Paragraf pertama menjelaskan tentang peran gender dalam masyarakat dan bagaimana peran tersebut dibentuk oleh norma sosial dan budaya. Paragraf berikutnya menjelaskan tentang pembedaan peran gender dalam aktivitas domestik dan publik serta bagaimana hal itu memicu ketidakadilan gender terhadap perempuan. Paragraf terakhir menyimpulkan bahwa meskipun peran gender dapat berubah, perubahan tersebut sulit dilakukan karena diang
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peran Gender dalam Masyarakat
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan, kedudukan, tanggung
jawab dan hak perilaku, baik perempuan, maupun laki-laki yang dibentuk, dibuat,
dan disosialisasikan oleh norma, adat kebiasaan dan kepercayaan masyarakat
setempat. Dalam kaitan ini, konsep gender berhubungan dengan peran dan tugas
yang pantas atau tidak pantas, baik untuk laki-laki, maupun perempuan. Perbedaan
ini seringkali memicu ketidakadilan gender, terutama bagi kaum perempuan.1
Pembedaan itu menyangkut peran dan tugas di lingkup publik maupun
domestik. Misalnya, pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, menyapu dan
mencuci dianggap pantas dilakukan oleh perempuan. Jika ada kaum laki-laki yang
melakukannya maka akan dianggap sebagai penyimpangan peran gender. Sementara
itu pekerja memperbaiki genteng, membersihkan pohon dan ikut rapat dianggap
pantas dilakukan oleh kaum laki-laki, jika ada perempuan yang terlibat dianggap
sebagai melampaui peran gender.
Peran gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat atau
kelompok sosial yang mengkondisikan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan,
tugas-tugas atau tanggung jawab yang patut diterima atau pantas bagi keduanya.
Peran ini tidak didapat begitu saja, tetapi merupakan hasil belajar secara turun
1
Lihat, Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1996), 3-22.
6
2. 7
temurun yang kemudian dianggap sebagai tradisi atau kebiasaan. Ketika peran
gender ini sudah menjadi tradisi setempat, maka sulit untuk dirubah.
Tidak seperti kodrat, peran gender itu sesuatu yang dapat berubah. Misalnya
dulu sangat tidak mungkin menemukan perempuan bekerja, namun sekarang tidak
jamannya lagi perempuan tidak bekerja. Lagi pula peran yang secara tradisional
dianggap layak bagi perempuan seperti memasak, mencuci dan menyapu, pada
dasarnya dapat dilakukan juga oleh kaum laki-laki. Artinya, peran gender ini sesuatu
yang memang dapat disepakati untuk dirubah.
Selain faktor tradisi, peran gender juga dipengaruhi oleh umur, kelas, ras,
etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Misalnya lingkungan
geografis dataran, akan membentuk komunitas petani yang membagi peran gender
yaitu perempuan terlibat dalam pemeliharaan ladang, sementara laki-laki terlibat
dalam pembukaan lahan ladang. Demikian juga dalam sektor ekonomi, usaha
produktif perempuan biasanya dianggap layak berjualan sayur, dan laki-laki
dianggap layak bisnis perumahan.2
Dalam kenyataannya, baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran
ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur
reproduksi, produksi dan kemasyarakatan. Atau yang dikenal dengan peran ganda
antara lingkup domestik dan publik. Sementara, laki-laki lebih terfokus pada perang
mengatur produksi dan politik kemasyarakatan, yakni peran publik yang berkaitan
2
Lih. Dalam Kris Budiman, “Perempuan dalam Rumah Ber(Tangga) dalam, Dr, Irwan
Abdullah (ed), Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 2003),
139-151.
3. 8
dengan pencari nafkah dan akses kekuasaan publik. Kondisi pembagian peran ini
kemudian disebut dengan division of labor.3
Diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan bukan
disebabkan oleh adanya perbedaan biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor
sosial budaya. Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dapat berubah-ubah dalam
waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan
mungkin dapat dipertukarkan.4 Namun dalam pelaksanaannya, peran gender ini sulit
sekali mengalami pertukaran karena dianggap sebagai tradisi yang dianggap sebagai
perilaku normal atas laki-laki dan perempuan.
2.2. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Partisipasi Perempuan
Sumber daya alam adalah sumber kehidupan, tanpa itu manusia tidak dapat
hidup. Karena itu, maka dalam sepanjang sejarah manusia terjadi perebutan sumber
daya alam, baik antar generasi maupun antar kelompok sosial. Perebutan SDA ini
tentu saja berhubungan dengan kepentingan untuk bertahan hidup dari sebuah
generasi. Dalam perebutan kepentingan ini seringkali dapat menimbulkan
ketidakadilan pada salah satu pihak.
Gender sangat berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, karena
didalamnya terkait dengan persoalan hubungan peran antara laki-laki dan perempuan.
Terdapat pola pembedaan peran gender dalam masyarakat sehubungan dengan
3
Muhadjir Darwin, Prolog: Maskulinitas: Posisi Laki-laki dalam masyarakat Patriarkhi,
dalam Menggugat Budaya Patriarkhi (Yogyakarta : PPK UGM dan Ford Fondation, 2001) 23-34.
4
JURNAL STUDI GENDER & ANAK YINYANG, Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 (Pusat Studi
Gender STAIN Purwokerto) ISSN: 1907-2791, hlm 17-34
4. 9
pengelolaan SDA ini, misalnya perempuan mencari hasil hutan untuk makanan dan
obat-obatan dan kaum laki-laki pergi berburu dan memancing untuk makanan. 5
Sumber daya alam sangat penting dalam kehidupan manusia, bahwa cara
manusia mengelola alam menjadi dasar berkembangnya budaya suatu masyarakat.
Karena dalam cara manusia mengelola SDA terdapat suatu proses penyesuaian diri
manusia, sehingga akhirnya menciptakan suatu budaya. Misalnya saja dalam pola
pengelolaan pangan, kebudayaan manusia mengenal cara perladangan dan
persawahan, dua pola yang merupakan hasil bentukan pengetahuan manusia
berhadapan dengan alam lingkungannya. 6 Sehingga, pengetahuan masyarakat
merupakan hasil belajar dari generasi sebelumnya.
Dalam masyarakat tradisional, SDA dimanfaatkan untuk memperoleh hasil
alamnya. Penduduk memetik hasil hutan, seperti rotan, madu, hewan dan lain-lain.
Namun, seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, pengelolaan SDA
mengalami pembentukan siklus tertentu yang menghasilkan pembagian peran gender
di dalamnya. Dalam perladangan misalnya ada yang bertugas menebang, ada yang
bertugas menanam dan ada yang bertugas menyiangi dan memanen. Siklus ini
akhirnya membentuk sebuah sistem pengelolaan dan pengusaan terhadap SDA alam
tersebut.
Pembedaan peran ini akhirnya membentuk sebuah konstruksi sosial budaya
yang mengkondisikan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan, tugas-tugas atau
tanggung jawab yang patut diterima atau pantas bagi keduanya. Biasanya kegiatan
yang menghasilkan uang dan barang atau kegiatan produktif, dianggap pantas
5
Simatauw, Meentje, dkk, Gender dan Perngelolaan Sumber Sumber Daya Alam:, Sebuah
Panduan Analisis, Jogjakarta: Galang Printika, 2001, 12-15
6
Ibid
5. 10
dilakukan oleh kaum laki-laki, sementara kegiatan merawat SDA dan memelihara
rumah atau kegiatan reproduktif dianggap pantas bagi kaum perempuan.
Pengkondisian peran antara perempuan dan laki-laki ini kemudian membentuk yang
disebut aktivitas peran gender.
Selanjutnya, dalam masyarakat aktifitas peran gender ini menciptakan kondisi
akses dan kontrol yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Akses lakilaki dalam kegiatan publik atau politik masyarakat seperti pengambilan keputusan
lebih besar dibandingkan perempuan. Demikian juga, kontrol terhadap pengelolaan
dan pemanfaatan SDA lebih diarahkan pada keputusan kaum laki-laki dibandingkan
pada kaum perempuan.
Sehingga partisipasi perempuan dalam pengelolaan dan penguasaan SDA
lebih lemah dibandingkan laki-laki. Misalnya saja hak kepemilikan atas tanah,
umumnya diberikan atas nama laki-laki, dan hak warisnya pun umumnya diberikan
kepada laki-laki. Kondisi di atas menyebabkan posisi tawar perempuan menjadi
sangat lemah, terlihat dalam kenyataan bahwa pendapat perempuan umumnya kurang
dihargai dibandingkan pendapat laki-laki. Hal ini terjadi akibat ketimpangan relasi
gender dalam masyarakat yang umumnya tidak dianggap sebagai sebuah bentuk
ketidakadilan sosial.
Relasi gender yang timpang disebabkan oleh banyak faktor, misalnya agama
dan kepercayaan, sistem hukum dan lembaga politik, sistem ekonomi dan sistem
pendidikan serta pengetahuan masyarakat. Dalam kenyataannya, perempuan lebih
banyak menerima perlakuan tidak adil dibandingkan laki-laki. Salah satu bentuk
ketidakadilan terhadap perempuan adalah marginalisasi ekonomi. Marginalisasi
6. 11
ekonomi terhadap perempuan ini terlihat dalam lemahnya kesempatan perempuan
terhadap sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit dan pasar.
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum perempuan terlihat berkerja di kebun dan
sawah, namun hasil pekerjaan dan pemanfaatannya ada dalam keputusan kaum lakilaki sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap hasil
kerjanya sendiri atau yang disebut dengan subordinasi terhadap perempuan.
Subordinasi ini menyebabkan terjadinya banyak kasus kekerasan ekonomi terhadap
perempuan.
Jadi jelas bahwa perempuan bersama laki-laki berbagi peran dalam
pengelolaan SDA, seperti hutan dan tanah. Partisipasi perempuan biasanya
berhubungan dengan aktivitas reproduktif seperti memelihara dan merawat.
Sementara partisipasi laki-laki bisanya berhubungan dengan aktivitas produktif
seperti menjual dan menghasilkan uang atau barang. Peran gender di atas
menyebabkan perbedaan akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki. Bahwa
akses dan kontrol laki-laki terhadap pengelolaan alam dan pemanfaatannya lebih
besar dibandingkan perempuan.
2.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi Petani-Penyadap Karet
Kepulauan Indonesia berkenalan dengan karet sebagai komoditas usaha
rakyat memiliki sejarah yang berkaitan dengan pemerintah kolonial Belanda. Krisis
tembakau dan kopi tahun 1864, menyebabkan karet menjadi komoditas andalan di
Indonesia. Perkebunan karet milik pemerintah Hindia Belanda, pertama kali dibuka
di daerah Pamanukan dan Ciasem (Jawa Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda.
7. 12
Selanjutnya,
Tahun
1893,
pemerintah
Hindia
Belanda
pertama
kalinya
memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah Indragiri.
Sebenarnya, perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat sudah terlebih dahulu
dikenal masyarakat, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Petani mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari pedagang-pedagang
Cina yang membeli produksi karet-rakyat. Karena itu tanaman karet dapat dikatakan
sebagai produk budaya adopsi akibat perjumpaan dagang dengan Cina.7
Sekarang ini, Negara Indonesia merupakan negara produsen karet alam
terbesar dunia, setelah Thailand dan Malaysia. Setidaknya, Indonesia memberikan
kontribusi sebesar 26% dari total produksi karet alam dunia. Kecenderungan
membaiknya harga karet alam pada beberapa tahun terakhir, diproyeksikan hingga
tahun 2020 konsumsi karet alam dunia akan terus mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 2,6 persen per tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pendapatan,
perekonomian negara berkembang khususnya pada negara-negara dengan populasi
penduduk yang besar seperti China.
Pada tahun 1999, China membutuhkan karet alam sebesar 852 ribu ton dan
pada tahun 2004 meningkat menjadi sebesar 1.630 ribu ton atau peningkatan sebesar
91 %. Diperkirakan sampai dengan tahun 2010 kebutuhan karet alam China akan meningkat
sebesar 7% setiap tahunnya. Hal ini memberikan peluang besar terhadap berkelanjutannya
usaha produktifitas karet hutan atau karet rakyat.
Peranan karet dan hutan karet dalam mendukung pengembangan industri
tersebut selain akan berdampak pada aspek perekonomian masyarakat juga
7
Ikin Sadikin Dan Rudi Irawan, Dampak Pembangunan Perkebunan Karet-Rakyat Terhadap
Kehidupan Petani Di Riau, http://ejournal.unud.ac.id/Abstrak/(5) Soca-Ikin-Sadikin-Dampak-PembPerkbn(1).Pdf
8. 13
berimplikasi terhadap aspek sosial melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja yang
bergerak dibidang industri olahan berbasis karet dan kayu serta secara ekologis
mendukung terwujudnya pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, serta berperan
mengurangi laju konversi hutan alam. 8
Oleh sebab itu, maka pemerintah Indonesia melakukan program revitalisasi
perkebunan, salah satunya peningkatan produksi dan mutu dari komoditas karet rakyat.
Sejalan dengan itu, Provinsi Kalimantan Tengah dalam Program Prioritas
Pembangunan melakukan peningkatan Ekonomi Kerakyatan, diantaranya melalui
pengembangan perkebunan untuk kemakmuran rakyat.
Pembangunan perkebunan di Kalimantan Tengah dilakukan melalui
pendekatan sistem dan usaha agribisnis terpadu, berkelanjutan melalui perkebunan
rakyat dan perkebunan besar sebagaimana tertuang dalam visi dan misi
pembangunan perkebunan Kalimantan Tengah sampai 2010.
Potensi produksi karet di Kalimantan Tengah cukup besar yaitu 254,735,64
ton karet kering tahun 2008. Sementara, pabrik Crumb Rubber yang ada belum
mampu menampung hasil karet yang ada sehingga masih ada peluang investasi untuk
pembangunan Pabrik Crumb Rubber baru. Disamping itu untuk meningkatkan nilai
tambah dari produksi Crumb Rubber yang ada tersedia peluang investasi untuk
industri hilirnya seperti pembangunan Pabrik Ban kendaraan bermotor. 9 Namun,
peningkatan produksi dan mutu hasil kebun menjadi tidak berarti, jika keadaan sosial
ekonomi petaninya tidak berubah. Untuk itu usaha yang sering dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani karet adalah melalui
8
Direktorat Jenderal Perkebunan, Buku Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan
(Kelapa Sawit, Karet Dan Kakao), Jakarta: Departemen Pertanian, Januari 2007.
9
No Name, potensidaerah.ugm.ac.id/.../p18_..., t.th. 4
9. 14
peningkatan pendapatan. Tingkat pendapatan yang rendah jelas akan mempersulit rakyat
mempertahankan karet sebagai penopang kehidupan mereka.
Kondisi sosial ekonomi petani yang sangat rawan terdesak oleh kebutuhan
ekonomi rumah tangga ini sering dimanfaatkan oleh pihak luar (tengkulak) untuk
mempermainkan harga komoditas karet rakyat. Faktanya, November 2011 lalu, h arga
karet jenis slab di Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah pada akhir
anjlok menjadi Rp7.000 sampai Rp8.000/kg yang sebelumnya sempat mencapai
Rp13.000/kilogram. Berfluktuasinya harga karet ini diduga akibat permainan para
tengkulak yang menguasai penjualan karet di daerah ini dengan menyesuaikan harga
pasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masalahnya para petani setempat masih
tergantung kepada para tengkulak karena di daerah ini tidak ada pabrik karet, padahal
hasil panen karet cukup banyak.10
Kenyataan seperti ini, merupakan cirri masyarakat pedesaan pada umumnya.
Karena, sifat sosial para petani untuk tetap menjaga keeratan hubungan sosial sering
memaksa dan menghilangkan rasionalitas petani penyadap dalam berbisnis. Artinya,
kebanyakan petani di pedesaan lebih cenderung untuk menomorsatukan hubungan
resiprositas sosial dibandingkan dengan keuntungan bisnis semata, meskipun bisnis karet
tersebut merupakan penyokong kehidupan ekonomi keluarga. Karena terdapat juga para
pembeli produksi karet, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan petani
produsen. Jadi, hubungan patron-client tersebut sudah bercampuraduk dengan hubungan
sosial kekeluargaan. Secara implisit pada akhirnya menyulitkan posisi petani dalam adu
tawar-menawar dalam proses penentuan harga bagi produksi karetnya. 11
10
Edinayanti (ed), Harga Karet di Pedalaman Barito Anjlok,
http://kalteng.tribunnews.com/2011/11/21/harga-karet-di-pedalaman-barito-anjlok,
Senin, 21 November 2011.
11
Ikin Sadikin Dan Rudi Irawan, Op.cit
sumber:
diposkan
10. 15
Selain itu, rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering
dituduhkan karena jeleknya kualitas produksi karet-rakyat. Rendahnya kualitaa produksi
karet rakyat ini ada hubungannya situasi dan kondisi sosial masyarakat di tingkat bawah.
Umumnya para petani penyadap ini memperoleh keahlian mengolah produk karet dari
pengetahuan turun temurun. Cara pengolahan hasil produksi masih bersifat tradisional,
jika pun terdapat alat modern, hanya dianggap sebagai alat bantu yang kepemilikannya
sangat terbatas.
Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap hasil produksi karet yang bermutu
baik ini menyebabkan harga jual karet rakyat menjadi dihargai rendah. Memang tidak
dapat dipungkiri juga terdapat beberapa petani-penyadap nakal, yang memasukan unsur
selain getah karet pada hasil produksi untuk menambah berat slap getah karet. Namun,
rendahnya pengetahuan ini ada hubungannya dengan kepedulian pemerintah terhadap
usaha rakyat ini. Pemerintah kurang melakukan usaha terencana untuk memberdayakan
ekonomi rakyat, jikapun ada maka usaha tersebut dilakukan swadaya oleh masyarakat
atas bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Seperti yang dilakukan serikat
Petani Karet Penyang Hapakat (SPK-PH), di Sepang, Kabupaten Gunung Mas. 12
Dengan demikian, kondisi sosio-ekonomi petani-penyadap karet di Kalimantan
Tengah umumnya, dan di Kabupaten Gunung Mas khusunya, memiliki posisi tawar yang
lemah terhadap hasil olahan karetnya. Selain itu, pengetahuan masyarakat yang rendah
terhadap kualitas atau mutu produksi karet, menyebabkan produksi dinilai rendah oleh
para pembeli (tengkulak) yang didominasi para pedagang dari Kalimantan Selatan.
Pengolahan produksi karet rakyat juga masih bersifat tradisional dan semi-modern,
12
Pelatihan dapat terselenggara atas kerjasama SPKPH dengan Lembaga Dayak Panarung
(LDP), CU Betang Asi, AMAN Kalteng, Dinas Perkebunan propinsi Kalteng dan Dinas Pertanian/
Perkebunan kabupaten Gunung Mas. Narasumber dari PT. Bridgestone Kalimantan Plantation (PT.
BSKP) Kalimantan Selatan, sebagai praktisi lapangan bisnis karet. Di poskan oleh Serikat Petani
Karet, Pelatihan pembibitan SPKPH, tanggal Minggu, 18 September 2011, sumber:
http://serikatpetanikaret.blogspot.com/1
11. 16
dengan alat modern yang masih sangat terbatas. Sehingga, secara umum akses dan
kontrol, baik petani-penyadap karet di Kalimantan Tengah sangat lemah.
2.4. Peran Gender Petani Penyadap Karet di Kalimantan Tengah
Produksi karet di Kalimantan Tengah umumnya berbentuk balok karet alam,
yang dihasilkan dari pembekuan getah karet dengan menggunakan pembeku alami,
oleh warga setempat disebut saing. Pengetahuan pembeku karet alami ini dimiliki
oleh perempuan dan laki-laki, hanya dalam proses pembuatannya biasanya dilakukan
oleh kaum perempuan.
Hasil pembekuan getah karet dalam bentuk balok ini dirakit, kemudian
didistribusi melalui sungai ke tempat berada. Perjalanan di sungai berlangsung
selama 3 hari jika musim hujan, jika kemarau, perjalanan bisa dilakukan selama
seminggu. Perakitan dan pendistribusian ini umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki
saja.
Rakit balok karet ini ketika sampai di tempat para pembeli-pengumpul dipikul
dari air menuju daratan untuk ditimbang. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan
bersama-sama terlibat dalam pengangkutan dan penimbangan karet. 13 Dalam hal ini,
aktivitas mengangkut dan menimbang dilakukan atas sepengetahuan bersama
perempuan dan laki-laki.
Dalam keluarga, uang hasil penjualan umumnya bagi hasil, masing-masing
tenaga kerja dalam rumah mendapat jatah termasuk anak, suami dan isteri. Jatah
isteri biasanya dimanfaatkan untuk membiayai keperluan konsumsi rumah tangga.
Sementara, jatah anak dan suami biasanya dimanfaatkan untuk keperluan pribadi,
13
Lihat dalam, http://serikatpetanikaret.blogspot.com/, diposkan oleh serikat petani karet,
Bau tidak sedap ini mata pencaharian kami, diposkan tanggal Rabu, 30 November 2011. 2
12. 17
seperti buku sekolah untuk anak atau rokok untuk suami. Dalam hal pemanfaatannya,
akses perempuan terhadap hasil produksi untuk keperluan pribadi lebih rendah
terhadap laki-laki dan anak. Pola pemanfaatan seperti ini umumnya dianggap sebagai
kondisi umum dalam pembagiaan hak dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki
atas dasar pandangan gender yang berorientasi pada penomorsatuaan kaum laki-laki
sebagai kepala keluarga.