Teks tersebut memberikan 7 cara untuk mengatasi penyakit hasad (dengki) yang dianggap berbahaya bagi umat Islam. Cara-cara tersebut antara lain mengakui bahwa hasad adalah penyakit, memperoleh ilmu agama, berserah diri kepada takdir Allah, menghindari iri hati terhadap rezeki orang lain, memohon kepada Allah, shalat lima waktu, dan mengingat kematian.
2. Seorang muslim yang hanif tentulah sadar bahwa penyakit hasad adalah
penyakit yang harus diatasi mengingat bahaya yang ditimbulkannya teramat
besar. Artikel ini secara singkat berusaha memberikan beberapa kiat untuk
mengatasi penyakit hasad tersebut. Semoga bermanfaat
1. Obat yang paling pertama adalah mengakui bahwa hasad itu
merupakan sebuah penyakit akut yang harus dihilangkan.
Tanpa adanya pengakuan akan hal ini, seorang yang tertimpa
penyakit hasad justru akan memelihara sifat hasad yang diidapnya.
Dan pengakuan bahwa hasad adalah sebuah penyakit yang
berbahaya tidak akan timbul kecuali dengan ilmu agama yang
bermanfaat.
2. Ilmu yang bermanfaat, hal ini berarti bahwa seorang yang ingin
mengobati hasad yang dideritanya harus memiliki pengetahuan atau
ilmu, dan pengetahuan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu secara
global dan secara terperinci.
Pertama, secara global, maksudnya dia mengetahui bahwa segala sesuatu
telah ditentukan berdasarkan qadha dan qadar-Nya; segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya akan terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya,
tidak akan terjadi. Demikian pula, dia menanamkan dalam dirinya bahwa
rezeki yang telah ditetapkan dan diberikan Allah kepada para hamba-Nya,
tidak akan berubah dan tertolak karena ketamakan dan kedengkian
seseorang.
Kedua, secara terperinci, yakni dia mengetahui bahwa dengan memiliki sifat
hasad, pada hakekatnya dia membiarkan sebuah kotoran berada di mata air
keimanan yang dimilikinya, karena hasad merupakan bentuk penentangan
terhadap ketetapan dan pembagian Allah kepada para hamba-Nya. Dengan
demikian, hasad merupakan tindakan pengkhianatan kepada saudara-Nya
sesama muslim dan dapat mewariskan siksa, kesedihan, kegalauan yang
berkepanjangan. Demikian pula, hendaklah dia menanamkan kepada dirinya
bahwa hasad justru akan membawa berbagai dampak negatif bagi dirinya
sendiri, baik di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, orang yang dihasadi justru
memperoleh keuntungan berupa limpahan pahala akibat hasad yang
dimilikinya [Fatawa Syaikh Jibrin 11/69; Maktabah Asy Syamilah].
Jadi bagaimana bisa seorang berakal membiasakan dirinya untuk dengki
(hasad) kepada orang lain?!
Muhammad ibnu Sirin rahimahullah mengatakan,
“Saya tidak pernah dengki kepada orang lain dalam perkara dunia, karena
apabila dia ditetapkan sebagai ahli jannah, bagaimana bisa saya
mendengkinya dalam perkara dunia, sementara dia berjalan menuju jannah.
3. Sebaliknya, jika dia adalah ahli naar, bagaimana bisa saya dengki kepadanya
dalam perkara dunia, sementara dia berjalan menuju naar” [Muktashar
Minhajul Qashidin 177].
3. Dengan amal perbuatan yang bermanfaat, yaitu melakukan kebalikan
dari perbuatan-perbuatan negatif yang muncul sebagai akibat dari sifat hasad
[Fatawa Syaikh Jibrin 11/69; Maktabah Asy Syamilah]. Hal ini diisyaratkan
Allah ta‟ala dalam firman-Nya,
( ٌمٌِمَح ًٌِّل َو ُهَّنَأَك ٌة َاوَدَع ُهَنٌَْب َو َكَنٌَْب ِيذَّلا اَذِإَف ُنَس ْحَأ ًَِه ًِتَّلاِب ْعَفْاد٤٣)
Tolaklah(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang
yangantaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
temanyang sangat setia( .Fushshilat: 34.)
Jikasifat hasad mendorongnya untuk mencemarkan dan memfitnah orang
yangdidengkinya, maka ia harus memaksakan lidahnya untuk memberikan
pujiankepada orang tersebut. Jika sifat hasad mendorongya untuk bersikap
sombong, maka ia harus memaksa dirinya untuk bersikap tawadhu‟ (rendah
hati) kepada orang yang didengkinya, memuliakan, dan berbuat baik
kepadanya. Jika di kali pertama dia bisa memaksa dirinya untuk melakukan
berbagai hal tersebut, maka insya Allah selanjutnya dia akan terbiasa
melakukannya, dan kemudian hal itu menjadi bagian dari karakternya.
4. Meneliti dan menelusuri sebab-sebab yang membuat dirinya menjadi
dengki kepada orang lain, kemudian mengobatinya satu-persatu. Misalnya,
sifat sombong diobati dengan sifat tawadhu„ (rendah hati), penyakit haus
kedudukan dan jabatan diobati dengan sifat zuhud, sifat tamak (rakus) diobati
dengan sifat qana‟ah dan berinfak, dst.
5. Di antara obat hasad yang paling mujarab adalah sebagaimana yang
telah diterangkan Allah dalam firman-Nya,
) ٣٢)
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain, (karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.” (An Nisa: 32).
4. Dalam ayat ini, Allah ta‟ala melarang hamba-Nya iri (dengki) terhadap rezeki
yang berada di tangan orang lain, dan Dia menunjukkan gantinya yang
bermanfaat di dunia dan akhirat yaitu dengan memohon karunia-Nya karena
hal tersebut terhitung sebagai ibadah dan merupakan perantara agar
permintaannya dipenuhi apabila Allah menghendakinya [Fatawasy Syabakah
Al Islamiyah 7/278; Maktabah Asy Syamilah].
6. Bersandar kepada Allah, bermunajat serta memohon kepada-Nya
agar berkenan mengeluarkan penyakit yang kotor ini dari dalam hatinya.
7. Banyak mengingat mati. Abud Darda radhiallahu „anhu
mengatakan,
ده ح ق ح ق ت ذ ث أ
“Seorang yang memperbanyak mengingat mati, niscaya akan sedikit
girangnya dan sedikit pula sifat hasadnya” [Hilyatul Auliya 1/220].
SHALAT 5 WAKTU DPT MELEBUR DOSA
Kita telah diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah Ta‟ala tatkala kita
berada dalam keadaan sendirian maupun di hadapan orang banyak. Namun
sudah merupakan kepastian dalam melakukan ketaatan tersebut, terkadang
kita lalai. Boleh jadi kita meninggalkan hal yang diperintahkan atau terjerumus
dalam hal yang dilarang. Ketika dalam keadaan demikian, Nabishallallahu
„alaihi wa sallam pun memerintahkan kita untuk menghapus kejelekan
tersebut dengan kebajikan.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat
berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,
ٍنَسَح ٍقُلُخِب َاسَّنال ِِقلاَخ َو اَهُحْمَت َةَنَسَحْال َةَئٌَِّّسال ِعِبْتَأ َو َتْنُك اَمُْثٌَح َ ََّّللا ِقَّتا
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah
kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan
berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi no.
1987. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi, hasan dilihat dari jalur
lain. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib 2655)
Allah Ta‟ala juga berfirman,
ِل ىَرْكِذ َِكلَذ ِتاَئٌَِّّسال َْنبِهُْذٌ ِتاَنَسَحْال َّنِإ ِْلٌَّلال َِنم اًفَلُز َو ِارَهَّنال ًَِفَرَط َة َََّلصال ِِمقَأ َوِِركاَّلذٌَن
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hud: 114)
5. Ketika Allah menceritakan sifat-sifat orang yang bertakwa, Allah pun
berfirman,
ْمِهِوبُنُِذل ُوارَفْغَتْاسَف ََّللا ُوارَكَذ ْمُهَسُفْنَأ ُوامَلَظ ْوَأ ًةَشِحاَف واُلَعَف اَذِإ
“Apabila mereka mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.”
(QS. Ali Imran: 135). Ayat ini menunjukkan bahwa sifat orang yang bertakwa
adalah terkadang terjerumus dalam dosa-dosa besar (faahisyah) dan juga
dosa-dosa kecil (zhulmun nafs). Akan tetapi mereka tidak terus menerus
berbuat dosa. Bahkan mereka mengingat Allah setelah mereka terjerumus
dalam dosa tersebut. Mereka pun memohon ampunan kepada-Nya dan
bertaubat.
Shalat Lima Waktu Pelebur Dosa
Maksud “perbuatan-perbuatan yang baik” dalam surat Huud ayat 14 di atas
adalah shalat lima waktu. Karena ayat ini dalam konteks membicarakan
masalah shalat. Tafsiran ini adalah tafsiran dari Ibnu Mas‟ud, Ibnu „Abbas,
Mujahid dan mayoritas ulama.[1] Sedangkan yang dimaksud dengan
perbuatan-perbuatan yang buruk dalam ayat tersebut adalah dosa-dosa kecil
dan bukan semua dosa.[2] Tafsiran ini berdasarkan pada sabda
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,
َُعمُجْال ىَلِإ ُةَُعمُجْال َو ُْسمَخْال ُات َوَلَّصالَِرئاَبَكْال َبَنَتْاج اَذِإ َُّنهَنٌَْب اَم ٌاتَرِّفَكُم َانَضَمَر ىَلِإ ُانَضَمَر َو ِة
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum‟at yang satu dan jum‟at berikutnya,
antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-
amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-
dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
Bahkan dikuatkan pula dengan ayat dalam surat An Nisa‟,
ِرَك ًَلَخُْدم ْمُكِْلخْدُن َو ْمُكِتاَئٌَِّس ْمُكْنَع ْرِّفَكُن ُهْنَع َن ْوَهْنُت اَم َِرئاَبَك ُوابِنَتْجَت ْنِإًامٌ
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-
dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
(QS. An Nisa‟: 31). “Kesalahan-kesalahanmu” ditafsirkan dengan dosa-
dosamu yang kecil sebagaimana yang dikatakan oleh As Sudiy[3]. Dalam
tafsir Al Jalalain juga dikatakan bahwa yang dimaksudkan adalah dosa-dosa
kecil dan dosa tersebut dihapus dengan ketaatan[4].[5]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus
dengan amalan ketaatan, di antaranya adalah shalat wajib. Antara shalat
Shubuh dan Zhuhur, Ashar dan Maghrib, Maghrib dan Isya, Isya dan Shubuh,
di dalamnya terdapat pengampunan dosa (yaitu dosa kecil) dengan sebab
melaksanakan shalat lima waktu.
Namun perlu diketahui bahwa dosa-dosa kecil ini bisa terhapus dengan
amalan wajib apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Pendapat inilah
yang dianut mayoritas ulama salaf. Artinya, menjauhi dosa besar merupakan
syarat agar dosa kecil itu bisa dihapus dengan amalan-amalan wajib. Jika
dosa besar tidak dijauhi, maka dosa kecil tidak bisa terhapus dengan sekedar
melakukan amalan wajib.[6]
Ibnu Mas‟ud mengatakan, “Shalat lima waktu menghapuskan setiap dosa di
antara waktu-waktu tersebut selama seseorang menjauhi dosa besar.”[7]
6. Salman mengatakan, “Jagalah shalat lima waktu karena shalat lima waktu
adalah pelebur dosa yang diperbuat tubuh ini selama seseorang tidak
melakukan dosa pembunuhan.”[8]
Adapun dosa besar bisa terhapus dengan taubat nashuhah[9]. Yang
namanya taubat adalah dengan menyesali setiap dosa, bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi, tidak terus menerus dalam dosa.
Semoga Allah mengampuni setiap dosa kita dan memberi taufik untuk
menjadi lebih baik dengan bertaubat pada-Nya.
Masih ada amalan lainnya sebagai pelebur dosa, mudah-mudahan dapat
kami sajikan dalam tulisan lainnya. Semoga sajian yang singkat ini
bermanfaat.
ORANG BERTAQWA TDK PERNA MERASA MISKIN
Berikut pelajaran berharga yang kami peroleh dari penjelasan Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Semoga bermanfaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
Adapun mengenai firman Allah Ta‟ala,
} ُبِسَتْحٌَ ََل ُْثٌَح ْنِم ُهْقُزْرٌَ َو { } اًجَرْخَم ُهَل ْلَعْجٌَ َ ََّّللا ِقَّتٌَ ْنَم َو {
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah
akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang
benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya
berbagai manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu
yang dapat dinikmati oleh manusia. Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki
dunia dan rizki akhirat.
Sebagian orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah
merasa fakir (miskin atau merasa kekurangan) sama sekali.” Lalu ada
yang bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Karena
Allah Ta‟ala berfirman:
} ُبِسَتْحٌَ ََل ُْثٌَح ْنِم ُهْقُزْرٌَ َو { } اًجَرْخَم ُهَل ْلَعْجٌَ َ ََّّللا ِقَّتٌَ ْنَم َو {
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)”
Kemudian ada yang bertanya kembali, “Kami menyaksikan sendiri bahwa di
antara orang yang bertakwa, ada yang tidak punya apa-apa. Namun memang
ada sebagian lagi yang diberi banyak rizki.”
Jawabannya, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang bertakwa akan
diberi rizki dari jalan yang tak terduga. Namun ayat itu tidak menunjukkan
bahwa orang yang tidak bertakwa tidak diberi rizki. Bahkan setiap makhluk
akan diberi rizki sebagaimana Allah Ta‟alaberfirman,
اَهُقْزِر ِ ََّّللا ىَلَع َّإَل ِضْرَ ْاْل ًِف ٍةَّبدَا ْنِم اَم َو
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya” (QS. Huud: 6). Bahkan hamba yang menerjang yang
haram termasuk yang diberi rizki. Orang kafir tetap diberi rizki padahal rizki itu
boleh jadi diperoleh dengan cara-cara yang haram, boleh jadi juga dengan
7. cara yang baik, bahkan boleh jadi pula diperoleh dengan susah payah.
Sedangkan orang yang bertakwa, Allah memberi rizki pada mereka dari jalan
yang tidak terduga. Rizkinya tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara yang
haram, juga tidak mungkin rizki mereka dari yang khobits (yang kotor-
kotor). Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin dihalangi
dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi dunia yang
berlebih sebagai rahmat dan kebaikan padanya. Karena boleh jadi
diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya. Sedangkan
disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda
halnya dengan keadaan manusia yang Allah ceritakan,
اَإذ َّامَأ َو { } ِنَمَرْكَأ ًِّبَر ُلوُقٌََف ُهَمَّعَن َو ُهَمَرْكَأَف ُهُّبَر ُه ََلَتْبا اَم اَإذ ُانَسْنِ ْاْل َّامَأَف {ِهٌَْلَع َرَدَقَف ُه ََلَتْبا اَم
} ًَّلُك { } ِنَناَهَأ ًِّبَر ُلوُقٌََف ُهَقْزِر
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah
memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya
maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak
(demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16)
Senyatanya tidak demikian. Belum tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia
berarti dimuliakan. Sebaliknya orang yang disempitkan rizkinya, belum tentu
ia dihinakan. Bahkan boleh jadi seseorang dilapangkan rizki baginya hanya
sebagai istidroj (agar ia semakin terlena dengan maksiatnya). Begitu pula
boleh jadi seseorang disempitkan rizkinya untuk melindungi dirinya dari
bahaya. Sedangkan jika ada orang yang sholih yang disempitkan rizkinya,
boleh jadi itu karena sebab dosa-dosa yang ia perbuat sebagaimana sebagian
salaf mengatakan,
“Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki untuknya karena dosa yang ia
perbuat.”
Dalam hadits, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ِم ُهَقَزَر َو اًجَرْخَم ٌٍق ِض ِّلُك ْنِم َو اًجَرَف ٍّمَه ِّلُك ْنِم ُهَل ُ ََّّللا َلَعَج َارَفِْغتْس ِاَل َرَثْكَأ ْنَمُبِسَت ْحٌَ ََل ُْثٌَح ْن
“Barang siapa yang memperbanyak beristighfar, maka Allah pasti akan selalu
memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari
segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah
yang tidak ia sangka-sangka.”[1]
Allah Ta‟ala telah mengabarkan bahwa kebaikan itu akan menghapus
kejelekan, istighfar adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan,
sedangkan maksiat adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan.
(Kita dapat menyaksikan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut ini).
Allah Ta‟ala berfirman,
َّمُث ُهُتاٌََآ ْتَمِك ْحُأ ٌابَتِك الر( ٌٍرِبَخ ٌٍِمكَح ُْندَل ْنِم ْتَلِّصُف1ٌرٌَِشب َو ٌرٌِذَن ُهْنِم ْمُكَل ًِنَّنِإ َ ََّّللا ََّلِإ واُدُبْعَت ََّلَأ )
(2ِذ َّلُك ِت ُْؤٌ َو ىًّمَُسم ٍلَجَأ ىَلِإ اًنَسَح ًاعاَتَم ْمُكْعِّتَمٌُ ِهٌَْلِإ ُوابوُت َّمُث ْمُكَّبَر ُوارِفْغَتْاس ِنَأ َو )ٍلْضَف يُهَلْضَف
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah.
Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa
8. khabar gembira kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta
ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan
yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus
menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia
akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan
(balasan) keutamaannya” (QS. Huud: 1-3)
( اًارَّفَغ َانَك ُهَّنِإ ْمُكَّبَر ُوارِفْغَتْاس ُتْلُقَف11ِم ْمُكٌَْلَع َءاَمَّسال ِلِسُْرٌ )( اًارَرْد11ٌَِننَب َو ٍال َْومَأِب ْمُكِْددْمٌُ َو )
( اًارَهْنَأ ْمُكَل ْلَع ْجٌَ َو ٍتاَّنَج ْمُكَل ْلَع ْجٌَ َو12)
“Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu,
dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
ِل { } اًقَدَغ ًءاَم ْمُهاَنٌَْقْسَ َْل ِةَقٌ ِرَّالط ىَلَع ُواماَقَتْاس ِوَل ْنَأ َو {} ِهٌِف ْمُهَنِتْفَن
“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang
segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.”
(QS. Al Jin: 16-17)
ُبَّذَك ْنِكَل َو ِضْرَ ْاْل َو ِءاَمَّسال َِنم ٍتاَكَرَب ْمِْهٌَلَع اَن ْحَتَفَل ا ْوَقَّتا َو واُنَمآ ىَرُقْال َلْهَأ َّنَأ ْوَل َواَمِب ْمُهاَنْذَخَأَف وا
َُونبِسْكٌَ واُناَك
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A‟rof: 96)
ِم ْمِْهٌَلإ َلِزْنُأ اَم َو َلٌِجْنِ ْاْل َو َةاَر ْوَّتال ُواماَقَأ ْمُهَّنَأ ْوَل َوْمِِهلُجْرَأ ِتْحَت ْنِم َو ْمِِهق ْوَف ْنِم واُلَكَ َْل ْمِِّهبَر ْن
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan
Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya
mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.”
(QS. Al Maidah: 66)
ٌٍِرثَك ْنَع وُفْعٌَ َو ْمُكٌِدٌَْأ ْتَبَسَك اَمِبَف ٍةَبٌ ُِصم ْنِم ْمُكَباَصَأ اَم َو
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)
ٌروُفَك ٌوسُئٌََل ُهَّنإ ُهْنِم اَهاَنْعَزَن َّمُث ًةَمْحَر اَّنِم َانَسْنِ ْاْل اَنْقَذَأ ْنِئَل َو
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami,
kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa
lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)
َكِسْفَن ْنِمَف ٍةَئٌَِّس ْنِم َكَباَصَأ اَم َو ِ ََّّللا َِنمَف ٍةَنَسَح ْنِم َكَباَصَأ اَم
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa‟: 79)
َو ُواعَّرَضَت اَنُسْأَب ْمُهَءاَج ْإذ ََل ْوَلَف { } َُونعَّرَضَتٌَ ْمُهَّلَعَل ِءاََّّرضال َو ِءاَسْأَبْالِب ْمُهاَنْذَخَأَف {ْمُهُبوُلُق ْتَسَق ْنِكَل
َم ُانَْطٌَّشال ُمُهَل ََّنٌَز َو} َونُلَمْعٌَ واُناَك ا
“Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah)
9. dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka,
bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan
kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An‟am:
42-43)
Allah Ta‟ala telah mengabarkan dalam kitabnya bahwa Dia akan menguji
hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang
dimaksud adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini
dimaksudkan agar hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan
bersyukur. Dalam hadits shahih, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
َّإَل ِدَحَ ِْل َِكلَذ َْسٌَل َو ُهَل اًْرٌَخ َانَك َّإَل ًءاَضَق ِِنم ُْؤمِْلل ُ ََّّللا ً ِضْقٌَ ََل ِهِدٌَِب ًِسْفَن ِيذَّلَا َوُهْتَباَصَأ ْإن ِِنم ُْؤمِْلل
َرَبَص ُءاَّرَض ُهْتَباَصَأ ْنِإ َو ُهَل اًْرٌَخ َانَكَف َرَكَش ُءاَّرَسُهَل اًْرٌَخ َانَكَف
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi
seorang mukmin suatu ketentuan melainkan itu baikk baginya. Hal ini tidaklah
mungkin kita jumpai kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan
kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa suatu
bahaya, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.”
Demikian penjelasan dari Abul „Abbas Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah dalam Majmu‟ Al Fatawa (16/52-54). Semoga
bermanfaat dan dapat sebagai penyejuk hati yang sedang gundah.
Alhamdulillahilladzi bi ni‟matihi tatimmush sholihaat.
SYUKUR KETIKA MERAIH SUKSES
Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus
bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita
malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan
berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai
hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam
tulisan sederhana ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat
adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui
bahwa semuanya berasal dari Allah Ta‟ala dan jangan berlaku angkuh
dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang
pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta‟ala,
ٌوطُنَق ٌوسُئٌََف ُّرَّشال ُهَّسَم ْنِإ َو ِْرٌَخْال ِءاَعُد ْنِم ُانَسْناْل ُمَأْسٌَ َل
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka
dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada
ayat lainnya,
ٌٍضِرَع ٍءاَعُد وُذَف ُّرَّشال ُهَّسَم اَذِإ َو ِهِِبناَجِب ىَأَن َو َضَرْعَأ ِانَسْنِ ْاْل ىَلَع اَنْمَعْنَأ اَذِإ َو
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak
berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau
kejelekan. Ia akan selalu berdo‟a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta,
10. anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa
merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya
akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan
kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan
nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah
itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas
sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena
ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman
Allah Ta‟ala,
ذ د ح ه قذأ
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia
ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat:
50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan
yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir
jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut
dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa
musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap
karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut
dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang
diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta‟ala,
ْثِّدَحَف َِّكبَر ِةَمْعِنِب َّامَأ َو
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya
(dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda,
ٌرْفُك اَهُك ْرَت َو ، ٌرْكُش َِّللا ِةَمْعِنِب ُثُّدَحَّتال
“Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya
merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami‟ no.
3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh
anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak
syukur pada Allah sebagaimana do'a beliau ketika itu,
ِءاَعُّدال ُعٌِمَسَل ًِّبَر َّنِإ َاقَحْسِإ َو َلٌِعاَمْسِإ ِرَبِكْال ىَلَع ًِل َبَه َو ِيذَّلا ِ َّ ِّلِل ُدْمَحْال
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua
(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha
Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan
dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?”
Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah
dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia
menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan
karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya
11. dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu
mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya
dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat
tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi
maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat
tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur‟an, jangan
sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-
tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat
tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan
sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika
seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya
untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika
nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk
maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur:
[1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan
nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat
tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
Abul „Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,
ِحِار َوَجْال َو ِانَسِّلال َو ِبْلَقْالِب ُونُكٌَ َرْكُّشال َّنَأ َو
“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan
dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[4]
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah
diisyaratkan oleh Nabi shallallahu „alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya.
Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,
َّىِبَّنال َّنِإ ُاسَّنال اَهٌَُّأ اٌَ-صلىوسلم علٌه َّللا-ُلوُقٌَ َانَك«ٍبَهَذ ْنِم ًألَم ًاٌِدا َو َىِطْعُأ َمَآد َْنبا َّنَأ ْوَل
ُّتال ََّلِإ َمَآد ِْنبا َف ْوَج ُّدُسٌَ ََل َو ، اًِثلاَث ِهٌَْلِإ َّبَحَأ ًاٌِناَث َىِطْعُأ ْوَل َو ، ًاٌِناَث ِهٌَْلِإ َّبَحَأىَلَع ُ ََّّللا ُوبُتٌَ َو ، ُابَر
َت ْنَمَاب»
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia
masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah
kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah
akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa
saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu
bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit.
Karena Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ٌَِرثَكْال ِرُكْشٌَ ْمَل َلٌِلَقْال ِرُكْشٌَ ْمَل ْنَم
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu
mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 667)
12. Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang
terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari
yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur.
Allah Ta‟ala berfirman,
د د هد ه
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah
mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba
tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui
batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada
mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang
maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang
terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka
yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan
kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[5]
Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan
seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah
nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah
kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan
beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini
hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar
merenungkan hal ini.[6]
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan
orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta‟ala berfirman,
ٌَنِِركاَّشال يِزْجَنَس َو
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS.
Ali Imron: 145)
ٌدٌِدَشَل ًِابَذَع َّنِإ ْمُتْرَفَك ْنِئَل َو ْمُكَّنٌَد ِزَ َْل ْمُتْرَكَش ْنِئَل ْمُكُّبَر َنَّذَأَت ْذِإ َو
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".”
(QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur
pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.