Dokumen tersebut membahas tentang eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Indonesia. Terdapat lima bentuk ESKA yaitu prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, wisata seks anak, dan perkawinan anak. Dokumen ini juga menyebutkan bahwa diperkirakan terdapat 150.000 anak Indonesia yang menjadi korban ESKA dan berbagai faktor penyebab terjadinya ESKA seperti kemisk
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
1. 3
PRAKATA
Tidak ada yang ingin anak-anak Indonesia yang disebut-sebut sebagai generasi penerus bangsa,
terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasa di sekitar mereka. Nasib anak-anak negeri
ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi
eksploitasi seksual komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak atau lebih dikenal dengan singkatan
ESKA merupakan bentuk kejahatan yang menimpa anak-anak dalam bentuk pelacuran anak,
pornographi anak, perdagangan anak untuk tujuan seks dan pariwisata seks anak. Permasalahan ESKA
juga bukanlah suatu permasalahan yang sama sekali baru. Hanya saja, kondisinya yang semakin
memprihatinkan membuat penelitian tentang ESKA patut mendapat perhatian dari semua pihak. Hal
ini pula yang mendorong Koalisi Nasional Penghapusan ESKA untuk melakukan kajian cepat tentang
masalah ini.
Kajian cepat tentang ESKA di beberapa kota di Indonesia ini adalah hasil kerjasama Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan
anggota Koalisi Nasional yakni Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Yayasan SETARA
Semarang, Yayasan KAKAK Solo, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) Indramayu. Dua
lembaga lain yang terlibat adalah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Surabaya, dan Badan
Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Kota Manado.
Koalisi Nasional mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti dari masing-masing lembaga yang
disebutkan di atas, juga kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan yang mendukung
kajian cepat ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Eka Dalanta Rehulina yang melakukan
kompilasi terhadap laporan dari masing-masing kota sehingga bisa disajikan lebih sederhana dan
enak dibaca.
Medan, Juni 2008
Koalisi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Ahmad Sofian
Koordinator Nasional
38
_______. 2004a. Anak Bukan Pemuas Nafsu. Semarang. Yayasan Setara.
_______. 2004b. Di Bawah Bayang-bayang Ancaman. Semarang. Yayasan Setara.
Urbansky, A. Christopher. 2006. Peningkatan dan Penurunan Persekutuan Antara Penjualan Teh Poci
dan Pelacuran di Kawasan Simpang Lima Semarang. Malang. Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Muhammadiyah Malang.
Bisnis Pelacur Anak. Ahmad Sofian dan Rinaldi, WASPADA, 12 Februari 1998
Dibongkar, Penjualan Gadis di Bawah Umur: Dua Anak Kandung Jadi Korban. Suara Merdeka, 20
November 2001.
Jaringan Penjual Gadis Dibongkar. Suara Merdeka, 1 Juni 2004.
Kisah Wt, Siswi Kelas 6 SD yang Menjadi Korban Trafficking. Radar Semarang, 1 Desember 2007.
Menelusuri Jaringan Koko Roy, Tersangka Pemangsa ABG (1):
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=29469
Menelusuri Jaringan Koko Roy, Tersangka Pemangsa ABG (2-Selesai):
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=29491
Pembuat Film Porno Surabaya Ditangkap. Kompas, 5 November 2006.
Perdagangan perempuan di Kota Semarang. Kompas, 13 Desember 2003.
Seks Menyimpang: Cabuli 50 Anak jalanan, Peter Smith Digelandang ke Polda Metro, Suara Karya
Online, 8 Agustus 2006. http://www.suarakarya-online.com
Tak Terbukti Paedofilia, Pengoleksi Video Mesum Divonis Bebas. http://jkt2.detiknews.com, 2 April
2007
Teganya Menjual Anak Sendiri. Kompas, 26 November 2001
Terbongkar, Praktik Perdagangan Wanita: Gadis Dijual Rp 2 Juta. Suara Merdeka, 21 September 2007.
Media Massa
150.000 Anak Indonesia di Ekploitasi. Kompas, 6 Juli 2008
2. 54
SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
EKSPLOITASIINDRAMAYU MANADO MEDAN SEMARANG SOLO SURABAYA
DAFTAR ISI
3
6
6
7
8
9
10
25
29
30
33
34
37
Prakata
I Pengertian ESKA
II Bentuk-Bentuk ESKA
III Kondisi ESKA di Indonesia
IV Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA di Indonesia
V Kebijakan Penanggulangan ESKA di Indonesia
VI Daerah-Daerah Rawan ESKA di Indonesia
VII Faktor-Faktor Penyebab Anak Terjerat ESKA
VIII Usia Rata-Rata Korban ESKA
IX Pelaku ESKA
X Perang Terhadap ESKA
XI Upaya Penanggulangan ESKA
Daftar Pustaka
3. II. Bentuk-bentuk ESKA
Prostitusi anak
Pornografi anak
Perdagangan anak untuk tujuan seksual
Wisata seks anak
Perkawinan anak atau pernikahan dini
Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi
anak, pornografi anak, perdagangan
anak untuk tujuan seksual, pariwisata
seks anak, dan perkawinan anak.
Tindakan menawarkan pelayanan atau
pelayanan langsung seorang anak untuk
melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain.
Pertunjukan apapun atau dengan cara
apa saja yang melibatkan anak di dalam
aktivitas seksual yang nyata atau yang
menampilkan bagian tubuh anak demi
tujuan-tujuan seksual.
Proses perekrutan, pemindah-tanganan
atau penampungan dan penerimaan
anak untuk tujuan eskploitasi seksual.
ESKA yang dilakukan oleh orang-orang
yang melakukan perjalanan dari suatu
tempat ke tempat yang lain, dan di
tempat tersebut mereka berhubungan
seks dengan anak-anak.
Pernikahan dengan anak, yakni di bawah
umur 18 tahun yang memungkinkan
anak menjadi korban ESKA, sebab
tujuan menikahi anak tersebut untuk
menjadikan anak sebagai objek seks
untuk menghasilkan uang atau imbalan
lainnya. (ECPAT, 2008:22)
I. Pengertian ESKA
ESKA adalah singkatan dari Eksploitasi
Seksual Komersial Anak. ECPAT
Internasional (2001) mendefinisikan
ESKA sebagai sebuah pelanggaran
mendasar terhadap hak-hak anak.
Pelanggaran tersebut berupa kekerasan
seksual oleh orang dewasa dengan
pemberian imbalan kepada anak, atau
orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Sederhananya anak diperlakukan
sebagai objek seksual dan komersial. Ini
adalah perwujudan dari kerja paksa dan
perbudakan modern terhadap anak.
Sebab tak jarang anak-anak dipaksa,
mengalami kekerasan fisik dan trauma.
6
III. Kondisi ESKA di Indonesia
Berkembang luasnya industri seks di
beberapa negara, termasuk Indonesia,
mendongkrak permintaan pasar terhadap
anak-anak. Sehingga semakin banyak
anak yang dipaksa menjadi Pekerja Seks
Komersial (PSK).
Di Indonesia tercatat 40.000-70.000
anak telah menjadi korban ESKA.
Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja
dalam perdagangan seks. Praktik
tersebut terutama berlangsung di pusat-
pusat prostitusi, tempat hiburan,
karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan,
dan lain-lain. Namun, justru pelaku
adalah penduduk lokal (KOMPAS,
4/8/06)
Lebih rincinya, di Semarang, Yogya dan
Surabaya, terdapat 3.408 anak korban
pelacuran baik di lokalisasi, jalanan,
tempat-tempat hiburan, dan panti pijat
(ILO-IPEC, 2004). Di Jawa Barat jumlah
anak yang dilacurkan pada tahun 2003
sebanyak 9000 anak atau sekitar 30
persen dari total PSK 22.380 orang
(Dinas Sosial, 2003).
Seorang aktivis hak anak pernah
mengadakan analisis pada tahun 1998
bahwa prevalensi pelacuran seseorang
yang berumur di bawah 18 tahun di
Indonesia diduga mencapai 30% dari
seluruh PSK yang beroperasi di seluruh
wilayah negeri (Farid, 1999). Bilangan
yang cukup besar jika mengacu kepada
perkiraan oleh Sulistyaningsih & Hull
(dalam Farid, 1999), yakni 40.000-
70.000 anak dari total PSK di Indonesia
140.000-230.000. Sedangkan bila
mengacu kepada data Koalisi Nasional
Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak
Indonesia yang dilacurkan dan
diperdagangkan untuk tujuan seksual.
Jumlah ini tentunya tidak termasuk anak-
anak Indonesia yang menjadi korban
pornografi. (Kompas, 6 Juli 2008)
Untuk kasus pornografi anak sama
memprihatinkannya. Tidak sedikit anak-
anak Indonesia yang menjadi objek
pornografi. Baik dalam format video
maupun foto. Seperti pernah terjadi pada
tahun 2006. Peter W Smith, seorang
warganegara Australia mengaku telah
mencabuli 50 anak Indonesia dan
merekamnya dalam format film dan foto.
Kasus lain adalah eksploitasi seksual di
Surabaya oleh Juki Chandra. Ia
melakukan pencabulan terhadap anak-
anak dan merekam seluruh adegan ke
dalam film. Pihak kepolisian mencatat
ada sekitar 100 rekaman film di dalam
HP tersangka yang dibuat sejak Maret
2006. Parahnya hukum masih belum
berpihak pada anak sehingga pelaku
dinyatakan bebas.
Tidak ada data yang valid untuk
menentukan berapa jumlah anak
Indonesia yang menjadi korban
perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Walaupun berbagai kasus telah
terungkap.
Pada saat ini, berdasarkan berbagai
laporan yang tersedia, perdagangan anak
7
4. 8
telah terjadi di berbagai wilayah dengan
daerah asal dan daerah tujuan yang
lebih luas. Persoalan semakin kompleks
mengingat suatu wilayah tertentu tidak
hanya menjadi daerah tujuan melainkan
juga menjadi daerah asal dan daerah
transit. Jumlah sangat fantastis di atas
adalah suatu bukti bahwa tak seharusnya
lagi menganggap permasalahan ESKA
sebagai persoalan sepele tentang anak-
anak.
IV. Penyebab-penyebab terjadinya ESKA di Indonesia
Ada banyak faktor yang memungkinkan
terjadinya eksploitasi seksual komersil
terhadap anak. Walaupun karakteristik
setiap daerah tidak persis sama, secara
umum faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya ESKA terbagi atas faktor
pendorong dan faktor penarik. ECPAT
(Dalam Farid, 1999) mendaftar faktor-
faktor resiko di dalam buku
pedomannya.
1. Kondisi ekonomi khususnya
kemiskinan di pedesaan yang
diperberat oleh kebijakan
pembangunan ekonomi dan
penggerusan di sektor pertanian
2. Perpindahan penduduk dari desa
ke kota dengan pertumbuhan
pusat-pusat industri di perkotaan
3. Ketidaksetaraan jender dan
praktek-praktek diskriminasi
4. Tanggung jawab anak untuk
mendukung keluarga
5. Pergeseran dari perekonomian
subsisten ke ekonomi berbasis
pembayaran tunai
6. Peningkatan konsumerisme
7. Disintegrasi keluarga
8. Pertumbuhan jumlah anak
gelandangan
Faktor-faktor pendorong, antara lain:
9. Tiadanya kesempatan pendidikan
10. Tiadanya kesempatan kerja
11. Kelangkaan peraturan/hukum dan
penegakan hukum
12. Diskriminasi terhadap etnis
minoritas
13. AIDS–meninggalnya pencari
nafkah keluarga sehingga anak
terpaksa masuk ke perdagangan
seks.
1. Jaringan kriminal yang
mengorganisir industri seks dan
merekrut anak-anak
2. Pihak berwenang yang korup
sehingga terlibat dalam
perdagangan seks anak
3. Praktek-praktek pekerja anak
termasuk kerja paksa (bondage
labour)
4. Praktek-praktek tradisional dan
budaya termasuk tuntutan
keperawanan, praktek budaya di
mana laki-laki pergi ke pelacuran,
pola antar generasi dalam hal
masuknya anak perempuan ke
pelacuran
5. Permintaan dari wisatawan seks
dan pedofil
Faktor-faktor penarik, antara lain:
9
6. Promosi internasional mengenai
industri seks anak melalui
teknologi informasi
7. Permintaan dari industri seks
mancanegara yang menciptakan
perdagangan seks anak dan
perempuan secara internasional
8. Pernikahan yang diatur di mana
pengantin anak perempuan
terkadang akan dijual ke rumah
bordil setelah menikah
9. Ketakutan terhadap AIDS yang
membuat pelanggan
menginginkan pelacur yang lebih
muda usianya
10. Kehadiran militer yang
menciptakan kebutuhan terhadap
pelacuran anak
11. Permintaan dari para pekerja
migran.
12. Berkembangnya beberapa wilayah
di Indonesia sebagai daerah
tujuan wisata seks terutama Bali,
Lombok, Batam, DKI Jakarta dan
Medan.
13. Munculnya beberapa bencana
alam dengan skala besar di
Indonesia telah menimbulkan
kekhawatiran yang tinggi terhadap
meningkatnya ESKA.
V. Kebijakan penanggulangan ESKA di Indonesia
Konvensi Hak Anak (KHA) telah ada
sejak 1990 namun payung hukum
perlindungan anak di Indonesia baru
direalisasikan melalui lahirnya Undang-
Undang (UU) No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Dalam UU
ini dinyatakan, pelaku ESKA diancam 15
tahun penjara atau didenda paling
banyak Rp. 100 juta. Beberapa Undang-
Undang lain yang terkait dengan ESKA di
antaranya: UU No. 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2004
tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), UU No. 21 tahun 2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, UU No. 11 tahun
2008 tentang Transaksi Elektronik &
Informasi, UU No. 1 tahun 2000 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO 182, PP No.
9/2008 tentang Tata Cara dan
Mekanisme Pelayanan bagi Saksi dan
atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Selain itu pada tahun 2005 telah
dirumuskan kebijakan menyeluruh yang
memasukkan persoalan anak sebagai
salah satu persoalan pokok dalam
pembangunan nasional. Dokumen
kebijakan ini disebut Pembangunan
Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI)
2005. Indonesia juga telah menanda-
tangani instrumen internasional tetapi
belum meratifikasinya yaitu:
1. Konvensi Kejahatan Transnasional
yang terorganisir dan protokolnya
yaitu: protokol untuk mencegah,
menekan dan menghukum pelaku
perdagangan orang terutama anak
dan perempuan.
2. Optional Protokol Konvensi Hak
Anak tentang Penjualan Anak,
Prostitusi Anak dan Pornografi
Anak.
5. ndramayu, tidak hanya menjadi kota dimana banyak
Iterjadi praktik ESKA, namun juga termasuk kota
pemasok atau daerah asal dimana anak-anak korban ESKA
berasal (Irwanto 2001: 52). Di daerah ini, masyarakat lokal
menyebut pelacuran sebagai 'Luruh duit' . Artinya, mencari
uang dengan jalan menjadi 'telembuk' atau (pelacur). Kata
'luruh duit' ini juga dipakai untuk pekerjaan lain yang terkait
dengan 'telembuk', seperti Tenaga Kerja Wanita (TKW) plus
pelacur, dan pelayan warung atau cafe. Sebab kedua
pekerjaan ini hanyalah langkah awal menjadi telembuk.Indramayu
11
Trend 'luruh duit' yang sedang
berkembang adalah menjadi penari
budaya di Jepang. Ini adalah penipuan
karena berdasarkan cerita korban, me-
reka dilatih untuk buka baju, menari
seksi, dan melayani tamu. 'Luruh duit' ke
Jepang sedang “top” karena dari enam
bulan bekerja, mereka dapat mengirim
10
Daerah-daerah di Indonesia sangat
potensial terjadi ESKA. Bentuk Indonesia
yang merupakan negara kepulauan yang
strategis, memperbesar kemungkinan
anak-anak menjadi korban ESKA.
Daerah-daerah berikut ini adalah
daerah-daerah yang rawan, bukan saja
berpotensi sebagai daerah asal anak-
anak yang diekploitasi untuk tujuan
seksual komersial, tetapi juga daerah
transit, dan daerah tujuan.
Selanjutnya keluar Keputusan Presiden
yang erat kaitannya dengan ESKA yaitu,
Keppres No. 87/ 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional (RAN) ESKA dan Keppres
No. 88/ 2002 tentang RAN penghapusan
Trafiking Perempuan dan Anak. Keppres
ini pun diikuti dengan lahirnya Perda-
Perda di sejumlah Propinsi dan
Kabupaten dan Kota di seluruh
Indonesia, seperti di Sumatera Utara,
sudah lahir Perda No. 6 tahun 2004
tentang Penghapusan Trafficking.
VI. Daerah-daerah rawan ESKA di Indonesia
minimal 50 juta. Sebelum pergi pun,
setelah menandatangani kontrak, orang
tua anak sudah mendapat uang muka
sebesar lima juta rupiah.
Tak heran, tak sedikit warga yang
“meluruhduitkan” anaknya. Luruh duit
jadi sebuah langkah mudah mencari
kesugihan (kekayaan). Orangtua
meluruhduitkan anaknya untuk
mencapai kekayaan yang sudah menjadi
ukuran komunitas. Kesugihan ini diukur
dengan dapat membantu perekonomian
keluarga, membantu saudara,
menyekolahkan anak, membangun
rumahnya menjadi gedung, membeli
sawah, membeli mobil dan motor.
Sebuah kemudahan karena kucuran
uang dari anak atau isterinya yang
menjadi ''telembuk''. Puncaknya adalah
menjadi isteri simpanan atau isteri kedua
dari orang kaya di kota. Sandaran
manakala memasuki usia 'senja', saat
“tidak laku” lagi di pasaran.
Konsep lokal 'luruh duit' ini telah
menyebabkan anak-anak terlibat ke
dalam 3 jenis ESKA, pelacuran anak,
perdagangan anak untuk tujuan
pelacuran, dan pornografi anak. Anak-
anak yang menjadi korban pornografi
anak ini biasanya bekerja sebagai PSK
juga. Bahkan ada indikasi terjadinya
pernikahan anak (early marriage).
Pasalnya, kebanyakan anak-anak di
daerah ini dinikahkan di usia dini untuk
melepaskan tanggung jawab orang tua
terhadap anak. Malahan sebagian
setelah menikah, anak diceraikan untuk
bisa luruh duit.
Penelitian dari 50 orang responden yang
dilakukan di daerah ini menunjukkan 43
(86%) anak menjadi korban prostitusi
anak; 5 (10%) anak adalah korban
perdagangan anak untuk tujuan seksual
komersial; dan 2 (4%) anak adalah
korban pornografi anak. Angka-angka ini
bukanlah sebuah kesimpulan. Korban
trafficking misalnya, angka 10% tersebut
hanya untuk menunjukkan bahwa
terdapat 5 (10%) anak yang dijadikan
jaminan pembayaran utang orangtuanya.
Memberi pinjaman utang kepada orang
tua anak ini seiring menjadi modus yang
dilakukan para germo untuk menjerat
anak. Mereka memberikan pinjaman
untuk memenuhi berbagai keperluan
keluarga anak, seperti untuk melunasi
utang, membangun rumah, modal
usaha, atau membiayai kegiatan hajatan
yang memang sudah menjadi tradisi.
Nilai utangnya relatif. Dari Rp100 juta
sampai Rp 300juta. Lalu bagaimana cara
orang tua nanti melunasi hutangnya?.
Dengan cara mempekerjakan anak pada
sang germo.
Ada pula upaya-upaya lain yang
dilakukan germo untuk mengkondisikan
anak agar terjun ke dalam dunia
prostitusi. Upaya-upaya pengkondisian
tersebut dilakukan dengan modus
mempercepat masa tanggungjawab
orangtua dalam menghidupi anaknya,
mendorong anak untuk segera putus
sekolah, menyuruh kawin muda (dan
melakukan perceraian), dilanjutkan
dengan menyuruh anak bekerja. Pada
saat anak sudah memiliki keinginan
bekerja, juga terdapat upaya-upaya
6. anado, sebagai daerah tujuan wisata sangat
Mberpotensial untuk terjadinya ESKA. Pelacuran
anak adalah bentuk ESKA yang paling banyak dialami anak-
anak di Manado. 88% anak responden penelitian adalah
korban pelacuran anak dan 12% adalah korban perdagangan
anak untuk tujuan pelacuran. Anak-anak korban ESKA di kota
ini terbiasa menggunakan nama samaran. Umumnya nama
mereka akan berbeda di tiap tempat hiburan. Para PSK anak ini
berpindah-pindah tempat. walaupun begitu lokasi tempat
trasaksi adalah daerah seputar Jalan Boulevard.Manado
12 13
penipuan dengan tidak langsung
menyuruh anak bekerja sebagai PSK
tetapi menjanjikan anak bekerja sebagai
pelayan di restoran.
Lebih parahnya lagi, masyarakat di
daerah ini sudah menganggap lumrah
pekerjaan sebagai PSK. Malahan sebagai
alternatif termudah, jalan pintas
mencapai kekayaan. Budaya 'luruh duit'
dianggap sebagai kegiatan yang sudah
turun termurun. “Sebelum saya lahir
sudah ada” begitu kata mereka. 'Luruh
duit' merupakan semacam perlombaan
kekayaan turun temurun yang telah
mendarah daging sebagai jalur cepat
menjadi kaya. Sebagai kebiasaan turun
temurun, 'luruh duit' menjadi sesuatu
yang terbuka dan diterima masyarakat.
Kalau dahulu dilakukan secara tertutup,
sekarang budaya ini menjadi semacam
trend yang hampir dilakukan mayoritas
keluarga di daerah asal anak korban
ESKA.
Penerimaan masyarakat juga terlihat
dengan tidak adanya sanksi sosial. Luruh
duit adalah sebuah tradisi, begitulah
kira-kira. Sedang segala sesuatu yang
dianggap sebagai tradisi selalu
berkorelasi dengan kelumrahan.
Masyarakat tidak pernah mengucilkan
dan menganggap kotor para pekerja
Luruh Duit. Sebaliknya, sudah
selayaknya mereka dihormati dan
dianggap hebat kalau berhasil. Apalagi
bila berhasil mensejahterakan
keluarganya. Kalaupun ada sanksi sosial,
datangnya dari kelompok pengajian saja.
Bentuknya pun sebatas sindiran, tanpa
tindakan penolakan yang kongkrit.
Untuk menjamin transaksi mereka
dengan pelanggan tetap ada, para supir
taksi dan ojek banyak berperan. Mereka
sering berperan menjadi broker, sebab
kebanyakan supir taksi dan ojek yang
biasa mangkal di tempat hiburan malam
dan hotel ini mengetahui tempat tinggal
para PSK anak. Bahkan beberapa
memang sudah tinggal menunggu
dijemput taksi atau ojek di tempat
kosnya untuk diantar ke hotel atau
tempat hiburan apabila sudah ada
pelanggan.
Kerahasiaan nama para PSK ini terjamin
oleh pemilik hotel. Mereka telah
memilik nama dan alamat para PSK anak
ini sehingga bila ada permintaan
pelanggan, akan secepatnya dihubungi.
Kebiasaan anak-anak korban ESKA di
kota ini adalah penampilan yang lebih
berani dan norak ketimbang PSK
dewasa. Para PSK ini menggunakan
kode-kode sebagai bahasa khusus
mereka, misalnya tindikan anting pada
telinga kiri yang lebih dari dua tindikan,
gelang pada kaki kiri, atau cincin pada
jari telunjuk atau jempol.
Para pelanggan pengguna jasa PSK anak
sebanyak 37% melakukan transaksi seks
ditempat hiburan atau pub dan berlanjut
di hotel di kota Manado, 4% diluar kota
Manado, dan 7% di penginapan.
Para broker di tempat hiburan biasanya
meminta biaya broker sebelum para PSK
pulang dari tempat hiburan, biayanya
berkisar antar 15-20% dari biaya
transaksi yang kisarannya Rp.300ribu-
Rp.800ribu. Namun sebagai penganti
uang hilang itu mereka meminta lebih
dari pelanggan dengan alasan tertentu.
Pihak lain yang mendapat keuntungan
adalah tempat hiburan, supir taksi dan
ojek. Biasanya ada tips dari para PSK
anak ini kepada supir taksi atau ojek.
Bahkan tak jarang juga bonus hubungan
seks apabila mereka memberikan
pelanggan dengan upah yang baik.
7. yang berhasil diwawancarai secara
mendalam 41 di antaranya berstatus
pelajar dan 5 di antaranya berstatus siswi
SMP dan 26 berstatus pelajar SMA/SMK
(3 tercatat telah putus pada saat
menempuh jenjang pendidikan SMA).
Salah seorang responden yang berstatus
siswi kelas III SMP di salah satu SMP
Swasta Medan, mengatakan, di kelasnya,
ada tiga temannya yang sudah biasa
dengan Tubang selain ia. Bahkan
menurut penuturan, Siska (juga nama
samaran) siswi kelas II SMA di Medan, di
kelasnya sudah mencapai 10-15 siswi.
Hubungan kuat lain antara perilaku
seksual remaja sekolah dengan dunia
pendidikan adalah, alasan yang
digunakan para pelajar siswi yang
melacurkan diri adalah alasan-alasan
sekolah. Teman yang diajak atau
dilibatkan ke dunia Tubang juga masih
mempunyai kedekatan hubungan
emosional yang diikat oleh kenyataan
bersekolah di sekolah yang sama.
Sepintas, tidak ada sindikasi dalam
bisnis seks yang terjadi. Bila pun ada
hanya sebatas anak yang sudah terlebih
dahulu terjun ke dunia Tubang atau Tebe
dengan anak-anak yang baru sekedar
coba-coba, atau masih pertama kali.
Namun, dalam beberapa kasus yang
ditemukan, ternyata ada sindikasi yang
terjadi. Misalnya, pada kasus siswi
SMAN 1 Medan yang membeberkan,
bahwa di kawasan Jalan Mahkamah,
seorang yang berstatus ibu rumah tangga
telah membangun secamam “Home
Industri” bisnis seks di kalangan pelajar.
Diketahui, ia mengendalikan bisnisnya
ini dari rumahnya. Ia memiliki banyak
kontak dengan Tubang dari dalam dan
luar kota Medan. Bahkan puluhan anak
bisa ia sediakan. Jadi para pelajar yang
membutuhkan uang, cukup
menghubungi dia, maka dia tinggal call
dan negosiasi.
Modus baru yang dipakai dalam bisnis
seks di kalangan ABG Medan yang
sebagian besar berstatus pelajar ini, yaitu
pulang sekolah tidak pulang ke rumah
tetapi dibawa ke hotel. Untuk
meyakinkan orang tua, teman-temannya
ikut meminta izin dengan dalih
mengajak renang atau jalan-jalan,
sehingga orang tua mereka tidak curiga.
Modus operandi yang digunakan dalam
menjebak anak-anak masuk ke dalam
dunia pelacuran, umumnya diajak oleh
teman yang lebih dahulu masuk ke
dunia ini, lalu diperkenalkan dengan
tamu atau tubang. Selanjutnya mereka
mencari tamu sendiri dengan cara ke
diskotik, atau langsung menghubungi
tamu di nomor HP tamu itu. Selain itu
ada juga yang “dijual” oleh teman
sendiri kepada tubang.
Aktivitas seksual yang dilakukan anak-
anak ABG ini dengan para tubang mulai
dari vaginal sex (seks dari kemaluan),
disetubuhi dari anus, disetubuhi terus
menerus, diminta oral seks, onani,
sampai gaya 69 dan gaya yang aneh-
aneh lainnya. Diperkirakan, bila
ditelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak
sekali bentuk kegiatan seksual yang
harus dilakukan korban dalam melayani
Tubang.
edan tidak ketinggalan. Pelacuran anak sudah
Mmenjadi fenomena menyedihkan sejak lama,
bahkan sudah tercatat sejak tahun 1970-an. Sofian dan
Rinaldi dalam artikel yang dimuat di Harian Waspada (3-
4/2/1998) menyebutkan, lebih dari 200 ABG dijadikan
pelacur anak di hotel GM Tanjung Balai Karimun, Riau. Di era
tahun 70-an mencuat istilah “gongli”, “perek”, “cewek
baskom” dan lain-lain. Tahun 1998, fenomena anak-anak
mulai marak di Medan. Menurut kompensasi yang diterima
dari "konsumen", para pelacur anak di Medan dapat dibagi
menjadi dua kategori yang essensial, yaitu: pertama, apa yang
disebut dengan “Bonsay” dan kedua adalah “Sewa” atau
“Barges”. Bonsay (Bondon Sayang) mengacu pada kelompok
wanita muda yang sering keluar masuk diskotik, pub, café,
mall dan pusat-pusat hiburan kota yang selain untuk sekedar
mencuci mata juga (dengan alasan beragam) melakukan
transaksi seksual (Ahmad Sofian dan Rinaldi, 1998: 4).
14 15
bermain Gajah Mada, di pusat-pusat
perbelanjaan, di Café-café, di kos-kosan
seperti di Jalan Pintu Air Ujung yang
dihuni oleh PSK muda yang rata-rata
putus sekolah, dan di warkop-warkop
(warung-warung sejenis kafe di jalan).
Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak
adalah Pelacuran anak baik yang
berstatus sebagai pelajar dan tidak
berstatus sebagai pelajar, dan
perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Dari 50 responden di temukan 45 anak
sebagai korban prostitusi anak dan 5
anak korban perdagangan anak untuk
tujuan seksual.
Hal yang paling mengejutkan adalah
temuan banyaknya anak-anak sekolah
yang telah terjerumus dengan ESKA dan
terlibat transaksi seks dengan para Tebe
atau tubang, sebutan bagi para
pelanggan mereka. Dari 50 responden
Belakangan, bermunculan pula istilah
baru yang menjurus pada dunia esek-
esek, baik yang melibatkan orang
dewasa maupun anak-anak, seperti
istilah cewek Bispak (Bisa Pake) yang
juga dikenal di daerah lain di Indonesia
dan Bronces.
Dhina Prekasha Yodeha dalam artikel
mengenai pelacuran di sejumlah kota di
Indonesia menyebutkan, “Bronces atau
Onces itu panggilan khusus untuk
pelacur ABG di Medan. Di kalangan
Onces pun memberikan istilah tersendiri
pula untuk mangsanya. Tubang (tua
bangka) tapi tebal kocek. Tubang yang
istilah umumnya adalah "om senang"
incaran para onces, di plaza atau lantai
disko.” (galaxindo.com)
Pelacuran anak di Medan banyak terjadi
di tempat-tempat billiard, taman
Medan
8. emarang juga tidak luput dari praktik ESKA. ESKA di
SSemarang terjadi pada anak-anak dari kota
Semarang maupun anak-anak dari luar kota yang menjadi
korban di Semarang. Bentuk ESKA yang sangat menonjol di
Semarang adalah prostitusi anak. Ada sebutan khusus untuk
anak-anak korban prostitusi ini, seperti halnya dengan
beberapa daerah lain di Yogyakarta disebut rendan atau kere
dandan, di Indramayu luruh duit atau telembuk- di Semarang
disebut dengan ciblek. Metafora dari sejenis burung kecil yang
lincah dan senang berkicau yang pada awal tahun 90-an
sangat digemari masyarakat Semarang. Ciblek juga menjadi
kependekan dari cilik-cilik betah melek (kecil-kecil suka
bergadang) . Kemudian muncul kepanjangan lain, yaitu cilik-
cilik isa digemblak (Kecil-kecil bisa menjadi simpanan).Semarang
16 17
Sedangkan untuk anak-anak korban
perdagangan anak untuk tujuan seksual
modus operandi yang digunakan adalah,
para korban ditawari bekerja di salon
dan di cafe, tetapi informasi yang
diberikan tidak lengkap, bahwa salon
dan cafe tempat bekerja juga melayani
tamu luar dalam (tersedia layanan seks
atau yang sebagian kalangan
menyebutnya salon plus-plus atau pijat
plus-plus).
Seperti yang dialami Surti, 13, gadis
yang tidak sempat tamat SD karena
orang tuanya tidak mampu. Ia dipaksa
melayani laki-laki (sebagai PSK) setelah
hampir seminggu bekerja di salah satu
Café di Marelan. Surti merupakan
korban trafficking untuk tujuan seksual.
Ia diperdagangkan dari tangan ketangan,
sampai akhirnya ia dilacurkan di daerah
Duri, Riau. Beberapa pihak yang terlibat
memperdagangkan Surti adalah
Agustina, Desi, Dewi, Badi dan Lela.
Sering kali ia mendapat kekerasan fisik.
Dipukul, ditendang dan bentuk
kekerasan fisik lainnya bila tidak mau
melayani lelaki hidung belang saat ia
dilacurkan. Akibat kekerasan fisik yang
dialaminya, sampai saat ini Surti sering
batuk darah, Surti sering diperlakukan
tidak manusiawi, ia sering mendapat
ancaman dan pemaksaan terutama
dengan lelaki yang akan menidurinya
secara paksa.
Ia hanya dibayar 100 ribu per sekali
kencan. Tetapi pihak pengelola Café
banyak sekali membuat pemotongan,
uang makan, uanag sewa tempat dan
sebagainya, sehingga ia hanya
mendapatkan 10 sampai 20 ribu. Akibat
tekanan psikis yang dialaminya selama
di Riau, Surti mengalami trauma yang
berat. Nyeri pada kemaluan dan
keputihan sering dialaminya. Selain itu,
para lelaki hidung belang yang
menggaulinya tidak ada yang memakai
alat kontrasepsi/pencegah kehamilan.
Selain itu, ada juga yang dijanjikan
bekerja sebagai PRT lari dari majikan
kemudian diselamatkan seseorang,
seseorang ini lalu membawakannya
kepada seorang “tubang” untuk
dijadikan isteri simpanan.
Untuk perempuan dewasa, ada sebutan
lain, yaitu prenjak, yang juga diambil
dari nama burung. Ini kepanjangan dari
perempuan nunggu diajak, atau ada
yang mengatakan pula kepanjangannya
adalah perempuan ngajak
kenthu/bersenggama. Kedua istilah ini
menggantikan istilah warrior yang
sebelumnya digunakan untuk
menyebutkan para PSK jalanan (baik
anak maupun orang dewasa).
Pelacuran terhadap anak di kota ini,
diduga sudah berlangsung sejak lama,
namun tidak tersedia informasi tertulis
mengenai hal ini. Pada awal tahun 90-
an, keberadaan anak-anak yang
dilacurkan sudah terlihat di ruang
publik, khususnya di seputar kawasan
Simpang Lima. Pada masa itu, ada dua
kelompok besar yang biasa berkumpul di
tempat yang berdekatan, yaitu di seputar
Lapangan Simpang Lima dan di Jalan
Pahlawan (Shalahuddin, 2004).
Paguyuban Anak Jalanan Semarang
(PAJS) mencatat pada tahun 1997, di
salah satu mall yang berada di kawasan
Simpang Lima tercatat ada 57 anak-anak
yang dilacurkan, sebagian besar masih
aktif bersekolah di tingkat SLTP dan
SMU. Studi Yayasan Setara pada tahun
1999 mengenai anak jalanan perempuan
di Semarang mencatat bahwa 46,4%
anak jalanan perempuan telah
dijerumuskan ke dalam prostitusi
(Shalahuddin, 2000).
Pertengahan tahun 1998 hingga tahun
2001 pelacuran anak semakin nyata
terang-terangan. Kehadiran anak-anak
yang dilacurkan pada prostitusi jalanan
menjadi pemandangan biasa di banyak
ruas-ruas jalan di kota Semarang.
Khususnya di Kawasan Simpang Lima
yang merupakan pusat kota Semarang
dan di sepanjang Jalan pemuda yang
merupakan kawasan Pusat
Pemerintahan.
9. tersembunyi dan hanya bisa diakses
secara terbatas. Dengan demikian
dibutuhkan kemampuan untuk
membongkar praktek semacam itu guna
menyelamatkan anak-anak sekaligus
untuk melakukan berbagai upaya
pencegahan agar anak-anak tidak
menjadi korban.
Bentuk ESKA lain yang terjadi di
Semarang adalah pornografi anak,
walaupun masih dibutuhkan penelitian
yang lebih mendalam. Bentuk pornografi
anak yang paling banyak dijumpai
adalah warnet-warnet yang menyediakan
folder-folder pornografi di folder-folder
di komputer (juga untuk anak-anak)
tanpa perlu mengakses internet.
Kasus yang pernah ditemui adalah
rekaman film porno seorang anak
melalui handphone telah diedarkan oleh
pacarnya sendiri. Tidak banyak informasi
yang diperoleh karena keluarga korban
tertutup dan mengungsikan anak ke
daerah lain. Ditemukan juga 4 anak
yang mengaku pernah menjadi korban
pornografi. 1 hanya menjadi korban
pornografi sedang 3 lainnya menjadi
korban prostitusi.
Nn (16 tahun), seorang anak jalanan
perempuan mengaku bersama seorang
kawannya (berumur 15 tahun) di foto
telanjang oleh orang asing yang tidak
bisa berbahasa Indonesia. Mereka difoto
dan diberi imbalan Rp.200.000.
Dua anak lain mengaku pernah difoto
dan direkam tamunya saat sedang
melakukan aktivitas seksual. Sedang
satu anak mengaku pernah bekerja
sebagai penari semi telanjang di sebuah
diskotik di Semarang. Menari hanya
dengan bra dan celana dalam dan
menerima tips yang dimasukkan
pelanggan ke dalam branya.
Rekaman-rekaman pornografi anak
tersebut besar kemungkinan merugaikan
anak-anak. Walaupun dengan dalih
untuk kepentingan koleksi pribadi,
perkembangan teknologi memungkinkan
rekaman dan foto-foto tersebut tersebar
secara luas dan cepat. Beragam kasus
penyebaran bahan pornografi yang
terungkap di Indonesia menunjukkan
penyebaran tersebut tanpa
sepengetahuan subyek.
Bentuk ESKA lainnya yang terjadi di
Semarang adalah perdagangan anak
untuk tujuan seksual. Kasus ini sudah
lama terjadi. Kasus pertama ditemukan
Yayasan Setara saat meneliti tentang
anak jalanan perempuan di Semarang
pada tahun 1999. Seorang anak jalanan
perempuan diperdagangkan ke wilayah
Batam (Shalahuddin, 2000). Pada tahun
berikutnya, Yayasan Setara (2000)
menemukan 10 anak jalanan perempuan
menjadi korban perdagangan anak untuk
tujuan seksual. Pada tahun 2003,
Yayasan Setara mencatat ada 14 anak
jalanan perempuan yang
diperdagangkan (Kompas, 13 Desember
2003).
Perekrutan dan pengiriman dilakukan
dalam skala kecil. Biasanya berkisar
antara 4-6 anak. Daerah tujuan adalah
Batam. Namun penelitian Prabandari
18 19
Surat Kabar Harian Kompas (9 Juli 2001)
mencatat data perkiraan jumlah PSK
yang beroperasi di jalanan di Semarang
berkisar 140-160 orang. 50-70 orang
beroperasi di Bundaran Simpang Lima,
50 orang di Jalan Pandanaran, 20 orang
di Jalan ahmad Yani, dan 20 orang di
Jalan Pemuda. 30 % dari jumlah tersebut
adalah anak-anak berusia di bawah 14
tahun, 50% usia 14-17 tahun, dan 20%
berusia 17-20 tahun.
Ini adalah sebuah bukti bahwa lebih dari
80% korban prostitusi jalanan adalah
anak-anak. Hal yang sama juga dicatat
IPEC-ILO (2004), bahwa 70% PSK di
jalanan adalah anak-anak. Secara
keseluruhan, diperkirakan ada 2.237
PSK di Semarang dan hampir
setengahnya adalah anak-anak ( 975
anak/43,6%).
Maraknya prostitusi jalanan di kota ini
telah dimulai sejak pertengahan tahun
1998. Penyebabnya adalah ditutupnya
lokalisasi Sunan Kuning dan
Gambilangu. Penutupan ini berdampak
pada larinya para PSK ke jalanan. Faktor
lain yang turut mempengaruhi adalah
situasi krisis ekonomi yang parah.
Ribuan pekerja di sektor industri
mengalami PHK. Bekerja sebagai PSK
pun menjadi alternatif. Tak terhindari
lagi, keberadaan PSK jalanan, calo, dan
germo menarik anak-anak jalanan
perempuan ke prostitusi jalanan.
Penutupan lokalisasi itu sendiripun tidak
berjalan efektif. Tak lama berselang,
kedua lokalisasi tersebut kembali
beroperasi secara ilegal. Jumlahnya
menjadi semakin besar. Di Sunan Kuning
dari 147 germo menjadi 150 germo, dari
350 PSK menjadi 509 PSK. (Solopos, 19
Juli 1999).
Pelacuran terhadap anak-anak ini tidak
hanya terjadi di jalanan, cafe, dan
lokalisasi, melainkan juga di salon, panti
pijat, diskotik, hotel, tempat bilyar, dan
tempat-tempat karaoke. Anak-anak yang
dilacurkan juga hadir pada praktek
prostitusi tersembunyi, baik langsung
berhubungan dengan konsumen secara
terorganisir.
Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, saat ini, pelacuran anak di
jalanan tidak begitu menonjol. Tidak lagi
mudah menemukan mereka di pinggiran
jalan pusat keramaian kota. Biasanya
mereka mudah ditemukan di warung-
warung teh poci (pocinan) yang tumbuh
subur sejak masa krisis ekonomi.
Kebijakan pemerintah kota untuk
membersihkan kota dari Pocinan, yang
biasa menjadi tempat mengkal anak-
anak yang dilacurkan menimbulkan pola
pelacuran anak yang baru.
Tak ada lagi transaksi di Pocinan, maka
transaksi di kawasan Simpang Lima
berganti pola, yaitu dengan
menggunakan sepeda motor dan
memanfaatkan jasa calo/perantara. Pola
ini untuk menghindari penangkapan dari
Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol
PP).
Hal yang perlu diwaspadai adalah
penjerumusan anak ke dalam prostitusi
pada tempat-tempat yang lebih
10. 20 21
(2004), mengungkapkan telah terjadi
perubahan pola dan perluasan wilayah
tujuan. Pengiriman anak-anak mencapai
40-50 orang (termasuk anak) dengan
lebih teroganisir. Daerah tujuan pun
meluas ke Jakarta, Bangka, Surabaya,
Kalimantan, dan ke luar negeri.
Salah satu lokalisasi yang berada
di Semarang adalah lokalisasi
Argorejo. Lokalisasi ini terletak di
Jalan Sri Kuncoro sehingga orang
sering menyebut dengan singkatan
SK. Namun kemudian ada
kerancuan yang menyebutkan SK
sebagai kependekan dari Sunan
Kuning, yang merujuk pada
Makam Sunan Kuning yang
letaknya berdekatan dengan
lokalisasi tersebut.
Keberadaan lokalisasi Argorejo
ditetapkan melalui Surat
Keputusan Walikotamadya
Semarang No. 21/5/17/1966
tertanggal 15 Agustus 1966. Pada
tahun 1984, ada Surat Keputusan
Walikotamadya Semarang No.
462.3/529/1984 mengenai
penutupan dan pemindahan
lokalisasi WTS Argorejo,
Gambilangu, Sawah Besar.
Namun Keputusan ini tidak efektif
pelaksanaannya, hingga lokalisasi
ini tetap beroperasi
(Detiknews.com, 22 Maret 2005).
Pertengahan 1998, karena
desakan masyarakat lokalisasi
Lokasi-lokasi Prostitusi di Semarang
• Sunan Kuning
inipun ditutup. Penutupan
lokalisasi tanpa diimbangi dengan
upaya penanganan para
penghuninya menyebabkan para
PSK beroperasi di jalan-jalan
utama Semarang. Sayangnya, tak
lama kemudian praktek prostitusi
kembali berlangsung hingga saat
ini secara ilegal.
IPEC-ILO (2004) memperkirakan
20% dari PSK di lokalisasi Sunan
Kuning yang masih dalam batasan
umur anak atau 122 anak dari 614
PSK. Hal ini diamini para
konsumen pelacur anak.
Kasus perdagangan anak di Sunan
Kuning yang pernah terjadi dan
muncul dalam pemberitaan media
massa adalah kasus yang
menimpa dua anak (14 dan 16
tahun) dari Wonosobo dan satu
anak dari Kendal (16 tahun) pada
Desember 2004. Mereka dijual
senilai satu juta rupiah (Suara
Merdeka, 15 Desember 2004).
Kasus lain menimpa seorang anak
(17 tahun) dari Pekalongan pada
Juni 2007 oleh tetangganya
sendiri. Ia dijual senilai dua juta
rupiah (Suara Merdeka, 21
September 2007).
Lokalisasi yang disebut dengan
Resosialisasi Rowosari Atas
terletak di daerah perbatasan
antara Kota Semarang dengan
Kabupaten Kendal. Lokalisasi ini
lebih dikenal dengan sebutan
• Gambilangu
Gambilangu atau kerap disingkat
dengan sebutan GBL. Tempat ini
berada dipinggiran jalan utama.
Ada tiga pintu masuk ke kawasan
ini. Pintu paling Barat dan pintu
Tengah merupakan wilayah
Kabupaten Kendal sedangkan
Pintu Timur merupakan wilayah
Kota Semarang.
Setiap pintu masuk, memiliki
portal yang dijaga oleh preman
atau warga kampung. Khusus
portal di bagian Timur menjadi
milik perseorangan. Penjaga portal
wajib memberikan uang
keamanan kepada pengurus resos
sebesar dua ratus ribu rupiah
setiap bulannya.
Sebagai lokalisasi, pemerintah
kota Semarang telah melakukan
penutupan pada tahun 1998,
bersamaan dengan lokalisasi lain,
yaitu Sunan Kuning. Namun
kembali pula beroperasi tak lama
kemudian.
Kendati tak ada data yang pasti,
jumlah anak-anak yang dilacurkan
di sini lebih besar daripada di
Sunan Kuning. Berdasarkan hasil
observasi, hampir di setiap gang
dapat dijumpai orang-orang yang
diduga masih dalam batasan umur
anak. menurut Yt (17 thn), salah
seorang pelacur anak mengaku
memalsukan umur 3 tahun pada
KTP-nya. Tidak dapat dipastikan
jumlah pelacur anak dilokalisasi
ini tapi menurut Yt bila ada razia
KTP, pelacur anak disembunyikan.
Di lokalisasi ini para PSK tidak
terikat dengan germo. Kebanyakan
mereka tinggal di kos-kosan di
dalam kompleks. Mereka bebas
untuk menentukan waktu kegiatan
menerima tamu. Pemotongan bagi
para penghuni yang tinggal
bersama germo, hanya penyewaan
ruang karaoke, penjualan
minuman keras dan makanan
kecil, serta sewa kamar yang
berkisar antara Rp. 15.000 -
Rp.20.000 setiap kali pemakaian.
Simpang Lima merupakan pusat
kota Semarang yang merupakan
titik pertemuan lima jalan raya di
Semarang, yaitu Jalan Pahlawan,
Jalan Pandanaran, Jalan Gajah
Mada, Jalan A. Dahlan dan Jalan A
Yani. Di titik pertemuan ini
terdapat lapangan berbentuk
bundaran, dengan trotoar di
sisinya sebagai tempat untuk para
pejalan kaki. Sebagai kawasan
bisnis, di kawasan ini terdapat
sebuah hotel berbintang lima, dan
beberapa mall/plaza. Pada setiap
malam minggu hingga minggu
pagi kawasan ini jadi pusat
jajanan.
Pada tahun 1998-2001 pelacuran
anak marak terjadi di kawasan ini.
Perkembangan ini seiring dengan
bertambahnya warung-warung teh
poci. Di bundaran Simpang Lima -
informasi dari seorang pekerja
• Kawasan Simpang Lima
11. olo, cenderung marak dengan perdagangan anak
Suntuk tujuan seksual. Penelitian tentang ESKA di
daerah ini menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa kasus ESKA
yang terjadi di Solo adalah perdagangan anak untuk tujuan
seksual, sebanyak 27 kasus. 7 kasus adalah korban prostitusi
dan 4 kasus mengindikasikan kasus pornografi anak.Solo
23
sosial- pada awal tahun 1997 ada
sekitar 10 warung, namun pada
tahun 2000 telah meningkat lebih
dari 25 warung.
Warung-warung teh poci
(pocinan) menjadi tempat
mangkal para anak yang
dilacurkan dan para PSK yang
masih muda. Para PSK dan anak
yang dilacurkan tidak memiliki
keterikatan dengan pemilik
warung teh poci. Hubungan yang
terjadi dianggap saling
menguntungkan. Para PSK
mendapatkan tempat mangkal –
dan tempat perlindungan apabila
ada rasia - dan pemilik warung teh
poci mendapatkan pelanggan teh
dengan harga yang relatif mahal.
Penjual teh poci kerap menjadi
perantara antara PSK dengan
pelanggannya. Tidak ada
keterikatan. Tarif ditentukan di
warung teh poci, setelah
pembayaran yang dipegang
penjual teh poci sampai aktivitas
seksual selesai, aktivitas seksual
pun dilakukan di tempat yang
disepakati (Ursbanky, 2006).
Pelacuran ini dianggap tidak
terorganisir karena penjual teh
poci hanya sarana antara
pelanggan dan PSK.
Walaupun praktek prostitusi di
kawasan Simpang Lima
berlangsung di jalanan, tarif
transaksi lebih besar dari lokalisasi
lain. Tarif di Sunan Kuning antara
Rp. 70.000-Rp. 100.000, di
Gambilangu antara Rp50.000-
Rp70.000 dengan biaya kamar
yang ditanggung oleh PSK, tarif di
kawasan Simpang Lima berkisar
antara Rp150.000-Rp 250.000
dengan biaya kamar (biasanya
hotel seputaran Simpang Lima)
ditanggung konsumen.
Saat ini anak yang dilacurkan di
kawasan Simpang Lima sudah
jauh berkurang. Dibersihkannya
warung teh poci sebagai tempat
mangkal, menciptakan pola baru
transaksi. Yaitu menggunakan jasa
calo/perantara yang akan mencari
pelanggan. Bila ada kesepakatan,
maka subyek akan dikontak atau
dijemput oleh calo/perantara. Pola
yang lain adalah subyek
berpasangan dengan kawannya
menggunakan sepeda motor
mangkal di seputar kawasan
Simpang Lima. Tempat mangkal
bisa berpindah-pindah. Dua pola
ini merupakan salah satu bentuk
upaya pencegahan agar tidak
mudah tertangkap bilamana ada
rasia.
22
Sebagian besar anak menjadi korban
ESKA untuk pertama kali saat berusia 16
tahun. Pada usia 16 tahun atau rentang
usia dikisaran ini merupakan usia yang
paling rawan bagi seorang anak. Proses
pencarian identitas diri seorang anak
selalu melibatkan lingkungan yang ada
disekitarnya termasuk melibatkan teman-
teman sebayanya (peer group). Teman-
teman sebaya akan sangat
mempengaruhi dalam membentuk pola
pikir dan perilaku seorang anak.
Tempat berlangsungnya aktivitas seksual
anak pertama sekali hingga terjebak
ESKA sebagian besar di lingkungan kost/
kontrakan yang didiami oleh responden
sendiri maupun pacar/teman, sebagian
di rumah/tempat tinggal korban,
sebagian di Kafe, hotel, di jalanan, di
kebun, bahkan ada yang di luar kota,
Malang dan Jogja.
12. Di , ada tiga faktor utama
penyebab anak terjerat ESKA adalah
faktor penarik atau permintaan yang
datang dari jaringan pelacuran yang
mengoperasikan indsutri seks di
perkotaan, faktor persediaan atau pen-
dorong yang terjadi di daerah-daerah
yang teridentifikasi sebagai daerah
pengirim pelacuran, faktor perantara
yang memfasilitasi hubungan antara
faktor permintaan dan faktor persediaan.
Ketiga faktor ini terkombinasi secara rapi
dalam proses yang dinamakan 'Luruh
Duit”.
Bekerjanya anak-anak sebagai PSK di
luar Indramayu, khususnya Jakarta,
menunjukkan adanya faktor penarik
yakni adanya permintaan dari tempat-
tempat hiburan di Jakarta akan para PSK
anak. Sedangkan wilayah Indramayu
sendiri sebagai faktor persediaan atau
pendorong, khususnya di kecamatan
lokasi penelitian, memiliki banyak anak
Indramayu yang putus sekolah atau tidak
melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi. Kedua faktor tersebut
tidak akan bekerja dengan lancar
seandainya tidak ada faktor ketiga, yakni
faktor perantara. Di Indramayu para
perantara tersebut juga orang Indramayu
sendiri, yang tidak lain adalah orang-
orang dekat atau orang-orang yang
dikenal oleh anak-anak korban ESKA.
Di daerah pengirim pelacuran sendiri ter-
dapat faktor pendorong dan faktor
pendukung. Faktor pendorong meliputi
budaya dan kepercayaan (sistem patri-
monial, tradisi pernikahan/Buwu), perni-
kahan dan perceraian yang diatur,
kebanggaan menjadi janda, dan penya-
maan anak dengan sawah dan uang
yang banyak), sikap terhadap pernikah-
an, motif berkuasa, dan materialisme.
Sedangkan faktor pendukung meliputi
perlakuan sosial (kontrol sosial),
sosialisasi, dan persepsi terhadap pendi-
urabaya tercatat sebagai kota dengan kasus ESKA
Syang cukup tinggi. Eksploitasi Seksual Komersial Anak
di kota ini juga terbilang besar. Salah satu lokalisasi yang sudah
santer terdengar, dikenal secara nasional adalah lokalisasi Dolly.
Anak-anak korban ESKA, terutama prostitusi anak dan trafficking
untuk tujuan seksual sebagian besar berada di lokalisasi ini.Surabaya
24
Jenis ESKA yang ditemukan terjadi di
kota ini adalah ptostitusi anak, trafficking
untuk tujuan pelacuran, dan pornografi
anak. Anak-anak korban trafficking
sebagian besar berasal dari daerah-
daerah sekitar Surabaya. Mereka adalah
anak-anak kampung yang dieksploitasi,
diangkut dari desa dengan iming-iming
pekerjaan yang menghasilkan banyak
uang. Anak-anak ini adalah korban
penipuan. Ada yang berasal dari
Bojonegoro, Jember, Jombang, Malang,
Probolinggo, Situbondo, Jombang,
bahkan ada yang berasal dari Nusa
Tenggara Barat.
Anak-anak korban trafficking ini
diangkut dari kampung ditawari
pekerjaan di Surabaya. Entah sebagai
Pembantu Rumah Tangga (PRT) ataupun
bekerja di toko. Karena ditawari
pekerjaan dan mengingat sulitnya
mencari uang di kampung, anak-anak
inipun menerima tawaran. Tambahan
pula, penelitian yang dilakukan
menunjuukan sebagian besar responden
penelitian adalah anak sulung, artinya
ada tanggung jawab terhadap keluarga
yang diletakkan di atas pundak mereka.
Sebagian anak pula karena himpitan
ekonomi, berangkat ke kota.
Sesampainya di kota bertemu dengan
orang-orang (kemungkinan besar
sindikat perdagangan orang) yang
menawarkan pekerjaan. Kemudian dijual
ke lokalisasi. Karena belum pernah ke
kota anak-anak ini tidak curiga dan tidak
tahu kemana tujuan mereka dibawa.
Sebagian pula berkenalan dengan
seseorang laki-laki yang secara fisik
berpenampilan mernarik, menawarkan
jasa. Tak lama akhirnya menjadi pacar
anak (kiwir). Setelah berhasil membujuk
anak melakukan hubungan seksual
mereka menempatkan anak atau
menyuruh anak bekerja di lokalisasi.
Rasa bersalah anak karena tidak
mempertahankan keperawanan
dimanfaatkan untuk menjerumuskan
anak ke dalam prostitusi. Anak-anak ini
juga tidak melaporkan masalah mereka
kepada orang lain karena merasa
mampu menyelesaikan masalah mereka
sendiri ataupun merasa semuanya sudah
sia-sia.
Anak-anak korban prostitusi sebagian
besar adalah anak-anak asli Surabaya.
Sebagian besar mereka adalah pelajar
yang terlibat prostitusi karena ajakan
teman sekolah ataupun teman
bergaulnya. Walaupun ada juga yang
berasal dari luar daerah Surabaya.
Seperti Pasuruan, Lumajang, Blitar,
Probolinggo, Nganjuk, Gresik, Kubang,
Blora, dan Kalimatan. Sebagian pula
karena masyarakat mereka terbiasa
dengan pekerjaan sebagai PSK. Seperti
penuturan salah satu responden yang
mengaku menjadi pelacur karena ibu
dan kakaknya juga telah menjadi
pelacur.
Sedangkan pornografi anak yang terjadi
di kota ini lebih kepada pornografi di
25
warung internet, pornografi rekaman di
ponsel. Pernah terjadi pada seorang
anak sekolah di kota ini, rekaman
sewaktu berhubungan intim dengan
pacarnya di pesta ulang tahun salah
seorang temannya beredar dari ponsel
ke ponsel di sekolah. Pelakunya adalah
teman-temannya sendiri. Rekaman ini
sendiri dijual dengan harga Rp.50.000.
VII. Faktor-faktor penyebab anak terjerat ESKA
13. 26 27
dikan. (Koentjoro 2004: 100 - 108)
Bagaimana data lapangan membuktikan
hal tersebut? Ketika ditanya mengapa
tidak sekolah hampir semua jawaban
menyatakan faktor biaya dengan kalimat
yang berbeda-beda. Ada yang
menjadikannya alasan tunggal, ada yang
disertai alasan-alasan lainnya. Ketiadaan
biaya untuk melanjutkan sekolah inilah
yang seolah menjadi pintu pembuka
bagi anak untuk cepat-cepat bekerja.
Putus sekolah karena faktor ketiadaan
biaya ini masih harus dikritisi lagi karena
terlihat lebih dilatarbelakangi oleh
persepsi pendidikan yang negatif. Dalam
arti mereka tidaklah berada dalam
kondisi miskin secara riil, karena mereka
bisa dan berani untuk mengeluarkan
biaya yang lebih besar untuk keperluan
lain di luar bidang pendidikan, tetapi
tidak mau melakukannya untuk
keperluan pendidikan.
Kecenderungan putus sekolah ini
sebetulnya berada dalam kompleksitas
permasalahan yang lebih besar, seperti
pergaulan bebas, nilai-nilai yang
melegalkan tindakan luruh duit,
bekerjanya kaki tangan industri hiburan
dari kota-kota besar serta lemahnya
penegakan hukum. Kenyataan lainnya
adalah adanya praktek pergaulan bebas
yang menyebabkan adanya
pemerkosaan, hamil di luar nikah dan
pernikahan usia dini yang berujung
perceraian. Selain itu juga adanya
jeratan hutang orangtua dengan
menjadikan anak perempuan sebagai
jaminan pembayar utang.
Sedangkan di faktor penyebabManado
anak menjadi korban ESKA adalah di
samping motivasi untuk mecari uang,
penghasilan karena tidak lagi
bersekolah, sebagian anak mengaku
karena ingin penghasilan tambahan, dan
sebagian mengaku karena pergaulan
antar teman apalagi sebagian besar
adalah para pendatang yang indekos di
kota Manado.
Selain faktor ekonomi sebagai pemicu
utama, ternyata kecenderungan gaya
hidup hedon, ingin memiliki lebih
banyak sesuai perkembangan zaman
menyeret anak-anak ini menjadi korban
ESKA. Awalnya hanya diajak kenalan
dengan para pengguna jasa mereka oleh
seorang teman di sebuah diskotik, tak
dinyana merekapun akhirnya terjerat
ESKA.
Di sendiri, ada 3 faktor penyebab
para pelajar yang dikenal sebagai anak
rumahan oleh orang tua mereka terjebak
ESKA. Pertama adalah faktor pemicu.
Yakni, gaya berpacaran yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas sehingga tidak
perawan lagi atau dikecewakan pacar
(18 kasus), konsumerisme, yakni ingin
ikut gaya hidup mewah seperti punya
HP, baju bagus dan sebagainya (8 kasus),
dan pengaruh teman bergaul.
Seperti terjadi pada Dita, siswi salah satu
sekolah di Medan. Usianya masih 16
tahun, ia juga salah satu korban
pelacuran anak yang berawal dari
pergaulan dan teman-teman yang buruk.
Dita bercerita bahwa semuanya bermula
di tahun lalu (2006). Dita diajak teman
satu permainan (geng) di sekolah untuk
Medan
have fun ke diskotik untuk mengenal
dunia malam (dugem). Di diskotik dia
mabuk. Dalam kondisi tidak sadarkan
diri teman-temannya menawarkan Dita
pada salah seorang tamu didiskotik
untuk “dipake”.
Dita kemudian dibawa ke salah satu
losmen di Medan. Esok harinya ia baru
sadar bahwa keperawanannya sudah
hilang. Beberapa lembar uang ratusan
ribu ia terima sebagai kompensasi.
Desakan ekonomi dan bujukan teman-
teman akhirnya sampai sekarang dia
masih melakukan pekerjaan tersebut
dengan sembunyi-sembunyi.
Faktor penyebab langsung adalah diajak
teman (24 kasus) dan memakan uang
sekolah (6 kasus). Dari kedua faktor ini
dapat dilihat pola penyebaran anak-anak
korban ESKA ini sangat berhubungan
dengan lingkungan sekolah, terutama
teman yang dipilih sebagai tempat
curhat dan pola pengawasan guru dan
intensitas kordinasi guru dengan pihak
wali murid bila anak terlambat
membayar uang sekolah.
Faktor pemicu, sebagian besar anak
mengaku harus merelakan
kehormatannya secara komersil
dipengaruhi dua alasan utama, yakni,
pertama sudah tidak perawan lagi dan
kedua, butuh uang.
Lain halnya dengan . Alasan
utama anak melakukan kegiatan
pelacuran saat ini adalah untuk
mendapatkan penghasilan baik untuk
keperluan diri sendiri maupun untuk
Semarang
mendukung ekonomi keluarga. Alasan-
alasan yang dikemukakan dan
mencermati proses bagaimana proses
awal anak menjadi korban ESKA, alasan
menjadi tidak bersifat tunggal. Namun
ada berbagai faktor yang saling
mempengaruhi.
Ada beberapa anak mengaku menjadi
pealcur karena direkrut calo dan germo.
daripada menjadi nakal dan tidak
sekolah, sebagian anak memilih bekerja
saja, walaupun menjadi PSK. Sekalian
merubah nasib kata mereka. Yang
penting ada hasil dan bahkan kalau bisa
merubah nasib keluarga biar tidak
melarat.
Beberapa anak mengaku karena sudah
tidak perawan lagi. Sudah terlanjur tidak
perawan, merekapun memilih menjadi
PSK. Sudah terlanjur basah istilahnya.
Karena sudah tidak perawan pula,
mereka merasa lebih baik bekerja
sebagai PSK, ada penghasilannya,
daripada berhubungan seks dengan
orang lain secara gratis. Faktor lain
adalah ajakan teman dan pengaruh
pergaulan. Seperti Yt yang asli dari
Jepara. Ia diajak teman satu kampungnya
yang bekerja sebagai pelacur di
Semarang. Bahkan mereka tinggal di
satu rumah, para PSK dari Jepara.
Sebagian anak mengatakan mereka
terjerat ESKA karena ditipu. Faktor
lainnya adalah broken home. Seperti
dialami SR karena perpisahan orang
tuanya, ia sudah menggelandang sejak
umur 12 tahun, akhirnya menjadi PSK
karena tuntutan hidup.
14. 28 29
menjadi pelacur. Ajakan teman-teman
bergaul juga sangat berpengaruh.
Kompensasinya pun cukup lumayan
secara materi. Tambahan lagi lingkungan
yang mendukung, bahwa prostitusi
bukanlah sesuatu yang memalukan.
Malahan ibu dan kakak dari seorang
responden anak adalah juga seorang
pelacur.
VIII. Usia Rata-rata Korban ESKA
Berdasarkan temuan di lapangan, anak-
anak yang menjadi koran ESKA di kota
ini Indramayu berumur 14-18 tahun.
Anak-anak yang sudah berusia 18 tahun
ini bahkan sudah menjalankan praktek
prostitusi selama beberapa tahun,
sehingga ketika terjun pertama kali
menjadi PSK usia mereka masih sangat
muda. Bahkan ada yang sejak berumur
12 tahun. Sedangkan di Semarang
berumur 13-18 tahun. PSK dewasa pun
banyak yang telah lama menjadi PSK
sejak usia mereka sangat muda atau
anak-anak. Beberapa anak mengaku
melakukan hubungan seks pertama
sekali saat berumur 10 dan 11 tahun.
Sedangkan di kota Solo anak-anak
korban ESKA di kota ini berumur rata-
rata 12-17 tahun. Di Medan bila dilihat
dari segi usia, kecendrungan anak untuk
terseret kedunia ESKA memang masih
didominasi usia 17 tahun. Walaupun
Gaya hidup konsumerisme juga
memberi kontribusi penyebab anak-anak
terjerat oleh ESKA. Keinginan memiliki
semua fasilitas teknologi modern dan
penampilan yang bagus (baju bagus).
Lebih parahnya adalah
dijerumuskan/didorong oleh anggota
keluarga sendiri. Oleh paman karena
tinggal dengan paman, atau karena
tuntutan keluarga. Seperti terjadi pada
En, 14 tahun. Karena menjadi tumpuan
ekonomi keluarga, ketika ditawari
bekerja di Kalimantan, ibunya mendesak
untuk menerima, meskipun tahu
anaknya akan menjadi korban prostitusi.
, kota dengan tingkat kemiskinan
yang tinggi dan tekanan ekonomi yang
sangat kuat, menjadi faktor yang sangat
dominan yang menyebabkan anak-anak
masuk ke dalam dunia ESKA. Situasi
keluarga yang serba kekurangan
menjadikan anak-anak berkeinginan
mencari uang sendiri. Sayangnya
keinginan tersebut tidak dibarengi
dengan pendidikan dan keterampilan.
Akibatnya mereka dengan mudah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tersebut
sebagai objek seksual.
Faktor lain yang menjadi penyebab,
karena sebagian anak justru bukan dari
keluarga miskin, adalah kurangnya kasih
sayang atau keluarga yang berantakan.
Bagi sebagian anak sekolah menjadi
tempat yang tidak nyaman, sehingga
perlu dihindari. Bukan saja karena
sistem pendidikan yang menurut mereka
sangat membosankan, jiwa berontak
anak menyebabkan anak-anak berusaha
mencari kesenangan tersebut di luar
Solo
sekolah. Bagaimanapaun juga anak-anak
belum bisa menentukan sesuatu hal
yang terbaik untuk dirinya sendiri. Hal
yang perlu dilakukan adalah bagaimana
sekolah sekarang ini bisa menjadi
tempat yang menyenangkan dan
menjadi tempat yang nyaman bagi anak
sehingga anak mempunyai bekal
pendidikan dan keterampilan.
Hubungan pacaran yang tidak sehat
anak, hubungan yang kelewat batas juga
menjadi faktor penyebab anak menjadi
korban ESKA. Merasa frustasi karena
sudah tidak perawan lagi dan pacar yang
tidak bertanggung jawab, dalam
lingkungan pergaulan yang tidak sehat
pula membawa anak-anak terjebak
ESKA. Apalagi tidak ada dukungan dari
lingkungan sekitar yang membuat
mereka merasa berharga.
Faktor yang melanggengkan anak untuk
tetap berada dalam lingkaran ESKA
adalah sebuah kenyataan bahwa bekerja
di sektor ini membuat anak merasa
mudah mendapatkan uang untuk
mencukupi kebutuhan mereka, bahkan
ketika mereka berkeinginan untuk
keluar, anak-anak mengalami kesulitan
karena pengaruh orang lain, atau sudah
terlanjur nyaman dengan kondisi
mereka.
Begitu juga dengan , setali tiga
uang dengan kota-kota lainnya.
Permasalahan ESKA di kota ini
penyebabnya juga tak jauh beda dengan
daerah lain di Indonesia. Faktor yang
sangat besar pengaruhnya adalah
kondisi perekonomian masyarakat di
Surabaya
desa asal anak sehingga anak
memutuskan berangkat bekerja ke kota
dan akhirnya ditipu. Sebagian melarikan
diri ke kota karena dipaksa kawin oleh
orang tua lalu ditipu dan dijual ke
lokalisasi. Anak-anak korban prostitusi
rata-rata menjadi korban karena
hubungan seks yang terlalu bebas.
Sudah tidak perawan lagi dan akhirnya
ditemukan 1 atau 2 anak yang masih
berusia 12 tahun. Meskipun demikian,
dari berbagai data yang telah dihimpun
umur tidak menempati peranan utama
yang membuat anak rentan menjadi
ESKA, melainkan lebih pada jangkauan
dan gaya pergaulan yang diikutinya dan
seberapa jauh seorang anak telah masuk
ke dalam pergaulan itu.
Anak-anak korban ESKA di Surabaya
rata-rata berumur 15-18 tahun. Anak
korban traficking untuk tujuan seksual
ada yang ditemukan berumur 12 tahun
dan pertama sekali menjadi korban
ESKA saat berumur 10 tahun.
Di kota Manado anak-anak korban ESKA
sebagian besar berumur 18 tahun.
Temuan di lapangan usia yang termuda
adalah 15 tahun dalam jumlah yang
sedikit. Selebihnya berkisar 16-18 tahun.
15. membangun rumah atau membeli
kendaraan. Orang tua biasanya
mengantarkan anaknya ke calo-calo
yang mereka kenal, yang kemudian
baru dibawa ke daerah tujuan. Di sana
anak ditampung dalam satu rumah yang
dijaga oleh orang asli sini.
Pihak lain yang juga berperan sebagai
calo adalah teman sebaya yang sudah
menjadi PSK di luar kota. Ketika pulang
mereka mengajak teman-teman sebaya
untuk pesta sambil menawarkan untuk
bekerja seperti dirinya. Jika memperoleh
sambutan maka korban diajak ke rumah
germo yang juga warga Indramayu, yang
lalu mempekerjakannya.
Di , pelaku ESKA terhadap anak-
anak adalah teman-teman bergaul
mereka dan pacar. Karena sebagian
besar anak-anak ini menjadi ESKA
karena sudah tidak perawan lagi.
Sedangkan di praktik prostitusi
anak sebagian besar adalah karena
ajakan teman sebab terlanjur tidak
perawan. Dari berbagai informasi yang
dihimpun, didapatkan beberapa karakter
pelaku dan perantara, baik berdasarkan
profesi maupun hubungannya dengan
anak korban, yaitu: Pemilik salon,
pemilik café, pengusaha
diskotik/karaoke, pengusaha hotel dan
–tentu saja- konsumen (pegiat seks
anak).
Di kota ini para konsumen seks atau
pelaku ESKA ini dikenal dengan istilah
Tubang, istilah yang sangat popular
Manado
Medan
justru di kalangan pelajar. Dengan kata
lain terminology istilah Tubang
diciptakan oleh anak-anak yang
dilibatkan dalam bisnis seks ini. Dari
berbagai informasi yang dihimpun dari
50 responden penelitian ini, secara
operasional Tubang (singkatan dari Tua
Bangka) atau Tebe mengacu pada orang-
orang yang menikmati seks dengan
anak-anak. Tubang berbeda dengan om-
om senang yang menikmati seks, karena
om-om digunakan untuk semua pegiat
seks baik anak maupun PSK. Sementara
Tubang lebih mengacu pada pegiat seks
anak atau remaja.
Soal usia, tidak ada batasan umur
Tubang. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan, secara keseluruhan para
pemakai (pegiat seks anak) berusia 30-
60 tahun. Dari 50 anak yang
diwawancarai menyebutkan, hanya ada
tiga konsumen (pegiat seks) yang berusia
di bawah 30 tahun, dan satu konsumen
yang berusia di atas 60 tahun. Jadi, usia
30 bisa juga disebut Tubang. Begitupun
umur 65 ke atas juga dikatorikan
Tubang.
Anak yang dilacurkan tidak pernah
menyebut pegiat seks seperti ini dengan
Tubang saat bertemu. Tubang hanya
menjadi konsumsi pembicaraan justru
ketika si Tubang tidak lagi ada di
hadapan mereka, karena pegiat seks ini
akan tersinggung kalau dirinya disebut
Tubang. Tubang memiliki konotasi
negative dan merendahkan, walaupun
memang pada kenyataannya mereka itu
rendah dan negative.
30
IX. Pelaku ESKA
31
Di , pelaku pelacuran anak
(ESKA) yang biasa dikenal sebagai luruh
duit di kota ini adalah orang tua ataupun
keluarga anak. Informasi tentang tata
cara 'Luruh Duit' diperoleh para
orangtua atau suami dengan cara
bertanya-tanya kepada mereka yang
telah pergi 'Luruh Duit' atau tetangga.
Anak-anak pun memperoleh informasi
yang sama kepada teman sebayanya
yang menjadi 'telembuk'. Tetangga,
'telembuk', atau teman sebaya yang men-
jadi 'telembuk' lalu menunjukkan siapa
yang biasa menjadi penyalur ke kota.
Memperoleh informasi saat ini sudah
tidak susah karena warga mengetahui sia-
pa yang menjadi calo, sehingga mereka
bisa langsung menghubungi.
Hubungan antara orangtua dan
calo/germo lokal berlanjut dengan kese-
pakatan. Untuk menjadi 'telembuk', jika
perawan memperoleh nilai yang tinggi,
yaitu antara 2,5 juta sampai 5 juta.
Jumlah uang tersebut sangat besar
menurut mereka, sehingga para orangtua
telah mempersiapkan anak sejak jauh
hari dan keputusan ini biasanya terjadi
pada kelas 6 SD atau kelas 3 SLTP
menjelang mereka tamat sekolah. Para
calo/germo sendiri biasanya mempunyai
daftar anak-anak pada tingkatan kelas ter-
sebut yang potensial untuk menjadi
'telembuk'. Salah seorang calo/germo,
bahkan mempunyai foto-foto perempuan
muda di desanya.
Para calo biasanya juga mengerti seluk
beluk kota tujuan, seperti kota Jakarta
dan Bandung, termasuk seluk beluk
Indramayu dunia malam. Ada di antara mereka
yang awalnya hanya pekerja cleaning
service di diskotik, tetapi kemudian oleh
'mami-mami' mereka disuruh mencari
korban di kampung dengan imbalan
uang yang menggiurkan.
Terdapat beberapa tahapan yang
dilakukan oleh para calo dan germo di
lapangan, yakni antara lain :
• Menawarkan pekerjaan di luar
negeri, tetapi ternyata hanya
ditempatkan di luar daerah (untuk
yang TKW).
• Menawarkan langsung untuk
menjadi PSK ke orangtua terlebih
dulu dengan cara mengimingi
uang. Istilahnya ngebon dulu,
misalnya Rp 2 juta. Anak belum
berangkat diberi uang. Uang
tersebut berasal dari germo
melalui calo. Uang ini
dibebankan pada anaknya.
Konsekuensinya, anak selama
beberapa bulan tidak menerima
gaji atau upah untuk mengganti
uang yang telah diberikan ke
orangtuanya.
• Calo mengatur waktu
keberangkatan anak termasuk
transportasinya Sekali berangkat
calo membawa minimal empat
orang, termasuk korban dari
daerah lain.
Selain jalur tersebut, terkadang orangtua
sendiri yang berkeinginan 'menjual'
anaknya. Dalam hal ini anak lebih
banyak dipaksa oleh orangtuanya yang
sedang terjerat hutang atau ingin
16. 32
Salah satu temuan baru, paling menarik
yang paling mengejutkan dalam
penelitian ini ABG-ABG (Anak Baru
Gede) yang berstatus pelajar itu menjadi
korban pelacuran anak sebagian besar
terjadi di siang hari, dengan
perbandingan dengan anak yang
melakukannya di malam hari
berbanding 5:1. Para Tubang, istilah
anak-anak itu menyebut pelanggan
mereka yang berusia rata-rata 30-50
tahun itu mengeksploitasi anak-anak
berkisar pukul 3 hingga pukul 6 sore.
Lain halnya di , pelaku dan
perantara yang menjerumuskan anak-
anak menjadi korban ESKA yang
diidentifikasikan berdasarkan hasil
penelitian ini adalah orang-orang yang
sebelumnya telah dikenal oleh anak
yaitu pacar, tetangga, teman dan anggota
keluarga sendiri.
Kenyataan ini menyebabkan
kemungkinan ancaman terhadap anak-
anak sebagai korban ESKA menjadi
tinggi. Diperlukan suatu promosi dan
pendidikan terhadap anak-anak
mengenai ESKA sehingga anak-anak
sendiri bisa mewaspadai dan
menghindari diri agar tidak menjadi
korban.
Sama halnya seperti di Semarang, di
para pelaku yang menjerat anak
dalam praktik ESKA di kota ini sebagian
besar adalah pacar korban, lalu teman,
baik teman dekat ataupun teman biasa,
serta preman atau germo yang ada di
kota Solo. Bahkan sebagian tidak kenal
dengan pelakunya.
Sementara di yang merupakan
kota terbesar kedua di Indonesia,
Semarang
Solo
Surabaya
terdapat jaringan pelaku ESKA. Untuk
anak-anak korban trafficking untuk
tujuan seksual jaringan pelaku ini mulai
dari perekrut gadis desa, biasanya
adalah warga desa yang sudah bekerja
di kota sehingga ia punya akses yang
besar terhadap anak-anak desa. Ada
pula penampung, distributor, pembeli,
dan pemakai.
Sebagian besar korban trafficking
mengaku tidak terlalu ingat dan kenal
dengan pelakunya. Pertemuan dengan
pelaku berlangsung hanya sekali atau
dua kali saja. Keluguan anak-anak desa
ini benar-benar dimanfaatkan. Jaringan
pelaku ini paham benar siapa targetnya,
bagiamana ciri-ciri mereka, dan
bagaimana menyeret mereka ke dalam
lingkaran ESKA. Pertemuan awal hingga
anak menaruh percaya bisa berlangsung
dalam pertemuan singkat. Biasanya
dengan dijanjikan pekerjaan.
Seperti terjadi pada salah satu
narasumber. Sebut saja namanya
Anggrek. Anggrek sekarnag berumur 12
tahun. Kejadiannya berlansung saat
Anggrek masih berumur 10 tahun.
Seperti juga halnya dengan Melati.
Melati bertemu dengan seseorang,
berkenalan lalu diajak naik bus ke
Banyuwangi. Di dalam bus Melati diapit
dua orang laki-laki dan satu orang
perempuan. Ia ditawarkan bekerja pada
seorang tante yang baik. Namun dengan
dalih hari sudah malam dan si tante
tidak ada di rumah iapun diajak bekerja
di Surabaya dengan gaji besar. Merasa
ini adalah tawaran yang bagus,
Melatipun menerima tawaran tersebut
tanpa tahu bahwa dirinya akan dijadikan
seorang PSK.
Anak-anak ini juga kerap dijebak
jaringan pelaku lewat seorang pemuda
yang secara fisik menarik biasa disebut
kiwir. Tak lama setelah berkenalan lelaki
ini menajadi pacar anak dan berhasil
membujuk anak untuk berhubungan
33
seksual. Setelah itu dengan
memanfaatkan rasa bersalah anak, anak
dipaksa menjadi PSK. Anak-anak korban
prsotitusi pelakunya tak jarang adalah
teman-temannya sendiri.
X. Perang Terhadap ESKA
Mengapa ESKA harus diperangi? Ini
bukanlah sebuah kalimat retorik. Karena
ada banyak alasan untuk tidak
membenarkan eksploitasi seksual
terhadap anak. Salah satunya dampak
kekerasan yang sering dialami anak.
Dampak kekerasan itu bukan saja secara
verbal, tapi juga fisik, dan psikis. Tak
sedikit juga anak yang rentan tertular
Penyakit Menular Seks (PMS) dan
HIV/AIDS.
Kekerasan verbal yang sering dialami
anak adalah berupa cacian, makian, dan
ancaman. Kekerasan fisik berupa
tamparan, jambakan, cubitan, pukulan,
tendangan, bahkan siskaan berupa
melakukan anal seks yang sangat
melukai anak. Sering pula anak tidak
dibayar disertai dengan ancaman.
Kekerasan psikis yang dialami anak
berupa merasa dikucilkan, rendah diri,
dan merasa tidak berarti, beberapa anak
bahkan sampai trauma.
Sedangkan kekerasan seksual, yang
mereka alami antara lain adalah ketika
diperkosa oleh pacar atau tamu yang
membeli keperawanan mereka serta
ketika tamu memaksa untuk melakukan
hubungan anal. Kekerasan seksual ini
memiliki dampak seperti hilangnya
keperawanan, hamil di luar nikah,
terkena sipilis dan PMS lain yang
membuat mereka tidak bisa bekerja
dalam waktu relative lama hingga 3
bulan, serta keterpaksaan mereka
melakukan aborsi. Orang-orang dewasa
yang memiliki kelainan seks bahkan
kerap menyiksa anak sebelum
berhubungan seks (sadomasokis).
Pengalaman kekerasan yang dialami
oleh korban pada umumnya sudah
berlangsung lama dan mereka tidak
hanya mengalami satu bentuk kekerasan
saja, tapi semua bentuk kekerasan
tersebut juga mereka alami.
ESKA adalah pelanggaran hak-hak
fundamen anak! Tidak ada pembenaran
untuk melakukan ESKA. Sebab anak-
anak telah dijadikan sebagai objek seks
orang dewasa, Anak-anak dirampas
haknya untuk bermain dan belajar. Tidak
ada jaminan perlindungan dan
kesejahteraan anak. Sehingga tidak akan
pernah ada alasan untuk membenarkan
ESKA.
17. 34
XI. Upaya Penanggulangan yang Dapat Dilakukan
35
Anak-anak korban ESKA sebagain besar
ingin keluar dari jerat ESKA, hanya saja
tidak tahu bagaimana caranya. Sudah
terlanjur kata mereka. Padahal beberapa
anak punya keahlian tertentu dan masih
punya impian. Oleh karenanya harus
dilakukan langkah-langkah strategis
penanganan ESKA.
Salah satu sikap yang harus menjadi
dasar sebagaimana telah menjadi
komitmen internasional, dan Indonesia
terlibat di dalamnya adalah dengan
menempatkan anak sebagai ”korban”
bukan sebagai ”pelaku”. Sebagai
”korban”, maka anak-anak tidak bisa
dikenakan hukuman. Tindakan terhadap
mereka harus lebih difokuskan kepada
upaya memulihkan kondisi psiko-
sosialnya dan kemampuan untuk
berintegrasi kembali dengan keluarga
dan lingkungannya. Perlu kerjasama
semua pihak baik masyarakat,
pemerintah, dan pihak-pihak lain,
apalagi untuk kasus seperti Indramayu
yang telah menjadikan luruh duit
sebagai tren budaya.
Sangat disadari bahwa masalah
ESKA tidak bisa ditangani oleh
satu institusi Negara saja.
Dibutuhkan koordinasi lintas
instansi yang berada di bawah
Pemerintahan Kota. Koordinasi
dan kerjasama yang dibangun
juga harus melibatkan berbagai
komponen masyarakat sipil dan
kalangan bisnis terutama pada
1. Koordinasi dan Kerjasama
wilayah-wilayah yang dinilai
rentan menjadi praktek ESKA.
Seperti hotel-hotel sebaiknya tidak
memperkenankan tamu check in
bersama anak-anak yang patut
diduga adalah korban eksploitasi
seksual. Perlu diadakan
pendidikan, pelatihan, dan
penyadaran kepada pengelola
hotel tentang bahaya eksploitasi
seksual perlu dilakukan sehingga
hotel terhindar dari praktek ESKA.
Dan yang tak kalah penting
adalah kesadaran masyarakat
untuk melaporkan dan
memberikan informasi kepada
pihak terkait bila mengetahui ada
praktek ESKA.
Pencegahan agar anak-anak dapat
terhindar sebagai korban ESKA
merupakan langkah strategis yang
harus dilakukan. Langkah-langkah
pencegahan selayaknya
memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi seorang anak
dapat menjadi korban.
Kesempatan yang besar dan akses
bagi seluruh anak untuk
melangsungkan dan
menyelesaikan pendidikan dasar
menjadi salah satu upaya
pencegahan yang penting.
Pencatatan kelahiran sebagai bukti
legal atas identitas dan
kewarganegaraan seseorang dan
memfungsikan akta kelahiran di
dalam kehidupan sehari-hari bisa
2. Pencegahan
menjadi penghalang bagi upaya
pemalsuan umur anak dan
karenanya bisa memberikan
perlindungan terhadap anak agar
terhindar sebagai korban.
Promosi, pendidikan dan
kampanye mengenai ESKA ke
berbagai elemen kemasyarakatan
termasuk di wilayah-wilayah yang
rentan menjadi daerah asal anak
korban ESKA menjadi langkah
untuk meningkatkan kewaspadaan
masyarakat untuk melindungi
anak-anak mereka.
Seperti sekolah-sekolah di Medan
yang rawan dari praktek pelacuran
anak perlu dilakukan pendidikan,
pelatihan dan penyadaran, agar
siswa tercegah dari praktek
pelacuran anak. Pendidikan atau
kampanye di sekolah perlu
dilakukan agar anak tidak
melakukan praktek pelacuran
terselubung. Bila diperlukan maka
informasi tentang bahaya
HIV/AIDS juga perlu disampaikan,
siswa sangat tidak faham soal
bahaya ini sehingga praktek
pelacuran yang dilakoninya sangat
rentan tertular HIV/AIDS. Perlu
pula dibuat material soft campaign
di mal-mal atau plaza tentang
bahaya pelacuran anak di lokasi
tersebut. Melarang salon-salon
dan coffee untuk mempekerjakan
anak yang masih di bawah 18
tahun, karena sangat berpotensi
untuk dilacurkan. Serta
memberikan penyadaran,
pendidikan kepada pengelola
salon/coffee tentang larangan
mempekerjakan anak untuk tujuan
seksual
Langkah-langkah perlindungan
menekankan kepada upaya
mengharmonisasi peraturan
perundangan dan kebijakan yang
berperspektif (hak) anak,
memperkuat dan melaksanakan
undang-undang ataupun
kebijakan-kebijakan. Tindakan-
tindakan menjerumuskan anak-
anak sebagai korban ESKA harus
ditempatkan sebagai tindakan
kejahatan yang harus mendapat
hukuman berat. Sedangkan
terhadap anak-anak yang menjadi
korban tidak dikenakan hukuman
mengingat mereka adalah korban
bukan pelaku. Pada peraturan
perundangan di tingkat nasional,
penjerumusan anak ke dalam
prostitusi dan pelaku perdagangan
anak/manusia telah ditetapkan
sebagai tindakan kejahatan.
Namun pemanfaatan anak-anak
sebagai bahan pornografi belum
ada aturan hukumnya.
Kepolisian juga harus bersikap
pro-aktif untuk mengidentifikasi
para pelaku atau jaringan-jaringan
ESKA dan melakukan tindakan
3. Perlindungan
18. 36 37
hukum kepada para pelaku.
Penjeratan para pelaku kejahatan
ESKA dapat menjadi pemicu untuk
menumbuhkan kesadaran dan
keterlibatan masyarakat agar dapat
menghindari sebagai pelaku dan
dapat berpartisipasi di dalam
upaya penanggulangan ESKA.
Pemerintah kota juga harus
mengambil langkah-langkah untuk
menyediakan rumah-rumah aman
bagi anak-anak yang telah
melarikan diri dari ESKA. Kajian
atas berbagai Peraturan Daerah
yang tidak sesuai dengan
kepentingan anak dan melahirkan
Perda-perda baru untuk
melindungi anak-anak dari ESKA
bisa menjadi bukti keperdulian
pemerintah. Dan Sepatutnya ada
sanksi yang diberikan kepada
hotel yang masih mentoleransi
kamar hotel dijadikan tempat
berlangsungsungkan eksploitasi
seksual.
Pemulihan psiko-sosial dan re-
integrasi terhadap anak-anak yang
telah menjadi korban ESKA
memerlukan waktu yang panjang
dan dana yang besar. Hal ini
mengingat ketika anak menjadi
korban ESKA, ada berbagai
pengaruh dan dampak terhadap
kondisi fisik, mental dan sosial
anak. Diperlukan konseling
psikologis, medis dan sosial serta
4. Pemulihan Psiko-sosial dan Re-
integrasi Sosial
pemberian dukungan lain yang
dibutuhkan oleh anak. Perlu
dilakukan pula penghapusan
stigmatisasi terhadap anak untuk
mempercepat proses pemulihan.
Pihak-pihak yang terlibat di dalam
proses pemulihan harus
melakukan pendekatan yang tidak
menghukum anak.
Partisipasi anak merupakan salah
satu prinsip dasar dari KHA yang
juga diadopsi dalam Undang-
undang No. 23 tahun 2002
mengenai Perlindungan Anak.
Anak, yang dalam hal ini sebagai
subyek, perlu diberi ruang untuk
mengorganisir diri, dilibatkan
dalam kampanye-kampanye
menentang ESKA, diberi ruang
untuk menyampaikan aspirasinya
dan suara mereka
dipertimbangkan di dalam
pengambilan keputusan/kebijakan
yang terkait dengan ESKA.
5. Partisipasi Anak
DAFTAR PUSTAKA
ECPAT Internasional. 2001. Tanya & Jawab tentang Ekploitasi Seksual Komersial Anak. Diterjemahkan
oleh kelompok ECPAT Indonesia dari teks aslinya yang diterbitkan oleh ECPAT Internasional
ECPAT. 2008. Combating Child Sex Tourism: Ouestions& Answers. Bangkok: ECPAT International
Farid, Mohammad. 1999. “Kekerasan Seksual, Eksploitasi Seksual, dan Eksploitasi Seksual Komersial
terhadap Anak” dalam Irwanto et.al., Anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus di
Indonesia,Analisis Situasi. Jakarta: PPKM Unika Atma Jaya, Departemen Sosial, dan UNICEF.
IPEC-ILO. 2004. Perdagangan Anak untuk Tujuan Pelacuran di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa
Timur: Sebuah Kajian Cepat. Jakarta: IPEC-ILO.
Irwanto, Fentiny Nugroho, Yohana Debora Imelda. 2001. Perdagangan Anak di Indonesia. Jakatra: ILO
Keputusan Presiden No. 87 tahun 2002. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial terhadap Anak.
Koentjoro. 2004. Pelacuran: on the spot. Yogyakarta: Intan
Koentjoro. 2004. Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta
Pemerintah Indonesia. 1990. Keppres No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak. Jakarta
Pemerintah Indonesia. 2002. Keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Jakarta
Pemerintah Indonesia. 2002. UURI No.23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta
Prabandari, Hana. 2004. Prostitusi Anak Jalanan Perempuan di Simpang Lima. Semarang: Yayasan
Setara.
Shalahuddin, Odi. 2000. Anak Jalanan Perempuan. Semarang. Yayasan Setara – Terre des Hommes
Germany.