1. Simone de Beauvoir mengembangkan filsafat eksistensialisme dengan menekankan ambiguitas keberadaan manusia dan penolakan terhadap penguasaan manusia lain.
2. Ia melihat relasi antara pria dan wanita sebagai hubungan kekuasaan yang menjadikan wanita sebagai 'yang lain', serta mengkritik konstruksi gender yang mereduksi arti keberadaan wanita.
3. Filsuf harus melawan penindasan dengan mengak
2. Terlahir
dengan nama Simone de
Beauvior, di Prancis tahun 1920an dari
kalangan kelas menengah dan meninggal
tahun 1980.
Filsuf aliran filsafat eksistensialisme
(kebebasan), yang bergerak sebagai filsuf,
feminisme, novelis, komentator politik dan
aktivis politik juga.
Tidak menikah dan patnernya Jean Paul
Sartre
3. Karya
terkenalnya ialah The Ethics of
Ambiguity dan The Second Sex.
Ia hidup dalam 2 kurun perang dunia, dan
ketika gelombang feminis kedua melejit :
kampanye diskriminasi hukum, politik dan
legalisme aborsi.
Salah satu pendiri Jurnal Les Temps
Modernes (gerakan kiri anti Stalinis di
Prancis).
Dianggap sebagai salah satu peletak dalas
pemahaman kritis tentang “model bagi
meaning (arti).
4. Dasar
: filsafat eksistensialisme yang
berbicara tentang keberadaan manusia
(eksistensi), yang ditentutakan oleh
kesenjangan esesnsi (makna terdalam)
dan eksistensi (tampilan luar).
Keberadaan manusia selalu ditandai
dengan transcendence (tidak terjangkau)
dan becoming (menjadi....), dimana ia
tidak akan sama dengan esensi, kecuali
melalui tindakan “bad faith (keyakinan
buruk).
5. Untuk
berada dalam keyakinan buruk,
maka manusia harus menyangkal
transcendence diri sendiri dan orang lain
(manusia tanpa esensi dan eksistensi).
Ia meninlai bahwa manusia cenderung
tidak mapan atau ambiguitas : karena dia
selalu menempatkan diri dan orang lain
secara bersamaan.
Hasilnya: manusia mengobyktifkan diri
dalam cara pandang orang lain, dan
menghasilkan yang disebut dengan
ETIKA.
6. Etika
adalah pengakuan atas ambiguitas
baik dan buruk ketika manusia melakukan
pilihan etis dan penilaian.
Dasar kritis: sejauhmana kekerasan dalam
politik mungkin diperkenankan atau tidak
diperkenankan?
Menghasilkan 2 klasifikasi tentang respon
manusia terhadap kondisi yakni Tipe
serious man dan tyran man yang
mempertentantang antara means (caramakna) dan ends (tujuan-akhir)
7. Tipe
Serious man: secara etis berbahaya
(bahkan untuj tujuan keadilan dan
kebebasan).
Kesalahan mendasar: mengidentifikasikan
diri dengan tujuan dan nilai tertentu dalam
cara yang absolut dan tidak diragunakan.
Pertimbangan terhadap pencapaian tujuan
tidak berimbang dengan pertimbangan biaya
(cost).
Sehingga mempermudah menuju kekuasaan
atau tirani (lalim).
8. The
tyran Man: secara etis melakat pada
pencapaian dan keinginan bisa tercapai.
Sehingga cidera atau kematian yang dialami
eksistensi lain itu melekat pada merupakan
instrumen murni untuk mengukur sejauh
mana keinginan bisa tercapai.
Tiran tidak dibenarkan, karena menyebabkan
penolakan atas eksistensi manusia,
mengurangi status menjadi menda untuk
meningkatkan kekuasaan tiran.
9. Pilihan
terhadap kebutuhan dan daya
guna tindakan = pilihan etis=
membenarkan kekerasan dalam
perlawanan terhadap penindasan.
Dalam setiap kasus, ada pertukaran
instrumental antara means dan ensd
sehingga landasan kebenaran moral atas
perlawanan dengan kekerasan pada sisi
yang lain juga dipertanyakan.
10. Secara
etis, manusia (agen) selalu
berkaitan dengan dunia dimana ia
bertindak, yakni hubungan cara dan tujuan
dari suatu tindakan.
Tingkat tinggu kemerdekaan individu dan
tinjauan terhadap masa depan
menyebabkan aktor (politik) memisahkan
diri dari lingkungan dan bertindak sebagai
kekuatan eksternal dan mempredisiksi
dampak tindakan.
11. Namun
masa depan adalah sesuatu yang
tak terpredisksi dan kontrol manusia
terhadap peristiwa juga terbatas.
Sehingga pengorbanan saat ini dan pilihan
masa depan, berkaitan dengan cara dan
tujuan dari tindakan.
Dalam hal ini, tujuan sering dirusak oleh
cara, yang dari sisi pertimbangan etis
sebetulnya salah.
Sebaliknya cara bisa mengambilalih
tujuannya.
12. Bagaimana
Penilaian eksistensialis
terhadap Agen (Abraham) terhadap
eksistensi manusia lain (Ishak) dalam
tindakan “Qurban”?
Hubungan cara (mengurbankan) dan
tujuan (memenuhi transcendence).
Perimbangan Etisnya adalah?
13. Secara
etis: Tindakan Qurban disini adalah
kekerasan dan pembunuhan.
Tujuan : melaksanakan perintah, caranya
adalah membunuh.
Tujuan : qurban telah dirusak oleh cara
(membunuh anak sendiri), yang dari sisi
pertimbangan etis sebetulnya salah. (terkini:
mati demi qurban vs pembebasan manusia)
Tujuan yang bersifat mitos dan terlalu jauh ke
depan bisa kehilangan makna, sehingga cara
secara efektif cara mengambil alih tujuan.
14. Dalam
banyak tindakan politik,
pengambilan keputusan bersifat teknis,
bukan etis, sehingga menimbulkan
ambiguitas antar agen dan situasi (pihak
lain).
Dampaknya: asumsi transenden : bahwa
dunia dan oranf lain ada untuk memenuhi
hasrat sang Tiran, dan ia memiliki kuasa
untuk mengontrol dunia, orang lain dan
masa depan.
Hal ini mengurangi penilaian moral
terhadap tindakan teknis, karena adanya
tujuan yang jelas.
15. Tujuan
yang jelas menyebabkan
kehilangan ambiguitas antara agen dan
orang lain (pindah dasar etis : taktik).
Pilihan etis : kontekstual, tidak jelas dan
beresiko, namun memiliki tanggung jawab
mutlak terhadap tindakan dan dampaknya
bagi kebenaran moral.
Inilah yang disebut dengan prinsip dari
tindakan, bahkan tujuan yang baik akan
kehilangan makna, ketika diambilalih oleh
cara yang buruk.
16. Pemahaman
eksistensialisme tentang
relasi antara men dan women. Dimana
secara sosial, women mengambil posisi
sebagai the other (yang lain) dari laki-laki
(Other: M, other: W).
Dasar Filsafat Hegel ttg fenomena spiritual
: jenis kesalahan subyek dalam
mempertahankan eksistensi dan
pengakuan, melalui kekerasan dengan
memerangi satu sama lain.
17. Eksistensi
men dan women dalam
perebutan kekuasaan dan pengakuan,
yang dilembagakan secara sosial, melalui
bad faith man sebagai yang lebih utama.
Sehingga, eksistensialis melihat men dan
women sebagai keberadaan yang samasama ambigu dan tidak jelas (untuk
melawan realitas sexisme Eropa).
Beaviour tertarik: “apa makna menjadi
perempuan?” Bahwa perempuan itu
adalah eksistensi yang penuh arti dalam
dunia.
18. Eksistensi
yang mempengaruhi dan
membentuk kehidupan yang terkurung
dalam cara dunia memperlakukannya.
Dimana, terdapat prinsip dari tindakan,
dengan tujuan yang tetapi diambilalih oleh
cara yang buruk (konstruksi gender yang
buruk).
Sehingga, esensi yang terbaca dalam
eksistensi tindakan sosial terhadap
perempuan adalah subordinasi
(penomorduaan).
Pertimbangan etis tidak bersifat universal
tetapi kasusistis.
19. Dalam
tindakan agen, hanya ada subyek
(Abraham dan Ishak/Ismael), dan kita
melupakan The other (ibunya)?
Dalam kasus ini, pertimbangan etis
terhadap “perasaan” ibunya dikalahkan
oleh tujuan dan cara, dia menjadi the
second sex yang kehilangan makna dan
arti (padahal : konsep etisnya “memuliakan
para ibu).
20. Inilah
yang disebut dengan perempuan
sebagai the second sex, dimana
eksistensinya, sebagai keberadaan kedua
setelah laki-laki.
Sebagai the second sex, eksistensi
women sebagai manusia, seringkali
diambil alih oleh cara sosial (gender)
memperlakukan.
Misalnya penguasaan, pembatasan dan
kekerasan (dari sisi pertimbangan etis
salah), dianggap sebagai taktik (tindakan
teknis).
21. Konsep
ambiguitas ialah kondisi kontradisi
antara subyek dan obyek, yang
terpecahkan dalam konsep kebebasan
bersama.
Kebebasan iru baru akan tercapai kalau
masing-masing mengakui ambiguitas
dalam diri (menolak the serious man) dan
ambiguitas orang lain (the tyran man).
Filsuf kritis wajib memainkan peran
menentang penindasan dan penguasaan
terhadap eksistensi manusia.