resiko perdarahan o Prothrombin time (PT)/ activated Partial Thromboplastin Time (aPTT); mengidentifikasi resiko perdarahan o Elektrolit dan osmolaritas; untuk monitor hiponatremia, address arrhytmogenic abnormalities, glucose darah, dan monitor terapi hiperosmolar untuk peningkatan tekanan intracranial. o Liver function test; untuk mengidentifikasi disfungsi hepatic yang dapat memperparah komplikasi. o Analisa Gas Darah (AGD/BGA); untuk melihat kadar oksigen dalam darah. Skrining untuk aneurisma intrakranial asimptomatik harus dilakukan karena perdarahan subarachnoid memiliki prognosis yang buruk, sementara penatalaksanaan
  • 17. 17 aneurisma intrakranial asimptomatik berhubungan erat dengan tingkat morbiditas (<5%) dan mortalitas (<2%). Skrining harus disarankan pada pasien dengan resiko tinggi terjadinya aneurisma. Dua kelompok utama yang harus diskrining adalah mereka yang memiliki riwayat keluarga aneurisma intrakranial ² dan mereka dengan penyakit ginjal polikistik autosomal dominan² Sekitar 5 -10 % orang dewasa dengan asimptomatik penyakit ginjal polikistik autosomal dominan memiliki kelainan aneurisma sakular. ² MORTALITAS DAN MORBIDITAS ANEURISMA YANG PECAH Perdarahan subarachnoid (PSA) yang disebabkan pecahnya suatu aneurisma memiliki resiko mortalitas yang tinggi yang secara terjadi secara bertahap tergantung waktu. Dari pasien yang selamat pada perdarahan awal, rebleeding dan infark serebri menjadi penyebab utama kematian. Dari hasil studi pada tahun 1960 dari 100 pasien dengan aneurismal SAH yang dirawat secara konservatif didapatkan hasil 15 orang di antaranya meninggal sebelum mencapai rumah sakit, 15 orang meninggal dalam 24 jam pertama di RS, 15 orang meninggal antara 24 jam pertama-2 minggu, 15 orang meninggal antara 2 minggu-2 bulan, 15 orang lagi meninggal antara 2 bulan-2 tahun kejadian dan hanya 25 orang yang selamat tapi dengan defisit neurologis menetap¹. PENATALAKSANAAN ANEURISMA Penatalaksanaan suatu aneurisma meliputi :  Monitor tanda-tanda vital dan neurologi terus menerus.  Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi harus dimonitor ketat dan dilakukan intubasi endotrakea.  Pilihan terapi harus didasarkan kondisi klinis pasien, anatomi aneurisma vaskuler, dan pertimbangan teknik bedah atau endovascular.  PSA aneurisma harus dirawat di ICU dengan monitoring jantung.  Sebelum terapi definitif dilakukan maka harus dijaga agar tidak ada hipertensi dengan pemberian calcium channel blocker, dan pencegahan kejang.  Induksi hipertensi, hipervolemia, dan hemodilution ("triple-H therapy") bertujuan untuk menjaga tekanan perfusi otak pada keadaan autoregulasi cerebrovascular yang terganggu.  Intraarterial papaverin atau endovascular balloon angioplasti dapat digunakan untuk merawat vasospasm pada beberapa pasien tertentu
  • 18. 18  Pada aneurisma infeksi harus dihindarkan pengunaan antikoagulan. Begitu infeksi dapat terkontrol dengan antibiotic maka terapi bedah harus dilakukan. Regresi atau evolusi aneurysma harus dimonitor dengan serial angiography. Penatalaksanaan aneurisma intrakranial yang belum pecah masih menjadi kontroversial. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms (ISUIA) mengindikasikan bahwa tingkat kejadian ruptur aneurisma ukuran kecil sangat kecil. Aneurisma dengan ukuran < 10 mm memiliki tingkat kejadian rupture tahunan sekitar 0.05%. Penatalaksanaan profilaksisnya meliputi teknik bedah / endovaskular. Tujuan utama penatalaksanaan aneurisma adalah mengeluarkan kantung aneurisma dari sirkulasi intrakranial sambil menjaga arteri utama. Penatalaksanaan aneurisma sejak lama dilakukan bidang bedah saraf tetapi sejak tahun 1990, neuroradiologis telah menggunakan teknik endovascular pasien dengan intracranial aneurysma yang jumlahnya terus meningkat. Operasi merupakan terapi definitif untuk penatalaksanaan aneurisma sakular. 1. Operasi Penempatan klip melintasi leher aneurisma adalah terapi definitif dan pilihan utama karena efikasi jangka panjangnya yang telah terbukti. Pada tahun 1936, Walter Dandy melakukan operasi pertama pada aneurisma intraranial dengan meletakkan klip perak yang dibuat oleh Harvey Cushing, melintasi leher aneurisma pada persambungan arteri carotis interna dengan arteri communicans posterior pada pasien dengan parese N.III.4Sejak itu teknik operasi untuk aneurisma telah berkembang pesat menggunakan teknik bedah mikro, mikroskop operasi, koagulasi bipolar dan klip aneurisma yang bervariasi.. Tingkat keamanan beberapa operasi aneurisma tergantung ukuran, lokasi atau konfigurasi, dan teknik tambahan yang sulit seperti teknik bypass vascular grafting atau hypothermic cardiac arrest yang harus digunakan. Operasi darurat harus dilakukan pada pasien yang menunjukkan gejala klinis karena efek massa hematomaintracerebral atau subdural. Untuk aneurisma tipe fusiformis jarang ditangani dengan teknik clipping, lebih cenderung untuk menggunakan alterntif teknik operasi yang lain seperti teknik wrapping, rekonstruksi arteri. Tipe eneurisma ini pada umumnya berlokasi di arteri cerebri media. Teknik wrapping pada aneurisma fusiform tampaknya lebih aman untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dan menghasilkan suatu kemajuan yaitu rendahnya angka komplikasi post operasi baik yang akut maupun yang delayed. Adapun material yang digunakan dalam teknik wrapping aneurisma dapat berupa jaringan otot, fasia, kassa, ataupun perekat jaringan.
  • 19. 19 Gambar 7. Teknik klipping aneurisma Gambar 8. Teknik wrapping aneurisma 2. Terapi Endovaskuler Terapi endovaskuler terkini melibatkan insersi kawat halus ke dalam lumen aneurisma seperti yang trerlihat pada gambar 10.4Kemudian melalui proses elektrothrombosis, thrombus lokal terbentuk di sekitar kawat di dalam aneurysm. 4 Tujuan utama teknik ini adalah obliterasi sempurna (thrombosis) kantung aneurisma. Banyak factor yang memperngaruhi keberhasilan obliterasi tapi yang terpenting adalah rasio leher dengan fundus aneurisma. Aneurisma dengan leher yang luas sering tidak terobliterasi sempurna. Embolisasi dengan teknik endovaskuler memiliki resiko yang lebih sedikit tetapi efektifitas jangka panjangnya belum terbukti4. Penatalaksanaan meliputi pencegahan peningkatan tekanan intracranial seperti tirah baring total, sedatif, analgesik, laksatif, antitusif, antiemetik, antikonvulsan. Penatalaksanaan hipertensi juga dapat menurunkan resiko perdarahan ulang tetapi
  • 20. 20 mengandung resiko infark serebri pada pasien dengan vasospasme serebri. Antifibrinolitik seperti epsilon aminocaproic acid (EACA) dan asam traneksamat mencegah bekuan aneurisma lisis dan karena itu mencegah rupture kembali. Tetapi mereka juga menunda lisis bekuan sisternal dan meningkatkan vasospasme. Bahan-bahan vasoaktif yang terdapat pada bekuan darah sisternal meliputi oksihemoglobin, serotonin, cathecolamine, prostaglandin, substansi P, calcitonin gen peptide, endothelin, platelet-derived growth factor, dan peptide lainnya telah terbukti menebabkan vasospasme. Penatalaksanaannya meliputi reserpine, kanamycin, aminophylin, isoproterenol, prostacyclin, naloxone, lidocaine, diprydamole, dan tromboxane synthetase inhibitor. Tetapi tidak keuntungan yang jelas ditunjukkan oleh regimen ini. Penggunaan nimodipine dan nicardipine lebih menjanjikan karena dapat mengurangi isnsidensi defisit iskemik persisten setelah PSA. Operasi yang cepat juga memungkinkan evakuasi hematoma. Sebelum operasi pasien dijaga supaya tetap euvolemik dan diberikan nimodipin. Selama operasi mereka mendapat manitol dan drainase CSS melalui kateter spinal. Gambar 9. Teknik coiling aneurisma KOMPLIKASI PERDARAHAN SUBARACHNOID KARENA ANEURISMA Komplikasi intrakranial : 1. Perdarahan Ulang Perdarahan ulang adalah masalah utama yang mengikuti aneurismal PSA.Dalam 28 hari pertama (pada pasien yang tidak dirawat) sekitar 30% pasien akan mengalami perdarahan ulang, sisanya 70% meninggal. Sebagai contoh, jika pasien selamat melewati 30 hari pertama setelah perdarahan, masih ada 20% kemungkinan perdarahan ulang terjadi dalam 5 bulan mendatang. Meskipun jika pasien selamat melewati periode resiko tingi dalam 6 bulan pertama tetap masih ada kemungkinan perdarahan ulang dan kematian dala satu tahun tersebut. Pada perdarahan ulang resiko kematian meningkat 2 kali dibandingkan dengan perdarahan awal¹. Tingkat kejadian perdarahan ulang dipengaruhi beberapa faktor seperti identifikasi yang tepat onset perdarahan awal, identifikasi yang tepat adanya
  • 21. 21 perdarahan ulang, terapi medis dan pembedahan, kondisi neurologis pasien dan pemberian antifibrinolitik. Laporan kumulatif tingkat perdarahan ulang selama 2 minggu pertama setelah perdarahan awal berkisar antara 17-22%.² Setiap pasien yang mengalami penurunan kesadaran tiba-tiba memerlukan pemeriksaan CT scan. CT scan membantu mendiagnosis perdarahan ulang dan menyingkirkan penyebab lain deteriorisasi seperti hidrosefalus akut. 2. Iskemik / Infark Serebri Setelah PSA, pasien memiliki resiko tinggi untuk terjadi infark/iskemik serebri dan hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting pada tingkat mortalitas dan morbiditas. Infark/ iskemik serebri dapat terjadi secara cepat atau langsung sebagai hasil dari perdarahan, tetapi lebih sering berkembang 4-12 hari setelah onset, baik sebelum atau sesudah operasi disebut ”delayed cerebral ischemia”. Diperkirakan sekitara 25% pasien terjadi iskemik/infark serebri dan dari 25% kelompok ini akan meninggal kemudian. Sekitar 19% yang selamat akan cacat permanen. Beberapa faktor kemungkinan berperan pada perkembangan iskemia/infark serebral. Vasospasme arterial pada angiografi terjadi pada > 60% pasien setelah SAH baik fokal maupun difus. Perkembangan vasospasme menunjukkan pola yang sama terlambatnya dengan iskemik serebral. Patogenesis terjadinya vasospasme arteri sangat kompleks. Banyak substansi vasokonstriktor yang dilepaskan dari dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang muncul pada CSF setelah SAH seperti serotonin, prostaglandin, oxyhaemoglobin, tetapi pada beberapa penelitian membuktikan bahwa antagonis vasokonstriktor telah gagal mengembalikan penyempitan angiographic atau mengurangi insiden iskemik. Kegagalan ini mungkin hasil perubahan arteriopathik yang telah diamati terjadi pada dinding pembuluh darah. Hanya antagonois calcium yang muncul yang memiliki efek menguntungkan. Semakin tinggi jumlah darah yang terlihat pada cisterna basalis (CT scan) semakin tinggi insiden penyempitan arteri dan defisit iskemik. 3. Hipovolemia Hiponatremia yang berkembang setelah SAH pada banyak pasien karena sekresi sodium renal yang berlebihan daripada efek dilusi karena sekresi ADH yang tidak berimbang. Kehilangan cairan dan penurunan volume plasma kemudian terjadi. Pasien ini kemungkinan pada resiko tinggi terjadinya iskemik serebral, sehubungan dengan hasil peningkatan viskositas darah. 4. Penurunan tekanan perfusi serebral. Setelah perdarahan subarachnoid, hematoma intrakranial atau hydrocephalus dapat menyebabkan peningkatan pada tekanan intrakranial. Efek klinik dari cerebral iskemik/ infark tergantung dari daerah perdarahan arteri tersebut. Pada daerah serebri anterior dapat menyebabkan kelemahan tungkai bawah, inkontinensia, bingung, dan
  • 22. 22 akinetic mutisme. Pada daerah serebri media dapat menyebabkan hemiparesis, hemiplegia, dysphasia (pada hemisfer dominan). Gambaran klinis pada kedua daerah ini dapat merupakan gambaran kelainan klinik sebagai hasil perluasan kelainan pada arteri carotis dengnan edema hemisfer. Umumnya iskemik terjadi pada berbagai area, seringnya pada kedua hemisfer. Ini berhubungan dengan pola spasme arterial. 5. Hidrosefalus Setelah perdarahan subarachnoid, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat terganggu oleh :  bekuan darah pada cisterna basalis (communicating hydrocephalus)  obstruksi pada villi arachnoidalis (communicating hydrocephalus)  bekuan darah di dalam sistem ventrikular (obstruktif hydrocephalus) Hidrosefalus akut terjadi pada sekitar 20% pasien, biasanya pada beberapa hari pertama setelah onset, biasanya merupkan komplikasi lanjut. Hanya 1/3 pasien yang menunjukkan gejala sakit kepala, tingkat kesadaran yang terganggu, inkontinensia, atau gait ataksia berat. Lebih lanjut lagi sekitar 10% pasien hidrosefalusnya berkembang terlambat yaitu bulanan atau bahkan tahunan setelah perdarahan. 6. Hematoma Intrakranial yang Meluas Pembengkakan otak di sekitar hematoma intracerebral dapat menyebabkan efek massa dari hematoma. Ini dapat menyebabkan deteriorasi progresif pada tingkat kesadaran atau progresi tanda fokal. 7. Epilepsi Epilepsi dapat terjadi pada stadium manapun setelah SAH, khususnya jika hematoma menyebabkan kerusakan kortikal. Kejang dapat umum maupun parsial (fokal). PROGNOSIS Prognosis suatu aneurisma tergantung dari 7:  Usia  Status neurologikus dalam perawatan  Lokasi aneurisma  Selang waktu antara awal kejadian perdarahan subarachnoid dengan penatalaksanaan medis  Adanya hipertensi dan penyakit lain  Tingkat vasospasme  Adanya perdarahan ulang atau tidak
  • 23. 23  Tingkat perdarahan subarachnoid  Adanya perdarahan intraventrikular atau intraparenkimal Pasien dengan status klinis grade I (sakit kepala ringan atau meningismus ringan), II (sakit kepala berat, meningismus, atau neuropati kranial), III (letargi, bingung, atau tanda neurologik fokal) memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan dengan pasien grade IV (penurunan kesadaran yang buruk) danV (koma dengan flaksiditas atau postur tubuh abnormal). Pasien grade IV dan V memiliki kecenderungan hasil yang buruk meskipun mereka mendapat perawatan apapun². Tingkat mortalitas operatif sendiri berkisar antara 8-45% tergantung kondisi klinis dan waktu pasien ¹. BAB III Laporan Kasus Bangsal Aneurisma Intrakranial dengan Perdarahan Subarachnoid Oleh : dr. Marliani Afriastuti I. IDENTITAS PENDERITA Nama : Ny. YR Umur : 55 tahun Jenis kelamin : Perempuan Status : Menikah Pendidikan : S1 Alamat : Desa Pajeksan Gang Jeruk No. 222 Juwana Pekerjaan : PNS (Guru) Masuk RS : 11 Maret 2013 Keluar RS : 22 April 2013 No. CM/Register : C407085/7222369 II. DAFTAR MASALAH No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal 1 Penurunan kesadaran  3 11-03-2013 2 Hemiparesis sinistra spastik  3 11-03-2013 3 Perdarahan subarachnoid  4 11-03-2013 4 Aneurisma intracranial 11-03-2013
  • 24. 24 5 Hospitalized Acquired Pneumonia 11-03-2013 III. DATA SUBYEKTIF (Auto dan alloanamnesis dengan suami dan anak pasien) 1. Riwayat Penyakit Sekarang (Pasien rujukan dari RS Telogorejo) Keluhan Utama : Penurunan kesadaran Lokasi : Intrakranial Onset : 8 hari sebelum masuk rumah sakit, mendadak Kualitas : Membuka mata dengan rangsang nyeri Kuantitas : Aktivitas sehari-hari sepenuhnya dibantu keluarga Kronologis : + 8 hari SMRS saat penderita sedang tidur, mendadak penderita mendengkur keras (tidak seperti biasanya) dan mengompol. Penderita tidak dapat dibangunkan oleh keluarga. Tidak ada muntah, tidak ada kejang, tidak ada keluhan nyeri kepala sebelumnya. Kemudian oleh keluarga penderita dibawa ke RS di Juwana, karena penderita membutuhkan perawatan di ruang ICU, penderita dirujuk ke RSUD Pati. Penderita dirawat di ruang ICU RSUD Pati selama 4 hari, kemudian dirujuk ke RS Telogorejo, kondisi penderita masih belum sadar, sesak nafas (+). Anggota gerak kanan aktif bergerak, sedangkan anggota gerak kiri tidak ada gerakan. Penderita dirawat di ruang ICU RS Telogorejo selama 4 hari, dipasang selang bantu nafas (intubasi), kondisi penderita masih belum sadar. Penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penderita sudah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (19 hari di ruang ICU dan 7 hari di ruang Stroke). Selama dirawat telah dilakukan tindakan pemasangan tracheostomi, CT Angiografi dan Arteriografi. Faktor memperberat : (-) Faktor memperingan : (-) Gejala penyerta : lemah anggota gerak kiri 2. Riwayat Penyakit Dahulu  Penderita baru pertama kali sakit seperti ini  Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis dan sakit jantung disangkal 3. Riwayat Penyakit Keluarga Orang tua penderita (ibu) menderita tekanan darah tinggi dan stroke 4. Riwayat Sosial Ekonomi Penderita bekerja sebagai seorang PNS (Guru), suami penderita bekerja sebagai seorang wirausahawan, mempunyai 2 orang anak yang sudah mandiri. Biaya pengobatan ditanggung ASKES.
  • 25. 25 Kesan : sosial ekonomi cukup IV. DATA OBYEKTIF 1. Status Presens (06-04-2013) Kesadaran : Composmentis, GCS : E4M6VTracheostomi Tanda Vital : TD : 130/80mmHg Nadi : 88x/ menit RR : 20x/ menit Suhu : 36.8o C SpO2 : 100% 2. Status Internus Kepala : mesosefal, simetris Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP tidak meningkat Dada : Jantung : bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-) Paru : suara dasar vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/- Abdomen : datar, supel, tidak ada nyeri ekan, hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas : tidak oedem, akral hangat 3. Status Neurologis Kesadaran : GCS : E4M6VTracheostomi Kepala : mesosefal, simetris, nyeri tekan (-) Mata : pupil bulat isokor, ø 3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+ Nn. Craniales : dalam batas normal Leher : kaku kuduk (-) Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/1 5/0 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal 4. Pemeriksaan Tambahan MSCT Scan Kepala Tanpa Kontras di RSUD RAA Soewondo Pati, tanggal 5 Maret 2013 Kesan :
  • 26. 26 - Edem serebri - Perdarahan intraserebral pada lobus frontal dan parietal kiri - Perdarahan subarachnoid pada lobus frontal dan parietal kanan dan kiri (volume total = 36,2 cc) Laboratorium tanggal 5 April 2013 PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL HEMATOLOGI PAKET Hemoglobin 11.20 gr % 12.00 – 15.00 Hematokrit 35.2 % 35.0 – 47.0 Eritrosit 3.85 juta / mmk 3.90 – 5.60 MCH 29.20 Pg 27.00 – 32.00 MCV 91.40 fL 76.00 – 96.00 MCHC 31.90 g /dL 29.00 – 36.00 Lekosit 9.72 ribu / mmk 4.00 – 11.00 Trombosit 469.0 ribu / mmk 150.00 – 400.00 RDW 14.60 % 11.60 – 14.80 MPV 7.50 fL 4.00 – 11.00 KIMIA KLINIK Ureum 19 mg / dl 15 – 39 Creatinin 0.61 mg / dl 0.60 – 1.30 X- Foto Thoraks AP tanggal 12 Maret 2013
  • 27. 27 MSCT Scan Kepala dengan Kontras (CT Angiografi) tanggal 19 Maret 2013 Kesan : Kesan :  Cor tak membesar  Infiltrat pada perihiler kanan kiri dan parakardial kanan, gambaran bronkopneumonia
  • 28. 28 Kesan :  Fusiform aneurisma di M2 kanan  Spasme minimal  Perdarahan intra parenkim pada regio frontal kanan diserta edema vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub arachnoid di kedua hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan intrakranial  Tak tampak pelebaran fokal bentuk sakuler maupun malformasi vaskuler lainnya Arteriografi (DSA System Carotis Dextra-Sinistra & Vertebralis) Tanggal 1 April 2013 V. RESUME Seorang wanita, 55 tahun, rujukan RS Telogorejo dengan penurunan kesadaran dan ruptur aneurisma MCA kanan, perawatan di ICU RSUD Pati selama 4 hari (dilakukan MSCT Scan kepala tanpa kontras) dan RS Telogorejo selama 4 hari (dilakukan intubasi). Telah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ICU, 8 hari di ruang rawat biasa). Telah dilakukan pemeriksaan laboratorium, CT Angiografi, X-Foto thoraks AP dan Arteriografi, serta dilakukan tracheostomi. Dengan gejala penyerta lemah anggota gerak kiri. Obyektif :  Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6Vtracheostomi  Tanda Vital : TD : 130/80mmHg Nadi : 88x/ menit RR : 20x/ menit Suhu : 36.8o C SpO2 : 100%  Mata : pupil bulat isokor, Ø3 mm/ 3 mm, reflex cahaya +/+
  • 29. 29  Nn. Craniales : dalam batas normal  Motorik : hemiparese sinistra spastik  Sensibilitas : dalam batas normal  Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+)  Laboratorium : dalam batas normal  X-foto thoraks AP : Kesan gambaran bronkopneumonia  CT Angiografi : Kesan perdarahan intra parenkim pada region frontal kanan diserta edema vasogenik di sekitarnya dan perdarahan sub arachnoid di kedua hemisfer serebri dengan peningkatan tekanan intracranial  Arteriografi (DSA system carotis dextra-sinistra & vertebralis): kesan fusiform aneurisma di M2 kanan dengan spasme minimal VI. DIAGNOSIS I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran Hemiparesis sinistra spastik Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan II. HAP VII. RENCANA PENGELOLAAN AWAL I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan IP Dx : - IP Rx : - Ivfd RL 20 tpm - Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Mobilisasi IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, defisit neurologis IP Ex : menjelaskan tentang rencana penatalaksanaan selanjutnya yaitu tindakan operasi II. HAP IP Dx : - IP Rx : Ambroxol 30 mg/8 jam po IP Mx : Keadaan umum, GCS, tanda vital, deficit neurologis IP Ex : menjelaskan tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya
  • 30. 30 VIII. CATATAN PERKEMBANGAN Tanggal 10 April 2013 (Hari perawatan ke – 30 di ruang Stroke) S : Nyeri kepala hilang timbul O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 130/90mmHg, N = 88x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.8oC Status Neurologi Mata : Pupil bulat isokor, Ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( - ) Nn. Cranialis : dalam batas normal Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/1 5/0 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal A : I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran Hemiparesis sinistra spastik Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan II. HAP P : I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan IpDx : - IpRx : - Ivfd RL 20 tpm - Inj. Citicholin 1 gram/8 jam iv - Paracetamol 500 mg/8 jam po - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam) - Mobilisasi - Bladder training IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
  • 31. 31 IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan operasi II. HAP IpDx : - IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po - Nebulizer /8 jam (Bisolvon + Atrovent 1 : 1) IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya Tanggal 11 April 2013 (Hari perawatan ke – 31 di ruang Stroke) S : Banyak lendir di tenggorokan, susah keluar O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 110/80mmHg, N = 90x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC Status Neurologi Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( - ) Nn. Cranialis : dalam batas normal Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/1 5/0 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal A : I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran Hemiparesis sinistra spastik Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan II. HAP P : I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan IpDx : - IpRx : - Ivfd RL 20 tpm - Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv
  • 32. 32 - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam) - Mobilisasi - Pro tindakan operasi (craniotomy) IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan operasi II. HAP IpDx : - IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po - Nebulizer /8 jam (Bisolvon : Atrovent  1:1) IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya Instruksi Pre operasi : - Daftar OK (IBS) - Konsul anestesi - Konsul ICU/HCU - EKG + konsul kardiologi - Persiapan darah PRC 1 kolf - Informed consent tindakan dan alat - Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu)  disuntik 30 menit sebelum insisi di dalam OK Hasil konsul anestesi : Pada prinsipnya setuju pengelolaan anestesi Saran : - Informed consent - Puasa 6 jam - Pasang IV line - Premed di OK - Oksigenasi 3 lpm - Lain-lain sesuai operator Hasil konsul kardiologi : Kesan : sinus takikardi dengan iskemik lateral Saran : cari penyebab takikardi (demam, infeksi, kompensasi dari penyakit, dan lain-lain) Tanggal 12 April 2013 (Hari perawatan ke – 32 di ruang Stroke) S : -
  • 33. 33 O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 120/80mmHg, N =94 x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t = 36.8oC Status Neurologi Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( + ) Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/1 5/0 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal A : I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran Hemiparesis sinistra spastik Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid Diagnosis Etiologis : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan II. HAP P : I. PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan IpDx : - IpRx : - Ivfd RL 20 tpm - Inj. Neulin 1 gram/8 jam iv - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Alprazolam 0.5 mg/24 jam po (malam) - Mobilisasi - Pro operasi craniotomy hari ini IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana tindakan operasi II. HAP IpDx : - IpRx : - Ambroxol 30 mg/8 jam po - Nebulizer /8 jam IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi
  • 34. 34 IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya Instruksi Pre operasi : - Puasa 6 jam - Informed consent - Inj. Ceftriakson 2 gram (skin test dulu)  disuntik 30 menit sebelum insisi di dalam OK Laporan Operasi : - Informed consent + antibiotik profilaksis (Inj. Ceftriakson 2 gr iv) - Posisi supine, kepala miring ke kiri - Desinfeksi lapangan operasi dengan povidone iodine - Insisi temporofrontal lapis demi lapis, rawat perdarahan, identifikasi arteri temporalis superfisialis, flap kulit ke anterior - Insisi periosteum dan otot, elevasi dengan adson  flap ke anterior - Borr hole 4 lubang, craniotomy dengan high speed drill - Angkat tulang, rawat perdarahan, knabel sphenoid ridge sampai basal - Buat tempat fiksasi tulang dan gantung dura keliling - Insisi dura bentuk T; flap ke anterior - Tampak vena sylvian dan otak yang kekuningan dangan hemosiderin. Otak tidak bulging. Diseksi dari arachnoid dengan jarum dan pinset bergantian sampai tampak arteri cabang MCA (M4/M5), ditelusuri ke basal sampai tampak M1  telusuri ke distal tampak stenosis dan gambaran aneurisma yang fusiform sampai tampak normal, diseksi dari arachnoid keliling. - Dilakukan wrapping dengan fascia mengelilingi aneurisma, ditambal dengan beriplast antara fascia dan aneurisma sampai fascia melekat erat - Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis; spoeling ke intradura jernih - Operasi selesai - Perdarahan + 300 cc
  • 35. 35 Terapi post operasi : - Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv - Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv - Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv Tanggal 14 April 2013 (Hari perawatan ke – 34 di ruang HCU) S : nyeri luka bekas operasi  O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 113/70mmHg, N = 108x/ mnt, RR = 20x/ mnt, t = 38oC Status Neurologi Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( - ) Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/1 5/0 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal A : I. Diagnosis Klinis : Riwayat penurunan kesadaran Hemiparesis sinistra spastik
  • 36. 36 Diagnosis Topis : Ruang subarachnoid Diagnosis Etiologis : PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan Post craniotomy wrapping aneurysma hari ke-2 II. HAP P : I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-2 IpDx : - IpRx : - Ivfd RL 20 tpm - O2 3 lpm kanul via tracheostomi - Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-2) - Inj. Phenytoin 200 mg/24 jam iv - Inj. Ketorolac 30mg/8 jam iv - Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam iv - Paracetamol 1 gram/8 jam po - Mobilisasi duduk - Pindah ruang rawat biasa IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana penatalaksanaan selanjutnya II. HAP IpDx : - IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya Tanggal 17 April 2013 (Hari perawatan ke – 37 di ruang Merak Lt. 1) S : - O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 140/90mmHg, N =84 x/ mnt, RR = 22x/ mnt, t = 36.2oC Status Neurologi Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( + ) Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/2 5/1 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C)
  • 37. 37 Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : terpasang DC, produksi urine (+) A : I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran Hemiparese sinistra spastik Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +5 II. HAP P : I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-5 IpDx : - IpRx : - Ivfd RL 20 tpm - Inj. Ceftriakson 1 gram/12 jam iv (hari ke-5) - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Asam mefenamat 500 mg/8 jam po - Ranitidin 150 mg/12 jam po - Aff tracheostomi  tutup luka bekas tracheostomi dengan kassa kering, di plester tepi atasnya saja - Aff DC - Fisioterapi, latihan batuk/mengeluarkan dahak IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang rencana penatalaksanaan selanjutnya, jika ingin suara keluar saat bicara tekan luka bekas tracheostomi yang tertutup kassa dengan tangan II. HAP IpDx : - IpRx : Ambroxol 30 mg/8 jam po IpMx : Keadaan Umum, GCS, tanda vital, defisit neurologi IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor resiko, prognosis dan rencana penatalaksanaan selanjutnya Tanggal 22 April 2013 (Hari perawatan ke –42 di ruang Merak Lt. I1) S : Batuk -, sesak - O : KU : tampak sakit sedang, Kesadaran : GCS = E4M6VTracheostomi TD= 110/80mmHg, N = 84x/ mnt, RR =20 x/ mnt, t =36.6 oC Status Neurologi Mata : Pupil Bulat Isokor, ø 3 mm/ 3 mm, RC + / + Leher : kaku kuduk ( - )
  • 38. 38 Nn. Cranialis : kesan tidak ada parese Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/2 5/1 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal A : I. Diagnosa Klinik : Riwayat Penurunan Kesadaran Hemiparese sinistra spastik Diagnosa Topis : Ruang subarachnoid Diagnosa Etiologi : Perdarahan Subarachnoid e.c ruptur aneurisma MCA kanan Post Craniotomy Wrapping Aneurisma H +10 II. HAP perbaikan P : I. Post craniotomy wrapping aneurisma e.c ruptur aneurisma MCA Kanan hari ke-10 IpDx : - IpRx : - Cefixim 100 mg/12 jam po - Phenytoin 200 mg/12 jam po - Asam mefenamat 500 mg/8 jam po - Ranitidin 150 mg/12 jam po - Citicholin 500 mg/12 jam po - Aff hecting - Boleh pulang IpMx : - IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien, pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang telah ditentukan II. HAP IpDx : - IpRx : - IpMx : - IpEx : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien, pasien diperbolehkan pulang dan kontrol pada waktu yang ditentukan
  • 39. 39 CATATAN PERKEMBANGAN SETELAH PULANG PERAWATAN Hari Minggu, 28 April 2013 (Kunjungan Rumah) Hasil pemeriksaan : Keluhan : lemah anggota gerak kiri, membaik Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6V5 = 15 Nn. Craniales : dalam batas normal Motorik Superior Inferior Gerak +/ +/ Kekuatan 5/4 5/3 Tonus N/N N/N Trofi E/E E/E Refleks Fisiologis +/+ +/+ Refleks Patologis -/- -/+ (B,C) Klonus -/- Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal Terapi :
  • 40. 40  Cefixim 100 mg/12 jam po  Citicholin 500 mg/12 jam po  Asam mefenamat 500 mg/8 jam po  Ranitidin 150 mg/12 jam po BAB IV PEMBAHASAN Seorang wanita 55 tahun bekerja sebagai PNS (Guru), mengalami penurunan kesadaran mendadak, tidak ada muntah, tidak ada nyeri kepala sebelumnya. Penderita kemudian dibawa ke RSUD Juwana, namn karena fasilitas yang tidak memadai, penderita dirujuk ke RSUD Pati, dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras dan dirawat di ruang ICU. Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontrass tampak perdarahan subarachnoid regio frontal dan parietal kanan dan kiri. Karena tidak ada perbaikan dan penderita mengalami sesak nafas, setelah dirawat selama 4 hari, penderita dirujuk ke RS Telogorejo dan dirawat di ruang ICU. Di RS Telogorejo dilakukan tindakan intubasi terhadap penderita. Setelah dirawat selama 4 hari, penderita kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi. Penderita telah dirawat selama 26 hari di RSUP Dr. Kariadi (18 hari di ruang ICU dan 6 hari di ruang rawat Stroke) dengan diagnosa PSA e.c ruptur aneurisma MCA Kanan. Telah dilakukan pemeriksaan laboratorium, MSCT scan kepala dengan
  • 41. 41 kontras (CT Angiografi), X-Foto thoraks AP, arteriografi (DSA), serta telah dilakukan tindakan tracheostomi terhadap penderita. Dari hasil pemeriksaan arteriografi tampak aneurisma fusiformis pada M2 MCA kanan, sedangkan pada pemeriksaan X-Foto thoraks AP tampak gambaran bronkopneumonia. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut di atas, dokter bagian bedah saraf memberikan informed consent kepada keluarga pasien tentang rencana tindakan operasi, dan keluarga menyetujui tindakan tersebut. Setelah keluarga menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi, kemudian penderita dikonsulkan ke bagian anestesi dan kardiologi untuk mengkonfirmasi toleransi terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan, serta ke bagian ICU dan HCU untuk perawatan post operasi. Setelah semua syarat terpenuhi, maka dilakukan tindakan craniotomy di ruang OK Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi dengan general anestesi. Selama operasi berlangsung, diambil keputusan untuk dilakukan tindakan wrapping aneurisma. Keputusan ini diambil karena tipe aneurisma penderita adalah fusiform. Tindakan wrapping aneurisma pada pasien ini sudah sesuai dengan tipe aneurisma pada penderita, yaitu fusiform. Dengan tindakan wrapping aneurisma, diharapkan dapat meminimalisir komplikasi post operasi baik akut maupun delayed, seperti perdarahan ulang ataupun pembesaran pembuluh darah berulang. Post operasi craniotomy wrapping aneurisma pasien dirawat di ruang HCU selama 2 hari. Setelah kondisi penderita membaik dan stabil, kemudian penderita dipindahkan ke ruang rawat biasa. Setelah menjalani perawatan selama 42 hari di RSUP Dr. Kariadi, penderita diperbolehkan pulang dengan kondisi perbaikan dengan tidak ada keluhan, namun masih ada kelemahan anggota gerak kiri yang membaik.
  • 42. 42 Daftar Pustaka : 1. Juvela, S. Natural history of unruptured intracranial aneurysms : risks for aneurysm formation, growth, and rupture. Acta Neurochir Suppl (82:27-30); 2002. 2. Stehbens, WE. Aneurysm and anatomical variation of cerebral arteries. AArch Pathol (75:45-64); 1963. 3. Connolly ES, Solomon RA. Management of unruptured aneurysm. In : Le Roux PD, Winn HR, Newell DW, eds. Management of cerebral aneurysm. Philadelphia:Saunders; 2004. 4. Algra A, Hop JW, Rinkel GJ, Van Gijn J. Case fatality rates and functional outcome after subarachnoid hemorrhage: a systemic review. Stroke; 1997. 5. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Medical Progress Cerebral Aneurysms Review. The New England Journal of Medicine (Internet).August 31, 2006:928. Available from : http://www.nejm.org 6. Schievink WI. Intracranial aneurysms. The New England Journal Medicine (Book). 1997:336:28-40. 7. Garparotti R, Liserre R. Intracranial aneurysms. Eur Radiol; 2005.
  • 43. 43 8. Ali MJ, Bendok BR, Getch CC, Batjer HH. Trapping and revascularization for a dissecting aneurysm of the proximal posteroinferior cerebellar artery: technical case report and review of the literature. Neurosurgery; 2002. 9. Barami K, Ko K. Ruptured mycotic aneurysm presenting as an intraparenchymal hemorrhage and nonadjacent acute subdural hematoma: case report and review of the literature. Surg Neurol; 1994. 10. Karmonik C, Klueznik R. Understanding the dangers of aneurysm. Biomedical. ANSYS Advantage (Book). 2008:II(2). 11. Kwoon JV, Lavine SD, Vega C. Intracranial Aneurysms:Current evidence and clinical practice. American Family Physician (Internet). August 15, 2002:66(4). Available from : http://www.aafp.org/afp 12. Asari S, Ohmoto T. Natural history and risk factors of unruptured cerebral aneurysms. Clinical Neurological Neurosurgery; 1993 13. Greenberg MS. SAH and aneurysms. In : Greenberg MS, ed. Handbook of neurosurgery 5th ed. New York: Thieme Medical; 2000. 14. Brisman JL, Newell DW, Song JK. Medical progress cerebral aneurysm review article. The New England Journal of Medicine (Internet). August 31, 2006:928(355):9. Available from: http://www.nejm.org 15. Wardlaw JM, White PM. The detection and management of unruptured intracranial aneurysms. Brain; 2000.