SlideShare a Scribd company logo
1 of 24
Download to read offline
JURNALASTINA
Segala sesuatu
pada dasarnya
memiliki dua wajah.
Salah satunya adalah
yang terasingkan :
Edisi II/Oktober/2011
2 JURNALASTINA
Kita hidup dalam dunia yang penuh peperangan. Setiap hari
media selalu memberitakan soal perang ideologi dan
perang wacana. Kekhawatiran tentang siapa yang menang dan
siapa yang kalah senantiasa hadir dalam benak kita. Pemenang
menjelma menjadi penguasa. Mereka seolah berhak
mengkonstruksikan kebenarannya sebagai suatu hal yang
absolut dalam masyarakat. Maka pihak yang kalah akan
mengikuti wacana kebenaran pemenang. Mereka yang tidak
mengikuti instruksi tersebut, dilabeli sebagai pembangkang dan
dianggap sebagai wujud kegilaan dalam masyarakat. Kegilaan
didefinisikan sebagai suatu kondisi abnormal dalam situasi
'comfort zone' masyarakat. Pada masyarakat tradisional,
oknum-oknum pembangkang tersebut biasanya diasingkan
atau bahkan dibuang dari kelompok masyarakatnya. Hal yang
sama juga terjadi bahkan dalam masyarakat yang menyebut
diri mereka 'modern'. Para pelaku kegilaan menerima sanksi-
sanksi tersendiri dari otoritas yang berkuasa. Sejarah mencatat
banyak pemikir-pemikir kritis, yang buah pikirannya dianggap
bid'ah pada jamannya, dan mengalami hukuman sadis dari
rezim yang berkuasa. Padahal banyak buah pemikiran mereka
yang akhirnya membuktikan bahwa tidak selamanya kebenaran
tunggal penguasa bagaikan wahyu sorgawi Tuhan. Astina
memotret dua wajah kebenaran tersebut dalam ilustrasi
sampul edisi “kegilaan” kali ini.
Astina mengangkat wacana kegilaan sebagai bentuk
resistensi terhadap wacana kebenaran tunggal yang saat ini
membelenggu kognisi kita. Tulisan-tulisan dalam jurnal ini
berusaha memotret kegilaan dalam berbagai perspektif. Frendy
mengangkat potret moralitas manusia sebagai sebuah kegilaan
pada jamannya. Feby menelaah pemikiran Foucault mengenai
kegilaan dan mengaitkan beberapa adegan di film Tsotsi dalam
perspektif arsitektur. Elbram melihat kegilaan dalam
pengorbanan Kristus dan kaitannya dengan Paskah. Willy
memandang revolusi sebagai pengejawantahan kegilaan dalam
upaya melawan belenggu kapitalisme. Bima melihat kegilaan
pada diri manusia dalam memahami semesta sosialnya. Zikri
mengangkat isu kontemplasi kognisi dalam kehidupan urban.
Berbagai tulisan yang disajikan dalam jurnal Astina kali
ini, membuktikan bahwa kegilaan dapat ditelisik dari berbagi
sudut pandang. Mulai dari perihal justifikasi kebenaran,
religius, hingga hal kemanusian, semua berujung pada upaya
menggugat absolutisme kebenaran tunggal. Sebagai penutup,
tim redaksi Astina ingin mengajak rekan-rekan pembaca untuk
memaknai ulang kebenaran melalui kegilaan.
Salam,
Redaksi.
Daftar Isi
...Hanya Kegilaan & Kebenaran
(Frendy Kurniawan)
Halaman 3
Tsotsi: Antara Urban & Kuasa
(Feby HK)
Halaman 10
Jalan Revolusi
(Willy Avriely D)
Halaman 14
Ah! Paskah!
(Elbram Aprlianto)
Halaman 18
Sesuatu
(M.Zikri)
Halaman 21
astina diskusi virtual (grup fb)
kelompok diskusi astina (fb)
@astinaacademia
astina-academia.blogspot.com
astina.academia@gmail.com
Contact Person:
Feby (0858885232088)
Willy (08988004890)
PANTAU TERUS
KEGIATAN KAMI!
JURNALASTINA 3
dan kebenaran
P
etikan puisi dari Nietzsche di atas akan
mengawali pembicaraan kita berkenaan
tentang kebenaran dan kegilaan manusia.
Puisi tersebut di ambil dari kumpulan puisi
Nietzche era 1882 - 1888 (dalam judul
Dithyrambos Dionysos). Beberapa larik dari puisi
tersebut, sudah menyiratkan kepada kita perihal
sebuah masalah dari manusia. Mungkin saja pokok
tersebut menjadi sebuah permasalahan manusia
yang tiada pernah terselesaikan secara tuntas.
Bersama puisi tersebut marilah kita refleksikan
segala yang berkaitan dengan manusia.
* * *
Saya kira permasalahan mendasar dari
manusia adalah sebuah kegelisahan abadi. Sebuah
beban yang tertanggungkan secara mendasar di
dalam kemanusiaan itu sendiri. Rasa gelisah
manusia menunjuk pada sebuah karakteristik
purba berkenaan dengan passion (hasrat). Passion
yang menjadikan manusia dalam keliaran, dalam
potentia, dalam keterpurukan serta keterlemparan
dari mitos-mitos, juga menjadikan manusia
terjebak dalam aneka ragam bayang-bayang
egonya: kebebasan, kebenaran, keabadian.
Menurun dari passion, manusia semakin
menegaskan kegelisahan, semakin gundah-gulana
tiada pernah terhentikan. Layaknya samudera
yang terus menderu dalam gelora, dalam badai.
... hanya kegilaan
. . .
Pada rekah fajar,
saat bulan sabit
yang pucat di tengah gemilang jingga
dengan iri berindap dengki,
- gentar akan terangnya hari,
bersingjingkat
menyabiti hamparan mawar
hingga pucat terkulai ke gulita malam:
demikianlah dahulu kuterlukai
dari gila-kebenaranku,
dari rindu-rindu siangku,
muak akan siang, sakit oleh cahaya -
tenggelam, ke malam, ke gelap,
oleh Satu kebenaran
terbakar dan dahaga.
- ingatlah kau, wahai kalbu membara,
betapa dulu kau dahaga
akan keterusiranku
dari tiap kebenaran!
Cuma pandir! Cuma penyair!
. . .
Nietzsche: Nur Narr! Nur Dichter! (Cuma Pandir! Cuma Penyair!)
oleh Frendy Kurniawan1
4 JURNALASTINA
Menghantam seluruh tepi-tepi karang, sejarah
kehidupan manusia yang membeku.
Manusia menyadari kegelisahan tersebut
dalam perjalanan panjang sejarah, serta dengan
pencapaian akan
kesadaran.
Kesadaran, telah
terbukti menjadi
selubung gelap
pengetahuan
manusia dari zaman
klasik hingga
modern, dari sari
kebijakan Timur
semacam Zen
hingga seluruh
pencapaian sejarah
filsafat Barat. Kesemuanya berupaya menguak
tabir misteri semesta, membongkar mitos-mitos
penuh kegelapan seraya menghadirkan secercah
kebenaran, bagi manusia. Tapi tetap saja tak
pernah bertemu dengan ujung penyelesaian.
Kesadaran manusia itu sendiri berkenaan
dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan mengenai
kehidupan juga tentang kematian. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki kehidupan, lantas
mempertanyakan segala hal berkaitan dengan
hidup itu sendiri. Apa itu kehidupan? Apa itu
dunia? Apa itu kenyataan? Apa itu hidup? Mengapa
hidup ini bisa terjadi? Untuk apakah hidupku ini?
Dari manakah aku berasal? Dan akan kemana?
Itulah segelintir saja pertanyaan manusia dari
seluruh pertanyaan tiada habis berkenaan dengan
hidupnya.
Tidak hanya hidupnya yang manusia
pertanyakan tiada henti. Perihal kematian pun
manusia gelisahkan tiada habis-habisnya. Apa itu
kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan
terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian
harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian
itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang
manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang
terlewatkan tanpa
ketakutan. Tanpa rasa
gemetar untuk
menghadapi kesunyian
yang penuh dengan
selubung misteri.
Sebuah kematian yang
membawa pada
keabadian.
Tanggapan
manusia berkenaan
dengan seluruh
pertanyaan-
pertanyaan tersebut cukup beragam. Salah satu di
antaranya terangkum dalam sebuah skema kisah-
kisah agama dan tuhan. Agama menjadi salah satu
spirit manusia, baik secara personal maupun juga
komunal. Akan tetapi agama secara jelas lebih
menguatkan pengaruh secara komunal. Ritus yang
kemudian diwartakan oleh agama-agama perlu
dijalankan dalam skema komunal. Eksistensi
kebersamaan secara alami ditegaskan dengan kuat
oleh agama. Termasuk juga dengan kematian.
Kematian yang pada prinsip dasarnya adalah
sebuah proses alamiah dari eksistensi mahkluk
hidup, oleh agama diubah menjadi sebuah titik
tolak misteri yang penuh dengan kategori sakral.
Kematian dianggap sebagai sebuah pintu gerbang
penuh penantian yang akan membawa manusia
berjumpa secara abadi dengan tuhan. Karenanya,
ada upacara secara kolektif yang kemudian
tercipta sebagai sebuah tanda perwujudan dari
ritus kematian.
Begitupun dengan kesadaran akan
“Apa itu kematian? Kenapa manusia
mati? Apa yang akan terjadi setelah
manusia mati? Kenapa kematian harus
terjadi? Tidak adakah jalan selain
kematian itu? Semua itu benar-benar
menggelisahkan sang manusia. Tidak
ada detik kehidupan manusia yang
terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa
rasa gemetar untuk menghadapi
kesunyian yang penuh dengan
selubung misteri.”
JURNALASTINA 5
kehidupan. Skema agama dan tuhan telah
memberikan jubah sakral bagi kematian. Juga
memberikan pemahaman besar mengenai
rancangan besar nan agung mengenai alam
semesta. Alam semesta yang kemudian disadari
dan juga nantinya dialami oleh manusia ini
dikisahkan sebagai sebuah kerja kreatif dalam
skema besar kreasionisme. Prinsip kreasionisme
telah memberikan
pemahaman bahwa
alam semesta
merupakan sebuah
rancangan kreatif dari
tuhan. Dengan demikian
kehendak tuhanlah
segala-galanya ini
berpusat. Pokok
terpenting dari
kreasionisme ini adalah
adanya kekuatan
adikodrati yang
menjadikan segala-
galanya, entah melalui
ketiadaan (ex-nihilo)
ataupun dari suatu
realitas chaos
(demiurgos) yang
kemudian menjadi teratur.
Jawaban tersebut pada suatu waktu diterima
bahkan diyakini. Hingga kini pun sebagian
penduduk dunia masih menjadi penganut paham
besar kreasionisme ini. Melalui otoritas agama
serta pewarisan secara kultural maupun juga
ekspansional (perang), paham kebenaran agama
dan tuhan sebagai sebuah pusat dari eksistensi
semesta dilestarikan di dunia. Manusia seolah-olah
menemukan kebenaran melalui skema itu.
Kesadaran manusia memberikan pembenaran bagi
prinsip ini. Reason atau akal manusia menjadi jalan
bagi usaha pencarian sekaligus legitimasi dari
kebenaran mengenai tuhan dan semestanya. Akan
tetapi melalui sebuah kesadaran manusia juga,
pengalaman keduniawian manusia lantas
memperlihatkan berbagai ketaksesuaian dengan
prinsip kreasi tuhan. Pengalaman manusia
memberikan kenyataan lain mengenai dunia yang
tidak sempurna. Dunia yang
penuh dengan aroma tak
mengenakan dan berwajah
gelap. Ini merupakan
sebuah kontradiksi dari
prinsip kesadaran yang
diterima begitu saja pada
awalnya.
Mengapa dunia yang
dicipta secara sempurna ini
masih saja menampakan
tanda-tanda
ketidaksempurnaan?
Mengapa manusia harus
mengalami kematian?
Mengapa ada yang miskin
dan ada yang kaya?
Mengapa ada orang-orang
sakit dan cacat? Mengapa
ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang
mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala-
gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa
tidak tuhan lakukan?
Reason manusia lantas menemukan
jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil.
Evil menjadikan sosok kegelapan dan
ketidaksempurnaan memperoleh wujud
konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai
semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok
evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan
Karya Ibnu Rizal
Courtesy of: 28w ArtLab
6 JURNALASTINA
dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan
malam, dengan lolongan anjing dan serigala
kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk
memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa,
yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang
terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk
adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki
dasar kegelapan yang hebat!
* * *
Manusia memang
sebuah bayang-
bayang gelap, tak
pernah terselesaikan.
Bahkan ketika dunia
sudah penuh
kedamaian dalam
naungan rancangan
agung sang tuhan,
lama kelamaan
Tuhan pun dia
gugurkan sendiri.
Sebagai pencipta
nilai-nilai, manusia
memang mempunyai
segala kuasa atas
segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang
khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi
selubung kebenaran. Dapatkah manusia
memberikan pembenaran akan Tuhan yang
mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam
sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat
kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika
manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya
tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari
sebuah keajaiban. Tuhan bagi manusia, dalam
pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan
sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala
kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya.
Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian
bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan
setelah kematian dalam keabadian.
Penantian, penantian dan terus penantian,
itulah jati diri lemah manusia yang ketika
tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah
keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,
merasa kalah. Atas semua kekalahan dan
ketakberdayaan tersebut manusia pun masih
mengingkarinya,
masih merasa bukan
sebagai
kemanusiaan.
Manusia mencipta
tuhan dalam pikiran-
pikiran, dalam
khayalan-khayalan,
dalam spirit
kehidupan, dalam
kerumunan dan
gerombolan.
Manusia berani
menyatakan Tuhan
atas nama
kebersamaan dengan
banyak manusia-
manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,
menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya
berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi
naif atas seluruh kemanusiaannya.
Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu
manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung-
duyung mengejar segala passion, meluapkannya
dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar
segala yang akhirat. Manusia-manusia gila sedang
menghuni tempat-tempat terbaik dari kita,
bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam
secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara
manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi
Tafsir Puisi “Pertemuan”
Goenawan Mohamad Karya
Bachtiar Agung N
JURNALASTINA 7
sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan?
Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan
penuh mencipta segala-gala ini dapat saja
menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan?
Reason manusia lantas menemukan
jawabannya, mengarah kepada sosok bernama
evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan
ketidaksempurnaan memperoleh wujud
konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai
semesta lantas dimitoskan
diganggu oleh sosok evil
itu. Pembenaran mengenai
evil ini menjadikan
seluruh pengalaman
manusia yang tak
sempuran tadi
mendapatkan
penjelasannya.
Pemahaman ini dapat
ditelusur melalui
pandangan Theodicy.
(lihat Theodicy: Essays on the Goodness of God, the
Freedom of Man and the Origin of Evil, Leibniz:
1978)
Moral tentang yang baik dan buruk
Sepertinya reason manusia berkenaan
dengan tuhan dan evil, hanya akan membawa
manusia pada pertimbangan mengenai yang baik
dan buruk. Suatu prinsip mendasar yang
menyelimuti seluruh kehidupan manusia hingga
kini. Baik manusia secara personal maupun
manusia pada hitungan kawanan (komunal).
Pertimbangan mengenai yang baik dan yang buruk
tersebut lantas menjadi prinsip moral manusia.
Manusia meyakini menjadi satu-satunya mahkluk
di dunia yang merengkuh hukum universal
tersebut.
Moral mengendalikan manusia. Moral
mengendalikan kehidupan manusia. Moral adalah
hukum. Hukum dalam keteraturan, manifestasi
dari prinsip mendasar alam semesta: teratur.
Kesadaran yang merupakan pencapaian eksistensi
tertinggi manusia pun pada akhirnya mau tidak
mau harus menunduk malu pada moral itu. Moral
memberikan semacam pentunjuk bagi manusia
dalam menentukan
pilihan jalan kehidupan
manusia. Mana yang baik,
mana yang buruk.
Dalam risalah
fiktifnya, Nietzche
menyatakan asal muasal
moral manusia pada
sesosok nabi bernama
Zaratrustha. Sesosok nabi
dalam agama kuno Persia
menunjukan kepada umat
manusia perihal cahaya dan kegelapan.
Menunjukan kepada manusia perihal kebaikan dan
keburukan. Itulah hukum semesta. Semesta yang
secara reason dipahami sebagai sebuah wujud
keteraturan dalam skema cahaya (tata surya).
Seluruh kehidupan dalam alam semesta memang
sangat bergantung dengan cahaya, dengan
matahari. Maka tidak mengherankan pula pada
tradisi agama-agama semit memberikan
keagungan kepada matahari: nur, bintang timur,
cahaya, terang semesta. Yang baik adalah yang
terlihat, yang buruk adalah yang tersembunyikan.
Yang terlihat adalah segala-gala yang dapat
dicerna oleh mata (terbaca), terindrawi dan yang
estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang
indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada
di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh
“akhir dari moral .... kegilaan
. . .
Tuhan sendiri - pernahkah ia
mengawali?
Tuhan sendiri - pernahkah ia
memulai?”
Nietzche: Alle ewigen Quell-Bronnen
(Semua Mata Air Abadi ...)
8 JURNALASTINA
terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah
perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah
kekelaman, yang berada di dalam perasaan
terdalam, yang emosionil penuh dengan nafsu.
Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan
lolongan anjing dan serigala kelaparan yang
mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang
buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai
tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa
mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi.
Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan
yang hebat!
* * *
Manusia memang sebuah bayang-bayang gelap, tak
pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah
penuh kedamaian dalam naungan rancangan
agung sang tuhan, lama kelamaan Tuhan pun dia
gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai,
manusia memang mempunyai segala kuasa atas
segala yang tercipta. Manusia mencipta segala
yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali
diberi selubung kebenaran. Dapatkah manusia
memberikan pembenaran akan Tuhan yang
mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam
sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat
kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak
ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak
berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun.
Bahkan dari sebuah keajaiban. Tuhan bagi
manusia, dalam pandangan Nietzche adalah
sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa
untuk menutupi segala kelemahan manusia yang
tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk
memberikan sebuah kode impian bernama
pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah
kematian dalam keabadian.
Penantian, penantian dan terus penantian,
itulah jati diri lemah manusia yang ketika
tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah
keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,
merasa kalah. Atas semua kekalahan dan
ketakberdayaan tersebut manusia pun masih
mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai
kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam
pikiran-pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam
spirit kehidupan, dalam kerumunan dan
gerombolan. Manusia berani menyatakan Tuhan
atas nama kebersamaan dengan banyak manusia-
manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,
menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya
berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi
naif atas seluruh kemanusiaannya.
Manusia-manusia di masa kini sungguh
suatu manusia dalam kerumunan kegilaan.
Berduyung-duyung mengejar segala passion,
meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia
seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia-
manusia gila sedang menghuni tempat-tempat
terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa
raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila
menjadi sebuah cara manusia mengamini segala
yang kemudian tak lagi dapat diperjelas dalam
kebenaran. Manusia menjadi gila dalam
kesendiriannya, dalam kekosongan untuk sekedar
bergerak melampaui diri mereka sendiri. Manusia
sungguh sedang menderita, sungguh tak berdaya.
Bencana, keputusasaan, hidup yang tak lagi
bermakna, kemunafikan, kematian secara massal
bahkan segala hal yang hidup pun kini tak lagi
menunjukan rasa bagi manusia. Segala hanya
kegilaan, saat sang moral telah dihentikan atas
nama ego, atas nama kebebasan.
Moral pada zaman ini berakhir lewat
legalitas rasional. Hukum yang secara instrumental
telah menatah segala yang obyektif pada ragam
JURNALASTINA 9
bentuk benar-salah. Reason menjadi salah satu
fondasinya. Manusia bukan lagi dikendalikan oleh
nurani hati nurani (mores) sebagai perwujudan
moral, melainkan relasi kontraktual antar
sesamanya (atau juga menggunakan prinsip lawan-
kawan; Schmitt). Dengan demikian, manusia bukan
saja mengubah segala kondisi yang selama ini
menyelingkupinya, melainkan juga menciptanya
kembali dengan sebuah tatanan yang baru. Alam
yang penuh dengan segala yang reason, adalah alam
yang sudah mengubah wajah tuhan. Tuhan telah
mati, begitu kata Nietzche. Dalam artian bukan lagi
menjadi penjaga absolut dari moral manusia. Bukan
lagi menakut-nakuti manusia melalui suara-suara
gelap (atas nama moral). Tuhan masa kini telah
dijadikan sebagai sebuah obyek baru, yaitu suatu
perwujudan rasional atas pilihan benar-salah,
selamat atau tidak selamat. Manusia-manusia hari
ini sudah menafsir Tuhan dalam kerangka
instrumental. Manusia mencari jawaban perihal the
chosen one (yang terpilih) seperti dalam
penggambaran Max Weber.
Moralitas manusia hari ini adalah sebuah
kegilaan. Kegilaan akan penantian tiada henti akan
keselamatan dunia yang akan datang. Keselamatan
dalam skema keabadian. Sejarah manusia lantas
memang sebuah sejarah perjuangan. Perjuangan
antar kelas yang terpilih dan kelas yang tidak
terpilih. Moralitas diukur sejauh itu. Tetapi memang
apa daya, manusia tak dapat memastikan dengan
benar-benar apa yang akan mereka hadapi ketika
kematian itu datang. Percaya, keteguhan, keyakinan
bahkan pembelaan yang kuat dan mati-matian akan
sebuah ajaran dan tradisi atas seluruh ramalan
mengenai zaman yang akan datang menjadi sebuah
keniscayaan manusia-manusia masa kini –yang saya
sebut sebagai kegilaan―agar mereka mampu mati
dalam ketenangan.
* * *
Akankah semua cerita tentang zaman yang
akan datang itu memang benar adanya?
Tidak ada yang tahu pasti, kecuali kita menjemput
kematian. Tetapi apa daya, hingga hari ini
masyarakat kita atas nama apapun sangat membenci
bunuh diri. Juga ketika kita pun mengamini seluruh
sabda dari Nietzche: berkatalah “Ya” atas seluruh
hidup yang kita tanggung.
Jangan pernah menolak kehidupan, sama
seperti jiwa Dynosius yang terus bergelora
memberikan keliaran kehidupan (juga pengetahuan)
kepada sang Apollo yang bernyanyi
memanggilnya.***
1Penulis adalah seorang mahasiswa sosiologi yang
sedang menempuh tugas akhir dan juga merupakan
seorang penyair, pemikir existensialisme dan
penggiat diskusi sastra dan kebudayaan di UI.
10 JURNALASTINA
T
sotsi adalah sebuah film bersetting di
Johannesburg, Afrika Selatan yang
memotret realita dua sisi kota tersebut,
satu sisi memperlihatkan kuasa dengan
eksklusivitas dan satu sisi yang lain mendapatkan
kuasa dengan kriminalitas. Beranjak dari situ
penulis juga terdorong untuk menjelaskan
“penggunaan” kekerasan dan rasa takut tersebut
yang diterangkan Foucault. Dalam bukunya yang
berjudul History of Madness, Foucault menulis:
“For madness: to take oneself for a king
when one is poor; to believe oneself dressed
in gold when one is naked; to imagine that
one has a body of glass, or that one is a
water pitcher. Madness is when all is other,
it deforms and transports, it evokes a
different scene.”
Konsepsi kegilaan dan rasa takut yang keluar
dirasa dapat menjelaskan bagaimana kuasa dapat
berperan di dalamnya. Dalam hal ini tentunya akan
dikaitkan dengan eksklusivitas dan kriminalitas
yang tersirat pada Tsotsi. Tulisan ini terdiri dari
sinopsis film, pola segregasi dalam tata kota
Johannesburg hingga pandangan Foucault tentang
kegilaan, dan analisa Foucault terkait film tersebut.
Dengan demikian, semoga dari penjelasan
beberapa hal tersebut, pertanyaan yang timbul
mengenai segregasi ketika menonton Tsotsi akan
terjawab.
Sinopsis Tsotsi
Tsotsi disutradarai oleh Gavin Hood dan
merupakan adaptasi dari novel karya Athol Fugard
dengan judul yang sama. Film yang dirilis pada
tahun 2005 ini mengambil latar belakang di Afrika
Selatan, pada kawasan kumuh Suweto,
Johannesburg. Bercerita tentang seorang pemuda
bernama Tsotsi3 yang terkenal dengan tindak
kriminalitasnya. Segala macam pencurian
dilakukannya dan tak kenal takut untuk
membunuh. Kejahatan yang ia lakukan bukan
tanpa sebab. Sedari kecil Tsotsi sudah mengenal
kerasnya hidup.
Ibunya terkena penyakit yang tak bisa
disembuhkan dan Ayahnya melarang dirinya
untuk bersentuhan dengan Ibunya. Dikarenakan
Ayahnya yang tak memberinya kasih sayang yang
sepantasnya, Tsotsi kecil pergi dari rumah. Dari
situlah ia mulai menjalani hidup sendirian tanpa
hangat dari pelukan orangtua.
Ketika beranjak dewasa, Tsotsi melakukan
penjambretan di dalam kereta bersama Butcher,
Boston, dan Aap. Penjambretan itu berakhir
dengan pembunuhan yang dilakukan Butcher.
Boston yang tidak setuju dengan tindakan
pembunuhan tersebut akhirnya berkelahi dengan
Tsotsi yang merupakan pemimpin dalam aksi
penjambretan tersebut. Setelah perkelahian itu,
Tsotsi pergi ke kawasan perumahan dimana ia
menembak seorang wanita bernama Pumla dan
Feby Hendola Kaluara2
“violence and fear are entangled with processes of social change in contemporary cities,
generating new forms of spatial segregation and social discrimination.”
Tsotsi; Antara Urban dan Kuasa1
JURNALASTINA 11
mengambil mobilnya yang hendak memasuki
gerbang rumahnya. Tsotsi yang tidak bisa
menyetir dengan baik mengendarai mobil tersebut
tanpa tersadar ada bayi di dalamnya. Saat berhenti,
Tsotsi tersadar ada bayi di dalamnya. Awalnya ia
ingin meninggalkan si bayi begitu saja, tetapi hati
kecilnya tak tega. Tsotsi seperti melihat dirinya
sewaktu kecil di bayi itu. Akhirnya bayi itu dibawa
ke rumahnya. Sementara Pumla dan suaminya
mengerahkan segenap tenaga dan bantuan dari
polisi untuk menemukan bayi mereka.
Tsotsi yang disibukkan dengan kehadiran si
bayi, menyadari betapa ia tidak becus merawat
bayi, Tsotsi menodong Miriam—seorang wanita
yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, untuk
merawat si bayi. Dari sinilah ia kemudian mulai
menyadari kasih sayang yang sempat terenggut
dari kehidupannya. Seiring berjalannya waktu,
Tsotsi menjadi begitu sayang dengan si bayi dan
ingin sekali merawat si bayi.
Pola Segregasi dalam Tata Kota
Johannesburg
Tata Kota Johannesburg memang tidak secara
eksplisit diperlihatkan, namun segregasi antara si
miskin dan si kaya sangat mudah untuk
diidentifikasi, oleh sebab itu, penulis mencoba
menjelaskan pola tata kota tersebut.
Laiknya negara berkembang lain, Afrika
Selatan juga mengalami fenomena urbanisasi.
Urbanisasi kerap terjadi karena adanya
industrialisasi dan modernisasi di bagian
perkotaan, sehingga mendorong orang-orang
untuk mengadu nasib di kota. Seringkali urbanisasi
membentuk pola baru yang biasa disebut center-
periphery. Pola ini biasanya memiliki 4
karakteristik, yaitu (1) bangunannya lebih
menyebar ketimbang terkonsentrasi, (2) terdapat
perbedaan kelas yang mencolok dan biasanya
kaum menengah ke atas tinggal di bagian
pusatnya, sementara kaum menengah ke bawah di
sekeliling pinggiran kota, (3) kepemilikan rumah
menjadi pandangan umum bagi yang kaya maupun
yang miskin, dan (4) transportasi sangat
tergantung pada jalanan, dengan bus yang biasa
digunakan oleh kaum pekerja (working class),
sementara angkutan pribadi umumnya digunakan
oleh kaum menengah ke atas.
Pola tersebut juga terlihat di Johannesburg.
Pada bagian pinggir kota ini didominasi oleh
kawasan kumuh sementara di bagian pusatnya
berdiri bangunan tinggi nan gemerlap. Hal ini
diilustrasikan oleh Martin J Murray dengan istilah
“dua ekstrim yang terkotakkan”; satu sisi adalah
ruang kemakmuran yang sehat, fungsional, dan
sebagian besar dihuni oleh warga berkulit putih
kelas menengah ke atas; sisi lainnya adalah ruang
kurungan yang menyesakkan dimana mayoritas
penduduk yang tinggal adalah pekerja kulit hitam.
Perbedaan ini makin terlihat dengan
munculnya perumahan residensial yang dengan
jelas memperlihatkan batasan antara penghuni
dengan daerah sekitarnya. Dinding, gerbang, dan
pos pemeriksaan menjadikan residensial tersebut
terprivatisasi. Konsep siege architecture4 ini sudah
ada sejak sesudah masa apartheid. Obsesi akan
privatisasi tersebut kemudian menyerupai sebuah
tempat yang homogen di tengah-tengah
keragaman dan kemiskinan.
Eksklusivitas ini terjadi karena adanya rasa
takut akan kriminalitas. Hal ini tidak
mengherankan karena mereka yang mampu
mendapatkan fasilitas tersebut memiliki kekayaan
yang ingin mereka jaga. Adanya ketakutan dengan
kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat
12 JURNALASTINA
kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat
mereka begitu terbedakan dengan kaum
menengah ke bawah. Seolah-olah dengan adanya
eksklusivitas tersebut hidup mereka terlihat lebih
berkualitas.
Tsotsi dan Segregasi
Segregasi di Tsotsi terlihat dari perbedaan
kehidupan antara kaum menengah ke atas dengan
kaum menengah ke bawah yang diperlihatkan
sekilas namun sangat sangat terasa. Eksklusivitas
pada Tsotsi sekilas terlihat saat Tsotsi hendak
mencuri mobil Pulma. Di situ terlihat keadaan
rumah Pulma yang mewah dan memiliki fasilitas
interkom. Sementara itu di adegan lain terdapat
pula gambaran rumah Tsotsi yang seadanya
dengan fasilitas air yang kurang memadai.
“Kegilaan” Menurut Foucault
Foucault adalah sosok yang dikenal dengan
telaah sejarahnya. Umumnya tulisan Foucault
adalah analisa sejarah dan tidak spesifik di bidang
tertentu saja. Begitupun ketika membahas
kegilaan. Foucault membahas kegilaan dalam
bukunya History of Madness dalam tiga pembagian
era: renaissance, classical age, dan modern. Pada
era renaissance, kegilaan lebih dilihat sebagai
knowledge dan pandangan mengenai “orang gila”
tersangkut-paut dengan masalah agama. Di era
classical age, pembicaraan mengenai kegilaan lebih
merujuk ke ranah etika. Mereka yang melakukan
penyimpangan etika dari yang “normal”, akan
dipisahkan ke “institusi khusus”. Di era modern,
kegilaan dilihat sebagai penyakit atau object of
science, sehingga muncul obat penenang dan
rumah sakit jiwa. Contoh yang lebih spesifik
misalnya saat Foucault menerangkan kegilaan
pada zaman reinassance dengan menganalisa
beberapa karya seni dari zaman itu. Salah satu
karya seni itu adalah Ship of Fools, sebuah alegori
tentang kapal yang berisi orang-orang yang gila
dan tak tahu arah. Kiasan yang sering
menginspirasi dunia sastra dan seni di Eropa pada
abad ke-15 sampai ke-16 ini, merupakan hal yang
lumrah dilakukan. Pada tahun 1399 tukang perahu
di Frankfurt diberi tugas untuk membersihkan
kota dari orang gila, sehingga kedatangan Ship of
Fools sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Kapal yang berisi orang gila ini kemudian
dibiarkan berlayar tanpa tujuan.
Mengenai kegilaan pada zaman Renaissance
itu, Foucault berargumen
“Most probably, as it (madness) is forbidden
knowledge, it predicts both the reign of
Satan and the end of the world, ultimate
happiness and supreme punishment,
omnipotence on earth and the descent into
hell”.
Dengan kata lain kegilaan tersebut dilihat dalam
perspektif religi, seperti Ship of Fools yang
dianggap sebagai bentuk dari kemenangan
antikristus: kapal yang melewati kebahagiaan
dimana orang-orang di dalamnya terasingkan dari
kebutuhan dan keinginannya.
Dari hal tersebut bisa terlihat, bahwa
kegilaan dilihat sebagai bentuk pengalaman
religius. Kegilaan tersebut mengindikasikan ke
mereka yang dianggap gila (sang seniman) untuk
mendapatkan pengalaman tragis karena dianggap
memiliki tenaga yang mengancam dunia dan
kemanusiaan.
Foucault juga menulis:
“..there is no certainty that madness was
content to sit locked up in its immutable
JURNALASTINA 13
identity, waiting for psychiatry to
perfect its art, before it emerged
blinking from the shadows into the
blinding light of truth. Nor is it clear
that confinement was above all, or even
implicitly, a series of measures put in
place to deal with madness. It is not
even certain that in this repetition of the
ancient gesture of segregation at the
threshold of the classical age, the
modern world was aiming to wipe out
all those who, either as a species apart
or a spontaneous mutation, appeared as
‘asocial’.”
Penjelasan singkat di atas memperlihatkan, bahwa
ada perubahan konsepsi kegilaan di setiap era.
Dengan kata lain tidak ada kepastian mengenai
makna “kegilaan” itu sendiri. Justru yang sering
terulang adalah tingkah laku kita yang
memisahkan antara yang “gila” dan yang tidak.
Kesimpulan
Kriminalitas merupakan salah satu wujud
kegilaan, yang dalam hal ini diinginkan untuk
terpisah dengan cara memberikan fasilitas
keamanan. Di saat yang sama fasilitas tersebut
hanya bisa didapatkan oleh kaum menengah ke
atas, sehingga muncul konsepsi eksklusivitas.
Eksklusivitas di Johannesburg yang terilustrasikan
pada Tsotsi sebenarnya hanyalah efek dari mitos
akan ketakutan mengenai kriminalitas. Dengan
kata lain, eksklusivitas yang ada tidak benar-benar
dapat melindungi mereka dari kriminalitas.
Eksklusivitas ini hanya memberikan perbedaan
yang signifikan antara mereka yang kaum
menengah ke atas dengan kaum menengah ke
bawah, sementara kriminalitas itu sendiri akan
terus menyerang siapapun.
Murray berpendapat, bahwa
“the design of urban space is not simply a
matter of context and aesthetics, but is also
a complex sociospatial process that encodes
power relations into the ordinary practices
of everyday life.”
Sociospatial memang memegang peran penting
dalam interaksi yang terjadi di keseharian warga.
Begitupun eksklusivitas yang terjadi di
Johannesburg. Kesenjangan yang terjadi justru
membuat hubungan antara kedua kaum tersebut
hilang, sehingga tidak ada keakraban di antaranya.
Hal ini menimbulkan ketidakpedulian satu pihak
dengan pihak yang lain. Sifat individualistis ini, jika
tidak diubah, akan tetap mengental di kota
Johannesburg yang kemudian mempengaruhi
pembangunan di kota tersebut. Dengan tidak
meratanya perhatian yang diberikan untuk
kesejahteraan semua penduduknya, maka
kriminalitas itu tetap ada.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis
menyarankan adanya penelusuran lebih lanjut
karena masih banyak lagi yang masih bisa dibahas
dalam film Tsotsi, dengan menggunakan konsepsi
kekuasaan yang lain—di luar pemikiran Foucault.
Tentunya pembahasan tersebut tidak terlepas dari
masalah urban di Afrika Selatan.
1
Tulisan ini aslinya merupakan tugas kuliah dalam bentuk
kajian film menggunakan tinjauan arsitektur
2
Penulis merupakan Mahasiswi Arsitektur UI, salah satu
punggawa Komunitas Diskusi Astina dan juga merupakan
vokalis dari Band “Sempak Terbang”.
3
Tsotsi berarti “membunuh” (dalam bahasa seleng-an di
Johannesburg).
4
Siege architecture berarti “arsitektur mengepung”. Sebuah
nama yang diberikan Murray melihat eksklusivitas yang
terjadi di Johannesburg
14 JURNALASTINA
Revolusi: Melawan Mitos Kapitalisme
K
aum Liberalist Economist senantiasa
menjadi repetitor doktrin-doktrin kapi-
talisme. Bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup. Kerja bukan lagi sebagai ak-
tivitas pemenuh kebutuhan dasar. Kerja menjadi
tujuan hidup. Manusia kehilangan pemaknaan
akan kerja itu sendiri. Proletar menyerahkan jiwa
dan raganya untuk bekerja. Untuk memenuhi kan-
tong-kantong uang borjuis. Bagi Lafargue hal ini
sangat menggelikan. Jauh lebih baik kita hidup di
jaman purba, tatkala manusia saat itu hanya
bekerja jika merasa kebutuhan pokoknya habis.
Jaman borjuasi mengubah segalanya. Lafargue
mengatakan kita harus melawan, melawan sistem
racun seperti ini. Setiap proletar memiliki hak un-
tuk malas di hadapan kapitalisme. Lafargue men-
yarankan pemboikotan secara serentak dalam
upaya menentang penghisapan yang dilakukan
Kapitalisme. Sekaligus sebagai bentuk aktualisasi
diri, melakukan hal lain selain bekerja untuk bor-
juis. Ini merupakan jalan untuk melawan mitos
yang dibangun oleh para Liberalist Economist demi
menguatkan posisi kapitalisme dalam hegemoni
sistem dunia.
Jalan Revolusi yang dimaksud Lafargue me-
rupakan usaha yang riskan bila tidak ada kesada-
ran kelas dalam diri individu. Tiada kesadaran un-
Jalan Revolusi1
oleh Willy Avriely Daeli2
Paul Lafargue, seorang jurnalis Marxis pernah berkata:
Dan para ekonom terus saja mengulang-ulang pernyataannya kepada buruh, "Bekerjalah untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial."
Dan dengan sarkas ia menambahkan:
“Bekerjalah, bekerjalah kaum proletar, untuk meningkatkan kemakmuran sosial dan kemiskinan
individualmu. Bekerjalah, bekerjalah agar, karena menjadi lebih miskin, kalian bisa punya lebih
banyak alasan untuk bekerja dan menjadi sengsara. Begitulah hukum produksi kapitalis yang tak
bisa ditawar-tawar.”
JURNALASTINA 15
tuk bergerak bersama, secara kolektif, melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuan. Maka sangat bijak-
sana apabila sebelum melakukan jalan revolusi
semacam itu, kita mempersiapkan suatu rancan-
gan pokok. Lebowitz mengatakan dalam bukunya
‘Sosialisme Sekarang Juga’, bahwa Venezuela meru-
pakan contoh paling baik dalam menempuh jalan
revolusi. Kesadaran kelas dicapai melalui pendidi-
kan. Jika pikiran manusia dibekali oleh kerangka
sosialisme, maka dengan sendirinya manusia akan
bertindak dan berperilaku seperti itu. Jalan pem-
boikotan tidak harus ditempuh kecuali dalam
situasi krisis dimana terjadi resistensi dari kelom-
pok minoritas borjuis. Namun di balik semua itu,
pendidikan dan pemboikotan merupakan bentuk
upaya melawan mitos kerja kapitalisme. Mitos
yang meracuni pikiran dan mempengaruhi mental
proletar hampir seabad ini.
Secara umum menurut Douglas Dowd, seti-
daknya terdapat tiga kebutuhan utama kapital-
isme. Pertama adalah kebutuhan ekspansi, kedua
adalah kebuhan ekploitasi, sedangkan ketiga
adalah kebutuhan oligarkis. Power sangat ber-
peran dalam upaya pemenuhan tiga kebutuhan
kapitalisme tersebut. Penggunaan Power dalam
pemenuhan tiga kebutuhan kapitalisme tercermin
dalam perilaku eksploitasi pekerja. Eksploitasi
pekerja dilakukan untuk memenuhi standar pen-
dapatan yang kemudian diputar kembali menjadi
bentuk modal awal. Douglas Dowd menjelaskan
labor theory of value sebagai elemen penting dalam
kerangka mekanisme kapitalisme. Labor theory of
value yang disusun Adam Smith merupakan fon-
dasi dari sistem kapitalisme. Sekiranya ada 3 point
dalam labor theory of value. Point pertama adalah
pekerja membuat sendiri nilainya. Nilai ini berarti
kualitas dari dirinya yang bisa “dijual”. Point kedua
adalah upah merupakan bentuk hadiah dari kuali-
tas produksi yang bisa dikerjakannya. Point ketiga
adalah setiap bentuk profit tidak menjadi bagian
pekerja, namun menjadi bagian pemilik modal.
Perihal lain terkait pengupahan tenaga kerja
adalah upah pekerja harus seturut dengan standar
yang telah ditentukan. Sistem ekonomi klasik terli-
hat sangat profit oriented. Demi pemenuhan keun-
tungan dan menarik minat pasar, kesejahteraan
pekerja di kesampingkan (bukan menjadi per-
hatian utama).
Dalam penjelasan-penjelasan ini kita dapat
melihat bahwa sesungguhnya teori ekonomi
(klasik) tidak pernah netral. Teori ekonomi dibuat
dengan tendensi kepentingan kelas tertentu. Men-
gandung muatan ideologi tertentu. Teori ekonomi
klasik sangat menekankan hak kepemilikan indi-
vidu. Hal ini kemudian mendorong perilaku-
perilaku individualistik, yang tidak mendasarkan
diri pada status kolektif. Karya-karya individu le-
bih dihargai ketimbang karya kolektif. Eksistensi
individu diakui melalui hasil produksi mereka.
Terjadi proses dehumanisasi dalam mekanisme
kerja kapitalisme. Individu kesulitan mengaktu-
lisasikan diri dalam sistem kapitalisme.
Sosialisme dan Venezuela
Sosialisme hadir sebagai jalan untuk
mengembalikan manusia pada realisasi dirinya
masing-masing. Mengembalikan manusia pada
hubungan-hubungan sosial yang didasari keingi-
nan untuk berinteraksi satu sama lain. Sosialisme
menyediakan hal-hal yang tidak bisa diperoleh
manusia dalam sistem kapitalisme. Manusia di-
paksa untuk bekerja demi memenuhi pundi-pundi
keuntungan kapitalisme. Individu teralienasi dari
lingkungannya atau bahkan dari hasil produksinya
sendiri. Hasil yang seharusnya bisa dinikmati juga
16 JURNALASTINA
oleh sang individu, namun terhalangi oleh sistem
kapitalisme.
Sosialisme tidak jatuh dari langit. Sosial-
isme sangat fluid (cair). Sifat fluid sosialisme me-
rupakan bentuk terbaik dari upaya menggugat ek-
sistensi Kapitalisme sebagai bentuk hegemoni sis-
tem dunia. Bagi Marx, individu merupakan subjek-
subjek yang konkret. Hal ini dapat dimaknai seba-
gai sebuah kenyataan bahwa masing-masing indi-
vidu memiliki sejarah dan tradisi masing-masing.
Hal ini sangat disadari Marx. Semangat sosialis ha-
rus tumbuh dari bawah. Semangat sosialis tidak
bisa diberikan dari atas. Pesan perjuangan Marx
sangat jelas, bahwa proses perjuangan adalah
proses membentuk orang-orang dengan cara yang
berbeda. Perjuangan tersebut dilakukan untuk me-
menuhi kebutuhan-kebutuhan subjek-subjek
tersebut, yang kemudian berkembang menjadi ke-
butuhan masyarakat. Ini disebut Marx sebagai
praktek revolusi. Praktek yang menuntut kese-
suaian antara kondisi dengan tindakan yang dila-
kukan. Ciri-ciri unik yang partikular pada masing-
masing masyarakat menjadi faktor penting dalam
menentukan jalan revolusi mereka.
Lebowitz mengatakan adalah sangat
menarik untuk melihat Venezuela sebagai subjek
partikular yang berhasil dalam menempuh jalan
revolusinya sendiri. Tidak diduga dari negara
seperti Venezuela lahir semangat revolusi yang
menggebu-gebu. Dulu terdapat jurang pemisah
yang luar biasa lebar dalam kehidupan masyara-
kat. Jurang antara kemakmuran dan kemiskinan.
Negara saat itu hanya berfungsi sebagai institusi
penegas kelas. Pendapatan dari perdagangan min-
yak di dunia masuk pundi-pundi borjuis yang
duduk tenang di pucuk pemerintahan. Kapitalis
menjadi parasit bagi masyarakat dalam suatu sis-
tem neo-liberalisme.
Venezuela sadar bahwa jalan perubahan
hanya dapat ditempuh berawal dari perubahan
internal. Jalan revolusi Venezuela adalah mencipta
bukan meniru. Chavez sangat menyadari hal itu
ketika naik menjadi Presiden Venezuela. Ia men-
canangkan program Vuelvan Caras. Program ini
menitikberatkan perhatian pada pembangunan
pertanian. Lebih dari 50% beasiswa dikucurkan
dalam pendidikan pertanian, 30 % pendidikan in-
dustri, sementara lainnya adalah pendidikan pari-
wisata, infrastruktur, dan jasa sosial. Selepas dari
masa pendidikan, mereka dapat mendirikan
koperasi-koperasi. Negara memberikan keistime-
waan dalam hal ini, seperti hal suntikan dana.
Chavez mengatakan bahwa ini merupakan perwu-
judan ekonomi sosial. Suatu sistem ekonomi yang
didasari keinginan untuk lepas dari logika kapital-
isme. Ekonomi sosial tidak mendasarkan diri pada
perolehan keuntungan, tetapi pada penciptaan
nilai guna. Selanjutnya relasi sosial masyarakat
dibentuk oleh keterhubungan nilai guna, bukan
pada nilai lebih secara ekonomi.
Venezuela dalam hal ini melakukan pe-
rubahan mendasar dari dalam diri manusia.
Mereka melakukannya melalui jalan pendidikan.
Kesadaran masyarakat ditumbuhkan melalui pen-
didikan. Kesadaran yang berbasis semangat sosial-
isme. Sistem ekonomi yang diciptakan Venezuela
mampu membangkitkan sistem produksi dan kon-
sumsi komunal. Ini merupakan perwujudan eko-
nomi berbasis kerakyatan. Koperasi serta or-
ganisasi-organisasi komunitas merupakan monu-
men perjuangan ekonomi rakyat Venezuela.
Rakyat Venezuela merealisasi diri ketika mereka
berjuang demi pembangunan manusia, pemenu-
han kebutuhan dasar, moral, dan keadilan bagi
mereka. Rakyat Venezuela bertranformasi menjadi
padanan masyarakat baru yang dilandasi seman-
JURNALASTINA 17
gat sosialisme. Inilah jalan revolusi Venezuela.
Chavez, Dowd, Lebowitz, dan Lafargue me-
rupakan anak-anak jaman yang lahir di era puncak
kapitalisme. Sebuah era “New Dark Age”. Masa ke-
gelapan dan penindasan dengan selubung-
selubung manis kebebasan. Usaha Chavez, Dowd,
Lebowitz, dan Lafargue dalam menegakkan prinsip
-prinsip Sosialisme sebagai bentuk resisten terha-
dap sistem kapitalisme, merupakan secercah ca-
haya yang sangat berarti bagi sejarah peradaban
manusia. Dowd mengingatkan kita pada mekan-
isme kapitalisme yang menipu. Lebowitz mengin-
gatkan kita pada semangat Marxist Klasik untuk
melakukan revolusi terus menerus. Revolusi tanpa
batas. Lafargue menyarankan sebuah jalan
revolusi yang tegas dan lugas. Ide-ide perlawanan
terhadap hegemoni kekuatan kapitalisme dunia
dapat dimaknai sebagai wujud kegilaan dalam
upaya memahami kebenaran di luar kebenaran
tunggal yang ditawarkan kekuasaan ideologi tung-
gal. Ide-ide ini harus terus direproduksi, terus di-
bakar, agar dapat menjadi penerang dalam masa
kelam seperti ini.
1
Tulisan ini merupakan bahan diskusi S.S, dengan judul
yang berbeda.
2
Mahasiswa Jurusan Antropologi, Universitas Indonsia;
Penggiat Diskusi Astina
18 JURNALASTINA
A
dapun sajak tersebut pasti mendapat
pengaruh dari kesalahan penafsiran pe-
nulisnya akan prakarsa Pencipta turun
ke dunia. Pasalnya ia menggunakan kata ‘gila.’ Apa
definisi gila sebenarnya? Gila adalah kondisi tanpa
akal sehat. Semua yang dilakukan seorang gila ter-
jadi atas ketidaksadarannya. Seorang mantan gila
di Kota Perdagangan, Kecamatan Bandar, Kabu-
paten Simalungun, Sumatera Utara pernah bertu-
tur mengenai masa gilanya. Pada waktu itu ia sem-
pat memecahkan banyak kaca rumah penduduk,
dan kejadian dahsyat itu tak sedikit pun terekam
oleh ingatannya, karena ia justru baru mengeta-
huinya atas pemberian informasi dari orang lain
setelah ia masuk ke masa waras.
Dari penjabaran sederhana di atas terungka-
plah bahwa si gila penulis sajak itu jelas-jelas sa-
lah. Pencipta datang ke dunia atas kesadaran pe-
nuh, itulah yang membuat Ia tidak pantas disebut
gila. Penulis sajak harus mencari kata lain untuk
menunjukkan kekagumannya akan ''ke-kokmauya?
-an'' Pencipta datang ke dunia yang kelewat hina
dina ini. Sebagai anlogi coba lihat ini: kalau kamu
hendak berangkat ke kampus, tiba-tiba seorang
rekan menelepon “Hei, kalau kamu ke kampus hari
ini, sudah ada sekelompok orang menantimu. Nan-
ti kamu dilecehkan, diludahi, ditendang, ditelan-
jangkan, disakiti sepenuh hati, dan untuk meno-
longmu: tak seorang pun akan berani!” Adakah kita
terus melangkah ke kampus? Kalau itu adalah ja-
waban yang serius jujur maka: tidak sama sekali.
Hebatnya, Pencipta yang mahatahu itu tetap da-
tang kendati sebagai Tuhan Yang Terhormat Ia
akan dizolimi luar biasa.
Adapun kedatangan Tuhan ke muka bumi ini
satu set pula dengan penderitaan-Nya di atas kayu
salib. Salib, pada masa itu adalah lambang kehi-
naan yang paling hina. Ia adalah hukuman untuk
penjahat yang nggak ketulungan najisnya. Silakan
cari kesalahan Yesus Kristus dan kamu tak akan
menemukan satu pun bahkan setengah atau seper-
empat atau seperdelapan atau berapa pun tidak.
Namun Ia sungguh rela, demi kita. Sekali lagi, Ia
melakukannya dengan kesadaran penuh. Itulah
yang membuktikan ketidakgilaan-Nya.
Yang menarik, justru kegilaan hinggap pada
“pengikut-pengikut” Yang Mulia hingga hari ini:
banyak yang mengaku ‘Kristen’ tapi tidak tahu apa
yang diperbuatnya, mari ambil contoh sederhana
yang berkaitan dengan Paskah.
Ah, Paskah!1
oleh El Bram Apriyanto2
Pada acara perayaan Natal di Balairung UI tahun lalu, ada seorang gadis FIB naik ke hadapan khalayak dan
membacakan sebuah sajak karya seorang gila. Pada bait ke-4-nya, sajak tersebut berkoar demikian:
“Bagiku, Natal adalah sebuah momen keras.
Yang begitu mengingatkan, bahwa kita punya Allah yang GILA
Why not? DIA sudah punya singgasana mahamulia di surga sana
segala kenyamanan dan kedamaian dan kekudusan sudah ada pada-Nya
Loh kok DIA malah nekat turun juga ke dunia yang penuh kenajisan ini?
Tidak tanggung-tanggung, dipilih-Nya kandang domba pula sebagai istana mula
dan tempat makanan hewan ternak sebagai takhta pertama”
JURNALASTINA 19
Pada dasarnya, saya ini seorang guru seko-
lah Minggu. Sudah agak lama, sejak 2005. Dan ta-
hukah Saudara bahwa dua tahun lalu kami guru
sekolah Minggu di gereja melakukan rapat untuk
menentukan apa yang akan terjadi pada Paskah.
Beberapa nyeletuk “Ayo bikin lomba cari telur!”
banyak yang mengangguk. Ada pula ide soal lomba
menghias telur. Saya yang kala itu sudah menjadi
mahasiswa, bertanya dengan agak kritis: “Mengapa
harus telur?” dan ketahuilah Saudara, tak seorang
pun menjawab. Krik… krik… krik… . saya sarankan
pada rekan-rekan kala itu, “Ayo, sebelum kita tahu
apa kaitannya telur dengan Paskah, kita buat acara
yang lain saja dulu.” Dan saya disambut dengan
krik… krik… krik… .
Sebagai seorang Kristen saya lantas berdoa
pada Sang Pencipta, “Hei Gusti, gimana ya ini?
Mohon pencerahan dong. Apa sih perihal telur-
teluran ini? Kok tak kutemukan perintah untuk
bertelur ria di Kitab Keren?” Dan Gusti menjawab,
krik… krik… krik… . Hei Saudara, saya beri tahu,
kalau kamu bertanya pada Gusti dan tidak
mendengar jawaban, itu bukan karena Dia tidak
ada. Melainkan kita yang tidak ada punya ke-
pekaan. Tapi saya yakin Gusti mendengar. Walau-
pun nggak yakin akan terima jawaban.
Minggu depannya saya beribadah di GBI
Kamboja Depok pagi menjelang siang. Adalah seo-
rang pendeta tampan bernama Andy Panggabean
sedang berkhotbah. Di akhir khotbahnya ia meni-
tipkan pesan pula: “Kalau saudara-saudara mau
tahu mengapa ada telur dan kelinci pada
perayaaan Paskah di dunia, nanti datang ibadah
jam 5.” Saya tertegun dan terkaget dan seperti ter-
henyak, seakan hampir terlempar dari kursi. Saya
sampaikan pada Gusti, “Thank you Bro, nanti saya
mau datang.”
Datanglah saya jam 5 sore itu. Dan menden-
gar penjabaran panjang lebar kurang lebih
demikian kalau boleh dirangkumkan:
1. Ucapan “Happy Easter” pada perayaan Paskah
itu salah besar. Apa sebab? Easter tidak punya kai-
tan dengan wafatnya Yesus Kristus dan kebangki-
tannya. Easter adalah nama lain dari Astarte alias
Semiramis. Ia adalah nama dewi dalam mitologi
Babilonia alias Babel. Nah perayaan yang berke-
naan dengan si Easter ini pas sekali terjadi pada
masa yang sama dengan Paskah.
2. Lebih baik gunakan “Happy Pesach” atau
“Happy Passover” atau kalau lebih nasionalis
“Selamat Paskah” saja cukup. Mengapa Passover?
Karena ia adalah padanan kata yang tepat dalam
Bahasa Inggris untuk kata Ibrani Pesach. Pesach
dalam Bahasa Ibrani berarti “Sudah lewat.” Ini
mengacu pada sebuah peristiwa di masa lalu
bangsa Israel, ketika mereka masih ditawan di
tanah Mesir. Kala itu bangsa Mesir terutama
Firaunnya amatlah bebal, mereka tak pernah
dengan sukarela mengizinkan bangsa Israel keluar.
Berbagai tulah dikirimkan, tapi hati Firaun tak
kunjung melunak. Sampailah pada tulah terakhir
yang mengancam nyawa semua anak sulung di
negeri itu. Tuhan membuat pengecualian bagi
bangsa Israel dengan menyuruh mereka (via
Musa) menyembelih seekor domba jantan yang tak
bercacat cela, memakannya, dan membubuhkan
darahnya pada tiang dan ambang pintu rumah.
Pada tengah malam, Tuhan turun atas Mesir dan
segenap penduduk ketakutan, termasuk orang
Israel. Mereka sangat tidak mau anak sulung
mereka binasa, maka ketika Tuhan melewati setiap
rumah, mereka semua menjadi gemetar, dan ketika
Tuhan pergi dan anak sulung mereka terbukti
masih hidup, mereka berteriak: “Pesach!” artinya:
“Sudah lewat!” Kejadian ini seakan menjadi simbol
nubuatan untuk kematian Yesus di kayu salib. Pada
20 JURNALASTINA
dasarnya umat manusia juga pasti akan binasa
karena semua kita sudah berbuat dosa dan upah
dosa ialah maut. Namun Allah mengirimkan “anak
domba”-Nya dan menorehkan darahnya pada kayu
salib (ingatlah bahwa salib dan palang serta
ambang pintu sama-sama mempunyai garis
horizontal dan vertikal). Dan karena darah itu
tercurah, manusia akan diselamatkan (lirik
Yohanes 3:16).
3. Easter alias Astarte alias Semiramis dikisahkan
turun dari langit ke bumi dalam sebuah telur
besar, yang kemudian pecah dan dari dalamnya
keluar seorang wanita cantik. Inilah sebabnya
ramai telur digunakan sebagai ornamen.
4. Easter alias Astarte alias Semiramis adalah
dewi kesuburan, maka kelinci pun diambil sebagai
simbol, karena kelinci dikenal beranak banyak.
5. Babel dalam upacara keagamaannya yang lain
juga menggunakan pohon yang dihiasi sebagai
hiasan.
Tradisi Babel juga mengandung mitologi soal kakek tua
berjanggut panjang yang dengan keretanya terbang di
langit pada malam perayaan hari besar tertentu.
Lihatlah betapa banyak warna Babel dalam
perayaan Paskah dan Natal. Padahal hal-hal
tersebut amat tidak bersangkut paut dengan
kekristenan. Andy Panggabean kemudian
menjelaskan bahwa yang bertanggung jawab atas
sinkretisme ini adalah Konstantin, seorang kaisar
Romawi yang beribukan Kristen dan berbapakan
Babel (atau sebaliknya?). Yang jelas dalam masa
kekuasaannya ia membuat seluruh Romawi
beragama Kristen, tapi mencampur adukkannya
dengan tradisi Babel. Pengecualian harus dibuat
untuk pemilihan tanggal perayaan Natal yaitu 25
Desember. Awalnya ia adalah tanggal perayaan
hari lahir Dewa Matahari, namun Konstantin
melakukan sejenis revolusi untuk “menguduskan”
tanggal tersebut. Andy Panggabean sendiri
menghitung-hitung dengan berbagai argumen
Alkitabiah bahwa Yesus harusnya lahir pada
tengah tahun, entah Juni atau Juli.
Segala yang dijelaskan oleh Andy
Panggabean bisa salah bisa benar, perlu ada
pembuktian lebih lanjut. Demikian juga
kemampuan saya mengingat penjelasan beliau bisa
juga salah pada beberapa titik. Tidaklah baik untuk
segera percaya dan mengiyakan begitu saja. Poin
penting di sini adalah, kegilaan terjadi kala orang
melakukan bahkan merayakan sesuatu hanya
sekadar rutinitas dan tradisi tanpa
mempertanyakan esensi. Berapa banyak orang
yang mengaku Kristen tapi getol berteriak “Happy
Easter” setiap Paskah? Berapa banyak yang masih
gemar menghias-hias telur? Berapa banyak yang
masih menggunakan gambar kelinci dalam
undangan perayaan Paskah? Semua hal itu tidak
salah total secara substansi. Yang fatal adalah
ketidakpedulian untuk merunut histori. Itulah
kegilaan, melakukan sesuatu tidak dengan
kesadaran penuh. Adakah ini yang Yesus Kristus
inginkan setiap perayaan Paskah?
Kehendak-Nya bukanlah membuat pesta
besar gila-gilaan untuk memperingati kematian
dan kebangkitan-Nya. Kehendak-Nya adalah aku
dan kau diselamatkan, karena tidak dengan gila ia
rela dilecehkan, sungguh-sungguh supaya kita
diselamatkan.
“Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga
Ia telah mengaruniakan Anak-
Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup
yang kekal.” (Yohanes 3:16)
1
Tulisan ini dibuat dalam rangka perenungan kembali
makna Paskah(Kebangkitan Kristus)
2
Penulis adalah seorang Sarjana Humaniora yang juga
aktif dalam kegiatan Persekutuan Oikumene FIB & UI
JURNALASTINA 21
S
esuatu yang paling dianggap indah bagi
sebagian kalangan. Katanya, sih, begitu!
Karena suka sama suka. Bahkan ketika
saya memperhatikan keanggunan seorang pen-
yanyi yang penuh talenta (sekali lagi, katanya, sih,
begitu!) dan membayangkan dirinya dan saya
berada di titik sesuatu itu. Kau tahu apa yang ke-
mudian saya imajinasikan? Saya mencoba menarik
diri yang berbeda ini keluar dari Manshur Zikri itu,
lalu memperhatikan mereka (Si Manshur Zikri dan
penyanyi kondang itu), dan apa yang kemudian
terpikirkan di dalam benak saya? Pikiran yang pe-
nuh dengan protes dan perasaan yang memuak-
kan, melihat diri saya yang lain terjebak ke dalam
sesuatu itu, yang paling saya benci (sejatinya). An-
daikan saya bukan manusia, dan adalah Tuhan,
sesuatu itu pasti tidak akan pernah ada di dunia ini.
Bahkan ketika saya membayangkan ketika
seorang nabi berada di situasi dan kondisi yang
sama dengan si Manshur Zikri itu, pasti saya akan
mengarahkan pantat saya ini kepadanya dan ter-
tawa sekeras-kerasnya, sambil berseru, "Makan
tuh sabda!" Untung saja nabi tidak akan pernah
seperti itu, Gan! Dan saya tidak perlu dikejar-kejar
oleh FPI dan diancam akan dibunuh karena telah
melecehkan nabi. Nabi itu bukan milik satu agama
saja! Benar, kan, saya?
Sesuatu ini, yang semakin hari semakin
membuat saya muak adalah sesuatu yang sakral,
Gan! Akan tetapi juga bisa menjadi malapetaka.
Dan yang lebih parah, hingga malam ini, sesuatu itu
menjadi mutlak yang ingin saya persalahkan setiap
waktu. Dia lah penyebab utama kegelisahan saya,
atau orang-orang yang seperti saya ini. Semoga
saja kau tidak seperti saya, jadi tidak perlu repot-
repot mengangguk membenarkan apa yang saya
utarakan, menyumpahi sesuatu yang memuakkan
itu.
Sesuatu ini yang membuat semua yang ma-
pan menjadi tumbang dengan mudah, yang mem-
buat aturan dan kesepakatan di dalam masyarakat
bergejolak dengan dahsyat, bahkan beberapa ele-
men dari mereka mulai melancarkan aksi protes
dengan ganas. Karena sesuatu ini terjadi konflik
berkepanjangan. Karena sesuatu ini, bahkan seo-
rang Pemimpin sekaliber Soekarno pun, kehilan-
gan sebuah kepercayaan dan kekaguman dari
mereka-mereka yang membaca sejarah
(setidaknya, inilah kenyataan yang saya temui
dalam beberapa seminar tentang sebuah pergera-
kan). Bah, pantas saja orang-orang yang memiliki
kesombongan tingkat tinggi karena obsesi kesem-
purnaan di dalam dirinya bisa dikenal sampai
sekarang. Mereka terlihat begitu agung, karena
tidak bersentuhan dengan sesuatu ini, yang mem-
buat mereka tidak kelihatan cacat, meskipun se-
Hah, saya merinding dan mendecakkan lidah ketika membayangkan sesuatu ini! Kau tahu apa? Sesuatu
yang dianggap spektakuler oleh mereka yang mengerti tentang art. Katanya, sih, begitu, Gan! Akan tetapi
ketika temanku berseru tentang "tegangan" di antara para lelaki, "tegangan" yang menjadi kunci penting
untuk menjelaskan apa itu sesungguhnya seni, orang-orang, yang berbeda dengan saya ini, malah
memikirkan hal yang berbeda. Dan yang menjadi tegang juga hal yang berbeda. Cih!
SesuatuManshur Zikri1
22 JURNALASTINA
cara jelas dan nyata mereka menyatakan tidak
mengakui agama. Aaargh, semakin saya
memikirkannya, semakin muak rasanya! Kalau saja
komputer ini bukan barang yang punya harga,
mungkin sudah saya banting sedari tadi. Saya akan
membuat sebuah kehebohan di tempat tinggal
saya ini. Seperti orang gila. Memang tidak bisa,
Gan! Dilihat dari sudut padang mana pun, sesuatu
itu menjadi hal yang paling tidak menyenangkan.
Kalau saja kau sudah memiliki pemikiran yang
sama persis dangan saya, kau pasti akan memiliki
rasa kekecewaan yang mendalam ketika kau men-
yaksikannya sendiri. Pribadi yang penuh konflik,
keyakinan yang penuh konflik, masyarakat yang
penuh konflik, sistem yang penuh konflik, bahkan
kehidupan yang penuh konflik, disebabkan hanya
karena sesuatu ini. Memang sial, sesuatu itu!
Sesuatu itu juga menimpa saya beberapa
waktu yang lalu, Gan! Juga tidak tahu bagaimana
dengan waktu-waktu yang nanti. Oleh karena itu
saya semakin muak saja dengan sesuatu itu. Kau
tahu, karena ulah sesuatu itu, orang-orang yang
sempat saya kagumi dengan berbagai kelebihan
dan intelektualitasnya, terpaksa saya coret dalam
daftar role model ketika saya ketahui bahwa tern-
yata dia menyenangi sesuatu itu (ya tentu be-
berapa dari mereka, tidak semua orang yang saya
kagumi terkena sesuatu itu). Ah, parah! Dasar se-
suatu sialan! Yang menjadi masalah adalah, yang
menyebabkan saya tidak bisa mengingkari akan
kehadiran sesuatu ini, adalah dia merupakan
bagian kodrat dari manusia yang paling penting.
Sedangkan saya mengagungkan kodrat manusia
yang memiliki cacat itu. Tidak bisa, walau bagai-
mana pun, kita tetaplah manusia. Manusia tetap
manusia. Namun, mengapa harus ada sesuatu ini,
yang terus bersarang di dalam lubuk hati manusia
yang paling dalam?
Sayangnya saya tidak bisa menjadi malai-
kat. Kalau kita ingin berubah bentuk dari manusia,
sesungguhnya kita bisa. Sangat gampang sekali.
Akan tetapi kita hanya punya satu pilihan, yaitu
menjadi setan. Dan tahukah kau bahwa setan
adalah pangkal dari sesuatu itu. Karena setan juga
penuh dengan konflik, yang juga merupakan sifat
dari sesuatu itu. Tak usah lah kau berkilah-kilah
dan mengatakan berbagai argumen kepada saya.
Sehebat apa pun kau melakukan pembenaran, baik
secara ilmiah, falsafi, dan logika, sesuatu itu telah
mutlak menjadi hal yang paling saya benci (paling
tidak malam ini).
Sesuatu itu, di satu saat bisa membuat kita
melayang jauh tinggi ke awan. Akan tetapi juga
bisa membuat kita jatuh seketika. Apakah saya
membencinya karena sesuatu itu menimpa saya,
dan karenanya saya mendapatkan kerugian? Bu-
kan, sama sekali bukan karena itu. Saya secara sa-
dar (ah, lagi-lagi kesadaran. Terlalu menyesatkan
kesadaran yang berlebih-lebih itu. Namun saya
memang memiliki kesadaran yang juga memuak-
kan ini), ya, secara sadar saya telah memberikan
sebuah nilai bahwa sesuatu itu adalah hal yang pal-
ing memuakkan. Hei, hei, hei! Kau jangan merusak
tulisan saya ini, Gan! Saya bukan sedang memba-
has tentang cinta. Sesuatu itu, yang saya perma-
salahkan sedari tadi itu, bukan cinta. Cinta
itu, mah, soal lain. Mungkin akan lebih menarik
ketika kau perbincangkan hal ini dengan orang-
orang yang sedang galau di kampus UI. Sekali lagi
saya tegaskan, sesuatu itu bukan cinta. (kemudian
saya tertawa) Ini sesuatu, Men! Sesuatu! Perlukan
saya menuliskan namanya dengan huruf yang be-
sar-besar: SESUATU. Dia penuh dengan misteri.
Kata orang, banyak makna yang bisa dibedah dari
sesuatu itu. Dia imajinatif, bayangan, khayal,
mimpi, tetapi juga nyata. Bisa kau rasakan. Ketika
JURNALASTINA 23
tersentuh, kau merasakan kenikmatan yang begitu
hebat. Akan tetapi dia tetap lah sesuatu, yang
ketika kau melihatnya secara gamblang --- dengan
syarat kau memiliki pemikiran yang sama dengan
saya --- dia menjadi hal yang paling tidak ingin kau
lihat. Karena apa? Karena ketika kau membayang-
kan dirimulah yang berada di titik sesuatu itu ---
yang disentuh sesuatu itu --- melihat mimik wa-
jahmu, kau akan merasakan mual di perut dan se-
ketika akan segera muntah, muntah darah, mung-
kin.
Sesuatu itu selalu membuat saya mengge-
lengkan kepala ketika usai melihat hal-hal di balik
layar kaca, layar udara, layar kehidupan, karena
menyadari bahwa semuanya akan rusak karena
sesuatu itu. "Percuma saja, pasti akan menjadi bu-
ruk ketika sesuatu itu ikut serta menghiasi ini!"
saya berujar dalam hati. Sesuatu... sesuatu... Bah!
Saya kehabisan kata-kata karena sesuatu ini kem-
bali menyerang saya! Sialaaaaaaaaaaan! "Ah, se-
suatu, kau memang bangsat! Dari mana saja kau?
Apa yang kau lakukan sedari tadi? Oh, tidak-tidak,
tulisan ini bukan apa-apa, hanya iseng sambil
menanti kedatanganmu. Eh, tak perlu kau baca,
nanti kau tersinggung pula dan mendampar saya
karena tulisan ini! Eit, eit, eit, jangan dilihat. Saya
merasa malu karena, ng... saya sedikit membahas
tentang dirimu! Hayolah, lebih baik kita ber-
cengkrama seperti biasa, seperti yang kau
inginkan. Bukan kah itu lebih seru dan lebih
menarik?"
("Anjing, kau , sesuatu! Lihat saja, suatu
saat nanti, kau akan saya musnahkan dari muka
bumi ini!" saya berkata dalam hati. Ini rahasia
antara kita saja, jangan sekali-sekali kau adukan
kepada sesuatu. Biarkan sesuatu tidak mengeta-
huinya. Kalau dia tahu, umat manusia akan ter-
timpa bencana! Kalau Agan tetap berinisiatif ingin
memberitahukan sesuatu, maka kau yang akan
saya musnahkan terlebih dahulu, sebelum sesuatu
itu.)
1Mahasiswa Kriminologi UI, dan penggiat Akumassa di
Forum Lenteng.
24 JURNALASTINA
Motor X-Tra 26
Serves you with the best
*Wash
*Services
*Spare parts
10x cuci = 1x
cuci gratis
5x servis = 1x
servis 1/2 harga

More Related Content

Similar to Berikut beberapa poin utama dari dokumen tersebut:- Membahas tentang kegelisahan manusia yang mendasar berkaitan dengan kehidupan dan kematian, serta upaya mencari kebenaran.- Agama memberikan jawaban melalui skema penciptaan alam semesta oleh Tuhan (kreasionisme), namun pengalaman manusia menunjukkan ketidaksempurnaan dunia. - Manusia terjebak antara kebutuhan akan kebenaran melalui agama, namun pengal

Kritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersamaKritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersamaDavid Jones
 
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesia
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesiaBencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesia
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesiaHarunyahyaBahasaIndonesia
 
Friedrich nietszche
Friedrich nietszcheFriedrich nietszche
Friedrich nietszcheswirawan
 
Sejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernSejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernErni Setyaningsih
 
Power point teori konspirasi
Power point teori konspirasiPower point teori konspirasi
Power point teori konspirasiravlygilbert
 
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)Elok Darojatin
 
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuan
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuanUas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuan
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuanMitha Payunkz
 
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme
Bencana kemanusiaan akibat darwinismeBencana kemanusiaan akibat darwinisme
Bencana kemanusiaan akibat darwinismeBibie A whiancaka
 
FILSAFAT OLAHRAGA
FILSAFAT OLAHRAGA FILSAFAT OLAHRAGA
FILSAFAT OLAHRAGA amrisanadya
 
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph Toynbee
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph ToynbeePemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph Toynbee
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph ToynbeeTAUFIKHIDAYATSITORUS
 
Kapitalisme (blog)
Kapitalisme (blog)Kapitalisme (blog)
Kapitalisme (blog)Suarakamoo
 
Revolusi kisah baru
Revolusi kisah baruRevolusi kisah baru
Revolusi kisah baruSabiq Hafidz
 
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesia
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesiaMenjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesia
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesiaHarunyahyaBahasaIndonesia
 

Similar to Berikut beberapa poin utama dari dokumen tersebut:- Membahas tentang kegelisahan manusia yang mendasar berkaitan dengan kehidupan dan kematian, serta upaya mencari kebenaran.- Agama memberikan jawaban melalui skema penciptaan alam semesta oleh Tuhan (kreasionisme), namun pengalaman manusia menunjukkan ketidaksempurnaan dunia. - Manusia terjebak antara kebutuhan akan kebenaran melalui agama, namun pengal (20)

Kritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersamaKritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersama
 
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesia
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesiaBencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesia
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme. indonesian. bahasa indonesia
 
4086793.ppt
4086793.ppt4086793.ppt
4086793.ppt
 
Friedrich nietszche
Friedrich nietszcheFriedrich nietszche
Friedrich nietszche
 
2. adorno
2. adorno2. adorno
2. adorno
 
Sejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernSejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat Modern
 
Power point teori konspirasi
Power point teori konspirasiPower point teori konspirasi
Power point teori konspirasi
 
Sekularisasi Agama
Sekularisasi AgamaSekularisasi Agama
Sekularisasi Agama
 
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)
Kemerdekaan Berfikir (the freedom of thinking)
 
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuan
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuanUas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuan
Uas filsafat-ilmupostmodernisme-dan-kritik-ilmu-pengetahuan
 
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme
Bencana kemanusiaan akibat darwinismeBencana kemanusiaan akibat darwinisme
Bencana kemanusiaan akibat darwinisme
 
Epistimology Filsafat
Epistimology Filsafat Epistimology Filsafat
Epistimology Filsafat
 
FILSAFAT OLAHRAGA
FILSAFAT OLAHRAGA FILSAFAT OLAHRAGA
FILSAFAT OLAHRAGA
 
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph Toynbee
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph ToynbeePemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph Toynbee
Pemikiran Filsafat Sejarah Arnold Joseph Toynbee
 
Konsep ilmu
Konsep ilmuKonsep ilmu
Konsep ilmu
 
Islam
IslamIslam
Islam
 
Kapitalisme (blog)
Kapitalisme (blog)Kapitalisme (blog)
Kapitalisme (blog)
 
Revolusi kisah baru
Revolusi kisah baruRevolusi kisah baru
Revolusi kisah baru
 
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesia
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesiaMenjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesia
Menjawab tuntas polemik evolusi. indonesian. bahasa indonesia
 
Fiqih politik
Fiqih politikFiqih politik
Fiqih politik
 

Recently uploaded

Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfDianNovitaMariaBanun1
 
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxPRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxSaeful Malik
 
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxPERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxAfifahNuri
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Adam Hiola
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRobert Siby
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSRobert Siby
 

Recently uploaded (6)

Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
 
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxPRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
 
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxPERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
 

Berikut beberapa poin utama dari dokumen tersebut:- Membahas tentang kegelisahan manusia yang mendasar berkaitan dengan kehidupan dan kematian, serta upaya mencari kebenaran.- Agama memberikan jawaban melalui skema penciptaan alam semesta oleh Tuhan (kreasionisme), namun pengalaman manusia menunjukkan ketidaksempurnaan dunia. - Manusia terjebak antara kebutuhan akan kebenaran melalui agama, namun pengal

  • 1. JURNALASTINA Segala sesuatu pada dasarnya memiliki dua wajah. Salah satunya adalah yang terasingkan : Edisi II/Oktober/2011
  • 2. 2 JURNALASTINA Kita hidup dalam dunia yang penuh peperangan. Setiap hari media selalu memberitakan soal perang ideologi dan perang wacana. Kekhawatiran tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah senantiasa hadir dalam benak kita. Pemenang menjelma menjadi penguasa. Mereka seolah berhak mengkonstruksikan kebenarannya sebagai suatu hal yang absolut dalam masyarakat. Maka pihak yang kalah akan mengikuti wacana kebenaran pemenang. Mereka yang tidak mengikuti instruksi tersebut, dilabeli sebagai pembangkang dan dianggap sebagai wujud kegilaan dalam masyarakat. Kegilaan didefinisikan sebagai suatu kondisi abnormal dalam situasi 'comfort zone' masyarakat. Pada masyarakat tradisional, oknum-oknum pembangkang tersebut biasanya diasingkan atau bahkan dibuang dari kelompok masyarakatnya. Hal yang sama juga terjadi bahkan dalam masyarakat yang menyebut diri mereka 'modern'. Para pelaku kegilaan menerima sanksi- sanksi tersendiri dari otoritas yang berkuasa. Sejarah mencatat banyak pemikir-pemikir kritis, yang buah pikirannya dianggap bid'ah pada jamannya, dan mengalami hukuman sadis dari rezim yang berkuasa. Padahal banyak buah pemikiran mereka yang akhirnya membuktikan bahwa tidak selamanya kebenaran tunggal penguasa bagaikan wahyu sorgawi Tuhan. Astina memotret dua wajah kebenaran tersebut dalam ilustrasi sampul edisi “kegilaan” kali ini. Astina mengangkat wacana kegilaan sebagai bentuk resistensi terhadap wacana kebenaran tunggal yang saat ini membelenggu kognisi kita. Tulisan-tulisan dalam jurnal ini berusaha memotret kegilaan dalam berbagai perspektif. Frendy mengangkat potret moralitas manusia sebagai sebuah kegilaan pada jamannya. Feby menelaah pemikiran Foucault mengenai kegilaan dan mengaitkan beberapa adegan di film Tsotsi dalam perspektif arsitektur. Elbram melihat kegilaan dalam pengorbanan Kristus dan kaitannya dengan Paskah. Willy memandang revolusi sebagai pengejawantahan kegilaan dalam upaya melawan belenggu kapitalisme. Bima melihat kegilaan pada diri manusia dalam memahami semesta sosialnya. Zikri mengangkat isu kontemplasi kognisi dalam kehidupan urban. Berbagai tulisan yang disajikan dalam jurnal Astina kali ini, membuktikan bahwa kegilaan dapat ditelisik dari berbagi sudut pandang. Mulai dari perihal justifikasi kebenaran, religius, hingga hal kemanusian, semua berujung pada upaya menggugat absolutisme kebenaran tunggal. Sebagai penutup, tim redaksi Astina ingin mengajak rekan-rekan pembaca untuk memaknai ulang kebenaran melalui kegilaan. Salam, Redaksi. Daftar Isi ...Hanya Kegilaan & Kebenaran (Frendy Kurniawan) Halaman 3 Tsotsi: Antara Urban & Kuasa (Feby HK) Halaman 10 Jalan Revolusi (Willy Avriely D) Halaman 14 Ah! Paskah! (Elbram Aprlianto) Halaman 18 Sesuatu (M.Zikri) Halaman 21 astina diskusi virtual (grup fb) kelompok diskusi astina (fb) @astinaacademia astina-academia.blogspot.com astina.academia@gmail.com Contact Person: Feby (0858885232088) Willy (08988004890) PANTAU TERUS KEGIATAN KAMI!
  • 3. JURNALASTINA 3 dan kebenaran P etikan puisi dari Nietzsche di atas akan mengawali pembicaraan kita berkenaan tentang kebenaran dan kegilaan manusia. Puisi tersebut di ambil dari kumpulan puisi Nietzche era 1882 - 1888 (dalam judul Dithyrambos Dionysos). Beberapa larik dari puisi tersebut, sudah menyiratkan kepada kita perihal sebuah masalah dari manusia. Mungkin saja pokok tersebut menjadi sebuah permasalahan manusia yang tiada pernah terselesaikan secara tuntas. Bersama puisi tersebut marilah kita refleksikan segala yang berkaitan dengan manusia. * * * Saya kira permasalahan mendasar dari manusia adalah sebuah kegelisahan abadi. Sebuah beban yang tertanggungkan secara mendasar di dalam kemanusiaan itu sendiri. Rasa gelisah manusia menunjuk pada sebuah karakteristik purba berkenaan dengan passion (hasrat). Passion yang menjadikan manusia dalam keliaran, dalam potentia, dalam keterpurukan serta keterlemparan dari mitos-mitos, juga menjadikan manusia terjebak dalam aneka ragam bayang-bayang egonya: kebebasan, kebenaran, keabadian. Menurun dari passion, manusia semakin menegaskan kegelisahan, semakin gundah-gulana tiada pernah terhentikan. Layaknya samudera yang terus menderu dalam gelora, dalam badai. ... hanya kegilaan . . . Pada rekah fajar, saat bulan sabit yang pucat di tengah gemilang jingga dengan iri berindap dengki, - gentar akan terangnya hari, bersingjingkat menyabiti hamparan mawar hingga pucat terkulai ke gulita malam: demikianlah dahulu kuterlukai dari gila-kebenaranku, dari rindu-rindu siangku, muak akan siang, sakit oleh cahaya - tenggelam, ke malam, ke gelap, oleh Satu kebenaran terbakar dan dahaga. - ingatlah kau, wahai kalbu membara, betapa dulu kau dahaga akan keterusiranku dari tiap kebenaran! Cuma pandir! Cuma penyair! . . . Nietzsche: Nur Narr! Nur Dichter! (Cuma Pandir! Cuma Penyair!) oleh Frendy Kurniawan1
  • 4. 4 JURNALASTINA Menghantam seluruh tepi-tepi karang, sejarah kehidupan manusia yang membeku. Manusia menyadari kegelisahan tersebut dalam perjalanan panjang sejarah, serta dengan pencapaian akan kesadaran. Kesadaran, telah terbukti menjadi selubung gelap pengetahuan manusia dari zaman klasik hingga modern, dari sari kebijakan Timur semacam Zen hingga seluruh pencapaian sejarah filsafat Barat. Kesemuanya berupaya menguak tabir misteri semesta, membongkar mitos-mitos penuh kegelapan seraya menghadirkan secercah kebenaran, bagi manusia. Tapi tetap saja tak pernah bertemu dengan ujung penyelesaian. Kesadaran manusia itu sendiri berkenaan dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan juga tentang kematian. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kehidupan, lantas mempertanyakan segala hal berkaitan dengan hidup itu sendiri. Apa itu kehidupan? Apa itu dunia? Apa itu kenyataan? Apa itu hidup? Mengapa hidup ini bisa terjadi? Untuk apakah hidupku ini? Dari manakah aku berasal? Dan akan kemana? Itulah segelintir saja pertanyaan manusia dari seluruh pertanyaan tiada habis berkenaan dengan hidupnya. Tidak hanya hidupnya yang manusia pertanyakan tiada henti. Perihal kematian pun manusia gelisahkan tiada habis-habisnya. Apa itu kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa rasa gemetar untuk menghadapi kesunyian yang penuh dengan selubung misteri. Sebuah kematian yang membawa pada keabadian. Tanggapan manusia berkenaan dengan seluruh pertanyaan- pertanyaan tersebut cukup beragam. Salah satu di antaranya terangkum dalam sebuah skema kisah- kisah agama dan tuhan. Agama menjadi salah satu spirit manusia, baik secara personal maupun juga komunal. Akan tetapi agama secara jelas lebih menguatkan pengaruh secara komunal. Ritus yang kemudian diwartakan oleh agama-agama perlu dijalankan dalam skema komunal. Eksistensi kebersamaan secara alami ditegaskan dengan kuat oleh agama. Termasuk juga dengan kematian. Kematian yang pada prinsip dasarnya adalah sebuah proses alamiah dari eksistensi mahkluk hidup, oleh agama diubah menjadi sebuah titik tolak misteri yang penuh dengan kategori sakral. Kematian dianggap sebagai sebuah pintu gerbang penuh penantian yang akan membawa manusia berjumpa secara abadi dengan tuhan. Karenanya, ada upacara secara kolektif yang kemudian tercipta sebagai sebuah tanda perwujudan dari ritus kematian. Begitupun dengan kesadaran akan “Apa itu kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa rasa gemetar untuk menghadapi kesunyian yang penuh dengan selubung misteri.”
  • 5. JURNALASTINA 5 kehidupan. Skema agama dan tuhan telah memberikan jubah sakral bagi kematian. Juga memberikan pemahaman besar mengenai rancangan besar nan agung mengenai alam semesta. Alam semesta yang kemudian disadari dan juga nantinya dialami oleh manusia ini dikisahkan sebagai sebuah kerja kreatif dalam skema besar kreasionisme. Prinsip kreasionisme telah memberikan pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah rancangan kreatif dari tuhan. Dengan demikian kehendak tuhanlah segala-galanya ini berpusat. Pokok terpenting dari kreasionisme ini adalah adanya kekuatan adikodrati yang menjadikan segala- galanya, entah melalui ketiadaan (ex-nihilo) ataupun dari suatu realitas chaos (demiurgos) yang kemudian menjadi teratur. Jawaban tersebut pada suatu waktu diterima bahkan diyakini. Hingga kini pun sebagian penduduk dunia masih menjadi penganut paham besar kreasionisme ini. Melalui otoritas agama serta pewarisan secara kultural maupun juga ekspansional (perang), paham kebenaran agama dan tuhan sebagai sebuah pusat dari eksistensi semesta dilestarikan di dunia. Manusia seolah-olah menemukan kebenaran melalui skema itu. Kesadaran manusia memberikan pembenaran bagi prinsip ini. Reason atau akal manusia menjadi jalan bagi usaha pencarian sekaligus legitimasi dari kebenaran mengenai tuhan dan semestanya. Akan tetapi melalui sebuah kesadaran manusia juga, pengalaman keduniawian manusia lantas memperlihatkan berbagai ketaksesuaian dengan prinsip kreasi tuhan. Pengalaman manusia memberikan kenyataan lain mengenai dunia yang tidak sempurna. Dunia yang penuh dengan aroma tak mengenakan dan berwajah gelap. Ini merupakan sebuah kontradiksi dari prinsip kesadaran yang diterima begitu saja pada awalnya. Mengapa dunia yang dicipta secara sempurna ini masih saja menampakan tanda-tanda ketidaksempurnaan? Mengapa manusia harus mengalami kematian? Mengapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Mengapa ada orang-orang sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala- gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan? Reason manusia lantas menemukan jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan ketidaksempurnaan memperoleh wujud konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan Karya Ibnu Rizal Courtesy of: 28w ArtLab
  • 6. 6 JURNALASTINA dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan lolongan anjing dan serigala kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan yang hebat! * * * Manusia memang sebuah bayang- bayang gelap, tak pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah penuh kedamaian dalam naungan rancangan agung sang tuhan, lama kelamaan Tuhan pun dia gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai, manusia memang mempunyai segala kuasa atas segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi selubung kebenaran. Dapatkah manusia memberikan pembenaran akan Tuhan yang mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari sebuah keajaiban. Tuhan bagi manusia, dalam pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah kematian dalam keabadian. Penantian, penantian dan terus penantian, itulah jati diri lemah manusia yang ketika tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya, merasa kalah. Atas semua kekalahan dan ketakberdayaan tersebut manusia pun masih mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam pikiran- pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam spirit kehidupan, dalam kerumunan dan gerombolan. Manusia berani menyatakan Tuhan atas nama kebersamaan dengan banyak manusia- manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama, menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi naif atas seluruh kemanusiaannya. Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung- duyung mengejar segala passion, meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia-manusia gila sedang menghuni tempat-tempat terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi Tafsir Puisi “Pertemuan” Goenawan Mohamad Karya Bachtiar Agung N
  • 7. JURNALASTINA 7 sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala-gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan? Reason manusia lantas menemukan jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan ketidaksempurnaan memperoleh wujud konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan seluruh pengalaman manusia yang tak sempuran tadi mendapatkan penjelasannya. Pemahaman ini dapat ditelusur melalui pandangan Theodicy. (lihat Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, Leibniz: 1978) Moral tentang yang baik dan buruk Sepertinya reason manusia berkenaan dengan tuhan dan evil, hanya akan membawa manusia pada pertimbangan mengenai yang baik dan buruk. Suatu prinsip mendasar yang menyelimuti seluruh kehidupan manusia hingga kini. Baik manusia secara personal maupun manusia pada hitungan kawanan (komunal). Pertimbangan mengenai yang baik dan yang buruk tersebut lantas menjadi prinsip moral manusia. Manusia meyakini menjadi satu-satunya mahkluk di dunia yang merengkuh hukum universal tersebut. Moral mengendalikan manusia. Moral mengendalikan kehidupan manusia. Moral adalah hukum. Hukum dalam keteraturan, manifestasi dari prinsip mendasar alam semesta: teratur. Kesadaran yang merupakan pencapaian eksistensi tertinggi manusia pun pada akhirnya mau tidak mau harus menunduk malu pada moral itu. Moral memberikan semacam pentunjuk bagi manusia dalam menentukan pilihan jalan kehidupan manusia. Mana yang baik, mana yang buruk. Dalam risalah fiktifnya, Nietzche menyatakan asal muasal moral manusia pada sesosok nabi bernama Zaratrustha. Sesosok nabi dalam agama kuno Persia menunjukan kepada umat manusia perihal cahaya dan kegelapan. Menunjukan kepada manusia perihal kebaikan dan keburukan. Itulah hukum semesta. Semesta yang secara reason dipahami sebagai sebuah wujud keteraturan dalam skema cahaya (tata surya). Seluruh kehidupan dalam alam semesta memang sangat bergantung dengan cahaya, dengan matahari. Maka tidak mengherankan pula pada tradisi agama-agama semit memberikan keagungan kepada matahari: nur, bintang timur, cahaya, terang semesta. Yang baik adalah yang terlihat, yang buruk adalah yang tersembunyikan. Yang terlihat adalah segala-gala yang dapat dicerna oleh mata (terbaca), terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh “akhir dari moral .... kegilaan . . . Tuhan sendiri - pernahkah ia mengawali? Tuhan sendiri - pernahkah ia memulai?” Nietzche: Alle ewigen Quell-Bronnen (Semua Mata Air Abadi ...)
  • 8. 8 JURNALASTINA terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan lolongan anjing dan serigala kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan yang hebat! * * * Manusia memang sebuah bayang-bayang gelap, tak pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah penuh kedamaian dalam naungan rancangan agung sang tuhan, lama kelamaan Tuhan pun dia gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai, manusia memang mempunyai segala kuasa atas segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi selubung kebenaran. Dapatkah manusia memberikan pembenaran akan Tuhan yang mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari sebuah keajaiban. Tuhan bagi manusia, dalam pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah kematian dalam keabadian. Penantian, penantian dan terus penantian, itulah jati diri lemah manusia yang ketika tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya, merasa kalah. Atas semua kekalahan dan ketakberdayaan tersebut manusia pun masih mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam pikiran-pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam spirit kehidupan, dalam kerumunan dan gerombolan. Manusia berani menyatakan Tuhan atas nama kebersamaan dengan banyak manusia- manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama, menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi naif atas seluruh kemanusiaannya. Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung-duyung mengejar segala passion, meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia- manusia gila sedang menghuni tempat-tempat terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi dapat diperjelas dalam kebenaran. Manusia menjadi gila dalam kesendiriannya, dalam kekosongan untuk sekedar bergerak melampaui diri mereka sendiri. Manusia sungguh sedang menderita, sungguh tak berdaya. Bencana, keputusasaan, hidup yang tak lagi bermakna, kemunafikan, kematian secara massal bahkan segala hal yang hidup pun kini tak lagi menunjukan rasa bagi manusia. Segala hanya kegilaan, saat sang moral telah dihentikan atas nama ego, atas nama kebebasan. Moral pada zaman ini berakhir lewat legalitas rasional. Hukum yang secara instrumental telah menatah segala yang obyektif pada ragam
  • 9. JURNALASTINA 9 bentuk benar-salah. Reason menjadi salah satu fondasinya. Manusia bukan lagi dikendalikan oleh nurani hati nurani (mores) sebagai perwujudan moral, melainkan relasi kontraktual antar sesamanya (atau juga menggunakan prinsip lawan- kawan; Schmitt). Dengan demikian, manusia bukan saja mengubah segala kondisi yang selama ini menyelingkupinya, melainkan juga menciptanya kembali dengan sebuah tatanan yang baru. Alam yang penuh dengan segala yang reason, adalah alam yang sudah mengubah wajah tuhan. Tuhan telah mati, begitu kata Nietzche. Dalam artian bukan lagi menjadi penjaga absolut dari moral manusia. Bukan lagi menakut-nakuti manusia melalui suara-suara gelap (atas nama moral). Tuhan masa kini telah dijadikan sebagai sebuah obyek baru, yaitu suatu perwujudan rasional atas pilihan benar-salah, selamat atau tidak selamat. Manusia-manusia hari ini sudah menafsir Tuhan dalam kerangka instrumental. Manusia mencari jawaban perihal the chosen one (yang terpilih) seperti dalam penggambaran Max Weber. Moralitas manusia hari ini adalah sebuah kegilaan. Kegilaan akan penantian tiada henti akan keselamatan dunia yang akan datang. Keselamatan dalam skema keabadian. Sejarah manusia lantas memang sebuah sejarah perjuangan. Perjuangan antar kelas yang terpilih dan kelas yang tidak terpilih. Moralitas diukur sejauh itu. Tetapi memang apa daya, manusia tak dapat memastikan dengan benar-benar apa yang akan mereka hadapi ketika kematian itu datang. Percaya, keteguhan, keyakinan bahkan pembelaan yang kuat dan mati-matian akan sebuah ajaran dan tradisi atas seluruh ramalan mengenai zaman yang akan datang menjadi sebuah keniscayaan manusia-manusia masa kini –yang saya sebut sebagai kegilaan―agar mereka mampu mati dalam ketenangan. * * * Akankah semua cerita tentang zaman yang akan datang itu memang benar adanya? Tidak ada yang tahu pasti, kecuali kita menjemput kematian. Tetapi apa daya, hingga hari ini masyarakat kita atas nama apapun sangat membenci bunuh diri. Juga ketika kita pun mengamini seluruh sabda dari Nietzche: berkatalah “Ya” atas seluruh hidup yang kita tanggung. Jangan pernah menolak kehidupan, sama seperti jiwa Dynosius yang terus bergelora memberikan keliaran kehidupan (juga pengetahuan) kepada sang Apollo yang bernyanyi memanggilnya.*** 1Penulis adalah seorang mahasiswa sosiologi yang sedang menempuh tugas akhir dan juga merupakan seorang penyair, pemikir existensialisme dan penggiat diskusi sastra dan kebudayaan di UI.
  • 10. 10 JURNALASTINA T sotsi adalah sebuah film bersetting di Johannesburg, Afrika Selatan yang memotret realita dua sisi kota tersebut, satu sisi memperlihatkan kuasa dengan eksklusivitas dan satu sisi yang lain mendapatkan kuasa dengan kriminalitas. Beranjak dari situ penulis juga terdorong untuk menjelaskan “penggunaan” kekerasan dan rasa takut tersebut yang diterangkan Foucault. Dalam bukunya yang berjudul History of Madness, Foucault menulis: “For madness: to take oneself for a king when one is poor; to believe oneself dressed in gold when one is naked; to imagine that one has a body of glass, or that one is a water pitcher. Madness is when all is other, it deforms and transports, it evokes a different scene.” Konsepsi kegilaan dan rasa takut yang keluar dirasa dapat menjelaskan bagaimana kuasa dapat berperan di dalamnya. Dalam hal ini tentunya akan dikaitkan dengan eksklusivitas dan kriminalitas yang tersirat pada Tsotsi. Tulisan ini terdiri dari sinopsis film, pola segregasi dalam tata kota Johannesburg hingga pandangan Foucault tentang kegilaan, dan analisa Foucault terkait film tersebut. Dengan demikian, semoga dari penjelasan beberapa hal tersebut, pertanyaan yang timbul mengenai segregasi ketika menonton Tsotsi akan terjawab. Sinopsis Tsotsi Tsotsi disutradarai oleh Gavin Hood dan merupakan adaptasi dari novel karya Athol Fugard dengan judul yang sama. Film yang dirilis pada tahun 2005 ini mengambil latar belakang di Afrika Selatan, pada kawasan kumuh Suweto, Johannesburg. Bercerita tentang seorang pemuda bernama Tsotsi3 yang terkenal dengan tindak kriminalitasnya. Segala macam pencurian dilakukannya dan tak kenal takut untuk membunuh. Kejahatan yang ia lakukan bukan tanpa sebab. Sedari kecil Tsotsi sudah mengenal kerasnya hidup. Ibunya terkena penyakit yang tak bisa disembuhkan dan Ayahnya melarang dirinya untuk bersentuhan dengan Ibunya. Dikarenakan Ayahnya yang tak memberinya kasih sayang yang sepantasnya, Tsotsi kecil pergi dari rumah. Dari situlah ia mulai menjalani hidup sendirian tanpa hangat dari pelukan orangtua. Ketika beranjak dewasa, Tsotsi melakukan penjambretan di dalam kereta bersama Butcher, Boston, dan Aap. Penjambretan itu berakhir dengan pembunuhan yang dilakukan Butcher. Boston yang tidak setuju dengan tindakan pembunuhan tersebut akhirnya berkelahi dengan Tsotsi yang merupakan pemimpin dalam aksi penjambretan tersebut. Setelah perkelahian itu, Tsotsi pergi ke kawasan perumahan dimana ia menembak seorang wanita bernama Pumla dan Feby Hendola Kaluara2 “violence and fear are entangled with processes of social change in contemporary cities, generating new forms of spatial segregation and social discrimination.” Tsotsi; Antara Urban dan Kuasa1
  • 11. JURNALASTINA 11 mengambil mobilnya yang hendak memasuki gerbang rumahnya. Tsotsi yang tidak bisa menyetir dengan baik mengendarai mobil tersebut tanpa tersadar ada bayi di dalamnya. Saat berhenti, Tsotsi tersadar ada bayi di dalamnya. Awalnya ia ingin meninggalkan si bayi begitu saja, tetapi hati kecilnya tak tega. Tsotsi seperti melihat dirinya sewaktu kecil di bayi itu. Akhirnya bayi itu dibawa ke rumahnya. Sementara Pumla dan suaminya mengerahkan segenap tenaga dan bantuan dari polisi untuk menemukan bayi mereka. Tsotsi yang disibukkan dengan kehadiran si bayi, menyadari betapa ia tidak becus merawat bayi, Tsotsi menodong Miriam—seorang wanita yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, untuk merawat si bayi. Dari sinilah ia kemudian mulai menyadari kasih sayang yang sempat terenggut dari kehidupannya. Seiring berjalannya waktu, Tsotsi menjadi begitu sayang dengan si bayi dan ingin sekali merawat si bayi. Pola Segregasi dalam Tata Kota Johannesburg Tata Kota Johannesburg memang tidak secara eksplisit diperlihatkan, namun segregasi antara si miskin dan si kaya sangat mudah untuk diidentifikasi, oleh sebab itu, penulis mencoba menjelaskan pola tata kota tersebut. Laiknya negara berkembang lain, Afrika Selatan juga mengalami fenomena urbanisasi. Urbanisasi kerap terjadi karena adanya industrialisasi dan modernisasi di bagian perkotaan, sehingga mendorong orang-orang untuk mengadu nasib di kota. Seringkali urbanisasi membentuk pola baru yang biasa disebut center- periphery. Pola ini biasanya memiliki 4 karakteristik, yaitu (1) bangunannya lebih menyebar ketimbang terkonsentrasi, (2) terdapat perbedaan kelas yang mencolok dan biasanya kaum menengah ke atas tinggal di bagian pusatnya, sementara kaum menengah ke bawah di sekeliling pinggiran kota, (3) kepemilikan rumah menjadi pandangan umum bagi yang kaya maupun yang miskin, dan (4) transportasi sangat tergantung pada jalanan, dengan bus yang biasa digunakan oleh kaum pekerja (working class), sementara angkutan pribadi umumnya digunakan oleh kaum menengah ke atas. Pola tersebut juga terlihat di Johannesburg. Pada bagian pinggir kota ini didominasi oleh kawasan kumuh sementara di bagian pusatnya berdiri bangunan tinggi nan gemerlap. Hal ini diilustrasikan oleh Martin J Murray dengan istilah “dua ekstrim yang terkotakkan”; satu sisi adalah ruang kemakmuran yang sehat, fungsional, dan sebagian besar dihuni oleh warga berkulit putih kelas menengah ke atas; sisi lainnya adalah ruang kurungan yang menyesakkan dimana mayoritas penduduk yang tinggal adalah pekerja kulit hitam. Perbedaan ini makin terlihat dengan munculnya perumahan residensial yang dengan jelas memperlihatkan batasan antara penghuni dengan daerah sekitarnya. Dinding, gerbang, dan pos pemeriksaan menjadikan residensial tersebut terprivatisasi. Konsep siege architecture4 ini sudah ada sejak sesudah masa apartheid. Obsesi akan privatisasi tersebut kemudian menyerupai sebuah tempat yang homogen di tengah-tengah keragaman dan kemiskinan. Eksklusivitas ini terjadi karena adanya rasa takut akan kriminalitas. Hal ini tidak mengherankan karena mereka yang mampu mendapatkan fasilitas tersebut memiliki kekayaan yang ingin mereka jaga. Adanya ketakutan dengan kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat
  • 12. 12 JURNALASTINA kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat mereka begitu terbedakan dengan kaum menengah ke bawah. Seolah-olah dengan adanya eksklusivitas tersebut hidup mereka terlihat lebih berkualitas. Tsotsi dan Segregasi Segregasi di Tsotsi terlihat dari perbedaan kehidupan antara kaum menengah ke atas dengan kaum menengah ke bawah yang diperlihatkan sekilas namun sangat sangat terasa. Eksklusivitas pada Tsotsi sekilas terlihat saat Tsotsi hendak mencuri mobil Pulma. Di situ terlihat keadaan rumah Pulma yang mewah dan memiliki fasilitas interkom. Sementara itu di adegan lain terdapat pula gambaran rumah Tsotsi yang seadanya dengan fasilitas air yang kurang memadai. “Kegilaan” Menurut Foucault Foucault adalah sosok yang dikenal dengan telaah sejarahnya. Umumnya tulisan Foucault adalah analisa sejarah dan tidak spesifik di bidang tertentu saja. Begitupun ketika membahas kegilaan. Foucault membahas kegilaan dalam bukunya History of Madness dalam tiga pembagian era: renaissance, classical age, dan modern. Pada era renaissance, kegilaan lebih dilihat sebagai knowledge dan pandangan mengenai “orang gila” tersangkut-paut dengan masalah agama. Di era classical age, pembicaraan mengenai kegilaan lebih merujuk ke ranah etika. Mereka yang melakukan penyimpangan etika dari yang “normal”, akan dipisahkan ke “institusi khusus”. Di era modern, kegilaan dilihat sebagai penyakit atau object of science, sehingga muncul obat penenang dan rumah sakit jiwa. Contoh yang lebih spesifik misalnya saat Foucault menerangkan kegilaan pada zaman reinassance dengan menganalisa beberapa karya seni dari zaman itu. Salah satu karya seni itu adalah Ship of Fools, sebuah alegori tentang kapal yang berisi orang-orang yang gila dan tak tahu arah. Kiasan yang sering menginspirasi dunia sastra dan seni di Eropa pada abad ke-15 sampai ke-16 ini, merupakan hal yang lumrah dilakukan. Pada tahun 1399 tukang perahu di Frankfurt diberi tugas untuk membersihkan kota dari orang gila, sehingga kedatangan Ship of Fools sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kapal yang berisi orang gila ini kemudian dibiarkan berlayar tanpa tujuan. Mengenai kegilaan pada zaman Renaissance itu, Foucault berargumen “Most probably, as it (madness) is forbidden knowledge, it predicts both the reign of Satan and the end of the world, ultimate happiness and supreme punishment, omnipotence on earth and the descent into hell”. Dengan kata lain kegilaan tersebut dilihat dalam perspektif religi, seperti Ship of Fools yang dianggap sebagai bentuk dari kemenangan antikristus: kapal yang melewati kebahagiaan dimana orang-orang di dalamnya terasingkan dari kebutuhan dan keinginannya. Dari hal tersebut bisa terlihat, bahwa kegilaan dilihat sebagai bentuk pengalaman religius. Kegilaan tersebut mengindikasikan ke mereka yang dianggap gila (sang seniman) untuk mendapatkan pengalaman tragis karena dianggap memiliki tenaga yang mengancam dunia dan kemanusiaan. Foucault juga menulis: “..there is no certainty that madness was content to sit locked up in its immutable
  • 13. JURNALASTINA 13 identity, waiting for psychiatry to perfect its art, before it emerged blinking from the shadows into the blinding light of truth. Nor is it clear that confinement was above all, or even implicitly, a series of measures put in place to deal with madness. It is not even certain that in this repetition of the ancient gesture of segregation at the threshold of the classical age, the modern world was aiming to wipe out all those who, either as a species apart or a spontaneous mutation, appeared as ‘asocial’.” Penjelasan singkat di atas memperlihatkan, bahwa ada perubahan konsepsi kegilaan di setiap era. Dengan kata lain tidak ada kepastian mengenai makna “kegilaan” itu sendiri. Justru yang sering terulang adalah tingkah laku kita yang memisahkan antara yang “gila” dan yang tidak. Kesimpulan Kriminalitas merupakan salah satu wujud kegilaan, yang dalam hal ini diinginkan untuk terpisah dengan cara memberikan fasilitas keamanan. Di saat yang sama fasilitas tersebut hanya bisa didapatkan oleh kaum menengah ke atas, sehingga muncul konsepsi eksklusivitas. Eksklusivitas di Johannesburg yang terilustrasikan pada Tsotsi sebenarnya hanyalah efek dari mitos akan ketakutan mengenai kriminalitas. Dengan kata lain, eksklusivitas yang ada tidak benar-benar dapat melindungi mereka dari kriminalitas. Eksklusivitas ini hanya memberikan perbedaan yang signifikan antara mereka yang kaum menengah ke atas dengan kaum menengah ke bawah, sementara kriminalitas itu sendiri akan terus menyerang siapapun. Murray berpendapat, bahwa “the design of urban space is not simply a matter of context and aesthetics, but is also a complex sociospatial process that encodes power relations into the ordinary practices of everyday life.” Sociospatial memang memegang peran penting dalam interaksi yang terjadi di keseharian warga. Begitupun eksklusivitas yang terjadi di Johannesburg. Kesenjangan yang terjadi justru membuat hubungan antara kedua kaum tersebut hilang, sehingga tidak ada keakraban di antaranya. Hal ini menimbulkan ketidakpedulian satu pihak dengan pihak yang lain. Sifat individualistis ini, jika tidak diubah, akan tetap mengental di kota Johannesburg yang kemudian mempengaruhi pembangunan di kota tersebut. Dengan tidak meratanya perhatian yang diberikan untuk kesejahteraan semua penduduknya, maka kriminalitas itu tetap ada. Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyarankan adanya penelusuran lebih lanjut karena masih banyak lagi yang masih bisa dibahas dalam film Tsotsi, dengan menggunakan konsepsi kekuasaan yang lain—di luar pemikiran Foucault. Tentunya pembahasan tersebut tidak terlepas dari masalah urban di Afrika Selatan. 1 Tulisan ini aslinya merupakan tugas kuliah dalam bentuk kajian film menggunakan tinjauan arsitektur 2 Penulis merupakan Mahasiswi Arsitektur UI, salah satu punggawa Komunitas Diskusi Astina dan juga merupakan vokalis dari Band “Sempak Terbang”. 3 Tsotsi berarti “membunuh” (dalam bahasa seleng-an di Johannesburg). 4 Siege architecture berarti “arsitektur mengepung”. Sebuah nama yang diberikan Murray melihat eksklusivitas yang terjadi di Johannesburg
  • 14. 14 JURNALASTINA Revolusi: Melawan Mitos Kapitalisme K aum Liberalist Economist senantiasa menjadi repetitor doktrin-doktrin kapi- talisme. Bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Kerja bukan lagi sebagai ak- tivitas pemenuh kebutuhan dasar. Kerja menjadi tujuan hidup. Manusia kehilangan pemaknaan akan kerja itu sendiri. Proletar menyerahkan jiwa dan raganya untuk bekerja. Untuk memenuhi kan- tong-kantong uang borjuis. Bagi Lafargue hal ini sangat menggelikan. Jauh lebih baik kita hidup di jaman purba, tatkala manusia saat itu hanya bekerja jika merasa kebutuhan pokoknya habis. Jaman borjuasi mengubah segalanya. Lafargue mengatakan kita harus melawan, melawan sistem racun seperti ini. Setiap proletar memiliki hak un- tuk malas di hadapan kapitalisme. Lafargue men- yarankan pemboikotan secara serentak dalam upaya menentang penghisapan yang dilakukan Kapitalisme. Sekaligus sebagai bentuk aktualisasi diri, melakukan hal lain selain bekerja untuk bor- juis. Ini merupakan jalan untuk melawan mitos yang dibangun oleh para Liberalist Economist demi menguatkan posisi kapitalisme dalam hegemoni sistem dunia. Jalan Revolusi yang dimaksud Lafargue me- rupakan usaha yang riskan bila tidak ada kesada- ran kelas dalam diri individu. Tiada kesadaran un- Jalan Revolusi1 oleh Willy Avriely Daeli2 Paul Lafargue, seorang jurnalis Marxis pernah berkata: Dan para ekonom terus saja mengulang-ulang pernyataannya kepada buruh, "Bekerjalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial." Dan dengan sarkas ia menambahkan: “Bekerjalah, bekerjalah kaum proletar, untuk meningkatkan kemakmuran sosial dan kemiskinan individualmu. Bekerjalah, bekerjalah agar, karena menjadi lebih miskin, kalian bisa punya lebih banyak alasan untuk bekerja dan menjadi sengsara. Begitulah hukum produksi kapitalis yang tak bisa ditawar-tawar.”
  • 15. JURNALASTINA 15 tuk bergerak bersama, secara kolektif, melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Maka sangat bijak- sana apabila sebelum melakukan jalan revolusi semacam itu, kita mempersiapkan suatu rancan- gan pokok. Lebowitz mengatakan dalam bukunya ‘Sosialisme Sekarang Juga’, bahwa Venezuela meru- pakan contoh paling baik dalam menempuh jalan revolusi. Kesadaran kelas dicapai melalui pendidi- kan. Jika pikiran manusia dibekali oleh kerangka sosialisme, maka dengan sendirinya manusia akan bertindak dan berperilaku seperti itu. Jalan pem- boikotan tidak harus ditempuh kecuali dalam situasi krisis dimana terjadi resistensi dari kelom- pok minoritas borjuis. Namun di balik semua itu, pendidikan dan pemboikotan merupakan bentuk upaya melawan mitos kerja kapitalisme. Mitos yang meracuni pikiran dan mempengaruhi mental proletar hampir seabad ini. Secara umum menurut Douglas Dowd, seti- daknya terdapat tiga kebutuhan utama kapital- isme. Pertama adalah kebutuhan ekspansi, kedua adalah kebuhan ekploitasi, sedangkan ketiga adalah kebutuhan oligarkis. Power sangat ber- peran dalam upaya pemenuhan tiga kebutuhan kapitalisme tersebut. Penggunaan Power dalam pemenuhan tiga kebutuhan kapitalisme tercermin dalam perilaku eksploitasi pekerja. Eksploitasi pekerja dilakukan untuk memenuhi standar pen- dapatan yang kemudian diputar kembali menjadi bentuk modal awal. Douglas Dowd menjelaskan labor theory of value sebagai elemen penting dalam kerangka mekanisme kapitalisme. Labor theory of value yang disusun Adam Smith merupakan fon- dasi dari sistem kapitalisme. Sekiranya ada 3 point dalam labor theory of value. Point pertama adalah pekerja membuat sendiri nilainya. Nilai ini berarti kualitas dari dirinya yang bisa “dijual”. Point kedua adalah upah merupakan bentuk hadiah dari kuali- tas produksi yang bisa dikerjakannya. Point ketiga adalah setiap bentuk profit tidak menjadi bagian pekerja, namun menjadi bagian pemilik modal. Perihal lain terkait pengupahan tenaga kerja adalah upah pekerja harus seturut dengan standar yang telah ditentukan. Sistem ekonomi klasik terli- hat sangat profit oriented. Demi pemenuhan keun- tungan dan menarik minat pasar, kesejahteraan pekerja di kesampingkan (bukan menjadi per- hatian utama). Dalam penjelasan-penjelasan ini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya teori ekonomi (klasik) tidak pernah netral. Teori ekonomi dibuat dengan tendensi kepentingan kelas tertentu. Men- gandung muatan ideologi tertentu. Teori ekonomi klasik sangat menekankan hak kepemilikan indi- vidu. Hal ini kemudian mendorong perilaku- perilaku individualistik, yang tidak mendasarkan diri pada status kolektif. Karya-karya individu le- bih dihargai ketimbang karya kolektif. Eksistensi individu diakui melalui hasil produksi mereka. Terjadi proses dehumanisasi dalam mekanisme kerja kapitalisme. Individu kesulitan mengaktu- lisasikan diri dalam sistem kapitalisme. Sosialisme dan Venezuela Sosialisme hadir sebagai jalan untuk mengembalikan manusia pada realisasi dirinya masing-masing. Mengembalikan manusia pada hubungan-hubungan sosial yang didasari keingi- nan untuk berinteraksi satu sama lain. Sosialisme menyediakan hal-hal yang tidak bisa diperoleh manusia dalam sistem kapitalisme. Manusia di- paksa untuk bekerja demi memenuhi pundi-pundi keuntungan kapitalisme. Individu teralienasi dari lingkungannya atau bahkan dari hasil produksinya sendiri. Hasil yang seharusnya bisa dinikmati juga
  • 16. 16 JURNALASTINA oleh sang individu, namun terhalangi oleh sistem kapitalisme. Sosialisme tidak jatuh dari langit. Sosial- isme sangat fluid (cair). Sifat fluid sosialisme me- rupakan bentuk terbaik dari upaya menggugat ek- sistensi Kapitalisme sebagai bentuk hegemoni sis- tem dunia. Bagi Marx, individu merupakan subjek- subjek yang konkret. Hal ini dapat dimaknai seba- gai sebuah kenyataan bahwa masing-masing indi- vidu memiliki sejarah dan tradisi masing-masing. Hal ini sangat disadari Marx. Semangat sosialis ha- rus tumbuh dari bawah. Semangat sosialis tidak bisa diberikan dari atas. Pesan perjuangan Marx sangat jelas, bahwa proses perjuangan adalah proses membentuk orang-orang dengan cara yang berbeda. Perjuangan tersebut dilakukan untuk me- menuhi kebutuhan-kebutuhan subjek-subjek tersebut, yang kemudian berkembang menjadi ke- butuhan masyarakat. Ini disebut Marx sebagai praktek revolusi. Praktek yang menuntut kese- suaian antara kondisi dengan tindakan yang dila- kukan. Ciri-ciri unik yang partikular pada masing- masing masyarakat menjadi faktor penting dalam menentukan jalan revolusi mereka. Lebowitz mengatakan adalah sangat menarik untuk melihat Venezuela sebagai subjek partikular yang berhasil dalam menempuh jalan revolusinya sendiri. Tidak diduga dari negara seperti Venezuela lahir semangat revolusi yang menggebu-gebu. Dulu terdapat jurang pemisah yang luar biasa lebar dalam kehidupan masyara- kat. Jurang antara kemakmuran dan kemiskinan. Negara saat itu hanya berfungsi sebagai institusi penegas kelas. Pendapatan dari perdagangan min- yak di dunia masuk pundi-pundi borjuis yang duduk tenang di pucuk pemerintahan. Kapitalis menjadi parasit bagi masyarakat dalam suatu sis- tem neo-liberalisme. Venezuela sadar bahwa jalan perubahan hanya dapat ditempuh berawal dari perubahan internal. Jalan revolusi Venezuela adalah mencipta bukan meniru. Chavez sangat menyadari hal itu ketika naik menjadi Presiden Venezuela. Ia men- canangkan program Vuelvan Caras. Program ini menitikberatkan perhatian pada pembangunan pertanian. Lebih dari 50% beasiswa dikucurkan dalam pendidikan pertanian, 30 % pendidikan in- dustri, sementara lainnya adalah pendidikan pari- wisata, infrastruktur, dan jasa sosial. Selepas dari masa pendidikan, mereka dapat mendirikan koperasi-koperasi. Negara memberikan keistime- waan dalam hal ini, seperti hal suntikan dana. Chavez mengatakan bahwa ini merupakan perwu- judan ekonomi sosial. Suatu sistem ekonomi yang didasari keinginan untuk lepas dari logika kapital- isme. Ekonomi sosial tidak mendasarkan diri pada perolehan keuntungan, tetapi pada penciptaan nilai guna. Selanjutnya relasi sosial masyarakat dibentuk oleh keterhubungan nilai guna, bukan pada nilai lebih secara ekonomi. Venezuela dalam hal ini melakukan pe- rubahan mendasar dari dalam diri manusia. Mereka melakukannya melalui jalan pendidikan. Kesadaran masyarakat ditumbuhkan melalui pen- didikan. Kesadaran yang berbasis semangat sosial- isme. Sistem ekonomi yang diciptakan Venezuela mampu membangkitkan sistem produksi dan kon- sumsi komunal. Ini merupakan perwujudan eko- nomi berbasis kerakyatan. Koperasi serta or- ganisasi-organisasi komunitas merupakan monu- men perjuangan ekonomi rakyat Venezuela. Rakyat Venezuela merealisasi diri ketika mereka berjuang demi pembangunan manusia, pemenu- han kebutuhan dasar, moral, dan keadilan bagi mereka. Rakyat Venezuela bertranformasi menjadi padanan masyarakat baru yang dilandasi seman-
  • 17. JURNALASTINA 17 gat sosialisme. Inilah jalan revolusi Venezuela. Chavez, Dowd, Lebowitz, dan Lafargue me- rupakan anak-anak jaman yang lahir di era puncak kapitalisme. Sebuah era “New Dark Age”. Masa ke- gelapan dan penindasan dengan selubung- selubung manis kebebasan. Usaha Chavez, Dowd, Lebowitz, dan Lafargue dalam menegakkan prinsip -prinsip Sosialisme sebagai bentuk resisten terha- dap sistem kapitalisme, merupakan secercah ca- haya yang sangat berarti bagi sejarah peradaban manusia. Dowd mengingatkan kita pada mekan- isme kapitalisme yang menipu. Lebowitz mengin- gatkan kita pada semangat Marxist Klasik untuk melakukan revolusi terus menerus. Revolusi tanpa batas. Lafargue menyarankan sebuah jalan revolusi yang tegas dan lugas. Ide-ide perlawanan terhadap hegemoni kekuatan kapitalisme dunia dapat dimaknai sebagai wujud kegilaan dalam upaya memahami kebenaran di luar kebenaran tunggal yang ditawarkan kekuasaan ideologi tung- gal. Ide-ide ini harus terus direproduksi, terus di- bakar, agar dapat menjadi penerang dalam masa kelam seperti ini. 1 Tulisan ini merupakan bahan diskusi S.S, dengan judul yang berbeda. 2 Mahasiswa Jurusan Antropologi, Universitas Indonsia; Penggiat Diskusi Astina
  • 18. 18 JURNALASTINA A dapun sajak tersebut pasti mendapat pengaruh dari kesalahan penafsiran pe- nulisnya akan prakarsa Pencipta turun ke dunia. Pasalnya ia menggunakan kata ‘gila.’ Apa definisi gila sebenarnya? Gila adalah kondisi tanpa akal sehat. Semua yang dilakukan seorang gila ter- jadi atas ketidaksadarannya. Seorang mantan gila di Kota Perdagangan, Kecamatan Bandar, Kabu- paten Simalungun, Sumatera Utara pernah bertu- tur mengenai masa gilanya. Pada waktu itu ia sem- pat memecahkan banyak kaca rumah penduduk, dan kejadian dahsyat itu tak sedikit pun terekam oleh ingatannya, karena ia justru baru mengeta- huinya atas pemberian informasi dari orang lain setelah ia masuk ke masa waras. Dari penjabaran sederhana di atas terungka- plah bahwa si gila penulis sajak itu jelas-jelas sa- lah. Pencipta datang ke dunia atas kesadaran pe- nuh, itulah yang membuat Ia tidak pantas disebut gila. Penulis sajak harus mencari kata lain untuk menunjukkan kekagumannya akan ''ke-kokmauya? -an'' Pencipta datang ke dunia yang kelewat hina dina ini. Sebagai anlogi coba lihat ini: kalau kamu hendak berangkat ke kampus, tiba-tiba seorang rekan menelepon “Hei, kalau kamu ke kampus hari ini, sudah ada sekelompok orang menantimu. Nan- ti kamu dilecehkan, diludahi, ditendang, ditelan- jangkan, disakiti sepenuh hati, dan untuk meno- longmu: tak seorang pun akan berani!” Adakah kita terus melangkah ke kampus? Kalau itu adalah ja- waban yang serius jujur maka: tidak sama sekali. Hebatnya, Pencipta yang mahatahu itu tetap da- tang kendati sebagai Tuhan Yang Terhormat Ia akan dizolimi luar biasa. Adapun kedatangan Tuhan ke muka bumi ini satu set pula dengan penderitaan-Nya di atas kayu salib. Salib, pada masa itu adalah lambang kehi- naan yang paling hina. Ia adalah hukuman untuk penjahat yang nggak ketulungan najisnya. Silakan cari kesalahan Yesus Kristus dan kamu tak akan menemukan satu pun bahkan setengah atau seper- empat atau seperdelapan atau berapa pun tidak. Namun Ia sungguh rela, demi kita. Sekali lagi, Ia melakukannya dengan kesadaran penuh. Itulah yang membuktikan ketidakgilaan-Nya. Yang menarik, justru kegilaan hinggap pada “pengikut-pengikut” Yang Mulia hingga hari ini: banyak yang mengaku ‘Kristen’ tapi tidak tahu apa yang diperbuatnya, mari ambil contoh sederhana yang berkaitan dengan Paskah. Ah, Paskah!1 oleh El Bram Apriyanto2 Pada acara perayaan Natal di Balairung UI tahun lalu, ada seorang gadis FIB naik ke hadapan khalayak dan membacakan sebuah sajak karya seorang gila. Pada bait ke-4-nya, sajak tersebut berkoar demikian: “Bagiku, Natal adalah sebuah momen keras. Yang begitu mengingatkan, bahwa kita punya Allah yang GILA Why not? DIA sudah punya singgasana mahamulia di surga sana segala kenyamanan dan kedamaian dan kekudusan sudah ada pada-Nya Loh kok DIA malah nekat turun juga ke dunia yang penuh kenajisan ini? Tidak tanggung-tanggung, dipilih-Nya kandang domba pula sebagai istana mula dan tempat makanan hewan ternak sebagai takhta pertama”
  • 19. JURNALASTINA 19 Pada dasarnya, saya ini seorang guru seko- lah Minggu. Sudah agak lama, sejak 2005. Dan ta- hukah Saudara bahwa dua tahun lalu kami guru sekolah Minggu di gereja melakukan rapat untuk menentukan apa yang akan terjadi pada Paskah. Beberapa nyeletuk “Ayo bikin lomba cari telur!” banyak yang mengangguk. Ada pula ide soal lomba menghias telur. Saya yang kala itu sudah menjadi mahasiswa, bertanya dengan agak kritis: “Mengapa harus telur?” dan ketahuilah Saudara, tak seorang pun menjawab. Krik… krik… krik… . saya sarankan pada rekan-rekan kala itu, “Ayo, sebelum kita tahu apa kaitannya telur dengan Paskah, kita buat acara yang lain saja dulu.” Dan saya disambut dengan krik… krik… krik… . Sebagai seorang Kristen saya lantas berdoa pada Sang Pencipta, “Hei Gusti, gimana ya ini? Mohon pencerahan dong. Apa sih perihal telur- teluran ini? Kok tak kutemukan perintah untuk bertelur ria di Kitab Keren?” Dan Gusti menjawab, krik… krik… krik… . Hei Saudara, saya beri tahu, kalau kamu bertanya pada Gusti dan tidak mendengar jawaban, itu bukan karena Dia tidak ada. Melainkan kita yang tidak ada punya ke- pekaan. Tapi saya yakin Gusti mendengar. Walau- pun nggak yakin akan terima jawaban. Minggu depannya saya beribadah di GBI Kamboja Depok pagi menjelang siang. Adalah seo- rang pendeta tampan bernama Andy Panggabean sedang berkhotbah. Di akhir khotbahnya ia meni- tipkan pesan pula: “Kalau saudara-saudara mau tahu mengapa ada telur dan kelinci pada perayaaan Paskah di dunia, nanti datang ibadah jam 5.” Saya tertegun dan terkaget dan seperti ter- henyak, seakan hampir terlempar dari kursi. Saya sampaikan pada Gusti, “Thank you Bro, nanti saya mau datang.” Datanglah saya jam 5 sore itu. Dan menden- gar penjabaran panjang lebar kurang lebih demikian kalau boleh dirangkumkan: 1. Ucapan “Happy Easter” pada perayaan Paskah itu salah besar. Apa sebab? Easter tidak punya kai- tan dengan wafatnya Yesus Kristus dan kebangki- tannya. Easter adalah nama lain dari Astarte alias Semiramis. Ia adalah nama dewi dalam mitologi Babilonia alias Babel. Nah perayaan yang berke- naan dengan si Easter ini pas sekali terjadi pada masa yang sama dengan Paskah. 2. Lebih baik gunakan “Happy Pesach” atau “Happy Passover” atau kalau lebih nasionalis “Selamat Paskah” saja cukup. Mengapa Passover? Karena ia adalah padanan kata yang tepat dalam Bahasa Inggris untuk kata Ibrani Pesach. Pesach dalam Bahasa Ibrani berarti “Sudah lewat.” Ini mengacu pada sebuah peristiwa di masa lalu bangsa Israel, ketika mereka masih ditawan di tanah Mesir. Kala itu bangsa Mesir terutama Firaunnya amatlah bebal, mereka tak pernah dengan sukarela mengizinkan bangsa Israel keluar. Berbagai tulah dikirimkan, tapi hati Firaun tak kunjung melunak. Sampailah pada tulah terakhir yang mengancam nyawa semua anak sulung di negeri itu. Tuhan membuat pengecualian bagi bangsa Israel dengan menyuruh mereka (via Musa) menyembelih seekor domba jantan yang tak bercacat cela, memakannya, dan membubuhkan darahnya pada tiang dan ambang pintu rumah. Pada tengah malam, Tuhan turun atas Mesir dan segenap penduduk ketakutan, termasuk orang Israel. Mereka sangat tidak mau anak sulung mereka binasa, maka ketika Tuhan melewati setiap rumah, mereka semua menjadi gemetar, dan ketika Tuhan pergi dan anak sulung mereka terbukti masih hidup, mereka berteriak: “Pesach!” artinya: “Sudah lewat!” Kejadian ini seakan menjadi simbol nubuatan untuk kematian Yesus di kayu salib. Pada
  • 20. 20 JURNALASTINA dasarnya umat manusia juga pasti akan binasa karena semua kita sudah berbuat dosa dan upah dosa ialah maut. Namun Allah mengirimkan “anak domba”-Nya dan menorehkan darahnya pada kayu salib (ingatlah bahwa salib dan palang serta ambang pintu sama-sama mempunyai garis horizontal dan vertikal). Dan karena darah itu tercurah, manusia akan diselamatkan (lirik Yohanes 3:16). 3. Easter alias Astarte alias Semiramis dikisahkan turun dari langit ke bumi dalam sebuah telur besar, yang kemudian pecah dan dari dalamnya keluar seorang wanita cantik. Inilah sebabnya ramai telur digunakan sebagai ornamen. 4. Easter alias Astarte alias Semiramis adalah dewi kesuburan, maka kelinci pun diambil sebagai simbol, karena kelinci dikenal beranak banyak. 5. Babel dalam upacara keagamaannya yang lain juga menggunakan pohon yang dihiasi sebagai hiasan. Tradisi Babel juga mengandung mitologi soal kakek tua berjanggut panjang yang dengan keretanya terbang di langit pada malam perayaan hari besar tertentu. Lihatlah betapa banyak warna Babel dalam perayaan Paskah dan Natal. Padahal hal-hal tersebut amat tidak bersangkut paut dengan kekristenan. Andy Panggabean kemudian menjelaskan bahwa yang bertanggung jawab atas sinkretisme ini adalah Konstantin, seorang kaisar Romawi yang beribukan Kristen dan berbapakan Babel (atau sebaliknya?). Yang jelas dalam masa kekuasaannya ia membuat seluruh Romawi beragama Kristen, tapi mencampur adukkannya dengan tradisi Babel. Pengecualian harus dibuat untuk pemilihan tanggal perayaan Natal yaitu 25 Desember. Awalnya ia adalah tanggal perayaan hari lahir Dewa Matahari, namun Konstantin melakukan sejenis revolusi untuk “menguduskan” tanggal tersebut. Andy Panggabean sendiri menghitung-hitung dengan berbagai argumen Alkitabiah bahwa Yesus harusnya lahir pada tengah tahun, entah Juni atau Juli. Segala yang dijelaskan oleh Andy Panggabean bisa salah bisa benar, perlu ada pembuktian lebih lanjut. Demikian juga kemampuan saya mengingat penjelasan beliau bisa juga salah pada beberapa titik. Tidaklah baik untuk segera percaya dan mengiyakan begitu saja. Poin penting di sini adalah, kegilaan terjadi kala orang melakukan bahkan merayakan sesuatu hanya sekadar rutinitas dan tradisi tanpa mempertanyakan esensi. Berapa banyak orang yang mengaku Kristen tapi getol berteriak “Happy Easter” setiap Paskah? Berapa banyak yang masih gemar menghias-hias telur? Berapa banyak yang masih menggunakan gambar kelinci dalam undangan perayaan Paskah? Semua hal itu tidak salah total secara substansi. Yang fatal adalah ketidakpedulian untuk merunut histori. Itulah kegilaan, melakukan sesuatu tidak dengan kesadaran penuh. Adakah ini yang Yesus Kristus inginkan setiap perayaan Paskah? Kehendak-Nya bukanlah membuat pesta besar gila-gilaan untuk memperingati kematian dan kebangkitan-Nya. Kehendak-Nya adalah aku dan kau diselamatkan, karena tidak dengan gila ia rela dilecehkan, sungguh-sungguh supaya kita diselamatkan. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak- Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16) 1 Tulisan ini dibuat dalam rangka perenungan kembali makna Paskah(Kebangkitan Kristus) 2 Penulis adalah seorang Sarjana Humaniora yang juga aktif dalam kegiatan Persekutuan Oikumene FIB & UI
  • 21. JURNALASTINA 21 S esuatu yang paling dianggap indah bagi sebagian kalangan. Katanya, sih, begitu! Karena suka sama suka. Bahkan ketika saya memperhatikan keanggunan seorang pen- yanyi yang penuh talenta (sekali lagi, katanya, sih, begitu!) dan membayangkan dirinya dan saya berada di titik sesuatu itu. Kau tahu apa yang ke- mudian saya imajinasikan? Saya mencoba menarik diri yang berbeda ini keluar dari Manshur Zikri itu, lalu memperhatikan mereka (Si Manshur Zikri dan penyanyi kondang itu), dan apa yang kemudian terpikirkan di dalam benak saya? Pikiran yang pe- nuh dengan protes dan perasaan yang memuak- kan, melihat diri saya yang lain terjebak ke dalam sesuatu itu, yang paling saya benci (sejatinya). An- daikan saya bukan manusia, dan adalah Tuhan, sesuatu itu pasti tidak akan pernah ada di dunia ini. Bahkan ketika saya membayangkan ketika seorang nabi berada di situasi dan kondisi yang sama dengan si Manshur Zikri itu, pasti saya akan mengarahkan pantat saya ini kepadanya dan ter- tawa sekeras-kerasnya, sambil berseru, "Makan tuh sabda!" Untung saja nabi tidak akan pernah seperti itu, Gan! Dan saya tidak perlu dikejar-kejar oleh FPI dan diancam akan dibunuh karena telah melecehkan nabi. Nabi itu bukan milik satu agama saja! Benar, kan, saya? Sesuatu ini, yang semakin hari semakin membuat saya muak adalah sesuatu yang sakral, Gan! Akan tetapi juga bisa menjadi malapetaka. Dan yang lebih parah, hingga malam ini, sesuatu itu menjadi mutlak yang ingin saya persalahkan setiap waktu. Dia lah penyebab utama kegelisahan saya, atau orang-orang yang seperti saya ini. Semoga saja kau tidak seperti saya, jadi tidak perlu repot- repot mengangguk membenarkan apa yang saya utarakan, menyumpahi sesuatu yang memuakkan itu. Sesuatu ini yang membuat semua yang ma- pan menjadi tumbang dengan mudah, yang mem- buat aturan dan kesepakatan di dalam masyarakat bergejolak dengan dahsyat, bahkan beberapa ele- men dari mereka mulai melancarkan aksi protes dengan ganas. Karena sesuatu ini terjadi konflik berkepanjangan. Karena sesuatu ini, bahkan seo- rang Pemimpin sekaliber Soekarno pun, kehilan- gan sebuah kepercayaan dan kekaguman dari mereka-mereka yang membaca sejarah (setidaknya, inilah kenyataan yang saya temui dalam beberapa seminar tentang sebuah pergera- kan). Bah, pantas saja orang-orang yang memiliki kesombongan tingkat tinggi karena obsesi kesem- purnaan di dalam dirinya bisa dikenal sampai sekarang. Mereka terlihat begitu agung, karena tidak bersentuhan dengan sesuatu ini, yang mem- buat mereka tidak kelihatan cacat, meskipun se- Hah, saya merinding dan mendecakkan lidah ketika membayangkan sesuatu ini! Kau tahu apa? Sesuatu yang dianggap spektakuler oleh mereka yang mengerti tentang art. Katanya, sih, begitu, Gan! Akan tetapi ketika temanku berseru tentang "tegangan" di antara para lelaki, "tegangan" yang menjadi kunci penting untuk menjelaskan apa itu sesungguhnya seni, orang-orang, yang berbeda dengan saya ini, malah memikirkan hal yang berbeda. Dan yang menjadi tegang juga hal yang berbeda. Cih! SesuatuManshur Zikri1
  • 22. 22 JURNALASTINA cara jelas dan nyata mereka menyatakan tidak mengakui agama. Aaargh, semakin saya memikirkannya, semakin muak rasanya! Kalau saja komputer ini bukan barang yang punya harga, mungkin sudah saya banting sedari tadi. Saya akan membuat sebuah kehebohan di tempat tinggal saya ini. Seperti orang gila. Memang tidak bisa, Gan! Dilihat dari sudut padang mana pun, sesuatu itu menjadi hal yang paling tidak menyenangkan. Kalau saja kau sudah memiliki pemikiran yang sama persis dangan saya, kau pasti akan memiliki rasa kekecewaan yang mendalam ketika kau men- yaksikannya sendiri. Pribadi yang penuh konflik, keyakinan yang penuh konflik, masyarakat yang penuh konflik, sistem yang penuh konflik, bahkan kehidupan yang penuh konflik, disebabkan hanya karena sesuatu ini. Memang sial, sesuatu itu! Sesuatu itu juga menimpa saya beberapa waktu yang lalu, Gan! Juga tidak tahu bagaimana dengan waktu-waktu yang nanti. Oleh karena itu saya semakin muak saja dengan sesuatu itu. Kau tahu, karena ulah sesuatu itu, orang-orang yang sempat saya kagumi dengan berbagai kelebihan dan intelektualitasnya, terpaksa saya coret dalam daftar role model ketika saya ketahui bahwa tern- yata dia menyenangi sesuatu itu (ya tentu be- berapa dari mereka, tidak semua orang yang saya kagumi terkena sesuatu itu). Ah, parah! Dasar se- suatu sialan! Yang menjadi masalah adalah, yang menyebabkan saya tidak bisa mengingkari akan kehadiran sesuatu ini, adalah dia merupakan bagian kodrat dari manusia yang paling penting. Sedangkan saya mengagungkan kodrat manusia yang memiliki cacat itu. Tidak bisa, walau bagai- mana pun, kita tetaplah manusia. Manusia tetap manusia. Namun, mengapa harus ada sesuatu ini, yang terus bersarang di dalam lubuk hati manusia yang paling dalam? Sayangnya saya tidak bisa menjadi malai- kat. Kalau kita ingin berubah bentuk dari manusia, sesungguhnya kita bisa. Sangat gampang sekali. Akan tetapi kita hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi setan. Dan tahukah kau bahwa setan adalah pangkal dari sesuatu itu. Karena setan juga penuh dengan konflik, yang juga merupakan sifat dari sesuatu itu. Tak usah lah kau berkilah-kilah dan mengatakan berbagai argumen kepada saya. Sehebat apa pun kau melakukan pembenaran, baik secara ilmiah, falsafi, dan logika, sesuatu itu telah mutlak menjadi hal yang paling saya benci (paling tidak malam ini). Sesuatu itu, di satu saat bisa membuat kita melayang jauh tinggi ke awan. Akan tetapi juga bisa membuat kita jatuh seketika. Apakah saya membencinya karena sesuatu itu menimpa saya, dan karenanya saya mendapatkan kerugian? Bu- kan, sama sekali bukan karena itu. Saya secara sa- dar (ah, lagi-lagi kesadaran. Terlalu menyesatkan kesadaran yang berlebih-lebih itu. Namun saya memang memiliki kesadaran yang juga memuak- kan ini), ya, secara sadar saya telah memberikan sebuah nilai bahwa sesuatu itu adalah hal yang pal- ing memuakkan. Hei, hei, hei! Kau jangan merusak tulisan saya ini, Gan! Saya bukan sedang memba- has tentang cinta. Sesuatu itu, yang saya perma- salahkan sedari tadi itu, bukan cinta. Cinta itu, mah, soal lain. Mungkin akan lebih menarik ketika kau perbincangkan hal ini dengan orang- orang yang sedang galau di kampus UI. Sekali lagi saya tegaskan, sesuatu itu bukan cinta. (kemudian saya tertawa) Ini sesuatu, Men! Sesuatu! Perlukan saya menuliskan namanya dengan huruf yang be- sar-besar: SESUATU. Dia penuh dengan misteri. Kata orang, banyak makna yang bisa dibedah dari sesuatu itu. Dia imajinatif, bayangan, khayal, mimpi, tetapi juga nyata. Bisa kau rasakan. Ketika
  • 23. JURNALASTINA 23 tersentuh, kau merasakan kenikmatan yang begitu hebat. Akan tetapi dia tetap lah sesuatu, yang ketika kau melihatnya secara gamblang --- dengan syarat kau memiliki pemikiran yang sama dengan saya --- dia menjadi hal yang paling tidak ingin kau lihat. Karena apa? Karena ketika kau membayang- kan dirimulah yang berada di titik sesuatu itu --- yang disentuh sesuatu itu --- melihat mimik wa- jahmu, kau akan merasakan mual di perut dan se- ketika akan segera muntah, muntah darah, mung- kin. Sesuatu itu selalu membuat saya mengge- lengkan kepala ketika usai melihat hal-hal di balik layar kaca, layar udara, layar kehidupan, karena menyadari bahwa semuanya akan rusak karena sesuatu itu. "Percuma saja, pasti akan menjadi bu- ruk ketika sesuatu itu ikut serta menghiasi ini!" saya berujar dalam hati. Sesuatu... sesuatu... Bah! Saya kehabisan kata-kata karena sesuatu ini kem- bali menyerang saya! Sialaaaaaaaaaaan! "Ah, se- suatu, kau memang bangsat! Dari mana saja kau? Apa yang kau lakukan sedari tadi? Oh, tidak-tidak, tulisan ini bukan apa-apa, hanya iseng sambil menanti kedatanganmu. Eh, tak perlu kau baca, nanti kau tersinggung pula dan mendampar saya karena tulisan ini! Eit, eit, eit, jangan dilihat. Saya merasa malu karena, ng... saya sedikit membahas tentang dirimu! Hayolah, lebih baik kita ber- cengkrama seperti biasa, seperti yang kau inginkan. Bukan kah itu lebih seru dan lebih menarik?" ("Anjing, kau , sesuatu! Lihat saja, suatu saat nanti, kau akan saya musnahkan dari muka bumi ini!" saya berkata dalam hati. Ini rahasia antara kita saja, jangan sekali-sekali kau adukan kepada sesuatu. Biarkan sesuatu tidak mengeta- huinya. Kalau dia tahu, umat manusia akan ter- timpa bencana! Kalau Agan tetap berinisiatif ingin memberitahukan sesuatu, maka kau yang akan saya musnahkan terlebih dahulu, sebelum sesuatu itu.) 1Mahasiswa Kriminologi UI, dan penggiat Akumassa di Forum Lenteng.
  • 24. 24 JURNALASTINA Motor X-Tra 26 Serves you with the best *Wash *Services *Spare parts 10x cuci = 1x cuci gratis 5x servis = 1x servis 1/2 harga