Ayat Al-Quran menyeru umat Islam untuk menampakkan nikmat Allah sebagai bentuk syukur. Beberapa ulama menjelaskan bahwa menampilkan nikmat dalam pakaian dan makanan bukan berarti pamer atau sombong, melainkan untuk mensyukuri nikmat dari Allah. Nikmat harus ditampilkan secara proporsional tanpa berlebihan.
1. Tampakan Nikmat Allah
Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah.
Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah
beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).
Berikut beberapa pendapat ulama mengenai ayat di atas.
Dari Abu Nadhroh, ia berkata,
كان المسلمىن يرون أن مه شكر النعم أن يحدّث بها.
“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan
seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari
dalam kitab tafsirnya, Jaami‟ Al Bayaan „an Ta‟wili Ayyil Qur‟an (24: 491).
Al Hasan bin „Ali berkata mengenai ayat di atas,
2. “Kebaikan apa saja yang kalian perbuat, maka siarkanlah pada saudara kalian.” Disebutkan
oleh Ibnu Katsir, dari Laits, dari seseorang, dari Al Hasan bin „Ali (Tafsir Al Qur‟an Al
„Azhim, 14: 387).
Tentu saja nikmat atau kebaikan disampaikan pada orang lain jika mengandung maslahat,
bukan dalam rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari pujian, alias
“riya‟ “). Lihat perkataan Syaikh „Abdurrahman bin Nashir As Sa‟di dalam kitab tafsirnya,
“Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat) maupun nikmat dunia.
Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Allah atas nikmat tersebut”. Bentuk syukur di sini
adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung
maslahat. Namun boleh juga penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan
lisan). Karena menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan
semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu Allah
Ta’ala). Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat baik padanya.” (Taisir Al
Karimir Rahman, 928)
Ulama besar dari negeri „Unaizah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al „Utsaimin dalam tafsir
Juz „Amma menjelaskan, “Tahadduts ni’mah (menyebut-nyebut nikmat Allah) adalah dengan
ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur kepada pemberi nikmat (yaitu Allah
Ta’ala), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain. Karena jika hal itu
dilakukan karena sombong, maka itu jadi tercela.”
Syaikh „Abdul „Aziz bin „Abdillah bin Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik
tentang ayat di atas. Beliau rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut nikmat yang Allah berikan. Nikmat itu
disyukuri dengan ucapan dan juga ditampakkan dengan amalan. Tahadduts ni’mah
(menyiarkan nikmat) dalam ayat tersebut berarti seperti seorang muslim mengatakan,
“Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik. Saya memiliki kebaikan yang banyak. Allah
memberi saya nikmat yang banyak. Aku bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.”
Tidak baik seseorang mengatakan dirinya itu miskin (fakir), tidak memiliki apa-apa.
Seharusnya ia bersyukur pada Allah dan tahadduts ni’mah (siarkan nikmat tersebut).
Hendaklah ia yakin bahwa kebaikan tersebut Allah-lah yang memberi. Jangan ia malah
menyebut-nyebut dirinya itu tidak memiliki harta dan pakaian. Janganlah mengatakan seperti
itu. Namun hendaklah ia menyiarkan nikmat yang ada, lalu ia bersyukur pada Allah Ta’ala.
Jika Allah memberi pada seseorang nikmat, hendaklah ia menampakkan nikmat tersebut
dalam pakaian, makanan dan minumnya. Itulah yang Allah suka. Jangan menampakkan diri
seperti orang miskin (kere). Padahal Allah telah memberi dan melapangkan harta. Jangan
pula ia berpakaian atau mengonsumsi makanan seperti orang kere (padahal keadaan dirinya
mampu, pen). Yang seharusnya dilakukan adalah menampakkan nikmat Allah dalam
makanan, minuman dan pakaiannya. Namun hal ini jangan dipahami bahwa kita
diperintahkan untuk berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros.” [Majmu‟ Fatawa wa
Maqolaat Mutanawwi‟ah, juz ke-4, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/32]
Semoga kita diberi taufik untuk merealisasikan syukur kepada Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.