1. DEFINISI PENJAHAT DAN TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN
Sutherland menyatakan a person who commits a crime (seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan),
Istilah penjahat tidak ada dalam hukum pidana, penjahat istilah dalam ilmu sosil (kriminologi) sedangkan
dalam hukum pidana istilah tersebut sesuai dengan tingkatannya, tersangka kalau perkaranya masih di
tingkat penyidikan, terdakwa apabila telah sampai ke persidangan dan jaksa penuntut umum telah
mendakwanya dengan suatu pasal, terpidana apabila hakim berpendapat ia bersalah dan cukup alat bukti
untuk membuktikan kesalahannya, dan narapidana apabila ia menjalani pidananya di lembaga
pemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan “asas pruduga tak bersalah”sehingga apabila belum ada putusan
yang in kracht yang bersangkutan belum bisa dinyatakan sebagai orang yang melakukan perbuatan
kejahatan
Lombroso menyatakan penjahat adalah seorang yang dapat dilihat dari penelitian bagian badan dengan
pengukuran antropometris, pendapat ini ditolak Vollmer, penjahat adalah orang yang dilahirkan tolol dan
tidak mempunyai kesempatan untuk merubah tingkah laku anti sosial, ini juga ditolak Parsons menyatakan
penjahat adalah orang yang mengancam kehidupan dan kebahagiaan orang lain dan membebankan
kepentingan ekonominya.
Mabel Elliot penjahat adalah orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan dirinyadengan norma-norma
masyarakat sehingga
tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.
Hari Saheroedji menyimpulkan semua defenisi tersebut bahwa penjahat adalah orang yang berkelakukan
anti sosial, bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan dan agama serta merugikan dan
mengganggu ketertiban umum.
GW Bawengan yang dikutip dari Ruth Shonle Cavan tediri dari:
1. The casual offender, pelanggaran kecil sehingga tidak bisa disebut penjahat seperti naik sepeda tidak
pakai lampu di malam hari
2. The occasiona criminal, kejahatan enteng
3. The episodic criminal, kejahatan karena dorongan emosi yang hebat, awalnya bercanda akhirnya karena
tersinggung membunuh
4. The white collar crime, menurut Sutherland adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat
dalam hubungan dengan fungsinya.Menurut Ruth S.Cavan mereka kebal dengan hukum karena punya
kekuasaan dan kemampuan materil
5. The habitual criminal, yang mengulangi kejahatan(residivis)
6. The profesional criminal, kejahatan sebagai mata pencaharian dan mengeai delik ekonomi atau yang
berlatar perekonomian
7. Organized crime, kejahatan dengan suatu organisasi dengan organisator yang mengatur operasi kejahatan
8. The mentally abnormal criminal, menurut Cavan seperti golongan psychopatis dan psychotis
9. The nonmalicious criminal, kejahatan yang mempunyai arti relatif, karena ada sebagian bagi kelompok
lain itu bukan merupakan kejahatan seperti bugil dalam suatu ritual kepercayaan itu perbuatan suci bagi
kelompok lain ini merupakan kejahatan
Sejarah Perkembangan Akal Pemikiran Manusia yang menjadi Dasar Dibangunnya Teori-teori Kriminologi
1. Spritualisme bahwa segala kebaikan bersumber dari Tuhan dan segala keburukan datang dari setan,
orang yag melakukan kejahatan
dianggap sebagai orang yaang telahterkena bujukan setan. Bencana alam dipandang sebagai hukuman atas
pelanggaran norma
2.Naturalisme
Perkembangan paham rasionalis muncul dari ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia
mencari model penjelasan lain yang lebih rasionil dan mampu dibuktikan secara ilmiah, lahirnya
rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang kejahatan pada abad
selanjutnya
3.Aliran klasik
2. Dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will) Dalam bertingkah laku
manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya
(Hedonisme) atau manusia dalam berprilaku dipandu oleh 2 hal yaitu penderitaan dan Kesenangan.
Pemikiran ini mendasari L Beccaria menuntut adanya persamaan dihadapan hukum bagi semua orang dan
hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan perbuatan/kelakuan.
Pembaharuan dari aliran klasik karena tidak ada keadilan misal anak-anak di hukum,orang gila di hukum
maka aliran neo klasik aspek kondisi pelaku sudah mulai diperhitungkan.
3.AliranPositif Dibagi atas 2 pandangan:
1. Determinisme Biologis yaitu teori yang mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya
tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.
2. Determinisme Cultural yaitu teori yang mendasari pemikirannya pada pengaruh sosial, budaya dan
lingkungan dimana seseorang hidup.
4. Teori anomi, teori yang mencari sebab kejahatan dari sosio-kultural dengan berorientasi pada kelas sosia.
Emile Durkheim orang yang pertama kali menggunakan istilah anomi untuk
menggambarkan keadaan yang disebut Deregulation di dalam masyarakat (hancurnya keteraturan sosial
akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai).
Robert Merton juga penganut Anomi tapi berbeda dengan Durkheim yaitu teorinya membagi norma sosial
menjadi 2 jenis yakni tujuan sosial (Societal goals) dan sarana yang tersedia (Accept talk
means) untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana yang dipergunakan. Tapi dalam kenyataannya tidak
semua orang dapat
menggunakan sarana yang tersedia sehingga digunakan berbagai cara untuk mendapatkan hal itu yang
menimbulkan penyimpangan dalam mencapai tujuan, Yaitu teori yang bersifat kongkrit yang berusaha
menjelaskan bagaimana seorang menjadi jahat. Terkenal dengan Teori sosial kontrol yang memulai
pertanyaan mengapa oang mentaati norma atau tidak semua orang melanggar hukum. Jawabannya karena
orang mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan
mereka. Mereka menjadi kriinil ketika kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang.
Menurut Travis Hirchi dengan perfectif micro sosiological studies (social bond) ikatan sosial ada 4:
1. Attachment dibagi menjadi attachment total dan attachment partial.
Attachment total yaitu suatu keadaan dimana seseorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya
diganti dengan rasa kebersamaan, rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu
mentaati hukum karena melanggar berarti menyakiti
perasaan orang lain.
Attachment partial yaitu suatu hubungan antara seorang individu dengan lainnya dimana hubungan tersebut
tidak didasarkan pada
peleburan ego dengan ego yang lain tapi hadirnya orang
lain yang mengawasi.
Dari 2 hal itu dapat diketahui bahwa attachment total akan
mencegah hasrat seseorang melakukan deviasi sedangkan attachment partial hanya menimbulkan
kepatuhan bila ada orang lain yang mengawasi bila tidak ada maka terjadi deviasi.
2. Comitment
Yaitu keterikatan seseorang pada sub sistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan
sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan. Segala kegiatan yang dilakukan
bermanfaat bagi ikatan tersebut bisa berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya
3. Involvement
Merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem konvensional. Jika seseorang berperan aktif dalam
organisasi kecil
kemungkinan terkena deviasi. Logikanya mreka menghabiskan waktu dan tenaga dalam kegiatan tersebut.
Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan dan berbuat yang melanggar hukum
3. 4. Beliefs
Merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, yang merupakan kepercayaan seseorang pada
nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan terhadap norma atau agama akan menyebabkan orang patuh pada
norma tersebut
Bridging Teori
Merupakan teori yang menengahi antara makro dengan
mikro teori.Terdiri atas:
Teori sub kultur adalah suatu sub bagian budaya diantara budaya dominan dalam masyarakat yang
memiliki norma-norma, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilainya sendiri. Sub kultur timbul ketika sejumlah
orang dalam keadaan serupa mendapati diri mereka terpisah dari masyarakat banyak dan kemudian secra
bersama saling mendukung. Sub kultur bisa orang se suku,bangsa minoritas, penghuni penjara, kelompok
profesi dan sebagainya
a. Deliquent Sub Cultur
Albert Cohen melalui suatu penelitian menyatakan bahwa perilaku deliquen lebih banyak terjadi pada laki-
laki kelas bawah (lower class) dan mereka lebih banyak membentuk geng, tidak terdapat alasa yang
rasional bagi deliquen sub kultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan), mencari kesenangan
dengan menibulkan kegelisahan pada orang lain juga meremehkan nilai-nilai kelas menengah
b. Teori Differential Opportunity
Ricard Cloward dan Llloyd Ohlin mengkobinasikan teori strain, differential asociation dan social
disorganization. Dimana delinquent sub culture tumbuh subur di daerah-daerah kelas bawah dan
mengambil bentuk tertentu yang mereka lakukan karena kesempatan untuk mendapatkan ukses secara tidak
lebih tersebar secara merata dibanding kesempakatan untuk meraih sukses secara sah.
di 09:06
Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak
mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan lain-lain).
Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori utama. Perpektif patologi
sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan
kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para psikolog
dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan
fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan
teoritis dalam mengkaji penyimpangan.
Teori-Teori Sosiologi tentang Perilaku Menyimpang
Teori anomi adalah teori struktural tentang penyimpangan yang paling penting selama lebih dari lima puluh
tahun. Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab
penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk
mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus
menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian
besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara orang atau kelompok
lainnya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena
ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan
daripada kelompok lainnya.
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu
dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu.
Pembelajaran itu mungkin tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat
hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang
menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu. Teori Differential
Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun
4. teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam
bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan
mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat
secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini daripada teori lainnya, seperti beberapa
teori yang akan dibahas pada Bab berikutnya.
Teori Labeling
Teori-teori umum tentang penyimpangan mencoba menjelaskan semua bentuk penyimpangan. Tetapi teori-
teori terbatas lebih mempunyai lingkup penjelasan yang terbatas. Beberapa teori terbatas adalah untuk jenis
penyimpangan tertentu saja, atau untuk bentuk substantif penyimpangan tertentu (seperti alkoholisme dan
bunuh diri), atau dibatasi untuk menjelaskan tindakan menyimpang bukan perilaku menyimpang. Dalam
bab ini perpektif-perpektif labeling, kontrol dan konflik adalah contoh-contoh teori-teori terbatas yang
didiskusikan.
Perspektif labeling mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkonsentrasi pada konsekuensi
interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan
kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang
masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian
stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam
mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang
tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian
sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Teori Kontrol
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini
meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau
macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah)
cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang
merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan
kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas
untuk menyimpang.
Teori Konflik
Teori konflik adalah pendekatan terhadap penyimpangan yang paling banyak diaplikasikan kepada
kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Ia adalah teori
penjelasan norma, peraturan dan hukum daripada penjelasan perilaku yang dianggap melanggar peraturan.
Peraturan datang dari individu dan kelompok yang mempunyai kekuasaan yang mempengaruhi dan
memotong kebijakan publik melalui hukum. Kelompok-kelompok elit menggunakan pengaruhnya terhadap
isi hukum dan proses pelaksanaan sistem peradilan pidana. Norma sosial lainnya mengikuti pola berikut
ini. Beberapa kelompok yang sangat berkuasa membuat norma mereka menjadi dominan, misalnya norma
yang menganjurkan hubungan heteroseksual, tidak kecanduan minuman keras, menghindari bunuh diri
karena alasan moral dan agama.
Homoseksualitas menyangkut orientasi dan perilaku seksual. Perilaku homoseksual adalah hubungan seks
antara orang yang berjenis kelamin sama. Orientasi homoseksual adalah sikap atau perasaan ketertarikan
seseorang pada orang lain dengan jenis kelamin yang sama untuk tujuan kepuasan seksual. Lebih banyak
perilaku homoseksual dibandingkan orang yang memiliki orientasi homoseksual. Norma dan aturan hukum
yang melarang homoseksualitas dianggap kuno, di mana opini masyarakat akhir-akhir ini lebih bisa
menerima homoseksualitas.
Perkembangan suatu orientasi homoseksualitas terjadi dalam konteks biologis. Tetapi makna sesungguhnya
dari orientasi tersebut berada dalam proses sosialisasi seksual dan penerimaan serta indentifikasi peran
5. seks. Sosialisasi seksual adalah suatu proses yang kompleks yang dimulai dari belajar norma. Norma-
norma seksual mengidentivikasi objek seksual, waktu, tempat dan situasi. Banyak kombinasi yang mungkin
dapat terjadi dan termasuk terjadinya kesalahan dalam sosialisasi. Preferensi seksual terbentuk saat masa
remaja, walaupun banyak juga para homoseksual yang menjadi homoseksual di usia yang lebih tua.
Penerimaan identifas homoseksual terjadi setelah suatu proses peningkatan aktivitas homoseksual dan
partisipasi dalam suatu subkebudayaan homoseksual atau komunikasi homoseksual. Secara sosiologis,
seorang homoseksual adalah orang yang memiliki identitas homoseksual.
Homoseksualitas Perempuan (Lesbianisme)
Lesbianisme, sama dengan homoseksual pada laki-laki, terjadi melalui penerimaan orientasi seksual
lesbian. Lesbian lebih cenderung membangun orientasi seksualnya dalam konteks hubungan pertemanan
dengan perempuan lainnya. Hubungan seks antara lesbian, terjadi dalam konteks berjalannya hubungan
sosial dengan perempuan lain. Hubungan antara para lesbian umumnya berlangsung dalam jangka waktu
lama, bukan berarti para homoseks tidak membangun hubungan seperti ini. Namun lesbian lebih cenderung
selektif dalam memilih pasangan seks dan tidak banyak terlibat dalam subkebudayaan lesbian. Karena
lesbianisme ini lebih bersifat pribadi dan rahasia, para lesbian tidak banyak mendapat ancaman dari stigma
sosial atau hukum. Perilaku dan orientasi seksual mereka tidak begitu nyata bagi orang lain. Dan karena
alasan ini, para lesbian tidak banyak membutuhkan dukungan suasana subkebudayaan lesbian.
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan
Penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan
secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus
didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
Tingkat Kriminalitas
Pendekatan Integral
Jenis-jenis tindak krlminal yang terjadi di sepanjang tahun 2007 di atas
merupakan tindak pidana yang umumnya juga terjadi di daerah-daerah lain. Dalam
kebijakan kriminal (criminal policy), upaya penanggulangan dan pencegahan
kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana
penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana melalui kebijakan hukum
pidana. Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa
kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain.
Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan ini memerlukan pendekatan
integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana
dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu komplek yang terjadi
dimasyarakat.
Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya bersifat Kurieren
am Symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya
kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat
dari penyakit dan bukan sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab
terjadinya penyakit.
Hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas dalam upaya penanggulangan
kejahatan yang begitu beragam dan kompleks. Berkaitan dengan kelemahan
penggunaan hukum pidana, Roeslan Saleh menyatakan bahwa "keragu-raguan
masyarakat terhadap hukum pidana semakin besar sehubungan dengan praktek
penyelenggaraan hukum pidana yang terlalu normatif-sistematis.
Adapun batas-batas kemampuan hukum piclana sebagai sarana kebijakan kriminal
dalam penanggulangan kejahatan adalah pertama, sebab-sebab kejahatan yang
demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana; kedua, hukum pidana
hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak
mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan clan
kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis,
6. sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dsb); tiga, penggunaan hukum
piclana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan "kurieren am symptom",
oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan "pengobatan simptomatik" clan
bukan pengobatan kausatif'; empat, sanksi hukum piclana merupakan "remedium"
yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal clan mengandung unsur-unsur serta
efek sampingan yang negatif; lima, sistem pemidanaan bersifat fragmentair clan
individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional; enam, keterbatasan
jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku clan
imperatif; clan tujuh, bekerjanyalberfungsinya hukum pidana memerlukan sarana
pendukung yang lebih bervariasi clan lebih menuntut biaya tinggi.
Pendekatan dengan sarana non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime
prevention) yang sangat luas. Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan
tujuan utama dari kebijakan kriminal. Pernyataan yang sering diungkapkan dalam
kongres-kongres PBB mengenai "the prevention of crime and the treatment of
offenders", yaitu : pertama, pencegahan kejahatan clan peradilan plclana
janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem yang terisolir clan ditangani
dengan metode yang simplistik clan fragmentair, tetapi seyogyanya dilihat
sebagai masalah yang lebih kompleks clan ditangani dengan kebijakan/tindakan
yang luas clan menyeluruh; kedua, pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya
kejahatan.
Upaya penghapusan sebab-sebab clan kondisi-kondisi yang demikian harus
merupakan "strategi pokoklmendasar dalam upaya pencegahan kejahatan" (the basic
crime prevention strategy); tiga, penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara
ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,
standar hidup yang rendah, pengangguran dan hubungannya dengan pembangunan
ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosio kultural dan perubahan masyarakat,
juga dalam hubungannya dengan tata ekonomi dunia/internasional baru.
Berdasarkan pernyataan dalam kongres PBB di atas, terlihat bahwa kebijakan
penanggulangan kejahatan tidak hanya akan menyembuhkan atau membina para
terpidana (penjahat) saja, tetapi penanggulangan kejahatan dilakukan juga
dengan upaya penyembuhan masyarakat, yaitu dengan menghapuskan sebab-sebab
maupun kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya kejahatan.
Perlunya Kesadaran hukum
Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan
pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal
tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum.
Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa
budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja.
Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha,
parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena
pihak yang dianggap paling tabu hukum dan wajib menegakkannya, justru
oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang
masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi "tauladan bagi masyarakat"
dalam mematuhi dan menegakkan hukum.
Kejahatan merupakan produk dari masyarakat, sehingga apabila kesadaran hukum
telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya upaya strategis
melalui kolaborasi antara sarana penal dan non penal, maka dengan sendiri
tingkat kriminalitas akan turun, sehingga tujuan akhir politik kriminal, yaitu
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan