1. CINTAKU BERLABUH DI MESIR
Karya Irna Octarina
Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi data-data yang harus ia
bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau, ibunya bersikukuh untuk tidak
mengijinkannya pergi ke Mesir.
Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya,
“Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi
pagi kau tidak keluar kamar.”
Dengan setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun membuat ia terlihat
lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera duduk dan bersiap untuk makan, sebelum
makan ia mencuci tangannya terlebih dahulu.
“Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?”
“Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.”
“ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang
aku butuhkan sudah hampir selesai…
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah berapa kali ibu
bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi ke Mesir. Buat apa sih nak kamu
kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan juga banyak Universitas Islam yang bagus,”
“Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun
menetes.
Memang berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia akan berada di Mesir
selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia dapat pulang setiap tahun untuk
menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan
beasiswa di Al Azhar University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir
dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di depan mata.
“Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja disana, aku akan selalu memberi
kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa pada ibu yang sangat aku sayangi,”
“Apapun alasanmu tetap saja ibu tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat
menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu (ibunya pun ikut
menangis).
2. Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang
terdengar dari teras rumah.
“Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan.
“Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus
bagaimana lagi.”
“Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau
ia bisa menjaga dirinya baik-baik.”
“Iya bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di Mesir aku juga tidak
sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka juga kuliah disana,”
“Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu
salahkan.”
Akhirnya Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang berat melepaskan
anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia sangat menyayangi Narina dan
kemana saja Narina pergi selalu ditemani ibunya. Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan
terkadang ada orang yang mengira bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur
diantara mereka juga tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya 20 tahun
lebih muda dari usianya kini.
***
Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir. Ia
memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak lupa ia membawa
Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai
novel itu. Baginya begitu banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai
menyiapkan perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia
masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-
Hatta.
Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menelpon kedua temannya, Hikami dan
Amalia, ia ingin memastikan bahwa kedua temannya sudah siap untuk berangkat ke Mesir.
Setelah itu tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya,
Narina pun berangkat, tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Baru beberapa
langkah berjalan, ia lalu memalingkan tubuhnya dan kembali untuk memeluk ibunya. Tak
terasa air matanya mengalir membasahi jilbab biru mudanya, ia begitu sedih harus berpisah
untuk sementara waktu dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga tak bisa menyia-nyiakan
kesempatan untuk kuliah di Mesir.
Sudah lima jam ia berada di dalam pesawat, perjalannya masih sekitar tujuh jam lagi tetapi ia
belum bisa tertidur. Padahal Amalia sudah tertidur pulas, sedangkan Hikami masih saja fokus
dengan bukunya. Anak yang satu ini memang suka sekali membaca buku, baginya waktu
terasa hambar bila ia tak membaca buku. Narina lalu memutuskan untuk memasang headset
dan memutar sebuah lagu favoritnya,
Bertuturlah cinta
Mengucap satu nama
Seindah goresan sabdamu dalam kitabku
Cinta yang bertasbih
Mengutus hati ini
Kusandarkan hidup dan matiku padamu
Bisikkan doaku dalam butiran tasbih
3. Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta
Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah
Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit
Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu
Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang
Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta
Akhirnya ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih, sejurus kemudian ia
sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua temannya, sejak tadi pagi Hikami belum
memejamkan mata sehingga wajahnya terlihat agak pucat. Mereka pun segera turun dari
pesawat dan menuju rumah yang telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari
Amalia ada yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati lagi. Wajah Narina
tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di Mesir, ia seolah tak percaya.
Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina memberi kabar pada orang tuanya di Indonesia.
Mereka bertiga langsung membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah.
Ada dua kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan Amalia.
Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar sebentar untuk mencari makanan.
Narina melihat pemandangan di sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia
berhenti sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia
memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit bingung harus
memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3 bungkus nasi, rendang, sayur
nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia
ingin keluar, ia hampir bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia
juga.
“Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah.
“Iya ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya yang terlihat lelah seperti
orang yang tidak tidur semalaman tapi aura yang dipancarkannya begitu memikat bagi
siapapun yang melihatnya.
Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?”
“Ini aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa disuruh Amalia langsung
mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah
hari pertama mereka kuliah, kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina,
yakni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan
Perbandingan Agama.
“Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet
beasiswa seperti kalian, tapi aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia.
Kebetulan Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri. Saat ia
sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki yang menghampirinya, “Lagi
bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu,
Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang waktu itu pernah
membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan sedikit gugup ia menjawab
pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan,
lelaki itu bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan berada
dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina. Ada sedikit rasa senang di
hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak.
***
4. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak terasa ia sudah
tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya
sudah tak tertahankan lagi, terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari.
Pemandangan sungai nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat
ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan lengkap sudah.
Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya.
Tanpa sadar ternyata ada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap
air matanya dengan tisu yang ada di sakunya.
“Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan
sesuatu,” Tanya Andi.
Dengan suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3 tahun aku tak
bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?”
‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih
dan begitu terburu-buru,”
“Ah, mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,” akhirnya ia pun sudah
mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga waktu kita ketemu di rumah makan?
Tepatnya tiga tahun yang lalu,”
“Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu
itu…”
Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau harus berkata apa. Mereka
diam sejenak, tak ada yang berani untuk membuka suara. Narina malah pulang ke rumahnya,
Andi hendak mengejarnya tapi ia tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk
mengatakan itu pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari mulutnya. Ia memang
jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia bertemu. Waktu itu ia hampir telat untuk masuk
kerja jadi ia terburu-buru dan hampir menabrak Narina. Sejak saat itu ia penasaran dengan
sosok gadis itu, sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di Universitas Al-Azhar. Ia
semakin sering memperhatikan Narina saat gadis itu berada di kampus, tetapi Narina tak
pernah menyadarinya. Baginya, Narina adalah sosok yang sederhana, lemah lembut dan ia
bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia
adalah mahasiswi yang cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.
Setibanya di rumah, Narina langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis hingga
sesenggukan. Kedua temannya langsung menghampiri Narina, lalu Narina menceritakan apa
yang ia alami hari ini kepada kedua temannya. Termasuk awal mula pertemuannya dengan
Andi dan perasaan yang ia pendam pada Andi.
“Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo kamu juga suka sama dia? Jelas-
jelas kalian kan saling cinta,” tutur Lia,
“Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,”
Hikami dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina
bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran sama kak Andi, aku
takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke
Indonesia dengan gelar sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan
pacaran,” ungkap Narina.
Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja?
Kak Andi juga udah lulus, kan ga ada larangan menikah buat mahasiswa.”
Saran dari Lia hanya membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk
menjauhi Andi selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya itu.
***
5. Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit
dalam hatinya tapi ia memilih untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha
untuk menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh Narina, padahal
Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina.
Dan sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin maju. Setelah
menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam pakaian muslim secara online
dan omset yang ia dapatkan sangat memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya
kelak, tapi belum ada jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak gadis yang menyukainya
tapi entah mengapa ia selalu menolaknya. Hanya Narina yang selalu ada di pikirannya, ia
yakin suatu saat nanti ia bisa mempersunting gadis pujaannya itu. Ia bertekad untuk selalu
menunggu Narina, sampai gadis itu mau menerima ia sebagai suaminya.
Tak terasa, hari kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di
kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya dia, ia pun tak sabar untuk kembali ke tanah air
dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang ke
Indonesia bersama Amalia. Sementara Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya, meskipun
ada sedikit rasa sedih karena ia harus berpisah dengan kedua temannya tapi ia mencoba untuk
tetap tegar karena ia memang bercita-cita untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Narina pun pulang tanpa sempat memberi kabar kepada Andi, karena ia sudah terburu-buru.
Dua belas jam di pesawat, membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah, seolah rasa lelah
itu hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis di pundak ibunya.
Mereka saling melepas rindu, lalu sang ibu bertanya pada Narina, “Ibu bangga sama kamu
nak, kamu bisa memberikan yang terbaik. Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau
sudah menemukan jodoh yang tepat di Mesir?”
Seketika itu juga Narina merasa seolah tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan
Andi. Ia tidak sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang, semua itu hanya
terbenak dalam pikirannya.
“Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya.
Ia mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya bahwa ia sudah
menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah menjauhinya.
“Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,”
Lalu ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi sekarang, sudah
hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih menyukainya,
***
Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir, maka sang Ayah mengajak istri dan anaknya untuk
berlibur di Mesir selama beberapa pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina.
Setelah Narina lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi setia
menunggu Narina.
Saat Narina hendak berkunjung ke rumah Hikami, ia bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia
memeluk Andi untuk menghilangkan rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua
menangis dan saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama ini membuahkan
hasil.
“Narina aku sangat menyayangimu, selama ini aku selalu menunggumu tapi kau tak pernah
ada kabar. Aku tak ingin bila harus kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah
denganku?”
6. Narina pun tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat yang selalu ia
tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu temui orang tuaku dan nikahi
aku.”
“Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-
surat pernikahan akan diurus secepatnya,”
Sesampainya di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina untuk menikahi
anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina menyetujuinya.
Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman Narina dan Andi yang berada di Mesir
ikut datang untuk menyaksikan prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik
dengan pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah mereka cukup
sederhana.
Narina begitu bahagia, kini ia telah menemukan cinta sejatinya. Ia pun sempat meneteskan air
mata saat Andi berkata,” Saya terima nikah dan kawinnya Narina Najmatunnisa binti Husein
dengan seperangkat alat solat dibayar tunai.”
Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif
Rahman berlabuh di Mesir.