Cerpen ini menceritakan tentang seorang karakter yang merasa tertekan di pekerjaannya dan merindukan kebebasan yang ditawarkan oleh angin. Ia kemudian memukuli bosnya setelah bos tersebut memerintahkannya untuk terus menelepon mantan pacarnya. Cerita berakhir dengan karakter tersebut mendengar bisikan-bisikan di sekelilingnya.
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Bisikan angin (beni setia)
1. Media Indonesia
Minguu, 24 Maret 2002
BISIKAN ANGIN
Cerpen Beni Setia
ANGIN selalu datang dan mengajak pergi. Mungkin itu yang dibisikkannya sehingga
leluhur membuat rakit dan membentangkan kain layar, lantas berseluncur di laut untuk
berpindah dari satu pantai ke pantai lain, dari pulau ke pulau lain --bahkan mungkin dari
dunia ini ke dunia lain setelah gelombang membalikkannya. Tapi gelombang itu apa bukan
bagian dari angin yang digejalakan di permukaan air laut? Mungkin angin juga yang
mengusir burung dari daerah dingin ke daerah panas, karena embusan dingin sampai dan
dulu embusan hangat pernah sampai dari sebaliknya. Atau cuma kabar yang dibawa di
dalam ketiaknya, berupa aroma dan bunyi--selain rasa sejuk yang memanggil datang atau
menyuruh pergi. Tapi kenapa kita tak beranjak?Di masa kanak-kanak aku suka naik ke
pohon lamtoro, memetik buah yang belum tua dan berisi biji, memakannya setengah
menyepah rasa pahitnya sambil duduk pada dahannya. Menjulang sambil bergoyang
dicumbu oleh angin. Angin yang datang dari hamparan sawah yantg berderet sampai di
seberang perkampungan --ada lubuk sungai yang teraling-- dan naik ke perbukitan di
jauhnya. Angin yang sejuk. Angin yang berisikan desir pada sawah yang malai padinya
sedang mengencang dan mengering dengan dedaunan yang mulai kersik --karena itu
meruapkan panas. Sekali waktu penuh bau bubung bakaran jerami basah. Sekali waktu bau
ruap lumpur yang baru diratakan dengan kaki atau luku kerbau. Dan kadang-kadang daun
padi yang baru lilir itu beriak bagai jutaan jari yang mengucapkan salam pada angin yang
terus mendudu --mengajak pergi dan tak pernah mau singgah. Ke mana angin akan
membawa kita? menyeret dan menelikung atau menayang dan membebaskan?***Ace
Kosasih marah. Sangat marah --mungkin karena ia sangat kebelet omong dengan Tina
Sinariah--, tapi dari kemarin tak bisa menghubunginya. HP-nya dimatikan dan karenanya
sia-sia menghubunginya. Mungkin ia telah mencobanya sepanjang malam dan tak
menghasilkan apa. Mungkin, seperti yang kukerjakan sepanjang siang berpindah-pindah
menghubungi ke dua HP ke tiga nomor rumah. Satu HP tak diaktifkan, satu HP lagi
kemudian dimatikan, dan tiga nomor telepon rumah itu diblokir jadi answering machine
dan perintah meninggalkan pesan. Tepat --setelah berkali-kali menghubungi, diangkat,
mendapat minta maaf dan permintaan agar dihubungkan dengan Tina Sinariah.Maaf. Saya
lagi. maaf. Saya hanya karyawan Ace Kosasih yang ditugaskan untuk menghubungi Tina
Sinarih. Maaf, kalau... --kataku tidak lampiaskan karena di seberang begitu muak dan
karenanya membantingkan telepon. Tapi Ace Kosasih datang untuk mengecek. Untuk
ngamuki dan memaki. Aku menggigit bibir. Apa ini karena aku digaji 800.000 rupiah,
tanpa uang transpor dan makan? Apa karena diikat begitu maka aku harus mengerjakan
tugas khusus di luar rutin sehari-hari? Hanya untuk menelepon pacar yang ngambul, hanya
karena ia bos dan aku cuma staf administrasi di kantor pabrik garmen? Dasar singkeh
--gumamku. Memijit redial dan menikmati denging. Berulang-ulang. Menyebalkan. Dan
aku rindu angin. Angin."Bisa"?Aku menggeleng. "Sudahlah," katanya. Membalik dan
menggerutu. Masuk keruangannya dan, setelah pintu dibanting, kami mendengar meja tulis
digrebak dengan tangan. Aku menggaruk rambut. Cici Santosa, masih sepupu Ace kosasih,
mendekat. "Maaf, ya," katanya, "Koko lagi bingung, stres, jadinya ia muring-muring.
Sepurane ya!" Aku tersenyum bangkit dan jalan ke belakang. Masuk ke toilet. Kencing.
Cuci muka dan mengeringkannya dengan sapu tangan. Berpikir akan naik ke atap, bersilang
tangan di dada di bubungan merasakan angin menderas di wajah --mengabarkan kabar dari
hadapan perkotaan yang padat dan mengajak pergi ke penghujung kota dan menembus
batas ke pedalaman. Nun.Tersentak ketika pintu toilet digedor. Ace Kosasih berteriak-teraik.
Aku membuka pintu dan menahan napas ketika ia masuk sambil menggerutu. "Si
Suwe-e koen iku. Nang toilet pabrik opo-o?" Aku bungkam. Apa mungkin menelepon
seseorang yang tak ingin ditelepon --dengan menutup diri, dengan mengisolasi telepon?
2. Aku menahan tangan yang mengepal ingin melayang ke bibirnya, menjengkangkannya ke
dinding, lalu menggelosor di lantai dengan bunga darah mekar di atas di lorong dan
bengkak. Nun. Tapi ia membanting pintu dan aku cuma menggerutu di lorong ke ruang
kantor. Menghenyak ke kursi dan menatap pekerjaan yang ditangguhkan di tiga jam
barusan. Dan aku rindu dibelai angin. Dibisikin segala macam dan diajak untuk pergi ke
sana. Nun. Adakah kebebasan di sana?***Aku pergi ke pantai. Bersandar dan menatap
kejauhan yang remang dalam malam. Angin telah berbalik. Menepis amis ganggang dan
garam dan muali mengabarkan hanta pasir dan bising perkotaan. Akankah suara itu lelah
dan semuanya mengendap dalam palung hingga ikan-ikan akan naik ke permukaan dan
sukarela dijaring nelayan agar bisa menyaksikan kesibukan kota yang tak terbayangkan?
Atau angin itu gagal membujuk aku untuk melangkah ke pantai dan mulai menyelam ke
kedalaman palung, ke keindahan kekal dunia ganggang dan lumut di terumbu karang, juntai
dan tentakel anemon, serta kanibalis yang bisa melayang atau mengintai. Nun. Meraih botol
air mineral dan pelan-pelan menegukhabiskannya. Meniupkan napas, menutup rapat, dan
melemparkannya ke alun naik.Pergilah ke kedalaman rindu --gumanku. Tapi masih punya
rindukah aku? Atau pengharapan? Kedalaman di mana rindu bisa bebenah lalu
mengecambah? Aku ingin pulang. Naik pohon lamtoro di belakang rumah, bergoyang-goyang
pada dahan sambil bermimpi bercoklangan naik kuda di sabana di tengah angin
deras yang menyampaikan aroma dan suara zona yang ditinggalkan dan janji makanan di
zona serbuan. Nun. Tetapi adakah nun, kebebasan dan pembebasan, bila di kota ini hanya
jadi staf administrasi, yang bisa diselewengkan menjadi operator telepon yang khusus
menghubungi HP Tina Sinariah? Dimaki. Dilecehkan dengan sebutan goblok dan segala
macam --padahal dia mungkin sudah tak bisa menghubunginya karena yang ingin
dihubungi tak mau dihubungi.Kenapa tak marah pada Tina Sinariah? Kenapa tak berani
memaki diri sendiri? Kenapa tak berani mengaku kalah dengan menangis dan
menyebabkan semua orang tahu kalau Ace Kosasih dilumpuhkan Tina Sinariah?
--gumanku. Aku melihat jam. Menyulut rokok terakhir --meremas kotaknya dan
melemparkannya ke lidah alun yang membelai beton pantai. Jalan sambil merasakan angin
mengapungkan ruap sisa siang di tengah pelataran yang, makin sejuk di dalam remang.
Nun. Aku jalan. Hingga tubuhku penuh keringat. Hingga angin tak bisa menyejukkan
tubuh. Hingga angin sia-sia mengajak ke palung dan berbaring di celah karang sebagai
belut raksasa. Nun.***Aku melihat sedan Ace Kosasih berparkir. "Asu iki!" gumanku.
Yitno menunggu sedan itu --pasti dapat uang parkir. "Singkeh iki!" gumanku. Yitno
mengangguk. Kresno, sopir, bilang bahwa Ace Kosasih mencari. Aku berguman. Aku
mengeloyor. Jalan sepanjang lorong. Membelot ke deret kanan, dan sebelum laju aku
diteriaki dari warung kopi Cak Dul. "Dari mana saja? Aku sampai lumutan menunggu? kata
satpam yang mengawal. Aku membungkam. Ace Kosasih mendekat. "Aku minta tolong,"
katanya, "Aku bayar sebagai lembur --dan esoknya kamu boleh enggak masuk. Swear!"
Aku merasakan angin menderas dan mengelupaskan selaput keringat kering. Aku merasa
diajaknya pergi ke tengah laut, menyelam ke kedalaman sebagai hiu atau paus. Nun."Kau
ke rumahku. Tolong teleponi Tina. Ada jaminannya deh."Aku menatap. Angin menderas,
mungkin tergesa karena terjepit gang dan dijejali sampah kota. Mungkin. Aku tersenyum.
"Apa?" kataku. "Tolong teleponkan Tina," katanya. Aku mengangguk. Aku meraih
kuduknya, mendorong kepalanya ke tiang kayu mahoni di sudut bedeng,
menghantamkannya hingga bedeng itu bergegar. Menghantamkannya. Menghantamkannya.
Tubuh bergetar. Darah mendenging. Aku menelan ludah. Haus--rindu angin. Telinga
berdengung. Aku mengeram. Aku berteriak: Angin di manakah kamu? Bawalah aku ke
gunung-gunung beku berkabut atau ke palung-palung yang senantiasa kelam! Bubungkan
aku! Tenggelamkan aku! Dan sekelilingku penuh bisikan.Dan di sekelilingku penuh
bisikan, penuh dengan orang yang saling berbisik. Seperti riak atau alun di tengah arus
sungai, seperti jelujur benang bermacam warna, dari kiri atau kanan, dari atas atau bawah,
dan membungkus dalam hamparan kain badai. Kenapa? Mengapa? Aku membungkam.
Bisu. "Hey!" kata salah satu, "Kenapa kamu masuk bui!" Aku menatap nanar. "Aku rindu
angin, aku ingin duduk di tempat di mana angin deras mendera, dan Singkeh itu menyuruh
3. aku duduk di kamar, menelepon, dan terus menelepon pacarnya yang ngambul. "Menyibak
orang-orang, mendekatkan kepala ke jendela tapi angin yang hanya lewat di luar. "Jadi?"
kata salah satu lain lagi. "Aku cekuk lehernya, aku hantamkan ke tiang rumah. Brak-pecah!"
kataku. Mereka tertawa. Mereka mengulurkan tangan dan menyalamiku.Aku cuma
tersenyum. Aku menyimak angin tapi tak ada udara yang bergerak. hanya bisik-bisik yang
bercetusan di sekelilingku, bagai biji suara yang telontar ke ladang angin, meletus oleh
musim dan berderak tumbuh. Suara-suara kecil. Desis di tengah desau angin yang lantang
mengabarkan suara dan aroma zona yang ditinggalkan dan janji dari zona akan dijelang.
Nun. Tapi tak ada angin di sini. Tak ada. ke mana perginya angin? Apakah sudah tiba di
muara? Dan di mana pangkalnya? Kenapa aku cuma mendengar suara berat menggeletar,
bagai didorong melewatinya dia bercerita tentang tersekat dan sekarat. Tapi siapa ia? Di
mana ia disekap?Angin berangkat dari satu tempat untuk berlabuh di satu tempat. Apakah
itu tempat yang menyenangkan? Adakah ruang bagi orang yang diajaknya untuk duduk
menyisihkan kopi dan rokok di beranda, melempar sawang sambil memintal benang
kenangan dari akhir menunju pangkal --dicermati dari pangkal menuju akhir. Nun. Tapi apa
angin bangkit sendiri atau dibangkitkan dari tenggorokan orang yang sedang sekarat?
Menjadi desis dari amarah yang tak lampias karena dipancung oleh sekarat? Dan karenanya
mengajak setiap orang ke muara untuk sekarat dan merasakan ke hilangan waktu,
merasakan kepiluan menyia-nyiakan waktu. Nun. Dan karenanya angin naik dari
kerongkongan yang tersekat. Dasamuka yang dikubur hidup-hidup. Nun. Dan aku
mendengar letupan kecil suara bisik di sekelilingku.Dan aku berteriak. Teriak.